Perubahan Fasa Baja Mangan (FeMn) Hadfield 3401 Pada Proses Pemanasan Dan Perlakuan Pendinginan Cepat (Water Quenching) Dan Lambat (Air Cooling)

(1)

TESIS

Oleh :

S.K.KURNIAWAN SIREGAR

057026009 / FIS

SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2007


(2)

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Magister Ilmu Fisika pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh :

S.K.KURNIAWAN SIREGAR

057026009 / FIS

SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2007


(3)

Nama mahasiswa : S.K.KURNIAWAN SIREGAR Nomor Pokok : 057026009

Program studi : Ilmu Fisika

Menyetujui Komisi Pembimbing

Dr. Eddy Marlianto, M.Sc Ketua

Ir. Reza Fadhillah, M.I.M Dra. Justinon M.Si Anggota Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

Dr. Eddy Marlianto, M.Sc Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B,M.Sc


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Eddy Marlianto,M.Sc. Anggota : 1. Dra. Justinon,MS

2. Ir. Reza Fadhilla, M.I.M

3. Drs. H. Muhammad Syukur,MS 4. Drs. Nasruddin M.N, M.Eng.S.C 5. Drs. Anwar Dharma Sembiring, MS


(5)

`|vÜÉáàÜâvàâÜtÄ `tÑÑ|Çz Éy [twy|xÄw fàxxÄ @ FGCD


(6)

cepat (water quenching) kemudian diteliti perkembangan mikrostrukturnya setelah pemanasan kembali dengan temperatur yang berbeda (500 ºC, 550 ºC dan 600 ºC) dengan dua kali waktu penahanan ( 30 menit, 60 menit) pada pendinginan lambat (air cooling) dan pendinginan cepat (water quenching). Efek dari pendinginan cepat menghasilkan migrasi ferrite dari butir kebatas butir pada fasa austenit. Berbeda dengan kondisi diatas, pendinginan lambat pada beberapa fasa. Untuk memastikan, mikrostruktur kemudian diuji morfologi dengan menggunakan scanning electron microscopy (SEM) dan untuk memastikan analisis unsur dengan menggunakan X-Ray Diffraction (XRD) dan juga X-Ray fluorescence (XRF) spectroscopy. Seluruh bentuk keadaan mikrostruktur pada temperatur pemanasan ini ditunjukkan dengan perbedaan peta morphologi. Hasil pemetaan morphologi menunjukkan pengintian presifitasi terjadi pada proses pendinginan cepat. Pada pendinginan lambat ikatan permukaan ferrite paralel yang diintikan pada permukaan butir austenit kurang jelas kelihatannya.Pada temperatur tinggi proses pendinginan lambat fasa baru terbentuk diikuti dengan pengisian struktur ferrite dengan karbida mangan yang kemudian diamati dengan X- Ray Diffraction (XRD) pada daerah indeks Miller (hkl) yang dipastikan sebagai fasa pearlit.

Kata-kata kunci : Baja mangan Austenit 3401, pendinginan lambat, pendinginan cepat, fasa


(7)

1000ºC-1090ºC and then water quenched. The as-quenched material was then investigated for the development of microstructure in an reheat-treatment by heating at various temperatures ( 500ºC, 550ºC and 600ºC) and at two holding times (30min, 60min) and cooling of media air also in media water quenching. The effect of water cooling giving result of the ferrite migration from grain to grain boundary of the austenite phase. Dissimilar with this condition above, the air cooling present of the different phase. The ensuing microstructure was then examined for morphology using scanning electron microscopy (SEM) and verified for elemental analysis using X-Ra Diffraction (XRD) as well as X-ray fluorescence spectroscopy (XRF). All microstructural phenomena form in this reheating temperature showed by the morphological mapping matched. Results of the morphological mapping showed the precipitate nucleation is happening in water quench process. In air cooling the sheaves of parallel ferrite plates which nucleated at austenite grain surfaces seemly detect unclearly. At a higher temperature in air cooling process, the new phase was form followed by the process of fulfilling the ferritic structure by the manganese carbide which then was observed by the XRD analyses in its hkl orientation which was confirm as the pearlitic phase.


(8)

Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, karunia dan ridho yang diberikan Nya kepada penulis sehingga tesis yang diberi judul “PERUBAHAN FASA BAJA MANGAN (FeMn) HADFIELD 3401 PADA PROSES PEMANASAN DAN

PERLAKUAN PENDINGINAN CEPAT (water quenching) DAN LAMBAT

( air cooling ) “ dapat diselesaikan sesuai rencana semula. Tesis ini merupakan

tugas akhir penulis pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan yang baik ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan perhargaan yang sebesar-besarnya kepada :

- Prof. Chairuddin P.Lubis,DTM&H,Sp.AK selaku Rektor Universitas Sumatera Utara dan Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B, M.Sc selaku direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Studi Magister Ilmu Fisika di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan

- Dr. Eddy Marlianto, M.Sc selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Fisika Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan Ketua Komisi Pembimbing. Dra Justinon,M.Si dan Ir. Reza Fadhillah, M.I.M selaku anggota pembimbing lapangan, yang dengan penuh kesabaran membimbing penulis selama melakukan penelitian sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

- Drs. Nasir Saleh,M.Eng.Sc. selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Fisika Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.


(9)

- Seluruh staf administrasi Sekolah Pascasarjana USU, yang dengan penuh kesabaran memberikan pelayanan terbaik di Sekolah Pascasarjana USU.

- Rekan – rekan seperjuangan, khususnya bang Tri Chandra Surapati dan Faridah Nuriana yang telah membantu penulis dan seluruh rekan-rekan mahasiswa angkatan III (05) Sekolah Pascasarjana USU atas kerja sama dan kebersamaan mereka dalam mengatasi berbagai masalah selama perkuliahan bersama penulis. - Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih dan sayang yang mendalam

kepada orang tua penulis, Ayahanda Alm Madroni Siregar. Dan Ibunda Almh. Hedyana Sihombing dan kedua mertua H. Abdus Salam dan Hj.Suarti R.A serta istri tercinta Tini Budiarti dan ananda tersayang Dina Shabrina Putri Siregar, Dini Rizqi Dwi Kunti Siregar, Abinubli Zaky Madroni Siregar, Atsil Aqli Shawab Siregar dan Abror Ashil Syukur Siregar yang senantiasa memberi dorongan dengan penuh kesabaran dan pengorbanan serta selalu mendoakan keberhasilan penulis dalam menyelesaikan studi.

Semoga tesis ini bermanfaat bagi pembaca dan pihak-pihak yang memerlukannya.

Medan , Juli 2007 Penulis


(10)

Nama : Drs.S.K.Kurniawan Siregar Tempat/Tanggal lahir : P.Siantar , 20 April 1968

Alamat Rumah : Komp. Pondok Surya Indah Blok IV No.123 Telepon/Hp : (061)77245831/08153176531

e-mail : iwanpw@yahoo.co.id Instansi Tempat Bekerja : SMP Negeri 40 Medan

Alamat Kantor : Jln. Klambir V gg.Samirujuk Medan Telepon : (061) 8453887

DATA PRIBADI

SD : SD Negeri 010097 Kisaran Tamat : 1980 SMP : SMP Swasta daerah Kisaran Tamat : 1983 SMA : SMA Negeri 1 Kisaran Tamat : 1986 Strata-1 : FMIPA Universitas Sumatera Utara Medan Tamat : 1992 Akta-IV : FIP IKIP Medan Tamat : 1996 Strata-2 : PS MIF SPs Universitas Sumatra Utara Medan Tamat : 2007


(11)

ABSTRAK i

ABSTRACT ii

KATA PENGANTAR iii

RIWAYAT HIDUP v

DAFTAR ISI vi

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR x

BAB.I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 2

1.3 Tujuan Penelitian 4

1.4 Hipotesa 4

BAB.II TINJAUAN PUSTAKA 6

2.1. Baja 6

2.1.1 Baja paduan 7

2.1.2 Baja paduan Rendah berkekuatan Tinggi

(HSLA = High Strength Low Alloy Steel) 8

2.2 Struktur Kristal 10

2.3 Bidang Kristalografi 14

2.4 Proses perlakuan panas 15


(12)

2.5 Pendinginan 17

2.6 Rekristalisasi 19

2.6.1 Pemulihan (Recovery) 20

2.6.2 Rekristalisasi (Recrystalization) 20

2.7 Mikroskop Optik 22

2.8 X-ray diffracion (XRD) 24

2.9 Scanning Electron Microscopy (SEM) 26

BAB.III METODOLOGI PENELITIAN 27

3.1 Diagram Alir Penelitian 27

3.2 Bahan – bahan 28

3.3 Peralatan 28

3.4 Prosedur Penelitian 28

3.4.1 Preparasi sampel 28

3.4.2 Perlakuan Panas 29

3.4.3 Pengujian Mikrosturktur 30

3.4.4 Scanning Electron Microscopy (SEM) 31

3.4.5 Pengujian X-ray diffracion (XRD) 32

BAB.IV HASIL DAN PEMBAHASAN 33

4.1 Uji Komposisi 33


(13)

4.3.2 Analisa mikrostruktur pada pemanasan kembali 500°C 39 4.3.3 Analisa mikrostruktur pada pemanasan kembali 550°C 40 4.3.4 Analisa mikrostruktur pada aturan pemanasan

kembali 600°C 40

4.3.5 Pemetaan Interpretasi fasa 43

BAB.V KESIMPULAN DAN SARAN 46

5.1 Kesimpulan. 46

5.2 Saran 47

DAFTAR PUSTAKA 48


(14)

Tabel 2.1 Tujuh sistem kristal dan parameter kisi 13

Tabel 3.1 Larutan Etsa 31

Tabel 4.1 Komposisi baja mangan Fe Mn dalam % wt 33 Tabel 4.2 Hasil Pengukuran 2θ dan dvalue 35


(15)

Gambar 2.1 Diagram fasa Fe - Mn 9 Gambar 2.2 Struktur Kristal BCC dari besi/ Baja pada suhu kamar 11 Gambar 2.3 Struktur Kristal FCC dari besi/ Baja pada suhu Tinggi 12 Gambar 2.4 Keempatbelas macam kemungkinan kisi Bravais 14 Gambar 2.5 Bidang kristalografi hkl [111] 15 Gambar 2.6 Diagram CCT (Continous Cooling Transformation) variasi

media Pendinginan terhadap struktur mikro yang dihasilkan 18

Gambar 2.7 Proses Rekristalisasi 21 Gambar 2.8 Pengaruh deformasi pada temperatur awal rekristalisasi 22 Gambar 2.9 Skema mikroskop optik 23 Gambar 2.10 Peristiwa X-ray diffracion (XRD) 24 Gambar 2.11 Skematik Scanning Electron Microscope (SEM) 26 Gambar 3.1 Diagram alir Penelitian 27 Gambar 3.2 Bentuk dan ukuran benda uji 29 Gambar 3.3 Proses heat treatment dan re-heat treatment

Pendinginan cepat (water quenching) 29

Gambar 3.4 Proses reheat treatment Pendinginan lambat (air cooling) 30 Gambar 4.1 Perbandingan sudut difraksi PW/1835 NC9430 keadaan

awal Heatreatment 1050 0C, 60 menit dan Re-heatreatment 500 0C dengan Pendinginan Udara 30 menit dan 60 menit 36


(16)

Gambar 4.3 Perbandingan sudut difraksi PW/1835 NC9430 keadaan awal Heatreatment 1050 0C, 60 menit Re-heatreatment 600 0C dengan Pendinginan Udara 30 menit dan 60 menit 38

Gambar 4.4 Menunjukkan serat-serat austenit baja Hadfield dengan

twin-twin 39

Gambar 4.5a-l Hasil Mikrostruktur bahan uji 42 Gambar 4.6 Pemetaan Interpretasi fasa 43


(17)

1.1Latar Belakang

Baja mangan Hadfield yang mengandung kira-kira 1,2% karbon dan 12-14% mangan, umum digunakan dalam industri jalan kereta api pada kondisi fase austenit. Saat ini banyak yang berusaha meningkatkan sifat-sifat alloy dasar Hadfield dengan menyusun komposisi dan memvariasikan proses. Alloy tertentu ada yang berbahan dasar Fe-Mn-C dan digunakan untuk baja resistansi aus austenit, meningkatkan kekuatan, hasil yang relatif rendah pada bahan hasil pemanasan meningkatkan resistansi abrasi, dan yang berbahan dasar Fe-Mn-Cr yang digunakan untuk baja resistan-korosi.

Hal ini terutama disebabkan karena kemudahan pembentukannya menjadi bentuk-bentuk yang berguna. Dalam pemilihan bahan haruslah sesuai sifat kekuatan dan penggunaannya, baik kuantitas maupun kualitas dari bahan tersebut.

Ditemukan kelemahan dan kerusakan yang diakibatkan kurang tepatnya perlakuan terhadap baja tersebut. Baja dikeraskan sehingga tahan aus dan kemampuan memotongnya meningkat, atau baja dapat dilunakkan untuk kemudahan pemesinan lebih lanjut. Baja dengan butiran yang besar kurang tangguh dan memiliki kecenderungan untuk distorsi. Ukuran dari butir tersebut sangat menentukan kekuatan yang akan diperlukan. Dengan penambahan unsur mangan membuat butiran lebih halus, dalam baja dapat menaikkan kuat tarik


(18)

tanpa mengurangi atau sedikit mengurangi regang, sehingga baja dengan penambahan mangan memiliki sifat kuat dan kenyal.

Dalam hal ini perlakuan panas serta pendinginan yang diberikan kepada baja memegang peranan yang cukup penting karena mampu merubah sifat-sifat mekanik sedangkan sifat-sifat sebelumnya masih dimiliki oleh material tersebut. Peneliti tertarik untuk meneliti dan membandingkan dan melihat jika baja mangan dipanaskan sampai fasa austenit. Dimana temperatur pemanasan dilakukan diantara 500ºC-600ºC dan pada setiap penahanan dilakukan pada waktu penahanan yang berbeda selama 30 menit dan 60 menit. Sehingga nantinya akan diharapkan terjadi perubahan fasa, ukuran butir dan struktur fasa baja mangan serta sifat mekanik dari baja mangan tersebut. Adapun pelaksanaan penelitian ini meliputi antara lain : menguasai teknologi preparasi bahan baku. Karakteristik yang diamati meliputi : uji komposisi, analisa X-Ray Diffraction (XRD), analisa mikrosrtuktur dengan Semafore dan Scanning Electron

Microscope (SEM).

1.2Perumusan masalah

Baja Hadfield AISI 3401 dengan kandungan mangan austenit tinggi menunjukkan kombinasi sifat-sifat unik, misalnya, kekuatan tinggi dan kekenyalan tinggi, dan resistansi terhadap aus dan pembebanan tubrukan berat.

Sifat-sifat ini menjadikan baja sangat berguna dalam berbagai aplikasi, misalnya, jalan kereta api, pelapis kilang penggiling, jepitan dan kerucut penghancur, palu dan bahkan helm anti-peluru. Penelitian sebelumnya juga


(19)

melaporkan bahwa baja mangan Hadfield dengan komposisi Fe 1,2%C dan 12%Mn, biasanya mempunyai struktur fase austenit yang bisa bermetastatis yang diperoleh dengan pendinginan-air atas baja dari temperatur pemanasan 1050°C. Pengolahan ini disebut “pengerasan air”. Proses ini menghasilkan larutan padat karbida yang menyebabkan kerapuhan dan produksi austenit yang hampir murni.

Batas-batas butir austenit terdefinisi dengan baik dan memiliki ketebalan yang kira-kira merata. Kekerasan dalam kondisi ini diperlihatkan pada mikrostruktur baja mangan. Jika baja mangan hasil pengerasan air dilembutkan, maka terjadilah dekomposisi parsial austenit.

Tingkat dekomposisi ini tergantung pada waktu dan temperatur perlakuan pemanasan. Ini segera dimulai dengan pengendapan besi dan mangan karbida pada batas-batas butir, yang secara progresif diikuti oleh kemunculan unsur accicular yang kemudian meluas sampai ke interior butir. Pengendapan karbida di

batas-batas butir dengan cara ini menghasilkan pembentukan fase baru dengan kondisi rapuh.

Baja Mangan Hadfield standar (Fe - 1,2%C - 13%Mn) dalam kondisi as-cast mengandung karbida accicular (Fe, Mn)3C. Praktek industri yang umum

untuk mengatasi masalah potensial adalah mengolah-panas bahan pada 1000° -1090°C hingga selama 60 menit yang diikuti dengan pendinginan air. Prosedur ini biasanya bisa melarutkan seluruh karbida (Fe, Mn)3C. Dalam kondisi ini, baja

sangat lunak.

Pembahasan pada material baja mangan adalah pengaruh temperatur, komposisi material terhadap perlakuan panas serta waktu dan laju pendinginan


(20)

sampai fasa austenit. Berdasarkan diagram fasa Fe Mn, baja mangan Fe Mn dipanaskan hingga mencapai fasa austenit, kemudian didinginkan secara cepat (water quenching ) dan secara lambat (air cooling) akan terjadi perubahan fasa

dan membentuk struktur fasa stabilnya.

1.3Tujuan Penelitian

1. Untuk meningkatkan mikrostruktur baja mangan austenit Hadfield AISI 3401 . Khususnya, kami meneliti perubahan fasa baja mangan Hadfield dalam proses pendinginan cepat (water quenching ) dan lambat (air cooling)

2. Dari hasil yang dilakukan diharapkan dapat memahami struktur mikro baja manggan yang diberi perlakuan panas dengan pendinginan cepat (water quenching ) dan lambat (air cooling) dengan menggunakan X-Ray

Diffraction(XRD).

3. Penelitian ini diharapkan dapat membuat penyusunan peta structur mikro dari baja manggan yang telah diberi perlakuan sebagai dasar acuan dalam dunia industri. Memperkaya khasanah studi fisika metalurgi bagi para rekayasawan yang berminat dalam bidang material di Indonesia.

1.4Hipotesis

1. Dengan menyusun komposisi dan memvariasikan proses akan meningkatkan sifat-sifat dasar alloy baja mangan Hadfield AISI 3401.


(21)

2. Baja mangan Hadfield AISI 3401 mempunyai struktur fase austenit yang bisa bertransformasi membentuk fasa baru yang diperoleh dengan pendinginan-air atas baja dari temperatur pemanasan 1050°C. Pengolahan ini disebut “pengerasan air”. Proses ini menghasilkan baja mangan Hadfield AISI 3401 mempunyai struktur fase austenitnya diperoleh

dengan jalan menghomogenisasi baja tersebut dari pemanasan 1050°C dengan pendinginan cepat (water quenching ) pada proses homogenisasi ini akan dihasilkan larutan padat karbida yang menyebabkan kerapuhan.


(22)

2.1 Baja

Baja terdiri dari besi ditambah paduan antara lain karbon, dimana unsur karbon (C) menjadi dasar campurannya. Disamping itu, baja mengandung unsur paduan lain, misalnya sulfur (S), fosfor(P), silicon (Si) dan mangan (Mn) yang jumlahnya dibatasi berdasarkan kegunaanya atau kepentingan fabrikasi, dan disesuaikan berdasarkan standard ASTM (American Society for Testing and Material). (Amanto, 1999).

“Secara garis besar baja karbon (Fe3C) dapat dikelompokkan sebagai berikut “

(Amstead, 1993, hal : 51) A. Baja karbon

1. Baja karbon rendah (<0.30% C)

2. Baja karbon menengah (0.30 < C<0.7%) 3. Baja karbon tinggi (0.70<C<1.40%) B. Baja paduan

Baja paduan diklasifikasikan menurut kadar karbonnya dibagi menjadi : 1. Baja paduan rendah (low-alloy steel), jika elemen paduannya ≤

2.5% misalnya unsur Cr, Mn, S,Si, P, dan lain-lain.

2. Baja paduan menengah (medium-alloy steel), jika elemen paduannya 2.5-10% misalnya unsur Cr, Mn, Ni, S, Si,P dan lain-lain.


(23)

3. Baja paduan tinggi (high-alloy steel), jika elemen paduannya > 10% misalnya unsur Cr, Mn, Ni, S, Si,P, dan lain-lain.

2.1.1 Baja Paduan

Baja paduan dihasilkan dengan biaya lebih mahal bila dibandingkan dengan baja karbon lainnya, karena pertambahan biaya tersebut akibat pengerjaan khusus yang dilakukan dalam dunia industri. Baja paduan didefenisikan sebagai suatu besi yang ditambah paduan (alloy) dengan satu atau lebih unsur paduan seperti nikel, kromium, molibden, vanadium, mangan dan wolfram dan lain-lain(Amanto,1999), dan sesuai dengan baja yang sifat fisis dan mekanis disesuaikan dengan kebutuhan pasar.

Besi ditambah dengan paduan dari beberapa unsur yang berbeda memberikan sifat fisis material yang diinginkan. Misalnya Fe dipadu dengan alloy Mn,Si,Ni dan Cr akan menghasilkan sifat keras dan kenyal. Ni dan Cr bersifat katodik terhadap baja dan bertindak sebagai lapisan penghalang yang melindungi permukaan baja sehingga baja tahan terhadap karat atau korosi. Bila baja ditambah dengan paduan kromium dan molibden maka menghasilkan baja memiliki sifat kekerasan dan kenyalan yang lebih baik dan tahan terhadap panas (Amanto, 1999).

Pada umumnya baja paduan memiliki sifat yang unggul dibandingkan dengan baja karbon, diantarannya (Amstead, 1993,):


(24)

2. Mampukerasannya bila dicelup dalam minyak maupun didinginkan di udara, kemungkinan retak atau distorsinya akan berkurang.

3. Tahan terhadap korosi dan keausan yang tergantung pada jenis paduannya. 4. Sifat fisisnya tidak banyak berubah tetapi tahan terhadap perubahan suhu. 5. Memiliki butiran yang halus dan homogen.

Baja paduan dengan sifat khusus antara lain : baja tahan karat (Stainless Stell), baja paduan rendah berkekuatan tinggi (High Strenght-Low Alloy

Steel=HSLA), dan baja perkakas (Tool Steel).

2.1.2 Baja Paduan Rendah Berkekuatan Tinggi

Suatu sistem paduan terdiri dari penambahan unsur atau paduan dengan komposisi tertentu sesuai dengan sifat material yang dikehendaki. Dari diagram keseimbangan Fe Mn (Gambar 2.1) fasa yang terjadi terdiri dari fasa tunggal ( , , ) dan fasa ganda ( + ), pearlit dan lain-lain.

Suatu paduan dapat berupa susunan yang homogen atau campuran (mixture). Jika berupa susunan yang homogen paduan akan terdiri dari satu fasa tunggal dan bila berupa campuran akan terdiri dari beberapa fasa.

Baja paduan bila kandungan paduan Nikel, Khrom, Molibden, Mangan dan Silikon berjumlah sekitar ± 5% wt. Baja paduan rendah berkekuatan tinggi (HSLA) terdiri dari kelompok baja yang bersifat khusus, dengan komposisi kimia khusus dan mempunyai sifat mekanik yang lebih baik. Sifat dari HSLA antara lain kekuatan tarik (tensile strength) yang tinggi, anti bocor, tahan terhadap goresan (abrasi), mudah dibentuk, tahan terhadap korosi, ulet, sifat mampu mesin


(25)

yang baik dan mampu las yang tinggi. Untuk mendapatkan sifat-sifat tersebut maka baja diproses secara khusus dengan menambahkan unsur paduan seperti : tembaga (Cu), nikel (Ni), Chromium (Cr), Molybdenum (Mo), Mangan (Mn), Vanadium (V) dan cobal (Co).


(26)

Baja HSLA dapat dihasilkan pada kondisi pengerolan panas. Sifat mekanik baja HSLA dipengaruhi oleh kehalusan butiran, dislokasi, kekerasan, dan presipitasi. Jenis baja paduan rendah (HSLA) disesuaikan berdasarkan standard ASTM. Robert Hadfield tahun 1882 menemukan Baja mangan austenitic yang mengandung 1.2% C dan 12% Mn. Menurut Lipin (1885) baja mangan harus mengandung kadar mangan lebih dari 10 persen .

Paduan Fe Mn dengan struktur fasa austenit, andaikan komposisi Mn 12 % . Diagram fasa baja mangan (Gambar 2.1) secara umum berfungsi sebagai panduan dalam menentukan temperatur kerja pada komposisi unsur yang bervariasi dalam proses perlakuan panas yang diberikan terhadap baja.

Berdasarkan temperatur dan komposisi yang dominan akan diperoleh fasa-fasa sebagai berikut :

1. Baja dengan komposisi Mn 12 % wt pada temperature 1000 oC - 1400 oC terbentuk fasa austenit ( ). Diatas temperatur 1550 oC terbentuk fasaliguid (L). 2. Komposisi Mn 12 % wt pada baja dengan temperatur 400 oC – 650 oC

terbentuk fasa Fe , Fe dan karbida mangan.

3. Pada temperatur 400 oC fasa Fe lebih dominan dari fasa Fe, pada temperatur 600 oC sebaliknya fasa Fe lebih dominan dari fasa Fe.

2.2 Struktur Kristal

Logam , seperti bahan lainnya, terdiri dari susunan atom-atom. Dalam pengertian, atom-atom dalam kristal logam tersusun secara teratur dan susunan


(27)

atom-atom tersebut menentukan struktur kristal dari logam. Susunan (tumpukan) terkecil dari atom-atom tersebut merupakan cell unit.

Susunan atom-atom yang teratur dalam tiga dimensi menurut suatu pola tertentu dinamakan kristal. Dalam logam, kristal dianggap sebagai butiran (grain). Batas pemisah antara dua kristal disebut batas butir (grain boundary).

Pada suhu kamar, besi dan kebanyakan baja memiliki bentuk struktur BCC (body centered cubic) . Dalam hal ini cell unit dari atom-atom disusun sebagai sebuah kubus dengan atom – atom menempati kedelapan dari sudut kubus dan satu atom berada dipusat kubus (Gambar 2.2 ).

Gambar 2.2 Struktur Kristal BCC dari besi/ Baja pada suhu kamar (Adnyana,1994)


(28)

Gambar 2.3 Struktur Kristal FCC dari besi/ Baja pada suhu Tinggi (Adnyana,1994)

Pada temperatur yang tinggi , besi dan kebanyakan baja membentuk struktur FCC (face centered cubic). Dalam struktur ini cell unit merupakan sebuah kubus dengan atom-atom menempati kedelapan sudut kubus dan atom lainnya berada pada pusat masing-masing dari keenam bidang kubus (Gambar 2.3)

Pada struktur kristal BCC jumlah bidang gesernya lebih sedikit sehingga kemampuan atom-atom untuk bergeser atau mengalami dislokasi akibat deformasi akan menjadi lebih terbatas (lebih sulit) sehingga membutuhkan energi yang lebih besar untuk menggerakkan dislokasi jika dibandingkan dengan struktur kristal FCC. Hal inilah yang menyebabkan logam dengan kristal BCC biasanya lebih kuat (tetapi kurang liat) jika dibandingkan dengan logam kristal FCC yang biasa


(29)

menunjukkan kekuatan yang rendah tetapi memiliki keliatan (ductility) yang tinggi

Terdapat tujuh sistem kristal, dengan karakteristik geometriknya seperti tercantum dalam Table 2.1. Dari ketujuh sistem kristal tersebut ternyata ada 14 jenis bentuk space lattice yang mungkin terjadi seperti Gambar 2.4.

Tabel 2.1 Tujuh sistem kristal dan parameter kisi (Cullyti,1978)

No Struktur Sumbu Sudut sumbu

1. Triclinic a ≠ b ≠ c α≠β≠ Y ≠ 90o 2. Monoclinic a ≠ b ≠ c α = β = 90o ≠ Y 3. Orthorombic a ≠ b ≠ c α = β = Y = 90o 4. Tetragonal a ≠ b ≠ c α = β = Y = 90o 5. Cubic a = b = c α = β = Y = 900 6. Trigonal a = b = c α = β = Y ≠ 90o 7. Hexagonal a = b = c α = β = 900, Y ≠ 120o

Logam-logam membeku membentuk kristal dengan sistem kristal kubus atau sistem kristal hexagonal. Dari keempatbelas jenis space lattice, hanya 3 macam dijumpai pada logam-logam yang biasa digunakan yaitu :

1. Face Centered Cubic (FCC) atau Kubus Pemusatan Sisi (kps) 2. Body Centered Cubic (BCC) atau Kubus Pemusatan Ruang (kpr)


(30)

Gambar 2.4 Keempatbelas macam kemungkinan kisi Bravais (Cullyti,1978)

2.3 Bidang Kristalografi

Bidang didalam lattice kristal dimana terdapat susunan atom-atom merupakan bidang kristalografi (Indeks Miller). Untuk menentukan Indeks Miller dari suatu bidang kristalografi dibuat suatu koordinat ruang melalui susunan


(31)

atom-atom, dengan mengambil suatu titik atom pada lattice sebagai titik pusat koordinat ruang. Secara umum bidang kristalografi ditulis bidang (hkl). Pada sistem kristal dapat dibuat bidang yang tak terhingga banyaknya, tetapi yang mempunyai arti penting kepadatan atom yang tinggi dan jarak antar bidang yang besar merupakan keluarga bidang [110] untuk sistem BCC, dan keluarga bidang [111] untuk sistem FCC (Gambar 2.5)

Gambar 2.5 Bidang kristalografi hkl [111] (Peter,1985)

2.4 Perlakuan Panas (Heat treatment)

Perlakuan panas merupakan kombinasi proses pemberian panas pada logam atau paduan pada keadaan padat hingga temperatur dan waktu tertentu kemudian dilanjutkan dengan proses pendinginan yang sesuai sehingga sifat fisis, mekanis diinginkan (Thong, 1998 dan Bawa,1986). Perlakuan panas antara lain Anelisasi, Normalisasi, Tempering, Austemper, dan sebagainya.


(32)

2.4.1 Prosse Anelisasi

Anelisasi merupakan proses perlakuan panas yang bertujuan untuk mendapatkan butir yang seragam. Berdasarkan gambar 2.1 proses anil dilakukan pada temperatur austenit 1000oC sampai 1400oC, selanjutnya didinginkan dengan cara dicelupkan kedalam air (water quenching) sampai temperatur kamar.

2.4.2 Penahanan Temperatur (Holding Time)

Penahanan suhu selama beberapa waktu (holding time) bertujuan agar karbon yang terdapat dalam karbida dapat larut ke fasa austenit secara merata dan temperatur yang diterima pada permukaan dan bagian dalam baja merata sehingga pada waktu dilakukan pencelupan cepat (quenched) tidak mengalami retakan. Waktu yang diperlukan untuk penahanan temperatur (holding time) tergantung pada jenis baja yang diberi perlakuan panas (heat treatment).

2.4.3 Proses Pemanasan Kembali (Reheat Treatment)

Proses reheat treatment pada baja yang telah dianilisasi bertujuan untuk memicu terbentuknya suatu fasa baru yang dapat mempengaruhi stuktur mikro dari baja. Fasa baru yang diinginkan adalah fasa pearlit yang terbentuk di batas butir ferrit pada temperatur 600oC sampai 900oC. Penambahan volume fasa pearlit terjadi seiring dengan lamanya waktu penahanan yang diberikan, selanjutnya dilakukan pendinginan di udara (air cooling) sampai temperatur kamar agar fasa pearlit yang terbentuk dengan baik di batas butir.


(33)

2.4.4 Media Pendingin

Keberhasilan suatu proses pengerasan atau pengerjaan panas dari baja sangat dipengaruhi oleh kecepatan pendinginan karena struktur yang terbentuk dari hasil pendinginan yang sangat beraneka ragam jenisnya. Medium pendingin yang sering digunakan khususnya pada proses pengerasan adalah :

1. Air (H2O)

2. Minyak (Oli) 3. Udara

Dari ketiga media pendingin tersebut, yang paling cepat mendinginkan adalah air kemudian oli dan yang paling lambat adalah udara. Kecepatan atau laju pendinginan sangat mempengaruhi struktur mikro (grain size) dari logam. (Beurmer, 1980).

2.5Pendinginan

Proses pendinginan dilakukan setelah perlakuan panas diberikan pada logam atau paduan baja. Pendinginan terbagi dua yaitu, pendinginan cepat dan pendinginan lambat dengan berbagai media pendinginan yang digunakan, Gambar 2.6. diantaranya:

1. Pencelupan (quenching) dengan media ; air, minyak, es, dan dry ice 2. pendinginan di ruangan atau dikenal dengan air cooling

3. pendinginan di dalam tungku atau dikenal dengan furnace cooling Pendinginan cepat bertujuan agar terbentuk struktur mikro yang berubah dari keadaan annelisasi sehingga dihasilkan baja dengan kekerasan yang mudah


(34)

getas, sedangkan pendinginan lambat bertujuan agar didapat struktur mikro yang lebih stabil dikarenakan perubahan bentuk butir terjadi secara perlahan sehingga menghasilkan baja yang lunak dan ulet.

Umumnya di diginkan mendadak (quenching) ini digunakan untuk memberikan kekerasan yang tinggi pada baja, memberikan kekuatan mekanis, dan mempertahankan keuletan dari suatu baja. Pengerasan (hardening) yaitu pemanasan baja diatas temperatur kritis, dipertahankan pada temperatur ini lalu di dinginkan mendadak (quenching). Karena mendadak dalam hal pendinginan, maka unsur-unsur karbon (C) tidak sempat keluar (terperangkap) menjadi sehingga timbul tegangan dalam atom-atom C yang tinggal, dengan kata lain dari kubus menjadi tetragonal, sehingga baja menjadi keras.

Gambar 2.6 Diagram CCT (Continous Cooling Transformation) variasi media pendinginan terhadap struktur mikro yang dihasilkan ( Shackelford, 1996)


(35)

Setelah proses quenching akan diperoleh kekerasan tinggi tetapi pada saat bersamaan akan timbul tegangan dalam yang tinggi yang dapat mengakibatkan baja menjadi rapuh (brittle). Untuk menghilangkan tegangan dalam (internal stress).

2.6 Rekristalisasi

Akibat dari pengerjaan dingin (Cold working) kekerasan, kuat tarik dan tahanan listrik akan naik tetapi keuletan menurun, dan juga terjadi peningkatan jumlah dislokasi yang besar dan bidang kristalografi tertentu akan mengalami distorsi yang hebat.

Sebagian dari energi yang diberikan untuk mendeformasi logam tersebut dikeluarkan lagi sebagai panas, dan sebagian lagi tetap tersimpan dalam struktur kristal sebagai energi dalam yang dikaitkan dengan cacat kristal yang terjadi sebagai akibat dari deformasi.

Bila logam yang telah mengalami pengerjaan dingin dipanaskan kembali maka atom-atom akan menerima sejumlah energi, dan membentuknya menjadi energi panas yang dapat dipakai untuk bergerak dan memebentuk sejumlah kristal yang bebas cacat, bebas tegangan dalam. Peristiwa perubahan yang terjadi selama proses pemanasan kembali dibagi menjadi tiga tahap:

1. Pemulihan (Recovery )

2. Rekristalisasi (Recrystalization) 3. Pertumbuhan butir (Grain growth)


(36)

2.6.1 Pemulihan (Recovery)

Pemulihan terjadi pada awal pemanasan kembali dengan temperatur rendah, dan perubahan tidak diikuti dengan perubahan struktur, serta perubahan sifat mekanik. Perubahan yang terjadi hanyalah berkurangnya tegangan dalam.

Perlunya pengurangan tegangan dalam ini untuk dapat mencegah terjadinya distorsi pada bahan yang mengalami pengerjaan dingin akibat tegangan sisa.

2.6.2 Rekristalsasi (Recrystalization)

Pemanasan kembali hingga temperatur yang lebih tinggi akan menyebabkan munculnya kristal yang baru dari kristal yang terdistorsi, dengan struktur kristal dan komposisi kimia yang sama pada saat sebelum pengerjaan dingin, kecuali kristal yang dendrite, kristal yang tadinya dendrite, setelah pengerjaan dingin dan pemanasan kembali bentuk

dendrite akan hilang. Kristal baru yang mula-mula muncul pada batang

kristal yang mengalami distorsi paling hebat yang terjadi pada batas butir dan bidang slip. Kelompok-kelompok atom (cluster of atom) disekitarnya menjadi inti. Sehingga inti bertumbuh menjadi kristal baru, yang lebih besar dan akhirnya kristal lama yang terdeformasi akan habis.

Rekristalisasi terjadi melalui pergantian dan pertumbuhan. Untuk memperoleh suatu proses rekristalisasi diperlukan masa inkubasi. Maka inkubasi diperlukan sebagai waktu untuk mengumpulkan sejumlah energi


(37)

yang cukup memulai rekristalisasi. Mula-mula laju kristalisasi rendah kemudian cepat dan akhirnya melambat lagi menjelang akhir proses (Gambar 2.7).

Gambar 2.7 Proses Rekristalisasi (Wahid,1987)

Rekristalisasi dapat terjadi pada temperatur tertentu yang dinamakan tenperatur rekristalisasi temperatur dimana logam yang dideformasi dingin akan mengalami rekristalisasi, yang dapat selesai dalam satu jam. Tingginya temperatur rekristalisasi ini dipengaruhi oleh besarnya deformasi dingin sebelumnya (Gambar 2.8). temperatur rekristalisasi makin rendah bila logam telah mengalami pendinginan.

Logam yang dideformasi pada temperatur diatas temperatur rekristalisasi akan langsung mengalami rekristalisasi dan setelah deformasi selesai akan diperoleh kristal yang sama dengan kristal sebelum mengalami deformasi (pengerjaan panas).


(38)

Gambar 2.8 Pengaruh deformasi pada temperatur awal rekristalisasi (Wahid,1987).

2.7 Mikroskop Optik

Sebelum dilakukan pengamatan mikroskop optik, benda uji dilakukan pemolesan kemudian dietsa dengan bantuan larutan kimia yang sesuai dan dapat emberikan gambaran ukuran butir, distribusi fasa, keteraturan dan ketidakteraturan butir.

Mikroskop optik atau mikroskop cahaya terdiri dari tiga bagian pokok, yaitu :

a. Lensa pemantul (illuminator), untuk memantulkan permukaan logam b. Lensa objektif yang mempunyai daya pisah.

c. Lensa mata (eyepiece), lensa okuler untuk memperbesar bayangan yang terletak terbentuk oleh lensa objektif.

Sebagaimana pada Gambar 2.9, berkas horizontal cahaya dari sumber cahaya dipantulkan dengan memakai reflektor kemudian melalui lensa objektif


(39)

dan diteruskan keatas permukaan benda uji. Beberapa cahaya dipantulkan dari permukaan benda uji akan diperbesar melalui lensa objektif, akan berlanjut ke atas melalui bidang reflektor kembali dan akan diperbesar lagi oleh lensa okuler (eyepiece).

Gambar 2.9 Skema mikroskop optik (Vander,1984)

Kekuatan pembesaran awal dari lensa objektif dan okuler biasanya digambarkan pada puncak lensa, dimana pada pucak lensa diletakkan kamera untuk menggambarkan hasil pembesaran tersebut.


(40)

2.8 X- Ray Difraction (XRD)

Sinar x merupakan gelombang elektromagnetik yang dapat digunakan untuk mengetahui struktur kristal dan fasa suatu material. Bila sinar x dengan panjang gelombang λ diarahkan kesuatu permukaan kristal dengan sudut datang sebesar θ, maka sebagian sinar akan dihamburkan oleh bidang atom dalam kristal. Berkas sinar – x yang dihamburkan dalam arah-arah tertentu akan menghasilkan puncak-puncak difraksi yang dapat diamati dengan peralatan X-Ray Diffraction (Cullity 1978)

Gambar 2.10 Peristiwa difraksi sinar –x (Cullity 1978)

Pada Gambar 2.10 diatas terlihat bahwa suatu sinar – x yang panjang gelombangnya λ jatuh pada suatu permukaan material dengan sudut θ terhadap permukaan bidang Bragg yang jarak antaranya d. seberkas sinar mengenai atom A pada bidang pertama dan atom B pada bidang berikutnya, dengan masing-masing atom menghambur sebagian berkas tersebut dalam arah rambang, interferensi konstruktif hanya terjadi antara sinar yang terhambur sejajar dan beda jarak jalannya tepat λ 2λ, 3λ dan seterusnya. Jadi beda jarak jalan harus nλ dengan n menyatakan bilangan bulat.


(41)

Berkas sinar yang dihambur oleh A dan B yang memenuhi ialah yang bertanda I dan II. Dari Gambar 2.10 di atas diperoleh :

CB = BD = d sin θ DB = d

Sudut ACB = sudut ADB Beda lintasan antara 1 dan 2 adalah :

CB + BD = d sin θ + d sin θ = 2d sin θ = nλ

Menurut syarat terjadinya difraksi, beda lintasan merupakan kelipatan bilangan bulat dari panjang, sehingga hal tersebut dirumuskan W. L. Brag (Edgar,1939).

nλ = 2d sin θ ...………(2-1) dengan n = orde difraksi (n = bilangan bulat 1, 2,3…)

λ = panjang gelombang sinar – X d = jarak antar bidang

Stuktur kristal dapat dilihat dengan analisa difraksi sinar – X. Setiap material yang diidentifikasikasi mempunyai nilai d yang berbeda dan harganya tergantung pada posisi bidang kristal tersebut. Struktur kristal dan fasa dapat diketahui dengan cara membandingkan nilai d terukur dengan nilai d pada data standar yang diperoleh melalui JCPDS (Joint Of Committe Powder Difraction Standard) atau Hanawalt Methode.


(42)

2.9 Scanning Electron Microscope (SEM)

Scanning Electron Microscope (SEM) adalah mikroskop yang

menggunakan berkas elektron sebagai sumber pencahayaannya, mempunyai daya pisah yang tinggi ( = 200 – 0.1 ), sehingga dapat difokuskan kedalam titik (spot) yang sangat kecil. Dengan alat ini dapat dilakukan analisa struktur dan

morfologi .

Gambar 2.11 Skematik Scanning Electron Microscope (SEM)(Thong,1998)

SEM memiliki pembesaran bervariasi mulai dari 500 kali sampai 10.000 kali pembesaran sehingga dapat menunjukkan bagian-bagian yang tidak terlihat ketika diuji dengan mikroskop optik. Elektron ditembakkan ke lintasan yang memiliki kevakuman yang tinggi. Molekul gas (dalam hal ini gas nitrogen) akan menangkap elektron sehingga elektron yang terhambur akan mengenai benda uji.


(43)

3.1 Diagram Alir Penelitian

Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian

ANALISIS KOMPOSISI

XRF,Spektrometer

SAMPEL ( Fe Mn)

Tanpa Perlakuan

Perlakuan panas

1050 0C (WQ)

Perlakuan panas kembali

500 0C

30 menit 60 menit

550 0C

30 menit 60 menit

600 0C

30 menit 60 menit

500 0C

30 menit 60 menit

550 0C

30 menit 60 menit

600 0C

30 menit 60 menit Pendinginan udara Pendinginan udara Pendinginan udara Pendinginan air g Pendinginan air Pendinginan air

Observasi Metallographi , XRD ,SEM

Ob i

KESIMPULAN


(44)

3.2Bahan-Bahan

1. Baja Mangan Hadfield AISI 3401 2 Larutan Alumina

3. Larutan Etsa ( HNO3 + Ethanol )

4. Alkohol 96 %

5. Kertas Pasir ( 100, 350, 600, 800, 1000, 1500, 2000 ) mesh 6. Kain Beludru

7. Air ( Aquades ) 3.3Peralatan

1. Mesin potong sampel

2. Tungku pemanas ( Furnace ) Vectar VHT – 3

3. Optical Microscopy ( Epiplan Hdlenz, Carl Zeiss, 220 V – 60 Hz, 80 VA) 4. Mesin Poles ( Polisher )

5. Scanning Electron Microscopy

6. Penjepit sampel

7. Pengering (Specimen dryer) 8. XRD apparaturs

3.4Prosedur Penelitian

3.4.1 Preparasi Sampel

Spesimen test untuk penelitian metallografik dipotong dan dipreparasi dari pelat-pelat di atas, yang mempunyai ukuran 1 × 2 × 2,5 cm (Gambar 3.2) dengan mesin pemotong presisi untuk menghindari perubahan transformasi fase. Kemudian sampel dimonting menggunakan resin dengan bantuan pencetakan pipa


(45)

paralon diameter 1.5 inchi. Sampel diletakkan didalam cetakan disiram dengan resin yang telah dicampur dengan katalis.

Gambar 3.2 Bentuk dan ukuran benda uji

2,5 cm

2 cm 1 cm

3.4.2 Perlakuan Panas

Setelah semua benda uji selesai dipreparasi, kemudian dilakukan perlakuan panas yang terbagi atas 2 tahap

1 Proses Anelisasi

Benda uji yang telah dipreparasi diolah-panas pada temperatur 1050°C selama 60 menit pada tungku listrik PID pengolah-panas tipe Vectar VHT-3, kemudian semua benda uji didinginkan dengan cara dicelup cepat (quench) ke dalam air (Gambar 3.3) sehingga benda uji akan menjadi keras dengan struktur mikro yang lebih teratur.

Gambar 3.3 Proses heat treatment dan re-heat treatment Pendinginan cepat (water quenching)

Laju Pemanasan Laju Pendinginan Waktu Penahanan T em pe ra tu

r ( C

)


(46)

2 Proses Pemanasan Kembali (Re-Heat Treatment).

Sebagai pengolahan kedua, sampel diolah-panas kembali dalam temperatur yang berbeda dengan waktu yang bervariasi. Temperatur yang dipilih untuk pengolahan-panas kembali sampel adalah dari 500°C sampai 600°C dengan tahapan peningkatan 50°C dengan waktu pemanasan yang bervariasi. Temperatur prediksi ini didasarkan pada diagram fasa Fe-Mn. Setelah pemanasan dengan waktu yang bervariasi (30 menit dan 60 menit), kemudian pendinginan sampel dibedakan medianya, didinginkan didalam air (water quenching) Gambar 3.3 dan diudara (air cooling) Gambar 3.4 .

Gambar 3.4 Proses reheat treatment Pendinginan lambat (air cooling)

3.4.3 Pengujian Mikrostruktur

Proses kerja, sampel harus digerinda di dalam mesin pemoles dengan menggunakan kertas ampelas dari 100, 350, 600, 800, 1000, 1500 hingga 2000 mesh. Untuk sebagian besar operasi, dengan laju rotasi 450 putaran/menit. Setelah penggerindaan selesai pada kertas ampelas 2000 mesh, Sampel dipoles dengan menggunakan pasta alumina 1µ untuk memperoleh permukaan mirip cermin, dan

Laju Pemanasan Laju Pendinginan Waktu Penahanan T em pe ra tu

r ( C

)


(47)

kemudian sampel dibersihkan dengan menggunakan mesin pembersih ultrasonik, Branson 1210, Model B1210E-MT 47 KHz, 230 Volt. Proses etsa dengan menggunakan alat etsa adalah seperti yang diperlihatkan pada tabel dibawah.

Sampel dietsa dengan alat etsa standar dalam urutan larutan A, B, C. (tabel 3.1) dan kemudian dipoles kembali untuk menghilangkan semua berkas alat etsa.

Tabel 3.1 Larutan Etsa (Lampiran E)

Jenis larutan Komposi

Larutan A 100 ml alkohol 3 ml HNO3

Larutan B 90 ml ethanol 10 ml HCl Larutan C 100 ml ethanol 2 ml NH4OH

Penentuan sifat-sifat Mikrostruktur dilanjutkan dengan alat mikroskop analisator bayangan optik (Epiplan Hdlenz, Carl Zeiss, 220 V – 60 Hz, 80 VA) dengan pembesaran 200X.

3.4.4. Scanning Electron Microscope (SEM)

Analisa struktur mikro dari suatu bahan dapat dilakukan dengan menggunakan SEM. Prosedur preparasi sampel dan pemotretannya adalah sebagai berikut :

a. Sampel yang akan dianalisa dengan SEM harus dipoles dengan diamond paste mulai dari ukuran yang paling kasar hingga 0,25 µm, dimana permukaannya menjadi halus dan rata.

b. Pembersihan permukaannya dari lemak dan pengotor lainnya dengan menggunakan ultrasonic cleaner selama 2 menit dan menggunakan bahan alkohol

c. Pelapisan permukaan sampel dengan bahan emas dan selanjutnya difoto bagian-bagian yang diinginkan dengan perbesaran tertentu.


(48)

3.4.5 Pengujian X-Ray Diffraction (XRD)

Pengujian XRD dilakukan untuk mengetahui perubahan struktur kristal dari fasa-fasa yang terdapat pada benda uji mulai keadaan awal sampai diberi perlakuan panas. Untuk sifat pengolahan, sampel diperiksa dengan menggunakan X-Ray Diffraction (Philips, PW/1835 NC9430 seluruhnya dihubungkan dengan interface temperatur komputer) .


(49)

4.1 Uji Komposisi

Komposisi kimia dari sampel uji Baja Mangan Hadfield yang digunakan AISI 3401 dengan komposisi kimia seperti yang diperlihatkan dalam Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Komposisi Baja Mangan Hadfield (AISI 3401) dalam %wt

Komposisi Standara Modifikasib Modifikasic

% C 1,0-1,2 1,059 -

% Mn 11-14 11,34 11,36

% Si - 0,3694 0,6252

% Ni - 0,1345 (Zr) 0,0599

% Cr - 0,1362 0,1668

a Baja Hadfield standar secara teoritis

b Komposisi analisa aktual dengan Spektrometer c Komposisi analisa aktual dengan XRF

Komposisi kimia dikaji dengan menggunakan spektrometer, XRF data hasil pada lampiran A. Dari Tabel 4.1 dari uji yang dilakukan terdapat dominasi unsur Mn dengan perbandingan unsur Mn : C = 11,34 : 1.059.

Pada pengujian XRF tdak dapat diketahui % wt C terlihat dari puncak-puncak hasil XRF tidak terlihat adanya puncak-puncak C, dengan spektro meter optik % wt atom C dapat diketahui sebesar 1.059 % wt.


(50)

4.2. Analisa Difraksi Sinar –X (X-Ray Diffraction)

Puncak difraksi dapat diidentifikasi dengan cara membandingkan nilai d terukur (Lampiran B) dengan nilai d pada data standar yang diperoleh dari PCPDFWIN-FERRITE dan PCPDFWIN-AUSTENITE & FERRITE ( Lampiran C)

Puncak-puncak difraksi dari benda uji pada keadaan awal terlihat bahwa ada tiga puncak difraksi. Ketiga puncak difraksi dari fasa α dan fasa γ yang diukur dengan sudut difraksi 50ο- 89ο.

Pada pengukuran benda uji pemanasan 1050 °C diquenching sehingga mencapai fasa austenit, hasil pengukuran diperoleh tiga buah puncak dengan sudut 2θ yang berbeda misalnya, sudut 2θ = 50.74 dan dvalue = 2.08722. (Tabel 4.2)

dibandingkan dengan data file PCPDF sudut 2θ = 50.940 dan dvalue = 2.08000

terlihat hasil pengukuran mendekati nilai file maka bidang hkl yang terbentuk 111 dengan struktur kristal FCC pada fasa austenit.

Pengukuran pada perlakuan panas kembali temperatur 500°C dengan proses pendinginan lambat (air cooling) diperoleh empat puncak difraksi yang berbeda dengan sudut 2θ yang bervariasi, sebagai contoh 2θ = 110.4 dan dvalue =

1.09009 terlihat hasil pengukuran mendekati nilai file PCPDF diperoleh bidang hkl = 311, struktur kristal pada fasa ini kemungkinan kristal FCC atau BCC. Pada temperatur 550 °C terlihat awal terbentuknya struktur kristal HCP. Pada temperatur 550°C waktu penahanan 60 menit terjadi struktur kristal HCP. Temperatur 600°C merupakan fasa terbentuknya perlit . Hasil pengukuran XRD fasa-fasa yang terbentuk di plot pada Gambar 4.1 dengan Gambar 4.3.


(51)

Tabel 4.2 Hasil Pengukuran 2θ dan dvalue

Eksperimen File PCPDF

Perlakuan

Sudut 2 θ d value Sudut 2 θ d value

bidang

h k l

Struktur Kristal

50.74 2.08722 50.940 2.0800 111 FCC 59.28 1.80848 59.595 1.8000 200 FCC Water Q

88.96 1.27819 89.549 1.2700 220 FCC

50.9 2.08560 50.940 2.0800 111 FCC

59.44 1.80416 59.595 1.8000 200 FCC 88.94 1.27750 89.549 1.2700 220 FCC AC

500-30 menit

110.4 1.09009 111.36 1.0830 311 FCC/BCC 50.89 2.08560 50.940 2.0800 111 FCC 59.38 1.80836 59.595 1.8000 200 FCC 88.96 1.27750 89.549 1.2700 220 FCC AC

500-60 menit

110.36 1.09009 111.36 1.0830 311 FCC/BCC 51.14 2.07404 50.940 2.0800 111 FCC 59.62 1.79999 59.595 1.8000 200 FCC 98.42 1.27406 99.705 1.1702 220 FCC 52.76 2.01291 52.849 2.0100 110 BCC 89.05 1.27577 89.549 1.2700 220 FCC AC

550-30 menit

110.66 1.08809 111.36 1.0830 311 FCC/BCC 51.24 2.07404 50.940 2.0800 111 FCC 52.64 2.01830 52.849 2.0100 110 BCC

59.7 1.79999 59.595 1.8000 200 HCP

89.44 1.27235 89.549 1.2700 220 FCC AC

550-60 menit

111.04 1.08511 111.36 1.0830 311 FCC/BCC

51.2 2.07404 50.940 2.0800 111 FCC

52.7 2.01830 52.849 2.0100 110 BCC

59.72 1.79999 59.595 1.8000 200 HCP 89.32 1.27235 89.549 1.2700 220 FCC AC

600-30 menit

110.82 1.08710 111.36 1.0830 311 FCC/BCC 51.18 2.07404 50.940 2.0800 111 FCC 52.64 2.01830 52.849 2.0100 110 BCC 59.68 1.79999 59.595 1.8000 200 HCP

89.4 1.27235 89.549 1.2700 220 FCC

AC 600-60 menit


(52)

Gambar 4.1 Perbandingan sudut difraksi PW/1835 NC9430 keadaan awal Heatreatment 1050 0C, 60 menit Gambar 4.1 Perbandingan sudut difraksi PW/1835 NC9430 keadaan awal Heatreatment 1050 0C, 60 menit


(53)

(54)

(55)

4.3 Analisa Gambar

4.3.1. Analisa Pada Pemanasan 1050°C Yang Diikuti Dengan Pendinginan-Air

Gambar 4.4 Menunjukkan serat-serat austenit baja Hadfield dengan twin-twin.

Mikrostruktur baja mangan austenit Hadfield bila diolah panas pada 1050°C dan kemudian diikuti dengan proses pendinginan cepat diperlihatkan pada Gambar 4.4.

4.3.2 Analisa Mikrostruktur Pada Aturan Pemanasan Kembali 500°C

Media pendinginan sangat mempengaruh proses pengintian, batas butir, butir, acccilar dan klaster dan fasa-fasa yang terbentuk Gambar 4.5a. Proses Pemanasan kembali 500°C dan waktu penahanan 30 menit kemudian didinginkan media air diakibatkan pada proses terbentuk pengintian (nukleasi) dengan warna


(56)

bintik hitam dalam butir terlihat jelas Gambar 4.5a. Butir diperkaya oleh elemen pembentukan fasa austenit sehingga kelihatan tidak seragam (tidak homogen). Saat yang sama terlihat bidang kembaran (twin-twin) pada butir, maupun batas butir.

Sampel kemudian dipanaskan kembali 60 menit, pada proses ini pengintian berkurang tetapi sebaliknya terbentuk proses pengklasterisasian. Pengaruh pengklasterisasian dapat menyebabkan penghomogenan terlarut pada butir (grain). Garis baru bidang kembaran (twin-twin) yang terdapat pada butir (grain) maupun

batas butir (grain boundari) mulai tersolidifikasi sebagai persifitat-presifitat yang terlarut didalam butir akan bermigrasi kebatas butir sehingga kehomogenan fasa austenit sudah mulai signifikan Gambar 4.5b.

Proses pemanasan dengan temperatur 500°C waktu penahanan 30 menit kemudian pendinginan memakai media udara. Hasil makro Gambar 4.5c terlihat adanya pengintian berkurang dan garis kembaran (twin-twin) terlihat pada batas butir maupun pada butir. Terlihat jelas awal terbentuknya accicular-accicular. Pada waktu penahanan 60 menit, elemen-elemen tersolidifikasi dalam butir austenit secara signifikan bermigrasi keluar butir maupun batas butir dan dapat memperkaya bidang-bibang kembaran (twin) ferrit accicular.

4.3.3 Analisa Mikrostruktur Pada Pemanasan Kembali 550°C

Proses Pemanasan kembali waktu penahanan 30 menit dengan media pendinginan air gambar 4.5e, Proses pengintian mulai berkurang, dan


(57)

klaster-klaster tebal banyak terlihat jelas, dimana presifitat bermigrasi dari dalam kebatas butir proses ini mempercepat pembentukan klaster (Klasterifikasi) dipermukaan butir Gambar 4.5e. Waktu pemanasan kembali 550°C dan penahanan 60 menit klaster-klaster yang terbentuk lebih banyak, dibandingkan pada perlakuan panas 500°C dan penahanan 30 menit Gambar 4.5f. Pengaruh water quenching dimana elemen-elemen yang terlarut dalam kluster terdistribusi kembali kedalam butir. Kehomogenan elemen terlarut pada klaster akan terdistribusi kedalam butir (grain) dimana pearlit terdistribusi Gambar 4.5g.

Proses Pemanasan kembali 550°C waktu perlakuan 30 menit dengan media pendinginan udara, terjadi proses pengendapan dan disertai terbentuknya accicular sehingga proses pengklasterifikasian jelas terlihat lebih signifikan

Gambar 4.5g. Perlakuan panas dengan waktu penahanan 60 menit, accicular - accicular mulai berkurang yang dominan terjadi pengklasterifikasian Gambar

4.5h.

4.3.4 Analisa Mikrostruktur Pada Aturan Pemanasan Kembali 600°C

Proses Pemanasan kembali 600°C waktu penahanan 30 menit dengan media pendinginan air, ferrit accicular terbentuk dimana ferrit accicular yang subur akan mulai membentuk fasa pearlitit Gambar 4.5i. Pada perlakuan 60 menit terbentuk presifitat dalam butir dan membentuk fasa perlit dalam butir Gambar 4.5j.


(58)

Perlakuan panas kembali 600°C waktu penahanan 30 menit dan 60 menit dengan media pendinginan udara,terbentuk fasa pearlitit stabil Gambar 4.5k dan 4.5l.

Proses distribusi maupun presifitasi baik pada batas butir (grain boundari) maupun didalam butir (grain) dapat ditampilkan seperti Gambar 4.6

Temperatur Media Pendi ngin Wak tu Perla

kuan 500°C 550°C 600°C

30

a e i

Water quenching 60

b f j

30

c g k

Air coolin

g

60

d h l


(59)

4.3.5 Pemetaan Interpretasi Fasa

Berdasarkan hasil pemetaan, jelas terlihat bahwa :

1. Pada pendinginan cepat (Water Quenching) dengan waktu tahan 30 menit kenaikan temperatur akan mempercepat proses nukleasi membentuk fasa pearlit. Pertumbuhan dimulai dengan pembentukan inti (nukleasi) menjadi klaster-klaster yang selanjutnya membentuk paduan (alloy) fasa pearlit.

Prosse Pembentukan Struktur ferrit : → + α Temperatur aging

Media

pendi ngin

waktu

500ºC 550ºC 600ºC

30 m

eni

t

a e i

Water Quen

ching

60 m

eni

t

b f j

30 m

eni

t

c g k

Air Cooling

60 m

eni

t

d h l


(60)

2. Pada pendinginan cepat (Water Quenching) dengan waktu tahan 60 menit terlihat jelas bahwa proses nukleasi pada waktu tahan yang lebih lama menghasilkan jumlah inti yang lebih banyak. Selanjutnya pengaruh temperatur akan mempercepat pengintian menjadi nukleasi yang memicu proses pembentukan fasa pearlit

Pengaruh pendinginan cepat (Water Quenching) juga akan memberikan dampak masih tersisanya proses pengintian didalam butir austenit. Proses pengintian ini dimungkinkan akibat dampak dari pada proses kejut dari laju pendinginan yang cepat, sehingga presifitat yang terbentuk didalam batas butir dapat kembali keposisi didalam butirnya. Berdasarkan hal tersebut maka boleh ditarik analog. Pembentukan fasa pearlitit yang stabil memerlukan waktu tahan, pemanasan dan media pendinginan yang optimum.

3. Pada pendinginan lambat (air cooling) dengan waktu tahan yang sama (30 menit) kenaikan temperature akan mempercepat proses nukleasi membentuk fasa pearlit. Pertumbuhan dimulai dengan telah terbentuknya ferrit acicular yang menghasilkan klaster-klaster yang berglanurisasi dari

keadaan tidak sempurna menjadi sempurna. Proses glanurisasi sempurna akan menghasilkan alloysasi fasa pearlitit.

4. Pada pendinginan lambat (air cooling) dengan waktu tahan yang sama (60 menit) terlihat bahwa proses accicularisasi klaster-klaster lebih banyak, kenaikan temperatur akan menyebabkan pembentukan fasa accicularisasi


(61)

kepada proses pembentukan klaster yang berglanurisasi dan masih ada proses accicularisasi yang cukup signifikan .

Pada temperatur 600°C dengan waktu tahan 60 menit , accicular dan klaster-klaster tidak terlihat secara signifikan.

Pemetaan Interpretasi fasa terlihat secara signifikan bahwa temperatur 600°C merupakan daerah temperatur awal pembentukan fasa pearlit. Proses pembentukan fasa accicular dimungkinkan karena migrasi fasa pearlitit lebih cepat dibandingkan migrasi fasa paduan lainnya.


(62)

5.1 KESIMPULAN

1. Pada Baja Mangan Hadfield AISI 3401 dominan membentuk fasa austenit setelah diberi perlakuan panas pada temperatur 1050°C.

2. Hasil Pengujian XRD (X-Ray Diffraction) dari benda keadaan awal dan setelah diquenching memperlihatkan pada benda uji terbentuk struktur kristal FCC. Pemanasan kembali untuk perlakuan pendinginan lambat (air cooling) dengan waktu penahanan yang berbeda terbentuk struktur paduan

baru dapat berupa struktur FCC atau BCC tidak stabil.

3. Hasil pengujian SEM dengan program semafore diperlihatkan pada benda uji terbentuk butir-butir austenit dengan twin-twin pada fasa austenitnya. Pada proses reheat treatment temperatur 500°C pendinginan lambat dan cepat waktu penahanan berbeda terbentuk pengintian (nukleasi).

Pada proses reheat treatment temperatur 550°C pendinginan lambat dan cepat waktu penahanan berbeda terbentuk klaster-klaster dan pengintian berkurang. khusus pada pendinginan lambat (air cooling) terlihat accicular-accicular.

Pada proses reheat treatment temperatur 600°C pendinginan lambat dan cepat waktu penahanan berbeda terbentuk awal fase pearlit yang stabil.


(63)

Kuantitas terbentuknya nukleasi, klasterifikasi dan acciculasisasi sangat signifikan dengan bertambahnya waktu penahanan pada temperatur sama. Kualitas fase pearlit yang terjadi dominan pada pendinginan lambat , pada pendinginan cepat waktu penahanan dan suhu yang sama terlihat adanya nukleasi sisa.

5.2 SARAN

Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk membuktikan kapan/bilamana waktu tertentu terbentuknya fasa-fasa pearlite dan butir serta penyebeb-penyebab yang cukup mendukungnya.

Berdasarkan hasil intrepetasi data fasa-fasa tersebut dan hasil XRD nya, maka penelitian ini sebagai bahan acuan physical metalurgi.


(64)

Gramedia Pustaka Utama.

Amanto, Hari, dan Daryanto. 1999. Ilmu Bahan. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Amstead, B.H, 1993. Teknologi Mekanik. Terjemahan Ir. Sriati Djaprie. Edisi

ke-7. Jilid I. Jakarta: Erlangga.

Bain, E.C. 1939. Alloying Element in Steel, Second Edition, American Society for Metals, Metals Park, Ohio,

Beumer, B. J. M. 1980. Pengetahuan Bahan. Terjemahan B. S. Anwil Matondang. Jilid III. Jakarta: Bhatara Karya Aksara.

Brady, G. S. and Hendry R. Clauser, 1981. Material Hand Book, Mc. GrawHill Book Company New York

Budinski, Kenneth G. 1996. Engineering Materials. Properties and Selection. Fifth Edition. New Jersey Colombus, Ohio: Prentice Hall Upper Saddle Rivers.

Clarck D.S and Varney W.R, (1962)" Metallurgy for Engineers", 2'd ed.p.205 228, 462 .1

Cullity.B.D. 1978 . Element 0f X-Ray Diffraction. Second Edition, Addison-wesley Publishing company, Inc.

Dieter, George E. 1996. Metalurgi Mekenik. Edisi ke-3. Jilid I. Jakarta: Erlangga. Fadhila. R, A.G.Jaharah, M.Z. Omar, C.H. Che Haron, and C.H. Azhari, 2005 A

Microstructural Mapping of the Austenitic Manganese Steel-3401 in Rapid Cooling, Journal of Solid State Science and Technology Letters, vol.12, p 143-148

Herman W. Pollack,1981. Material Science and Metallurgy, Reston Publsh. Coy Virginia

http:// www.avestapolarit.com.

Shackelford James, 1996. Introduction to Materials Science for Engineers, fourth edition, Prentice Hall International Inc.


(65)

Smith. R.W, A. DeMonte, W. B. F. Mackay, 2004 Development Of High-Manganese Steels For Heavy Duty Cast-To-Shape Applications, Journal of Material Processing Technology 153-154, 589-595.

Surdia, Tata. MS. dan Saito, Shinroku. 2005. Pengetahuan Bahan Teknik. Cetakan ke-6. PT. Prandnya Paramita, Jakarta.

Thong J.L.T. 1998. The Environment SEM, Jurnal Mikroskopik Dan Mikro Analisis, Vol.1(2)

Thornton, Peter A. And Colangelo, Viro J. 1985. Fundamentals of Engineering Materials. Inc: Prentice-Hall International.

Wahid Suherman, 1987. Pengetahuan Bahan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya

Van Vlack, LH,1985. Element Of Materials Science and Enginering, 5th ed. Addison-Wesley Publishing Company, USA

Vander Voort G.F, 1984. Metallography Principle and Practice, McGrawHill, p.215,632

Vernon Jonh, 1984 Testing of Materials, Mc. Millan, New York.

www.SEM.com


(66)

LAMPIRAN A1:


(67)

Lampiran A 2:

Sampel : DIN 1.3401x120Mn12

Fe C Si Mn P S Cr Ni

Avg 86.58 1.059 0.3694 >11.34 0.0493 0.0133 0.1362 0.1345

Mo Cu Al Ti V Co Nb W

Avg <0.000 0.1387 <0.000 <0.006 0.0067 0.0434 <0.023 <0.000

MNS MNSI CMN CE


(68)

LAMPIRAN A3:

VALIDATION USING XRF COMPARING TO

THE SPECKTROMETER ANALYSES


(69)

Material balance Analyses

aterial balance Analyses

By assuming that Carbon content is nearly to : 1.059 % Wt Total weight element is 100% - 1.059 % = 98,941 %

Material balance Analyses

No. Eleme nts Wt % using XRF % Wt Material Balance Calculation

1 Fe 87.7314 86.802324

2 Mn 11.3672 11.246821

3 C - 1.059

4 Si 0.6319 0.6252081 5 Cr 0.1686 0.1668145 6 Zn 0.0605 0.0598593 7 S 0.0405 0.0400711

Wt % deviation data for Fe-Mn Steel :

No. Type of

Elements

% Wt Element

in XRF

% Wt Element in Spectro Standard Material Balance Deviation

1 Fe 86.80 86.58 0.254 %

2 Mn 11.25 11.34 0.794 %

Data from spectrometer analyses

No. Elements 1 Fe 86.58 2 Mn 11.34 3 C 1.059 4 Si 0.3694 5 Cr 0.1362

6 Zn -


(70)

L

am

p

ir

an B1


(71)

L

am

p

ir

an B2


(72)

L

am

p

ir

an B3


(73)

L

am

p

ir

an B4


(74)

L

am

p

ir

an B5


(75)

59

L

am

p

ir


(76)

L

am

pi

ra

n B7


(77)

PCPDFWIN

AUSTENITE & FERRITE

L

am

p

ir

an C


(78)

(79)

(80)

(81)

(82)

PCPDFWIN - FERRITE


(83)

(84)

(85)

(86)

(87)

(88)

(89)

(90)

(91)

(92)

(93)

(94)

(95)

LAMPIRAN D: Gambar hasil Program SEMAFORE

Gambar D.1 mikrostruktur sampel tanpa perlakuan

:Gambar D.2 mikrostruktur pada pemanasan 1050°C waktu penahanan 60 menit proses pendinginan cepat (water quenching)


(96)

Gambar D.3 mikrostruktur pada pemanasan kembali 500°C waktu penahanan 30 menit proses pendinginan cepat (water quenching )

Gambar D.4 mikrostruktur pada pemanasan kembali 500°C waktu penahanan 60 menit proses pendinginan cepat (water quenching )


(97)

Gambar D.5 mikrostruktur pada pemanasan kembali 550°C waktu penahanan 30 menit proses pendinginan cepat (water quenching )

Gambar D.6 mikrostruktur pada pemanasan kembali 550°C waktu penahanan 60 menit proses pendinginan cepat (water quenching )


(98)

Gambar D.7 mikrostruktur pada pemanasan kembali 600°C waktu penahanan 30 menit proses pendinginan cepat (water quenching )

Gambar D.8 mikrostruktur pada pemanasan kembali 600°C waktu penahanan 60 menit proses pendinginan cepat (water quenching )


(99)

Gambar D.9 mikrostruktur pada pemanasan kembali 500°C waktu penahanan 30 menit proses pendinginan lambat(air cooling )

Gambar D.10 mikrostruktur pada pemanasan kembali 500°C waktu penahanan 30 menit proses pendinginan lambat (air cooling )


(100)

Gambar D.11 mikrostruktur pada pemanasan kembali 550°C waktu penahanan 30 menit proses pendinginan lambat (air cooling )

Gambar D.12 mikrostruktur pada pemanasan kembali 550°C waktu penahanan 60 menit proses pendinginan lambat (air cooling )


(1)

81

Gambar D.5 mikrostruktur pada pemanasan kembali 550°C waktu penahanan 30 menit proses pendinginan cepat (water quenching )

Gambar D.6 mikrostruktur pada pemanasan kembali 550°C waktu penahanan 60 menit proses pendinginan cepat (water quenching )


(2)

Gambar D.7 mikrostruktur pada pemanasan kembali 600°C waktu penahanan 30 menit proses pendinginan cepat (water quenching )

Gambar D.8 mikrostruktur pada pemanasan kembali 600°C waktu penahanan 60 menit proses pendinginan cepat (water quenching )

S.K. Kurniawan Siregar: Perubahan Fasa Baja Mangan (FeMn) Hadfield 3401 Pada Proses Pemanasan Dan Perlakuan Pendinginan Cepat (Water Quenching) Dan Lambat (Air Cooling), 2007.


(3)

83

Gambar D.9 mikrostruktur pada pemanasan kembali 500°C waktu penahanan 30 menit proses pendinginan lambat(air cooling )

Gambar D.10 mikrostruktur pada pemanasan kembali 500°C waktu penahanan 30 menit proses pendinginan lambat (air cooling )


(4)

Gambar D.11 mikrostruktur pada pemanasan kembali 550°C waktu penahanan 30 menit proses pendinginan lambat (air cooling )

Gambar D.12 mikrostruktur pada pemanasan kembali 550°C waktu penahanan 60 menit proses pendinginan lambat (air cooling )

S.K. Kurniawan Siregar: Perubahan Fasa Baja Mangan (FeMn) Hadfield 3401 Pada Proses Pemanasan Dan Perlakuan Pendinginan Cepat (Water Quenching) Dan Lambat (Air Cooling), 2007.


(5)

85

Gambar D.13 mikrostruktur pada pemanasan kembali 600°C waktu penahanan 30 menit proses pendinginan lambat (air cooling )

Gambar D.14 mikrostruktur pada pemanasan kembali 600°C waktu penahanan 60 menit proses pendinginan lambat (air cooling )


(6)

LAMPIRAN E.

S.K. Kurniawan Siregar: Perubahan Fasa Baja Mangan (FeMn) Hadfield 3401 Pada Proses Pemanasan Dan Perlakuan Pendinginan Cepat (Water Quenching) Dan Lambat (Air Cooling), 2007.