Kasus Divestasi PT. Freeport Indonesia
Indocopper Investama yang dibelinya dari Grup Nusamba pada 1991.
16
Pada tahun 2004 PT. Freeport Indonesia pernah menawarkan sahamnya sebesar 9,36 Sembilan koma
tiga puluh enam persen, namun Menteri Keuangan sesuai surat No. S-293MK.022005 tanggal 7 Juli 2005 menyatakan kondisi keuangan negara tidak mendukung, selanjutnya
Direktur Jendral Geologi dan Sumber Daya Mineral dengan surat No. 11.R40.00DJG2005 tanggal 18 Juli 2005 kepada PT Freeport Indonesia menyatakan
agar menawarkan sahamnya kepada Pemerintah Provinsi Papua.
17
Mengingat Gubernur Papua pernah mengajukan keinginannya dengan surat No. 9732459SET tanggal 10
Agustus 2004 ditujukan kepada Menteri ESDM menyatakan bahwa Pemerintah Provinsi Papua berminat membeli saham PT. Freeport Indonesia. Namun hingga tahun 2010
penawaran saham tersebut dengan surat Freeport McMoran No. 036GR.Lcl.Govt92005 tanggal 12 September 2005 kepada Pemda Papua belum ada tindak lanjutnya.
18
PT. Freeport Indonesia memastikan bahwa tidak akan menjual sahamnya kepada pihak swasta dalam negeri namun hanya kepada Pemerintah. Induk usaha Freeport di AS,
yakni Freeport McMoran Copper and Gold Inc berencana menawarkan 9,36 kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Namun sayangnya bentuk divestasi yang ingin
ditawarkan kepada Pemerintah Indonesia masih jauh dari ketentuan yang selama ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 Tentang Perubahan ketiga
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam peraturan itu, investor asing harus
melepaskan kepemilikan sahamnya melalui transaksi divestasi saham sebanyak 51 jika
16
Ahmad Redi, Hukum Pertambangan, cetakan pertama, Jakarta : Gramata Publishing, 2014, h. 300.
17
Ahmad Redi, Hukum Pertambangan, h. 301.
18
Ahmad Redi, Hukum Pertambangan, h. 302.
tidak melakukan sendiri kegiatan pengolahan dan atau pemurniannya dan bagi perusahaan yang melakukan kegiatan pengolahan dan atau pemurniannya sendiri harus
melakukan divestasi sebesar 40. Khusus bagi yang melakukan kegiatan penambangan bawah tanah dan terbuka, besaran divestasi yang harus dilakukan sebesar 30.
19
Peraturan perundang-undangan yang mengatur pertambangan mineral dan batubaru dinilai masih memiliki kelemahan. Terdapat pasal yang menurut penulis
memiliki pengertian yang tidak jelas. Pasal 169 huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, memiliki makna yang
saling bertolak belakang antara satu sama lain. Padahal pasal tersebut merupakan pasal peralihan, yang pada dasarnya ketentuan peralihan memiliki tujuan yang tertera pada
Lampiran II angka 127 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan, bahwa ketentuan peralihan bertujuan :
20
1. Agar tidak terjadi kekosongan hukum 2. Kepastian hukum
3. Perlindungan hukum bagi pihak yang mengalami dampak dari perubahan peraturan
perundang-undangan 4. Mengatur sesuatu yang bersifat transisional dan sementara.
Bagian penjelasan dari undang-undang tersebut juga tidak memberikan penjelasan serta penjabaran yang detail pada pasal yang dimaksud. Pasal yang saling bertolak
belakang merupakan argument a contrario yang dimana akan menimbulkan ketidakpastian hukum.
21
19
Pasal 97 Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 Tentang Perubahan ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral
dan Batubara.
20
Lampiran II angka 127 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Pasal yang memiliki makna ganda dan saling bertolak belakang memiliki hubungan langsung dengan kontrak yang diperjanjikan. Kewajiban divestasi akan
berbenturan dengan asas pacta sunt servanda yang merupakan salah satu aspek kepastian hukum kontrak. Kontrak karya dan perjanjian karya perngusahaan pertambangan
batubara yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara tetap diberlakukan sampai jangka waktu
berakhirnya kontrakperjanjian. Namun, ketentuan yang tercantum dalam pasal kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara masih tetap harus
disesuaikan dengan tenggang waktu paling lama 1 satu tahun sejak Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara berlaku. Dengan
demikian, pasal yang tidak jelas maknanya tersebut dapat menjadi alasan untuk tidak melakukan divestasi.
Ditelaah dari ketentuan Pasal 112 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara bahwa setelah 5 lima tahun berproduksi,
perusahaan yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham. Kedua pasal tersebut menegaskan batas waktu dalam melakukan divestasi saham. Pada
kenyataanya ketentuan tersebut tidak dapat segera dilaksanakan, karena dalam menjalankan amanat undang-undang tersebut pemerintah harus menggunakan mekanisme
renegosiaasi KK dan PKP2B. Selain itu menurut penulis kewajiban divestasi akan sulit dijalankan karena antara Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara dengan peraturan pelaksananya PP Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 Tentang Perubahan ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun
21
Ahmad Redi, Hukum Pertambangan, cetakan pertama Jakarta : Gramata Publishing, 2014, h. 205.
2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara masih terdapat aturan yang tidak jelas.