Pemberdayaan Pemerintahan Desa dalam Upaya Mewujudkan Otonomi Desa

(1)

PEMBERDAYAAN PEMERINTAHAN DESA DALAM UPAYA MEWUJUDKAN OTONOMI DESA

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

NIM: 050200092

LEGA LESTARI SINAGA

HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(2)

UPAYA MEWUJUDKAN OTONOMI DESA

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

NIM: 050200092

LEGA LESTARI SINAGA

KETUA DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA

NIP: 195810071986011002 Armansyah, SH. M. Hum

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

Armansyah, SH. M. Hum

NIP: 195810071986011002 NIP: 197212261998021001

Dr. Mirza Nasution, SH. M. Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(3)

Bismillahirrahmanirrahim

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan tiada henti-hentinya akan kehadhirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya yang telah memberikan kesempatan penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Shalawat dan Salam tak lupa penulis haturkan kepada junjungan Nabi Muhammad saw yang telah memberikan jalan dan menuntun umatnya dari jalan yang gelap menuju jalan yang terang yang disinari oleh cahaya Iman dan Islam.

Skripsi ini berjudul: “Pemberdayaan Pemerintahan Desa dalam Upaya

Mewujudkan Otonomi Desa”.

Penulis menyadari bahwa di dalam pelaksanaan pendidikan ini banyak mengalami kesulitan-kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari dosen pembimbing, maka penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kelemahan serta kekurangan-kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan adanya suatu masukan serta saran yang bersifat membangun di masa yang akan datang.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Syahril Pasaribu DTM, H. MsC (CTM), SpA(K), sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara.


(4)

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M. Hum sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum USU.

4. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Hukum USU.

5. Bapak Muhammad Husni, SH, M. Hum sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum USU.

6. Bapak Armansyah, SH, M. Hum sebagai Ketua Jurusan Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen Pembimbing I dalam penulisan skripsi ini.

7. Bapak Dr. Mirza Nasution, SH, M. Hum, sebagai Dosen Pemembimbing II penulisan skripsi ini.

8. Ibu Prof. Dr. Ningrum Natasya, SH. MLi, Sebagai Dosen Penasehat Akademik. 9. Seluruh staf Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum USU.

10.Seluruh Bapak dan Ibu staf pengajar di Fakultas Hukum USU.

11.Kepada ayahanda ibunda tercinta, yang telah memberikan kasih sayang, perhatian, dan memberi kesempatan pada penulis untuk berjuang menuntut ilmu sehingga dapat menyelesaikan studi di perguruan tinggi ini.

12.Kepada saudara-saudaraku terima kasih atas dukungan, doa dan perhatian yang sangat besar yang selalu mendukungku terima kasih kepada seluruh keluarga besarku yang memberikan dorongan semangat kepada penulis selama mengikuti perkuliahan hingga selesai skripsi ini.


(5)

13.Kepada teman-temanku, khususnya stambuk 2005 Fakultas Hukum USU yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih atas segalanya.

14.Dan kepada semua pihak yang telah berpartisipasi atas penulisan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Demikianlah yang penulis dapat sampaikan, atas segala kesalahan dan kekurangannya penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.

Medan 01 Maret 2010


(6)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan... 4

D. Keaslian Penulisan ... 5

E. Tinjauan Kepustakaan ... 6

F. Metode Penelitian... 12

G. Sistematika Pembahasan ... 15

BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN PEMERINTAHAN DESA DI INDONESIA ... 17

A. Pemerintahan Desa Masa Kolonial ... 17

B. Pemerintahan Desa Awal Kemerdekaan ... 19

C. Pemerintahan Desa Masa Orde Baru ... 20

D. Pemerintahan Desa Masa Reformasi (1999-sekarang) ... 23

BAB III UPAYA PEMBERDAYAAN PEMERINTAHAN DESA DALAM KERANGKA OTONOMI DAERAH ... 34

A. Permasalahan-permasalahan dalam Tata Pemerintahan Desa ... 34

B. Kemitraan sebagai Ideologi dalam Tata-Pemerintahan Desa ... 48

C. Pemberdayaan pemerintahan desa melalui implementasi kemitraan dalam tata pemerintahan desa ... 52


(7)

BAB IV PEMBERDAYAAN PEMERINTAHAN DESA DALAM UPAYA MEWUJUDKAN OTONOMI DESA DI DESA SIGARA-GARA KEC.

PATUMBAK KAB. DELI SERDANG ... 59

A. Gambaran Umum Desa Sigara-gara Kec. Patumbak Kab. Deli Serdang ... 59

B. Pemberdayaan Pemerintahan Desa dalam Upaya Mewujudkan Otonomi Desa Sigara-gara Kec. Patumbak Kab. Deli serdang ... 64

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 77

A. Kesimpulan ... 77

B. Saran ... 78


(8)

ABSTRAKSI

Secara historis desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia jauh sebelum negara bangsa ini terbentuk, struktur sejenis desa, masyarakat adat dan sebagainya telah menjadi institusi sosial yang mempunyai posisi yang sangat penting. Desa merupakan institusi yang otonom dengan tradisi, adat istiadat dan hukumnya sendiri serta relatif mandiri. Hal ini antara lain ditunjukan dengan tingkat keragaman yang tinggi.

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah mengenai bagaimana Bagaimana sejarah perkembangan pemerintahan desa di Indonesia, Bagaimana upaya pemberdayaan pemerintahan desa dalam kerangka otonomi desa, dan Bagaimana upaya pemberdayaan pemerintahan desa dalam upaya mewujudkan otonomi desa di Desa Sigara-gara Kec. Patumbak Kab. Deli Serdang.

Penulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif-empiris, dalam penelitian empiris dilakukan untuk memperoleh data primer, yaitu dengan melakukan wawancara dengan pimpinan pihak pemerintahan Desa Sigara-gara Kec. Patumbak, sedangkan penelitian hukum normatif, dilakukan melalui kajian terhadap peraturan perundang-undangan dan bahan–bahan hukum yang berkaitan dengan skripsi

Desa di Indonesia sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka, bahkan sebelum adanya masa penjajahan. Keberadaan desa tersebut merupakan suatu bentuk kehidupan yang menunjukkan adanya rasa satu kesatuan dan kekeluargaan berbangsa dan bernegara yang menjadi bekal bagi tumbuhnya negara Indonesia. Dalam kerangka otonomi desa, tentunya terdapat berbagai persoalan-persoalan di tingkat desa ataupun kelurahan dalam upaya menjalankan otonomi desa yang dianggap sebagai barang baru bagi komponen-komponen pemerintahan desa. Namun seiring dengan semakin disosialisasikannya program otonomi desa di masyarakat, lambat laun permasalahan-permasalahan menuju kepada otonomi desa tersebut dapat terselesaikan dengan baik. Di Desa Sigara-gara Kec. Patumbak, pemberdayaan pemerintahan desa dilakukan melalui peningkatan kualitas kemitraan antara badan pemusyawaratan desa dengan pemerintah desa dalam menjalankan pemerintahan desa. Kemitraan ini dianggap sangat penting, sebab kedua lembaga tersebut merupakan pilar pokok dalam proses berjalannya program-program pembangunan desa dalam kerangka otonomi desa.


(9)

ABSTRAKSI

Secara historis desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia jauh sebelum negara bangsa ini terbentuk, struktur sejenis desa, masyarakat adat dan sebagainya telah menjadi institusi sosial yang mempunyai posisi yang sangat penting. Desa merupakan institusi yang otonom dengan tradisi, adat istiadat dan hukumnya sendiri serta relatif mandiri. Hal ini antara lain ditunjukan dengan tingkat keragaman yang tinggi.

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah mengenai bagaimana Bagaimana sejarah perkembangan pemerintahan desa di Indonesia, Bagaimana upaya pemberdayaan pemerintahan desa dalam kerangka otonomi desa, dan Bagaimana upaya pemberdayaan pemerintahan desa dalam upaya mewujudkan otonomi desa di Desa Sigara-gara Kec. Patumbak Kab. Deli Serdang.

Penulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif-empiris, dalam penelitian empiris dilakukan untuk memperoleh data primer, yaitu dengan melakukan wawancara dengan pimpinan pihak pemerintahan Desa Sigara-gara Kec. Patumbak, sedangkan penelitian hukum normatif, dilakukan melalui kajian terhadap peraturan perundang-undangan dan bahan–bahan hukum yang berkaitan dengan skripsi

Desa di Indonesia sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka, bahkan sebelum adanya masa penjajahan. Keberadaan desa tersebut merupakan suatu bentuk kehidupan yang menunjukkan adanya rasa satu kesatuan dan kekeluargaan berbangsa dan bernegara yang menjadi bekal bagi tumbuhnya negara Indonesia. Dalam kerangka otonomi desa, tentunya terdapat berbagai persoalan-persoalan di tingkat desa ataupun kelurahan dalam upaya menjalankan otonomi desa yang dianggap sebagai barang baru bagi komponen-komponen pemerintahan desa. Namun seiring dengan semakin disosialisasikannya program otonomi desa di masyarakat, lambat laun permasalahan-permasalahan menuju kepada otonomi desa tersebut dapat terselesaikan dengan baik. Di Desa Sigara-gara Kec. Patumbak, pemberdayaan pemerintahan desa dilakukan melalui peningkatan kualitas kemitraan antara badan pemusyawaratan desa dengan pemerintah desa dalam menjalankan pemerintahan desa. Kemitraan ini dianggap sangat penting, sebab kedua lembaga tersebut merupakan pilar pokok dalam proses berjalannya program-program pembangunan desa dalam kerangka otonomi desa.


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara historis desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia jauh sebelum negara bangsa ini terbentuk, struktur sejenis desa, masyarakat adat dan sebagainya telah menjadi institusi sosial yang mempunyai posisi yang sangat penting. Desa merupakan institusi yang otonom dengan tradisi, adat istiadat dan hukumnya sendiri serta relatif mandiri. Hal ini antara lain ditunjukan dengan tingkat keragaman yang tinggi.

Sejalan dengan perkembangan zaman telah memberikan nuansa baru dalam sistem kenegaraan modern, sehingga kemandirian dan kemampuan masyarakat desa mulai berkurang kondisi ini sangat kuat terlihat dalam pemerintahan Orde Baru yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa melakukan sentralisasi, birokratisasi dan penyeragaman pemerintahan desa pada waktu itu, tanpa menghiraukan kemajemukan masyarakat adat pemerintahan asli, Undang-Undang ini melakukan penyeragaman secara nasional, hal ini kemudian tercermin dalam hampir semua kebijakan pemerintah pusat yang terkait dengan desa.

Proses reformasi politik dan penggantian pemerintahan yang terjadi pada tahun 1998, telah diikuti dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah yang kemudian mencabut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Selanjutnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dalam Bab XI pasal 93-111 tentang penyelenggaraan pemerintah


(11)

desa, yang kemudian disempurnakan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 bab XI pasal 200-216 dan PP Nomor 76 Tahun 2001 tentang pedoman umum pengaturan mengenai desa menekankan pada prinsip-prinsip demokarasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keaneka ragaman daerah. Dalam Pasal 94 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 bentuk pemerintahan desa terdiri atas Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa dimana pemerintahan desa terdiri atas Kepala Desa dan perangkat desa (Sekdes, Kepala urusan, Kepala Dusun), sedangkan Badan Perwakilan Desa sesuai dengan pasal 104 adalah wakil penduduk desa yang dipilih dari dan oleh penduduk desa yang mempunyai fungsi mengayomi adat istiadat, membuat peraturan desa, dan mengawasi penyelenggaraan desa.dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya kepala desa bertanggungjawab kepada rakyat melalui Badan Perwakilan Desa dan melaporkan kepada Bupati. Dengan demikian mekanisme yang diterapkan telah mengalami perubahan yang sangat mendasar karena sebelumnya tidak diterapkan demikian.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Bab I, Tentang peraturan Daerah, Pasal 1 menyebutkan bahwa yang namanya Desa atau yang disebut dengan nama lain yang selanjutnya disebut dengan desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten. Berdasarkan bunyi pasal tersebut di atas, maka desa dalam penyelenggaraan pemerintahannya mempunyai tanggung jawab yang penuh mengenai kemajuan desa tersebut, karena desa sebagai daerah otonom yang memiliki kewenangan dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut


(12)

prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat. Sehingga aparatur pemerintah desa dituntut untuk bisa mengakomodir dan menampung aspirasi masyarakat untuk menyelenggarakan pemerintahannya sendiri atas dasar prakarsa, kreativitas, dan peran serta aktif masyarakat tersebut dalam rangka mengembangkan dan memajukan daerahnya.

Dalam penyelenggaraan pemerintah desa yang merupakan sub-sistem dari sistem penyelenggaraan pemerintah daerah maka hal itu tidak bisa lepas dari konsep dasar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Adapun konsep tersebut adalah:1

1. Membesarnya kewenangan dan tanggungjawab daerah otonom.

2. Keleluasaan daerah untuk mengatur atau mengurus kewenangan semua bidang pemerintahan kecuali enam kewenangan.

3. Kewenangan yang utuh dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian.

4. Pemberdayaan masyarakat, tumbuhnya prakarsa dan inisiatif, menyangkut peran masyarakat dan legislatif.

Oleh karena hal tersebut di atas, tulisan ini mengangkat masalah pemberdayaan pemerintahan desa dalam upaya mewujudkan otonomi desa.

B. Permasalahan

Yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini adalah:

1. Bagaimana sejarah perkembangan pemerintahan desa di Indonesia?

1


(13)

2. Bagaimana pelaksanaan konsep otonomi desa di Indonesia?

3. Bagaimana upaya pemberdayaan pemerintahan desa dalam upaya mewujudkan otonomi desa di Desa Sigara-gara Kec. Patumbak Kab. Deli Serdang?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

a. Untuk mengetahui sejarah perkembangan pemerintahan desa di Indonesia b. Untuk mengetahui upaya konsep otonomi desa di Indonesia

c. Untuk mengetahui upaya pemberdayaan pemerintahan desa dalam upaya mewujudkan otonomi desa di Desa Sigara-gara Kec. Patumbak Kab. Deli Serdang

2. Manfaat Penulisan

a. Secara Teoritis

1. Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang Hukum Tata Negara, khususnya yang berkaitan dengan pemberdayaan pemerintahan desa dalam upaya mewujudkan otonomi desa

2. pemberdayaan pemerintahan desa dalam upaya mewujudkan otonomi desa yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

b. Secara Praktis

Dapat diajukan sebagai pedoman dan bahan rujukan bagi rekan-rekan mahasiswa, masyarakat, lembaga penegak hukum, praktisi hukum dan


(14)

pemerintah dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan pemberdayaan pemerintahan desa dalam upaya mewujudkan otonomi desa.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai “Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati dalam Perspektif Hukum Pidana Islam” belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan skripsi ini asli disusun oleh penulis sendiri dan bukan plagiat atau diambil dari skripsi orang lain. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya secara ilmiah. Apabila ternyata ada skripsi yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya.

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Teori

Untuk mencapai tujuan penelitian ini, digunakan teori demokrasi, dengan pendekatan transpolitika dan postrukturalisme. Dari analisis transformasi demokrasi dalam tata pemerintahan desa, realitasnya demokrasi desa dalam era transisi pertama bersifat otoritarian-leviathan yang seragam, tidak begitu banyak pilihan dalam pelaksanaan demokrasi desa. Istilah, struktur, fungsi dan mekanisme dalam menjalankan pemerintahan desa sudah dibakukan. Paradigmatik pengaturan politik yang bersifat otoritarian tidak memberikan peluang yang cukup bagi munculnya perbedaan dalam corak dan tata cara pengaturan dalam pemerintahan desa. Dalam era transisi kedua terjadi transformasi mendasar ke demokrasi libertarian-liliput dengan penggantian Lembaga


(15)

Musyawarah Desa (LMD) yang sebelumnya bersifat korporatis dengan kekuasaan monolitik di tangan kepala desa menjadi Badan Perwakilan Desa (BPD-1) yang jauh lebih demokratis sehingga dapat menghasilkan relasi kuasa yang lebih berimbang. Kondisi ini meningkatkan keleluasaan desa untuk berkreasi dalam menyusun kebijakan desa yang disesuaikan dengan adat-istiadat, kebutuhan dan aspirasi warga.

Memasuki era transisi ketiga demokrasi desa kembali bertransformasi ke arah pola demokratis-prosedural yakni perombakan tata kelembagaan dan proses demokrasi lewat pembentukan lembaga baru Badan Permusyawaratan Desa (BPD-2) yang fungsinya jauh lebih lemah dibandingkan dengan fungsi BPD-1 sebelumnya.2

2. Konsepsi

Pemberdayaan berasal dari kata ‘daya’. Arti daya adalah kekuatan atau tenaga, misalnya: daya pikir, daya batin, daya gaib, daya gerak, daya usaha, daya hidup, daya tahan, sudah tak ada dayanya lagi.3

Sebenarnya hakekat redefinisi pemberdayaan adalah: 4

Pertama, pemberdayaan adalah proses, yaitu perubahan dari status yang rendah ke status yang lebih tinggi. Kedua, pemberdayaan adalah metode, yaitu sebagai suatu pendekatan agar masyarakat berani mengungkapkan pendapatnya. Ketiga, pemberdayaan adalah program, yaitu sebagai tahapan-tahapan yang hasilnya terukur menuju kehidupan rakyat yang mandiri dan sejahtera. Keempat, pemberdayaan adalah gerakan, yaitu membuka peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Kelima,

2

http://ilmupemerintahan.wordpress.com/2009/04/05/transformasi-tata-pemerintahan-desa/. Diakses pada tanggal 20 Mei 2010.

3

WJS Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1985. 4

http://sobirin-xyz.blogspot.com/2008/07/hakekat-pemberdayaan.html. diakses pada tanggal 20 Mei 2010.


(16)

pemberdayaan adalah pemberian otorisasi, yaitu menempatkan masyarakat sebagai subyek dalam pembangunan.

Pemerintahan adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan yang mengatur suatu negara dengan cara dan sistem tertentu sesuai dengan tujuan didirikannya negara tersebut.5

Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah Kabupaten.6

a. Otonomi daerah

Adanya perubahan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, di samping karena adanya amandemen UUD 1945, juga memperhatikan beberapa Ketetapan MPR dan Keputusan MPR. Adanya kekurangan-kekurangan dalam UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah disempurnakan dalam UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Beberapa kelemahan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah yang dapat diamati adalah sebagai berikut:7

a. Dalam pembagian daerah, belum atau tidak cukup jelas mengatur pembagian daerah. Apa ukuran atau kriteria suatu daerah provinsi dapat dikatakan otonom. Apakah didasarkan pada luas wilayah, tingkat kepadatan penduduk, tingkat

5

http://pasuruan.go.id/pemerintahan/. Diakses tanggal 20 Mei 2010. 6

Widjaja, HAW. 2003. Otonomi Desa. Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal. 22. 7

Armida Alisyahbana, Identifikasi Permasalahan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Seminar Nasional dalam rangka Lustrum IV tahun 1999 Program Pascasarjana Universitas Pajajaran, Bandung, 1999.


(17)

pendapatan/penghasilan daerah dan/atau budaya masyarakat. Begitu pula dengan daerah kabupaten/kota.

b. Dalam pembentukan dan susunan daerah tidak rinci, hanya didasarkan atas prakarsa dan kehendak masyarakat. Kriteria susunan daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosialbudaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah dan lain-lain. Kriteria seperti ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum tentang keberadaan suatu daerah.

c. Dalam kewenangan daerah. Sebagai akibat ketidakjelasan kriteria otonomi tercermin pula kewenangan provinsi dan kabupaten/kota. Kondisi seperti ini akan tetap menempatkan pusat sebagai pihak yang lebih tinggi dari provinsi, kemudian provinsi sebagai pihak yang lebih tinggi dari kabupaten/kota, dan seterusnya. d. Tentang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Belum memberikan

kewenangan yang sungguh-sungguh kepada DPRD sebagai lembaga legislatif dengan tidak jelasnya kedudukan DPRD dalam pengambilan keputusan terhadap masalah-masalah daerah.

e. Tentang perangkat daerah. Daerah mempunyai wewenang untuk mengangkat perangkat derah, akan tetapi tidak ada kejelasan kewenangan daerah merekrut perangkat derah di luar struktur pemerintahan sebelumnya (lama).

f. Dalam keuangan daerah. Belum mencerminkan otonomi penuh daerah untuk menentukan jumlah anggaran dan pengaturannya.

g. Dalam hubungan pusat dan daerah. Harus ada batasan yang jelas hubungan antara Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.


(18)

Menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan daerah otonom, selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Prinsip-prinsi otonomi daerah yang dijadikan pedoman dalam UU No. 32 Tahun 2004 ini adalah sebagai berikut:8

a. Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-undang ini.

b. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

c. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Adapun yang dimaksud

8


(19)

dengan otonomi yang beranggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.

d. Penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat.

e. Penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin hubungan antara daerah dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antar daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah. f. Otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar daerah

dengan pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah negara dan tetap tegaknya NKRI dalam rangka mewujudkan tujuan negara.

Adapun asas-asas penyelenggaraan pemerintahan daerah dari Undang-Undang No.32 Tahun 2004, yaitu:

a. digunakan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan;

b. penyelenggaraan asas desentralisasi secara utuh dan bulat yang dilaksanakan di daerah kabupaten dan daerah kota; dan

c. asas tugas pembantuan yang dapat dilaksanakan dari daerah provinsi, daerah kabupaten, daerah kota, dan desa.


(20)

Pada umumnya faktor-faktor dan atau variabel-variabel yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah adalah kemampuan sumber daya manusia (aparat maupun masyarakat), sumber daya alam, kemampuan keuangan (finansial), kemampuan manajemen, kondisi sosial budaya masyarakat, dan karakteristik ekologis.9

Menurut Widjaya ada tiga variabel yang menjadi tolak ukur kemampuan daerah otonom, yaitu:10

a. variabel pokok, yang terdiri dari kemampuan pendapatan asli daerah/keuangan, kemampuan aparatur, kemampuan aspirasi masyarakat, kemampuan ekonomi, kemampuan demografi, serta kemampuan organisasi dan administrasi;

b. variabel penunjang, yang terdiri dari faktor geografi dan faktor sosial budaya; dan c. variabel khusus yang terdiri dari sosial politik, pertahanan dan keamanan serta

penghayatan agama.

Agar otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai, pemerintah wajib melakukan pembinaan yang berupa pemberian pedoman seperti dalam penelitian, pengembangan, perencanaan, dan pengawasan. Di samping itu diberikan pula standar arahan, bimbingan, pelatihan, supervisi, pengendalian, koordinasi, pemantauan dan evaluasi. Di samping itu, juga memberikan bantuan dan dorongan kepada daerah agar otonomi dapat terlaksana secara efektif dan efisien.

Otonomi berasal dari kata Yunani outos dan nomos, outos berarti “sendiri” dan nomos berarti “perintah”. Sehingga otonomi bermakna “memerintah sendiri”, yang dalam wacana administrasi publik otonomi sering disebut sebagai local self government.11

9

Setyawan Salam, Otonomi Daerah Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai Dan sumber daya, Djambatan, Jakarta, 2003, hal. 94.

10

HAW Widjaya, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2001, hal. 39.


(21)

3. Pemerintahan Desa

Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah Kabupaten.12

“Desa atau yang disebut dengan nama lain sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa sebagaimana yang dimaksud dalam penjelasan pasal 18 UUD 1945. Landasan pemikiran dalam pengaturan Pemerintahan Desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat”.

Rumusan defenisi Desa secara lengkap terdapat dalam UU No.22/1999 adalah sebagai berikut:

13

Pengaturan tentang desa dalam bab XI tersebut diharapkan Pemerintah Desa bersama masyarakat secara bersama-sama menciptakan kemandirian desa. Kemandirian tersebut dapat dilihat dari kewenangan yang diberikan yang tertuang dalam pasal 206, yang menyebutkan bahwa desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Kewenangan Desa mencakup: keberadaan lembaga perwakilan desa atau badan Perwakilan Desa (BPD) sebagai bentuk miniatur DPRD di tingkat Kota maupun Kabupaten. Kewenangan ini berdampak pada mekanisme penyelenggaraan pemerintah desa yang selama ini tidak memiliki “lawan” atau yang mengontrol jalannya Pemerintah

11

http://tutorialkuliah.blogspot.com/2009/05/tentang-kuliah-tentang-otonomi-daerah. html. Diakses tanggal 20 Mei 2010.

12

Widjaja, HAW. 2003. Otonomi Desa. Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal. 22. 13


(22)

Desa. Selain itu keberadaan lembaga ini akan membawa perubahan suasana dalam proses Pemerintahan di desa.

Keberadaan BPD secera otomatis akan mempengaruhi kinerja dari Pemerintahan Desa, begitu pula kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintahan Desa dalam hal ini kepala Desa juga akan berbeda dari sebelumnya. Namun yang tidak kalah pentingnya adalah masalah keuangan Desa (pasal 212) yang mengatur tentang sumber pendapatan desa, yaitu berdasarkan pendapatan asli desa (hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa yang sah), kemudian bantuan dari Pemerintah Kabupaten berupa bagian yang diperoleh dari pajak dan retribusi serta bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Pemerintah Kabupaten, selain itu bantuan dari Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, sumbangan pihak ketiga dan pinjaman desa.

Beberapa hal yang dimuat dalam keuangan desa ini merupakan hal yang baru bagi Pemerintah Desa karena selama ini mereka belum terbiasa untuk berkreasi mencari pendapatan asli desa. Untuk mengetahui, sekaligus membandingkan konsep Pemerintahan Desa yang terbaik dan sesuai untuk masyarakat desa di Indonesia maka perlu mempelajari perkembangan pemerintaan Desa sejak awal. Di bawah ini merupakan uraikan perkembangan pemerintahan desa di Indonesia sejak masa kolonial hingga berlakunya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang berlaku saat ini.

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Bogdan dan Taylor mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data


(23)

deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diambil.14

2. Lokasi Penelitian

Dengan dasar tersebut, maka penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai kinerja BPD dengan didukung data-data tertulis maupun data-data hasil wawancara.

Lokasi penelitian merupakan tempat penelitian dilakukan. Dengan ditetapkan lokasi dalam penelitian akan dapat lebih mudah untuk mengetahui tempat dimana suatu penelitian dilakukan. Lokasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah di Desa Sigara-gara, Kecamatan Patumbak, Kabupaten Deli Serdang.

3. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah subjek dari mana data dapat diperoleh.15

a. Sumber data primer, diperoleh dari hasil penelitian di lapangan secara langsung dari sebenarnya, dan pihak-pihak yang bersangkutan dengan masalah yang akan dibahas dalam hal ini adalah dari Badan Permusyawaratan Daerah (BPD), pemerintah desa yang terdiri dari kepala desa dan perangkat desa. Untuk memperoleh sumber data primer digunakan teknik wawancara dan observasi.

Sumber data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

b. Sumber data sekunder, untuk memperoleh sumber data sekunder penulis menggunakan teknik dokumentasi. Hal ini dapat dilakukan dengan mencari

14

Moleong, J Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:Remaja Rosydakarya, 2002, hal. 3.

15

Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta, 2002, hal. 107.


(24)

dan mengumpulkan data melalui informan secara tertulis ataupun gambar-gambar yang berhubungan dengan masalah-masalah penelitian.

4. Alat dan Teknik Pengumpulan Data

Penelitian di samping perlu menggunakan metode yang tepat, juga perlu memilih alat dan teknik pengumpulan data yang relevan. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan:

a. Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang di wawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.16

b. Pengamatan (observasi)

Observasi diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian. Pengamatan dan pencatatan yang dilakukan terhadap objek di tempat terjadi atau berlangsungnya peristiwa, sehingga observer berada bersama objek yang diselidiki, disebut observasi langsung. Sedangkan observasi tidak langsung adalah pengamatan yang dilakukan tidak pada saat berlangsungnya suatu yang akan diselidiki.17

c. Dokumentasi

16

Moeloeng, Op.cit, hal. 133. 17

Maman Rachman, Strategi dan Langkah-langkah Penelitian. Semarang: IIKIP Semarang Press, 1999, hal. 77.


(25)

Teknik dokumentasi adalah mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis, seperti arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku tentang pendapat, teori, dalil atau hukum-hukum dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah penelitian.18

5. Analisa Data

Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan metode induktif dilakukan dengan menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.

G. Sistematika Pembahasan

BAB I : Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain

memuat Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II : Bab ini akan membahas tentang tinjauan umum tentang tindak Sejarah Perkembangan Pemerintahan Desa Di Indonesia, yang mengulas Pemerintahan Desa Masa Kolonial, Pemerintahan Desa Awal Kemerdekaan, Pemerintahan Desa Masa Orde Baru, dan Pemerintahan Desa Masa Reformasi (1999-sekarang)

18


(26)

BAB III : Bab ini akan membahas tentang upaya pemberdayaan pemerintahan desa dalam kerangka otonomi daerah, yang memuat Permasalahan-permasalahan dalam Tata Pemerintahan Desa, Kemitraan sebagai Ideologi dalam Tata-Pemerintahan Desa, dan Pemberdayaan pemerintahan desa melalui implementasi kemitraan dalam tata pemerintahan desa

BAB IV: Bab ini akan dibahas tentang pemberdayaan pemerintahan desa dalam upaya mewujudkan otonomi desa di desa sigara-gara kec. patumbak kab. deli serdang, yang mengulas tentang Gambaran Umum Desa Sigara-gara Kec. Patumbak Kab. Deli Serdang, dan Pemberdayaan Pemerintahan Desa dalam Upaya Mewujudkan Otonomi Desa Sigara-gara Kec. Patumbak Kab. Deli serdang

BAB IV: Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran mengenai permasalahan yang dibahas.


(27)

BAB II

SEJARAH PERKEMBANGAN PEMERINTAHAN DESA DI INDONESIA

A. Pemerintahan Desa Masa Kolonial

Ketika masa pemerintahan kolonial atau biasa disebut dengan Pemerintahan Hindia Belanda, Desa atau Pemerintahan Desa diatur dalam pasal 118 jo Pasal 121 I. S. yaitu Undang-Undang Dasar Hindia Belanda. Dalam pasal ini dijelaskan bahwa penduduk negeri/asli dibiarkan di bawah langsung dari kepala- kepalanya sendiri (pimpinan). Kemudian pengaturan lebih lanjut tertuang dalam IGOB (Inlandsche Gemeente Ordonantie Buitengewesten) LN 1938 No. 490 yang berlaku sejak 1 Januari 1939 LN 1938 No. 681. Nama dan jenis dari persekutuan masyarakat asli ini adalah Persekutuan Bumi Putera. Persekutuan masyarakat asli di jawa disebut DESA, di bekas Karesidenan Palembang disebut “Marga”, “Negeri” di Minangkabau sedangkan di bekas Karesidenan Bangka Belitung disebut HAMINTE.19

Pada masa pemerintahan kolonial ini, asal-usul desa diperhatikan dan diakui sedemikian rupa sehingga tidak mengenal adanya penyeragaman istilah beserta komponen-komponen yang meliputinya. Desa/Marga ini berasal dari serikat dusun baik atas dasar susunan masyarakat geologis maupun teritorial. Desa/Marga adalah masyarakat hukum adat berfungsi sebagai kesatuan wilayah Pemerintah terdepan dalam rangka Pemerintahan Hindia Belanda dan merupakan Badan Hukum Indonesia (IGOB STB 1938 No. 490 jo 681. Sedangkan bentuk dan susunan pemerintahannya ditentukan berdasarkan hukum adat masing-masing daerah. Adapun dasar hukumnya adalah Indische Staasgeling dan IGOB Stb.1938 No. 490 Jo. 681 Adapun tugas, kewenangan,

19


(28)

serta lingkup pemerintahan meliputi bidang perundangan, pelaksanaan, keadilan dan kepolisian. Dengan demikian Desa/Marga pada saat itu memiliki otoritas penuh dalam mengelola dan mengatur wilayahnya sendiri termasuk ketertiban dan keamanan berupa kepolisian. Selain itu masing-masing wilayah tersebut memiliki pengaturan hak ulayat atau hak wilayah. Hak ini adalah hak mengatur kekuasaan atas tanah dan perairan di atasnya, termasuk ruang lingkup kekuasaan dari desa/marga tersebut. Adapun materinya adalah sebagai berikut:20

a. Masyarakat hukum yang bersangkutan dan anggota-anggotanya bebas mengerjakan tanah-tanah yang masih belum dibuka membentuk dusun, mengumpulkan kayu, dan hasil-hasil hutan lainnya.

b. Orang luar bukan anggota masyarakat yang bersangkutan hanya boleh mengerjakan tanah seizin masyarakat hukum yang bersangkutan (izin kepala desa/marga).

c. Bukan anggota masyarakat yang bersangkutan, kadang-kadang juga anggota masyarakat hukum, harus membayar untuk penggarapan tanah dalam marga semacam retribusi sewa bumi, sewa tanah, sewa sungai, dsb.

d. Pemerintahan Desa/Marga sedikit banyak ikut campur tangan dalam cara penggarapan tanah tersebut sebagai pelaksanaan fungsi pengawasannya.

e. Pemerintah Desa/Marga bertanggung jawab atas segala kejadian-kejadian dalam wilayah termasuk lingkungan kekuasaannya.

f. Pemerintahan Desa/Marga menjaga agar tanahnya tidak terlepas dari lingkungan kekuasannya untuk seterusnya.

20


(29)

Sedangkan Badan Perwakilan Desa pada masa itu dinamakan Dewan Desa/Marga. Pemerintah Desa/Marga didampingi oleh Dewan Desa/Marga yang berfungsi sebagai lembaga pembuat peraturan-peraturan dalam rangka kewenangan menurut hukum adat. Dengan demikian sejak masa pemerintahan kolonial, bangsa Indonesia telah mengenal lembaga pembuat peraturan-peraturan di tingkat desa, dimana tugas dan fungsinya secara tidak langsung telah ditumpulkan ketika pemerintahan masa orde baru melalui UU No. 5/1979.

Untuk sumber keuangan atau sumber pendapatan Desa/Marga diperoleh antara lain dari pajak Desa/Marga, sewa lebak lebung, sewa bumi, ijin mendirikan rumah/bangunan, hasil kerikil/pasir, sewa los kalangan, hasil hutan/bea kayu, pelayanan pernikahan, pas membawa hewan kaki empat besar, dan lain-lain. Sumber pendapatan Desa/marga ini dapat dikatakan sebagai pendapatan asli desa/marga, karena tidak didapatkan unsur pinjaman ataupun bantuan dari pihak lain. Dengan demikian Desa pada waktu itu telah mandiri dengan sendirinya tanpa ketergantungan dari pemerintahan di atasnya.

B. Pemerintahan Desa Awal Kemerdekaan

Ketika awal kemerdekaan Pemerintahan Desa/Marga diatur dalam UUD 1945, yang berbunyi sebagai berikut:21

“Dalam teritorial Negara Indonesia terdapat kurang lebih 250 “Zelfbesturendelandschappen” dan “Volksgemeenschappen” seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang

21


(30)

mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut”.22

C. Pemerintahan Desa Masa Orde Baru

Kemudian pengaturan lebih lanjut dituangkan dalam UU No. 19 tahun 1965 tentang Pembentukan Desa Praja atau daerah otonom adat yang setingkat di seluruh Indonesia. Undang-undang ini tidak sesuai dengan isi dan jiwa dari pasal 18 penjelasan II dalam UUD 1945, karena dalam UU No. 19/1965 ini mulai muncul keinginan untuk menyeragamkan istilah Desa. Namun dalam perkembangannnya peraturan ini tidak sempat dilaksanakan karena sesuatu alasan pada waktu itu.

Selanjutnya Pemerintah Orde Baru mengatur Pemerintahan Desa/Marga melalui UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa. Undang-undang ini bertujuan untuk menyeragamkan nama, bentuk, susunan dan kedudukan Pemerintahan Desa. Undang-undang ini mengatur Desa dari segi pemerintahannya yang berbeda dengan Pemerintahan Desa/Marga pada awal masa kolonial yang mengatur pemerintahan serta adat-istiadat. Dengan demikian, Pemerintahan Desa berdasarkan undang-undang ini tidak memiliki hak pengaturan di bidang hak ulayat atau hak wilayah. Istilah Desa dimaknai sebagai suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi. Pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan NKRI. Desa dibentuk dengan memperhatikan syarat-syarat luas wilayah, jumlah penduduk dan syarat- syarat lainnya. Terkait dengan kedudukannya sebagai pemerintahan terendah di bawah kekuasaan pemerintahan kecamatan, maka keberlangsungan penyelenggaraan

22


(31)

pemerintahan dan pembangunan berdasarkan persetujuan dari pihak Kecamatan. Dengan demikian masyarakat dan Pemeritnahan Desa tidak memiliki kewenangan yang leluasa dalam mengatur dan mengelola wilayahnya sendiri. Ketergantungan dalam bidang pemerintahan, administrasi dan pembangunaan sangat dirasakan ketika UU No. 5/1979 ini dilaksanakan.

Adapun tugas, kewenangan, dan ruang lingkup pemerintahan adalah menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dan merupakan penyelenggara dan penanggung jawab utama di bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Urusan Pemerintahan Desa termasuk pembinaan ketentraman dan ketertiban sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan menumbuhkan serta mengembangkan jiwa gotong royong sebagai sendi utama pelaksanaan Pemerintahan Desa.23

Sedangkan istilah Badan Perwakilan Desa terwakili dalam Lembaga Masyarakat Desa (LMD) yang merupakan lembaga permusyawaratan yang keanggotaannya terdiri atas Kepala-kepala Dusun, pimpinan lembaga-lembaga kemasyarakatan dan pemuka masyarakat di Desa yg bersangkutan. Tugas dan fungsinya tidak seluas yang dimiliki oleh lembaga BPD yang diatur dalam UU No. 22/1999. Selain itu keanggotaannya juga berpengaruh terhadap efektivitas dan kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan Desa. Hampir setiap tindakan penyimpangan yang dilakukan oleh Kepala Desa tidak dapat dikontrol dan diambil tindakan oleh Lembaga Musyawarah Desa ini, karena yang menjadi ketua atau pimpinan dari LMD ini adalah Kepala Desa sendiri. Dengan demikian pengawasan dari praktek penyelenggaraan dan pembangangunan Desa

23


(32)

sangat minim, sehingga memungkinkan Kepala Desa untuk bertindak sewenang- wenang dengan memperkaya diri sendiri atau melakukan penyimpangan lainnya, karena tidak efektifnya lembaga pengontrol.

Kemudian untuk sumber pendapatan Desa diperoleh dari:

a. Pendapatan Asli Desa, yang terdiri dari: hasil tanah kas desa; hasil dari swadaya dan partisipasi masyarakat; hasil dari gotong-royong masyarakat; dan lain-lain dari hasil usaha desa.

b. Pendapatan yg berasal dari pemberian Pemerintah dan Pemda, terdiri dari: sumbangan dan bantuan Pemerintah; sumbangan dan bantuan Pemda; sebagain pajak dan retribusi Daerah, yang diberikan kepada Desa.

c. Lain-lain pendapatan yang sah.

Dari beberapa sumber pendapatan Desa tersebut, sumber yang paling besar berasal dari bantuan Pemerintah dan bantuan Pemerintah Daerah, maka, secara otomatis Pemerintah Desa mulai menggantungkan pembiayaan penyelengaraan pemerintahan dan pembangunannya melalui dana bantuan dari Pemerintah tersebut. Keberadaan sumber-sumber pendapatan desa ini merupakan awal ketergantungan dari segi pembiayaan, karena sumber-sumber pendapatan asli desa sangat tidak memadai hasilnya, sedangkan sumber-sumber laiinya telah dikenai pajak dan retribusi oleh Pemeritnah yang lebih atas, sedangkan desa hanya menikmati hasil pembagian dari pajak dan retribusi tersebut. Hasilnyapun tidak seberapa besar apabila dibandingkan dengan bantuan yang rutin yang diberikan oleh Pemerintah.


(33)

Pada masa reformasi Pemerintahan Desa diatur dalam UU No. 22/1999 yang diperbarui menjadi 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya pada Bab XI pasal 200 s/d 216. Undang-undang ini berusaha mengembalikan konsep, dan bentuk Desa seperti asal-usulnya yang tidak diakui dalam undang-undang sebelumnya yaitu UU No. 5/1979. Menurut undang-undang ini, Desa atau disebut dengan nama lain, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memilik kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yg diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di Daerah Kabupaten. Desa dapat dibentuk, dihapus, dan/atau digabung dengan memperhatikan asal-usulnya atas prakarsa masyarakt dengan persetujuan Pemerintah Kabupaten dan DPRD.

Pada bagian pertama bab XI tentang Desa, UU No. 32/2004 memuat tentang pembentukan, penghapusan dan/atau penggabungan desa. Desa dapat dibentuk, dihapus, dan/atau digabung dengan memperhatikan asal-usulnya atas prakarsa masyarakat desa dengan persetujuan pemerintah Kabupaten dan DPRD. Adapun yang dimaksud dengan istilah desa dalam hal ini disesuaikan dengan kondisi sosial, budaya masyarakat setempat seperti Nagari, Kampung, Huta, Bori dan Marga. Sedangkan yang dimaksud dengan asal-usul adalah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 18 UUD 1945 beserta penjelasannya. Dalam pembentukan, penghapusan dan/atau penggabungan Desa tersebut ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Sebagai pertimbangan dalam pembentukan, penghapusan dan/atau penggabungan Desa hendaknya memperhatikan luas wilayah, jumlah penduduk, sosial budaya, potensi Desa dan lain-lain. Sesuai dengan definisi Desa yang memperhatikan asal-usul desa maka Pemerintahan Desa memiliki kewenangan dalam pengaturan hak ulayat atau hak wilayah. Adapun pengaturannya adalah


(34)

Pemerintah Kabupaten dan/atau pihak ketiga yg merencanakan pembangunan bagian wilayah Desa menjadi wilayah pemukiman industri dan jasa wajib mengikutsertakan Pemerintah Desa dan badan Perwakilan Desa dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasannya. Secara substantif undang-undang ini menyiratkan adanya upaya pemberdayaan aparatur Pemerintah Desa dan juga masyarakat desa.

Pemerintahan Desa atau dalam bentuk nama lain seperti halnya Pemerintahan Marga, keberadaannya adalah berhadapan langsung dengan masyarakat, sebagai ujung tombak pemerintahan yang terdepan. Pelaksaaan otonomisasi desa yang bercirikan pelayanan yang baik adalah dapat memberikan kepuasan bagi masyarakat yang memerlukan karena cepat, mudah, tepat dan dengan biaya yang terjangkau, oleh karena itu pelaksanaan di lapangan harus didukung oleh faktor-faktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan tentang Desa tersebut.

Posisi Pemerintahan Desa yang paling dekat dengan masyarakat adalah Pemerintah Desa selaku pembina, pengayom, dan pelayanan masyarakat sangat berperan dalam mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan Desa. Penyelenggaraaan Pemerintahan Desa merupakan sub sistem dalam penyelenggaraan sistem Pemerintahan Nasional, sehingga Desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya. Adapun landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai pemerintahan Desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli dan pemberdayaan masyarakat.

Di sisi lain, dalam pelaksanaan kebijakan tentang Desa ini perlu diperhatikan berbagai permasalahan seperti halnya:24

24


(35)

a. Sumber Pendapatan Asli Desa (keuangan desa);

b. Penduduk, keahlian dan ketrampilan yang tidak seimbang (sumber daya manusia desa yang masih rendah) yang berakibat terhadap lembaga-lembaga Desa lainnya selain Pemerintahan Desa seperti halnya Badan Perwakilan Desa (BPD), lembaga musyawarah Desa dan beberapa lembaga adat lainnya;

c. Potensi desa seperti halnya potensi pertambangan, potensi perikanan, wisata, industi kerajinan, hutan larangan atau suaka alam, hutan lindung, hutan industri, perkebunan, hutan produksi, hutan konservasi, dan hutan tujuan khusus.

Beberapa permasalahan di atas perlu kiranya untuk dicermati dalam pelaksanaan di lapangan, karena seringkali ketiga hal tersebut merupakan batu sandungan dalam pelaksanaan otonomisasi desa, sehingga tujuan yang ingin dicapai hanya berjalan di tempat.

Pada bagian kedua memuat tentang Pemerintahan Desa. Dalam pasal- pasal bagian kedua ini menerangkan bahwa Pemerintah Desa terdiri dari Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dan perangkat desa. Istilah Kepala Desa juga dapat disesuaikan dengan kondisi sosial budaya setempat. Sedangkan Kepala Desa langsung dipilih oleh penduduk Desa dari calon yang memenuhi syarat. Kemudian Calon Kepala Desa yang terpilih dengan mendapatkan dukungan suara terbanyak, ditetapkan oleh Badan Perwakilan Desa dan disahkan oleh Bupati. Untuk masa jabatan kepala Desa paling lama sepuluh tahun atau dua kali masa jabatan terhitung sejak tanggal ditetapkan. Daerah Kabupaten dapat menetapkan masa jabatan Kepala Desa sesuai dengan sosial budaya setempat.


(36)

Adapun tugas dan kewajiban Kepala Desa adalah memimpin penyelenggaraan Pemerintah Desa; membina kehidupan masyarakat Desa; membina perekonomian Desa; memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat; mendamaikan perselisihan masyarakat di Desa; dan mewakili desanya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukumnya.

Pelaksanaan tugas dan kewajiban Kepala Desa khusus untuk mendamaikan perselisihan di masyarakat, Kepala Desa dapat dibantu oleh Lembaga Adat Desa. Segala perselisihan yang telah didamaikan oleh Kepala Desa bersifat mengikat pihak-pihak yang berselisih. Dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya seorang Kepala Desa bertanggung jawab kepada rakyat melalui Badan Perwakilan Desa serta menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan tugasnya kepada Bupati, namun meskipun demikian laporan tersebut harus ditembuskan terlebih dahulu kepada Camat.

Dari pelaksanaan tugas serta pertanggungjawaban Kepala Desa inilah sering muncul permasalahan di lapangan, hal ini dikarenakan Kepala Desa memiliki wewenang yang semula belum ada dan sekarang relatif besar. Selain itu seorang Kepala Desa tidak lagi “bertuan” kepada Camat, sehingga sangat mudah bagi seorang Kepala Desa untuk tidak menghiraukan keberadaan Camat selaku koordinator administrasi di wilayah Kecamatan. Selain itu, konsep pertanggung jawaban Kepala Desa terhadap BPD sangatlah baru bagi seorang kepala Desa, sehingga seringkali dijumpai bukannya mekanisme pertanggung jawaban yang terjadi melainkan proses saling menjatuhkan antara dua lembaga yaitu BPD dan Kepala Desa. Keberadaan BPD yang juga baru dan didukung dengan sumber daya manusia yang “cukup” mendorong demokratisasi sekaligus ajang euphori bagi sebagian masyarakat yang selama ini merasa kurang puas


(37)

dengan keberadaan Pemerintah Desa. Oleh karena itu sangat menarik untuk mendapatkan gambaran tentang pelaksanaan tugas dan pertanggungjawaban Kepala Desa ini sekaligus mengevaluasi dampaknya terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa yang baik.

Dalam kepemimpinannya Kepala Desa berhenti apabila meninggal dunia; mengajukan berhenti atas permintaan sendiri, tidak lagi memenuhi syarat dan/atau melanggar sumpah/janji; berakhir masa jabatannya dan telah dilantik Kepala Desa yang baru. Kepala Desa yang telah berakhir masa jabatannya tetap melaksanakan tugasnya sebagai Kepala Desa sampai dengan dilantiknya Kepala Desa yang baru. Sedangkan pemberhentian Kepala Desa dilakukan oleh Bupati atas usul Badan Perwakilan Desa. Selain itu pada bagian kedua undang-undang ini juga memuat tentang Kewenangan yang dimiliki oleh desa yaitu, kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa; kemudian kewenangan yang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh daerah dan pemerintah; dan tugas pembantuan (midebewind) dari Pemerintah, Pemerintah propinsi, dan/atau Pemerintah Kabupaten. Tugas pembantuan seperti yang telah disebutkan tadi haruslah disertai dengan pembiayaan, sarana, dan prasarana, serta sumber daya manusia. Apabila ketentuan ini tidak dimiliki maka Pemerintah Desa berhak menolak pelaksanaan tugas pembantuan ini. Pada bagian ketiga dari bab ini (XI) memuat tentang Badan Perwakilan Desa yang disebut dengan nama lain untuk kemudian disesuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat, berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat Peraturan Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa. Pembentukan Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa dilakukan oleh masyarakat.


(38)

Adapun fungsi pengawasan Badan Perwakilan Desa meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, dan keputusan Kepala Desa. Sedangkan keanggotaan Badan Perwakilan Desa tersebut dipilih oleh penduduk desa yang memenuhi persyaratan. Pimpinan Badan Perwakilan Desa dipilih dari dan oleh anggota. Kemudian BPD bersama dengan Kepala Desa menetapkan Peraturan Desa. Peraturan Desa yang telah dibuat bersama tersebut tidak memerlukan pengesahan Bupati, tetapi wajib disampaikan kepadanya selambat-lambatnya dua minggu setelah ditetapkan dengan tembusan kepada Camat.

Pada bagian keempat memuat tentang lembaga lain. Setiap desa dapat membentuk lembaga lainnya sesuai dengan kebutuhan desa dan ditetapkan dengan Peraturan Desa. Kemudian pada bagian kelima memuat tentang keuangan desa.

Adapun sumber pendapatan desa dapat berasal dari: 1. Pendapatan Asli Desa:

a. hasil usaha desa; b. hasil kekayaan desa;

c. hasil dar swadaya dan partisipasi; d. hasil gotong-royong;

e. lain-lain pendapatan asli desa yg sah. 2. Bantuan dari Pemerintah Kabupaten:

a. bagian dari perolehan pajak dan retribusi daerah;

b. bagian dari dana perimbangan keuangan daerah pusat dan daerah yang diterima Pemerintah kabupaten.


(39)

4. Sumbangan dar pihak ketiga; dan 5. Pinjaman Desa.

Sumber pendapatan desa tersebut, yang telah dimiliki dan dikelola oleh Desa tidak dibenarkan diambil alih oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Pemberdayaan Desa dalam meningkatkan pendapatan desa dilakukan antara lain dengan mendirikan Badan Usaha Milik Desa, kerjasama dengan pihak ketiga, dan kewenangan melakukan pinjaman. Sedangkan sumber pendapatan daerah yang berada di Desa, baik pajak mapun retribusi yang sudah dipungut oleh Daerah Kabupaten tidak dibenarkan adanya pungutan tambahan oleh Pemerintah Desa. Pendapatan Daerah dari sumber tersebut harus diberikan kepada Desa yang bersangkutan dengan pembagian secara proporsional dan adil. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghilangkan beban biaya ekonomi tinggi dan dampak lainnya.

Selanjutnya sumber pendapatan Desa tersebut dikelola melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Kegiatan pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa ditetapkan setiap tahun, dengan meliputi penyusunan anggaran, pelaksanaan tata usaha keuangan, dan perubahan serta penghitungan anggaran. Kepala Desa bersama Badan Perwakilan Desa menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa setiap tahun dengan Peraturan Desa.

Adapun pedoman untuk menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa tersebut ditetapkan oleh Bupati, sedangkan tata cara dan pungutan objek pendapatan dan belanja Desa ditetapkan bersama antara kepala Desa dan Badan Perwakilan Desa. Selanjutnya keuangan Desa selain didapat dari sumber-sumber yang telah disebutkan di atas, juga dapat memiliki badan usaha sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


(40)

Pada bagian keenam, yaitu bagian terakhir dalam bab XI memuat tentang Kerjasama Antar Desa. Beberapa Desa dapat mengadakan kerjasama untuk kepentingan Desa yang diatur dengan keputusan bersama dan diberitahukan kepada Camat. Kerjasama antar desa yang didalamnya member beban kepada masyarakat harus mendapatkan persetujuan dari Badan Perwakilan Desa. Untuk lebih memudahkan proses dan kerja antar desa dalam melakukan kerjasama maka dapat dibentuk badan kerjasama Desa. Selanjutnya Pemerintah Kabupaten dan/atau pihak ketiga yang merencanakan pembangunan bagian wilayah Desa menjadi wilayah pemukiman, industri, dan jasa wajib mengikutsertakan pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasannya. Langkah selanjutnya dalam hal pengaturan tentang Desa ditetapkan dalam peraturan Daerah kabupaten masing-masing sesuai dengan pedoman umum yang ditetapkan oleh Pemerintah berdasarkan UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan Daerah yang dimaksud, tidak boleh bertentangan dengan asal-usul yaitu asal-usul terbentuknya desa yang bersangkutan. Dengan demikian sangat jelas bahwa undang-undang ini memberikan dasar menuju self governing community yaitu suatu komunitas yang mengatur dirinya sendiri. Dengan pemahaman bahwa Desa memiliki kewenangan mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya sesuai kondisi dan sosial budaya setempat, maka posisi Desa yang memiliki otonomi asli sangat strategis sehingga memerlukan perhatian seimbang terhadap penyelenggaraan otonomi daerah, karena dengan otonomi desa yang kuat akan mempengaruhi secara signifikan perwujudan otonomi daerah.


(41)

Selanjutnya dalam undang-undang ini ditegaskan bahwa landasan pemikiran pengaturan Pemerintahan Desa adalah (penjelasan PP No.76/2001 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa):

1. Keanekaragaman

Keanekaragaman memiliki makna bahwa istilah Desa dapat disesuaikan dengan asal-usul dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat, seperti Nagari, Negri, Kampung, Pekon, Lembang, Pamusungan, Huta, Bori atau Marga. Hal ini berarti pola penyelenggaraan Pemerintahan Desa akan menghormati sistem nilai yang berlaku dalam adat istiadat dan budaya masyarakat setempat, namun harus tetap mengindahkan sistem nilai bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

2. Partisipasi

Partisipasi memiliki makna bahwa penyelenggaraaan Pemerintahan Desa harus mampu mewujudkan peran aktif masyarakat agar masyarakat merasa memiliki dan turut bertanggung jawab terhadap perkembangan kehidupan bersama sebagai sesama warga Desa.

3. Otonomi Asli

Otonomi Asli memiliki makna bahwa kewenangan Pemerintahan Desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat didasarkan pada hak asal-usul dan nilai-nilai sosial budaya yang ada pada masyarakat setempat, namun hrus diselenggarakan dalam perspektif administrasi pemerintahan modern.


(42)

Demokratisasi memiliki makna bahwa penyelenggaraan Pemerintahan Desa harus mengakomodasi aspirasi masyarakat yang diartikulasi dan diagregasi melalui Badan Perwakilan Desa dan Lembaga kemasyarakatan sebagai mitra Pemerintah Desa.

5. Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan Masyarakat memiliki makna bahwa penyelenggaraan Pemerintahan Desa diabdikan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat melalui penetapan kebijakan, program dan kegiatan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat. Jika dibandingkan dengan Pemerintahan Desa/Marga pada masa kolonial, mengisyaratkan adanya ruang lingkup kewenangan dalam arti luas, meliputi kewenangan di bidang perundangan, kewenangan di bidang pemerintahan/pelaksanaan, kewenangan di bidang peradilan dan kewenangan di bidang kepolisian. Namun, kewenangan tersebut tidak dimungkinkan lagi mengingat situasi dan kondisi, sehingga hanya memiliki kewenangan Pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat sekaligus sebagai pembina adat istiadat setempat.

Sebelum pemberlakuan UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah yang memuat tentang Desa, asal-usul dan adat istiadat Desa telah tercerabut dari asalnya, karena UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa telah menyeragamkan bentuk, kedudukan dan susunannya. Apabila dirunut dari sejarah Pemerintahan Desa di Indonesia, pengakuan keanekaragaman berdasarkan adat-istiadat dan asal-usul Desa merupakan sebuah keinginan untuk mengembalikan karakteristik Pemerintahan Desa asli yang telah ada sebelumnya.


(43)

BAB III

TINJAUAN TERHADAP OTONOMI DAN OTONOMI DESA

A. Konsep Otonomi dalam Desentralisasi

Adanya pemerintahan daerah, dimulai dari kebijakan desentralisasi. Desentralisasi berasal dari bahasa latin, yaitu De yang berarti lepas dan Centrum yang artinya pusat. Dengan demikian, maka desentralisasi yang berasal dari sentralisasi mendapat awalan de berarti melepas atau menjauh dari pemusatan. Desentralisasi tidak putus sama sekali dengan pusat, tapi hanya menjauh dari pusat.25

Alderfer menyatakan bahwa pemerintah daerah di Indonesia berdasarkan sistem tradisional yang sangat dipengaruhi oleh sistem Prancis, akibat terlalu lama dijajah Belanda, yang dahulunya merupakan wiayah dari kekaisaran Prancis terutama di bawah penguasaan Gubernur Jenderal Daendels.

Sejarah perkembangan pemerintahan di Indonesia tidak terlepas dari sejarah berdirinya Republik Indonesia. Belanda yang menjajah Indonesia telah banyak mempengaruhi budaya, sistem hukum, sistem politik, dan sistam ketatanegaraan Indonesia, sedangkan Belanda sendiri mendapat pengaruh kuat dari sistem politik, sistem hukum, dan sistem ketatanegaraan Prancis karena bangsa Prancis dalambeebrapa tahun telah menjajah bangsa Belanda.

26

Salah satu persamaan sistem feodalisme di Prancis dan di pulau Jawa (Indonesia pada umumnya) adalah sistem apanage yang memberikan kewajiban-kewajiban tertentu

25

R. D. H. Kusumahatmadja, Pengantar ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia, Bina Cipta, Bandung, 1979, hal. 12

26

Harold F. Alderfer, Local Government in Developing Countries, Mc Graw-Hill Book Company, New York, 1964, hal. 83-84.


(44)

para pejabat lokal kepada raja, atau para petani penggarap kepada para pejabat lokal. Oleh karena itu, dalam sistem feodalisme di daerah-daerah Indonesia dikenal istilah tanah lungguh, tanah bengkok, tanah garapan.

Keterikatan pejabat-pejabat lokal kepada tanah lungguh atau apanage menyebabkan kesetiaan mutlak para pejabat lokal harus diserahkan kepada raja atau sultan karena raja (pemilik tanah itu) menggaji para pejabat lokal dengan tanah-tanah apanage tersebut.

Karena pejabat lokal, umumnya kerabat raja, tidak dapat menggarap tanah apanage, maka mereka menyerahkan tanah itu kepada rakyat untuk digarap dengan imbalan menyerahkan sebagian hasil panen dan kewajiban kerja rodi (panen). Sistem ini disebarluaskan dan dilembagakan Belanda di luar Jawa.

Dengan demikian sejarah pemerintahan Indonesia selalu terikat pada kepentingan pemerintah pusat (raja). Pemerintah daerah di Indonesia tidak mengenal budaya legislatif, segala sesuatu terpusat pada raja, oleh karena itu, sejarah pemerintahan di Indonesia dan daerah (khususnya) membuktikan bahwa terjadiya penyelewengan, penyalahgunaan kekuasaan, kepincangan-kepincangan diakibatkan oleh terlalu dominannya eksekutif (kekuasaan raja, pemerintah pusat). Salah satu cara menghindari penyelewengan, penyalahgunaan kekuasaan, dan kepincangan-kepincangan dalam penyelenggaraan negara adalah pemberian otonomi kepada daerah.

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 menggariskan bahwa maksud dan tujuan pemberian otonomi daerah adalah memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya serta meningkatkan pendayagunaan potensi daerah secara optimal dan terpadu dalam rangka meningkatkan


(45)

kesejahteraan rakat; menggalakkan prakarsa dan peran aktif masyarakat dalam penyelenggaraan otonomi daerah secara luas, nyata dan bertanggung jawab, serta memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, pemberian otonomi daerah memiliki empat tujuan. Pertama, dari aspek politik pemberian otonomi daerah bertujuan untuk mengikutsertakan dan menyalurkan aspirasi masyarakat ke dalam program-program pembangunan baik untuk kepentingan daerah sendiri maupun untuk mendukung kebijakan nasional tentang demokratisasi. Kedua, dari aspek manajemen pemerintahan, pemberian otonomi daerah bertujuan meningkatan daya guna dan hasil guna menyelenggaraan pemerintahan utama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan memperluas jenis-jenis pelayanan dalam berbagai kebutuhan masyarakat. Ketiga, dari aspek kemasyarakatan, pemberian otonomi daerah bertujuan meningkatkan partisipasi serta menumbuhkan kemandirian masyarakat untuk tidak terlalu banyak bergantung kepada pemerintah dalam proses pertumbuhan daerahnya sehingga daerah memiliki daya saing yang kuat. Keempat, dari aspek ekonomi pembangunan, pemberian otonomi daerah bertujuan menyukseskan pelaksanaan program pembangunan guna tercapainya kesejahteraan rakyat yang makin meningkat.27

Tujuan pemberian otonomi daerah dapat tercapai apabila didasarkan pada prinsip-prinsip yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dilaksanakan secara optimal oleh penyelenggara Negara baik di tingkat pusat, propinsi, maupun kabupaten/ kota. Karena dalam penyelenggaraan otonomi daerah harus memperhatikan

27

Dharma Setyawan Salam, Otonomi Daerah dalam Perspektif Lingkungan, Nilai, dan Sumber Daya, Djambatan, Jakarta, 2007, hal. 93.


(46)

prinsip-prinsip otonomi daerah. Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan penyelenggara Negara dalam melaksanakan otonomi daerah.

Pertama, berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 penyelenggaraan pemerintahan di daerah hanya mengenal satu garis pertanggungjawaban, yaitu bertanggungjawab kepada presiden dan tidak kepada DPR Daerah. Hal ini tercermin dalam tingkat susunan hierarki pemerintahan menjadi pemerintah daerah propinsi dan pemerintah daerah kabupaten/ kota. Kedudukan keduanya sebagai daerah otonom dan daerah administratif.

Ada beberapa implikasi dari kedudukan pemerintah daerah seperti yang diuraikan di atas:28

1. Pemerintah daerah sebagai pembantu dan perpanjangan dari pemerintah pusat; 2. Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah bersifat subordinal, bukan

kemitraan.

3. Peranan dan posisi pemerintah daerah kabupaten/ kota menjadi lemah karena terjadi tarik menarik kekuasaan, terutama dalam menghimpun sumber daya yang maksimal.

Tiga implikasi dari kedudukan pemerintah di atas menyebabkan hal-hal sebagai berikut:29

1. Pengertian otonomi daerah lebih merupakan kewajiban daripada hak. Hal ini tentu tidak lazim dan tidak tepat dalam koteks makna dan tujuan pemberian otonomi daerah kepada daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi territorial.

28

Ibid, hal. 93-94. 29


(47)

Pemberian otonomi daerah kepada daerah tidak hanya mengandung unsur administrasi birokrasi, tetapi juga mengandung unsur politik.

2. Pengertian kewajiban sebagai manifestasi pengertian pemberian otonomi daerah sebagai hak dan wewenang yang diberikan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya serta konsekuensi pemerintah daerah berkewajiban untuk mempertanggungjawabkannya. Apabila persepsi tentang makna otonomi daerah sebagai kewajiban dipandang tepat, maka kedudukan pemerintah daerah hanya sebagai penerima kewajiban yang berhak memperoleh imbalan. Pemerintah daerah akan selalu bergantung terus kepada pemerintah pusat.

3. Hambatan utama pelaksanaan pemberian otonomi daerah terkesan sangat kuat oleh kecenderungan sifat ego sentralistik dari para pelaku birokrasi dan elit yang mempunyai akses lebih dominan terhadap sumber daya dibanding penentu kebijakan, baik di tingkat pusat, maupun di daerah propinsi.

Kedua, berdasarkan ketentuan UUD 1945 pasal 18 yang mengatur pemerintahan daerah, daerah Indonesia tidak bersifat staat; wilayah Indonesia dibagi dalam bentuk daerah yang dapat berubah berupa daerah otonom dan atau bersifat administratif. Baik dalam pasal 18 maupun penjelasannya tidak secara tegas ditentukan jumlah daerah otonomi sehingga memberi keleluasaan kepada pembuat undang-undang untuk merumuskan, menentukan, dan memutuskan hal-hal berikut:30

1. Banyaknya tingkat daerah otonom yang akan dibentuk dan disusun 2. Prinsip otonomi daerah yang akan dianut

30


(48)

3. Titik berat otonomi daerah yang akan diletakkan

4. Imbangan kedudukan antara asas desentralisasi dan asas dekonsentrasi

5. Tata cara penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah bawahannya menjadi urusan rumah tangga sendiri.

Apabila pemahaman pasal 1 ayat 1 (Negara Indonesia adalah Negara kesatuan yang berbentuk Republik) digabungkan dengan pasal 18 beserta penjelasannya, maka dapat dikatakan bahwa republik Indonesia adalah Negara kesatuan yang disentralisasikan. Dalam Negara kesatuan yang disentralisasikan, pemerintah pusat tetap mempunyai hak untuk mengawasi daerah-daerah otonom.

Ketiga, otonomi yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab dengan pelaksanaan asas desentralisasi dilakukan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi. Prinsip yang dikehendaki Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 merupakan koreksi atas prinsip-prinsip sebelumnya terutama menyangkut otonomi yang seluas-luasnya karena dianggap dapat membahayakan keutuhan Negara kesatuan.

Ada tiga esensi dasar otonomi yang nyata, dinamis, dan bertanggung jawab menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, yaitu:31

1. Otonomi tersebut harus menjamin kestabilan politik dan kesatuan nasional.

2. Harus dapat menjaga hubungan yang harmonis antara pemerintah pusat dengan daerah.

3. Harus menjamin pembangunan daerah

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah telah meletakkan prinsip-prinsip baru agar penyelenggaraan otonomi daerah lebih sesuai

31


(49)

dengan prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadialn berdasarkan potensi dan keanekaragaman daerah. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 ini memaknai otonomi daerah sebagai pemberian kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Apabila dahulu prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab lebih berkonotasi kewajiban daripada hak, maka dalam undang-undang ini pemberian kewenangan otonomi kepada daerah kabupaten dan kota didasarkan atas desentralisasi dalam mewujudkan otonomi yang luas32, nyata33, dan bertanggung jawab.34

Prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah yang dijadikan pedoman dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan juga Undang-undang Pemerintahan Daerah yang baru (UU No. 32 Tahun 2004) dalam kerangka asas desentralisasi adalah sebagai berikut:35

1. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah.

2. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab.

32

Yaitu daerah memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

33

Yaitu keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah.

34

Yaitu perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiba yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi.

35


(50)

3. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota, sedangkan otonomi daerah propinsi merupakan otonomi yang terbatas.

4. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi Negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.

5. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatna kemandirian daerah otonom, dan karenanya dalam daerah kabupaten dan daerah kota tidak ada lagi wilayah administrasi. Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh pemerintah atau pihak lain, seperti badan otorita, kawasan pelabuhan, kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan perkotaan baru, kawasan pariwisata dan semacamnya beraku ketentuan peraturan daerah otonom.

6. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislative daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawasan maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintahan daerah.

7. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah.

8. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan


(51)

kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugasinya.

Banyak faktor variabel yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah. Tidak sedikit pula pakar yang mengidentifikasi faktor-faktor dan variabel-variabel yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah tersebut. Widjaya mengatakan, ada tiga variabel yang menjadi tolak ukur kemampuan daerah otonom, yaitu:36

1. Variabel pokok, yang terdiri dari kemampuan pendapatan asli daerah/ keuangan, kemampuan aparatur, kemampuan aspirasi masyarakat, kemampuan ekonomi, kemampuan demografi, serta kemampuan organisasi dan administrasi.

2. Variabel penunjang, yang terdiri dari faktor geografi dan faktor sosial budaya. 3. Variabel khusus yang terdiri dari sosial politik, pertahanan keamanan serta

penghayatan agama.

Dengan bahasa yang berbeda, Riwu Kaho mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi dan sangat menentukan penyelenggaraan otonomi daerah antara lain dengan:37

1. Sumber daya manusia dan kemampuan aparatur serta partisipasi masyarakat. 2. Keuangan yang stabil, terutama pendapatan asli daerah.

3. Peralatan yang lengkap.

4. Organisasi dan manajemen yang baik.

36

HAW. Widjaya, Titik Berat Otonomi pada Daerah Tingkat II, CV. Rajawali, Jakarta, 1992, hal. 39.

37

Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, CV. Rajawali, Jakarta, 1991, hal. 60 dan 246.


(52)

Menurut Smith, faktor yang dapat memprediksi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah adalah fungsi atau tugas pemerintahan, kemampuan pemungutan pajak daerah, bidang tugas administrasi, jumlah pelimpahan wewenang, besarnya anggaran belanja, wilayah, ketergantungan keuangan, dan personil.38

B. Jenis-jenis Desentralisasi

Secara umum, faktor-faktor atau variabel-variabel yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah adalah kemampuan sumber daya manusia (aparat maupun masyarakat), sumber daya alam, kemampuan keuangan (finansial), kemampuan manajemen, kondisi sosial budaya masyarakat, dan karakteristik ekologis, maskipun setioap pakar itu meletakkan tata urut nomornya sering berlainan.

Organisasi yang besar dan kompleks seperti negara Indonesia tak akan efisien jika semua kewenangan politik dan administrasi diletakkan pada puncak hirarki organisasi/ pemerintah pusat, karena pemerintah pusat akan menanggung beban yang berat. Juga tidak cukup hanya jika hanya dilimpahkan secara dekonsentrasi kepada pejabat di beberapa wilayah negara. Agar kewenangan tersebut dapat diimplementasikan secara efisien dan akuntabel, maka sebagian kewenangan politik dan administrasi perlu diserahkan pada jenjang organisasi yang lebih rendah. Penyerahan sebagian kewenangan politik dan administrasi pada jenjang organisasi yang lebih rendah disebut desentralisasi. Jadi, desentralisasi adalah penyerahan wewenang politik dan administrasi dari puncak hirarki organisasi (pemerintah pusat) kepada jenjang organisasi di bawahnya (pemerintah

38

Brian Smith C, dalam International Review if Administrative Sciences, Vol. XLV, 1979, hal. 214-222.


(53)

daerah). Dua kewenangan tersebut (politik dan administrasi) diserahkan kepada pemerintah daerah.39

Henry Maddick menjelaskan, desentralisasi adalah penyerahan kekuasaan secara hukum untuk menangani bidang-bidang/ fungsi-fungsi tertentu kepada daerah otonom. Rondinelli, Nellis, dan Chema mengemukakan, desentralisasi merupakan penciptaan atau penguatan, baik keuangan maupun hukum, pada unit-unit pemerintahan subnasional yang penyelenggaraannya secara substansial berada di luar kontrol langsung pemerintah pusat.40

Berdasarkan Undang-undang Dasar 1945, Indonesia merupakan negara yang berbentuk kesatuan (einheidstaat). Hubungan dan mekanisme antara pemerintah pusat dan daerah merupakan conditio sine qua non dalam negara yang berbentuk kesatuan seperti Negara Republik Indonesia. Dalam penjelasan Peraturan Pemerintah RI No. 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara kesatuan dalam penyelenggaraan pemerintahannya menganut asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Penyelenggaran asas desentralisasi secara bulat dan utuh dilaksanakan di daerah kabupaten dan kota. Hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah otonom untuk dapat mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat secara bertanggung jawab menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.41

39

Hanif Nurcholis, Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2007, hal. 3

40

Ibid, hal. 3-4. 41

Priyanto Susiloadi, Konsep dan Isu Desentralisasi dalam Manajemen Pemerintahan di Indonesia, http://fisip.uns.ac.id/publikasi/sp3_2_priyanto.pdf. diakses pada tanggal 12 April 2010.


(54)

Sentralisasi, dekonsentrasi, desentralisasi, dan tugas pembantuan adalah konsep-konsep yang berhubungan dengan pengambilan keputusan dalam organisasi, termasuk organisasi negara. Menurut M. Faltas, terdapat dua kategori dalam pengambilan keputusan, yaitu keputusan politik dan keputusan administratif. Keputusan politik sering disebut juga dengan keputusan alokasi, sedangkan keputusan administratif sering pula disebut dengan keputusan pelaksanaan.42

1. Keputusan alokasi dan keputusan pelaksanaan dilakukan pada puncak hirarki secara terpusat. Inilah yang disebut dengan sentralisasi penuh.

Dua jenis pengambilan keputusan tersebut dalam struktur organisasi dapat bervariasi:

2. Keputusan alokasi diambil pada puncak organisasi, sedangkan keputusan pelaksanaan dilakukan pada jenjang-jenjang yang lebih rendah. Inilah yang disebut dengan dekonsentrasi.

3. Keputusan alokasi dan keputusan pelaksanaan semuanya diserahkan sepenuhnya pada jenjang-jenjang organisasi yang lebih rendah. Inilah yang disebut dengan desentralisasi.43

JHA Logemann menyebut butir 2 dan 3 sebagai desentralisasi. Logemann memasukkan dekonsentrasi dalam desentralisasi. Dengan demikian, desentralisasi mempunyai arti yang luas. Logemann membagi desentralisasi menjadu dua macam, yaitu:44

1. Dekonsentrasi atau desentralisasi jabatan (ambtelijke decentalisatie), yaitu pelimpahan kekuasaan dari alat perlengkapan negara tingkatan lebih atas kepada

42

Ibid, hal. 3 43

Ibid 44


(55)

bawahannya guna melancarkan pekerjaan di dalam melaksanakan tugas pemerintah. Misalnya pelimpahan menteri kepada gubernur, dari gubernur kepada bupati/ walikota dan seterusnya secara berjenjang. Desentralisasi semacam ini rakyat atau lembaga perwakilan rakyat daerah tidak ikut campur atau dibawa-bawa.

2. Desentralisasi ketatanegaraan atau staatkundige decentralisatie yang sering juga disebut sebagai desentralisasi politik, yaitu pelimpahan kekuasaan perundangan dan pemerintahan (regelende en bestuurende bevoerheid) kepada daerah-daerah otonom di dalam lingkungannya. Di dalam desentralisasi politik semacam ini, rakyat dengan menggunakan dan memanfaatkan saluran-saluran tertentu (perwakilan) ikut serta di dalam pemerintahan, dengan batas wilayah daerah masing-masing. Desentralisasi ini dibedakan menjadi dua, yaitu:

a. Desentralisasi teritorial (territorial decentralisatie), yaitu penyerahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (autonomie), batas pengaturannya adalah daerah. Desentralisasi teritorial mengakibatkan adanya otonomi pada daerah yang menerima penyerahan

b. Desentralisasi fungsional (funcionale decentralisatie), yaitu pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus fungsi tertentu. Batas pengaturan tersebut adalah jenis fungsi.

Bayu Surianingrat membagi desentralisasi atas:45

a. Desentralisasi jabatan (ambtelijk decentralicatie), yaitu pemudaran kekuasaan, atau lebih tepat pelimpahan kekuasaan dari atasan kepada bawahannya dalam rangka kepegawaian untuk meningkatkan kelancaran pekerjaan. Oleh karena itu, desentralisasi itu disebut juga dekonsentrasi.

b. Desentralisasi kenegaraan (statkundige decentralisatie), yaitu penyerahan kekuasan untuk mengatur daerah dalam lingkungannya untuk mewujudkan asas demokrasi dalam pemerintahan negara. Di dalam desentralisasi ini, rakyat secara langsung mempunyai kesempatan untuk turut serta (participation) dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerahnya.

Ada yang menganggap bahwa desentralisasi sebagai pengakuan adanya hak untuk mengatur dan mengurus urusan tertentu pada badan-badan dan golongan di tingkat bawahan. Amrah Muslimin membdakan pengakuan adanya hak itu dalam tiga macam desentralisasi, yaitu:46

45

Bayu Surianingrat, Desa dan Kelurahan menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979, Metro Pos, Jakarta, 1980, hal. 28-29.

46

Dalam Ateng Syafruddin, Kapsel Hakikat dan Otonomi Daerah dan desa dalam Pembanguan Daerah, Citramedia, Yogyakarta, 2006, hal. 73-74.


(1)

6. SK Kepala Desa Nomor 100.4/003/SGR/VIII/2007 tentang pengangkatan ketua RW dan RT Dusun II Desa Sigara-gara.

7. SK Kepala Desa Nomor 100.4/001/SGR/I/2009 tentang Surat Keputusan Bendahara Desa Tahun 2009.

8. SK Kepala Desa Nomor 100.4/002/SGR/III/2009 tentang Surat Keterangan Sekretariat PPS Desa Sigara-gara.

9. SK Kepala Desa Nomor 100.4/003/SGR/V/2009 tentang Surat Keterangan Kaur Pembangunan.

Selanjutnya diungkapkan bahwa sebagian dari tugas-tugas kepala desa sudah dilimpahkan kepada lembaga lain, yaitu LKMD. LKMD turut membantu terselenggaranya pemerintahan desa menjadi lebih baik.59

59

Ibid

Munculnya kelembagaan baru di desa, yakni BPD dan LKMD sesungguhnya merupakan peluang yang cukup besar digunakan untuk mengatur kehidupan desa agar lebih demokratis. Pengawasan yang dilakukan BPD seyogyanya akan mendorong pemerintah desa mengelola kegiatan desa.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari uraian di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Desa di Indonesia sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka, bahkan sebelum adanya masa penjajahan. Keberadaan desa tersebut merupakan suatu bentuk kehidupan yang menunjukkan adanya rasa satu kesatuan dan kekeluargaan berbangsa dan bernegara yang menjadi bekal bagi tumbuhnya negara Indonesia. 2. Dalam kerangka otonomi desa, tentunya terdapat berbagai persoalan-persoalan di

tingkat desa dalam upaya menjalankan otonomi desa yang dianggap sebagai barang baru bagi komponen-komponen pemerintahan desa. Namun seiring dengan semakin disosialisasikannya program otonomi desa di masyarakat, lambat laun permasalahan-permasalahan menuju kepada otonomi desa tersebut dapat terselesaikan dengan baik.

3. Di Desa Sigara-gara Kec. Patumbak, pemberdayaan pemerintahan desa dilakukan melalui peningkatan kualitas kemitraan antara badan pemusyawaratan desa dengan pemerintah desa dalam menjalankan pemerintahan desa. Kemitraan ini dianggap sangat penting, sebab kedua lembaga tersebut merupakan pilar pokok dalam proses berjalannya program-program pembangunan desa dalam kerangka otonomi desa.


(3)

1. Semangat kebersamaan, persatuan dan gotong royong yang dimiliki oleh masyarakat pedesaan seharusnya menjadi suri tauladan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia dalam menjalankan pembangunan bangsa dan pembangunan nasional.

2. Perlu adanya lembaga pemerhati pembangunan dan perkembangan desa yang secara langsung dapat memberikan solusi atas masalah-masalah yang timbul dalam pelaksanaan otonomi desa oleh pemerintahan desa.

3. Agar pemerintahan desa dapat berjalan secara efektif, maka seluruh komponen yang terlibat di dalamnya harus berpartisiasi aktif dalam setiap program-program yang dicanangkan. Hal ini khususnya bagi komponen pemerintahan desa, yang dalam hal ini diisi oleh BPD dan pemerintah desa. Kedua lembaga ini harus saling bahu membahu dan seiring sejalan dalam menjalankan otonomi desa yang telah diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945 maupun peraturan perundang-undangan lainnya.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Alderfer, Harold F. Local Government in Developing Countries, Mc Graw-Hill Book Company, New York, 1964

Alisyahbana, Armida, Identifikasi Permasalahan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Seminar Nasional dalam rangka Lustrum IV tahun 1999 Program Pascasarjana Universitas Pajajaran, Bandung, 1999.

Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta, 2002.

Chalid, P, Otonomi Daerah: Masalah, Pemberdayaan, dan Konflik. Kemitraan, Jakarta, 2005.

Coleman, J. S. Social Capital in the Creation of Human Capital. American Journal of Sociology 94 (supplement), 1988.

Giddens, A. The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration. Polity Press. Cambridge, 1984.

Huntington, S. Democracy for the Long Haul. Journal of Democracy, Vol. 7/2. 1996.

Kaho, Josef Riwu Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, CV. Rajawali, Jakarta, 1991

Kaloh, DRJ. Mencari Bentuk Otonomi Daerah. Rineka Cipta, Jakarta, 2002.

Maman Rachman, Strategi dan Langkah-langkah Penelitian. Semarang: IIKIP Semarang Press, 1999.

Moleong, J Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:Remaja Rosydakarya, 2002.

Nurcholis, Hanif, Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2007.


(5)

Salam, Dharma Setyawan, Otonomi Daerah dalam Perspektif Lingkungan, Nilai, dan Sumber Daya, Djambatan, Jakarta, 2007

Setyawan Salam, Otonomi Daerah Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai Dan sumber daya, Djambatan, Jakarta, 2003.

Surianingrat, Bayu, Desa dan Kelurahan menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979, Metro Pos, Jakarta, 1980.

Syafruddin, Ateng, Kapsel Hakikat dan Otonomi Daerah dan desa dalam Pembanguan Daerah, Citramedia, Yogyakarta, 2006.

Widjaja, HAW. Otonomi Desa. Jakarta: Raja Grafindo Persada.2003.

___________, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2001.

__________, Titik Berat Otonomi pada Daerah Tingkat II, CV. Rajawali, Jakarta, 1992. Widjaja, HAW. Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia dalam Rangka Sosialisasi

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 Pemerintahan Desa

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

http://ilmupemerintahan.wordpress.com/2009/04/05/transformasi-tata-pemerintahan-desa/. Diakses pada tanggal 20 Mei 2010.

Internet

http://sobirin-xyz.blogspot.com/2008/07/hakekat-pemberdayaan.html. diakses pada tanggal 20 Mei 2010.


(6)

http://tutorialkuliah.blogspot.com/2009/05/tentang-kuliah-tentang-otonomi-daerah. html. Diakses tanggal 20 Mei 2010.

http://fisip.uns.ac.id/publikasi/sp3_2_priyanto.pdf. diakses pada tanggal 12 April 2010. Priyanto Susiloadi, Konsep dan Isu Desentralisasi dalam Manajemen Pemerintahan di