Konsep Otonomi dalam Desentralisasi

BAB III TINJAUAN TERHADAP OTONOMI DAN OTONOMI DESA

A. Konsep Otonomi dalam Desentralisasi

Adanya pemerintahan daerah, dimulai dari kebijakan desentralisasi. Desentralisasi berasal dari bahasa latin, yaitu De yang berarti lepas dan Centrum yang artinya pusat. Dengan demikian, maka desentralisasi yang berasal dari sentralisasi mendapat awalan de berarti melepas atau menjauh dari pemusatan. Desentralisasi tidak putus sama sekali dengan pusat, tapi hanya menjauh dari pusat. 25 Alderfer menyatakan bahwa pemerintah daerah di Indonesia berdasarkan sistem tradisional yang sangat dipengaruhi oleh sistem Prancis, akibat terlalu lama dijajah Belanda, yang dahulunya merupakan wiayah dari kekaisaran Prancis terutama di bawah penguasaan Gubernur Jenderal Daendels. Sejarah perkembangan pemerintahan di Indonesia tidak terlepas dari sejarah berdirinya Republik Indonesia. Belanda yang menjajah Indonesia telah banyak mempengaruhi budaya, sistem hukum, sistem politik, dan sistam ketatanegaraan Indonesia, sedangkan Belanda sendiri mendapat pengaruh kuat dari sistem politik, sistem hukum, dan sistem ketatanegaraan Prancis karena bangsa Prancis dalambeebrapa tahun telah menjajah bangsa Belanda. 26 Salah satu persamaan sistem feodalisme di Prancis dan di pulau Jawa Indonesia pada umumnya adalah sistem apanage yang memberikan kewajiban-kewajiban tertentu 25 R. D. H. Kusumahatmadja, Pengantar ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia, Bina Cipta, Bandung, 1979, hal. 12 26 Harold F. Alderfer, Local Government in Developing Countries, Mc Graw-Hill Book Company, New York, 1964, hal. 83-84. Universitas Sumatera Utara para pejabat lokal kepada raja, atau para petani penggarap kepada para pejabat lokal. Oleh karena itu, dalam sistem feodalisme di daerah-daerah Indonesia dikenal istilah tanah lungguh, tanah bengkok, tanah garapan. Keterikatan pejabat-pejabat lokal kepada tanah lungguh atau apanage menyebabkan kesetiaan mutlak para pejabat lokal harus diserahkan kepada raja atau sultan karena raja pemilik tanah itu menggaji para pejabat lokal dengan tanah-tanah apanage tersebut. Karena pejabat lokal, umumnya kerabat raja, tidak dapat menggarap tanah apanage, maka mereka menyerahkan tanah itu kepada rakyat untuk digarap dengan imbalan menyerahkan sebagian hasil panen dan kewajiban kerja rodi panen. Sistem ini disebarluaskan dan dilembagakan Belanda di luar Jawa. Dengan demikian sejarah pemerintahan Indonesia selalu terikat pada kepentingan pemerintah pusat raja. Pemerintah daerah di Indonesia tidak mengenal budaya legislatif, segala sesuatu terpusat pada raja, oleh karena itu, sejarah pemerintahan di Indonesia dan daerah khususnya membuktikan bahwa terjadiya penyelewengan, penyalahgunaan kekuasaan, kepincangan-kepincangan diakibatkan oleh terlalu dominannya eksekutif kekuasaan raja, pemerintah pusat. Salah satu cara menghindari penyelewengan, penyalahgunaan kekuasaan, dan kepincangan-kepincangan dalam penyelenggaraan negara adalah pemberian otonomi kepada daerah. Garis-garis Besar Haluan Negara GBHN tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 menggariskan bahwa maksud dan tujuan pemberian otonomi daerah adalah memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya serta meningkatkan pendayagunaan potensi daerah secara optimal dan terpadu dalam rangka meningkatkan Universitas Sumatera Utara kesejahteraan rakat; menggalakkan prakarsa dan peran aktif masyarakat dalam penyelenggaraan otonomi daerah secara luas, nyata dan bertanggung jawab, serta memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, pemberian otonomi daerah memiliki empat tujuan. Pertama, dari aspek politik pemberian otonomi daerah bertujuan untuk mengikutsertakan dan menyalurkan aspirasi masyarakat ke dalam program- program pembangunan baik untuk kepentingan daerah sendiri maupun untuk mendukung kebijakan nasional tentang demokratisasi. Kedua, dari aspek manajemen pemerintahan, pemberian otonomi daerah bertujuan meningkatan daya guna dan hasil guna menyelenggaraan pemerintahan utama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan memperluas jenis-jenis pelayanan dalam berbagai kebutuhan masyarakat. Ketiga, dari aspek kemasyarakatan, pemberian otonomi daerah bertujuan meningkatkan partisipasi serta menumbuhkan kemandirian masyarakat untuk tidak terlalu banyak bergantung kepada pemerintah dalam proses pertumbuhan daerahnya sehingga daerah memiliki daya saing yang kuat. Keempat, dari aspek ekonomi pembangunan, pemberian otonomi daerah bertujuan menyukseskan pelaksanaan program pembangunan guna tercapainya kesejahteraan rakyat yang makin meningkat. 27 Tujuan pemberian otonomi daerah dapat tercapai apabila didasarkan pada prinsip- prinsip yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dilaksanakan secara optimal oleh penyelenggara Negara baik di tingkat pusat, propinsi, maupun kabupaten kota. Karena dalam penyelenggaraan otonomi daerah harus memperhatikan 27 Dharma Setyawan Salam, Otonomi Daerah dalam Perspektif Lingkungan, Nilai, dan Sumber Daya, Djambatan, Jakarta, 2007, hal. 93. Universitas Sumatera Utara prinsip-prinsip otonomi daerah. Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan penyelenggara Negara dalam melaksanakan otonomi daerah. Pertama, berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 penyelenggaraan pemerintahan di daerah hanya mengenal satu garis pertanggungjawaban, yaitu bertanggungjawab kepada presiden dan tidak kepada DPR Daerah. Hal ini tercermin dalam tingkat susunan hierarki pemerintahan menjadi pemerintah daerah propinsi dan pemerintah daerah kabupaten kota. Kedudukan keduanya sebagai daerah otonom dan daerah administratif. Ada beberapa implikasi dari kedudukan pemerintah daerah seperti yang diuraikan di atas: 28 1. Pemerintah daerah sebagai pembantu dan perpanjangan dari pemerintah pusat; 2. Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah bersifat subordinal, bukan kemitraan. 3. Peranan dan posisi pemerintah daerah kabupaten kota menjadi lemah karena terjadi tarik menarik kekuasaan, terutama dalam menghimpun sumber daya yang maksimal. Tiga implikasi dari kedudukan pemerintah di atas menyebabkan hal-hal sebagai berikut: 29 1. Pengertian otonomi daerah lebih merupakan kewajiban daripada hak. Hal ini tentu tidak lazim dan tidak tepat dalam koteks makna dan tujuan pemberian otonomi daerah kepada daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi territorial. 28 Ibid, hal. 93-94. 29 Ibid, hal. 94. Universitas Sumatera Utara Pemberian otonomi daerah kepada daerah tidak hanya mengandung unsur administrasi birokrasi, tetapi juga mengandung unsur politik. 2. Pengertian kewajiban sebagai manifestasi pengertian pemberian otonomi daerah sebagai hak dan wewenang yang diberikan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya serta konsekuensi pemerintah daerah berkewajiban untuk mempertanggungjawabkannya. Apabila persepsi tentang makna otonomi daerah sebagai kewajiban dipandang tepat, maka kedudukan pemerintah daerah hanya sebagai penerima kewajiban yang berhak memperoleh imbalan. Pemerintah daerah akan selalu bergantung terus kepada pemerintah pusat. 3. Hambatan utama pelaksanaan pemberian otonomi daerah terkesan sangat kuat oleh kecenderungan sifat ego sentralistik dari para pelaku birokrasi dan elit yang mempunyai akses lebih dominan terhadap sumber daya dibanding penentu kebijakan, baik di tingkat pusat, maupun di daerah propinsi. Kedua, berdasarkan ketentuan UUD 1945 pasal 18 yang mengatur pemerintahan daerah, daerah Indonesia tidak bersifat staat; wilayah Indonesia dibagi dalam bentuk daerah yang dapat berubah berupa daerah otonom dan atau bersifat administratif. Baik dalam pasal 18 maupun penjelasannya tidak secara tegas ditentukan jumlah daerah otonomi sehingga memberi keleluasaan kepada pembuat undang-undang untuk merumuskan, menentukan, dan memutuskan hal-hal berikut: 30 1. Banyaknya tingkat daerah otonom yang akan dibentuk dan disusun 2. Prinsip otonomi daerah yang akan dianut 30 Ibid, hal. 95 Universitas Sumatera Utara 3. Titik berat otonomi daerah yang akan diletakkan 4. Imbangan kedudukan antara asas desentralisasi dan asas dekonsentrasi 5. Tata cara penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah bawahannya menjadi urusan rumah tangga sendiri. Apabila pemahaman pasal 1 ayat 1 Negara Indonesia adalah Negara kesatuan yang berbentuk Republik digabungkan dengan pasal 18 beserta penjelasannya, maka dapat dikatakan bahwa republik Indonesia adalah Negara kesatuan yang disentralisasikan. Dalam Negara kesatuan yang disentralisasikan, pemerintah pusat tetap mempunyai hak untuk mengawasi daerah-daerah otonom. Ketiga, otonomi yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab dengan pelaksanaan asas desentralisasi dilakukan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi. Prinsip yang dikehendaki Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 merupakan koreksi atas prinsip- prinsip sebelumnya terutama menyangkut otonomi yang seluas-luasnya karena dianggap dapat membahayakan keutuhan Negara kesatuan. Ada tiga esensi dasar otonomi yang nyata, dinamis, dan bertanggung jawab menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, yaitu: 31 1. Otonomi tersebut harus menjamin kestabilan politik dan kesatuan nasional. 2. Harus dapat menjaga hubungan yang harmonis antara pemerintah pusat dengan daerah. 3. Harus menjamin pembangunan daerah Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah telah meletakkan prinsip-prinsip baru agar penyelenggaraan otonomi daerah lebih sesuai 31 Dharma Setyawan Salam, Op. cit, hal. 98. Universitas Sumatera Utara dengan prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadialn berdasarkan potensi dan keanekaragaman daerah. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 ini memaknai otonomi daerah sebagai pemberian kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Apabila dahulu prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab lebih berkonotasi kewajiban daripada hak, maka dalam undang- undang ini pemberian kewenangan otonomi kepada daerah kabupaten dan kota didasarkan atas desentralisasi dalam mewujudkan otonomi yang luas 32 , nyata 33 , dan bertanggung jawab. 34 Prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah yang dijadikan pedoman dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan juga Undang-undang Pemerintahan Daerah yang baru UU No. 32 Tahun 2004 dalam kerangka asas desentralisasi adalah sebagai berikut: 35 1. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah. 2. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab. 32 Yaitu daerah memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah. 33 Yaitu keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. 34 Yaitu perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiba yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi. 35 Ibid, hal. 100-101. Universitas Sumatera Utara 3. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota, sedangkan otonomi daerah propinsi merupakan otonomi yang terbatas. 4. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi Negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah. 5. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatna kemandirian daerah otonom, dan karenanya dalam daerah kabupaten dan daerah kota tidak ada lagi wilayah administrasi. Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh pemerintah atau pihak lain, seperti badan otorita, kawasan pelabuhan, kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan perkotaan baru, kawasan pariwisata dan semacamnya beraku ketentuan peraturan daerah otonom. 6. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislative daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawasan maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintahan daerah. 7. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah. 8. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan Universitas Sumatera Utara kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugasinya. Banyak faktor variabel yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah. Tidak sedikit pula pakar yang mengidentifikasi faktor-faktor dan variabel- variabel yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah tersebut. Widjaya mengatakan, ada tiga variabel yang menjadi tolak ukur kemampuan daerah otonom, yaitu: 36 1. Variabel pokok, yang terdiri dari kemampuan pendapatan asli daerah keuangan, kemampuan aparatur, kemampuan aspirasi masyarakat, kemampuan ekonomi, kemampuan demografi, serta kemampuan organisasi dan administrasi. 2. Variabel penunjang, yang terdiri dari faktor geografi dan faktor sosial budaya. 3. Variabel khusus yang terdiri dari sosial politik, pertahanan keamanan serta penghayatan agama. Dengan bahasa yang berbeda, Riwu Kaho mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi dan sangat menentukan penyelenggaraan otonomi daerah antara lain dengan: 37 1. Sumber daya manusia dan kemampuan aparatur serta partisipasi masyarakat. 2. Keuangan yang stabil, terutama pendapatan asli daerah. 3. Peralatan yang lengkap. 4. Organisasi dan manajemen yang baik. 36 HAW. Widjaya, Titik Berat Otonomi pada Daerah Tingkat II, CV. Rajawali, Jakarta, 1992, hal. 39. 37 Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, CV. Rajawali, Jakarta, 1991, hal. 60 dan 246. Universitas Sumatera Utara Menurut Smith, faktor yang dapat memprediksi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah adalah fungsi atau tugas pemerintahan, kemampuan pemungutan pajak daerah, bidang tugas administrasi, jumlah pelimpahan wewenang, besarnya anggaran belanja, wilayah, ketergantungan keuangan, dan personil. 38

B. Jenis-jenis Desentralisasi