Pembenaran adanya yang awal. Cenderung pada Kebenaran dan Gelisah pada Kontradiksi

PENDIDIKAN MATEMATIKA BERKARAKTER Oleh: Drs. Mohammad Soleh, M. Ed. Abstrak Jika anda mengamati jenis matapelajaran dalam struktur kurikulum, Beberapa mata pelajaran didahului kata pendidikan Pendidikan Agama, Pendidikan kewarganegaraan, Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan, dan beberapa lagi didahului kata ilmu Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial. Ada tiga mata pelajaran yang tidak diberi label pendidikan atau ilmu, yaitu: Matematika, Bahasa dan Seni. Ketiga matapelajaran ini memang ditengarai memiliki kekhasan fungsinya, berturut-turut sebagai ratu dan pelayan ilmu, alat komunikasi, dan apresiasi rasa keluhuran dan keindahan. Jika semesta pembicaraan ada pada level tinggi, fakta ini memang benar, tetapi jika semesta pembicaraan kita pada level sekolah, ada kegalauan hati, khawatir terjadi penafsiran yang menggelincirkan, seolah-olah ketiga mata pelajaran ini terbebas dari fungsi pendidikan, mereka hanya sekedar alat. Karena itu, tulisan ini ingin mengedepankan fungsi pendidikan pada mata pelajaran Matematika. Pendidikan pada dasarnya memfasilitasi peserta didik untuk mengembangkan potensi diri yang diberikan Allah swt, mulai dari fitrah, jati diri sebagai dampak pertumbuhan sel DNA dan kejiwaan sebagai dampak asuhan kedua orangtuanya, sampai membentuk karakter sebagai dampak pengaruh lingkungan dan pendidikan, sampai akhirnya berwujud menjadi kepribadian anak tersebut. Apakah mata pelajaran Matematika tidak berperan dalam proses pendidikan ini? Menggali peran Matematika dalam pendidikan, dapat dilakukan dari dua arah, yaitu dari materi matematika yang disarikan menjadi nilai-nilai pembentuk karakter, atau dari jenis karakter ada 18 karakter versi Kemdikbud yang dicarikan materi matematikanya. Karena itu tulisan ini akan berupa serial. Serial pertama ini meninjau materi matematika yang disarikan nilai karakternya. Semoga bermanfaat. Kata Kunci: Pendidikan, Matematika, Karakter A. NILAI-NILAI YANG TUMBUH DALAM PENDIDIKAN MATEMATIKA Pendidikan matematika yang menjadi pilihan kita, dipandang sebagian orang sebagai pendidikan akal semata. Namun, banyak bukti dari pengalaman ilmuwan, bahwa dengan mengoptimalkan fungsi akal untuk mendapatkan ilmu, terbentuk pula kesadaran bahwa ada sesuatu dibalik akal, yang masih tak terungkapkan, terbentuk pula kebiasaan-kebiasaan bekerja yang bernilai baik, seperti cermat dan sistematis. Salah satu contoh adalah pengakuan Einstein, tentang ilmu tanpa agama, dan agama tanpa ilmu. Kita pun pernah merasakan bahwa akal kita mulai bekerja, karena ada bisikan kalbu ilham. Makalah ini mencoba menggali nilai-nilai dan pembentukan kepribadian yang mungkin dapat dilakukan dalam pendidikan matematika. Dalam upaya ini, saya mencoba menelusuri pengalaman ketika saya belajar atau mengajar matematika, atau pun dari beberapa sumber bacaan yang tidak begitu banyak. Nilai-nilai benar, baik atau indah dalam bahasan ini antara lain: pembenaran ada yang awal sistem aksioma; cenderung pada kebenaran dan gelisah pada kontradiksi; penghayatan kesemestaan; keyakinan akan kepastian, kemungkinan dan kemustahilan; kemandirian, kesabaran, kejujuran, tanggungjawab, pengenalan jati diri; setia pada kesepakatan, kerjasama, independen; bekerja disiplin, sistematis, efisien dan efektif; fleksibel, imaginatif, kreatif; berminat, termotivasi, menyenangi pekerjaan, berusaha mencari kepuasan maksimal dari hasil pekerjaan; menghargai keteraturan dan keindahan.

1. Pembenaran adanya yang awal.

Ketika kita belajar Geometri Deduktif, pertama kali dihadapkan pada aksioma-aksioma, yaitu pernyataan yang kebenarannya tak perlu dibuktikan, baik karena sudah begitu jelas diterima akal atau memang harus diterima begitu saja. Barulah kita dihadapkan pada pernyataan-pernyataan lain yang harus dibuktikan kebenarannya. Pernyataan seperti ini disebut dalil. Dalil yang telah dibuktikan dapat dipakai sebagai argumen untuk membuktikan pernyataan berikutnya lagi. Demikian seterusnya. Jadi, bila kita telah berada pada pernyataan keseratus, kita dapat berargumen secara mundur terus menerus sampai pada aksioma. Seandainya tidak ditetapkan aksioma, ada dua kemungkinan, yaitu argumen itu mundur terus menerus tak berkesudahan regressus in infinitum, atau terjadi pemutaran balik ke argumen semula circulus in probando. Jadi, yang awal harus ada. Demikian juga halnya dengan proses pendefinisian. Harus ada pengertian pangkal yang tak perlu didefinisikan, yaitu yang dapat dimengerti begitu saja. Nah. Pola pikir ini coba diterapkan dalam mencari tahu dari mana kita berasal. Pada akhirnya tentu ada yang menciptakan yang ia sendiri tiada diciptakan. Ini adalah inti keimanan kepada Tuhan, wujud, qidam, baqa’.

2. Cenderung pada Kebenaran dan Gelisah pada Kontradiksi

Pendekatan deduktif ini melatih kita untuk selalu mengejar dengan pertanyaan “Mengapa begitu?” Kita tidak puas, jika kebenaran belum terbuktikan sesuai dengan hukum penarikan kesimpulan. Ada hukum silogisme, hukum modus ponens dan modus tolens. Ada bukti dengan induksi matematika, ada pula bukti tak langsung, yaitu dengan kontradiksi. Kita yakin benar bahwa kontradiksi pasti salah. Kita gelisah dengan adanya kontradiksi. Nah. Jika pola pikir ini kita biasakan, kita akan terhindar dari tahayul, khurafat, klenik, mistik yang tidak ada dasarnya. Tetapi harus diingatkan juga bahwa ada kebenaran yang mungkin belum atau tidak terjangkau akal, tetapi ada dasar naqli yaitu ayat Allah atau sunnah Rasul.

3. Penghayatan Kesemestaan