Tembang Macapat Kajian Teori

commit to user 19 moral dan budi pekerti dalam hubungannya dengan diri sendiri yaitu cerdas, kerja keras, bijaksana, sederhana, percaya diri, sabar, jujur, mawas diri, dan tidak putus asa. Adapun nilai-nilai Islami dalam hubungannya dengan orang lain diantaranya adil, empati, tenggang rasa, bertanggung jawab, dan aja dumèh. Penelitian Hasim dan Adi tersebut memiliki persamaan dengan penelitian ini yaitu sama-sama mengambil objek penelitian berupa tembang-tembang dalam naskah Jawa lama karya R. Ng. Ranggawarsita. Namun yang membedakan adalah dari tembang-tembang dalam naskah tersebut oleh Hasim dan Adi dicari nilai Islami yang berhubungan dengan pendidikan moral dan budi pekerti. Sedangkan dalam penelitian ini berdasarkan tembang-tembang dalam Sêrat Safingi dicari nilai pendidikan karakter Jawa yang terkandung didalamnya, untuk kemudian direlevansikan dengan pengajaran Bahasa Jawa.

B. Kajian Teori

1. Tembang Macapat

Padmosoekotjo 1956:21 mengungkapkan bahwa tembang merupakan sesuatu hal yang cara membacanya harus dilagukan. Tembang macapat merupakan bentuk karya sastra yang secara konvensi memiliki bentuk dan lagu dengan aturan dan tata cara tertentu, serta lazim disebut lagu macapat. Lagu macapat digunakan untuk membaca karya sastra yang berbentuk macapat, oleh kerena itu sering disebut juga sebagai lagu waosan Suparno, 2013:1. Macapat disebut pula puisi bertembang karena ditembangkan atau dilagukan berdasar commit to user 20 pada susunan titilaras atau notasi yang sesuai dengan pola metrumnya Prabowo, 2007:163 Sejarah macapat dimulai pada zaman Majapahit akhir, dimana pengaruh budaya Hindu semakin berkurang dan mulai munculnya pengaruh Islam. Hal ini dibuktikan dengan munculnya tembang-tembang macapat yang diciptakan oleh Walisanga. Misalnya tembang dhandhanggula yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga, asmarandana dan pocung diciptakan oleh Sunan Giri, dan tembang pangkur yang diciptakan oleh Sunan Drajat Sutardjo, 2006:16. Tembang macapat juga disebut sebagai tembang cilik, yang terdiri dari 11 sebelas tembang yaitu mijil, maskumambang, sinom, durma, asmarandana, kinanthi, dhandhanggula, gambuh, pangkur, megatruh, dan pocung Padmosoekatja, 1956:31. Soetardjo 2006:17 menjelaskan bahwa tembang-tembang macapat tersebut secara filosofis memiliki makna perjalanan hidup manusia dimulai sejak lahir sampai meninggal. Mijil merupakan simbol kelahiran seorang anak yang sifatnya prihatin karena menyambut kelahiran seorang anak dan terdapat perasaan senang karena putra yang diidamkan telah lahir. Tembang kedua adalah maskumbang yang merupakan simbol dari masa kanak-kanak.yang hanya diisi dengan bermain-main dan bersenang-senang. Adapun watak tembang tersebut adalah prihatin dan sedih, hal ini dikarenakan pada masa tersebut orangtua dipenuhi dengan perasaan khawatir dan was-was Sutardjo, 2011:34. Sinom merupakan simbol dimana seseorang sedang melalui masa pertumbuhan alami dalam lingkungan kekeluargaan dan dalam proses commit to user 21 menginjak masa remaja atau masa muda enom Rama, 2007:39. Watak tembang sinom cenderung digambarkan canthas „terlihat gagah‟ dan ethes „lincah‟. Oleh karena itu sangat cocok digunakan untuk memberikan petuah maupun sebagai penutup sebuah karangan. Tembang berikutnya adalah asmarandana, yang merupakan gambaran dimana seorang remaja mulai mengenal asmara. Oleh karena itu pada masa tersebut seseorang cenderung merasakan berbagai situasi perasaan, sehingga watak tembang tersebut adalah prihatin, sedih, dan kasmaran Mardimin, 1991:154 Tembang kinanthi merupakan gambaran dari masa pada saat hidup berumah tangga yang bersifat senang, kasih sayang dan bersatu. Berikutnya adalah dhandhanggula yang merupakan gambaran kehidupan awal berumah tangga yang memiliki sifat manis seperti gula atau menyenangkan. Tembang kedelapan adalah durma sebagai gambaran dari masa dimana seseorang memasuki masa tuanya, sehingga tembang ini memiliki sifat pemberani dan memiliki semangat tinggi Sutardjo, 2011:39. Gambuh merupakan gambaran dimana seseorang telah memasuki masa yang semakin matang baik lahir maupun batin. Hal ini disesuaikan dengan semakin matangnya usia seseorang. Watak tembang ini adalah persaudaraan dan sangat cocok digunakan untuk memberi petuah atau nasehat Mardimin, 1991:155. Tembang kesembilan adalah pangkur yang merupakan gambaran dari perjalanan hidup manusia yang mulai memasuki masa lanjut usia dan sudah mulai mengesampingkan urusan duniawi dan lebih mempersiapkan diri untuk menghadap Tuhan Sutardjo, 2011:36. Tembang tersebut memiliki commit to user 22 watak penuh semangat dan memiliki greget sehingga cocok pula untuk memberikan petuah Mardimin, 1991:155. Tembang kesepuluh yaitu megatruh yang berkeyakinan bahwa hidup ini kuat karena Allah dan bahagia karena keyakinan inna lillahi wa inna ilaihi roji’un „semua makhluk akan kembali kepada Allah‟ Rama, 2007:41. Tembang tersebut digambarkan sebagai masa dimana terpisahnya antara roh dengan jasad. Adapun watak tembang tersebut adalah sedih, prihatin, dan kecewa. Tembang yang terakhir adalah pocung yang merupakan gambaran akhir dari perjalanan hidup manusia di dunia yaitu setelah meninggal akan dipocong atau dipakaikan kain kafan. Watak tembang ini cenderung sembarangan atau seenaknya sendiri. Karena dalam kondisi seperti itu, manusia sudah tidak ingat apa-apa dan tidak dapat berbuat apa-apa lagi Sutardjo, 2006:18-19. Kesebelas tembang macapat tersebut mengandung petuah supaya manusia menyadari sepenuhnya bahwa kehidupan ini hanyalah bersifat semantara. Oleh karena itu perlu mempersiapkan diri sejak dini untuk menuju kehidupan berikutnya. Tembang-tembang macapat tersebut lazimnya ditulis dalam satu pupuh atau bait dan nama tembang di tuliskan langsung di atas cakêpan atau liriknya. Akan tetapi tembang macapat yang ditulis lebih dari satu pupuh seperti yang tertulis dalam naskah Jawa, penulisan nama tembang tidak ditulis secara jelas namun dengan menggunakan sasmita. Sasmita tembang menurut Prabowo 2007:268 adalah kata maupun gabungan kata yang digunakan sebagai pralambang atau penanda nama tembang. Sasmita tembang di awal pupuh commit to user 23 berfungsi sebagai penunjuk nama tembang dalam pupuh tersebut. Adapun sasmita tembang yang terletak pada akhir pupuh, menunjukkan nama tembang pada pupuh berikutnya. Kata-kata yang digunakan sebagai sasmita tembang macapat dalam Padmosokotjo 1956:58 diantaranya adalah mijil wijil, mêtu, sulastri; maskumambang kumambang, kentir, timbul; sinom srinata, anom, taruna; durma mundur dan galak; asmarandana asmara, kingkin, brangti; kinanthi kanthi dan gandheng; dhandhanggula sarkara, manis, guladrawa; gambuh embuh, jumbuh, kambuh; pangkur wuri, wuntat, tutwuri; megatruh pegat, duduk, truh dan pocung kluwak dan ancung. Ciri-ciri tembang macapat menurut Prabowo 2007:164 yaitu setiap bait atau pupuh memiliki jumlah tertentu dan setiap larik atau gatra berakhir dengan guru lagu asonansi tertentu. Padmosoekotjo 1958:35 menjelaskan mengenai penulisan pada dalam tembang yang terdiri dari beberapa gatra baris. Awal pupuh ditandai dengan adanya purwapada § b C § , sedangkan pupuh yang terletak di tengah-tengah menggunakan tanda yang disebut dengan madyapada § F ` § , dan pada akhir pupuh digunakan wasanapada § I § . Sebuah tembang macapat memiliki guru gatra, guru lagu, dan guru wilangan sebagai pedoman. Guru gatra adalah jumlah baris atau gatra dalam setiap tembang. Setiap tembang memiliki jumlah gatra yang sudah baku, misalnya tembang maskumambang ber-guru gatra 5, kinanthi ber-guru gatra 6, durma ber-guru gatra 7, dan sebagainya Soetardjo, 2011:23. Guru lagu menurut Prabowo 2007:110 merupakan pola selang-seling vokal akhir setiap commit to user 24 larik pada suku kata tembang macapat atau dengan kata lain persajakan akhir. Guru lagu sering pula disebut dengan dhong-dhing, misalnya guru lagu pada tembang asmarandana yaitu i, a, e, a, a, u, a. Guru wilangan adalah jumlah wanda atau suku kata pada setiap gatra tembang. Misalnya guru wilangan pada tembang dhandhanggula yaitu 10, 10, 8, 7, 9, 7, 6, 8, 12, 7 Padmosoekotjo, 1958:23. Masing-masing tembang memiliki perbedaan jumlah guru gatra, lagu, dan guru wilangan sebagai ciri khas yang membedakan antara tembang yang satu dengan lainnya. Hal ini dikarenakan tidak ada tembang yang memiliki guru gatra, lagu, dan guru wilangan yang sama. Perbedaan di dalam tembang macapat tersebut oleh Suparno disajikan dalam tabel berikut 2013:2-3. Tabel 1. Guru gatra, guru lagu, dan guru wilangan dalam tembang macapat No. Nama Tembang Gatra ke- 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1. Mijil 10i 6o 10e 10i 6i 6u 2. Maskumambang 12i 6a 8i 8a 3. Sinom 8a 8i 8a 8i 7i 8u 7a 8i 12a 4. Durma 12a 7i 6a 7a 8i 5a 7i 5. Asmarandana 8i 8a 8e 8a 7a 8u 8a 6. Kinanthi 8u 8i 8a 8i 8a 8i 7. Dhandhanggula 10i 10a 8e 7u 9i 7a 6u 8a 12i 7a 8. Gambuh 7u 10u 12i 8u 8o 9. Pangkur 8a 11i 8u 7a 12u 8a 8i 10. Megatruh 12u 8i 8u 8i 8o 11. Pocung 12u 6a 8i 12a commit to user 25

2. Pendekatan Semiotik

Dokumen yang terkait

Makna Simbolik Upacara Pernikahan Adat Jawa Di Hajoran Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan

8 102 65

NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM SERAT TRIPOMO DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMBELAJARAN APRESIASE SASTRA JAWA (KAJIAN HEURISTIK DAN HERMINUITIK).

0 5 18

Nilai pendidikan karakter dalam lakon dewa ruci dan relevansinya dengan pembelajaran bahasa jawa di sekolah COVER

0 1 13

ANALISIS STILISTIKA DAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM GEGURITAN SOLOPOS BULAN DESEMBER 2012 SERTA RELEVANSINYA DENGAN PEMBELAJARAN BAHASA JAWA DI SEKOLAH.

0 0 15

MAKNA SIMBOLIK RELIEF SUDAMALA DAN GARUDEYA DI CANDI SUKUH RELEVANSINYA DENGAN PENGEMBANGAN NILAI-NILAI KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN IPS SEJARAH.

0 0 17

Struktur Dan Makna Lelakaq Sasak Serta Relevansinya Dengan Pengajaran Bahasa Dan Sastra Indonesia 000002

0 1 1

Nilai Pendidikan Jawa Dalam Tantri Kamandaka Dan Tantri Kediri (Sebuah Pendekatan Intertekstualitas) SAMPUL

1 9 21

MAKNA SIMBOLIK DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER JAWA DALAM SÊRAT SAFINGI SERTA RELEVANSINYA DENGAN PENGAJARAN BAHASA JAWA (Sebuah Pendekatan Semiotik) - UNS Institutional Repository

0 0 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KAJIAN TEORI, DAN KERANGKA BERPIKIR A. Tinjauan Pustaka - MAKNA SIMBOLIK DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER JAWA DALAM SÊRAT SAFINGI SERTA RELEVANSINYA DENGAN PENGAJARAN BAHASA JAWA (Sebuah Pendekatan Semiotik) - UNS Institutional Repo

0 0 32

NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER PADA SERIAL KARTUN UPIN DAN IPIN SERTA RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN KARAKTER

3 22 79