menggunakan metode akustik, sangat perlu dilakukan penganalisaan faktor-faktor oseanografi bagi penentuan distribusi dan densitas sumberdaya ikan.
Sama halnya dengan densitas, untuk mengetahui dan menganalisa swimming layer sumberdaya ikan pada suatu perairan harus mengarah pada pengetahuan
mengenai karakteristik fisik perairan, sebab fisik perairan merupakan faktor penting dan dominan bagi keberadaan sumberdaya ikan pada suatu area perairan, terlebih
apabila perairan tersebut merupakan daerah penangkapan ikan. Laporan penelitian terdahulu dengan menggunakan pendekatan akustik yang
menjelaskan densitas ikan berdasarkan swimming layers di perairan Indonesia masih terbatas, penelitian ini berusaha menjelaskan densitas ikan pelagis kecil berdasarkan
swimming layers yang dilakukan melalui pendeteksian akustik serta menganalisa karakteristik fisik perairan yaitu faktor oseanografi yang diduga turut mempengaruhi
keberadaan sumberdaya ikan pelagis kecil tersebut di suatu perairan. Selat Makassar merupakan salah satu perairan di Indonesia yang cukup unik
bila dibandingkan dengan beberapa perairan lainnya, karena Selat Makassar dilalui massa air yang sangat besar yang biasa disebut Arus Lintas Indonesia ARLINDO.
Hal ini diperkirakan dapat menyebabkan fenomena, baik terhadap oseanografi fisik perairan maupun terhadap sumberdaya ikan pelagis kecil yang terdapat pada perairan
Selat Makassar tersebut. Selain itu, perairan Selat Makassar juga menerima proses penyuburan sepanjang tahun dimana pada musim barat penyuburan terjadi karena
adanya run off dari daratan Kalimantan dan Sulawesi akibat curah hujan yang cukup tinggi, sedangkan pada musim timur terjadi proses upwelling di beberapa lokasi
bagian selatan Selat Makassar akibat pertemuan massa air dari Samudera Pasifik dengan massa air Laut Jawa dan Laut Flores. Hal-hal tersebut cukup menggelitik
dan turut membangkitkan rasa ingin tahu lebih jauh sehingga diputuskanlah untuk melakukan riset di perairan Selat Makassar dengan mengkombinasikan peralatan
deteksi hidroakustik dan pengukuran kondisi oseanografi fisik untuk mengestimasi sebaran dan densitas ikan pelagis kecil.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis swimming layers dan mengestimasi distribusi dan densitas ikan pelagis kecil di Selat Makassar melalui
pendekatan hidroakustik serta bagaimana pengaruh faktor oseanografi khususnya
parameter suhu dan salinitas terhadap distribusi dan densitas ikan pelagis kecil di perairan Selat Makassar berdasarkan strata ketebalan lapisan perairan layer.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1
Diperoleh data estimasi swimming layers posisi lapisan renang dan estimasi densitas ikan serta kecenderungan pola distribusinya secara vertikal maupun
horizontal di Selat Makassar. 2
Dapat diketahui sejauh mana faktor oseanografi terutama suhu dan salinitas turut mempengaruhi distribusi dan densitas nilai akustik di Selat Makassar.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian
Perairan Indonesia merupakan perairan di mana terjadi lintasan arus yang membawa massa air dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia yang biasanya
disebut Arus Lintas Indonesia Arlindo atau Indonesian throughflow. Massa air Pasifik tersebut terdiri atas massa air Pasifik Utara dan Pasifik Selatan Wyrtki
1961; Ilahude dan Gordon 1996; Molcard et al. 1996; Fieux et al. 1996; Tomascik et al. 1997; Susanto dan Gordon 2005.
Terjadinya Arlindo terutama disebabkan oleh bertiupnya angin musim tenggara di bagian selatan Pasifik dari wilayah Indonesia. Angin tersebut
mengakibatkan permukaan bagian tropik Samudera Pasifik bagian barat lebih tinggi dari pada Samudera Hindia bagian timur, akibatnya terjadinya gradien
tekanan yang mengakibatkan mengalirnya arus Arlindo dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia. Arlindo selama musim tenggara umumnya lebih kuat dari
pada saat musim barat laut, dan Selat Makassar merupakan jalur utama Arlindo, sehingga tentu saja Arlindo tersebut sangat mempengaruhi kondisi oseanografis di
Selat Makassar. Arlindo yang membawa massa air sangat besar dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia memiliki dua jalur, yang utama adalah melalui
Laut Sulawesi, Selat Makassar, Laut Flores kemudian ke Laut Banda Selatan dan keluar melalui Laut Timor menuju Samudera Hindia, sedangkan jalur sekunder
adalah melalui Laut Halmahera dan Laut Maluku, kemudian masuk ke perairan Laut Banda bagian utara dan keluar melalui Selat Ombai dan Selat Lombok
Gordon 1986; Gordon et al. 1994; Ilahude dan Gordon 1996. Selat Makassar adalah perairan yang relatif subur, dimana proses penyuburan
yang terjadi berlangsung sepanjang tahun, baik pada musim barat maupun pada musim timur. Pada musim barat penyuburan terjadi karena adanya run off dari
daratan Kalimantan dan Sulawesi dalam jumlah besar akibat curah hujan yang cukup tinggi, sedangkan pada musim timur terjadi proses upwelling di beberapa
lokasi akibat pertemuan massa air dari Samudera Pasifik dengan massa air Laut Jawa dan Laut Flores Illahude 1978.
Gambar 1 memperlihatkan gugusan kepulauan Indonesia dengan sungai- sungai utama dan aliran massa air yang melewatinya. Garis panah warna hitam
menginterpretasikan massa air thermocline dari Samudera Pasifik Utara melalui Selat Makasar yang merupakan jalur utama Arlindo, sedangkan garis panah putus-
putus warna hitam merupakan massa air thermocline yang berasal dari Samudera Pasifik Selatan dan merupakan jalur sekunder Arlindo. Garis panah putus-putus
warna biru dan hijau merupakan massa air permukaan utara Sumatra dan selatan Sumatra yang secara musiman bergerak menuju Nusa Tenggara akibat pengaruh
monsoon Susanto dan Gordon 2005.
Angin utama yang berhembus di Selat Makassar adalah monsoon angin musim, monsoon mengalami pembalikan arah sebanyak dua kali dalam setahun,
hal ini disebabkan perbedaan udara di atas Benua Asia dan Australia. Pada bulan Desember–Februari angin berhembus dari Asia ke Australia, sehingga di atas
Selat Makassar angin bergerak dari arah utara menuju selatan west monsoon. Pada bulan Juni–Agustus angin berhembus dari Australia ke Asia, sehingga angin
bergerak dari arah tenggara menuju selatan east monsoon. Selama angin musim barat berhembus, curah hujan meningkat dan menyebabkan salinitas di perairan
Selat Makassar menjadi turun, dan sebaliknya pada saat musim timur terjadi peningkatan salinitas karena penguapan yang tinggi di Selat Makassar, ditambah
Gambar 1 Massa Air Thermocline Pasifik Utara dan Pasifik Selatan serta Massa Air Permukaan yang Disebabkan Monsoon
Susanto dan Gordon 2005.
lagi dengan masuknya massa air bersalinitas cukup tinggi dari Samudera Pasifik melaui Laut Sulawesi Wyrtki 1961.
Arlindo yang melalui Selat Makassar juga dipengaruhi oleh monsoon, kekuatan monsoon bahkan dapat menyebabkan pergerakan massa air hingga
kedalaman 500 meter Arief, 1998. Perpindahan massa air Arlindo diperkirakan mencapai puncaknya pada bulan Juli-September dan paling sedikit pada periode
Februari-Mei. Hasil estimasi yang didapat berdasarkan model terbaru menunjukkan bahwa perpindahan massa air Arlindo mencapai 7 Sverdrup
Suhu pada suatu perairan akan mengalami penurunan secara teratur sesuai dengan kedalaman, semakin dalam suhu akan semakin rendah atau dingin. Hal ini
pada musim tenggara dan 0,7 Sverdrup pada musim barat laut Gordon dan McClean 1999. Pada kurun
waktu tahun 1997 massa air Arlindo dari Samudera Pasifik yang melewati Selat
Makassar menuju Samudera Hindia diperkirakan
mencapai 9,1 Sverdrup Susanto
dan Gordon 2005 .
Tomascik et al. 1997 menyatakan bahwa salinitas permukaan perairan Indonesia umumnya berkisar antara 31,2 - 34,5 ppt. Naulita 1998 mendapatkan
nilai salinitas permukaan di Selat Makassar sebesar 34,12 ppt pada musim timur Juni, Juli dan Agustus, dan mendekati nilai 30 ppt pada musim barat Desember,
Januari dan Februari. Hasil pengukuran Abdilah 2002 pada bulan Mei 2001 di Selat Makassar mendapatkan kisaran salinitas antara 33,26 - 33,35 ppt pada lapisan
dibawah permukaan 2,5 meter, sedangkan hasil pengukuran Wenno 2003 pada bulan Oktober 2003 mendapatkan nilai salinitas permukaan Selat Makassar sedikit
berfluktuasi dengan kisaran 30,4 - 33,7 psu dan mengalami peningkatan hingga kedalaman 100 meter 34,7 psu, kemudian terjadi sedikit penurunan hingga
kedalaman 300 meter. Hasil penelitian pada pelayaran program International nusantara stratification and transport INSTANT bulan Juli 2005 menunjukkan
salinitas permukaan menurun dari utara ke selatan, bagian utara berkisar antara 33,441 - 35,314 psu dan bagian selatan antara 33,916 - 35,206 psu Awaludin 2005.
Nilai salinitas Selat Makassar memiliki nilai yang paling rendah bila dibandingkan dengan salinitas di Laut Sulawesi, Laut Banda dan Laut Flores. Hal ini disebabkan
karena posisi Selat Makassar diapit oleh daratan Kalimantan dan Sulawesi yang memberikan suplai air tawar yang cukup besar Naulita 1998.
1 Sverdrup = 1 x 10
6
m
3
s
-1
diakibatkan karena kurangnya intensitas matahari yang masuk kedalam perairan. Pada kedalaman melebihi 1000 meter suhu air relatif konstan dan berkisar antara
2 - 4
o
C Hutagalung 1988. Suhu permukaan laut tergantung pada beberapa faktor, seperti presipitasi, evaporasi, kecepatan angin, intensitas cahaya matahari, dan faktor-
faktor fisika yang terjadi di dalam kolom perairan. Presipitasi terjadi di laut melalui curah hujan yang dapat menurunkan suhu permukaan laut, sedangkan evaporasi
dapat meningkatkan suhu permukaan akibat adanya aliran bahang dari udara ke lapisan permukaan perairan. Menurut McPhaden dan Hayes 1991, evaporasi
dapat meningkatkan suhu kira-kira sebesar 0,1
o
Sebaran suhu permukaan perairan Selat Makassar dipengaruhi oleh keadaan cuaca, antara lain curah hujan, penguapan, kelembaban udara, kecepatan angin dan
C pada lapisan permukaan hingga kedalaman 10 meter.
Lukas dan Lindstrom 1991 mengatakan bahwa perubahan suhu permukaan laut sangat tergantung pada termodinamika di lapisan permukaan tercampur lapisan
homogen. Daya gerak berupa adveksi vertikal, turbulensi, aliran buoyancy, dan entrainment dapat mengakibatkan terjadinya perubahan pada lapisan tercampur serta
kandungan bahangnya. Menurut McPhaden and Hayes 1991 adveksi vertikal dan entrainment dapat mengakibatkan perubahan terhadap kandungan bahang dan suhu
pada lapisan permukaan. Kedua faktor tersebut bila dikombinasi dengan faktor angin yang bekerja pada suatu periode tertentu dapat mengakibatkan terjadinya
upwelling. Webster et al. 1998 menyatakan bahwa aliran bahang Arlindo dapat
dibandingkan terhadap aliran bersih permukaan di utara Samudera Hindia dan sejumlah fraksi substansial dari aliran bahangnya. Beberapa hasil model penelitian
mengungkapkan ketergantungan suhu permukaan dan simpanan bahang permukaan Samudera Pasifik dan Hindia terhadap Arlindo ini. Kedua samudera tersebut akan
sangat berbeda jika tanpa Arlindo MacDonald 1993. Maes 1998 menemukan bahwa ketiadaan Arlindo akan meningkatkan permukaan laut di Pasifik dan
menurunkannya di Hindia sebanyak 2-10 cm. Perubahan dalam bilangan sentimeter dalam skala samudra akan berpengaruh sangat besar pada sirkulasi lautan dan
keadaannya secara keseluruhan yang berimplikasi pada perubahan anggaran bahang dan akhirnya perubahan yg drastis pada sistem iklim regional.
intensitas penyinaran matahari. Suhu permukaan laut perairan Indonesia umumnya berkisar antara 25 - 30
o
C dan mengalami penurunan satu atau dua derajat dengan bertambahnya kedalaman hingga 80 db Tomascik et al. 1997. Hasil pengukuran
yang dilakukan Abdilah 2002 pada bulan Mei 2001 di Selat Makassar mendapatkan kisaran suhu antara 29,89 - 30,0
o
C pada lapisan dibawah permukaan 2,5 meter, sedangkan hasil pengukuran Wenno 2003 pada bulan Oktober 2003 mendapatkan
nilai rata-rata suhu lapisan permukaan Selat Makassar adalah 29,2
o
C dengan nilai kisaran antara 28,5 - 29,6
o
C dan mengalami penurunan hingga kedalaman 300 meter 11,29
o
C. Hasil penelitian pada pelayaran program International nusantara stratification and transport INSTANT bulan Juli 2005 menunjukkan suhu
permukaan Selat Makassar sebelah utara lebih hangat berkisar antara 29,14 - 29,69
o
C dan sebelah selatan antara 27,44 - 29,10
o
C Awaludin 2005.
2.2 Ikan Pelagis Kecil