PENJABARAN PRINSIP-PRINSIP HUKUM PERDAGANGAN MINYAK INTERNASIONAL DALAM PENGATURAN MINYAK INDONESIA.

(1)

! i

SKRIPSI

PENJABARAN PRINSIP-PRINSIP HUKUM

PERDAGANGAN MINYAK INTERNASIONAL

DALAM PENGATURAN MINYAK INDONESIA

LUH PUTU YEYEN KARISTA PUTRI NIM. 1203005019

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

! ii

PENJABARAN PRINSIP-PRINSIP HUKUM PERDAGANGAN MINYAK INTERNASIONAL DALAM PENGATURAN MINYAK INDONESIA

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

LUH PUTU YEYEN KARISTA PUTRI NIM. 1203005019

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2016


(3)

(4)

(5)

! v

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas Asung Kertha Wara Nugraha-Nya, skripsi ini dapat penulis selesaikan dengan baik. Adapun judul skripsi ini adalah “PENJABARAN

PRINSIP-PRINSIP HUKUM PERDAGANGAN MINYAK INTERNASIONAL

DALAM PENGATURAN MINYAK INDONESIA”. Skripsi ini diajukan sebagai kewajiban dalam rangka memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan berkat arahan, bimbingan, dukungan, masukan dan saran dari berbagai pihak yang telah meluangkan waktunya dalam penyusunan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis hendak menyampaikan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:

1.! Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.,MH, Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

2.! Bapak I Ketut Sudiarta, SH.,MH, Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayana.

3.! Bapak I Wayan Bela Siki Layang, SH.,MH, Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana.

4.! Bapak I Wayan Suardana, SH.,MH, Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana.

5.! Bapak Ida Bagus Erwin Ranawijaya, SH.,MH, Ketua Bagian Hukum Internasional serta Bapak I Gde Putra Ariana, SH.,MKn, Sekretaris Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah memberikan semangat dan petunjuk yang sangat bermanfaat bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.


(6)

! vi

6.! Bapak Prof. Dr. Ida Bagus Wyasa Putra, SH.,M.Hum, Pembimbing I dalam penyusunan skripsi ini, yang telah memberi arahan, bimbingan, dukungan, saran dan petunjuk yang sangat bermanfaat bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7.! Bapak I Gusti Ngurah Parikesit Widiatedja, SH.,M.Hum,LLM., Pembimbing II dalam penyusunan skripsi ini, yang telah meluangkan banyak waktu dan telah dengan sabar memberi arahan, bimbingan, dukungan, masukan dan saran serta petunjuk yang sangat bermanfaat bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8.! I Wayan Putrayasa dan Ni Wayan Kariasih, SE., orang tua penulis yang senantiasa sabar dan tak pernah berhenti memberikan dukungan demi rampungnya skripsi ini.

9.! I Kadek Dananjaya Sugiana Putra saudara penulis, yang kadang-kadang mengganggu tapi selalu memberikan motivasi dalam penulisan skripsi ini. 10.!I Nyoman Krisnadinata Wijaya, SH., yang secara khusus memberikan

pertimbangan dalam setiap pengambilan keputusan dan selalu memberikan semangat dalam penulisan skripsi ini.

11.!Bapak Suatra Putrawan, Dosen Pembimbing Akademik yang senantiasa mengarahkan dan membimbing penulis selama duduk di bangku perkuliahan. 12.!Bapak I Made Budi Arsika, SH., LLM dan Bapak Dr. Jimmy Z Usfunan yang


(7)

! vii

13.!Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah berjasa memberikan ilmu pengetahuan selama penulis duduk di bangku perkuliahan.

14.!Seluruh Staff Administrasi dan Pegawai di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

15.!Gek In, Intan, Boldes, Ayu Pasek, Alit dan Wak sahabat penulis serta rekan-rekan kelas A yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang selalu menemani penulis selama berkuliah di FH UNUD.

16.!Mia, Kiki dan Seira sahabat sejak SMA yang telah memberikan semangat bagi penulis.

17.!Kak Alit, Dewi Lestari (the unexpected entrance), Keke, Utik, Alia, Fendi, Genia, Amel, Chintya dan Farel sebagai Delegasi FH UNUD International Humanitarian Law dan Philip C. Jessup International Law Moot Court Competition yang telah memberikan pengalaman tak terlupakan.

18.!Teman-teman KKN PPM UNUD Periode XI Tahun 2015 Desa Mambang, Kecamatan Selemadeg Timur Kabupaten Tabanan yang telah memberikan pengalaman yang tidak terlupakan.

19.!Keluarga besar Student Community for International Law (SCIL) Universitas Udayana, tempat saya menempa soft skill dan menimba pengalaman yang sangat berguna dan bermanfaat dalam penyusunan dan perampungan tugas akhir ini.


(8)

! viii

Akhirnya, dengan menyadari keterbatasan dan ketidaksempurnaan skripsi ini, penulis sajikan skripsi ini dihadapan forum ujian skripsi. Semoga karya tulis ini dapat memberikan manfaat bagi seluruh pembaca dan bagi kemajuan ilmu hukum Indonesia.

Denpasar, 12 Januari 2016 Penulis


(9)

(10)

! x DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ... HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI ... KATA PENGANTAR ... SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... DAFTAR ISI ... ABSTRAK ... ABSTRACT ... BAB I PENDAHULUAN

1.1! Latar Belakang ... 1.2! Rumusan Masalah ... 1.3! Ruang Lingkup Masalah ... 1.4! Tujuan Penelitian ...

1.4.1! Tujuan Umum ... 1.4.2! Tujuan Khusus ... 1.5! Manfaat Penelitian ... 1.5.1! Manfaat Teoritis ... 1.5.2! Manfaat Praktis ... 1.6! Landasan Teoritis ...

1.6.1! Teori Liberalisasi Perdagangan ... 1.6.2! Teori Mengikatnya Hukum Internasional ...

i ii iii iv v ix x xvi xvii 1 8 8 9 9 9 10 10 10 10 10 13


(11)

! xi

1.6.3! Teori tentang Organisasi Internasional ... 1.7! Metode Penelitian ...

1.7.1! Jenis Penelitian ... 1.7.2! Jenis Pendekatan ... 1.7.3! Sumber Bahan Hukum ... 1.7.4! Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 1.7.5! Teknik Analisis ... BAB II TINJAUAN UMUM

2.1! Tinjauan Umum tentang Minyak ... 2.1.1! Minyak sebagai Energi ... 2.1.2! Minyak sebagai Komoditas dalam Perdagangan

Internasional ... 2.2! Tinjauan Umum tentang Hukum Energi Internasional ... 2.3! Tinjauan Umum tentang Kaidah-Kaidah Perdagangan

Internasional dalam GATT/WTO ... 2.4! Tinjauan Umum tentang International Energy Agency ...

2.4.1!Sejarah terbentuknya IEA ... 2.4.2!Tugas dan Fungsi IEA ... 2.4.3!Struktur Organisasi IEA ... 2.5! Tinjauan Umum tentang the Organization of the Petroleum

Exporting Countries (OPEC) ………... 2.5.1!Sejarah Terbentuknya OPEC ... 2.5.2!Tugas dan Fungsi OPEC ...

14 16 16 17 18 19 19 21 21 22 23 25 27 27 28 29 32 32 33


(12)

! xii

2.5.3!Struktur Organisasi OPEC ... 2.6! Tinjauan Umum tentang Association of South East Asian

Nation (ASEAN) ... 2.6.1!Sejarah Terbentuknya ASEAN ... 2.6.2!Tujuan ASEAN ... 2.6.3!Struktur Organisasi ASEAN ... 2.6.4!The ASEAN Council on Petroleum (ASCOPE) ... BAB III PRINSIP-PRINSIP HUKUM DALAM PENGATURAN

PERDAGANGAN MINYAK INTERNASIONAL

3.1! Energy Charter Treaty ... 3.1.1!Prinsip-Prinsip GATT/WTO dalam ECT ... 3.1.2!Penanaman Modal Asing (Foreign Investment) ... 3.1.3!Kedaulatan Terhadap Sumber Daya Energi ... 3.1.4!Ketentuan mengenai Persaingan (Competition)

dalam Sektor Energi ... 3.1.5!Aspek Lingkungan dalam Sektor Energi ... 3.1.6!Penyelesaian Sengketa ... 3.1.7!Ketentuan Lain (Miscellaneous Provision) ... 3.2! Pengaturan Perdagangan Minyak melalui Prakarsa IEA ....

3.2.1!Membangun Persediaan Minyak ... 3.2.2!Pembatasan Permintaan atau Demand Restraint .... 3.2.3!Alokasi ... 3.2.4!Aktivasi dan Pertimbangan Penggerak (the Trigger

33

35 35 36 37 43

45 47 47 50

51 52 55 56 58 60 60 61


(13)

! xiii

Calculation) ... 3.2.5!Pengoperasian ... 3.2.6!Sistem Informasi ... 3.2.7!Kerja Sama dengan Industri Minyak ... 3.3! Pengaturan Perdagangan Minyak melalui Prakarsa OPEC ... 3.4! Pengaturan Perdagangan Minyak dalam Kerangka ASEAN

3.4.1!Agreement on ASEAN Energy Cooperation ... 3.4.2!Agreement on the Establishment of the ASEAN

Centre for Energy ... 3.4.3!ASEAN Petroleum Security Agreement (APSA) ...

3.4.3.1!Langkah-Langkah Jangka Pendek ... 3.4.3.2!Langkah-Langkah Jangka Menengah dan

Jangka Panjang... 3.5! Perbandingan Antara ECT, IEP Agreement, the OPEC

Statute dan APSA ... 3.5.1!Perbandingan Berdasarkan Keanggotaan ... 3.5.2!Perbandingan Berdasarkan Derajat Keterikatan ... 3.5.3!Perbandingan Berdasarkan Prinsip Dasar

Pengaturannya ... 3.6! Prinsip-Prinsip Hukum yang Terdapat Dalam ECT, IEP

Agreement, OPEC Statute dan APSA ... 3.7! Tinjauan Komprehensif Perihal Pengaturan Perdagangan

Minyak Internasional ...

62 63 63 65 66 70 71

72 72 72

78

80 80 81

83

84


(14)

! xiv

BAB IV PENJABARAN PRINSIP-PRINSIP HUKUM

PERDAGANGAN MINYAK INTERNASIONAL DALAM KEBIJAKAN PENGATURAN MINYAK INDONESIA 4.1! Penjabaran Prinsip-Prinsip Hukum Perdagangan Minyak

Internasional dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) ... 4.1.1!Penjabaran Prinsip-Prinsip Hukum Perdagangan Minyak Internasional dalam ECT dalam UU Migas 4.1.1.1!Kedaulatan Terhadap Sumber Daya Energi 4.1.1.2!Prinsip-Prinsip GATT/WTO dan Ketentuan

mengenai Persaingan (Competition) ... 4.1.1.3!Penanaman Modal Asing (Foreign

Investment) ... 4.1.1.4!Aspek Lingkungan ... 4.1.1.5!Perpajakan ... 4.1.1.6!Transit ... 4.1.2!Penjabaran Prinsip-Prinsip Hukum Perdagangan

Minyak Internasional melalui Prakarsa IEA dan APSA dalam UU Migas ... 4.1.3!Penjabaran Prinsip-Prinsip Hukum Perdagangan

Minyak Internasional melalui Prakarsa OPEC dalam UU Migas ...

90

90 90

93

94 94 95 96

96


(15)

! xv

4.2! Penjabaran Prinsip-Prinsip Hukum Perdagangan Minyak Internasional dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU PM) ...

4.2.1!Perlakuan Yang Adil Terhadap Penanam Modal Asing ... 4.2.2!Kebebasan Transfer ... 4.2.3!Ekspropriasi atau Nasionalisasi ... 4.2.4!Ketenagakerjaan ... 4.2.5!Penyelesaian Sengketa ... 4.3! Penjabaran Prinsip-Prinsip Hukum Perdagangan Minyak

Internasional dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (UU Energi) ... 4.3.1! Penjabaran Prinsip-Prinsip Hukum Perdagangan

Minyak Internasional dalam ECT dalam UU Energi 4.3.2! Penjabaran Prinsip-Prinsip Hukum Perdagangan

Minyak Internasional melalui Prakarsa IEA dan APSA dalam UU Energi ... BAB V PENUTUP

5.1! Simpulan ... 5.2! Saran ... DAFTAR PUSTAKA ...

98

98 99 101 102 102

104

105

105

108 109 111


(16)

! xvi ABSTRAK

PENJABARAN PRINSIP-PRINSIP HUKUM PERDAGANGAN MINYAK INTERNASIONAL DALAM PENGATURAN MINYAK INDONESIA

Minyak merupakan komoditas yang paling banyak diperdagangkan secara internasional karena kegunaannya sebagai sumber energi. Kendati demikian, terdapat ketidakjelasan pengaturan perdagangan minyak dalam kerangka WTO. Selain itu ketersediaan minyak yang menipis serta isu lingkungan semakin meningkatkan urgensi pengaturan perdagangan minyak yang lebih rinci. Untuk itu beberapa organisasi internasional seperti IEA, OPEC dan ASEAN memprakarsai beberapa pengaturan di bidang minyak. Pengaturan tersebut memuat prinsip-prinsip hukum perdagangan internasional. Sebagai subjek dalam perdagangan minyak internasional, peserta dari OPEC dan APSA serta observer dari ECT dan IEA, Indonesia memiliki kewajiban untuk menyesuaikan pengaturan nasionalnya dengan ketentuan dalam perjanjian internasional tersebut.

Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif dan pendekatan perundang-undangan dan analisis-konseptual hukum, penulis melalui skripsi ini akan membahas dua permasalahan hukum utama yakni: prinsip-prisnsip hukum perdagangan minyak internasional dan penjabarannya dalam pengaturan minyak Indonesia.

Adapun kesimpulan yang dapat ditarik adalah sebagai berikut: 1) Terdapat beberapa prinsip-prinsip hukum perdagangan minyak internasional dalam ECT dan Protocol on Energy Efficiency and Related Environmental Aspects; IEP Agreement; OPEC Statute dan APSA. Jika keempat pengaturan tersebut dibandingkan terdapat perbedaan dan persamaan dari keanggotaan, kekuatan mengikat serta prinsip dasar pengaturannya. dan 2) Prinsip-prinsip hukum dalam keempat pengaturan tersebut dijabarkan dalam hukum Indonesia yang tersebar dalam beberapa peraturan perundang-undangan antara lain: UU Migas, UU PM dan UU Energi. Akan tetapi terdapat pula beberapa ketentuan dalam undang-undang tersebut yang justru bertentangan dengan ketentuan dalam keempat perjanjian internasional.


(17)

! xvii

ABSTRACT

ELABORATION OF PRINCIPLE OF LAW IN INTERNATIONAL TRADE IN PETROLEUM INTO INDONESIAN REGULATION IN THE FIELD OF

PETROLEUM

Petroleum is the most-traded commodity in international market because its function as power source. There is no clarity with regard regulatory status of petroleum under WTO framework. Beside that, petroleum supply and environment issues call for more specific regulation. Therefore, some international organization e.g. IEA, OPEC and ASEAN enacted some regulation in the field of international trade in petroleum. Those regulations comprise some principle of law. Indonesia as subject in international trade in petroleum; as member of OPEC and APSA; and observer of ECT and IEA; has obligation to set its regulation based on those regulations.

Using normative legal research method with statutory and conceptual approach, writer in this paper would like to examine inter alia: principle of law in international trade in petroleum and its elaboration under Indonesian regulation in the field of petroleum.

The writer concludes, inter alia: 1) there are several principle of law in ECT and Protocol on Energy Efficiency and Related Environmental Aspects; IEP Agreement; OPEC Statute and APSA. If those regulations compared, there are several similarities and differences with in membership point of view, binding force point of view and basic principle point of view; and 2) those principles were elaborated into some statute in Indonesia inter alia: Petroleum and Gas Act, Investment Act and Energy Act. However, there are several provisions in those Acts which are not consistent with provision under those international regulations.

Keywords: international trade of petroleum, Indonesian regulation in the field of petroleum


(18)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Minyak merupakan salah satu sumber energi yang banyak digunakan di

dunia. The Court of Justice of the Europian Union dalam putusannya pada kasus

Campus Oil Limited menyatakan bahwa produk minyak bumi sangat penting sebagai sumber energi dalam kehidupan modern, mengingat bukan hanya sektor ekonomi yang memerlukan minyak melainkan semua institusi negara dan bahkan keberlangsungan kehidupan penduduk suatu negara bergantung pada produk

minyak bumi.1 Seiring dengan keberadaan sistem perdagangan bebas (free trade),2

minyak menjadi komoditas yang banyak diperdagangkan. Melaku Geboye Desta

berpendapat bahwa: petroleum is the largest primary commodity of international

trade in terms of both volume and value.3Hal tersebut diperkuat dengan data yang

dilansir International Trade Center, dimana minyak (mineral fuels, mineral oils,

and product of their distillation) merupakan salah satu dari 99 jenis objek yang

paling banyak diperdagangkan secara internasional.4

Kebutuhan tinggi terhadap minyak tersebut berbanding terbalik dengan ketersediaan minyak yang terus berkurang. Selain itu terdapat pula permasalahan

       

1 The Court of Justice of the European Union, Case Campus Oil Limited and others v. Minister for Industry and Energy and others, 1984, ECR-2727.

2 Ida Bagus Wyasa Putra, 2008, Aspek-Aspek Hukum Perdata Internasional Dalam Transaksi Bisnis Internasional, Cet II, PT. Refika Aditama, Bandung, h. 4.

3 Melaku Geboye Desta, 2003, Journal of World Trade 37(3): 523–551, 2003, The Organization of Petroleum Exporting Countries, the World Trade Organization, and Regional Trade Agreements, Kluwer Law International, The Netherlands, h. 523.

4 International Trade Center, 2014, Exports 2001-2014 International Trade in Goods Statistic by Product Group, URL: https;//www.intracen.org/itc/market-info-tools/statistic-export-product-country/, diakses pada 15 September 2015.


(19)

2

mengenai dampak buruk industri minyak terhadap lingkungan seperti perubahan

iklim.5 Kondisi tersebut dapat memicu kelangkaan minyak yang dalam jangka

panjang dapat mengancam hak generasi penerus terhadap sumber daya minyak dan

kelestarian lingkungan. Perlindungan terhadap hak generasi penerus (right of future

generation) telah dijabarkan dalam beberapa instrumen hukum internasional

seperti: the Stockholm Declaration;6the Rio Declaration;7 United Nation General

Assembly Resolution 37/7dan the 1992 United Nation Framework Convention on Climate Change.8 Bahkan International Court of Justice dalam putusannya pada

kasus Gabcikovo-Nagymaros Project9 dan Pulp Mills10 menggambarkan

penghormatan terhadap hak generasi penerus (right of future generation), terutama

yang berkaitan dengan kelestarian lingkungan.

Meskipun perdagangan minyak internasional semakin intens dilakukan, akan tetapi jika dilihat dalam kerangka hukum internasional belum terdapat suatu instrumen internasional di bidang perdagangan minyak yang mengikat secara umum bagi negara-negara di dunia. Oleh karena itu diperlukan hukum perdagangan internasional di bidang minyak untuk mengatur transaksi perdagangan minyak internasional dan sekaligus menjamin ketersediaan minyak dalam jangka panjang.

        5

International Energy Agency, 2015, World Energy Outlook 2015, International Energy Agency, h. 33.

6 Stockholm Declaration on the Human Environment of the United Nations Conference on the Human Environment, June 16, 1972, 11 I.L.M. 1416, princ. 1.

7

Rio Declaration on Environment and Development, U.N. ESCOR, princ. 3, U.N. Doc. A/CONF.151/26 (Vol. I) (1992).

8 World Charter for Nature, General Assembly Resolution 37/7, 28 October 1982, U.N. Doc A/RES/37/7. See also UN Framework Convention on Climate Change art. 3(1), opened for signature May 9, 1992, U.N. Doc. A/AC.237/18 (Part II) (Add. 1), 31 I.L.M. 848.

9

Gabcikovo-Nagymaros Project (Hungary/Slovakia), Judgments, ICJ Report, 1997, h. 75, para. 40.

10 Pulp Mills on the River Uruguay (Argentina v. Uruguay), Judgment, I.C.J. Reports 2010, h. 38 dan 64, paras. 75 dan 117.


(20)

3

Menurut Rafiqul Islam, hukum perdagangan internasional merupakan suatu kumpulan aturan, prinsip, norma dan praktek yang menciptakan suatu pengaturan (regulatory regime) untuk transaksi-transaksi perdagangan transnasional dan sistem pembayarannya yang memiliki dampak terhadap perilaku komersial lembaga-lembaga perdagangan. Kegiatan-kegiatan komersial tersebut dapat dibagi ke dalam kegiatan “komersial” yang berada dalam ruang lingkup hukum perdata

internasional atau Conflict of Laws; perdagangan antar pemerintah atau

antarnegara, yang diatur oleh hukum internasional publik.11

Pengaturan perdagangan internasional (dalam ranah hukum publik) tidak terlepas dari adanya organisasi-organisasi internasional di bidang perdagangan. Organisasi perdagangan internasional yang memiliki peran sentral dalam

pengaturan perdagangan internasional adalah General Agreement on Tariff and

Trade (GATT) yang sudah berubah menjadi the World Trade Organization. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Peter van den Bossche sebagai berikut:

International trade law consist of, on the one hand, numerous bilateral or regional trade agreements and, on the other hand, multilateral trade agreements….. The most important and broadest of all multilateral trade agreements is the Marrakesh Agreement Establising the World Trade Organization concluded on 15 April 1994.” 12

WTO merupakan organisasi perdagangan terbesar di dunia. Jumlah anggota

WTO hingga tahun 2015 adalah sejumlah 116 members.13 Semua anggota WTO

tersebut telah meratifikasi the Marrakesh Agreement Establishing the World Trade

       

11 Rafiqul Islam, 1999, International Trade Law, LBC, New South Wales, h.1.

12 Peter van den Bossche, 2010, the Law and Policy of the World Trade Organization; Text, Cases and Materials, Second Edition, Cambridge University Press, New York, h. 36.

13 WTO, 2015, Understanding the WTO; the Organization; Members and Observers, URL: https;//www.wto.org/English/thewto_e/whatis_e/tif_e/org6_e.html, diakses pada 15 September 2015.


(21)

4

Organization (WTO Agreement). Menurut Gerhard Loibl, WTO Agreement tersebut terdiri dari empat pilar utama yaitu:

GATT 1994, the General Agreement on Trade in Services (GATS), the Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS), dan the Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes (Dispute Settlement Undestanding/DSU)”.14

Meskipun WTO merupakan organisasi perdagangan terbesar dan pengaturannya memiliki ruang lingkup yang luas, akan tetapi pengaturan perdagangan internasional tidak hanya terbatas pada perjanjian-perjanjian internasional yang diprakarsai oleh WTO. Gerhard Loibl berpendapat sebagai

berikut: “Although the WTO established a comprehensive international legal and

institutional framework for international trade, number issues remain to be addressed. Some further areas might become subject to new agreements.”15 Mengacu pada pendapat tersebut, dapat diketahui bahwa beberapa isu dalam perdagangan internasional memerlukan pengaturan yang lebih khusus. Hal tersebut dikarenakan kompleksitas dalam perdagangan internasional yang memerlukan pengaturan yang lebih rinci. Apalagi dalam konteks perdagangan internasional yang memiliki objek khusus seperti minyak.

Minyak pada dasarnya dapat diklasifikasikan ke dalam kategori “barang”.

Hal tersebut sesuai yang dinyatakan oleh Thomas Cotier et.al bahwa:Oil and solid

fuels such as coal clearly fall within the category of goods; they are easily stored and traded across borders.16 Meskipun minyak dikategorikan sebagai “barang”,

       

14 Malcolm D. Evans, 2006, International Law; Second Edition, Oxford University Press, United States, New York. h. 699.

15 Ibid., h. 706.

16 Thomas Cottier et. Al., 2010, Energy in WTO law and policy, the World Trade Organization, h. 3.


(22)

5

terdapat pendapat yang menyatakan bahwa minyak dikecualikan dalam pengaturan perdagangan dalam rezim WTO. Melaku Geboye Desta berpendapat:

The role of the multilateral trading system on international trade in petroleum products has not always been clear. A study by UNCTAD has observed that “… the strategic importance of petroleum trade to the world economy has been such that in the past it has been treated as a special case, in a largely political context and not within the GATT multilateral framework of trade rules”. However, as the same study emphasizes, strategic sensitivities notwithstanding, there is not any GATT provision which exempts petroleum trade from its coverage. In principle, trade in petroleum products among GATT/WTO Members is governed by the rules of the trading system just like other products.

However, although there was no explicit exclusion of petroleum products from the scope of the multilateral trade agreements, a combination of factors have, de facto, brought the virtual exclusion of international trade in petroleum products from the trading system. The most important ones in this respect are absence of petroleum export interests from GATT’s origins and non-membership in the WTO of the major oil exporters even today, the consequent lack of specific trade/import liberalization commitments by GATT/WTO Members, the system’s inherent market access bias, its ineffectiveness in the area of quantitative export restrictions, and the recent trend towards regionalism as a solution.”17

Berdasarkan pendapat tersebut, dapat dilihat bahwa terdapat ketidakjelasan mengenai pengaturan minyak dalam rezim WTO.

Kendati terdapat ketidakpastian tersebut, saat ini terdapat beberapa instrumen hukum internasional yang mengatur di sektor energi secara umum, dan

minyak khususnya. Energy Charter Treaty (ECT) merupakan salah satu contoh

yang paling terkenal sebagai suatu instrumen hukum internasional yang mengatur

tentang perdagangan energi.18 Meskipun tidak secara khusus mengatur mengenai

perdagangan minyak, akan tetapi minyak menjadi salah satu jenis energi yang diatur dalam ECT. Selain itu, terdapat pengaturan lain diantaranya pengaturan

        17

Melaku Geboye Desta, Op.cit., h. 259.

18 Research Handbook on International Law, Edited by Kim Talus, 2014, Research Handbook on International Energy Law, Edward Elgar Publishing Limited, Cheltenham, United Kingdom, h. 5.


(23)

6

perdagangan minyak internasional yang diprakarsai oleh International Energy

Agency (IEA) dalam kerangka the Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dan the Organization of Petroleum Exporting Countries

(OPEC). Bahkan ASEAN sebagai organisasi regional juga memprakarsai ASEAN

Petroleum Security Agreement yang mengatur mengenai ketahanan minyak. Pengaturan mengenai perdagangan minyak internasional tersebut diprakarsai oleh organisasi yang berbeda-beda, dengan keanggotaan yang berbeda dan oleh karenanya memiliki karakter yang berbeda-beda pula. Pengaturan dalam ECT lebih menekankan pada liberalisasi perdagangan energi dan prinsip-prinsip

GATT/WTO, seperti national treatment dan most-favoured nation (MFN).

Sedangkan pengaturan dalam kerangka IEA lebih menekankan pada aspek ketahanan energi, khususnya ketahanan minyak, mengingat anggota IEA yang

merupakan konsumen atau oil net importer. Disisi lain pengaturan dalam kerangka

OPEC lebih menekankan pada stabilitas harga minyak dunia, mengingat negara

anggota OPEC merupakan produsen atau oil net exporter. Sedangkan pengaturan

dalam kerangka ASEAN memadukan antara prinsip-prinsip hukum dalam ECT dan

pengaturan dalam kerangka IEA, mengingat ASEAN menjadi observer dari

keduanya.

Indonesia memiliki potensi sumberdaya energi yang beragam mulai dari potensi sumberdaya energi fosil (yang terdiri atas batubara, minyak dan gas bumi), potensi sumberdaya energi baru dan terbarukan. Bahkan, Indonesia menjadi anggota OPEC sejak tahun 1962, meskipun pada tahun 2009 Indonesia men-suspended keanggotaanya dari OPEC dan bergabung kembali sejak bulan Januari


(24)

7

tahun 2016.19 Kendati demikian, Indonesia masih mengalami permasalahan dalam

penyediaan minyak untuk kebutuhan dalam negeri. Berdasarkan data dari Outlook

Energi Indonesia, persediaan minyak Indonesia masih dapat dimanfaatkan hanya

sekitar 12 tahun lagi apabila tidak ditemukan cadangan baru.20 Permasalahan

tersebut mengakibatkan Indonesia tidak dapat memenuhi kebutuhan minyak dalam negeri sehingga dilakukan impor minyak dalam jumlah besar. Dengan demikian tidak terelakan lagi bahwa Indonesia merupakan subjek dalam perdagangan minyak internasional.

Sebagai salah satu subjek dalam perdagangan internasional, Indonesia harus menaati aturan hukum mengenai perdagangan internasional, khususnya di bidang perdagangan minyak. Di sisi lain, Indonesia memiliki pengaturan nasional tersendiri mengenai minyak. Pengaturan tersebut didasarkan pada Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 yang menekankan bahwa pengelolaan sumberdaya minyak dikuasai oleh pemerintah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia. Kemudian Pasal 33 ayat (4) juga menyatakan Tarik menarik antar pengaturan perdagangan minyak internasional dengan pengaturan minyak nasional Indonesia tersebut menarik untuk ditelusuri lebih lanjut. Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk mengangkat judul “PENJABARAN PRINSIP-PRINSIP

HUKUM PERDAGANGAN MINYAK INTERNASIONAL DALAM

PENGATURAN MINYAK INDONESIA”

       

19 The Organization of Petroleum Exporting Countries, 2015, Member Countries, URL: https;//www.opec.org/opec _web/en/about_us/25.html, diakses pada 17 September 2015.

20 Pusat Teknologi Pengembangan Sumberdaya Energi-Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, 2014, Outlook Energi Indonesia 2014, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta, h. 16.


(25)

8

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, penulis merumuskan dua masalah yang akan dibahas. Adapun permasalahan tersebut antara lain:

1.  Apa sajakah prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam pengaturan

perdagangan minyak internasional?

2.  Bagaimana penjabaran prinsip-prinsip hukum perdagangan minyak

internasional dalam kebijakan pengaturan minyak Indonesia?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Dalam penulisan karya tulis yang bersifat ilmiah, perlu ditegaskan mengenai materi yang dibahas di dalamnya. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari menyimpangnya pembahasan materi dari pokok permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya, sehingga dapat diuraikan secara sistematis. Adapun ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut:

1. Dalam permasalahan pertama, ruang lingkup permasalahannya meliputi

pembahasan mengenai kerangka pengaturan (regulatory framework) dalam

instrumen hukum internasional yang mengatur perihal perdagangan minyak internasional. Penulis akan menginventarisir bentuk-bentuk peraturan yang

relevan dan mendalami sifat mengikatnya (bindingness) sehingga dapat

menggambarkan efektifitas pelaksanaannya (enforceability).

2. Dalam permasalahan kedua, ruang lingkup permasalahannya meliputi

pembahasan mengenai penjabaran prinsip-prinsip hukum perdagangan minyak internasional dalam kebijakan pengaturan minyak Indonesia. Penulis akan mengkaji kesesuaian antara kebijakan pengaturan minyak Indonesia


(26)

9

yang tersebar dalam beberapa undang-undang dengan prinsip-prinsip hukum perdagangan minyak internasional.

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:

1.4.1  Tujuan Umum

Tujuan umum dalam penulisan ini yaitu:

1. Untuk lebih memahami dan memperdalam pemahaman mengenai

prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam hukum internasional terkait perdagangan minyak internasional.

2. Untuk mengetahui penjabaran dan kesesuaian antara pengaturan minyak

Indonesia terhadap prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam pengaturan perdagangan minyak internasional.

1.4.2  Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus penulisan skripsi ini, yaitu :

1. Untuk mengetahui kesiapan kerangka hukum (legal framework),

khususnya Indonesia dalam melakukan perdagangan minyak

internasional berdasarkan pengaturan perdagangan minyak internasional.

2. Untuk mengetahui manfaat dari adanya pengaturan perdagangan minyak

internasional, khususnya dalam praktik perdagangan minyak

internasional oleh Indonesia, sehingga dapat ditentukan opsi-opsi mengenai kebijakan pengaturan di bidang perdagangan minyak.


(27)

10

1.5 Manfaat Penellitian

Penulisan skripsi ini diharapkan memberi manfaat sebagai berikut:

1.5.1  Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai pengaturan perdagangan minyak internasional. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi tambahan untuk pengembangan Ilmu Hukum secara umum, khususnya di bidang hukum internasional mengenai perdagangan internasional di bidang komoditi khusus seperti minyak.

1.5.2  Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi Pemerintah sebagai upaya pengembangan kerangka hukum maupun kebijakan-kebijakan khususnya dibidang perdagangan minyak internasional. Dengan demikian Pemerintah diharapkan dapat memaksimalkan potensi minyak dalam negeri untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia dan meningkatkan efisiensi penggunaan minyak dengan memperhatikan pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. 1.6 Landasan Teoritis

1.6.1  Teori Liberalisasi Perdagangan

Liberalisasi perdagangan atau dikenal juga dengan istilah perdagangan bebas menjadi fenomena global yang sangat penting dewasa ini. Hal tersebut sesuai

dengan pernyataan dari Nadeem Bhatti yakni: “Economic liberalization is getting

importance in recent literature throughout world. Liberalization may be effects asymmetrically; some firms may advantage whilst others looses, leading to


(28)

11

developing within industry deviation in industrial execution.21 Dalam pendapat tersebut perdagangan bebas mempunyai dua sisi, di satu sisi menguntungkan dan di sisi lain dapat merugikan.

Dari sudut pandang pertama, liberalisasi perdagangan dapat memberikan keuntungan. Hal tersebut sesuai dengan teori dari Adam Smith dalam bukunya yang

berujudul An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations. Adam

Smith mengemukakan sebagai berikut:

Between whatever places foreign trade is carried on, they all of them derive two distinct benefits from it. It carries the surplus part of the produce of their land and labour for which there is no demand among them, and brings back in return something else for which there is a demand. It gives value to their superfluities, by exchanging them for something else, which may satisfy part of their wants and increase their enjoyments. By means of it, the narrowness of the home market does not hinder the division of labour in any particular branch of art or manufacture from being carried to the highest perfection. By opening a more extensive market for whatever part of the produce of their labour may exceed the home consumption, it encourages them to improve its productive powers and to augment its annual produce to the utmost, and thereby to increase the real revenue of wealth and society” 22

Selain itu Smith juga berpendapat sebagai berikut:

The gains from international trade are reinforced by the increased competition that domestic producers are confronted with. This is another advantage, because international trade decreases the likelihood of domestic monopolies. Smith argues that free competition, though often not in the interest of the producers, is always beneficial to the public.

An additional beneficial aspect of international trade, namely that it transfers knowledge and technology between different nations. The adoption and use of new production techniques lead to productivity growth and thus to economic

       

21 Nadeem Bhatti et.al., 2011, “New Growth Theories and Trade Liberalization: Measurement of Effects of Technology Transfer on Pakistan’s Economy Modern Applied Science Vol. 5, No. 3; June 2011, Canadian Center of Science and Education, h. 85.

22 Anthony P. Thirlwall, 2000, Trade, Trade Liberalisation and Economic Growth: Theory and Evidence, African Development Bank, Economic Research Paper, h. 6.


(29)

12

development and an increase in wealth. Overall, international trade is beneficial to both the individual nations and the world as a whole.” 23

Berdasarkan pendapat tersebut, Smith memiliki pandangan yang optimistik terhadap perdagangan bebas dalam mendukung pertumbuhan ekonomi suatu negara. Akan tetapi pendapat tersebut menjadi tidak realistis jika dikaitkan dengan

perdagangan bebas tanpa hambatan. Hal tersebut sesuai dengan teori Comparative

Advantage dari David Ricardo sebagai berikut:

On the assumptions of perfect competition and the full employment of resources, countries can reap welfare gains by specialising in the production of those goods with the lowest opportunity cost and trading the surplus of production over domestic demand, provided that the international rate of exchange between commodities lies between the domestic opportunity cost ratios. These are essentially static gains that arise from the reallocation of resources from one sector to another as increased specialisation, based on comparative advantage, takes place. These are the trade-creation gains that arise within Customs Unions or Free Trade Areas as the barriers to trade are removed between members, but the gains are once-for-all. Once the tariff barriers have been removed, and no further reallocation takes place, the static gains are exhausted.” 24

Dari sudut pandang kedua, perdagangan bebas dapat menyebabkan kerugian bagi produsen atau industri rumah tangga yang tidak memiliki kemampuan bersaing yang berujung pada lemahnya sektor produksi dalam negeri. Selain itu, dengan adanya perdagangan bebas juga menyebabkan negara yang tidak mampu bersaing menjadi ketergantungan terhadap impor.

Meskipun memiliki dua sisi yang kontroversial, akan tetapi perkembangan liberalisasi tidak terelakan. Liberalisasi perdagangan menjadi fenomena global

        23

Reinhard Schumacher, 2012, “Adam Smith’s Theory of Absolute Advantage and the Use of Doxography in The History of Economics University of Potsdam” Erasmus Journal for Philosophy and Economics, Volume 5, Issue 2, Germany, h. 59-60.

24


(30)

13

tidak terlepas dari peran organisasi perdagangan internasional. Seperti yang dinyatakan oleh Thirlwall sebagai berikut:

In the world economy since 1950 there has been a massive liberalisation of world trade, first under the auspices of the General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), established in 1947, and now under the auspices of the World Trade Organisation (WTO) which replaced the GATT in 1993. Non-tariff barriers to trade, such as quotas, licenses and technical specifications, are also being gradually dismantled, but rather more slowly than tariffs. Regional Trade Agreements (RTAs) have also become very fashionable in the form of Free Trade Areas and Customs Unions. The WTO lists 76 that have been established or modified since 1948. The major ones are the European Union (EU); the North American Free Trade Area (NAFTA); Mercosur covering Argentina, Brazil, Paraguay, Uruguay and Chile; APEC, covering countries in the Asia and Pacific region; ASEAN covering South-East Asian countries, and SACU, covering countries in southern Africa.” 25

1.6.2  Teori Mengikatnya Hukum Internasional

Terdapat beberapa teori yang mencoba menjelaskan mengenai dasar kekuatan mengikat dari hukum internasional. Teori-teori tersebut antara lain:

1. Teori Hukum Alam (natural law)

Ajaran ini mula-mula mempunyai ciri-ciri keagamaan yang kuat, untuk pertama kalinya dilepaskan dari hubungannnya dengan keagamaan itu oleh Hugo Grotius. Dalam bentuknya yang telah disekularisir, hukum alam merupakan hukum ideal yang didasarkan atas hakekat manusia sebagai makhluk berakal atau kesatuan kaidah-kaidah yang diilhamkan alam pada akal manusia. Teori hukum alam menyatakan bahwa hukum internasional mengikat karena Hukum Internasional tidak lain daripada hukum alam, yang diterapkan pada kehidupan masyarakat bangsa-bangsa dikarenakan Hukum Alam merupakan hukum yang lebih tinggi. Teori hukum alam ini memiliki kelemahan yaitu pengertiannya yang abstrak dan tergantung pada penilaian subjektif. Akan tetapi karena idealismenya yang tinggi teori ini menimbulkan keseganan terhadap hukum internasional dan sekaligus dasar

bagi mengikatnya hukum internasional.26

2. Teori Kehendak Negara

Teori ini mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional pada karena kehendak dari negara untuk tunduk pada Hukum Internasional. Aliran ini didasarkan pada falsafah Hegel yang dahulu mempunyai pengaruh yang        

25

Anthony P. Thirlwall, Op.cit., h. 5.

26 Mochtar Kusumaatmadja, 1982, Pengantar Hukum Internasional, Buku I Bagian Umum, Binacipta, Bandung, h. 43-50. Lihat juga Boer Mauna, 2011, Hukum Internasional; Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Cet IV, PT. Alumni, Bandung. h. 6.


(31)

14

luas di Jerman. Salah satu orang yang paling terkemuka dari aliran ini adalah

George Jellineck dengan Shelbst-limitation-theorie-nya. Seorang pemuka

lain dari aliran ini adalah Zorn yang berpendapat bahwa hukum internasional itu tidak lain merupakan hukum tata negara yang mengatur hubungan luar suatu negara. Hukum internasional bukan sesuatu yang lebih tinggi yang mempunyai kekuatan mengikat diluar kemauan negara. Kelemahan dari teori ini yaitu teori ini tidak dapat menerangkan dengan memuaskan bagaimana caranya hukum dapat mengikat negara-negara dan bagaimana negara baru sejak munculnya dalam masyarakat hukum internasional sudah terikat dengan hukum internasional terlepas dari

kemauan negara tersebut.27

3. Teori Kehendak Bersama Negara

Triepel mengemukakan bahwa hukum internasional mempunyai kekuatan mengikat bukan karena kehendak satu persatu negara melainkan karena adanya kehendak bersama yang lebih tinggi dari kehendak masing-masing negara. Kehendak bersama ini tidak perlu dinyatakan secara spesifik,

melainkan diberikan secara diam-diam (implied). Teori ini mempunyai

kelemahan yaitu tidak dapat menjawab pertanyaan mengenai kekuatan mengikat dari hukum internasional dalam hal negara melepaskan diri dari

kekuatan mengikat tersebut.28

4. Mazhab Wiena

Menurut madzab ini bukan kehendak negara melainkan suatu norma hukumlah yang merupakan dasar terakhir dari kekuatan mengikat hukum internasional. Menurut madzab ini kekuatan mengikat suatu kaedah hukum internasional didasarkan suatu kaedah yang lebih tinggi yang pada gilirannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi lagi, demikian

seterusnya sampai pada kaidah dasar (grundnorm) yang tidak dapat lagi

dikembalikan pada suatu kaidah yang lebih tinggi, melainkan harus diterima adanya sebagai suatu hipotesis asal. Hans Kelsen yang dianggap sebagai

bapak dari Madzab Wiena mengemukakan azas “pacta sunt servanda

sebagai kaidah dasar (grundnorm) dari hukum internasional. Kelemahan

dari teori ini yaitu ketidakmampuannya dalam menjawab dasar

mengikatnya kaidah dasar (grundnorm).29

5. Mahzab Perancis

Madzab ini mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional pada faktor-faktor biologis, sosial dan sejarah kehidupan manusia yang

dinamakan fakta-fakta kemasyarakatan (fait social). Jadi dasar kekuatan

mengikat hukum internasional terdapat dalam kenyataan sosial bahwa hukum itu perlu mutlak bagi dapat terpenuhinya kebutuhan manusia

(bangsa) untuk hidup bermasyarakat.30

        27

Ibid. 28 Ibid. 29 Ibid. 30


(32)

15

1.6.3 Teori tentang Organisasi Internasional

Organisasi internasional adalah organisasi internasional yang dibentuk antar

pemerintah (intergovernmental organization). Walaupun harus diakui bahwa di

samping organisasi antar pemerintah masih dikenal organisasi non pemerintah atau

dikenal sebagai non-govermental organization (NGO).31

Menurut Sri Setianingsih Suwardi, status organisasi internasional dalam

hukum internasional adalah: 32

1. Sebagai subjek hukum internasional;

2. Membantu pembentukan hukum internasional;

3. Sebagai forum untuk membicarakan, mencari jalan yang dihadapi oleh

anggotanya;

4. Sebagai alat untuk memaksakan agar kaidah hukum internasional ditaati.

Organisasi internasional dapat berperan dalam membantu pembentukan

hukum internasional. Hal tersebut sesuai pendapat JG Starke yang menyatakan

keputusan dari organisasi internasional atau konferensi internasional dapat membantu pembentukan aturan hukum internasional dengan cara yang berbeda.

Sedangkan Mochtar Kusumaatmaadja berpendapat bahwa keputusan-keputusan

dari badan-badan legislatif, eksekutif maupun yudikatif dari lembaga-lembaga atau organisasi internasional itu tidak dapat diabaikan dalam suatu pembahasan tentang sumber-sumber hukum internasional, meskipun bukan dalam arti yang

sesungguhnya.33

        31

Sri Setianingsih Suwardi, 2004, Pengantar Hukum Organisasi Internasional, Cet. I, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, h. 5.

32 Ibid. h. 7. 33


(33)

16

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut jelas bahwa keputusan-keputusan dari perlengkapan organisasi internasional dapat membantu pembentukan hukum internasional. Apalagi organisasi internasional memiliki kemampuan dalam membentuk hukum mengikat bagi para anggotanya. Kemampuan tersebut baik

secara eksplisit maupun implisit telah ditentukan dalam anggaran dasarnya.34

1.7 Metode Penelitian

Penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodelogis dan konsisten. Oleh karena itu metodelogi penelitian yang diterapkan

harus sesuai dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya.35

Adapun metodologi penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1.7.1  Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini termasuk ke dalam penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian hukum yang mengkaji permasalahan dari segi hukum yang sumbernya berasal dari peraturan perundang-undangan, teori hukum, doktrin, dan perundang-undangan hukum sebagai dasar dan acuannya. Soerjono Soekanto mengidentikkan penelitian hukum normatif tersebut sebagai penelitian hukum kepustakaan yang mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematik hukum, penelitian terhadap taraf

sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum, serta sejarah hukum.36

        34

Sri Setianingsih Suwardi, Op.cit., h. 15-16.

35. H. Zainuddin Ali, 2010, Metode Penelitian Hukum, Cet. II, Sinar Grafika, Jakarta, h. 17. 36 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 12.


(34)

17

Dalam penelitian ini prinsip-prinsip hukum perdagangan minyak internasional di sinkronisasi dan dibandingkan dengan pengaturan minyak di Indonesia.

1.7.2  Jenis Pendekatan

Dalam penelitian hukum normatif terdapat beberapa jenis pendekatan,

antara lain:37

1. Pendekatan perundang-undangan (statute approach);

2. Pendekatan kasus (case approach),

3. Pendekatan historis (historical approach),

4. Pendekatan komparatif (comparative approach),

5. Pendekatan konseptual (conceptual approach),

Pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah:

1. Pendekatan Perundang-undangan (the statutory approach)

Penulis menelaah peraturan yang terkait dengan isu yang sedang ditangani. Peraturan yang dimaksud dalam skripsi ini adalah

instrumen-instrumen hukum internasional, yaitu: Energy Charter Treaty,

International Energy Programe Agreement, OPEC Statute dan ASEAN Petroleum Security Agreement. Penulis juga melakukan pendekatan dengan menelaah hukum nasional Indonesia, diantaranya: Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi.

       

37 Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Cet. VIII, Kencana Predana Media Group, Jakarta, h. 133.


(35)

18

2. Pendekatan Konsep Hukum (the conceptual approach)

Penulis menelaah konsep-konsep hukum yang terkandung dalam berbagai instrumen hukum primer maupun sumber lain yang terkait yang relevan dengan isu yang sedang ditangani. Melalui pendekatan peraturan ini akan dilihat fakta-fakta yang terjadi dilapangan selanjutnya dikaitkan dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Dalam penelitian ini, penulis menelaah konsep-konsep hukum yang terdapat dalam ECT, pengaturan dalam prakarsa IEA, OPEC dan ASEAN.

1.7.3  Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum dalam suatu penelitian yang bersifat normatif,

haruslah berdasar pada studi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.38

Adapun bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi, yaitu:

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum terutama berpusat pada

peraturan perundang-undangan. Bahan hukum primer ini bersifat otoritatif, artinya mempunyai otoritas, yaitu merupakan hasil tindakan atau kegiatan yang

dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk itu.39 Bahan hukum primer

yang digunakan, yaitu:

  Energy Charter Treaty;

  International Energy Programme Agreement;

  OPEC Statute

       

38. Hadin Muhjad, 2012, Penelitian Hukum Indonesia Kontemporer, Genta Publishing, Jogjakarta, h. 51.

39.


(36)

19

  ASEAN Petroleum Security Agreement

  Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi;

  Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal;

  Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi; dan

  Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2013 tentang

Pengesahan Asean Petroleum Security Agreement

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer.40 Bahan hukum sekunder yang digunakan

berasal dari buku literatur, majalah, makalah dan internet yang ada hubungannya dengan pengaturan perdagangan minyak internasional.

1.7.4  Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan-bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah teknik studi dokumen. Studi dokumen merupakan suatu

langkah awal dari setiap penelitian hukum.41 Teknik studi dokumen dilakukan

dengan mengumpulkan bahan hukum terhadap sumber kepustakaan yang sesuai dan berhubungan dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.

1.7.5  Teknik Analisis

Teknik analisis yang digunakan dalam penulisan ini, yaitu:42

1. Teknik Deskripsi, berupa uraian terhadap suatu kondisi hukum maupun

non-hukum, yang dalam penelitian ini digunakan untuk menggambarkan

        40.

Peter Mahmud Marzuki, Op.cit., h. 144.

41. Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, h. 68. 42. Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h. 75.


(37)

20

prinsip-prinsip pengaturan minyak baik secara internasional maupun pengaturan nasional Indonesia;

2. Teknik Evaluasi, berupa penilaian tepat tidak atau tepat, setuju atau tidak

setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah terhadap suatu pandangan, dalam penelitian ini digunakan untuk menilai kesesuaian pengaturan minyak Indonesia dengan pengaturan perdagangan minyak internasional;

3. Teknik Sistematisasi, berupa upaya mencari kaitan rumusan suatu

konsep hukum antara perundang-undangan yang sederajat maupun yang tidak sederajat, dalam penelitian ini pengaturan internasional dikaitkan dengan pengaturan nasional Indonesia.


(38)

21

BAB II

TINJAUAN UMUM

2.1 Tinjauan Umum tentang Minyak 2.1.1 Minyak sebagai Energi

Minyak atau disebut juga petroleum atau oil berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dari proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha minyak dan gas bumi.

Minyak merupakan salah satu jenis energi. Istilah komoditas energi akan digunakan untuk pernyataan-pernyataan yang mencakup bahan bakar maupun panas dan tenaga.1 Berdasarkan sumbernya, komoditas energi dibedakan menjadi dua jenis yaitu komoditas energi primer dan komoditas energi sekunder. Komoditas energi primer merupakan komoditas energi yang bisa ditambang atau diperoleh langsung dari sumber daya alam seperti minyak bumi, batubara padat, gas bumi, atau yang diproduksi dari komoditas primer.2 Seluruh komoditas energi yang bukan primer tetapi diproduksi dari komoditas primer disebut komoditas ”sekunder”. Energi sekunder berasal dari transformasi energi primer ataupun sekunder.

        1

International Energy Agency (IAEA)-OECD and Eurostat, 2005, Manual Statistik Energi, International Energy Agency (IAEA)-OECD and Eurostat, Selanjutnya disebut “Manual Statistik Energi, h. 17.

2


(39)

22

Pembangkitan listrik dengan membakar bahan bakar minyak merupakan salah satu contohnya. Jadi minyak tergolong dalam jenis energi primer dan juga membantu pembentukan energi sekunder.3

Menurut the Court of Justice of the Europian Union produk dari minyak bumi merupakan suatu kepentingan mendasar bagi keberadaan suatu negara, mengingat bukan hanya sektor ekonomi yang memerlukan minyak melainkan semua institusi negara, pelayanan publik yang esensial dan bahkan keberlangsungan kehidupan penduduk suatu negara bergantung pada produk minyak bumi.4

2.1.2 Minyak sebagai Komoditas dalam Perdagangan Internasional

Minyak merupakan salah satu komoditas dalam perdagangan internasional yang paling banyak diperdagangkan. Thomas Cottier menyatakan bahwa: Crude oil is treated as a global commodity and has been traded internationally since the 1860s.5 Melaku Geboye Desta bahwa: Petroleum is the largest primary commodity of international trade in terms of both volume and value.6Berdasarkan data yang dilansir International Trade Center, minyak (mineral fuels, mineral oils, and product of their distillation) merupakan salah satu dari 99 jenis objek yang paling banyak diperdagangkan secara internasional.7

        3

Ibid.

4

The Court of Justice of the Europian Union, Case Campus Oil Limited and others v. Minister for Industry and Energy and others, 1984, ECR-2727.

5

Thomas Cottier et. al., Op.cit., h. 3.

6

Melaku Geboye Desta, Loc.cit.

7


(40)

23

Sebagai salah satu komoditas yang paling banyak diperdagangkan, minyak selalu menjadi perbindangan secara internasional. Hal tersebut sesuai dengan yang dinyatakan oleh Thomas Cottier sebagai berikut:

Indeed, every time oil succeeds in occupying the news headlines, often because of a price hike or collapse and consequent concerted governmental intervention in the name of correcting market failures, while OPEC comes in as the embodiment of that concerted governmental intervention against market forces, the WTO is nowhere to be seen in its professed role as the guardian of those same forces. This raises the important question of whether or not the WTO has any role in the petroleum sector.”8

Berdasarkan pendapat tersebut dapat diketahui bahwa selain menjadi topik perbincangan, minyak juga menjadi komoditi khusus yang memilki pengaturan yang khusus pula. Pengaturan khusus tersebut meliputi adanya peran organisasi internasional, dalam hal ini OPEC dalam penentuan harga minyak global. Selain itu, karena kekhususannya masih terdapat keraguan terhadap peran WTO dalam mengatur perdagangan minyak internasional.

2.2 Tinjauan Umum tentang Hukum Energi Internasional

Hukum internasional mengalami perkembangan yang pesat. Senada dengan pendapat Kim Taulus sebagai berikut:

International law is in motion. Over the last decades, international law has developed and expanded from rules on armed conflict or formal diplomacy to deal with a wide range of areas and topic. Some call this development “fragmentation of international law”, other called it “specialization.”9

Fragmentasi hukum internasional tersebut dalam prakteknya menimbulkan suatu urgensi pengaturan tersendiri untuk bidang-bidang khusus dan tertentu. Salah satu bidang khusus yang memerlukan pengaturan dalam hukum internasional

        8

Thomas Cottier et. al., Loc.cit. 9


(41)

24

adalah energi. Industri energi merupakan salah satu industri yang paling dominan pada abad ke-21 ini, karena energi merupakan sumber kehidupan bagi ekonomi modern, khususnya sebagai bahan bakar baik untuk industri atau konsumsi pribadi. Mengingat peran penting energi dalam kehidupan dan nilai ekonomisnya yang tinggi, maka dibutuhkan spesialisasi di bidang hukum energi internasional, bahkan diperlukan institusi internasional yang mengakomodir di bidang energi.10

Adrian Bradbrook merupakan akademisi yang pertama kali mempublikasikan studi tentang “hukum energi”. Seperti yang dinyatakan oleh Wawryk sebagai berikut: Adrian Bradbrook has been a leading international academic in the field of energy law for many years, in particular in the fields of renewable energy and energy conservation.11

Adrian Bradbook mendefinisikan “energy law” sebagai berikut: the allocation of rights and duties concerning the exploitation of all energy resources between individuals, between individuals and the government, between governments and between states.12

Mengacu pada pendapat tersebut, dapat diketahui bahwa hukum energi internasional bukanlah hukum tunggal yang berlaku untuk semua negara dan mengatur mengenai produksi, perdagangan, transport dan konsumsi energi. Hukum energi memiliki cakupan yang luas dan terdiri dari tiga cabang. Seperti yang dijelaskan oleh Wawryk sebagai berikut:

        10

Research Handbook on International Law, Op.cit., h. 3.

11

Alexandra Wawryk, 2014, “International Energy Law: An Emerging Academic Discipline” Law as Change: Engaging with the Life and Scholarship of Adrian Bradbrook, University of Adelaide Press, South Australia,h. 223.

12


(42)

25

First, “law” refers to the principles enumerated in traditional sources of international law, such as treaties and customary international law. Although to date few, if any, principles of customary international law of specific relevance to energy have been identified, it has been argued there is a set of rules of customary international law valid for the international oil industry.

Secondly, “law” here refers to the internationalisation or global spread of national laws and regulatory principles relevant to energy law, so that we can see common principles of energy law applied across countries, even though there is no treaty binding the Parties to apply these principles of law. An example is the global spread of principles of national laws for deregulating national electricity and gas industries.

Thirdly, “law” here refers to principles of “soft law”, such as treaties expressed in non-mandatory language, and also the non-binding codes, guidelines, resolutions, directives, standards or model codes of international bodies, including intergovernmental organisations such as the International Atomic Energy Agency. While such guidelines and standards are not “hard” or binding law per se, their importance in regulating behaviour in the energy industries/markets cannot be underestimated.”13

Berdasarkan pendapat tersebut, hukum energi meliputi aturan dalam perjanjian internasional, hukum nasional dan regional, serta prinsip-prinsip yang yang dicetuskan oleh institusi antar pemerintah atau NGO yang secara bersama mengatur mengenai produksi, perdagangan, transport dan konsumsi energi. Hukum energi meliputi juga hukum yang berkaitan dengan penelitian dan pengembangan, eksplorasi, produksi, transportasi, investasi, bisnis dan perancangan kontrak, akses pasar, subsidi dan pajak, perdagangan, penyelesaian sengketa, permasalahan lingkungan dan lainnya.

2.3 Tinjauan Umum tentang Kaidah-Kaidah Perdagangan Internasional dalam GATT/WTO

WTO merupakan salah satu organisasi internasional yang berperan dalam melakukan unifikasi hukum perdagangan internasional. Bidang pengaturan

        13


(43)

26

perdagangan dalam kerangka WTO sangat luas. Hampir semua sektor perdagangan, seperti perdagangan jasa, penanaman modal, hingga hak atas kekayaan intelektual, menjadi bidang cakupan pengaturan WTO.14 Salah satu perjanjian internasional yang paling penting dalam WTO yaitu GATT. GATT terdiri dari 4 Part dan 38

Article. Part I terdiri dari 2 Articles yang mengatur mengenai prinsip Most Favored Nation (MFN). Part II terdiri dari 20 Articles yang mengatur mengenai prinsip

National Treatment, ketentuan khusus mengenai perfilman, kebebasan transit, anti-dumping, perpajakan, subsidi, perusahaan dagang milik negara, prinsip non-diskriminasi, dan pengecualian umum. Part III terdiri dari 12 Articles mengatur mengenai ketentuan teknis seperti amandemen, penarikan diri, lampiran dan aksesi. Sedangkan Part IV terdiri dari 4 Articles mengatur mengenai negara berkembang. Dalam GATT/WTO Agreement yaitu:

1. Most Favored Nation Treatment (MFN)

Gerard Liobl menjelaskan kaidah MFN yang terdapat dalam Article I GATT sebagai berikut:

This obliges members to grant each other unconditional most favoured nation treatment in their mutual trade relations, ie, any tariff or other concession given by a GATT/WTO member to a product originating from or detined for any other countries must be given immediately and unconditionally to like products originating from or destined for other members.”15

        14

Huala Adolf, 2005, Hukum Perdagangan Internasional, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 9-10.

15


(44)

27

Pada pokoknya klausula MFN ini adalah prinsip non-diskriminasi yang mensyaratkan suatu negara harus memberikan hak kepada negara lainnya sebagaimana halnya ia memberikan hak serupa kepada negara ketiga.16

2. Perlakuan Nasional (National treatment)

National treatment merupakan salah satu pengejewantahan dari prinsip non-diskriminasi yang terdapat di dalam Article III GATT. Klausul ini mensyaratkan suatu negara untuk memperlakukan hukum yang sama yang diterapkan terhadap barang-barang, jasa-jasa atau modal asing yang telah memasuki pasar dalam negerinya dengan hukum yang diterapkan terhadap produk-produk atau jasa yang dibuat di dalam negeri.17 Lebih lanjut lagi, Gerard Liobl menyatakan sebagai berikut: “WTO members …… should ensure that internal taxes, regulations and rewuirements are not used to discriminate against foreign products and thus to protect domestic products.”18

Prinsip prinsip MFN dan national treatment merupakan prinsip sentral dibandingkan dengan prinsip-prinsip lainnya dalam GATT. Kedua prinsip ini menjadi prinsip pada pengaturan bidang-bidang perdagangan yang lahir di dalam perjanjian putaran Uruguay.19

        16

Huala Adolf, 2005, Hukum Ekonomi Internasional, Suatu Pengantar, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, (Selanjutnya disebut “Huala Adolf II”), h. 31.

17

Huala Adolf II, Op.cit., h. 30.

18

Malcolm D. Evans, Op.cit., h. 701.

19


(45)

28

2.4 Tinjauan Umum tentang International Energy Agency (IEA) 2.4.1 Sejarah Terbentuknya IEA

The International Energy Agency atau Badan Energi Internasional (IEA) adalah badan yang berdiri sendiri yang didirikan pada bulan November 1974 dalam kerangka the Organisation for Economic Co-operation and Development atau Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) untuk melaksanakan program energi internasional. OECD didirikan berdasarkan the Convention on the Organization for Economic Co-operation and Development of 14th December 1960

merupakan forum yang unik dimana pemerintahan dari 30 negara bekerja sama untuk membahas tantangan globalisasi di bidang ekonomi, sosial dan lingkungan.20

IEA didirikan berdasarkan Decision of the Council Establishing an International Energy Agency of the Organization of 1974. Negara-negara anggota IEA yaitu: Australia, Austria, Belgia, Kanada, Republik Ceko, Denmark, Finlandia, Perancis, Jerman, Yunani, Hongaria, Irlandia, Italia, Jepang, Republik Korea, Luksemburg, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Polandia, Portugal, Republik Slowakia, Spanyol, Swedia, Swiss, Turki, Inggris, dan Amerika Serikat. Komisi Eropa juga berpartisipasi dalam IEA.21

2.4.2 Tugas dan Fungsi IEA

IEA melakukan program kerjasama secara menyeluruh di antara 28 negara dari 30 negara anggota OECD. Tujuan dasar IEA adalah:22

a. Untuk mengatur dan menyempurnakan sistem-sistem yang diperlukan untuk mengatasi gangguan pasokan minyak.

        20

Manual Statistik Energi, Op.cit., h. 2.

21

International Energy Agency (IAEA)-OECD and Eurostat, Op.cit., h. 2.

22 Ibid.


(46)

29

b. Untuk mempromosikan kebijakan-kebijakan energi yang tepat dalam kancah global melalui kerjasama dengan negara-negara non-anggota, kalangan industri dan organisasi-organisasi internasional.

c. Untuk mengoperasikan sistem informasi pasar minyak internasional yang berkelanjutan.

d. Untuk memperbaiki struktur pasokan dan permintaan pasar energi dunia, melalui pengembangan sumber energi alternatif dan peningkatan efisiensi penggunaan energi.

e. Untuk memperbaiki struktur pasokan dan pemakaian energi dunia dengan mengembangkan sumber-sumber energi alternatif dan meningkatkan penghematan energi.

f.  Untuk mempromosikan kerjasama internasional tentang teknologi energi. g. Untuk membantu pengintegrasian kebijakan lingkungan dan kebijakan energi.

2.4.3 Struktur Organisasi IEA

Sebagai suatu institusi internasional, IEA memiliki struktur internal yang dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. The Governing Board

The Governing Board merupakan organ utama (decision-making body) dalam IEA. Berdasarkan Article 4 Decision of the Council Establishing an International Energy Agency of the Organization of 1974, the Governing Board terdiri dari seluruh negara peserta IEA, merupakan organ yang menjadi sumber dari segala tindakan IEA dan memiliki kekuasaan untuk membuat rekomendasi dan mengambil kepurusan, kecuali ditentukan lain, dan kekuasaan untuk mendelegasikan kewewnangannya kepada organ lain dalam IEA. Dalam Article 5 dinyatakan bahwa the Governing Boards memiliki kewenangan untuk mendirikan organ dan prosedurnya yang diperlukan untuk berfungsinya IEA. Tugas dan fungsi dari the Governing Boards terdapat dalam


(47)

30

(a) The Governing Board shall decide upon and carry out an International Energy Program for co-operation in the field of energy, the aims of which are:

(i) development of a common level of emergency self-sufficiency in oil supplies;

(ii) establishment of common demand restraint measures in an emergency; (iii) establishment and implementation of measures for the allocation of

available oil in time of emergency;

(iv) development of a system of information on the international oil market and a framework for consultation with international oil companies;

(v) development and implementation of a long-term co-operation

programme to reduce dependence on imported oil, including: conservation of energy, development of alternative sources of energy, energy research and development, and supply of natural and enriched uranium;

(vi) promotion of co-operative relations with oil producing countries and with other oil consuming countries, particularly those of the developing world.

The Governing Board may adopt other measures of co-operation in the energy field which it may deem necessary and otherwise amend the Program by unanimity, taking into account the constitutional procedures of the Participating Countries.

(b) Upon the proposal of the Governing Board of the Agency the Council may confer additional responsibilities upon the Agency.

The Governing Board mengadakan Meetings at the Director General Level

(atau setara dengan itu) tiga sampai empat kali dalam satu tahun, yang membahas mengenai perkembangan energi global dan juga kinerja dari IEA. Hasil dari Governing Board Meetings tersebut berupa keputusan (Conclusion) yang mengikat seluruh negara pihak. The Governing Board juga memiliki tanggung jawab terhadap aspek administratif dari IEA, termasuk memberikan persetujuan program dan pendanaan (budget).23

2. The Stand Groups

        23

International Energy Agency, 2015, Organisation and Structure, URL:https://www.iea.org/aboutus/faqs/organisationandstructure/, diakses pada 28 Oktober 2015.


(1)

didukung oleh pejabat-pejabat tinggi yang relevan. Berdasarkan Pasal 8 Piagam ASEAN, Dewan Koordinasi ASEAN mempunyai tugas-tugas sebagai berikut:

(a) menyiapkan pertemuan-pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN; (b) mengoordinasikan pelaksanaan perjanjian-perjanjian dan

keputusan-keputusan Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN;

(c) berkoordinasi dengan Dewan-Dewan Komunitas ASEAN untuk meningkatkan keterpaduan kebijakan, efisiensi, dan kerja sama antar-mereka;

(d) mengoordinasikan laporan-laporan Dewan-Dewan Komunitas ASEAN kepada Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN;

(e) mempertimbangkan laporan tahunan Sekretaris Jenderal mengenai hasil kerja ASEAN;

(f) mempertimbangkan laporan Sekretaris Jenderal mengenai fungsi-fungsi dan kegiatan-kegiatan Sekretariat ASEAN serta badan-badan relevan lain; (g) menyetujui pengangkatan dan pengakhiran para Deputi Sekretaris Jenderal

ASEAN berdasarkan rekomendasi Sekretaris Jenderal; dan

(h) menjalankan tugas-tugas lain yang diatur dalam Piagam ini atau fungsi-fungsi lainnya seperti yang ditetapkan oleh Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN.

3. Dewan Komunitas ASEAN (ASEAN Community Council)

Dewan-Dewan Komunitas ASEAN terdiri atas Dewan Komunitas Politik-Keamanan ASEAN, Dewan Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic

Community Council), dan Dewan Komunitas Sosial Budaya ASEAN. Dewan

Komunitas ASEAN masing-masing mencakupi Badan-Badan Kementerian Sektoral ASEAN yang relevan. Negara Anggota masing-masing menunjuk perwakilan nasionalnya untuk setiap pertemuan Dewan Komunitas ASEAN. Dalam rangka mewujudkan tujuan-tujuan dari setiap tiga pilar Komunitas ASEAN, Dewan Komunitas ASEAN masing-masing:

(a)  menjamin pelaksanaan keputusan-keputusan Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN yang relevan;

(b)  mengoordinasikan kerja dari berbagai sektor yang berada di lingkupnya, dan isu-isu lintas Dewan Komunitas lainnya; dan


(2)

(c)  menyerahkan laporan-laporan dan rekomendasi-rekomendasi kepada Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN mengenai hal-hal yang berada di lingkupnya.

Dewan Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community

Council atau AECC) merupakan salah satu badan kementerian sektoral yang

mendapat banyak sorotan. ASEAN Economic Community (AEC) sendiri bertujuan untuk mengintegrasikan ekonomi regional pada tahun 2015. AEC memiliki karakter sebagai berikut: (a) a single market and production base, (b) a highly competitive economic region, (c) a region of equitable economic

development, and (d) a region fully integrated into the global economy.30

Dalam melaksanakan tugas di sektor ekonomi, AECC dibantu oleh badan-badan khusus. Salah satu badan-badan di bawah naungan AECC adalah ASEAN

Ministers on Energy Meeting (AMEM) atau Pertemuan Para Menteri Energi

ASEAN. AMEM merupakan salah satu forum dalam kerangka ASEAN

Economic Communities yang bertugas khusus di bidang energi. Selain itu

terdapat pula badan lain yaitu The ASEAN Centre for Energy (ACE) atau Pusat ASEAN untuk Energi.31

4. Badan Kementerian Sektoral (ASEAN Sectoral Ministerial Bodies)

Badan Kementerian Sektoral ASEAN masing-masing melingkupi para pejabat tinggi yang relevan dan badan-badan subsider untuk melaksanakan

        30

Association of South East Asian Nation, 2015, ASEAN Economic Community, URL: http://www.asean.org/communities/asean-economic-community, diakses pada 20 September 2015.

31

ASEAN Center for Energy, Introduction, URL:http;//aseanenergy.org/about-ace/introduction, diakses pada 11 Desember 2015.


(3)

fungsi-fungsinya sebagaimana tercantum pada Lampiran 1. Berdasarkan Pasal 10 Piagam ASEAN, Badan-Badan Kementerian Sektoral ASEAN

(a)  berfungsi sesuai dengan mandat masing-masing yang telah ditetapkan; (b)  melaksanakan perjanjian-perjanjian dan keputusan-keputusan Konferensi

Tingkat Tinggi ASEAN yang berada di lingkupnya;

(c)  memperkuat kerja sama di bidang masing-masing untuk mendukung integrasi dan pembangunan komunitas ASEAN; dan

(d)  menyerahkan laporan-laporan dan rekomendasi-rekomendasi kepada Dewan Komunitas masing-masing.

5. Sekretaris Jenderal ASEAN (Secretary General of ASEAN)

Sekretaris Jenderal ASEAN diangkat oleh Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN untuk masa jabatan lima tahun yang tidak dapat diperbarui, yang dipilih dari warga negara dari Negara-Negara Anggota ASEAN berdasarkan rotasi secara alfabetis, dengan pertimbangan integritas, kemampuan dan pengalaman profesional, serta kesetaraan gender. Sekretaris Jenderal juga menjabat sebagai Pejabat Kepala Administrasi ASEAN. Berdasarkan Pasal 10 Piagam ASEAN, Sekretaris Jenderal ASEAN wajib:

(a) menjalankan tugas dan tanggung jawab jabatan tinggi ini sesuai dengan ketentuan-ketentuan Piagam ini dan instrumen-instrumen ASEAN yang relevan, protokol-protokol, dan praktik-praktik yang berlaku;

(b) memfasilitasi dan memonitor perkembangan dalam pelaksanaan perjanjian-perjanjian dan keputusan-keputusan ASEAN, dan menyampaikan laporan tahunan mengenai hasil kerja ASEAN kepada KTT ASEAN;

(c) berpartisipasi dalam pertemuan-pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN, Dewan-Dewan Komunitas ASEAN, Dewan Koordinasi ASEAN, dan Badan-Badan Kementerian Sektoral ASEAN serta pertemuan-pertemuan ASEAN lain yang relevan;

(d) menyampaikan pandangan-pandangan ASEAN dan berpartisipasi dalam pertemuan-pertemuan dengan pihak-pihak eksternal yang sesuai dengan pedoman kebijakan yang telah disetujui dan mandat yang diberikan kepada Sekretaris Jenderal; dan

(e) merekomendasikan pengangkatan dan pengakhiran para Deputi Sekretaris Jenderal kepada Dewan Koordinasi ASEAN untuk mendapat persetujuan;


(4)

6. Komite Wakil Tetap ASEAN (Committee of Permanent Representative of ASEAN)

Negara Anggota ASEAN masing-masing mengangkat seorang Wakil Tetap untuk ASEAN dengan gelar Duta Besar yang berkedudukan di Jakarta. Para Wakil Tetap secara kolektif menjadi Komite Wakil Tetap, yang berkewajiban: (a)  mendukung kerja Dewan-Dewan Komunitas ASEAN dan Badan-Badan

Kementerian Sektoral ASEAN;

(b)  berkoordinasi dengan Sekretariat-Sekretariat Nasional ASEAN dan Badan-Badan Kementerian Sektoral ASEAN lain;

(c)  menjadi penghubung ke Sekretaris Jenderal ASEAN dan Sekretariat ASEAN dalam semua bidang yang relevan dengan kerjanya;

(d)  memfasilitasi kerja sama ASEAN dengan mitra-mitra eksternal; dan (e)  menjalankan fungsi-fungsi lainnya yang akan ditentukan oleh Dewan

Koordinasi ASEAN.

7. Sekretariat Nasional ASEAN (ASEAN National Secretariat)

Negara Anggota ASEAN masing-masing membentuk Sekretariat Nasional ASEAN yang:

(a)  bertugas sebagai focal point pada tingkat nasional;

(b)  menjadi penyimpan informasi mengenai semua urusan ASEAN pada tingkat nasional;

(c)  mengoordinasikan pelaksanaan keputusan-keputusan ASEAN pada tingkat nasional;

(d)  mengoordinasikan dan mendukung persiapan-persiapan nasional untuk pertemuan-pertemuan ASEAN;

(e)  memajukan identitas dan kesadaran ASEAN pada tingkat nasional; dan (f)  berkontribusi pada pembentukan komunitas ASEAN.

8. Badan Hak Asasi Manusia ASEAN (ASEAN Human Rights Body)

Selaras dengan tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip Piagam ASEAN terkait dengan pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi dan kebebasan fundamental, ASEAN wajib membentuk badan hak asasi manusia ASEAN. Badan hak asasi manusia ASEAN ini bertugas sesuai dengan kerangka acuan yang akan ditentukan oleh Pertemuan para Menteri Luar Negeri ASEAN.


(5)

9. Yayasan ASEAN (ASEAN Foundation)

Yayasan ASEAN wajib mendukung Sekretaris Jenderal ASEAN dan bekerja sama dengan badan-badan ASEAN yang relevan untuk mendukung pembentukan komunitas ASEAN dengan memajukan kesadaran yang lebih tinggi mengenai identitas ASEAN, interaksi antar-rakyat, dan kerja sama yang erat antar sektor bisnis, masyarakat sipil, akademisi dan para pemangku kepentingan lain di ASEAN. Yayasan ASEAN bertanggung jawab kepada Sekretaris Jenderal ASEAN, yang akan menyampaikan laporannya kepada Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN melalui Dewan Koordinasi ASEAN.

2.6.4 The ASEAN Council on Petroleum (ASCOPE)32

The ASEAN Council on Petroleum (ASCOPE) merupakan perhimpunan

perusahaan minyak nasional negara-negara di kawasan ASEAN. ASCOPE didirikan pada tanggal 15 October 1975 di Jakarta, Indonesia sebagai sebuah instrumen untuk kerjasama regional antar negara anggota. Negara anggota ASCOPE diwakili oleh perusahaan minyak nasional atau National Oil Companies (NOCs), atau jika suatu negara tidak mempunyai NOC, maka diwakili oleh pihak yang berwenang dibidang perminyakan.

Tujuan utama ASCOPE yaitu untuk mendukung negara anggota untuk meningkatkan kemampuan melalui mutual assistance atau bantuan di segala aspek dan tahap dalam bidang industri minyak. ASCOPE juga menyediakan instrumen untuk kerjasama di bidang minyak dan energi antar negara pihak. ASCOPE

        32

The ASEAN Council on Petroleum, 2015, URL: http://www.ascope.org/about-ascope.html, diakses pada 15 September 2015.


(6)

diharapkan dapat bersaing di pasar internasional dengan menciptakan dan memfasilitasi kesempatan bisnis di bidang perdagangan minyak.

Tujuan dari ASCOPE yang dinyatakan dalam the ASCOPE Declaration of

Establishment dan the Memorandum of Understanding yaitu:

1. Promote active collaboration and mutual assistance in the development of

petroleum resources in the region through joint endeavors in the spirit of equality and partnership;

2.  collaborate in the efficient utilization of petroleum;

3.  provide mutual assistance in personnel training and the use of research

facilities and services in all phases of the petroleum industry;

4.  facilitate exchange of information and promote capacity building among

Member Countries through conduct of various conferences and seminars;

5.  maintain close cooperation with existing international and regional

organizations with similar aims and purposes. ASCOPE conducts its programs and activities within the ASEAN concept.

Jadi ASCOPE memiliki tujuan untuk mempromosikan kerjasama regional yang saling menguntungkan di bidang sumber daya minyak berdasarkan semgangat persamaan dan kepercayaan; mengkolaborasikan penggunaan minyak yang efisien; menyediakan kerjasama yang saling menguntungkan di bidang pelatihan personil dan fasilitas penelitian serta jasa di bidang industri; memfasilitasi pertukaran informasi dan mempromosikan pembangunan melalui konferensi dan seminar; dan memelihara kerjasama yang sudah terjalin dengan organisasi internasional atau regional dengan tujuan serupa.