prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat. Sehingga aparatur pemerintah desa dituntut untuk bisa mengakomodir dan menampung aspirasi masyarakat untuk
menyelenggarakan pemerintahannya sendiri atas dasar prakarsa, kreativitas, dan peran serta aktif masyarakat tersebut dalam rangka mengembangkan dan memajukan
daerahnya. Dalam penyelenggaraan pemerintah desa yang merupakan sub-sistem dari sistem
penyelenggaraan pemerintah daerah maka hal itu tidak bisa lepas dari konsep dasar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Adapun konsep
tersebut adalah:
1
1.
Membesarnya kewenangan dan tanggungjawab daerah otonom.
2.
Keleluasaan daerah untuk mengatur atau mengurus kewenangan semua bidang
pemerintahan kecuali enam kewenangan.
3.
Kewenangan yang utuh dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan
pengendalian.
4.
Pemberdayaan masyarakat, tumbuhnya prakarsa dan inisiatif, menyangkut peran
masyarakat dan legislatif.
Oleh karena hal tersebut di atas, tulisan ini mengangkat masalah pemberdayaan pemerintahan desa dalam upaya mewujudkan otonomi desa.
B. Permasalahan
Yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini adalah: 1.
Bagaimana sejarah perkembangan pemerintahan desa di Indonesia?
1
Kaloh, DRJ. Mencari Bentuk Otonomi Daerah. Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hal. 57.
Universitas Sumatera Utara
2. Bagaimana pelaksanaan konsep otonomi desa di Indonesia?
3. Bagaimana upaya pemberdayaan pemerintahan desa dalam upaya mewujudkan
otonomi desa di Desa Sigara-gara Kec. Patumbak Kab. Deli Serdang?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui sejarah perkembangan pemerintahan desa di Indonesia
b. Untuk mengetahui upaya konsep otonomi desa di Indonesia
c. Untuk mengetahui upaya pemberdayaan pemerintahan desa dalam upaya
mewujudkan otonomi desa di Desa Sigara-gara Kec. Patumbak Kab. Deli Serdang
2. Manfaat Penulisan
a. Secara Teoritis
1. Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang Hukum Tata
Negara, khususnya yang berkaitan dengan pemberdayaan pemerintahan desa dalam upaya mewujudkan otonomi desa
2. pemberdayaan pemerintahan desa dalam upaya mewujudkan otonomi desa
yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan. b.
Secara Praktis Dapat diajukan sebagai pedoman dan bahan rujukan bagi rekan-rekan
mahasiswa, masyarakat, lembaga penegak hukum, praktisi hukum dan
Universitas Sumatera Utara
pemerintah dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan pemberdayaan pemerintahan desa dalam upaya mewujudkan otonomi desa.
D. Keaslian Penulisan
Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai
“Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati dalam Perspektif Hukum Pidana Islam”
belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan skripsi ini asli disusun oleh penulis sendiri dan bukan plagiat atau diambil dari
skripsi orang lain. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya secara
ilmiah. Apabila ternyata ada skripsi yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab
sepenuhnya.
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Teori
Untuk mencapai tujuan penelitian ini, digunakan teori demokrasi, dengan pendekatan transpolitika dan postrukturalisme. Dari analisis transformasi demokrasi
dalam tata pemerintahan desa, realitasnya demokrasi desa dalam era transisi pertama bersifat otoritarian-leviathan yang seragam, tidak begitu banyak pilihan dalam
pelaksanaan demokrasi desa. Istilah, struktur, fungsi dan mekanisme dalam menjalankan pemerintahan desa sudah dibakukan. Paradigmatik pengaturan politik yang bersifat
otoritarian tidak memberikan peluang yang cukup bagi munculnya perbedaan dalam corak dan tata cara pengaturan dalam pemerintahan desa. Dalam era transisi kedua terjadi
transformasi mendasar ke demokrasi libertarian-liliput dengan penggantian Lembaga
Universitas Sumatera Utara
Musyawarah Desa LMD yang sebelumnya bersifat korporatis dengan kekuasaan monolitik di tangan kepala desa menjadi Badan Perwakilan Desa BPD-1 yang jauh
lebih demokratis sehingga dapat menghasilkan relasi kuasa yang lebih berimbang. Kondisi ini meningkatkan keleluasaan desa untuk berkreasi dalam menyusun kebijakan
desa yang disesuaikan dengan adat-istiadat, kebutuhan dan aspirasi warga. Memasuki era transisi ketiga demokrasi desa kembali bertransformasi ke arah
pola demokratis-prosedural yakni perombakan tata kelembagaan dan proses demokrasi lewat pembentukan lembaga baru Badan Permusyawaratan Desa BPD-2 yang fungsinya
jauh lebih lemah dibandingkan dengan fungsi BPD-1 sebelumnya.
2
2. Konsepsi
Pemberdayaan berasal dari kata ‘daya’. Arti daya adalah kekuatan atau tenaga, misalnya: daya pikir, daya batin, daya gaib, daya gerak, daya usaha, daya hidup, daya
tahan, sudah tak ada dayanya lagi.
3
Sebenarnya hakekat redefinisi pemberdayaan adalah:
4
Pertama, pemberdayaan adalah proses, yaitu perubahan dari status yang rendah ke status yang lebih tinggi. Kedua, pemberdayaan adalah metode, yaitu sebagai suatu
pendekatan agar masyarakat berani mengungkapkan pendapatnya. Ketiga, pemberdayaan adalah program, yaitu sebagai tahapan-tahapan yang hasilnya terukur menuju kehidupan
rakyat yang mandiri dan sejahtera. Keempat, pemberdayaan adalah gerakan, yaitu membuka peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Kelima,
2
http:ilmupemerintahan.wordpress.com20090405transformasi-tata-pemerintahan-desa. Diakses pada tanggal 20 Mei 2010.
3
WJS Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1985.
4
http:sobirin-xyz.blogspot.com200807hakekat-pemberdayaan.html. diakses pada tanggal 20 Mei 2010.
Universitas Sumatera Utara
pemberdayaan adalah pemberian otorisasi, yaitu menempatkan masyarakat sebagai subyek dalam pembangunan.
Pemerintahan adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan yang mengatur suatu negara dengan cara dan sistem tertentu sesuai dengan tujuan didirikannya negara
tersebut.
5
Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat
setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah Kabupaten.
6
a. Otonomi daerah
Adanya perubahan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, di samping karena adanya amandemen UUD 1945, juga memperhatikan
beberapa Ketetapan MPR dan Keputusan MPR. Adanya kekurangan-kekurangan dalam UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah disempurnakan dalam UU No. 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Beberapa kelemahan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah yang
dapat diamati adalah sebagai berikut:
7
a.
Dalam pembagian daerah, belum atau tidak cukup jelas mengatur pembagian daerah. Apa ukuran atau kriteria suatu daerah provinsi dapat dikatakan otonom.
Apakah didasarkan pada luas wilayah, tingkat kepadatan penduduk, tingkat
5
http:pasuruan.go.idpemerintahan. Diakses tanggal 20 Mei 2010.
6
Widjaja, HAW. 2003. Otonomi Desa. Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal. 22.
7
Armida Alisyahbana, Identifikasi Permasalahan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Seminar Nasional dalam rangka
Lustrum IV tahun 1999 Program Pascasarjana Universitas Pajajaran, Bandung, 1999.
Universitas Sumatera Utara
pendapatanpenghasilan daerah danatau budaya masyarakat. Begitu pula dengan
daerah kabupatenkota.
b.
Dalam pembentukan dan susunan daerah tidak rinci, hanya didasarkan atas prakarsa dan kehendak masyarakat. Kriteria susunan daerah dibentuk berdasarkan
pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosialbudaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah dan lain-lain. Kriteria seperti ini dapat
menimbulkan ketidakpastian hukum tentang keberadaan suatu daerah.
c.
Dalam kewenangan daerah. Sebagai akibat ketidakjelasan kriteria otonomi tercermin pula kewenangan provinsi dan kabupatenkota. Kondisi seperti ini akan
tetap menempatkan pusat sebagai pihak yang lebih tinggi dari provinsi, kemudian
provinsi sebagai pihak yang lebih tinggi dari kabupatenkota, dan seterusnya.
d.
Tentang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD. Belum memberikan kewenangan yang sungguh-sungguh kepada DPRD sebagai lembaga legislatif
dengan tidak jelasnya kedudukan DPRD dalam pengambilan keputusan terhadap
masalah-masalah daerah.
e.
Tentang perangkat daerah. Daerah mempunyai wewenang untuk mengangkat perangkat derah, akan tetapi tidak ada kejelasan kewenangan daerah merekrut
perangkat derah di luar struktur pemerintahan sebelumnya lama.
f.
Dalam keuangan daerah. Belum mencerminkan otonomi penuh daerah untuk
menentukan jumlah anggaran dan pengaturannya.
g.
Dalam hubungan pusat dan daerah. Harus ada batasan yang jelas hubungan antara
Pusat, Provinsi, dan KabupatenKota.
Universitas Sumatera Utara
Menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan daerah otonom, selanjutnya disebut daerah
adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Prinsip-prinsi otonomi daerah yang dijadikan pedoman dalam UU No. 32 Tahun 2004 ini adalah sebagai berikut:
8
a.
Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan
pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam
Undang-undang ini.
b.
Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang
bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
c.
Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk
menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan
berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Adapun yang dimaksud
8
Ibid
Universitas Sumatera Utara
dengan otonomi yang beranggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud
pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan
nasional.
d.
Penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi
yang tumbuh dalam masyarakat.
e.
Penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin hubungan antara daerah dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antar daerah untuk
meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah.
f.
Otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar daerah dengan pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan
wilayah negara dan tetap tegaknya NKRI dalam rangka mewujudkan tujuan
negara.
Adapun asas-asas penyelenggaraan pemerintahan daerah dari Undang-Undang No.32 Tahun 2004, yaitu:
a. digunakan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan;
b. penyelenggaraan asas desentralisasi secara utuh dan bulat yang dilaksanakan di
daerah kabupaten dan daerah kota; dan c.
asas tugas pembantuan yang dapat dilaksanakan dari daerah provinsi, daerah kabupaten, daerah kota, dan desa.
Universitas Sumatera Utara
Pada umumnya faktor-faktor dan atau variabel-variabel yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah adalah kemampuan sumber daya manusia
aparat maupun masyarakat, sumber daya alam, kemampuan keuangan finansial, kemampuan manajemen, kondisi sosial budaya masyarakat, dan karakteristik ekologis.
9
Menurut Widjaya ada tiga variabel yang menjadi tolak ukur kemampuan daerah otonom, yaitu:
10
a. variabel pokok, yang terdiri dari kemampuan pendapatan asli daerahkeuangan,
kemampuan aparatur, kemampuan aspirasi masyarakat, kemampuan ekonomi, kemampuan demografi, serta kemampuan organisasi dan administrasi;
b. variabel penunjang, yang terdiri dari faktor geografi dan faktor sosial budaya; dan
c. variabel khusus yang terdiri dari sosial politik, pertahanan dan keamanan serta
penghayatan agama. Agar otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang hendak
dicapai, pemerintah wajib melakukan pembinaan yang berupa pemberian pedoman seperti dalam penelitian, pengembangan, perencanaan, dan pengawasan. Di samping itu
diberikan pula standar arahan, bimbingan, pelatihan, supervisi, pengendalian, koordinasi, pemantauan dan evaluasi. Di samping itu, juga memberikan bantuan dan dorongan
kepada daerah agar otonomi dapat terlaksana secara efektif dan efisien. Otonomi berasal dari kata Yunani outos dan nomos, outos berarti “sendiri” dan
nomos berarti “perintah”. Sehingga otonomi bermakna “memerintah sendiri”, yang dalam wacana administrasi publik otonomi sering disebut sebagai local self government.
11
9
Setyawan Salam, Otonomi Daerah Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai Dan sumber daya, Djambatan, Jakarta, 2003, hal. 94.
10
HAW Widjaya, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2001, hal. 39.
Universitas Sumatera Utara
3. Pemerintahan Desa
Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat
setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah Kabupaten.
12
“Desa atau yang disebut dengan nama lain sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat
istimewa sebagaimana yang dimaksud dalam penjelasan pasal 18 UUD 1945. Landasan pemikiran dalam pengaturan Pemerintahan
Desa adalah
keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat”.
Rumusan defenisi Desa secara lengkap terdapat dalam UU No.221999 adalah sebagai berikut:
13
Pengaturan tentang desa dalam bab XI tersebut diharapkan Pemerintah Desa bersama masyarakat secara bersama-sama menciptakan kemandirian desa. Kemandirian
tersebut dapat dilihat dari kewenangan yang diberikan yang tertuang dalam pasal 206, yang menyebutkan bahwa desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Kewenangan Desa mencakup: keberadaan lembaga perwakilan desa atau badan
Perwakilan Desa BPD sebagai bentuk miniatur DPRD di tingkat Kota maupun Kabupaten. Kewenangan ini berdampak pada mekanisme penyelenggaraan pemerintah
desa yang selama ini tidak memiliki “lawan” atau yang mengontrol jalannya Pemerintah
11
http:tutorialkuliah.blogspot.com200905tentang-kuliah-tentang-otonomi-daerah. html. Diakses tanggal 20 Mei 2010.
12
Widjaja, HAW. 2003. Otonomi Desa. Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal. 22.
13
Undang-undang Otonomi Daerah, 1999, hal 47.
Universitas Sumatera Utara
Desa. Selain itu keberadaan lembaga ini akan membawa perubahan suasana dalam proses Pemerintahan di desa.
Keberadaan BPD secera otomatis akan mempengaruhi kinerja dari Pemerintahan Desa, begitu pula kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintahan Desa dalam hal ini
kepala Desa juga akan berbeda dari sebelumnya. Namun yang tidak kalah pentingnya adalah masalah keuangan Desa pasal 212 yang mengatur tentang sumber pendapatan
desa, yaitu berdasarkan pendapatan asli desa hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa yang
sah, kemudian bantuan dari Pemerintah Kabupaten berupa bagian yang diperoleh dari pajak dan retribusi serta bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang
diterima oleh Pemerintah Kabupaten, selain itu bantuan dari Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, sumbangan pihak ketiga dan pinjaman desa.
Beberapa hal yang dimuat dalam keuangan desa ini merupakan hal yang baru bagi Pemerintah Desa karena selama ini mereka belum terbiasa untuk berkreasi mencari
pendapatan asli desa. Untuk mengetahui, sekaligus membandingkan konsep Pemerintahan Desa yang terbaik dan sesuai untuk masyarakat desa di Indonesia maka
perlu mempelajari perkembangan pemerintaan Desa sejak awal. Di bawah ini merupakan uraikan perkembangan pemerintahan desa di Indonesia sejak masa kolonial hingga
berlakunya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang berlaku saat ini.
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Bogdan dan Taylor mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data
Universitas Sumatera Utara
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diambil.
14
2. Lokasi Penelitian
Dengan dasar tersebut, maka penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai kinerja BPD dengan didukung data-data tertulis maupun data-data
hasil wawancara.
Lokasi penelitian merupakan tempat penelitian dilakukan. Dengan ditetapkan lokasi dalam penelitian akan dapat lebih mudah untuk mengetahui tempat dimana suatu
penelitian dilakukan. Lokasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah di Desa Sigara- gara, Kecamatan Patumbak, Kabupaten Deli Serdang.
3. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah subjek dari mana data dapat diperoleh.
15
a. Sumber data primer, diperoleh dari hasil penelitian di lapangan secara
langsung dari sebenarnya, dan pihak-pihak yang bersangkutan dengan masalah yang akan dibahas dalam hal ini adalah dari Badan Permusyawaratan
Daerah BPD, pemerintah desa yang terdiri dari kepala desa dan perangkat desa. Untuk memperoleh sumber data primer digunakan teknik wawancara
dan observasi. Sumber data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
b. Sumber data sekunder, untuk memperoleh sumber data sekunder penulis
menggunakan teknik dokumentasi. Hal ini dapat dilakukan dengan mencari
14
Moleong, J Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:Remaja Rosydakarya, 2002, hal. 3.
15
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta, 2002, hal. 107.
Universitas Sumatera Utara
dan mengumpulkan data melalui informan secara tertulis ataupun gambar- gambar yang berhubungan dengan masalah-masalah penelitian.
4. Alat dan Teknik Pengumpulan Data
Penelitian di samping perlu menggunakan metode yang tepat, juga perlu memilih alat dan teknik pengumpulan data yang relevan. Teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini dilakukan dengan: a.
Wawancara Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu
dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara interviewer yang mengajukan pertanyaan dan yang di wawancarai interviewee yang memberikan jawaban
atas pertanyaan itu.
16
b. Pengamatan observasi
Observasi diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian. Pengamatan dan
pencatatan yang dilakukan terhadap objek di tempat terjadi atau berlangsungnya peristiwa, sehingga observer berada bersama objek yang
diselidiki, disebut observasi langsung. Sedangkan observasi tidak langsung adalah pengamatan yang dilakukan tidak pada saat berlangsungnya suatu yang
akan diselidiki.
17
c. Dokumentasi
16
Moeloeng, Op.cit, hal. 133.
17
Maman Rachman, Strategi dan Langkah-langkah Penelitian. Semarang: IIKIP Semarang Press, 1999, hal. 77.
Universitas Sumatera Utara
Teknik dokumentasi adalah mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis, seperti arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku tentang pendapat, teori, dalil
atau hukum-hukum dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah penelitian.
18
5. Analisa Data
Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan
membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan metode induktif dilakukan dengan menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik skripsi ini,
sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.
G. Sistematika Pembahasan
BAB I : Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain
memuat Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan
Sistematika Penulisan. BAB II : Bab ini akan membahas tentang tinjauan umum tentang tindak Sejarah
Perkembangan Pemerintahan Desa Di Indonesia, yang mengulas Pemerintahan Desa Masa Kolonial,
Pemerintahan Desa Awal Kemerdekaan, Pemerintahan Desa Masa Orde Baru, dan Pemerintahan
Desa Masa Reformasi 1999-sekarang
18
Ibid, hal. 96
Universitas Sumatera Utara
BAB III : Bab ini akan membahas tentang upaya pemberdayaan pemerintahan desa dalam kerangka otonomi daerah, yang memuat Permasalahan-
permasalahan dalam Tata Pemerintahan Desa, Kemitraan sebagai Ideologi dalam Tata-Pemerintahan Desa, dan Pemberdayaan pemerintahan desa
melalui implementasi kemitraan dalam tata pemerintahan desa BAB IV:
Bab ini akan dibahas tentang pemberdayaan pemerintahan desa dalam upaya mewujudkan otonomi desa di desa sigara-gara kec. patumbak kab.
deli serdang, yang mengulas tentang Gambaran Umum Desa Sigara-gara Kec. Patumbak Kab. Deli Serdang, dan Pemberdayaan Pemerintahan Desa
dalam Upaya Mewujudkan Otonomi Desa Sigara-gara Kec. Patumbak Kab. Deli serdang
BAB IV: Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup yang berisi
kesimpulan dan saran-saran mengenai permasalahan yang dibahas.
Universitas Sumatera Utara
BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN PEMERINTAHAN DESA DI INDONESIA
A. Pemerintahan Desa Masa Kolonial
Ketika masa pemerintahan kolonial atau biasa disebut dengan Pemerintahan Hindia Belanda, Desa atau Pemerintahan Desa diatur dalam pasal 118 jo Pasal 121 I. S.
yaitu Undang-Undang Dasar Hindia Belanda. Dalam pasal ini dijelaskan bahwa penduduk negeriasli dibiarkan di bawah langsung dari kepala- kepalanya sendiri
pimpinan. Kemudian pengaturan lebih lanjut tertuang dalam IGOB Inlandsche Gemeente Ordonantie Buitengewesten LN 1938 No. 490 yang berlaku sejak 1 Januari
1939 LN 1938 No. 681. Nama dan jenis dari persekutuan masyarakat asli ini adalah Persekutuan Bumi Putera. Persekutuan masyarakat asli di jawa disebut DESA, di bekas
Karesidenan Palembang disebut “Marga”, “Negeri” di Minangkabau sedangkan di bekas Karesidenan Bangka Belitung disebut HAMINTE.
19
Pada masa pemerintahan kolonial ini, asal-usul desa diperhatikan dan diakui sedemikian rupa sehingga tidak mengenal adanya penyeragaman istilah beserta
komponen-komponen yang meliputinya. DesaMarga ini berasal dari serikat dusun baik atas dasar susunan masyarakat geologis maupun teritorial. DesaMarga adalah
masyarakat hukum adat berfungsi sebagai kesatuan wilayah Pemerintah terdepan dalam rangka Pemerintahan Hindia Belanda dan merupakan Badan Hukum Indonesia IGOB
STB 1938 No. 490 jo 681. Sedangkan bentuk dan susunan pemerintahannya ditentukan berdasarkan hukum adat masing-masing daerah. Adapun dasar hukumnya adalah
Indische Staasgeling dan IGOB Stb.1938 No. 490 Jo. 681 Adapun tugas, kewenangan,
19
HAW Widjaja, 2003, Op.cit, hal. 23.
Universitas Sumatera Utara