Pasal 1 Angka 3 UU Kehutanan Menimbulkan Ketidakpastian

31 hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum akibat berlakunya ketentuan Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan;

3.2. Pasal 1 Angka 3 UU Kehutanan Menimbulkan Ketidakpastian

Hukum terhadap Status Kawasan Hutan 1. Bahwa menurut Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan menentukan bahwa ”Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.”; 2. Bahwa untuk menentukan sebuah kawasan sebagai kawasan hutan harus dilakukan kegiatan pengukuhan kawasan hutan yang menurut ketentuan Pasal 14 ayat 1 UU Kehutanan yang menyatakan: “Berdasarkan inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pemerintah menyelenggarakan pengukuhan kawasan hutan.” Selanjutnya agar memberikan kepastian hukum atas suatu kawasan hutan, maka harus dilakukan kegiatan pengukuhan kawasan hutan bukan kegiatan penunjukan danatau penetapan kawasan hutan sebagaimana Pasal 14 ayat 2 UU Kehutanan yang menyatakan: “Kegiatan pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, dilakukan untuk memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan.” 3. Bahwa kegiatan penunjukan kawasan hutan adalah merupakan bagian dari kegiatan pengukuhan kawasan hutan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 15 UU Kehutanan yang menyatakan: 1 Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan melalui proses sebagai berikut: a. Penunjukan kawasan hutan b. Penataan batas kawasan hutan c. Pemetaan kawasan hutan, dan d. Penetapan kawasan hutan 32 2 Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah. 4. Bahwa Penjelasan ketentuan Pasal 15 ayat 1 UU Kehutanan dinyatakan bahwa: “Penunjukan kawasan hutan adalah kegiatan persiapan pengukuhan kawasan hutan, antara lain berupa: a. Pembuatan peta penunjukan yang bersifat arahan tentang batas luar; b. Pemancangan batas sementara yang dilengkapi dengan lorong-lorong batas; c. Pembuatan parit batas pada lokasi-lokasi rawan; dan d. Pengumuman tentang rencana batas kawasan hutan, terutama di lokasi-lokasi yang berbatasan dengan tanah hak. 5. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3, Pasal 14, Pasal 15 dan Penjelasan Pasal 15 ayat 1 UU Kehutanan, pengertian kawasan hutan yang hanya ditafsirkan sebagai kegiatan penunjukan, bukan dengan kegiatan pengukuhan kawasan hutan menimbulkan ketidakpastian hukum kawasan hutan. Penunjukan kawasan hutan merupakan kegiatan awal dalam pengukuhan kawasan hutan yang secara runtut meliputi kegiatan penunjukan kawasan hutan, penataan batas kawasan, pemetaan kawasan hutan, dan penetapan kawasan hutan. Dengan kalimat lain bahwa penetapan kawasan hutan merupakan kegiatan penutup dari pengukuhan sebuah kawasan sebagai kawasan hutan. 6. Bahwa dengan adanya tafsir yang dilakukan sepihak oleh Kementerian Kehutanan terhadap pengertian kawasan hutan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan yang menyatakan bahwa penunjukkan sudah mempunyai kekuatan hukum, maka berdampak kepada pelaksanaan penegakan hukum di bidang kehutanan yang 33 tidak adil dan melanggar hak konstitusional bagi Para Pemohon; 7. Bahwa akibat ditafsirkannya kawasan hutan dengan hanya penunjukan, maka mengakibatkan adanya ketidakpastian hukum dalam menentukan sebuah kawasan sebagai kawasan hutan dan tumpang tindih dalam pemberian izin kawasan hutan; 8. Bahwa ketidakjelasan pengertian kawasan hutan juga ditemukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia BPK RI, di mana pada pemeriksaan semester II Tahun 2009 telah melaksanakan pemeriksaan kinerja atas kegiatan pengukuhan kawasan hutan Tahun Anggaran 2005 s.d 2009 pada Departemen Kehutanan, Dinas Kehutanan Provinsi dan Instansi terkait lainnya di Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Kalimantan Timur dan DKI Jakarta. Hasil Pemeriksaan BPK RI menyimpulkan bahwa pelaksanaan kegiatan pengukuhan kawasan hutan masih kurang ekonomis dan efektif karena kelemahan kebijakan dan pelaksanaan kegiatan; 9. Bahwa berdasarkan kegiatan audit BPK RI tersebut dapat disimpulkan bahwa kegiatan yang dilakukan dalam rangka memberikan kepastian hukum terhadap kawasan hutan adalah melalui kegiatan pengukuhan kawasan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 14 ayat 2 UU Kehutanan, bukan dengan penunjukan danatau penetapan kawasan hutan sebagaimana diatur sesuai ketentuan Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan, yang memberikan pengertian tentang kawasan hutan yang kelirusalah; 10. Bahwa terdapat kesalahan implementasi pengertian kawasan hutan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan, adanya kebijakan yang dilakukan oleh Kementerian Kehutanan dalam menentukan luas kawasan hutan di beberapa Provinsi berdasarkan hasil audit kinerja pengukuhan kawasan hutan, pada semester II Tahun 2009 34 oleh BPK RI. Beberapa Provinsi tersebut dapat digambarkan secara lebih rinci sebagai berikut:

a. Provinsi Sumatera Utara