Hubungan antara Kontrol Diri dengan Kecanduan Internet pada Remaja Pengguna Facebook

(1)

HUBUNGAN ANTARA KONTROL DIRI DENGAN KECANDUAN INTERNET PADA REMAJA PENGGUNA FACEBOOK

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

RIFKA SARI

061301121

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GENAP, 2010/2011


(2)

PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul:

Hubungan antara Kontrol Diri dengan Kecanduan Internet pada Remaja Pengguna Facebook

adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini yang saya kutip dari hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Maret 2011

RIFKA SARI NIM: 061301121


(3)

Hubungan antara Kontrol Diri dengan Kecanduan Internet pada Remaja Pengguna Facebook

Rifka Sari dan Liza Marini

ABSTRAK

Kecanduan internet merupakan sebuah sindrom yang ditandai dengan menghabiskan sejumlah waktu yang sangat banyak dalam menggunakan internet dan tidak mampu mengontrol penggunaannya saat online (Young, 1998). Young (Essau, 2008) juga menyatakan bahwa kecanduan internet sama seperti perilaku kecanduan lainnya, yang berisi tingkah laku yang kompulsif, kurang tertarik terhadap aktivitas-aktivitas yang lain, dan meliputi symptom-symptom fisik dan mental ketika berusaha untuk menghentikan tingkah laku tersebut. Salah satu penyebab terjadinya kecanduan adalah adanya kegagalan individu dalam melakukan kontrol terhadap perilaku (Mark, Murray, Evans, & Willig, 2004). Kontrol diri merupakan kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa individu ke arah konsekuensi positif (Goldfried dan Merbaum dalam Lazarus, 1976).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kontrol diri dengan kecanduan internet pada remaja pengguna facebook. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling dengan jumlah subjek sebanyak 50 orang remaja berusia 15-18 tahun. Alat ukur pada penelitian ini adalah skala kontrol diri dan skala kecanduan internet. Skala kontrol diri disusun berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Averill (dalam Sarafino, 1994), yaitu kemampuan mengatur pelaksanaan, memodifikasi stimulus, memperoleh informasi, melakukan penilaian, dan kontrol terhadap keputusan. Skala kecanduan internet disusun berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Griffiths (1998), yaitu salience, mood modification, tolerance, withdrawal symptom, conflict, dan relapse.

Hasil analisa data penelitian dengan menggunakan Pearson Product Moment

menunjukkan koefisien korelasi r = -0.652 dengan taraf signifikansi p<0.05 (p = 0.000), sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa ada hubungan antara kontrol diri dengan kcanduan internet pada remaja pengguna facebook.


(4)

Relationship between Self Control with Internet Addiction in Adolescents Facebook users

Rifka Sari and Liza Marini

ABSTRACT

Internet addiction is a syndrome characterized by spending much time in using the internet and are unable to control its use while online (Young, 1998). Young (Essau, 2008) also states that Internet addiction just like any other addictive behavior, which contains a compulsive behavior, less interested in other activities, and includes physical and mental symptoms when trying to stop such behavior. One of the causes of addiction is the individual's failure in controlling the behavior (Mark, Murray, Evans, & Willig, 2004). Self-control is the ability to organize, guide, regulate and lead the behavior that can bring individuals to the positive consequences (Goldfried and Merbaum in Lazarus, 1976).

This study aims to determine the relationship between self-control with Internet addiction in adolescents facebook users. Sampling was conducted with a purposive sampling technique with subject number as many as 50 people were adolescents aged 15-18 years. Measuring instrument in this study is self-control scale and Internet addiction scale. Self-control scale have been prepared on the aspects presented by Averill (in Sarafino, 1994), the ability to oversee the implementation, modify the stimulus, obtain information, conduct assessments, and control over decisions. Internet addiction scale have been prepared on the aspects put forward by Griffiths (1998), namely salience, mood modification, tolerance, withdrawal symptoms, conflict, and relapse.

Analysis result of research data using the Pearson Product Moment showed that correlation coefficients showed r = -0652 with significance level p <0.05 (p = 0.000), so it can be concluded that there is a relationship between self-control with Internet addiction in adolescents facebook users.


(5)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim, Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan

kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sampai

akhirnya penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Hubungan antara Kontrol Diri dengan Kecanduan Internet pada Remaja Pengguna Facebook”, guna memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi di Fakultas

Psikologi Universitas Sumatera Utara.

Berbagai proses telah penulis alami selama ini. Perlu banyak usaha, kerja

keras dan kemauan yang tinggi dalam setiap prosesnya. Bagi penulis penyelesaian

penelitian ini merupakan titik awal untuk mencapai mimpi-mimpi lainnya. Penulis

menyadari bahwa penelitian ini tidak akan selesai tanpa bantuan dan dukungan

dari banyak pihak. Terutama sekali penulis ingin mengucapkan terima kasih

kepada kedua orang tua penulis H. Ariful Amal dan Hj. Eka Latifah yang telah

memberikan banyak perhatian, dukungan baik secara moril dan materil serta doa

yang tiada henti-hentinya kepada penulis. Penulis juga ingin mengucapkan terima

kasih kepada saudara penulis, bang Aulia Pratama, atas segala dukungan dan juga

semangat yang diberikan. Penelitian ini juga tidak akan selesai tanpa bantuan dari

banyak pihak, oleh karena itu penulis juga ingin mengucapkan terima kasih

kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati selaku dekan Fakultas Psikologi USU.

2. Ibu Liza Marini, M. Psi, psikolog selaku dosen pembimbing. Terima kasih


(6)

segala bimbingan, bantuan, kritik dan saran-saran yang membangun

sampai akhirnya penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Terima kasih

juga atas segala kesabaran kakak dalam membimbing penulis selama

proses pengerjaan penelitian ini.

3. Bapak dan ibu dosen penguji yang telah bersedia meluangkan waktu untuk

menguji dan memberikan banyak saran dan masukan yang sangat berarti

bagi penulis demi kesempurnaan penelitian ini.

4. Buat para responden yang telah rela meluangkan waktu dan bersedia untuk

membantu penelitian.

5. Sahabat-sahabat yang dimulai dari masa perkuliahan sampai saat ini,

Andini Mirandita, Zalia Gustiana, Mirna Rahma Rani, Sasha Dwi Harumi,

dan Vivi Sagita. Terima kasih atas segala dukungan yang kalian berikan

selama ini, juga kebersamaan baik di saat senang maupun sedih. Semoga

kita diberikan kemudahan dan kelancaran oleh Allah untuk ke depannya,

Amin.

6. Sahabat-sahabat saya dari saat masa SMA, Budi Harianti, Ayu Melisa, dan

Defita Sari. Terima kasih atas dorongan-dorongan yang diberikan sehingga

membuat penulis menjadi tambah bersemangat. Terima kasih juga atas

kebersamaan dan pengertian yang diberikan selama ini kepada penulis.

7. Teman-teman seperjuangan di departemen perkembangan, khususnya

Fatina Fachrina Ulfa (yang sudah banyak membantu dan memberikan

dukungan serta semangat. Terima kasih ya Ulfa!), Eky, Indah, Irma,


(7)

teman-teman seperjuangan angakatan 2006 lainnya Ayu Wardani, Yasra, Fitri

Andriani, Feny, Dea, dan teman-teman lainnya yang tidak dapat ditulis

satu persatu. Terima kasih atas segala kebersamaan yang diberikan.

Semoga kita menjadi orang yang sukses yah!

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam

penelitian ini. Oleh karenanya, penulis mengharapkan adanya masukan dan saran

yang sifatnya membangun dari semua pihak, guna menyempurnakan penelitian ini

agar menjadi lebih baik lagi. Akhirnya, kepada Allah jua penulis berserah diri.

Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.

Medan, Maret 2011

Penulis


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK

KATAPENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian... 8

1. Manfaat teoritis ... 8

2. Manfaat praktis... 8

E. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II LANDASAN TEORI A. Kontrol Diri ... 11

1. Definisi Kontrol diri ... 11


(9)

B. Kecanduan ... 15

1. Definisi kecanduan ... 15

2. Kecanduan Internet ... 17

3. Dimensi kecanduan internet ... 18

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecanduan internet ... 19

5. Tingkat kecanduan internet ... 21

C. Remaja ... 22

1. Definisi remaja ... 22

2. Ciri-ciri remaja ... 24

3. Batasan usia remaja ... 26

4. Remaja yang mengalami kecanduan internet ... 28

D. Facebook ... 29

1. Keunggulan Facebook ... 31

E. Hubungan kontrol diri dengan kecanduan internet pada remaja pengguna Facebook ... 32

F. Hipotesis ... 35

BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi variabel penelitian ... 36

B. Definisi operasional ... 36

1. Kontrol diri ... 36

2. Kecanduan internet ... 37


(10)

1. Populasi dan sampel ... 39

2. Jumlah sampel dan metode pengambilan sampel ... 40

D. Metode pengumpulan data ... 40

1. Skala kontrol diri ... 42

2. Skala kecanduan internet... 43

E. Validitas, uji daya beda aitem dan realibilitas alat ukur ... 44

1. Validitas alat ukur ... 45

2. Uji daya beda aitem ... 45

3. Realibilitas alat ukur ... 46

F. Hasil uji coba alat ukur ... 47

1. Skala kontrol diri ... 47

2. Skala kecanduan internet ... 49

G. Prosedur penelitian ... 52

1. Persiapan penelitian ... 52

2. Pelaksanaan penelitian ... 53

3. Tahap pengolahan data... 53

H. Metode analisa data ... 53

1. Uji normalitas sebaran ... 54

2. Uji linieritas hubungan ... 54

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN A. Gambaran subjek penelitian ... 55


(11)

2. Berdasarkan jenis kelamin ... 56

3. Berdasarkan lama bermain facebook ... 56

B. Uji asumsi penelitian ... 57

1. Uji normalitas sebaran ... 57

2. Uji linieritas ... 59

C. Hasil analisa data ... 59

1. Korelasi ... 59

2. Kategorisasi data ... 60

3. Pembahasan ... 65

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 70

B. Saran ... 72

1. Saran metodologis ... 72

2. Saran praktis ... 73

DAFTAR PUSTAKA ... 74


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Distribusi aitem-aitem skala kontrol diri ... 42

Tabel 2. Distribusi aitem-aitem skala kecanduan internet ... 44

Tabel 3. Distribusi aitem-aitem hasil uji coba skala kontrol diri ... 48

Tabel 4. Distribusi aitem-aitem skala kontrol diri ... 49

Tabel 5. Distribusi aitem-aitem hasil uji coba skala kecanduan internet ... 50

Tabel 6. Distribusi aitem-aitem skala kecanduan internet ... 51

Tabel 7. Gambaran subjek penelitian berdasarkan usia ... 55

Tabel 8. Gambaran subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin ... 56

Tabel 9. Gambaran subjek penelitian berdasarkan lama bermain facebook .. 57

Tabel 10. Normalitas sebaran variabel kontrol diri dan kecanduan internet ... 58

Tabel 11. Korelasi antara kontrol diri dengan kecanduan internet pada remaja pengguna facebook ... 59

Tabel 12. Deskripsi skor hipotetik data kontrol diri ... 61

Tabel 13. Kategorisasi data hipotetik kontrol diri ... 62

Tabel 14. Deskripsi skor hipotetik data kecanduan internet ... 63

Tabel 15. Kategorisasi data hipotetik kecanduan internet ... 64

Tabel 16. Matriks kategorisasi variabel kontrol diri dengan kecanduan internet... ... 65


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Data uji coba Reliabilitas

Lampiran 2 Data mentah

Lampiran 3 Hasil olah data SPSS

Lampiran 4 Skala Kontrol Diri


(14)

Hubungan antara Kontrol Diri dengan Kecanduan Internet pada Remaja Pengguna Facebook

Rifka Sari dan Liza Marini

ABSTRAK

Kecanduan internet merupakan sebuah sindrom yang ditandai dengan menghabiskan sejumlah waktu yang sangat banyak dalam menggunakan internet dan tidak mampu mengontrol penggunaannya saat online (Young, 1998). Young (Essau, 2008) juga menyatakan bahwa kecanduan internet sama seperti perilaku kecanduan lainnya, yang berisi tingkah laku yang kompulsif, kurang tertarik terhadap aktivitas-aktivitas yang lain, dan meliputi symptom-symptom fisik dan mental ketika berusaha untuk menghentikan tingkah laku tersebut. Salah satu penyebab terjadinya kecanduan adalah adanya kegagalan individu dalam melakukan kontrol terhadap perilaku (Mark, Murray, Evans, & Willig, 2004). Kontrol diri merupakan kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa individu ke arah konsekuensi positif (Goldfried dan Merbaum dalam Lazarus, 1976).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kontrol diri dengan kecanduan internet pada remaja pengguna facebook. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling dengan jumlah subjek sebanyak 50 orang remaja berusia 15-18 tahun. Alat ukur pada penelitian ini adalah skala kontrol diri dan skala kecanduan internet. Skala kontrol diri disusun berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Averill (dalam Sarafino, 1994), yaitu kemampuan mengatur pelaksanaan, memodifikasi stimulus, memperoleh informasi, melakukan penilaian, dan kontrol terhadap keputusan. Skala kecanduan internet disusun berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Griffiths (1998), yaitu salience, mood modification, tolerance, withdrawal symptom, conflict, dan relapse.

Hasil analisa data penelitian dengan menggunakan Pearson Product Moment

menunjukkan koefisien korelasi r = -0.652 dengan taraf signifikansi p<0.05 (p = 0.000), sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa ada hubungan antara kontrol diri dengan kcanduan internet pada remaja pengguna facebook.


(15)

Relationship between Self Control with Internet Addiction in Adolescents Facebook users

Rifka Sari and Liza Marini

ABSTRACT

Internet addiction is a syndrome characterized by spending much time in using the internet and are unable to control its use while online (Young, 1998). Young (Essau, 2008) also states that Internet addiction just like any other addictive behavior, which contains a compulsive behavior, less interested in other activities, and includes physical and mental symptoms when trying to stop such behavior. One of the causes of addiction is the individual's failure in controlling the behavior (Mark, Murray, Evans, & Willig, 2004). Self-control is the ability to organize, guide, regulate and lead the behavior that can bring individuals to the positive consequences (Goldfried and Merbaum in Lazarus, 1976).

This study aims to determine the relationship between self-control with Internet addiction in adolescents facebook users. Sampling was conducted with a purposive sampling technique with subject number as many as 50 people were adolescents aged 15-18 years. Measuring instrument in this study is self-control scale and Internet addiction scale. Self-control scale have been prepared on the aspects presented by Averill (in Sarafino, 1994), the ability to oversee the implementation, modify the stimulus, obtain information, conduct assessments, and control over decisions. Internet addiction scale have been prepared on the aspects put forward by Griffiths (1998), namely salience, mood modification, tolerance, withdrawal symptoms, conflict, and relapse.

Analysis result of research data using the Pearson Product Moment showed that correlation coefficients showed r = -0652 with significance level p <0.05 (p = 0.000), so it can be concluded that there is a relationship between self-control with Internet addiction in adolescents facebook users.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Internet merupakan salah satu media yang sekarang ini diminati oleh

banyak orang. Internet yang semula dirancang untuk menjadi sistem komunikasi

militer telah berkembang menjadi penghubung banyak komputer sekaligus ke

dalam sebuah jaringan. Perkembangan internet saat ini bukan hanya sebagai alat

pengiriman, pertukaran, dan pengambilan data, melainkan juga memenuhi banyak

fungsi lain, meliputi kemudahan berbisnis, berkarir, berkomunikasi, menjalankan

proses belajar-mengajar, menjalin relasi, menyiarkan berita, hingga berkampanye.

Dapat dipastikan bahwa jumlah pengguna internet ini akan terus bertambah

seiring dengan semakin mudahnya koneksi internet, tersebarnya jaringan, serta

juga semakin tersedianya peralatan komputer, handphone, hingga iPhone dan

BlackBerry (Elia, 2009).

Semakin tidak terhindarkannya internet sebagai perlengkapan studi dan

alat bantu pekerjaan membuat internet turut berperan dalam cara kita berpikir,

berkomunikasi, berelasi, berekreasi, bertingkah laku, dan mengambil keputusan.

Internet menjadi suatu kegemaran tersendiri dalam mencari informasi terbaru dan

menjalin hubungan dengan orang lain di beda tempat. Internet juga memiliki

kelebihan karena sifat yang tidak terbatasnya waktu akses, sehingga individu

dapat mengakses internet kapan saja. Hal ini membuat beberapa orang terkena


(17)

sangat bergantung pada internet sehingga individu mengalami kecanduan (Dyah,

2009).

Mark, Murray, Evans, & Willig (2004) menyatakan bahwa kecanduan

merupakan perilaku ketergantungan baik secara fisik maupun psikologis dalam

suatu aktivitas. Individu biasanya secara otomatis akan melakukan apa yang

disenangi pada kesempatan yang ada. Orang yang mengalami kecanduan internet

akan merasa bahwa dunia maya di layar komputernya lebih menarik dibandingkan

dengan kehidupan nyata sehari-hari (Orzack dalam Mukodim, Ritandiyono &

Sita, 2004).

Secara patologi kecanduan internet sangat mirip dengan kecanduan terhadap judi (Essau, 2008). Seiring dengan berkembangnya jaringan internet, saat ini jumlah penderita kecanduan internet semakin bertambah banyak. Kecanduan jenis tersebut dapat dialami anak-anak maupun dewasa (Dyah, 2009). Ada tiga hal yang

menyebabkan individu mengalami kecanduan internet, yaitu terjerat games, akses

situs porno, dan jejaring sosial (Elia, 2009). Salah satu jejaring sosial yang saat ini

digemari masyarakat Indonesia adalah Facebook.

Saat ini Indonesia telah menjadi “the Republic of the Facebook” (Putra, 2009). Ungkapan ini terinspirasi oleh perkembangan penggunaan Facebook oleh

masyarakat Indonesia yang mencapai pertumbuhan 64,5% pada tahun 2008.

“Prestasi” ini menjadikan Indonesia sebagai “the fastest growing country on Facebook in Southeast Asia”. Angka ini bahkan mengalahkan pertumbuhan pengguna Facebook di China dan India yang merupakan peringkat teratas


(18)

Demam Facebook merupakan kelanjutan dari keberhasilan situs komunitas

Friendster yang berhasil menjaring 12 juta “registered users” atau sekitar 60%

pengguna internet di Indonesia (Gunawan, 2009). Banyak pengguna Friendster

yang melakukan migrasi ke Facebook karena layanan yang diberikan lebih

lengkap, mulai dari berikirim komentar, berbagi foto, video, dan catatan sehingga

memenuhi keinginan masyarakat. Dari sekian banyak fitur maupun fasilitas

tersebut, ada kemungkinan Facebook menaruh harapan besar agar dapat terus

berada di jajaran situs pertemanan di dunia maya.

Pengguna Facebook di Indonesia masih didominasi oleh kaum kelas

menengah ke atas yang memiliki akses internet (yang masih tergolong mahal di

Indonesia). Terhitung sampai 22 Februari 2009, 1.333.649 user Indonesia telah

terdaftar di Facebook dan sekitar 73% (976.372 orang) di antaranya adalah user

usia produktif (18-34 tahun). Dilihat dari gender, terdapat 688.306 user laki-laki

dan 600.045 user perempuan (Gunawan, 2009). Kebanyakan pengguna Facebook

ini adalah kalangan remaja yang berusia 14-24 tahun sebanyak 61,1% (Gen,

2009).

Facebook telah membuat remaja mengalami kecanduan. Hal ini

disebabkan oleh dua hal, yaitu pertama, karena senang memperoleh teman dan

mendapat perhatian dari orang lain. Kedua, senang menjadi orang yang dikenal

dan diakui keberadaannya. Oleh karena itu, akan semakin mudah menjadi

pecandu jejaring sosial di internet bila seseorang memiliki kebutuhan besar akan


(19)

Ada banyak alasan remaja memilih Facebook sebagai bagian dari

aktivitasnya. Beberapa di antaranya adalah untuk memenuhi rasa ingin tahu agar

dikatakan gaul dan tidak ketinggalan zaman. Melalui Facebook, remaja lebih

mudah menjalin hubungan pertemanan dari berbagai belahan dunia dan juga dapat

berbagi cerita atau curhat dengan teman di dunia maya untuk meringankan beban.

Berdasarkan hasil survey yang dilakukan Donny (2010), kebanyakan pengguna

menggunakan Facebook untuk curhat. Ketika tidak ada kegiatan lain yang

penting, remaja juga dapat mengisi waktu luang yang mereka miliki untuk

bermain Facebook. Hurlock (1990) menyatakan bahwa remaja berada dalam fase

pengembangan hubungan dengan teman sebaya dan juga memiliki rasa ingin tahu

yang tinggi, sehingga semua alasan tersebut mewakili kebutuhan remaja.

Kecanduan terhadap Facebook merupakan topik yang mencemaskan dan

menarik perhatian para orang tua. Remaja yang sudah kecanduan jejaring sosial,

seperti Facebook, terlalu asyik dengan dunianya sendiri sehingga tidak perduli

dengan orang lain dan lingkungan di sekitar (Dyah, 2009). Remaja yang

kecanduan tampak dari kegiatannya setiap hari yang selalu mencari-cari

kesempatan agar dapat memainkan Facebook yang dimilikinya. Tidak jarang

ditemui bahwa remaja banyak bermain Facebook seteleh pulang sekolah, waktu

istirahat, bahkan ketika proses belajar-mengajar terjadi.

Remaja yang mengalami kecanduan Facebook akan banyak menghabiskan

waktu di depan komputer atau handphone. Berdasarkan hasil survey yang

dilakukan Donny (2010) di kota Sukabumi dan Cilegon, 55% pengguna


(20)

yang digunakan juga semakin lama akan semakin bertambah agar individu

mendapatkan efek perubahan dari perasaan, dimana setelah bermain internet atau

Facebook individu merasakan kenyamanan dan kesenangan (Dyah, 2009).

Sebaliknya, individu biasanya akan merasa cemas atau bosan ketika bermain

Facebook ditunda atau diberhentikan.

Masa remaja adalah masa dimana individu mulai melepaskan diri dari

ketergantungan terhadap orang tua dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan

teman sebaya (Hurlock, 1990). Tanpa disadari, dengan menggunakan Facebook

remaja yang seharusnya belajar bersosialisasi dengan lingkungan di kehidupan

nyata justru lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman di dunia maya.

Komunikasi yang dahulunya dari bertatap muka secara langsung kini mulai

mengalami pergesaran menjadi komunikasi melalui dunia maya. Pada

tempat-tempat umum tidak jarang dijumpai individu yang sibuk sendiri dengan

handphone yang dimiliki untuk meng-update status atau memberi komentar

walaupun individu sedang berjalan bersama dengan teman-temannya (Fa, 2009).

Individu yang memiliki kontrol diri rendah berpotensi mengalami

kecanduan karena individu tidak mampu memandu, mengarahkan, dan mengatur

perilaku (Dyah, 2009). Remaja yang mengalami kecanduan Facebook selalu

merasa tertantang untuk menambah teman, memasukkan foto, melihat komentar

orang lain, dan juga meng-update status miliknya. Remaja yang sudah memiliki

219 kawan misalnya, akan terus tertantang untuk mencari lebih banyak kawan

sekedar untuk menunjukkan betapa terkenalnya dia. Rasa kesal dengan kejadian


(21)

karena individu selalu ingin meng-update informasi, maka setiap individu akan

selalu terdorong untuk mengetik di kolom What do you have in mind tanpa

pertimbangan yang jelas.

Dampak negatif lain dari kecanduan Facebook adalah remaja menjadi lupa

waktu, sekolah, tugas-tugas, hingga kewajiban lain. Penggunaan internet yang

berlebihan dihubungkan dengan kerusakan yang signifikan terhadap bidang sosial,

psikologis dan pekerjaannya (Young, 1996). Kecanduan dipandang sebagai

kelemahan yang dimiliki remaja karena kurang memiliki motivasi dan kontrol

(Griffiths dalam Essau, 2008). Mark, Murray, Evans, & Willig (2004) juga

menyatakan bahwa salah satu penyebab individu mengalami kecanduan

disebabkan adanya kegagalan dalam melakukan kontrol terhadap perilaku.

Ghufron (2003) dalam penelitiannya menyatakan kontrol diri mempengaruhi

perilaku penundaan terhadap tugas-tugas oleh remaja, sehingga mengakibatkan

penurunan prestasi individu tersebut.

Drever (Fitri, 2009) menyatakan bahwa kontrol diri adalah kontrol atau

pengendalian yang dijalankan oleh individu terhadap perasaan-perasaan,

dorongan-dorongan hati dan tindakan-tindakan sendiri. Masa-masa remaja

ditandai dengan emosi yang mudah meletup atau cenderung untuk tidak dapat

mengkontrol dirinya sendiri. Kontrol diri sangat diperlukan karena

dorongan-dorongan dan nafsu semakin menggejolak, terutama dorongan-dorongan seksual dan

agresivitas pada remaja.

Jika seorang remaja tidak dapat mengontrol dirinya dengan baik, maka


(22)

kenakalan-kenakalan pada remaja. Fatoni (dalam Dyah, 2009) lebih menjelaskan

bahwa kontrol diri yang tidak dapat berkembang dengan baik akan menghambat

proses pendewasan individu karena pendewasaan seseorang tergantung

kemampuan individu dapat melakukan pengontrolan terhadap dirinya sendiri.

Berdasarkan uraian diatas dapat dilihat bahwa remaja berada pada masa

yang ditandai dengan emosi yang mudah meletup atau cenderung untuk tidak

dapat mengkontrol dirinya sendiri, sehingga diperlukan adanya kontrol diri untuk

mengurangi dorongan-dorongan yang menggejolak dalam diri remaja. Kecanduan

facebook merupakan hal dimana individu menghabiskan waktu terlalu banyak

ketika bermain sehingga melupakan waktu, tugas, dan kewajiban lainnya akibat

kurangnya kontrol dari individu sendiri. Hal ini membuat peneliti tertarik untuk

melihat apakah terdapat hubungan antara kontrol diri dengan kecanduan internet

pada remaja pengguna facebook.

B. RUMUSAN MASALAH

Adapun perumusan masalah yang ingin diteliti pada penelitian ini adalah:

“apakah terdapat hubungan antara kontrol diri dengan kecanduan internet pada

remaja pengguna Facebook?”.

C. TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara


(23)

D. MANFAAT PENELITIAN

Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis maupun

praktis.

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi pengetahuan,

khususnya bagian psikologi perkembangan tentang kontrol diri terhadap

kecanduan internet pada remaja.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan:

1. Informasi mengenai hubungan kontrol diri kecanduan kecanduan internet

pada remaja pengguna Facebook, sehingga dapat digunakan sebagai

acuan bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

2. Sebagai referensi bagi remaja untuk dapat mengetahui pentingnya kontrol

diri dalam penggunaan Facebook.

3. Sebagai referensi bagi orang tua untuk melakukan pengawasan terhadap


(24)

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah:

BAB I : Pendahuluan

Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah penelitian,

rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika

penulisan.

BAB II : Landasan Teori

Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam

pembahasan masalah. Teori-teori yang dinyatakan adalah

teori-teori yang berhubungan dengan kontrol diri, kecanduan internet,

remaja dan Facebook.

BAB III : Metodologi Penelitian

Pada bab ini dijelaskan mengenai Identifikasi Variabel Penelitian,

definisi operasional, populasi, sampel, metode pengambilan

sampel, metode pengumpulan data, validitas, uji daya beda aitem,

reliabilitas alat ukur, prosedur pelaksanaan penelitian, dan metode

analisa data yang digunakan.

BAB IV : ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

Bab ini akan menjelaskan tentang gambaran subjek penelitian, uji

asumsi penelitian meliputi uji normalitas dan linieritas, hasil


(25)

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini memuat mengenai kesimpulan dari hasil penelitian yang

telah dijelaskan dibab sebelumnya. Selain itu, bab ini juga akan


(26)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. KONTROL DIRI

1. Definisi Kontrol Diri

Calhoun dan Acocella (1990) mendefinisikan kontrol diri (self-control)

sebagai pengaturan proses-proses fisik, psikologis, dan perilaku seseorang;

dengan kata lain serangkaian proses yang membentuk dirinya sendiri. Goldfried

dan Merbaum (dalam Lazarus, 1976), mendefinisikan kontrol diri sebagai suatu

kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk

perilaku yang dapat membawa individu ke arah konsekuensi positif. Selain itu

kontrol diri juga menggambarkan keputusan individu yang melalui pertimbangan

kognitif untuk menyatukan perilaku yang telah disusun untuk meningkatkan hasil

dan tujuan tertentu seperti yang diinginkan (Lazarus, 1976).

Kontrol diri diartikan Papalia (2004) sebagai kemampuan individu untuk

menyesuaikan tingkah laku dengan apa yang dianggap diterima secara sosial oleh

masyarakat. Wallston (dalam Sarafino, 2006) menyatakan bahwa kontrol diri

adalah perasaan individu bahwa ia mampu untuk membuat keputusan dan

mengambil tindakan yang efektif untuk mendapatkan hasil yang diinginkan dan

menghindari hasil yang tidak diinginkan.

Ketika berinteraksi dengan orang lain, individu akan berusaha

menampilkan perilaku yang dianggap paling tepat bagi diri individu. Calhoun dan


(27)

mengontrol diri secara kontinyu. Pertama, individu hidup dalam kelompok

sehingga dalam memuaskan keinginannya individu harus mengontrol perilakunya

agar tidak menggangu kenyamanan orang lain. Kedua, masyarakat mendorong

individu untuk secara konstan menyusun standar yang lebih baik bagi dirinya.

Sehingga dalam rangka memenuhi tuntutan tersebut dibutuhkan pengontrolan diri

agar dalam proses pencapaian standar tersebut individu tidak melakukan hal-hal

yang menyimpang.

Kontrol diri berkaitan dengan bagaimana individu mengendalikan emosi

serta dorongan-dorongan dari dalam dirinya (Hurlock, 1990). Menurut konsep

ilmiah, pengendalian emosi berarti mengarahkan energi emosi ke saluran ekpresi

yang bermanfaat dan dapat diterima secara sosial.

Ada dua kriteria yang menentukan apakah kontrol emosi dapat diterima

secara sosial atau tidak. Kontrol emosi dapat diterima bila reaksi masyarakat

terhadap pengendalian emosi adalah positif. Namun reaksi positif saja tidaklah

cukup. Karenanya perlu diperhatikan kriteria lain, yaitu efek yang muncul setelah

mengontrol emosi terhadap kondisi fisik dan psikis. Kontrol emosi seharusnya

tidak membahayakan fisik dan psikis individu. Artinya, dengan mengontrol emosi

kondisi fisik dan psikis individu harus membaik (Hurlock, 1990).

Hurlock (1990) menyebutkan tiga kriteria emosi yang masak sebagai

berikut :

a. Dapat melakukan kontrol diri yang bisa diterima secara sosial.

b. Dapat memahami seberapa banyak kontrol yang dibutuhkan untuk


(28)

c. Dapat menilai situasi secara kritis sebelum meresponnya dan memutuskan

cara beraksi terhadap situasi tersebut.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kontrol diri adalah

kemampuan individu dalam menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan

bentuk perilaku melalui pertimbangan kognitif sehingga dapat membuat

keputusan yang diinginkan dan diterima oleh masyarakat.

2. Jenis dan Aspek Kontrol Diri

Block dan Block (dalam Lazarus, 1976) menjelaskan ada tiga jenis

kualitas kontrol diri, yaitu over control, under control, dan appropriate control.

Over control merupakan kontrol diri yang dilakukan oleh individu secara

berlebihan yang menyebabkan individu banyak menahan diri dalam beraksi

terhadap stimulus. Under control merupakan suatu kecenderungan individu untuk

melepaskan impuls dengan bebas tanpa perhitungan yang masak. Appropriate

control merupakan kontrol individu dalam upaya mengendalikan impuls secara

tepat.

Berdasarkan Konsep Averill (dalam Sarafino, 1994), terdapat 3 aspek

kontrol diri, yaitu kontrol perilaku (behavior control), Kontrol kognitif (cognitive

control), dan mengontrol keputusan (decisional control).

a. Behavioral control

Merupakan kesiapan atau tersedianya suatu respon yang dapat secara

langsung mempengaruhi atau memodifikasi suatu keadaan yang tidak

menyenangkan. Kemampuan mengontrol perilaku ini terbagi menjadi dua


(29)

kemampuan memodifikasi stimulus (stimulus modifiability). Kemampuan

mengatur pelaksanaan merupakan kemampuan individu untuk menentukan siapa

yang mengendalikan situasi atau keadaan, dirinya sendiri atau sesuatu diluar

dirinya. Individu yang kemampuan mengontrol dirinya baik akan mampu

mengatur perilaku dengan menggunakan kemampuan dirinya dan bila tidak

mampu individu akan menggunakan sumber eksternal. Kemampuan mengatur

stimulus merupakan kemampuan untuk mengetahui bagaimana dan kapan suatu

stimulus yang tidak dikehendaki dihadapi. Ada beberapa cara yang dapat

digunakan, yaitu mencegah atau menjauhi stimulus, menempatkan tenggang

waktu di antara rangkaian stimulus yang sedang berlangsung, menghentikan

stimulus sebelum waktunyaberakhir, dan membatasi intensitasnya.

b. Cognitive control

Merupakan kemampuan individu dalam mengolah informasi yang tidak

diinginkan dengan cara menginterpretasi, menilai, atau menggabungkan suatu

kejadian dalam suatu kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologis atau untuk

mengurangi tekanan. Aspek ini terdiri atas dua komponen, yaitu memperoleh

informasi (information gain) dan melakukan penilaian (appraisal). Dengan

informasi yang dimiliki oleh individu mengenai suatu keadaan yang tidak

menyenangkan, individu dapat mengantisipasi keadaan tersebut dengan berbagai

pertimbangan. Melakukan penilaian berarti individu berusaha menilai dan

menafsirkan suatu keadaan atau peristiwa dengan cara memperhatikan segi-segi


(30)

c. Decisional control

Merupakan kemampuan individu untuk memilih hasil atau suatu tindakan

berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya. Kontrol diri dalam

menentukan pilihan akan berfungsi baik dengan adanya suatu kesempatan,

kebebasan, atau kemungkinan pada diri individu untuk memilih berbagai

kemungkinan tindakan.

Dari uraian dan penjelasan di atas, maka untuk mengukur kontrol diri

digunakan aspek-aspek sebagai berikut :

1. Mengatur pelaksanaan

2. Memodifikasi stimulus

3. Memperoleh informasi

4. Melakukan penilaian

5. Menentukan pilihan dan memilih berbagai tindakan.

B. KECANDUAN

1. Definisi Kecanduan

Kecanduan menurut Plantinga (dalam Elia, 2009) adalah kelekatan yang

kompleks, progresif, berbahaya, dan sering juga melumpuhkan terhadap zat

psikoaktif (alkohol, heroin, zat adiktif lainnya) atau perilaku (seks, kerja, judi)

dimana individu secara kompulsif mencari perubahan perasaan. Carpenter (Essau,

2008) menyatakan bahwa kecanduan merupakan suatu kondisi dimana individu


(31)

Griffiths (Essau, 2008) menyatakan bahwa kecanduan merupakan aspek

perilaku yang kompulsif, adanya ketergantungan, dan kurangnya kontrol. Sarafino

(2006) mendefinisikan kecanduan sebagai suatu kondisi yang diakibatkan karena

adanya konsumsi obat-obatan yang berulang-ulang, yang membuat individu

tergantung secara fisik dan psikologis. Ketergantungan fisik terjadi ketika tubuh

telah beradaptasi dengan obat-obatan dan jaringan tubuh tidak lagi berfungsi

secara normal. Sedangkan pada ketergantungan psikologis, individu merasa

didorong menggunakan obat-obatan untuk mendapatkan efeknya.

Kecanduan merupakan suatu istilah yang digunakan untuk

menggambarkan ketergantungan yang dimiliki individu baik secara fisik dan

psikologis dalam sebuah aktivitas, meminum minuman keras atau obat-obatan

yang berada dibawah kontrol kesadaran. Kecanduan terjadi disebabkan adanya

(Mark, Murray, Evans, & Willig, 2004):

a. Keinginan yang kuat untuk selalu terlibat dalam perilaku tertentu

(terutama ketika kesempatan untuk terlibat dalam perilaku tertentu tidak

dapat dilakukan).

b. Adanya kegagalan dalam melakukan kontrol terhadap perilaku, individu

merasakan ketidaknyamanan dan stress ketika perilaku ditunda atau

dihentikan.

c. Terjadinya perilaku yang terus-menerus walaupun telah ada fakta yang

jelas bahwa perilaku mengarah kepada permasalahan.

Berdasarkan uraian diatas maka kecanduan dapat diartikan sebagai suatu


(32)

akibat kurangnya kontrol terhadap perilaku sehingga menyebabkan

ketidaknyamanan dan stress ktika perilaku tersebut ditunda atau dihentikan.

2. Kecanduan Internet

Kecanduan internet diartikan Young (1998) sebagai sebuah sindrom yang

ditandai dengan menghabiskan sejumlah waktu yang sangat banyak dalam

menggunakan internet dan tidak mampu mengontrol penggunaannya saat online.

Young (Essau, 2008) juga menyatakan bahwa kecanduan internet sama seperti

perilaku kecanduan lainnya, yang berisi tingkah laku yang kompulsif, kurang

tertarik terhadap aktivitas-aktivitas yang lain, dan meliputi symptom-symptom

fisik dan mental ketika berusaha untuk menghentikan tingkah laku tersebut.

Griffiths (1998) mendefinisikan kecanduan internet sebagai tingkah laku

kecanduan yang meliputi interaksi antara manusia dengan mesin tanpa adanya

penggunaan obat-obatan. Orzack (dalam Mukodim, Ritandiyono & Sita, 2004)

menyatakan bahwa kecanduan internet merupakan suatu kondisi dimana individu

merasa bahwa dunia maya di layar komputernya lebih menarik daripada

kehidupan nyata sehari-hari.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa kecanduan

internet adalah tingkah laku kompulsif, kurang tertarik dengan aktivitas lain,

merasa bahwa dunia maya di layar komputer lebih menarik sehingga

menghabiskan banyak waktu dalam menggunakan internet serta meliputi

symptom-symptom fisik dan mental ketika tingkah laku tersebut ditunda atau


(33)

3. Dimensi Kecanduan Internet

Griffiths (1998) telah mencantumkan enam dimensi untuk menentukan

apakah individu dapat digolongkan sebagai pecandu internet. Dimensi-dimensinya

adalah sebagai berikut:

a. Salience. Hal ini terjadi ketika penggunaan internet menjadi aktivitas yang

paling penting dalam kehidupan individu, mendominasi pikiran individu

(pre-okupasi atau gangguan kognitif), perasaan (merasa sangat butuh),dan

tingkah laku (kemunduran dalam perilaku sosial). Individu akan selalu

memikirkan internet, meskipun tidak sedang mengakses internet.

b. Mood modification. Hal ini mengarah pada pengalaman individu sendiri,

yang menjadi hasil dari bermain internet, dan dapat dilihat sebagai strategi

coping.

c. Tolerance. Hal ini merupakan proses dimana terjadinya penigkatan jumlah

penggunaan internet untuk mendapatkan efek perubahan dari mood.

d. Withdrawal symptoms. Hal ini merupakan perasaan tidak menyenangkan

yang terjadi karena penggunaan internet dikurangi atau tidak dilanjutkan

(misalnya, mudah marah, cemas, tubuh bergoyang).

e. Conflict. Hal ini mengarah pada konflik yang terjadi antara pengguna

internet dengan lingkungan sekitarnya (konflik interpersonal), konflik

dalam tugas lainnya (pekerjaan, tugas, kehidupan sosial, hobi) atau konflik


(34)

kurangnya kontrol) yang diakibatkan karena terlalu banyak menghabiskan

waktu bermain internet.

f. Relapse. Hal ini merupakan kecenderungan berulangnya kembali pola

penggunaan internet setelah adanya kontrol.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa untuk

menentukan apakah individu dapat dinyatakan mengalami kecanduan internet

adalah dengan menggunakan dimensi-dimensi kecanduan internet, yaitu salience,

mood modification, tolerance, withdrawal symptom, conflict, dan relapse.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecanduan Internet

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecanduan internet (Young, Pistner,

O’Mara & Buchanan, 1998) adalah:

a. Gender

Gender mempengaruhi jenis aplikasi yang digunakan dan penyebab

individu tersebut mengalami kecanduan internet. Laki-laki lebih sering

mengalami kecanduan terhadap game online, situs porno, dan perjudian

online, sedangkan perempuan lebih sering mengalami kecanduan terhadap

chatting dan berbelanja secara online.

b. Kondisi psikologis

Survey di Amerika Serikat menunjukkan bahwa lebih dari 50% individu

yang mengalami kecanduan internet juga mengalami kecanduan pada hal

lain seperti obat-obatan terlarang, alkohol, rokok dan seks. Kecanduan

internet juga timbul akibat masalah-masalah emosional seperti depresi dan


(35)

sebagai pengalihan secara psikologis terhadap perasaan-perasaan yang

tidak menyenangkan atau situasi yang menimbulkan stress. Berdasarkan

hasil survey ini juga diperoleh bahwa 75% individu yang mengalami

kecanduan internet disebabkan adanya masalah dalam hubungannya

dengan orang lain, kemudian individu tersebut mulai menggunakan

aplikasi-aplikasi online yang bersifat interaktif seperti chat room dan game

online sebagai cara untuk membentuk hubungan baru dan lebih percaya

diri dalam berhubungan dengan orang lain melalui internet.

c. Kondisi sosial ekonomi

Individu yang telah bekerja memiliki kemungkinan lebih besar mengalami

kecanduan internet dibandingkan dengan individu yang belum bekerja. Hal

ini didukung bahwa individu yang telah bekerja memiliki fasilitas internet

di kantornya dan juga memiliki sejumlah gaji yang memungkinkan

individu tersebut memiliki fasilitas komputer dan internet juga

dirumahnya.

d. Tujuan dan waktu penggunaan internet

Tujuan menggunakan internet akan menentukan sejauhmana individu

tersebut akan mengalami kecanduan internet, terutama dikaitkan terhadap

banyaknya waktu yang dihabiskannya sendirian di depan komputer.

Individu yang menggunakan internet untuk tujuan pendidikan, misalnya

pada pelajar dan mahasiswa akan lebih banyak menghabiskan waktunya

menggunakan internet. Umumnya, individu yang menggunakan internet


(36)

mengalami kecanduan internet. Hal ini diakibatkan tujuan penggunaan

internet bukan digunakan sebagai upaya untuk mengatasi atau melarikan

diri dari masalah-masalah yang dihadapinya di kehidupan nyata atau

sekedar hiburan.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa terdapat

beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kecanduan internet, yaitu gender,

kondisi psikologis, kondisi sosial ekonomi, tujuan dan waktu penggunaan internet.

5. Tingkat Kecanduan Internet

Young (1996) membagi kecanduan internet dalam 3 tingkatan, yaitu:

a. Mild. Pada tingkatan ini individu termasuk dalam pengguna online

rata-rata. Individu menggunakan internet dalam waktu yang lama, tetapi

individu memiliki kontrol dalam penggunaannya.

b. Moderate. Pada tingkatan ini individu mulai sering mengalami beberapa

permasalahan dari penggunaan internet. Internet merupakan hal yang

penting, namun tidak selalu menjadi yang utama dalam kehidupan.

c. Severe. Pada tingkatan ini individu mengalami permasalahan yang

signifikan dalam kehidupan mereka. Internet merupakan hal yang paling

utama sehingga mengabaikan kepentingan-kepentingan yang lain.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa terdapat 3


(37)

C. REMAJA 1. Definisi Remaja

Istilah remaja atau adolescence berasal dari bahasa latin adolscere yang

berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Istilah adolescene (dari bahasa Inggris) yang dipergunakan saat ini memiliki arti yang cukup luas mencakup

kematangan mental, emosional, sosial dan fisik (Hurlock, 1990).

Piaget (dalam Hurlock, 1990) mengatakan bahwa masa remaja adalah usia

dimana individu mulai berintegrasi dengan masyarakat dewasa. Indivdu tidak lagi

merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam

tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak, integrasi dalam

masyarakat, mempunyai banyak aspek afektif, kurang lebih berhubungan dengan

masa puber, termasuk di dalamnya juga perubahan intelektual yang mencolok,

transformasi yang khas dari berpikir remaja memungkinkan untuk mencapai

integrasi dalam hubungan sosial orang dewasa.

Selanjutnya, Kartono (1990) mengatakan bahwa masa remaja juga sebagai

masa penghubung atau masa peralihan antara masa kanak-kanak dengan masa

dewasa. Pada masa remaja terdapat tugas-tugas perkembangan yang sebaiknya

dipenuhi. Menurut Hurlock (1990), seluruh tugas perkembangan pada masa


(38)

dan mengadakan persiapan untuk menghadapi masa dewasa. Adapun tugas

perkembangan remaja adalah:

a. Mencapai peran sosial pria dan wanita

b. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya

baik pria maupun wanita.

c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif.

d. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa

lainnya.

e. Mempersiapkan karir ekonomi untuk masa yang akan datang.

f. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga.

g. Memperoleh nilai-nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku

dan mengembangkan ideologi.

Secara tradisional masa remaja dianggap sebagai periode “storm and stress”, yaitu suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Sebagian besar remaja mengalami ketidakstabilan

emosi dari waktu ke waktu sebagai konsekuensi dari usaha penyesuaian diri pada

pola perilaku baru dan harapan sosial yang baru (Hurlock, 1990).

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa remaja adalah

individu yang mulai berintegrasi dengan masyarakat dewasa dimana indivdu tidak

lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam

tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak, integrasi dalam

masyarakat,dan juga memiliki tugas-tugas perkembangan yang sebaiknya


(39)

adalah tugas perkembangan dimana remaja meulai mencapai hubungan baru dan

yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita.

2. Ciri-ciri Remaja

Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1990), terdapat 8 ciri masa remaja,

antara lain:

a. Masa remaja sebagai periode yang penting.

Remaja mengalami perkembangan fisik dan mental yang cepat dan penting

dimana semua perkembangan itu menimbulkan perlunya penyesuaian

mental dan pembentukan sikap, nilai, dan minat baru.

b. Masa remaja sebagai periode yang peralihan.

Peralihan tidak berarti putus dengan atau berubah dari apa yang telah

terjadi sebelumnya, melainkan perpindahan dari satu tahap perkembangan

ke tahap perkembangan berikutnya. Dengan demikian, dapat diartikan

bahwa apa yang telah terjadi sebelumnya akan meninggalkan bekas pada

apa yang terjadi sekarang dan yang akan datang, serta mempengaruhi pola

perilaku dan sikap yang baru pada tahap berikutnya.

c. Masa remaja sebagai periode perubahan.

Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar

dengan tingkat perubahan fisik. Perubahan fisik yang terjadi dengan pesat

diikuti dengan perubahan perilaku dan sikap yang juga berlangsung pesat.


(40)

Setiap periode mempunyai masalahnya sendiri-sendiri, namun masalah

masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak

laki-laki maupun anak perempuan. Ada dua alasan bagi kesulitan ini, yaitu:

1) Sepanjang masa kanak-kanak, masalah anak-anak sebagian diselesaikan

oleh orang tua dan guru-guru, sehingga kebanyakan remaja tidak

berpengalaman dalam mengatasi masalah.

2) Remaja merasa mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya

sendiri, sehingga menolak bantuan dari orang tua dan guru-guru.

e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas.

Pencarian identitas dimulai pada akhir masa kanak-kanak, dan pada masa

ini lebih menekankan pada penyesuaian diri dengan standar kelompok

dibandingkan bersikap individualistik. Adanya keinginan menjadi pribadi

yang berbeda dengan orang lain.

f. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan.

Adanya anggapan stereotype budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang

tidak rapi, yang tidak dapat dipercaya dan cenderung merusak dan

berperilaku merusak, sehingga menyebabkan orang dewasa harus

membimbing dan mengawasi kehidupan remaja.

g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik.

Remaja pada masa ini melihat dirinya sendiri dan orang lain sesuai dengan

apa yang ia inginkan dan bukan sesuai dengan apa adanya, terlebih dalam


(41)

mengecewakannya atau kalau ia tidak berhasil tujuan yang ditetapkannya

sendiri.

h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa

Semakin mendekatnya usia kematangan, para remaja menjadi gelisah

untuk meninggalkan streotype belasan tahun dan untuk memberikan kesan

bahwa mereka hampir dewasa, remaja mulai memusatkan diri pada

perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa yaitu merokok, minum

minuman keras, menggunakan obat-obatan dan terlibat dalam perbuatan

seks. Mereka menganggap bahwa perilaku ini akan memberikan citra yang

mereka inginkan.

3. Batasan Usia Remaja

Monks, dkk (2002) membagi fase-fase masa remaja ke dalam tiga tahap,

yaitu:

a. Remaja awal (12-15 tahun)

Pada tahap ini, remaja mulai beradaptasi terhadap perubahan-perubahan

yang terjadi pada dirinya dan dorongan-dorongan yang menyertai

perubahan-perubahan tersebut. Individu berusaha untuk menghindari

ketidaksetujuan sosial atau penolakan dan mulai membentuk kode moral

sendiri tentang benar dan salah. Individu menilai baik terhadap apa yang

disetujui orang lain dan buruk apa yang ditolak orang lain. Pada tahap ini,

minat remaja pada dunia luar sangat besar dan juga tidak mau dianggap

sebagai kanak-kanak lagi namun belum bisa meninggalkan pola


(42)

yang diinginkannya, remaja sering merasa sunyi, ragu-ragu, tidak stabil

dan tidak puas (Kartono, 1990).

b. Remaja pertengahan (15-18 tahun)

Pada tahap ini, remaja berada dalam kondisi kebingungan dan terhalang

dari pembentukan kode moral karena ketidakkonsistenan dalam konsep

benar dan salah yang ditemukannya dalam kehidupan sehari-hari.

Keraguan semacam ini juga jelas dalam sikap terhadap masalah

mencontek, pada waktu remaja duduk di sekolah menengah atas. Karena

hal ini dianggap umum, remaja menganggap bahwa teman-teman akan

memaafkan perilaku ini, dan membenarkan perbuatan mencontek bila

selalu ditekan untuk mencapai nilai yang baik agar dapat diterima di

sekolah tinggi dan yang akan menunjang keberhasilan dalam kehidupan

sosial dan ekonomi di masa-masa mendatang. Pada tahap ini, mulai

tumbuh semacam kesadaran akan kewajiban untuk mempertahankan

aturan-aturan yang ada, namun belum dapat mempertanggungjawabkannya

secara pribadi.

c. Masa remaja akhir (18-21 tahun)

Pada tahap ini, individu dapat melihat sistem sosial secara keseluruhan.

Individu mau diatur secara ketat oleh hukum-hukum umum yang lebih

tinggi. Alasan mematuhi peraturan bukan merupakan ketakutan terhadap

hukuman atau kebutuhan individu, melainkan kepercayaan bahwa hukum

dan aturan harus dipatuhi untuk mempertahankan tatanan dan fungsi


(43)

melakukan tingkah laku moral yang dikemudikan oleh tanggung jawab

batin sendiri. Pada tahap ini, remaja mulai menyadari bahwa keyakinan

religius penting bagi mereka.

Batasan usia remaja yang dipakai penelitian ini adalah remaja pertengahan,

yaitu 15-18 tahun, sebab dalam masa ini remaja berada dalam kondisi

kebingungan dan terhalang dari pembentukan kode moral karena

ketidakkonsistenan dalam konsep benar dan salah yang ditemukannya dalam

kehidupan sehari-hari. Pada masa ini juga mulai adanya kesadaran dalam remaja

untuk mempertahankan peraturan yang ada namun belum dapat

mempertanggungjawabkannya secara pribadi.

4. Remaja yang Mengalami Kecanduan Internet

Remaja yang mengalami kecanduan internet adalah remaja yang memiliki

pengetahuan akan internet. Penggunaan internet oleh remaja lebih kepada sarana

hiburan dibandingkan dengan untuk tujuan pendidikan. Beberapa ciri remaja

mengalami kecanduan internet adalah remaja yang menghabiskan waktu minimal

selama 5 jam dalam sehari dan juga telah menggunakan internet minimal selama 6

bulan (Young dalam Essau, 2008).

Dampak yang timbul akibat kecanduan internet pada remaja (Young,

2004):

a. Permasalahan akademik. Remaja yang mengalami kecanduan internet akan

mengalami kesulitan untuk menyelesaikan tugas rumahnya, belajar untuk


(44)

b. Permasalahan dalam hubungan dengan keluarga dan teman. Remaja yang

mengalami kecanduan internet, menghabiskan waktu yang sedikit dengan

orang-orang yang ada di kehidupan nyata. Remaja lebih banyak

berkomunikasi lewat dunia maya sehingga kurang perhatian terhadap

keluarga dan teman-teman di sekitarnya.

c. Permasalahan fisik dan psikologis. Remaja yang mengalami kecanduan

internet mengalami gangguan pola tidur, dimana remaja banyak

menghabiskan waktu bermain internet pada malam hari sehingga akhirnya

pada saat pagi remaja merasakan kelelahan. Hal ini juga dapat

menurunkan sistem kekebalan tubuh. Kecanduan internet juga membawa

dampak terhadap psikologis remaja, dimana remaja menjadi merasa bosan,

cemas, dan depresi ketika bermain internet ditunda atau dihentikan.

Berdasarkan uraian di atas, maka remaja yang mengalami kecanduan

adalah remaja yang memiliki pengetahuan tentang penggunaan internet, bermain

internet minimal selama 5 jam dalam sehari, dan telah menggunakan internet

minimal 6 bulan. Ada beberapa permasalahan yang dapat dialami oleh remaja

yang kecanduan internet, yaitu permasalahan akademis, permasalahan dalam

hubungan keluarga dan teman, serta permasalahan dalam fisik dan psikologis.

D. FACEBOOK

Facebook adalah situs jejaring sosial yang bisa dimanfaatkan oleh para

pengguna untuk saling mengenal dan berkomunikasi dalam berbagai keperluan


(45)

didirikan oleh Mark Zuckerberg, seorang lulusan Harvard dan mantan murid

Ardsley High School. Keanggotaannya pada awalnya dibatasi untuk siswa dari

Harvard College. Dalam dua bulan selanjutnya, keanggotaannya diperluas ke

sekolah lain di wilayah Boston (Boston College, Boston University, MIT, Tufts),

Rochester, Stanford, NYU, Northwestern, dan semua sekolah yang termasuk

dalam Ivy League. Banyak perguruan tinggi lain yang selanjutnya ditambahkan

berturut-turut dalam kurun waktu satu tahun setelah peluncurannya. Akhirnya,

orang-orang yang memiliki alamat surat-e suatu universitas (seperti .edu, .ac.uk,

dan lain-lain) dari seluruh dunia dapat juga bergabung dengan situs ini.

Selanjutnya dikembangkan pula jaringan untuk sekolah-sekolah tingkat

atas dan beberapa perusahaan besar. Sejak 11 September 2006, orang dengan

alamat surat-e apa pun dapat mendaftar di Facebook. Pengguna dapat memilih

untuk bergabung dengan satu atau lebih jaringan yang tersedia, seperti

berdasarkan sekolah tingkat atas, tempat kerja, atau wilayah geografis.

Hingga Juli 2007, situs ini memiliki jumlah pengguna terdaftar paling

besar di antara situs-situs yang berfokus pada sekolah dengan lebih dari 34 juta

anggota aktif yang dimilikinya dari seluruh dunia. Dari September 2006 hingga

September 2007, peringkatnya naik dari posisi ke-60 ke posisi ke-7 situs paling

banyak dikunjungi, dan merupakan situs nomor satu untuk foto di Amerika

Serikat, mengungguli situs publik lain seperti Flickr, dengan 8,5 juta foto dimuat

setiap harinya.

Facebook kini telah berkembang pesat di Indonesia dan telah terkenal di


(46)

melalui komputer saja bahkan sudah banyak handphone atau mobilephone yang

menyediakan layanan ini di webnya sehingga mudah mengaksesnya di manapun

berada. Dengan kemudahan yang diberikan kepada penggunanya, Facebook

menjadi situs jaringan sosial yang paling sering di kunjungi di berbagai negara

termasuk di Indonesia.

1. Keunggulan Facebook

Keunggulan-keunggulan yang dimiliki Facebook antara lain (Wati &

Rizky, 2009):

a. Lebih informatif. Pada Facebook telah tersedia beberapa fasilitas seperti

News Feed, Status Update, Photos, dan lain sebagainya. Dengan demikian,

kita dapat memantau apa saja yang terjadi dalam Facebook.

b. Kemudahan dalam pemeriksaan komunikasi kita dengan orang lain dalam

jejaring tersebut.

c. Dapat memasang foto-foto tertentu, yang dapat diketahui dan dilihat oleh

orang lain.

d. Sebagai media promosi, membangun komunitas, dan juga menghimpun

massa untuk kepenngan politik serta tujuan-tujuan lain sesuai dengan

kepentingannya.

Selain itu, Halim dan Wirawan (2009) juga menyatakan bahwa facebook

juga memberikan aplikasi-aplikasi yang menarik didalamnya seperti aplikasi

chatting dan juga aplikasi games.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa Facebook


(47)

untuk saling mengenal dan berkomunikasi dalam berbagai keperluan. Facebook

juga memiliki beberapa keunggulan seperti lebih informatif, memberikan

kemudahan dalam pemeriksaan komunikasi, dapat memasang foto-foto, dapat

dijadikan sebagai media promosi, dan juga memberikan aplikasi chatting dan

games.

E. HUBUNGAN ANTARA KONTROL DIRI DENGAN KECANDUAN

INTERNET PADA REMAJA PENGGUNA FACEBOOK

Masa remaja dikarakteristikan dalam dua hal yang berbeda. Pertama, masa

remaja sebagai suatu periode yang dipenuhi oleh ketertarikan, perkembangan,

pengalaman, serta mengarah kepada dewasa muda yang produktif. Kedua, masa

remaja merupakan periode yang penuh konflik dan juga bermasalah dalam

keluarga yang memungkinkan terjadinya disfungsi dan juga pengasingan diri

(Essau, 2008).

Hurlock (1990) menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa dimana

individu mulai mengembangkan hubungan interpersonal dengan lingkungannya

dan mulai melepas diri dari ketergantungan terhadap keluarga. Remaja lebih

banyak menghabiskan waktu dengan teman-temannya. Namun, komunikasi yang

terjadi mengalami perubahan dimana komunikasi yang dahulunya bertatap muka

secara langsung kemudian berubah menjadi komunikasi dunia maya atau internet,

yaitu melalui jejaring sosial (Fa, 2009). Saat ini salah satu jejaring sosial yang


(48)

Facebook menawarkan beberapa jenis fasilitas, mulai dari mengirimkan

komentar, berbagi foto, video, dan catatan. Fasilitas-fasilitas yang diberikan oleh

Facebook dianggap lebih lengkap dan memenuhi selera masyarakat sehingga

banyak pengguna friendtster beralih ke Facebook (Gunawan, 2009). Melalui

Facebook, individu dapat mencari teman-teman yang sudah lama tidak ditemuinya

maupun menjalin hubungan dengan orang-orang dari berbagai belahan dunia.

Kebayakan pengguna facebook adalah kaum remaja (Gen, 2009). Banyak

alasan remaja memilih Facebook sebagai bagian dari aktivitasnya, di antaranya

adalah untuk memenuhi rasa ingin tahu agar dikatakan gaul dan tidak ketinggalan

zaman. Selain itu, berkomunikasi melalui Facebook juga dapat dipandang sebagai

strategi coping. Melalui Facebook remaja dapat curhat dengan teman-teman di

dunia maya untuk meringankan beban yang dimiliki.

Kemudahan-kemudahan yang diberikan Facebook ternyata membuat

beberapa individu mengalami kecanduan internet. Individu yang mengalami

kecanduan biasanya akan merasa bahwa dunia maya di layar komputernya lebih

menarik dibandingkan dengan kehidupan nyata sehari-hari (Orzack dalam

Mukodim, Ritandiyono & Sita, 2004). Durasi waktu yang digunakan bermain

internet juga semakin bertambah. Berdasarkan penelitian Young (dalam Essau,

2008), orang yang mengalami kecanduan internet biasanya menghabiskan waktu

selama 5 jam dalam sehari, dan biasanya durasi ini akan bertambah agar individu

mendapat efek perubahan dari perasaan.

Individu yang telah kecanduan jejaring sosial, seperti Facebook, terlalu


(49)

lingkungan di sekitar. Remaja yang telah mengalami kecanduan akan merasakan

ketidaknyamanan dan stress ketika perilaku ditunda atau dihentikan (Mark,

Murray, Evans, & Willig, 2004). Remaja yang kecanduan tampak dari

kegiatannya setiap hari yang selalu mencari-cari kesempatan agar dapat

memainkan Facebook yang dimilikinya, sehingga lupa akan tugas, waktu,

sekolah, dan kewajiban-kewajiban lain.

Kecanduan dipandang sebagai kelemahan yang dimiliki remaja karena

kurang memiliki motivasi dan kontrol (Griffiths dalam Essau, 2008). Mark,

Murray, Evans, & Willig (2004) juga menyatakan bahwa salah satu penyebab

individu mengalami kecanduan disebabkan adanya kegagalan dalam melakukan

kontrol terhadap perilaku. Kontrol diri merupakan kemampuan untuk menyusun,

membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa

individu ke arah konsekuensi positif (Goldfried & Merbaum dalam Lazarus,

1976). Pada individu yang mengalami kecanduan, individu mengalami kurangnya

kontrol diri sehingga mengabaikan kehidupan sosial maupun

kewajiban-kewajiban lainnya. Hal ini sejalan dengan Young (1996) yang menyatakan bahwa

penggunaan internet yang berlebihan dihubungkan dengan kerusakan yang

signifikan terhadap bidang sosial, psikologis dan pekerjaannya.

Masa-masa remaja ditandai dengan emosi yang mudah meletup atau

cenderung untuk tidak dapat mengkontrol dirinya sendiri. Kontrol diri sangat

diperlukan karena dorongan-dorongan dan nafsu keinginan-keinginan semakin

menggejolak, terutama dorongan seksual dan agresivitas pada remaja. Jika


(50)

dikuasasi oleh dorongan dan keinginan yang menyebabkan timbulnya

kenakalan-kenakalan pada remaja. Elijati (dalam Dyah, 2009) berpendapat bahwa gangguan

kontrol diri pada remaja yang menimbulkan kecanduan pada internet merupakan

gangguan yang dideskripsikan sebagai gangguan kontrol pada hasrat atau

keinginan untuk mengakses internet atau internet tanpa melibatkan penggunaan

obat atau zat aditif.

F. HIPOTESIS

Hipotesa dalam penelitian ini adalah : ada hubungan antara kontrol diri


(51)

BAB III

METODE PENELITIAN

Dalam bab ini akan dibahas mengenai: (A) Identifikasi Variabel

Penelitian, (B) Definisi Operasional, (C) Populasi, Sampel, dan Metode

Pengambilan Sampel, (D) Metode Pengumpulan Data, (E) Validitas, Uji Daya

Beda Aitem, dan Reliabilitas Alat Ukur, (F) Prosedur Pelaksanaan Penelitian, dan

(G) Metode Analisa Data.

A. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini :

a. Variabel bebas : kontrol diri

b. Variabel tergantung : kecanduan internet

B. DEFINISI OPERASIONAL

1. Kontrol Diri

Kontrol diri adalah kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur

dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa individu ke arah

konsekuensi positif dan diterima oleh masyarakat. Kontrol diri pada penelitian ini

diungkap melalui alat ukur berupa skala kontrol diri yang disusun oleh peneliti

dengan menggunakan aspek kontrol diri yang diungkapkan oleh Averill (dalam

Sarafino, 1994). Semakin tinggi skor yang dicapai oleh subjek penelitian berarti


(52)

yang dicapai oleh subjek penelitian berarti semakin rendah kontrol diri yang

dimilikinya.

Aspek yang digunakan untuk mengukur kontrol diri:

a. Mengatur pelaksanaan adalah kemampuan individu untuk

menentukan siapa yang mengendalikan situasi atau keadaan,

dirinya sendiri atau sesuatu diluar dirinya.

b. Memodifikasi stimulus adalah bagaimana dan kapan individu

menghadapi suatu stimulus yang tidakdikehendaki.

c. Memperoleh informasi adalah individu menggunakan informasi

mengenai suatu keadaan yang tidak menyenangkan yang

dimiliki,sehingga dapat mengantisipasi keadaan tersebut dengan

berbagai pertimbangan.

d. Melakukan penilaian adalah individu menafsirkan suatu keadaan

atau peristiwa dengan memperhatikan segi-segi yang positif.

e. Menentukan dan memilih berbagai tindakan adalah kemampuan

individu untuk memilih hasil atau suatu tindakan yang tepat dan

diterima secara sosial.

2. Kecanduan Internet

Kecanduan internet adalah tingkah laku dimana individu menghabiskan

waktu yang banyak dalam bermain internet, kurang tertarik terhadap

aktivitas-aktivitas yang lain, merasa bahwa dunia maya di layar komputernya lebih menarik

dan meliputi symptom-symptom fisik dan mental ketika berusaha untuk


(53)

diungkap melalui alat ukur berupa skala kecanduan internet yang disusun oleh

peneliti dengan menggunakan enam dimensi yang dicantumkan oleh Griffiths

(1998). Semakin tinggi skor yang diperoleh seseorang dalam skala kecanduan

internet yang diberikan, semakin tinggi kecanduan internet yang dialaminya.

Sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh seseorang dalam skala

kecanduan internet yang diberikan, maka semakin rendah kecanduan internetyang

dialami. Dimensi kecanduan internet yaitu:

a. Salience: Hal ini terjadi ketika pikiran, perasaan, dan tingkah laku individu

didominasi oleh internet. Individu akan selalu memikirkan internet,

meskipun tidak sedang mengakses internet.

b. Mood modification: hal ini mengacu pada adanya perubahan mood yang

dirasakan oleh individu setelah bermain internet.

c. Tolerance: hal ini merupakan adanya peningkatan jumlah waktu bermain

internet pada individu.

d. Withdrawal symptom: adanya perasaan tidak menyenangkan ketika

bermain internet ditunda atau dihentikan.

e. Conflict: adanya konflik yang terjadi antara pengguna internet dengan

lingkungan sekitarnya dan dirinya sendiri.

f. Relapse: individu kembali bermain internet dalam waktu yang lama


(54)

C. POPULASI, SAMPEL, DAN METODE PENGAMBILAN SAMPEL 1. Populasi dan Sampel

Populasi adalah keseluruhan penduduk atau individu yang dimaksudkan

untuk diteliti. Populasi dibatasi sebagai jumlah penduduk atau individu yang

paling sedikit memiliki satu sifat yang sama (Hadi, 2000). Populasi dalam

penelitian ini adalah remaja pengguna Facebook.

Mengingat keterbatasan peneliti untuk menjangkau seluruh populasi, maka

peneliti hanya meneliti sebahagian dari populasi yang dijadikan sebagai subjek

penelitian yang lebih dikenal dengan nama sampel. Sampel adalah sebahagian dari

populasi atau sejumlah penduduk yang jumlahnya kurang dari jumlah populasi

dan harus mempunyai paling sedikit satu sifat yang sama (Hadi, 2000).

Karakteristik subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Termasuk dalam remaja pertengahan yaitu usia 15-18 tahun.

Karakteristik ini dipilih berdasarkan artikel Gen (2009) yang menyatakan

bahwa remaja adalah pengguna terbanyak Facebook, yaitu sebanyak 61,1% dan

menurut Monks,dkk (2002), pada usia ini remaja masih memiliki kepribadian

yang kenakanan namun sudah mampu untuk melakukan penilaian terhadap

tingkah lakunya sendiri.

b. Telah menggunakan Facebook minimal selama 6 bulan.

Karakteristik ini dipilih berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Young

(dalam Essau, 2008), dimana individu yang mengalami kecanduan adalah individu


(55)

c. Menggunakan Facebook selama 5 jam atau lebih dalam sehari.

Karakteristik ini dipilih berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Young

(dalam Essau, 2008), dimana individu yang mengalami kecanduan menghabiskan

waktu 5 jam atau lebih ketika bermain internet.

2. Jumlah Sampel dan Metode Pengambilan Sampel

Metode pengambilan sampel adalah cara yang digunakan untuk

mengambil sampel dari populasi dengan menggunakan prosedur tertentu agar

diperoleh sampel yang mewakili populasi (Hadi, 2000).

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah nonprobability

sampling. Menurut Hadi (2000), nonprobability sampling adalah teknik sampling

yang tidak memberi peluang atau kesempatan sama bagi setiap unsur atau anggota

populasi untuk dipilih menjadi sampel. Jenis nonprobability sampling yang

digunakan adalah purposive sampling, yaitu pengambilan sampel yang didasarkan

pada ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang dipandang mempunyai sangkut paut

yang erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui

sebelumnya (Hadi, 2000). Adapun jumlah subjek dalam penelitian ini berjumlah

50 orang.

D. METODE PENGUMPULAN DATA

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

dengan menggunakan skala psikologi yang berbentuk skala likert dengan

beberapa pilihan. Metode skala digunakan mengingat data yang ingin diukur


(56)

langsung melalui indikator-indikator perilaku yang diterjemahkan dalam bentuk

aitem-aitem pernyataan (Azwar, 2002).

Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara menyebarkan skala yang

berisi daftar pertanyaan yang telah disiapkan dan disusun sedemikian rupa

sehingga subjek penelitian dapat mengisi dengan mudah (Azwar, 2000).

Hadi (2000) mengemukakan bahwa skala psikologis mendasarkan diri

pada laporan-laporan pribadi (self report). Selain itu skala psikologis memiliki

kelebihan dengan asumsi sebagai berikut :

1. Subjek adalah orang yang paling tahu tentang dirinya.

2. Bahwa apa yang dikatakan oleh subjek kepada peneliti adalah benar dan dapat

dipercaya.

3. Interpretasi subjek tentang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sama dengan

apa yang dimaksud peneliti.

Prosedur penskalaan model Likert ini didasari oleh dua asumsi (Azwar, 2002).

1. Setiap pernyataan yang ditulis dapat disepakati sebagai pernyataan yang

favorable (positif) atau pernyataan yang unfavorable (negatif).

2. Jawaban yang diberikan oleh individu yang mempunyai sikap positif harus

diberi bobot atau nilai yang lebih tinggi daripada jawaban yang diberikan oleh

responden yang mempunyai sikap negatif.

Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala kontrol diri dan skala


(57)

1. Skala kontrol diri

Skala kontrol diri dibuat dalam bentuk skala likert. Aitem-aitem dalam

skala ini disusun berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Averill (dalam

Sarafino, 1994).

Metode skala yang digunakan, disajikan dalam bentuk

pernyataan-pernyataan. Pernyataan dalam skala ini berbentuk skala jenjang yang mengungkap

intensitas kejadian. Skala yang digunakan memiliki lima pilihan jawaban yaitu :

Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Netral (N), Tidak Sesuai (TS) dan Sangat Tidak

Sesuai (STS). Skala disajikan dalam bentuk pernyataan bersifat favorabel

(pernyataan berbentuk positif) dan tidak favorabel (pernyataan bersifat negatif).

Nilai setiap pilihan bergerak dari 0 sampai 4. Bobot penilaian untuk pernyataan

favorabel adalah SS = 4, S = 3 ,N = 2, TS = 1 dan STS = 0. sedangkan bobot

penilaian untuk pernyataan tidak favorabel yaitu SS = 0, S = 1, N = 2, TS = 3 dan

STS = 4.

Tabel 1.

Distribusi Aitem-Aitem Skala Kontrol Diri

No. Aspek Aitem Total Bobot

(%) Favorabel Unfavorabel

1. Kemampuan mengatur

pelaksanaan.

1, 11, 21, 31, 41, 51, 61, 69, 73

6, 16, 26, 36, 46, 56, 65, 71, 74

18 24.32%

2. Memodifikasi stimulus 2, 12, 22, 32, 42, 52

7, 17, 27, 37, 47, 57


(58)

2. Skala kecanduan internet

Skala kecanduan internet dibuat dalam bentuk skala likert. Aitem-aitem

dalam skala ini disusun berdasarkan enam dimensi yang dinyatakan oleh Griffiths

(dalam Essau, 2008).

Metode skala yang digunakan, disajikan dalam bentuk

pernyataan-pernyataan. Pernyataan dalam skala ini berbentuk skala jenjang yang mengungkap

intensitas kejadian. Skala yang digunakan memiliki empat pilihan jawaban yaitu :

Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Netral (N), Tidak Sesuai (TS) dan Sangat Tidak

Sesuai (STS). Skala disajikan dalam bentuk pernyataan bersifat favorabel

(pernyataan berbentuk positif) dan tidak favorabel (pernyataan bersifat negatif).

Nilai setiap pilihan bergerak dari 1 sampai 4. Bobot penilaian untuk pernyataan

favorabel adalah SS = 4, S = 3 , N = 2, TS = 1 dan STS = 0. sedangkan bobot

penilaian untuk pernyataan tidak favorabel yaitu SS = 1, S = 2, TS = 3 dan STS =

4.

Tabel 2.

Distribusi Susunan Aitem-Aitem Skala Kecanduan Internet

3. Memperoleh informasi. 3, 13, 23, 33, 43, 53, 62

8, 18, 28, 38, 48, 58, 66

14 18.91 %

4. Melakukan penilaian 4, 14, 24, 34, 44, 54, 63, 70

9, 19, 29, 39, 49, 59, 67, 72

16 21.62%

5. Menentukan dan memilih berbagai tindakan

5, 15, 25, 35, 45, 55, 64

10, 20, 20, 40, 50, 60, 68

14 18.91 %


(59)

E. VALIDITAS, UJI DAYA BEDA AITEM DAN REALIBILITAS ALAT UKUR

Salah satu masalah utama dalam kegiatan penelitian sosial khususnya

Psikologi adalah cara memperoleh data yang akurat dan objektif. Hal ini menjadi

sangat penting, artinya kesimpulan penelitian hanya akan dapat dipercaya apabila

didasarkan pada info yang juga dapat dipercaya (Azwar, 2000). Dengan

memperhatikan kondisi ini, tampak bahwa alat pengumpulan data memiliki

peranan penting. Baik atau tidaknya suatu alat pengumpulan data dalam

mengungkap kondisi yang ingin diukur tergantung pada validitas dan reliabilitas

alat ukur yang akan digunakan.

No. Dimensi Aitem Total Bobot (%)

Favorabel Unfavorabel

1. Salience 1, 12, 24, 36, 48

6, 18, 30, 42, 53

10 15.15%

2. Mood modification

2, 13, 25, 37, 49

7, 19, 31, 43, 54

10 15.15%

3. Tolerance 3, 14, 26, 38, 50, 58

8, 20, 32, 44, 55, 60

12 18.18%

4 Withdrawal symptom

4, 15, 27, 39, 51

9, 21, 33, 45, 56

10 15.15%

5 Conflict 5, 16, 28, 40, 52, 59, 62, 64

10, 22, 34, 46, 57, 61, 63, 65

16 24.24%

6 Relapse 17, 29, 41, 66 11, 23, 35, 47 8 12.12%


(60)

1. Validitas Alat Ukur

Berdasarkan pernyataan Azwar (2000), untuk mengetahui apakah skala

psikologi mampu menghasilkan data yang akurat sesuai dengan tujuan ukurnya,

diperlukan suatu pengujian validitas. Suatu alat tes atau instrumen pengukuran

dapat dikatakan memiliki validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan

fungsi ukurnya atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud

dilakukannya pengukuran tersebut.

Validitas alat ukur yang dipakai dalam penelitian ini adalah validitas isi

(content validity) yaitu validitas yang menunjukkan sejauh mana aitem dalam

skala mencakup keseluruhan isi yang hendak diungkap oleh tes tersebut. Hal ini

berarti isi alat ukur harus memuat isi yang relevan serta tidak keluar dari batasan

alat ukur (Azwar, 2000).

Pengujian validitas isi menggunakan analisis rasional atau lewat

professional judgment. Pertama sekali aspek-aspek dan karakteristik yang akan

diukur ditentukan terlebih dahulu. Selanjutnya peneliti akan menyusun

aitem-aitem yang mengacu pada blue print yang telah dibuat sebelumnya. Setelah itu,

peneliti meminta pertimbangan professional judgment sebelum aitem-aitem

dijadikan alat ukur.

2. Uji Daya Beda Aitem

Uji daya beda aitem digunakan untuk melihat sejauh mana aitem mampu

membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki atau tidak


(1)

ampel.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=hubptain-gdl-diniayuram-7632 [18 Maret 2010]

Rizky & Wati. (2009). 5 Jam Belajar Cepat Menggunakan Facebook. Bandung:

CV.YRAMA WIDYA.

Sahana. (2008). Facebook Indonesia Outpaces Southeast Asian Counterparts in

2008.

http://www.insidefacebook.com/2008/12/31/facebook-indonesia-outpaces-southeast-asian-counterparts-in-2008/ [24 Februari 2010]

Sarafino, E.P . (1994)

. Health Psychology: Biopsychosocial Interaction (4

th

ed.).

New York: John Wiley and Sons

.

Sarafino, E.P

.

(2006)

. Health Psychology: Biopsychosocial Interactions (5

th

ed.).

New York: John Wiley and Sons

.

Sugiyono. (2004).

Statistika untuk Penelitian (cetakan keenam)

. Bandung : CV

Alfabeta.

Suryabrata, S. (2000).

Metode Penelitian

. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Young, K.S. (2004).

Internet Addiction:

A New Clinical Phenomenon and Its

Consequences

. http://www.netaddictionrecovery.com. [

online

:3 Juni

2010]

Young, K. (1998).

Caught in the Net: How to Recognize the Signs of Internet

Addiction and a Winning Strategy for Recovery

. New York, NY: Wiley.

Young, K.S., (1996).

Internet Addiction: The Emergence of a New Clinical

Disorder.

hhtp://www.apa.org/releases/internet.html. [

online

: 3 April

2010].

Young, Pitsner, O’Mara, & Buchanan.

(1998).

What Is Internet Addiction?.


(2)

LAMPIRAN HASIL

PENELITIAN

UJI NORMALITAS

UJI LINIERITAS


(3)

NPar Tests

Descriptive Statistics

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum KontrolDiri 50 82.82 16.537 37 113 KecanduanInternet 50 100.38 18.389 59 130

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

KontrolDiri

KecanduanIntern et

N 50 50

Normal Parametersa Mean 82.82 100.38 Std. Deviation 16.537 18.389 Most Extreme Differences Absolute .081 .100 Positive .063 .093 Negative -.081 -.100 Kolmogorov-Smirnov Z .570 .704 Asymp. Sig. (2-tailed) .901 .705 a. Test distribution is Normal.

Means

Case Processing Summary

Cases

Included Excluded Total N Percent N Percent N Percent KecanduanInternet *


(4)

KecanduanInternet Kontrol

Diri Mean N Std. Deviation 37 130.00 1 . 47 110.00 1 . 54 117.00 1 . 65 113.33 3 8.327 66 105.00 3 4.359 67 120.00 1 . 69 118.00 1 . 70 111.00 3 13.528 72 121.00 1 . 73 110.00 1 . 74 123.50 2 4.950 77 108.00 1 . 79 103.00 1 . 80 105.00 1 .

82 73.00 1 .

83 95.00 1 .

84 101.00 3 13.528

85 94.00 1 .

87 106.50 2 12.021

88 73.00 1 .

89 97.00 1 .

90 126.00 1 . 91 111.00 1 .

92 81.00 1 .

93 84.33 3 1.528

95 83.00 1 .


(5)

99 120.00 1 . 100 83.00 1 . 101 74.00 2 1.414 102 74.00 1 . 104 105.00 1 . 112 66.00 2 9.899 113 70.00 1 . Total 100.38 50 18.389

ANOVA Table

Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig. KecanduanInternet *

KontrolDiri

Between Groups

(Combined) 15387.447 35 439.641 5.206 .001 Linearity 7053.246 1 7053.246 83.517 .000 Deviation from

Linearity 8334.201 34 245.124 2.903 .018 Within Groups 1182.333 14 84.452

Total 16569.780 49

Measures of Association

R R Squared Eta Eta Squared KecanduanInternet *


(6)

Correlations

KontrolDiri

KecanduanIntern et KontrolDiri Pearson Correlation 1 -.652**

Sig. (1-tailed) .000

N 50 50

KecanduanInternet Pearson Correlation -.652** 1 Sig. (1-tailed) .000

N 50 50