51
5.2. PEMBAHASAN
Pada penelitian ini didapat beberapa deskripsi dari karakteristik responden yang diteliti, diantaranya adalah umur, pekerjaan, pendidikan,
penghasilan keluarga dan jumlah anak dari responden. Berdasarkan umur, mayoritas responden berusia antara 25 sampai 29 tahun dengan presentasi
31,4. Sementara itu, responden yang berusia dibawah 25 tahun mempunyai persentasi 19.9 . Ini menunjukkan bahwa kebanyakan responden yang
terpilih sebagai sampel penelitian adalah ibu-ibu muda yang masih dalam usia reproduktif. Usia ibu dapat menjadi faktor yang berpengaruh terhadap
pemberian ASI pada bayinya. Organisasi wanita melaporkan bahwa ibu yang tidak memulai ASI atau menyusui pada 6 bulan pertama pada bayinya
umumnya adalah ibu-ibu muda, ibu yang tingkat pendidikannya rendah serta ibu yang mempunyai bayi dengan berat badan lahir rendah Barness and
Curran, 2000. Ibu-ibu muda terutama primipara banyak yang tidak memberikan ASI
Eksklusif. Pada umumnya alasan ibu tidak memberikan ASI eksklusif pada bayinya karena ASI belum keluar pada hari pertama kelahiran sehingga bayi
dianggap perlu diberikan minuman lain, padahal bayi yang baru lahir cukup bulan dan sehat mempunyai persediaan kalori dan cairan yang dapat
mempertahankannya tanpa minuman selama beberapa hari. Disamping itu, pemberian minuman lain sebelum ASI keluar akan memperlambat
pengeluaran ASI dan menyebabkan bayi menjadi kenyang dan malas menyusu. Alasan lain adalah karena payudara berukuran kecil dianggap
kurang menghasilkan ASI padahal ukuran payudara tidak menentukan apakah produksi ASI cukup atau kurang karena ukuran ditentukan oleh banyaknya
lemak pada payudara sedangkan kelenjar penghasil ASI sama banyaknya walaupun payudara kecil dan produksi ASI dapat tetap mencukupi apabila
manajemen laktasi dilaksanakan dengan baik dan benar. Pengetahuan ibu
Universitas Sumatera Utara
52
serta informasi tentang manajemen pemberian ASI merupakan faktor yang berperan penting supaya ibu memberikan ASI Eksklusif pada bayinya
Widiasih, 2008. Jika dikaitkan dengan kejadian diare pada balita, menurut penelitian
El-Gylani dan Hammad, 2005 menyatakan bahwa usia ibu mempunyai hubungan yang signifikan terhadap morbiditas diare. Dimana diare akut lebih
mungkin terjadi pada ibu-ibu yang usianya lebih muda atau dibawah 25 tahun, hal ini mungkin dikarenakan ibu yang masih usia muda kurang
berpengalaman dalam merawat anaknya. Sementara itu berdasarkan tingkat pendidikan, responden yang tingkat
pendidikannya hanya sampai lulusan Sekolah Dasar yaitu sebanyak 48 orang 21.1, kemudian lulusan SLTP sebanyak 60 orang 27.6 , lulusan
SLTA sebanyak 104 orang 47.9, dan lulusan perguruan tinggi paling sedikit yaitu sebanyak 5 orang 2.3. Mayoritas pendidikan responden
adalah lulusan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas SLTA. Berdasarkan data ini dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan rata-rata responden cukup baik yaitu
sampai jenjang sekolah lanjutan tingkat atas SLTA. Tingkat pendidikan mungkin merupakan faktor yang menentukan pengetahuan ibu terhadap
pemberian ASI eksklusif dan manfaat ASI eksklusif untuk bayinya. Dari hasil penelitian juga didapat bahwa responden yang tingkat
pendidikannya hanya sampai sekolah dasar sebanyak 48 orang 21.1 dan lulusan SLTP sebanyak 60 orang 27.6 , dari hasil ini terlihat bahwa
banyak dari responden yang tingkat pendidikannya masih rendah. Menurut hasil penelitian yang dilakukan Roebijoso et al., 2012 menunjukan bahwa
tidak adanya hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan terhadap pemberian ASI eksklusif. Sedangkan menurut hasil penelitian
Sulistyoningsih, 2005 menyatakan adanya hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu menyusui dengan prilaku pemberian ASI. Hal ini mungkin
Universitas Sumatera Utara
53
dikaitkan dengan semakin rendah tingkat pendidikan ibu maka sikap dan pengetahuan ibu terhadap pemberian ASI eksklusif semakin kurang sehingga
cenderung untuk tidak memberikan ASI Eksklusif. Berdasarkan pekerjaan responden, mayoritas jenis pekerjaan
responden adalah sebagai Ibu Rumah Tangga yaitu sebanyak 200 orang dengan persentase 92.1. Data ini menunjukkan bahwa waktu luang ibu
dengan balita lebih banyak sehingga balita masih dalam perawatan ibu dan memperhatikan pola makan dan kesehatan balita. Jika ditinjau dari pemberian
ASI Eksklusif, dari 200 responden yang tidak bekerja sebanyak 116 orang tidak memberikan ASI eksklusif pada bayinya dan sisanya 84 responden
memberikan ASI Eksklusif. Berdasarkan penelitian Lestari, et al., 2013 juga diperoleh persentasi
ibu yang tidak bekerja lebih banyak yang tidak memberikan ASI eksklusif. Penyebabnya adalah pekerjaan bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi
pemberian ASI eksklusif. Pemberian ASI eksklusif tidak bisa didasarkan hanya dengan faktor kebebasan waktu yang dimiliki seorang ibu. Seorang ibu
yang tidak bekerja belum bisa menjamin ibu tersebut akan memberikan ASI eksklusif kepada bayinya, walaupun ibu memiliki bayak waktu dan
kesempatan yang banyak bersama bayinya. Faktor pengetahuan juga memiliki peranan yang penting bagi seorang ibu dalam pengambilan tindakan
memberikan ASI eksklusif kepada bayinya. Seorang ibu yang tidak bekerja belum tentu memiliki pengetahuan yang lebih baik mengenai pemberian ASI
eksklusif dibandingkan ibu yang bekerja, walaupun ia memiliki waktu yang luang yang lebih banyak. Maka dapat disimpulkan bahwa tindakan seorang
ibu dalam pemberian ASI eksklusif lebih ditentukan oleh pengetahuannya dari pada pekerjaanya.
Ditinjau dari penghasilan keluarga perbulan, responden yang mempunyai penghasilan rendah masih cukup banyak yaitu 152 orang 70 ,
Universitas Sumatera Utara
54
sedangkan responden yang penghasilan keluarganya tinggi adalah sebanyak 65 orang 30 . Berdasarkan penelitian sebelumnya menunjukkan adanya
hubungan yang signifikan antara status sosial ekonomi keluarga yang rendah dengan kejadian diare pada keluarga. Dimana bayi dan balita dari keluarga
dengan tingkat sosioekonomi yang rendah pada umumnya lebih sering mengalami diare Adisasmito, 2007.
Dari 217 responden yang diteliti menyatakan bahwa anak balita mereka pernah mengalami diare dengan frekuensi buang air besar lebih dari
tiga kali per hari 3xhari dan dengan konsistensi feses yang cair sebanyak 147 balita 67.7. Sedangkan balita yang mengalami buang air besar kurang
dari tiga kali per hari 3xhari dan dengan konsistensi feses yang cair atau seperti biasa padat sebanyak 70 balita 32.3, dengan kata lain balita
tersebut tidak mengalami diare. Dilihat dari hasil tersebut bahwa angka kejadian diare pada balita
masih tinggi dan jenis diare yang paling banyak dialami balita adalah diare akut. Diare dapat disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya adalah faktor
infeksi, malabsorbsi gangguan penyerapan zat gizi dan faktor makanan. Pada umumnya makanan yang mengakibatkan diare adalah makanan yang
tercemar, beracun, terlalu banyak lemak, mentah dan kurang matang Widjaja, 2008.
Dari 147 balita yang pernah mengalami diare, 143 97.3 diantaranya mengalami diare dengan lama berlangsung diare kurang dari 14
hari yaitu disebut juga diare akut. Sedangkan 4 balita 2.7 lainnya mengalami diare lebih dari 14 hari yaitu diare kronik. Diare akut merupakan
diare yang paling sering dialami oleh balita dan juga orang dewasa. Diare akut maupun diare kronik dapat disebabkan oleh berbagai faktor penyebab. Diare
akut dapat disebabkan oleh berberapa faktor diantaranya adalah virus gastroenteritis yaitu infeksi virus pada lambung dan usus halus, makanan
yang terkontaminasi, diare karena berpergian Traveler’s diarrhea yang mana
Universitas Sumatera Utara
55
kuman penyebabnya adalah E.coli, bakteri enterokolitis dimana bakteri menginvasi usus halus dan kolon sehingga menyebabkan inflamasi pada usus
halus dan kolon Enterokolitis. Obat-obatan juga dapat menyebabkan diare seperti antasid dan suplemen yang mengandung magnesium dan lain-lain.
Sedangkan pada diare kronik dapat disebabkan oleh beberapa penyebab diantaranya penyakit
Irritable bowel syndrome IBS, penyakit infeksi seperti
pada pasien AIDS, pertumbuhan bakteri yang berlebihan pada usus halus, kanker kolon, malabsorbsi karbohidrat, malabsobsi lemak, penyakit endokrin
seperti pada penyakit hipertiroid dan penyakit Addison dan juga akibat penyalahgunaan laksatif Marks, 2013.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa jumlah responden yang memberikan ASI secara eksklusif kepada balita mereka sebanyak 92 orang
yaitu dengan persentase 42.4 , sedangkan responden yang tidak memberikan ASI eksklusif adalah sebanyak 125 orang yaitu dengan persentase 57.6 .
ASI sangat penting untuk bayi, terutama pada 6 bulan pertama kehidupannya. Setelah 6 bulan dari kehidupannya, pemberian ASI harus diteruskan sambil
ditambahkan dengan makanan lain Kemenkes RI, 2011. ASI eksklusif dapat melindungi terhadap infeksi gastrointestinal dan infeksi pernapasan, dan juga
dapat meningkatkan perkembangan motorik pada anak Kimani-Murage et al., 2011.
ASI memiliki semua unsur-unsur yang memenuhi semua kebutuhan bayi akan nutrien selama periode 6 bulan. Keberadaan antibodi dan sel-sel
makrofag dalam kolostrum dan ASI memberikan perlindungan terhadap jenis- jenis infeksi tertentu. Imunitas terhadap penyakit enteral dan parenteral pada
taraf yang lebih rendah, berasal dari antibodi. Oleh karena itu bayi-bayi yang mendapat ASI secara penuh jarang terjangkit oleh penyakit diare Gibney et
al., 2008. Dari hasil penelitian diketahui bahwa jumlah balita yang mendapat
ASI eksklusif dan tidak mengalami diare berjumlah 67 orang 72.8,
Universitas Sumatera Utara
56
sedangkan balita yang tidak mendapat ASI eksklusif dan tidak mengalami diare hanya 3 orang 2.4. Sementara itu, kejadian diare pada balita yang
tidak mendapat ASI eksklusif lebih banyak yaitu 122 orang 97.6 dibandingkan balita yang mendapat ASI eksklusif yaitu 25 orang 27.2..
Penelitian lain juga dilakukan oleh Hardi et al,. 2012 menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara faktor pemberian ASI eksklusif
dengan kejadian diare. Dari hasil penelitian terlihat bahwa balita yang tidak mendapat ASI eksklusif lebih banyak mengalami diare dibandingkan dengan
balita yang mendapat ASI eksklusif. Ini membuktikan bahwa Imunitas yang diperoleh dari ASI eksklusif dapat memberikan perlindungan dari berbagai
macam infeksi pada balita. Kejadian diare dipengaruhi banyak faktor risiko diantaranya hygiene
perorangan, penyediaan sumber air bersih untuk keperluan sehari-hari, ketersediaan jamban dan sanitasi lingkungan. Dari hasil penelitian didapatkan
bahwa sebanyak 217 responden yang diteliti, 212 responden diantaranya dengan persentase 97.7 mempunyai tingkat kebersihan perorangan dalam
prilaku mencuci tangan masih termasuk dalam kategori baik, dan sebanyak 5 orang responden dengan persentase 2.3 tingkat kebersihan perorangannya
termasuk dalam kategori sedang. Hasil penelitian Kasman 2004 menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara faktor hygiene perorangan
dengan kejadian diare. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa penyediaan,
penyimpanan, dan penggunaan air bersih pada 157 responden yang diteliti dengan persentase 72.4 termasuk dalam kategori baik, sedangkan pada 60
responden lainnya yaitu dengan persentase 27.6 penyediaan, penyimpanan dan penggunaan air bersih untuk keperluan sehari-hari termasuk dalam
kategori sedang. Dari hasil ini kemungkinan penyediaan air bersih pada sebagian responden yang kurang baik merupakan salah satu faktor penyebab
diare. Namun faktor lain seperti hygiene perorangan, kesediaan jamban dan
Universitas Sumatera Utara
57
sanitasi lingkungan rata-rata para responden di Desa Sei Sentosa masih termasuk dalam kategori baik.
5.3. KETERBATASAN PENELITIAN