PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA

Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006, 2008. USU Repository © 2009

BAB III PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA

PENYELUDPAN Sebagaimana penulis kemungkinan di muka, yang dimaksud dengan delik penyeludupan dalam tulisan ini alah semua perbuatan yang nelanggar ordonansi bea dan diancam pidana. Oleh karena itu perlu dikemukakan di sini bahwa untuk mengetahui seluk-beluk delik penyeludupan itu kita harus mengetahui dan menelaah Ordonansi Bea Rechten Ordonnantie itu. Ordonansi Bea Rechten Ordonnantie, telah diciptakan sejak 1882, yaitu sbld, 1882 Nomor 240, diumumkan lagi dalam tahun 1931 dengan sbld. 1932 Nomor 212, 1935 Nomor 149, 1935 Nomor 584, 1936 Nomor 702 dan 1948 Nomor 43 dan LN 1951 Nomor 10, 1951 Nomor 39, dan 1954 Nomor 11.Pada ordonansi itu dilampirkan Reglemen A dan Reglemen B. Dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1958 Ordonansi Bea Rechten Orddonntie ini dimasukkan ke dalam Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi Undang-Undang Nomor 7 tahun 1955. Dengan demikian, pelanggaran terhadap Ordonansi Bea Rechten Ordonnantie dengan sendirinya menjadi delik ekonomi ini. Akibat yuridis dari ketentuan ini ialah bahwa semua ketentuan khusus yang ada dalam UUTPE tersebut berlaku juga bagi delik penyeludupan delik yang melanggar Ordonansi Bea. Ketentuan tersebut antara lain mengenai sanksi pidana. Semua sanksi pidana di dalam Ordonansi Bea menjadi larut dan tidak berlaku lagi, diisap oleh Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006, 2008. USU Repository © 2009 ketentuan mengenai sanksi pidana dan tindakan tatatertib yang ada dalam UUTPE. Ketentuan tentang sanksi pidana yang tercantum di dalam Pasal 26 dan 26b dengan sendirinya tidak berlaku lagi. Khusus pelanggaran Pasal 25 masih banyak tidak dimengerti oleh umum. Misalnya pasal itu disebutkan di dalam Pasal 21 KUHAP sebagai delik yang pelakunya dapat ditahan, padahal pasal itu tidak ada artinya lagi.khusus untuk pasal 26b perumusan delik yang tercantum di situ dua buah, lihat uraian di belakang masih tetap berlaku, hanya ancaman pidananya yang disebut di situ tidak lagi berlaku, tetapi ketentuan Pasal 6 UUTPE dan Pasal 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 21 prp tahun 1959 ah yang berlaku ditambah dengan kemungkinan penjatuhan tindak pidana tatatertib dalam UUTPE. Perincian tentang ketentuan-ketentuan khusus UUTPE akan diuraikan pada su bab berikut. Menurut Pasal 26c Ordonansi Bea, maka hanya delik yang disbut di dalam Pasal 26b saja yang dikualifikasi sebagai kejahatan. Berdasarkan penafsiran a contrario, maka yang tersebut di dalam Pasal 25 merupakan pelangaran. Sanksi yang semula ditentukan di dalam Pasal 26 untuk pelanggaran pasal 25 itu memang hanya berupa denda saja walaupun delik itu dilakukan dengan sengaja, yang berarti pembuat Ordonansi Bea memang meksudkan palanggaran terhadap delik yang tersebut di dalam Pasal 25 itu sebagai pelanggaran karena ancaman pidananya hanya denda saja, berbeda dengan ancaman pidana di dalam Pasal 26b yang berupa pidana penjara. Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006, 2008. USU Repository © 2009 Dengan demikian, peraturan yang tercantum dalam UUTPE berlaku umum bagi delik penyelundupan, sedangkan yang diatur khusus di dalam Ordonansi Bea menjadi aturan khusus lex specialis. Tetapi beberapa ketentuan khusus di dalam Ordonansi Bea, khususnya tentang pemidanaan tetap berlaku seperti ditentukan di dalam Pasal 26b alinea kedua, yang mengatakan bahwa barang-barang terhadap mana delik penyeludupan dilakukan di rampas. Jadi, bukan dapat dirampas, yang berarti ketentuan ini bersifat imperatif. Pada alinea ketiga pasal itu, dikatakan behwa barang-barang yang dirampas itu dimusnahkan, kecuali jika Menteri Keuangan atau pembesar yang ditunjuknya memutuskan, bahwa barang-barang itu dijual untuk kas negara atau untuk tujuan lain. Misalnya, Jaksa Agung memerintahkan penyerahan barang- barang rampasan kapal kepada Departemen Perhubungan. Selain daripada itu, alat-alat pengangkutan yang dengan mana delik penyeludupan dilakukan misalnya kapal, mana dapat dirampas Pasal 26c. Jadi, di sini bersifat fakultatif, berbeda dengan yang tersebut pada Pasal 26b di muka. Pada pasal 26d dikatakan bahwa keputusan-keputusan hakim yang mengandung pidana denda, jika berurutan dengan badan-badan hukum dapat dilaksanakan atas harta bendanya. Pelaksanaannya dilakukan dengan cara yang sama dengan pelaksanaan yang ditetapkan untuk keputusan-keputusan hakim dalam perkara-perkara perdata, dengan pengertian, bahwa, jika ketentuan- ketentuan dari hukum acara perdata yang berlaku untuk si terpidana menuntut perantaraan seorang pembesar pengadilan, maka perantaraan itu diminta oleh pegawai yang berkewajiban untuk melaksanakan keputusan hakim. Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006, 2008. USU Repository © 2009

A. Kaitan Tindak Pidana Penyeludupan Dengan Tindak Pidana Ekonomi