Setia pada Kesepakatan, Kerjasama, Independen Bekerja Disiplin, Sistematis, Efisien dan Efektif

2. Cenderung pada Kebenaran dan Gelisah pada Kontradiksi

Pendekatan deduktif ini melatih kita untuk selalu mengejar dengan pertanyaan “Mengapa begitu?” Kita tidak puas, jika kebenaran belum terbuktikan sesuai dengan hukum penarikan kesimpulan. Ada hukum silogisme, hukum modus ponens dan modus tolens. Ada bukti dengan induksi matematika, ada pula bukti tak langsung, yaitu dengan kontradiksi. Kita yakin benar bahwa kontradiksi pasti salah. Kita gelisah dengan adanya kontradiksi. Nah. Jika pola pikir ini kita biasakan, kita akan terhindar dari tahayul, khurafat, klenik, mistik yang tidak ada dasarnya. Tetapi harus diingatkan juga bahwa ada kebenaran yang mungkin belum atau tidak terjangkau akal, tetapi ada dasar naqli yaitu ayat Allah atau sunnah Rasul.

3. Penghayatan Kesemestaan

Ketika belajar Himpunan, atau menentukan himpunan penyelesaian persamaan, kita dibatasi oleh himpunan semesta. Pada hakekatnya, ada dua nilai dalam hal ini. Pertama, ada keterbatasan. Kedua, kita tidak boleh melewati batas itu. Sekalipun kita tahu, bahwa himpunan semesta dapat dibuat yang lebih luas lagi, namun keterbatasan tetap ada. Hal lain lagi, bahwa soal yang sama, jika semestanya berbeda, menyebabkan penyelesaian yang berbeda. Contoh: penyelesaian 1+1 bisa 2, 0, atau 10 tergantung semestanya. Nilai di sini adalah penyesuaian diri terhadap peraturan yang ditetapkan. Nah, bila nilai-nilai ini kita terapkan dalam kehidupan sosial, atau pun dalam hubungan kita dengan Tuhan, kita akan selamat. Ini menyadarkan kita, bahwa manusia tidak layak bersifat sombong, karena ia mempunyai keterbatasan.

4. Keyakinan akan Kepastian, Kemungkinan dan Kemustahilan

Ketika belajar Teori Kemungkinan, kita kenal kepastian, kemustahilan dan kemungkinan. Dengan nilai kemungkinan, kita bisa memperbanyak frekuensi harapan dengan memperbanyak percobaan. Nilai yang dapat dipetik adalah kepercayaan kepada takdir Tuhan. Ada takdir yang dipastikan, misalnya kita pasti mati, dan sebaliknya mustahil kekal, ada takdir yang tersembunyi, seperti jodoh, rezeki, langkah dan waktu ajal kita. Nah, yang disembunyikan ini, mendorong kita untuk berusaha sekuat-kuatnya sehingga frekuensi harapannya makin besar.

5. Kemandirian, Kesabaran, Kejujuran, Tanggungjawab, Pengenalan Jati Diri.

Ketika kita mengerjakan soal matematika, kita betul-betul dituntut bekerja secara individual memahami soalnya, menuliskan diketahui dan ditanyakan, menggambarnya, memilih strateginya, mengolahnya, memeriksa kembali, menguji kebenarannya, menjelaskan kepada orang lain guru tentang jalan pikiran kita. Bila terasa agak sukar, kita berusaha terus dengan sabar. Bila dengan cara ini mengalami kebuntuan, kita coba cara lain. Menulis dan menggambarnya harus cermat, bersih dan rapih. Bila sudah mendekati kebenaran, tetapi belum pas benar, ada bisikan keragu-raguan, “sepertinya ini belum benar”, dan pasti kita tidak membohongi diri kita dengan mengatakan ini sudah benar. Mengapa? Karena logika matematika dalam penarikan kesimpulan sudah sangat canggih, tak diragukan lagi. Kita juga tidak dapat melempar tanggung jawab penyelesaian soal kepada orang lain. Soal yang belum terpecahkan, membuat kita penasaran, dan berusaha keras untuk memecahkannya. Pada akhirnya, kita makin mengenali diri, di bagian mana kita sangat mampu, sedang-sedang saja, atau kurang mampu. Dengan demikian kita mawas diri, untuk memperbanyak latihan di bagian yang lemah. Bukankah semua ini merupakan perilaku yang terpuji?

6. Setia pada Kesepakatan, Kerjasama, Independen

Dalam matematika ada yang disebut konvensi atau semufakatan, antara lain penetapan 0 sebagai titik acuan pada garis bilangan, kemudian dimufakati bahwa di sebelah kiri 0 terletak bilangan negatif, di sebelah kanan 0 terletak bilangan positif. Dimufakati pula bahwa di atas 0 untuk bilangan positif, dan di bawah 0 untuk bilangan negatif. Walaupun kita tidak hadir dalam penetapan itu, kita tetap setia mengikutinya, dan bila kita melanggar kesepakatan itu, kita dianggap tidak normal. Kesepakatan dalam matematika berlaku universal. Ini mengajarkan kita bersikap konsisten, berpegang teguh pada aturan yang disepakati. Dengan dasar ini kita bisa berdiskusi memecahkan masalah bersama, dengan pencapaian hasil yang sama. Bila kita tidak sepakat pada awalnya, tidak mungkin kita bisa bertukar pikiran, sebagaimana geometri Euclid tidak bisa dipakai pada soal-soal geometri Riemann dan geometri Lobachevsky. Euclid mengatakan, melalui satu titik di luar sebuah garis, hanya dapat dibuat tepat satu garis yang sejajar. Riemann dan Lobachevsky tidak bisa menerima itu, ada yang mengatakan banyak garis sejajar yang dapat dibuat, ada yang mengatakan tidak ada garis sejajar yang dapat dibuat. Euclid, Riemann dan Lobachevsky merupakan contoh independensi dalam berpikir. Mereka tidak saling menyalahkan, karena tidak ada alasan menyalahkannya, tetapi juga tidak ada alasan untuk menerimanya, karena, itu aksioma. Mereka sama- sama dapat keberuntungan. Lain lagi, contoh orang-orang yang independen dalam keyakinan, tetapi mereka dizalimi, namun mereka tetap teguh dengan keyakinannya. Mereka adalah Galileo dalam keyakinan sains, dan Bilal dalam keyakinan agama.

7. Bekerja Disiplin, Sistematis, Efisien dan Efektif

Mengerjakan soal matematika melalui prosedur yang sangat terkontrol, baik melalui pendekatan deduktif, maupun dengan induktif. Tidak dibenarkan mendahulukan yang kemudian, atau membelakangkan yang terdahulu. Jika yang belum diterima kebenarannya dijadikan alasan untuk membenarkan sesuatu, jika yang belum didefinisikan, digunakan untuk mendefinisikan sesuatu, maka ini akan kacau, absurd, dan ruwet. Susunan informasi dari yang diketahui menuju ke yang ingin dicari, disusun dengan cara yang sistematis, menggunakan lambang-lambang, istilah-istilah yang efisien, singkat tapi padat dan jernih tidak ambigu atau mendua arti, dan efektif langsung menuju sasaran, tidak berbunga-bunga. Kalau saja ini menjadi kebiasaan, maka begitu pulalah ia bekerja dalam kehidupan lainnya.

8. Fleksibel, Imaginatif, Kreatif