Akibat kenaikan harga bahan bakar BBM dalam negeri dan meningkatnya harga komoditi
pangan, angka inflasi memang mengalami peningkatan yang cukup tajam sepanjang tahun
2008 ini. Inflasi kumulatif untuk delapan bulan pertama tahun 2008 Januari‐Agustus
mencapai 8,85 persen yang jauh lebih tinggi dibandingkan angka inflasi pada periode yang
sama tahun‐tahun sebelumnya. Namun untuk keseluruhan tahun 2008 angka inflasi
diperkirakan akan berkisar antara 11 ‐ 12,5, yang berarti lebih rendah dari angka inflasi
tahun 2005 yang mencapai 17,11 persen, tahun dimana sama‐sama diberlakukannya
kenaikan harga BBM. Selain karena persentase kenaikan harga BBM yang lebih kecil, lebih
rendahnya angka inflasi pada tahun 2008 dibanding tahun 2005 dimungkinkan karena
terjaganya nilai tukar yang lebih stabil pada tahun 2008. Pada tahun 2005 kurs rupiah
tidak saja terdepresiasi melemah sebesar 5,13 persen, tetapi juga sangat berfluktuatif
pada kisaran Rp 9.133 – Rp 10.876 per dollar AS. Sementara itu kenaikan harga BBM pada
Oktober 2005 mencapai rata‐rata 126 persen.
I nflasi Kumulatif 2006 - 2008
8.85 17.11
3 6
9 12
15 18
J a
n u
a ry
F e
b ru
a ry
M a
rc h
A p
ri l
M a
y J
u n
e J
u ly
A u
g u
s t
S e
p te
m b
e r
O c
to b
e r
N o
v e
m b
e r
D e
c e
m b
e r
2006 2007
2008 2005
Sumber: Badan Pusat Statistik
Namun ”keberhasilan” menekan defisit anggaran tidaklah menjadi ukuran kinerja
kebijakan fiskal yang baik, karena bersamaan dengan itu Indonesia kehilangan
kesempatan untuk tumbuh dengan lebih cepat dan penciptaan lapangan pekerjaan lebih
banyak. Kesinambungan pertumbuhan ekonomi dalam jangka menengah menjadi
terganggu akibat ketidakmampuan pemerintah untuk melakukan pengeluaran‐
pengeluaran modal capital spending yang sangat dibutuhkan untuk mendukung
perekonomian. Kelambanan realisasi belanja pemerintah juga bukanlah suatu prestasi
yang dapat dibanggakan, sehingga revisi Keppres 80 tentang Pengadaan Barang dan Jasa
mutlak diperlukan. Perbaikan‐perbaikan dalam pelaksanaan anggaran yang juga
melibatkan departemen lain dan pemerintah daerah harus segera dilakukan kalau kita
tidak ingin kehilangan kesempatan emas momentum untuk tumbuh dengan lebih baik.
09. SBI
Biaya operasi moneter yang besar yang harus ditanggung oleh Bank Indonesia juga perlu
mendapatkan perhatian. Tercatat setiap tahunnya dibutuhkan dana sekitar lebih dari Rp.
22 triliun untuk membayar bunga SBI dan FasBI; apalagi dengan kecenderungan jumlah
Operasi Pasar Terbuka SBI dan FasBI yang makin meningkat menjadi sekitar Rp. 300
triliun. Besarnya jumlah bunga SBI dan FasBI ini juga akan menimbulkan semakin
Ker angk a Acuan Munas Kadin ke V - -
6 17
banyaknya likuiditas di pasar, dan kalau tidak segera dibenahi akan dapat membawa kita
ke arah perangkap likuiditas liquidity trap dimana keijakan moneter akan menjadi tidak
efektif lagi.
10. Logistik
Sektor logistik merupakan urat nadi bagi perdagangan dalam negeri maupun
internasional. Sektor logsitik juga merupakan faktor penentu upaya menghilangkan
kesenjangan antara daerah, yang berati juga menentukan keberhasilan pemerataan
perekonomian nasional. Tanpa kelancaran bekerjanya sektor logistik, proses produksipun
dapat terganggu. Inflasipun akan dapat menjadi lebih tinggi akibat terjadinya
ketersendatan di jalan raya dan di pelabuhan. Faktor lokasi dan ketepatan waktu menjadi
sangat penting untuk diperhatikan, apalagi menjelang di lakukannya upaya menuju
terbentuknya ASEAN economic community, di mana sektor logistik menjadi salah satu
sektor yang pertama yang akan diintegrasikan. Permasalahan di sektor logistik bukan
hanya menyangkut pengurangan ongkos angkut. Perkembangan logistik yang baik harus
selalu dikaitkan dalam mata rantai suplai dan arus barangjasa. Ketentuan hukum yang
jelas pun dibutuhkan untuk mengurangi ketidakpastian dalam menjalankan usaha logistik.
Perlu dipertegas kewenangan instansi untuk menangani sektor logistik, baik antara
departemen perdagangan, departemen perhubungan dan kementerian komunikasi dan
informasi.
11. Dampak Lingkungan Global
Meskipun berbagai indikator ekonomi makro tersebut hingga saat ini masih terlihat
positif, namun sebagai bagian yang integral dari perekonomian global, Indonesia tidak
akan lepas dari dampak lanjutan dari gejolak ekonomi global. Indonesia diperkirakan akan
terkena dampak lanjutan krisis dari dua sektor utama, yaitu kekeringan likuiditas dan
penurunan permintaan maupun harga komoditas‐komoditas utama Indonesia.
Di sektor keuangan, terjadinya kekurangan pasokan likuiditas di sektor keuangan karena
terjadinya kebangkrutan berbagai institusi keuangan global, khususnya bank‐bank
investasi, akan berdampak pada cash flow sustainability dari perusahaan‐perusahaan
korporasi besar di Indonesia. Akses pendanaan korporasi ke capital market dan perbankan
global akan mengalami kendala baik dari sisi pricing tingginya suku bunga maupun
availability ketersediaan dana. Di samping kondisi keringnya likuiditas di pasar finansial
global juga terjadi flight to quality, sehingga pasar modal di berbagai negara termasuk
Indonesia terjun bebas, hal ini tentunya akan menurunkan confidence dari investor .
Di sisi lain, saat ini sektor keuangan, khususnya perbankan, sedang mengalami pengetatan
likuiditas yang diarahkan untuk meredam laju inflasi dan menurunkan tingkat
pertumbuhan kredit. Kebijakan uang ketat BI menyebabkan alat likuid yang dipegang
perbankan yang terdiri dari SBI terus mengalami penurunan. Kebijakan yang penting
untuk meredam tingkat inflasi ini telah mulai menunjukkan hasilnya dengan penurunan
inflasi bulanan sebagaimana yang kami sebutkan terdahulu, namun pada saat situasi pasar
keuangan global yang tidak menentu kebijakan uang ketat ini dapat menimbulkan
kerentanan di sektor keuangan, terutama untuk bank‐bank yang mempunyai skala kecil
dan tidak mempunyai sumber pendanaan jangka panjang. Selain itu pengetatan likuiditas
di perbankan akhirnya akan mempengaruhi pengucuran kredit ke sektor riil termasuk
untuk penarikan dari limit kredit yang telah disetujui pun mungkin akan sulit untuk ditarik
karena kelangkaan dana, sehingga pada akhirnya akan mengganggu kemampuan cash
flow sektor riil.
Salah satu tren yang mengkuatirkan belakangan ini adalah karena neraca
Ker angk a Acuan Munas Kadin ke V - -
7 17
berjalan current account Indonesia mulai menunjukkan defisit, karena laju pertumbuhan
ekspor barang dan jasa peningkatannya jauh lebih kecil dari impor barang dan jasa.
Dampak tidak langsung kedua dari krisis keuangan global adalah penurunan permintaan
dan penurunan harga komoditas‐komoditas utama ekspor Indonesia. Dengan indikasi
penurunan volume maupun nilai ekspor ke depan, sementara laju impor belum dapat
diredam secara signifikan, maka dapat terjadi trade deficit yang semakin melebar dalam
jangka menengah ke depan. Untuk itu diversifikasi dan akselerasi pertumbuhan berbagai
komoditas ekspor harus menjadi prioritas, di samping perlunya meredam peningkatan
impor di saat terjadi ketidakpastian global saat ini. Hal ini menjadi krusial mengingat akan
sulit untuk menggalang capital inflow dalam jumlah besar untuk menutup defisit tersebut,
seiring dengan keringnya likuiditas pasar keuangan global.
B. P
EM BAN GUN AN
E
KON OM I
D
AERAH
01. Pembangunan Ekonomi Daerah