Aspek Hukum Pidana Video Porno dari Perspektif UU NO.44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

(1)

ASPEK HUKUM PIDANA VIDEO PORNO DARI

PERSPEKTIF UU NO. 44 TAHUN 2008

TENTANG PORNOGRAFI

S K R I P S I

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

INDRA TARIGAN

NIM : 060200067

Fakultas/Departemen : Ilmu Hukum/Hukum Pidana

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

OUTLINE SKRIPSI

ASPEK HUKUM PIDANA VIDEO PORNO DARI

PERSPEKTIF UU NO.44 TAHUN 2008

TENTANG PORNOGRAFI

Nama

: INDRA TARIGAN

NIM : 060200067

Fakultas/Departemen : Ilmu Hukum/Hukum Pidana

Dosen pembimbing :

Dosen pembimbing I (………)

Dosen pembimbing II (………)

Mengetahui

Ketua Departemen Hukum Pidana

Abul Khoir, SH, M.Hum


(3)

ABSTRAK

Judul skripsi ini adalah “aspek hukum pidana video mesum dikaitkan dengan pornografi dan upaya penanganannya.” Pornografi didalam Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, diartikan sebagai gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar. bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Sesuai dengan pasal 29 UU Pornografi, setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat enam bulan dan paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 250 juta dan paling banyak Rp 6 miliar. Terjadinya kesalahan penafsiran norma dalam UU pornografi. Artinya, harus dilakukan proses pemilahan secara jelas, yang mana unsur utama dan mana unsur pendukung tindak pidana pornografi dalam kasus ketiga artis. Hal ini tergambar dalam upaya penanganan kasus dengan mengutamakan pengungkapan identitas pemeran video, dibanding pengungkapan pelaku penyebaran video. Sebagaimana maksud UU Pornografi yang bersifat empiris, seharusnya norma utama yang menjadi tugas dalam penanganan kasus ini adalah penyebaran video yang membuat tontonan pornografi dapat diakses oleh publik. Dengan demikian, maka jelaslah bahwa keputusan penetapan tersangka bagi keiga artis dengan menggunakan Pasal-pasal yang multi-tafsir, tentu saja merupakan kesimpulan hukum yang menimbulkan ketidakpastian. Artinya, terdapat definisi hukum yang absurd (kabur) yang tidak dapat dijadikan dasar utama dalam penetapan status tersangka Ariel. Alasan utama penetapan Ariel adalah jerata Pasal 4 Ayat (1) Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Dimana disebutkan bahwa setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat : persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; kekerasan seksual; masturbasi atau onani; ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; alat kelamin; atau pornografi anak. Perlindungan hukum anak akibat pornografi harus diupayakan dengan sungguh-sungguh dan nyata, yaitu dengan membuat pengaturan dalam bentuk undang-undang seperti Undang-undang No. 44 Tahun 2008 dan upaya penegakkannya karena dampak negatif dari pornografi sangat luar biasa besarnya dan akan mempengaruhi moral bangsa dimasa-masa yang akan datang. UU pornografi sudah menjadi norma hokum tertulis, yang berlaku di Negara kita. Dengan demikian bagian penjelasan dalam UU tersebut, tidak boleh dikesampingkan begitu saja. Norma utama dan penjelasan dalam UU ini merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Memisahkannya, berarti sebuah kenaifan dalam memaknai sifat hukum tertulis kita.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa,Yesus Kristus dan Roh Kudus atas segala berkat,kasih karunia dan anugerah-Nya yang melimpah dalam hidup penulis,juga dalam pembuatan skripsi ini hingga dapat diselesaikan dengan baik.

Penulisan Skripsi ini merupakan kewajiban sebagai tahap akhir studi guna memenuhi syarat untuk menyelesaikan studi dan mendapat gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Untuk Memenuhi Kewajiban tersebut, maka penulis menyusun skripsi dengan judul : “Aspek Hukum Pidana Video Porno dari Perspektif UU NO.44 Tahun

2008 tentang Pornografi”.

Skripsi ini penulis persembahkan terkhusus buat Kedua Orangtuaku Nalem Tarigan dan Rulung br Ginting yang telah mendapat tempat terindah disisi Tuhan Yesus Kristus dan Kepada Semua abang-abang beserta kakak iparku yang telah memberikan pengorbanan dan kasih yang tidak terhingga kepada penulis,yang selalu mendoakan,memberi semangat,kasih sayang,dana,dukungan dan perhatian kepada penulis selama ini.

Skripsi ini juga kupersembahkan kepada saudariku satu-satunya, Ernawati br Tarigan dan juga kupersembahkan buat seseorang yang selama ini kusayangi Christy Monica Ginting yang telah banyak mendoakan,memberi semangat dan dukungan yang luar biasa kepada penulis selama ini.

Penulis juga menyadari bahwa banyak pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun skripsi ini,baik itu melalui bimbingan,dorongan,doa serta bantuan lainnya.oleh sebab itu penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :


(5)

1. Bapak Prof.Dr.Runtung Sitepu ,S.H.,M.Hum.,selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan beserta seluruh stafnya.

2. Bapak Prof.Dr.Budiman Ginting,S.H.,M.Hum.,selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

3. Bapak Syarifudin Hasibuan,S.H,DFM,M.H selaku Pembantu Dekan II Fakutas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan

4. Bapak Muhammad Husni, S.H.,M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

5. Bapak Abul Khair,S.H.,M.Hum.,selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

6. Ibu Nurmalawaty,S.H.,M.Hum.,yang telah banyak memberikan bimbingan dan masukan dalam penulisan skripsi ini.

7. Bapak Prof.Dr.Syafruddin Kalo,S.H.,M.Hum., selaku dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dan masukan dalam penulisan skripsi ini.

8. Ibu Rafiqoh Lubis ,S.H.,M.Hum.,selaku dosen Pembimbing II yang telah sangat banyak memberikan bimbingan, masukan, dalam penyelesaian penulisan skripsi ini.

9. Seluruh staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis.

10. Seluruh teman-temanku stambuk 2006 khususnya : Egi Arjuna Ginting, Yopie Handoko (Ajo), Riski Alisyahbana (Kijos), Jimmy Oscar Tarigan (Jimbo), Teuku Aditya Erliansah (Ampon), Irene Putri Kartika Sari Siregar (panjang x nama kau la neq, hahhahaa), Rizka Utami Wijaya (Ika).


(6)

11. Kepada abangda-abangda senioran Stambuk 2003, Aditia Pranata Kaban (terimakasih buat dukungan doa dan pinjaman laptopnya bang) hahaha, Berman Ginting, dan lain-lain yang tidak tersebutkan namanya satu per satu.

12. Seluruh teman-teman sepelayanan di GMKI (Ut Omnes Unum Sint), teman-teman Permata Runggun Jalan Pembangunan (Rudang-Rudang Gereja) terimakasih buat dukungan dan doanya.

Akhir kata, penulis berharap kiranya skripsi ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan bagi kita semuanya.

Medan, Desember 2010 Penulis,


(7)

DAFTAR ISI

Halaman ABSTRAK

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Perumusan Masalah 7

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 7

D. Keaslian Penulisan 8

E. Tinjauan Kepustakaan 8

1. Pengertian Tindak Pidana 9

2. Pengertian Pornografi 22

3. Dampak Pornografi dan Bentuk-bentuk Pornografi 26

F. Metode Penelitian 29

G. Sistematika Penulisan 30

BAB II : PERKEMBANGAN PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PORNOGRAFI SEBELUM KELUARNYA UU NO.44 TAHUN 2008

A. Pornografi kaitannya dengan UU No.8 Tahun 1992 Tentang

Perfilman 31 B. Pornografi Kaitannya dengan UU No.36 Tahun 1999 tentang

Telekomunikasi 37

C. Pornografi Kaitannya dengan UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers 42 D. Pornografi Kaitannya dengan UU No.32 Tahun 2002 tentang


(8)

BAB III : PERBUATAN YANG TERMASUK TINDAK PIDANA PORNOGRAFI MENURUT UU NO.44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI

A. Latar Belakang Lahirnya UU No.44 Tahun 2008 52 B. Perbuatan-Perbuatan yang Termasuk kedalam lingkup tindak pidana

pornografi 56

C. Sanksi Pidana menurut UU No.44 Tahun 2008 tentang Pornografi 61

BAB IV: ASPEK HUKUM PIDANA VIDEO PORNO DI DALAM UU NO.44 TAHUN 2008

A. Penyebaran Video porno sebagai salah satu bentuk tindak pidana tindak

pidana pornografi 65

B. Upaya Penegakan Hukum terhadap Video Porno Menurut UU No.44

Tahun 2008 tentang Pornografi 71

C. Contoh Kasus .80

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 85

B. Saran 86


(9)

ABSTRAK

Judul skripsi ini adalah “aspek hukum pidana video mesum dikaitkan dengan pornografi dan upaya penanganannya.” Pornografi didalam Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, diartikan sebagai gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar. bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Sesuai dengan pasal 29 UU Pornografi, setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat enam bulan dan paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 250 juta dan paling banyak Rp 6 miliar. Terjadinya kesalahan penafsiran norma dalam UU pornografi. Artinya, harus dilakukan proses pemilahan secara jelas, yang mana unsur utama dan mana unsur pendukung tindak pidana pornografi dalam kasus ketiga artis. Hal ini tergambar dalam upaya penanganan kasus dengan mengutamakan pengungkapan identitas pemeran video, dibanding pengungkapan pelaku penyebaran video. Sebagaimana maksud UU Pornografi yang bersifat empiris, seharusnya norma utama yang menjadi tugas dalam penanganan kasus ini adalah penyebaran video yang membuat tontonan pornografi dapat diakses oleh publik. Dengan demikian, maka jelaslah bahwa keputusan penetapan tersangka bagi keiga artis dengan menggunakan Pasal-pasal yang multi-tafsir, tentu saja merupakan kesimpulan hukum yang menimbulkan ketidakpastian. Artinya, terdapat definisi hukum yang absurd (kabur) yang tidak dapat dijadikan dasar utama dalam penetapan status tersangka Ariel. Alasan utama penetapan Ariel adalah jerata Pasal 4 Ayat (1) Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Dimana disebutkan bahwa setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat : persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; kekerasan seksual; masturbasi atau onani; ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; alat kelamin; atau pornografi anak. Perlindungan hukum anak akibat pornografi harus diupayakan dengan sungguh-sungguh dan nyata, yaitu dengan membuat pengaturan dalam bentuk undang-undang seperti Undang-undang No. 44 Tahun 2008 dan upaya penegakkannya karena dampak negatif dari pornografi sangat luar biasa besarnya dan akan mempengaruhi moral bangsa dimasa-masa yang akan datang. UU pornografi sudah menjadi norma hokum tertulis, yang berlaku di Negara kita. Dengan demikian bagian penjelasan dalam UU tersebut, tidak boleh dikesampingkan begitu saja. Norma utama dan penjelasan dalam UU ini merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Memisahkannya, berarti sebuah kenaifan dalam memaknai sifat hukum tertulis kita.


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghormati kebhinekaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta melindungi harkat dan martabat setiap warga negara.1 Salah satu nilai yang sangat berbeda antara bangsa kita dengan penjajah adalah moral dan/atau kesusilaan. Nilai moral atau kesusilaan mempunyai arti yang sangat penting, karena nilai moral atau kesusilaan ini secara implisit masuk dalam tujuan pembangunan nasional, sehingga menjadi sebuah keharusan bagi bangsa Indonesia untuk menghargai nilai moral tersebut.2

Pentingnya pembangunan mental atau moral masyarakat, di samping pembangunan fisik, merupakan pengejawentahan dari adanya pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang sekaligus menjadi asa bagi penyelenggaraan negara Indonesia. Penegakan nilai-nilai moral tersebut menjadi semakin penting dalam rangka untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat dengan memenuhi perintah Tuhan, yang harus dipertanggungjawabkan juga kepada Tuhan.3

Keutamaan pembangunan moral bagi suatu bangsa sebenarnya sudah banyak diajarkan baik melalui pendidikan formal maupun melalui mimbar-mimbar agama.

1

Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi. Alinea Pertama

2

W. Poespoprojo. 1998. Filsafat Moral Kesusilaan dalam Teori dan Praktek. Bandung: Pustaka Grafika. hal 1.

3


(11)

Bahkan ia seakan-akan menjadi slogan yang wajib disertakan dalam setiap kebijakan pembangunan nasional untuk kurun waktu yang cukup lama. Persoalan yang terjadi pada masa sekarang ini adalah pembangunan di bidang moral telah tertinggal jauh dengan berbagai pembangunan yang bersifat fisik.

Pada sisi lain, telah terjadi perubahan yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia, terutama yang disebabkan oleh globalisasi dan kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi, telah memberikan andil terhadap meningkatnya pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memberikan pengaruh buruk terhadap moral dan kepribadian luhur Bangsa Indonesia sehingga mengancam kehidupan dan tatanan social masyarakat Indonesia. Berkembang luasnya pornografi di tengah masyarakat juga mengakibatkan meningkatnya tindak asusila dan pencabulan.4

Jadi sebenarnya disini adalah apabila kita hendak melakukan suatu penegakan hokum yang menghasilkan yang maksimal, maka harus ada tindakan yang saling berkesinambungan. Jangan satu sisi hanya berfokus, namun tapi sisi lain aspek yang mendukung tidak di dibahas tuntas.

Peran serta masyarakat sangatlah diperlukan dalam rangka memberantas pornografi. Masyarakat harus memiliki rasa kebersamaan dalam memberantas tindakan anti porno, anti pelanggaran asusila. Tapi tentunya ada suatu batas yang dinamakan tidak boleh main hakim sendiri. Batasan yang dimaksud adalah sampai dengan bersama-sama untuk kemudian melaporkan kepada aparat penegakan hukum. Itu sudah satu hal yang sangat standar.

4

Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi. Alinea Kedua


(12)

Salah satu sarana pemberantasan pornografi adalah dengan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pornografi melalui sosialisasi pornografi. Media memegang peranan penting sebagai sarana sosialisasi anti pornografi. Namun seperti yang terlihat, media justru merupakan perpanjangan tangan dari pornografi. Dengan demikian, media juga harus mulai memikirkan mekanisme check balance terhadap tayangan yang ada.

Pornografi merupakan salah satu persoalan politik criminal yang dijalankan oleh pemerintah. Penghapusan terhadap pornografi tidak mungkin dilakukan. Upaya penanggulangan pornografi adalah mengurangi peredaran barang-barang pornografi.

Banyak orang yang masih meragukan apakah pornografi bisa berdampak terhadap timbulnya kejahatan seksual. Memang pada dasarnya, tidak setiap orang yang melihat materi-materi pornografi serta merta langsung melakukan tindak kejahatan seksual. Proses pengaruh materimateri pada tiap orang, berbeda-beda. Ada yang kecil efeknya, tapi ada pula yang besar, hingga memicunya melakukan tindak kriminal seperti perkosaan, pencabulan, sodomi, atau pelecehan seksual.5

Demikian besarnya efek samping tersebut, yang berakibat bukan hanya menimbulkan pelanggaran norma-norma moral atau kesusilaan di dalam masyarakat, maka penegakannya dilakukan dengan sistem sanksi yang lebih berat dan tegas.6

Apabila hukum pidana akan digunakan sebagai salah satu sarana penanggulangan kejahatan di bidang kesusilaan, tentunya ada kepentingan dan nilai-nilai kesusilaan tertentu di dalam masyarakat yang ingin dilindungi dan ditegakkan lewat hokum pidana. Dengan kata lain, digunakannya sarana hukum pidana (penal) untuk menanggulangi kejahatan yang berhubungan dengan pornografi adalah sangat

5

Azimah Soebagijo. 2008. Pornografi Dilarang Tapi Dicari. Jakarta: Gema Insani. hal 81 6

Barda Nawawi Arief. 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penaggulangan dan Penegakan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti. hal. 30


(13)

relevan dengan upaya untuk menegakkan nilai-nilai moral atau kesusilaan masyarakat kita yang berdasarkan ideologi Pancasila.

Pada pengaturan pornografi yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang ada, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang ada beberapa pasal yang berhubungan dengan pornografi, meskipun KUHP sendiri tidak secara tegas menyebutkan kualifikasi tindak pidananya sebagai tindak pidana pornografi. Pasal-pasal yang dimaksud adalah Pasal 281, 282, 283, 532 dan 533 KUHP yang masing-masing masuk dalam kategori ”kejahatan terhadap kesusilaan” dan ”pelanggaran kesusilaan”. Isi pasal-pasal tersebut sebagai berikut:

Pasal 281

Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak lima ratus rupiah: ke-1 Barangsiapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan; ke-2 Barangsiapa dengan sengaja dan di muka orang lain yang ada di situ bertentangan kehendaknya, melanggar kesusilaan.

Pasal 282

(1) Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambar atau benda, yang telah diketahui isinya dan yang melanggar kesusilaan; atau barangsiapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikin tulisan, gambaran atau benda tersebut, memasukkannya ke dalam negeri, meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, atau mempunyainya dalam persediaan; ataupun barangsiapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkannya atau menunjukkannya sebagai bisa didapat, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau denda paling tinggi tiga ribu rupiah.

(2) Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, ataupun barangsiapa, dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikinnya, memasukannya ke dalam negeri, meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, atau mempunyai dalam persediaan; ataupun barangsiapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkannya atau menunjukkannya sebagai bisa didapat, diancam, jika ada alas an kuat baginya untuk menduga, bahwa tulisan, gambaran atau benda itu melanggar kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau dendan paling banyak tiga ratus rupiah.

(3) Kalau yang bersalah, melakukan kejahatan tersebut dalam ayat pertama, sebagai pencarian atau kebiasaan, dapat dijatuhkan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak lima ribu rupiah.


(14)

Pasal 183

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak enam ratus rupiah, barangsiapa menawarkan, memberikan untuk terus atau untuk sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan, tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, maupun alat untuk mencegah atau menggugurkan hamil, kepada seorang yang belum cukup umur, dan yang diketahui atau sepatutnya dapat diduga, bahwa umurnya belum tujuh belas tahun, jika isi tulisan, gambaran, benda atau alat itu telah diketahuinya.

(2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa yang membacakan tulisan yang melanggar kesusilaan di muka orang yang belum cukup umur termaksud dalam ayat yang lalu, jika isi tadi telah diketahuinya.

(3) Diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan atau pidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak enam ratus rupiah, barangsiapa menawarkan, memberikan untuk terus atau untuk sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan, tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, maupun alat untuk mencegah atau menggugurkan hamil, kepada seorang yang belum cukup umur termaksud dalam ayat pertama, jika ada alasan kuat baginya untuk menduga, bahwa tulisan, gambaran atau benda melanggar kesusilaan atau alat itu adalah alat untuk mencegah atau menggugurkan hamil.

Pasal 532

Diancam dengan kurungan paling lama tiga hari atau denda paling banyak lima belas rupiah: ke-1 Barangsiapa di muka umum menyanyikan lagu-lagu yang melanggar kesusilaan; ke-2 Barangsiapa di muka umum mengadakan pidato yang melanggar kesusilaan ke-3 Barangsiapa di tempat yang terlihat dari jalan umum mengadakan tulisan atau gambaran yang melanggar kesusilaan.

Pasal 533

Diancam dengan kurungan paling lama dua bulan atau denda paling banyak dua ratus rupiah: ke-1 Barangsiapa di tempat untuk lalu lintas umum, dengan terangterangan mempertunjukkan atau menempelkan tulisan dengan judul, kulit, atau isi yang dibikin terbaca, maupun gambaran atau benda, yang mampu membangkitkan nafsu birahi para pemuda; ke-2 Barangsiapa di tempat untuk lalu lintas umum, dengan terangterangan mendengarkan isi tulisan yang mampu membangkitkan nafsu birahi para pemuda; ke-3 Barangsiapa secara terang-terangan atau tanpa diminta menawarkan, maupun secara terang-terangan atau dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjuk sebagai bisa didapat, tulisan atau gambaran yang mampu membangkitkan nafsu birahi para pemuda;

ke-4 Barangsiapa menawarkan, memberikan untuk terus atau sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan gambaran atau benda yang demikian, pada seorang yang belum cukup umur dan di bawah tujuh belas tahun;

ke-5 Barangsiapa mendengarkan isi tulisan yang demikian, di muka seorang yang belum cukup umur dan di bawah tujuh belas tahun.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman: Pasal 40

Dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) :


(15)

a. barang siapa dengan sengaja mengedarkan, mengekspor, mempertunjukkan dan/atau menayangkan film dan/atau reklame film yang ditolak oleh lembaga sensor film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (6); atau

b. barang siapa dengan sengaja mengedarkan, mengekspor, mempertunjukkan dan/atau menayangkan potongan film dan/atau suara tertentu yang ditolak oleh lembaga sensor film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (6); atau c. barang siapa dengan sengaja mengedarkan, mengekspor, mempertunjukkan

dan/atau menayangkan film yang tidak disensor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1).

Pasal di atas tidak secara tegas melarang pornografi, tetapi dari rumusan pasal-pasal tersebut dapat ditafsirkan adanya larangan mengenai pornografi karena pidana dapat dijatuhkan terhadap pelaku yang sengaja mengedarkan, mengekspor, mempertunjukkan film atau reklame film yang tidak disensor atau yang ditolak oleh lembaga sensor, dengan system pemidanaan yang alternatif kumulatif.

Kemudian Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang mengatur pornografi di dalam Pasal 18 ayat (2), yaitu: “Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”

Namun pada tahun 2008 telah disahkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, yang mana pengaturan pornografi ini berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebhinekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara. Hal tersebut berarti bahwa ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini adalah

1. Menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang bersumber pada ajaran Agama

2. Memberikan ketentuan yang sejelas-jelasnya tentang batasan dan larangan yang harus dipatuhi oleh setiap warga negara serta menentukan jenis sanksi bagi yang melanggarnya; dan

3. Melindungi setiap warga negara, khususnya perempuan, anak, dan generasi muda dari pengaruh buruk dan korban pornografi.

Pengaturan pornografi dalam Undang-Undang Pornografi meliputi

(1) pelarangan dan pembatasan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi;


(16)

(3) pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi, termasuk peran serta masyarakat dalam pencegahan.

Undang-Undang Pornografi menetapkan secara tegas tentang bentuk hukuman dari pelanggaran pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang disesuaikan dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan, yakni berat, sedang, dan ringan, serta memberikan pemberatan terhadap perbuatan pidana yang melibatkan anak. Di samping itu, pemberatan juga diberikan terhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dengan melipatgandakan sanksi pokok serta pemberian hukuman tambahan. Subjek hukum pidana meliputi orang (manusia alamiah) dan korporasi (persyarikatan) baik yang berstatus badan hukum maupun bukan badan hukum.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas, maka peneliti dapat merumuskan permasalahan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimana perkembangan peraturan yang berkaitan dengan pornografi

sebelum keluarnya uu no.44 tahun 2008?

2. Bagaimana perbuatan yang termasuk tindak pidana pornografi menurut uu no.44 tahun 2008 tentang pornografi?

3. Bagaimana aspek hukum pidana video porno di dalam uu no.44 tahun 2008?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui perkembangan peraturan yang berkaitan dengan pornografi sebelum keluarnya uu no.44 tahun 2008.


(17)

2. Untuk mengetahui perbuatan yang termasuk tindak pidana pornografi menurut uu no.44 tahun 2008 tentang pornografi.

3. Untuk mengetahui aspek hukum pidana video porno di dalam uu no.44 tahun 2008.

Penelitian ini dilakukan dengan harapan akan dapat memberikan manfaat baik manfaat objektif maupun manfaat subjektif sebagai berikut:

1. Manfaat Objektif

Manfaat objektif dari penelitian ini adalah dengan diketahuinya bentuk-bentuk penanggulangan bahaya pornografi.

2. Manfaat Subjektif

Manfaat subjektif dari penelitian ini adalah sebagai tambahan pengetahuan dan wawasan bagi penulis mengenai hukum pidana, serta untuk memenuhi syarat guna mencapai derajat sarjana pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

D. Keaslian Penelitian

Adapun judul tulisan ini adalah aspek hukum pidana video mesum dikaitkan dengan pornografi dan upaya penanganannya. Judul kripsi ini belum pernah ditulis dan diteliti dalam bentuk yang sama, sehingga tulisan ini asli, atau dengan kata lain tidak ada judul yang sama dengan mahasiswa fakultas hukum USU. Dengan demikian ini keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan

Sesorang dapat dipidana apabila perbuatan terdakwa (pelaku) harus memenuhi semua unsur tindak pidana. Apabila pelaku memenuhi unsur tersebut, maka dapat dikatakan ia melakukan tindak pidana. Setelah dinyatakan memenuhi unsur tindak pidana, maka dipertimbangkan pula ada tidaknya alasan pemaaf dan pembenar,


(18)

termasuk cakap hukum maka dikatakan terdakwa memenuhi unsur kesalahan sehingga terdakwa dapat dijatuhi pidana.

Akan tetapi sebelum penjatuhan pidana, dipertimbangkan hal-hal yang meringankan dan memberatkan dari terdakwa baru kemudian dijatuhi pidana. Kondisi sebagaimana disebutkan di atas tak lepas dari norma hukum positif, teori hukum pidana dan pemidanaan serta doktrin yang menjadi sumber dari hukum pidana. Mendasarkan pada hal itu maka diperlukan adanya perubahan pandangan atau paradigma baru dalam hukum pidana. Orientasinya tidak hanya pada pelaku saja, akan tetapi juga korban secara seimbang. Dalam kepustakaan viktimologi pandangan tersebut oleh Schafer disebut Criminal-victim relationship.7

Dengan mengacu pada teori tersebut di atas, maka perhatian atas masalah hukum pidana cenderung akan berubah menjadi perbuatan, kesalahan (orang), korban dan pidana. Melalui paradigma demikian, tampaknya hukum pidana menjadi lebih tepat dan memenuhi rasa keadilan. Konsep pemikiran inilah yang dikaji dan dikembangkan dalam penelitian tentang kedudukan korban yang muaranya adalah direkomendasikannya suatu model kedudukan korban secara adil dalam Sistem Peradilan Pidana yang memenuhi rasa keadilan sebagai hakikat dibentuknya suatu norma.

1. Pengertian Tindak Pidana

Sebelum membicarakan masalah jenis – jenis pidana yang dikenal orang di dalam hukum pidana Indonesia, sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu tentang apa yang sebenarnya dimaksud dengan perkataan pidana itu sendiri.

7

Wisnusubroto, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Komputer, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 1999,hal. 3


(19)

Djoko menyatakan bahwa pemberian pidana dalam arti umum itu merupakan bidang dari pembentuk Undang – undang karena azas legalitas, yang berasal dari zaman Aufklarung yang berbunyai : nullum crimen, nulla poena, sine preavialege (poenalli).8 Jadi untuk mengenakan poena atau pidana diperlukan Undang – undang terlebih dahulu.

Hal yang sama juga dikemukakan oleh Andi Hamzah, yang membedakan antara hukuman dengan pidana. “ Pidana merupakan suatu pengertian khusus yang berkaitan dengan hukum pidana. Sebagai pengertian khusus, masih juga ada persamaannya dengan pengertian umum, sebagai suatu sanksi atau nestapa yang menderitakan.9

Menurut Van HAMEL, arti pidana atau straf menurut hukum positif dewasa ini adalah: “Suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggungjawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata – mata karena seorang tersebut telah melanggar hukum yang harus ditegakkan oleh negara.10

Menurut Profesor SIMON, pidana atau straf itu adalah: suatu penderitaan yang oleh Undang – undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah”.

ALGRA-JANSSEN telah merumuskan pidana atau straf sebagai : “Alat yang dipergunakan oleh penguasa (hakim) untuk memperingatkan mereka yang telah melakukan suatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan. Reaksi dari

8

Djoko Prakoso, Hukum Penitensier di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988, hlm. 22 9

Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, dari Retribusi ke Reformasi, Pradnya Paramitha, Jakarta, 1985, hlm. 1

10


(20)

penguasa tersebut telah mencabut kembali sebagian dari perlindungan yang seharusnya dinikmati oleh terpidana atas nyawa, kebebasan dan harta kekayaannya, yaitu seandainya ia telah melakukan suatu tindak pidana”.11

Roeslan Saleh yang dikutip oleh Martiman Prodjohamidjojo menyatakan bahwa pidana adalah: “reaksi atas delik dan berwujud nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik.”12

Dari tiga buah rumusan mengenai pidana di atas dapat diketahui bahwa pidana itu sebenarnya hanya merupakan suatu penderitaan atau suatu alat belaka. Ini berarti bahwa pidana itu bukan merupakan suatu tujuan dan tidak mungkin dapat mempunyai tujuan. Hal tersebut perlu dijelaskan, agar kita di Indonesia jangan sampai terbawa oleh arus kacaunya cara berpikir dari para penulis di negeri Belanda, karena mereka seringkali telah menyebut tujuan dari pemidanaan dengan perkataan tujuan dari pidana, hingga ada beberapa penulis di tanah air yang tanpa menyadari kacaunya cara berpikir para penulis belanda itu, secara harafiah telah menerjemahkan perkataan doel der straf dengan perkataan tujuan dari pidana, padahal yang dimaksud dengan perkataan “doel der straf” itu sebenarnya adalah tujuan dari pemidanaan.13

Menurut Sudarto perkataan pemidanaan itu adalah sinonim dengan perkataan penghukuman. Tentang hal tersebut berkatalah beliau antara lain bahwa: “ Penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya (berechten). Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata. Oleh karena tulisan ini

11

Romli Atmasasmita. Strategi Pembinaan Hukum, Alumni FH-UI. Jakarta. 1992,. Hlm 69 12

Martiman Prodjohamodjojo, Memahami Dasa – dasar Hukum Pidana Indonesia, Pradnya Paramitha, Jakarta, 1996, hlm. 57

13 Ibid


(21)

berkisar pada hukum pidana, maka istilah tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana, yang kerap kali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. Penghukuman dalam hal ini mempunyai makna sama dengan sentence atau veroordeeling”.14

Ted Honderich yang dikutip oleh M. Sholehuddin berpendapat tentang pemidanaan harus memuat 3 (tiga) unsur berikut:

a. Pemidanaan harus mengandung semacam kehilangan (deprivation) atau kesengsaraan (distress) yang biasanya secara wajar dirumuskan sebagai sasaran dari tindakan pemidanaan.

b. Setiap pemidanaan harus datang dari institusi yang berwenang secara hukum pula. Jadi pemidanaan tidak merupakan konsekuensi alamiah suatu tindakan, melainkan hasil keputusan pelaku – pelaku personal suatu lembaga yang berkuasa.

c. Penguasa yang berwenang berhak untuk menjatuhkan pemidanaan hanya kepada subyek yang terbukti sengaja melanggar hukum atau peraturan.15 Ada satu asas yang berlaku di dalam hukum pidana yaitu yang disebut asas legalitas. Hal ini berakibat tidak dapat dijatuhkan pidana suatu perbuatan yang tidak termasuk ke dalam rumusan delik. Untuk mencatumkan suatu perbuatan ke dalam rumusan delik, ada dua syarat yang harus dipenuhi yaitu sifat melawan hukum dan dapat dicela. Dengan demikian perbuatan pidana menurut D. Schaffmeister dapat diartikan “Perbuatan manusia yang termasuk dalam ruang lingkup rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela”.16

14

Ibid 15

M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 71

16

D. Schaffmeister, etc (ed) J. E. Sahetapy, Hukum Pidana, Konsorsium Ilmu Hukum Departemen P & K, Liberty Yogyakarta, 1995, hlm. 27


(22)

Perbuatan pidana yang dilakukan seseorang dapat menyebabkan seseorang dijatuhi pidana. Pidana disini merupakan penghukuman atas tindakannya. Van Hammel yang dikutip Lamintang menyebutkan bahwa:

“Pidana adalah suatu penderitaan yang bersifat khusus yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggungjawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata – mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang telah ditegakkan oleh negara”.17

Adanya pidana bagi pelaku kejahatan pada umumnya diharapkan menimbulkan efek penjeraan bagi si pelaku.

Ada 3 (tiga) masalah pokok dalam hukum pidana, yaitu “tindak pidana”, “pertanggungjawaban pidana”, dan “pidana dan pemidanaan”, masing-masing merupakan “sub-sistem” dan sekaligus “pilar-pilar” dari keseluruhan bangunan sistem pemidanaan. Berikut diuraikan secara singkat mengenai ketiga sub-sistem tersebut dalam Konsep KUHP Nasional 2004.18

Dalam kehidupan sehari-hari sering terjadi peristiwa yang tidak dikehendaki oleh masyarakat, baik itu perubahan yang dilarang oleh Undang-undang sebagai tindak pidana atau perbuatan lain yang tidak menyenangkan. Perbuatan atau tindak pidana itu memang harus ditangani secara benar sehingga tidak terjadi eigenricthing seperti yang sering terjadi sekarang. Perbuatan eignricthing sangat tidak menguntungkan dalam kehidupan hukum karena dengan demikian proses hukum menjadi tidak dapat dilakukan terhadap pelaku kejahatan.

Hukum pidana dikenal sebagai ultimum remidium atau sebagai alat terakhir apabila usaha-usaha lain tidak bisa dilakukan, ini disebabkan karena sifat pidana yang menimbulkan nestapa penderitaan, demikian Sudarto mengemukakan

17

P. A. F Lamintang, Op. Cit, hlm. 91 18

Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, dari Retribusi ke Reformasi, Pradnya Paramitha, Jakarta, 1985. hlm 84


(23)

pada pelaku kejahatan, sehingga sebisa mungkin dihindari penggunaan pidana sebagai sarana pencegahan kejahatan. Tetapi tidak semua orang berpendapat bahwa pidana itu menimbulkan penderitaan, setidak-tidaknya Roeslan Saleh mengemukakan bahwa dalam pidana itu mengandung pikiran-pikiran melindungi dan memperbaiki pelaku kejahatan.19

Untuk menjatuhkan pidana, harus dipenuhi unsur-unsur tindak pidana yang terdapat dalam suatu Pasal. Salah satu unsur dalam suatu Pasal adalah sifat melawan hukum (wederrechtelijke) baik yang secara eksplisit maupun yang secara implisit ada dalam suatu Pasal. Meskipun adanya sifat melawan hukum yang implisit dan eksplisit dalam suatu Pasal masih dalam perdebatan, tetapi tidak disangsikan lagi bahwa unsur ini merupakan unsur yang harus ada atau mutlak dalam suatu tindak pidana agar si pelaku atau terdakwa dalam dilakukan penuntutan dan pembuktian di pengadilan.

1) Dasar Patut Dipidananya Perbuatan

a) Dasar patut dipidananya perbuatan, berkaitan erat dengan masalah sumber hukum atau landasan legalitas untuk menyatakan suatu per-buatan sebagai tindak pidana atau bukan. Seperti halnya dengan KUHP (WvS), Konsep tetap bertolak dari asas legalitas formal (ber-sumber pada Undang-Undang). Namun Konsep juga memberi tempat kepada “hukum yang hidup/hukum tidak tertulis” sebagai sumber hukum (asas legalitas materiel).

b) Dalam Konsep sebelumnya s/d konsep KUHP Nasional 2002 belum ada penegasan mengenai pedoman/kriteria/rambu-rambu untuk

19

Sudarto, R. Ali, Kedudukan Badan Hukum, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, PT Alumni, Bandung, 2000, hlm 62


(24)

menentukan sumber hukum materiel mana yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum (sumber legalitas). Namun dalam perkembangan Konsep terakhir Konsep KUHP Nasional 2004 yang sudah diserahkan kepada Menkumham pada tgl. 4 Januari 2005, sudah dirumuskan pedoman/kriteria/rambu-rambunya, yaitu “sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/ atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa”. Jadi, pedoman/kriterianya bertolak dari nilai-nilai na-sional maupun internasional. Sesuai dengan nilai-nilai nasional (Pancasila), artinya sesuai dengan nilai/paradigma moral religius, nilai/ paradigma kemanusiaan (humanis), nilai/paradigma kebangsaan, nilai/paradigma demokrasi (kerakyatan/hikmah kebijaksanaan), dan nilai/paradigma keadilan sosial. Patut dicatat, bahwa rambu-rambu yang berbunyi “sesuai dengan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa”, mengacu/bersumber dari istilah “the general principles of law recognized by the community of nations” yang terdapat dalam Pasal 15 ayat 2 ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights).

c) Sejalan dengan keseimbangan asas legalitas formal dan materiel itu, Konsep juga menegaskan keseimbangan unsur melawan hukum formal dan materiel dalam menentukan ada tidaknya tindak pidana.20 Penegasan ini diformulasikan dalam Pasal 11 Konsep 2004 yang lengkapnya berbunyi :

20

Masruchin Ruba, Mengenal Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, IKIP Malang, 1996. hlm 89


(25)

(1) “Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.

(2) Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat.

(3) Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar.

(4) Adanya formulasi ketentuan umum tentang pengertian tindak pidana dan penegasan unsur sifat melawan hukum materiel di atas, patut di-catat sebagai suatu perkembangan baru karena ketentuan umum se-perti itu tidak ada dalam KUHP.

2) Bentuk-bentuk Tindak Pidana (“Forms of Criminal Offence”)

a) Sebagaimana dimaklumi, aturan pemidanaan dalam KUHP (WvS) tidak hanya ditujukan pada orang yang melakukan tindak pidana, tetapi juga terhadap mereka yang melakukan perbuatan dalam bentuk “percobaan”, “permufakatan jahat”, “penyertaan”, “perbarengan” (con-cursus), dan “pengulangan” (recidive). Hanya saja di dalam KUHP, “permufakatan jahat” dan “recidive” tidak diatur dalam Aturan Umum Buku I, tetapi di dalam Aturan Khusus.

b) Dalam Konsep, semua bentuk-bentuk tindak pidana atau tahapan terjadinya/dilakukannya tindak pidana itu, dimasukkan dalam Ketentu-an Umum Buku I. BahkKetentu-an dalam perkembKetentu-angKetentu-an terakhir (Konsep KUHP Nasional 2004) ditambah dengan ketentuan tentang “persiapan”


(26)

(preparation) yang selama ini tidak diatur dalam KUHP dan juga belum ada dalam Konsep-konsep sebelumnya.

c) Aturan umum “permufakatan jahat” dan “persiapan” dalam Buku I Konsep, agak berbeda dengan “percobaan”.21 Perbedaannya adalah: 1. Penentuan dapat dipidananya “percobaan” dan lamanya pidana

ditetapkan secara umum dalam Buku I, kecuali ditentukan lain oleh UU; pidana pokoknya (maksimum/ minimum) dikurangi sepertiga. 2. Penentuan dapat dipidananya “permufakatan jahat” dan

“persi-apan” ditentukan secara khusus/tegas dalam UU (dalam perumus-an tindak pidana ybs.). Aturan umum hanya menentukan pengerti-an/batasan kapan dikatakan ada “permufakatan jahat” atau “persiapan”, dan lamanya pidana pokok (yaitu dikurangi dua pertiga).22

Dalam Bab Pertanggung Jawaban Pidana (Kesalahan), Konsep menegaskan secara eksplisit dalam Pasal 35 (1) “asas tiada pidana tanpa kesalahan” (“Geen straf zonder schuld”; “Keine Strafe ohne Schuld”; “No punishment without Guilt”; asas “Mens rea” atau “asas Culpabilitas”) yang di dalam KUHP tidak ada. Asas culpabilitas ini merupakan salah satu asas fundamental, yang oleh kare-nanya perlu ditegaskan secara eksplisit di dalam Konsep sebagai pasangan dari asas legalitas. Penegasan yang demikian merupakan perwujudan pula dari ide keseimbangan monodualistik.

Konsep tidak memandang kedua asas/syarat itu sebagai syarat yang kaku dan bersifat absolut. Oleh karena itu, Konsep juga memberi kemungkinan dalam hal-hal

21

M. Sholehuddin, Op.Cit. hlm 70 22


(27)

tertentu untuk menerapkan asas “strict liability”, asas “vicarious liability”, dan asas “pemberian maaf/pengampunan oleh hakim” (“rechterlijk pardon” atau “judicial pardon”).23

a. Masalah Pemidanaan

1) Tujuan dan Pedoman Pemidanaan :

Berbeda dengan KUHP yang sekarang berlaku, di dalam Konsep dirumuskan tentang “Tujuan dan Pedoman Pemidanaan”. Dirumuskan-nya hal ini, bertolak dari pokok pemikiran bahwa :

- sistem hukum pidana merupakan satu kesatuan sistem yang ber-tujuan (“purposive system”) dan pidana hanya merupakan alat/ sarana untuk mencapai tujuan;

- “tujuan pidana” merupakan bagian integral (sub-sistem) dari ke-seluruhan sistem pemidanaan (sistem hukum pidana) di samping sub-sistem lainnya, yaitu sub-sistem “tindak pidana”, “pertang-gungjawaban pidana (kesalahan)”, dan “pidana”;

- perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan dimaksudkan se-bagai fungsi pengendali/kontrol/pengarah dan sekaligus mem-berikan dasar/landasan filosofis, rasionalitas, motivasi, dan justifikasi pemidanaan;

- dilihat secara fungsional/operasional, sistem pemidanaan meru-pakan suatu rangkaian proses melalui tahap “formulasi” (kebijakan legislatif), tahap “aplikasi” (kebijakan judisial/judikatif), dan tahap “eksekusi” (kebijakan administratif/eksekutif); oleh karena itu agar ada keterjalinan dan keterpaduan atara ketiga tahap itu sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan, diperlukan perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan.

23


(28)

b. Ide-ide Dasar Sistem Pemidanaan

Sistem pemidanaan yang dituangkan di dalam Konsep, dila-tarbelakangi oleh berbagai ide-dasar atau prinsip-prinsip sbb. :

a. ide keseimbangan monodualistik antara kepentingan masyara-kat (umum) dan kepentingan individu;

b. ide keseimbangan antara “social welfare” dengan “social defence”; c. ide keseimbangan antara pidana yang berorientasi pada pelaku/ “offender”

(individualisasi pidana) dan “victim” (korban);

d. ide penggunaan “double track system” (antara pidana/punish-ment dengan tindakan/treatment/measures);

e. Ide mengefektifkan “non custodial measures (alternatives to imprisonment)”.

f. Ide elastisitas/fleksibilitas pemidanaan (“elasticity/flexibility of sentencing”);

g. Ide modifikasi/perubahan/penyesuaian pidana (“modification of sanction”; the alteration/annulment/revocation of sanction”; “redetermining of punishment”);

h. Ide subsidiaritas di dalam memilih jenis pidana;

i. Ide permaafan hakim (“rechterlijk pardon”/”judicial pardon”); j. Ide mendahulukan/mengutamakan keadilan dari kepastian hukum;24

Bertolak dari ide-ide dasar itu, maka di dalam Konsep ada ketentutuan-ketentuan yang tidak ada dalam KUHP yang berlaku saat ini, yaitu antara lain:

24


(29)

1. adanya pasal yang menegaskan asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (asas culpabilitas) yang diimbangi dengan adanya ketentuan tentang “strict liability” dan “vicarious liability” (Pasal 35);

2. adanya batas usia pertanggungajawaban pidana anak (“the age of criminal responsibility”); Pasal 46.

3. adanya bab khusus tentang pemidanaan terhadap anak (Bab III Bagian Keempat);

4. adanya kewenangan hakim untuk setiap saat menghentikan atau tidak melanjutkan proses pemeriksaan perkara pidana terhadap anak (asas diversi), Pasal 111;

5. adanya pidana mati bersyarat (Pasal 86);

6. dimungkinkannya terpidana seumur hidup memperoleh pelepasan bersyarat (Pasal 67 jo. 69);

7. adanya pidana kerja sosial; pidana pembayaran ganti rugi, dan pe-menuhan kewajiban adat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup (Pasal 62 jo 64);

8. adanya pidana minimal khusus yang disertai juga dengan aturan/pe-doman pemidanaannya atau penerapannya (Pasal 66, 82, 120, 121, 130, 137);

9. dimungkinkannya penggabungan jenis sanksi (pidana dan tindakan);

10. dimungkinkannya pidana tambahan dijatuhkan sebagai sanksi yang berdiri sendiri (Pasal 64 ayat 2);

11. dimungkinkannya hakim menjatuhkan jenis pidana lain yang tidak tercantum dalam perumusan delik yang hanya diancam dengan pida-na tunggal (Pasal 56-57);


(30)

12. dimungkinkannya hakim menjatuhkan pidana secara kumulatif wa-laupun ancaman pidana dirumuskan secara alternatif (Pasal 58);

13. dimungkinkannya hakim memberi maaf/pengampunan (“rechterlijk pardon”) tanpa menjatuhkan pidana/tindakan apapun kepada terdakwa, sekalipun telah terbukti adanya tindak pidana dan kesalahan (Pasal 52 ayat 2).

Adanya kewenangan hakim untuk tetap mempertanggungjawabkan/ memidana si pelaku walaupun ada alasan penghapus pidana, jika si pelaku patut dipersalahkan (dicela) atas terjadinya keadaan yang menjadi alasan penghapus pidana tersebut (dikenal dengan asas “culpa in causa” atau asas “actio libera in causa”); Pasal 54).

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, beradab dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan hukum. Dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di tegaskan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum, sehingga sebagai Negara yang berdasarkan atas hukum maka Negara berkewajiban untuk menegakkan keadilan dan mencegah terjadinya tindak pidana atau kejahatan di masyarakat. Pencapaian tujuan itu tentulah harus dilaksanakan oleh segenap komponen bangsa termasuk dalam konsep pemidanaan dan pelaksanaanya.

Dalam pemidanaan itu sendiri prosesnya dari laporan dari masyarakat kepada polisi, lalu polisi menyelidiki dan menyidik, setelah itu kasus dilimpahkan kepada kejaksaan. Kejaksaan akan memeriksa kasus, apakah bukti-buktinya sudah lengkap atau belum, jika sudah maka jaksa akan melakukan penuntutan dan perkara akan diperiksa dan diputus di pengadilan. Dari serangkaian proses tersebut, pemeriksaan di


(31)

setiap tahapnya memerlukan saksi sebagai alat bukti yang sah dan untuk mengetahui kebenaran materiel yang sesungguhnya dari terjadinya tindak pidana.25

Adanya keterangan dari saksi dan/atau korban yang mendengar, melihat/mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana merupakan salah satu alat bukti yang sah yang mana dapat membantu hakim untuk benarbenar menyakinkan kesalahan terdakwa hampir semua proses peradilan pidana menggunakan keterangan saksi. Keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat bergantung pada alat bukti yang berhasil diungkap atau ditemukan. Dalam proses persidangan, terutama yang berkenaan dengan saksi, banyak kasus yang tidak terungkap akibat tidak adanya saksi yang dapat mendukung tugas penegak hukum.

Dalam seluruh tahapan proses penyelesaian perkara pidana, mulai tahap penyidikan sampai pembuktian di muka sidang pengadilan, kedudukan saksi sangatlah penting, bahkan dalam praktek sering menjadi faktor penentu dan keberhasilan dalam pengungkapan suatu kasus, karena bisa memberikan alat bukti ”keterangan saksi” yang merupakan alat bukti pertama dari lima alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Berkaitan dengan peranan saksi ini, seorang praktisi hokum (hakim), Muhammad Yusuf, secara ekstrim mengatakan bahwa tanpa kehadiran dan peran dari saksi, dapat dipastikan suatu kasus akan menjadi dark number mengingat dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia yang menjadi referensi dari penegak hukum adalah testimony yang hanya dapat diperoleh dari saksi atau ahli.

2. Pengertian Pornografi

Pornografi adalah26 :

1. Suatu ungkapan dalam bentuk cerita-cerita tentang pelacuran atau prostitusi,

25

Muladi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta,2002,hal.201

26


(32)

2. Suatu ungkapan dalam bentuk tulisan tentang kehidupan erotik dengan hanya untuk menimbulkan rangsangan seks kepada pembacanya atau yang melihatnya.

Pornografi memang sering dipersepsikan dengan cara yang beragam. Interpretasi pornografi diberi batasan yang berbeda-beda. Orang bebas mengartikan pornografi dengan cara yang tidak sama. Ada pihak yang memandang pornografi sebagai seks (berupa tampilan gambar,aksi maupun teks), namun ada juga pihak yang memandang pornografi sebagai seni/art (berupa cara berbusana, gerakan, mimik, gaya, cara bicara, atau teks yang menyertai suatu tampilan).27

Namun jika dilihat dari asal katanya, sesungguhnya Pornografi berasal dari kata Yunani yaitu “porne” yang berarti pelacur dan “grape” yang berarti tulisan atau gambar. Jadi pengertian pornografi sebenarnya lebih menunjuk pada segala karya baik yang dituangkan dalam bentuk tulisan atau lukisan yang menggambarkan pelacur.28

Batasan pornografi dirumuskan secara berbeda oleh Tukan yang membatasi pornografi sebagai penyajian seks secara terisolir dalam bentuk tulisan, gambar, foto, film, video kaset, pertunjukkan, pementasan dan ucapan dengan maksud merangsang nafsu birahi.29 Sedangkan pornografi merupakan propaganda patriarchal yang menekankan perempuan adalah milik, pelayan, asisten dan mainan laki-laki.30 Pornografi adalah sebuah industri yang menjual perempuan, pornografi adalah bentuk kekerasan terhadap perempuan, pornografi menyebarkan kekerasan terhadap

27

Alex A. Rachim, Pornografi Dalam Pers Sebuah Orentasi, [Jakarta; Dewan Pers 1987], hal. 10-11

28

Ade Armando, Mengupas Batas Pornografi. Kementrian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, Jakarta, 2004, hal.1

29

Neng Djubaidah, Pornografi Pornoaksi Ditinjau Dari Hukum Islam, [Jakarta; Prenada Media, 2003, hal. 137

30

Abu Al-Ghifari, Gelombang Kejahatan Seks Remaja Modern, [Bandung; Mujahid, 2002], hal. 30.


(33)

perempuan, pornografi mendehumanisasi seluruh perempuan dan pornografi menggunakan rasisme dan anti semitisme untuk menyebarkan pelecehan seksual.31 Dari batasan-batasan tersebut di atas tampak bahwa pengertian pornografi telah mengalami pengembangan. Dari yang semula hanya mencakup karya tulis atau gambar, seiring dengan perkembangan teknologi media massa, ruang lingkup pornografi mengalami perluasan yang mencakup jenis media lain seperti televisi, radio, film, billboard, iklan dan sebagainya. Demikian pula yang menjadi objek tidak lagi hanya pelacur -dalam pengertian orang/manusia- atau kejalangan tetapi secara perlahan pornografi mencakup semua materi yang melalui berbagai media dianggap melacurkan nilai atau seolah-olah berfungsi bak seperti pelacur. Dengan demikian maka pornografi sampai pada batasan sebagai “materi” yang disajikan di media tertentu yang dapat dan atau ditujukan untuk membangkitkan hasrat seksual khalayak atau mengeksploitasi seks.32

Pengertian ‘pornografi’ secara umum telah dipahami oleh setiap individu. Dengan pola pikir individu yang berbeda, kata ‘pornografi’, terlepas dari konotasi positif dan negatifnya, memiliki sejumlah arti yang hampir sama dalam keragaman komunitas masyarakat kita. Pornografi sering dikonotasikan dengan pertunjukan seks, cabul, bagian tubuh terlarang yang dipertontonkan (khususnya perempuan), dan segala bentuk aksi yang membuat pendengar atau indidu yang menyaksikan terangsang layaknya manusia normal. 33

Secara terminologi, pornografi merupakan kata serapan dari Bahasa Inggris yang berasal dari kata dalam Bahasa Yunani ‘porne’ dan ‘graphos’ yang berarti

31

Gunawan, FX. R., 1993, Filsafat Pornografi, Bentang, Yogyakarta, hal. 15 32

Ibid, hal. 23 33

Tjipta Lesmana, Pornografi Dalam Media Massa Cet.I, PT. Penebar Swadaya, Jakarta, 1995, hal.109


(34)

gambaran atau tulisan mengenai wanita jalang. Atau dalam arti lain adalah tulisan tentang wanita susila. Berikut ini beberapa definisi mengenai pornografi34:

 Menurut definisi RUU Pornografi, "Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.

 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia : Pornografi adalah penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu berahi; bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu berahi.

Oxford English Dictionary : Pornografi adalah pernyataan atau saran mengenai hal-hal yang mesum atau kurang sopan di dalam sastra atau seni.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pornografi merupakan satu penyajian, baik dari visualisasi gambar, lukisan, foto, film, sampai diskripsi dalam tulisan, yang kesemua itu terdapat unsur seks, cabul maupun tingkah laku yang bisa membangkitkan nafsu birahi seseorang, sehingga (dengan dasar itu) dapat dikategorikan telah melecehkan hakekat dan martabat wanita, melanggar moral, ajaran agama, adat istiadat dan tradisi

Memuat Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi Pasal 1 angka 1: “Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya

34

Adami Chazawi, 2010. Tindak Pidana Pornografi, Penerbit PMN – ITS Press, Surabaya, hal. 37


(35)

melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat”.

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi ini menetapkan secara tegas tentang bentuk hukuman dari pelanggaran pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang disesuaikan dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan, yakni berat, sedang, dan ringan, serta memberikan pemberatan terhadap perbuatan pidana yang melibatkan anak. Di samping itu, pemberatan juga diberikan terhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dengan melipatgandakan sanksi pokok serta pemberian hukuman tambahan. Untuk memberikan perlindungan terhadap korban pornografi, Undang-Undang ini mewajibkan kepada semua pihak, dalam hal ini negara, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat untuk memberikan pembinaan, pendampingan, pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi. Berdasarkan pemikiran tersebut, Undang-Undang tentang Pornografi diatur secara komprehensif dalam rangka mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat Indonesia yang beretika, berkepribadian luhur, dan menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat setiap warga Negara.

3. Dampak Pornografi

Pornografi merupakan salah satu bentuk eksploitasi seks dan karenanya mempunyai korelasi dengan kekerasan terhadap perempuan karena pornografi berdampak pada kekerasan domestik dan trafficking, pornografi sendiri merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan, pornografi menempat perempuan sebagai


(36)

korban, namun pada saat yang bersamaan pornografi memposisikan perempuan sebagai pelaku (kriminalisasi) walau sebenarnya perempuan adalah sebagai korban (reviktimisasi).35

Lebih jauh lagi –secara khusus- pornografi juga dianggap sebagai salah bentuk bentuk kekerasan terhadap perempuan di media massa karena: (a) media dengan sengaja menggunakan objek perempuan untuk keuntungan bisnis mereka, dengan demikian penggunaan pornomedia dilakukan secara terencana untuk mengabaikan, menistakan dan mencampakkan harkat manusia, khususnya perempuan, (b) objek pornomedia (umumnya tubuh perempuan) dijadikan sumber kapital yang dapat mendatangkan uang, sementara perempuan sendiri menjadi subjek yang disalahkan, (c) media massa telah mengabaikan aspek-aspek moral dan perusakan terhadap nilai-nilai pendidikan dan agama serta tidak bertanggungjawab terhadap efek negatif yang terjadi di masyarakat, (d) selama ini berbagai pendapat yang menyudutkan perempuan sebagai subyek yang bertanggungjawab atas pornomedia tidak pernah mendapat pembelaan dari media massa dengan alasan pemberitaan dari media harus berimbang, (e) media massa secara politik menempatkan perempuan sebagai bagian dari kekuasaan mereka secara umum.36

Dari ulasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa perkembangan pornografi di Indonesia kian meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini dapat dilihat dari jumlah akses terhadap situs porno yang dicatat melalui Googletrends yang menempatkan Indonesia pada urutan nomer dua di dunia. Hal ini tentu meresahkan bangsa. Sebab kemudahan akses terhadap pornografi ini pada akhirnya akan melahirkan

35

Jeff Olson, 1999, Lepas Dari Jerat Pornografi (Seri Pemulihan Diri), Yogyakarta: Yayasan Gloria, hal. 28

36

Kemal Dermawan, Mohammed, Strategi Pencegahan Kejahatan Pornografi, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1994, hal 17


(37)

perilaku menyimpang yang berujung pada dekadensi moral dan tindakan asusila. Berikut ini adalah beberapa dampak yang diakibatkan dari pornografi37:

a. Resiko kultural (pergeseran nilai-nilai). Pornografi dapat mengubah pola hidup masyarakat terhadap hal-hal yang dianggap pantas berdasarkan norma kesopanan maupun agama. Kemudahan akses terhadap pornografi dapat mempengaruhi pandangan umum atau masyarakat akan nilai-nilai kehidupan. Saat ini sudah bisa terlihat jelas akibat industri pornografi, banyak nilai-nilai budaya pada masyarakat tidak dihiraukan lagi, seperti hidupnya dunia malam yang identik dengan tempat-tempat pelacuran dan meningkatnya pelaku pornografi.

b. Meningkatkanya kriminalitas. Melalui tayangan yang bersifat pornografi, seseorang dapat mengidentifikasikan dirinya sesuai dengan apa yang dipamerkan dalam tayangan pornografi tersebut. Kesalahan penyaluran perilaku seksual ini dapat berujung pada tindak kriminalitas, seperti pemerkosaan, pencabulan, maupun tindak kekerasan, baik itu terhadap perempuan bahkan anak-anak di bawah umur.

c. Resiko terhadap psikologis. Dari segi psikologis, seringnya mengkonsumsi tayangan yang bersifat pornografi dapat mengakibatkan kecanduan. Ada empat tahapan perkembangan kecanduan seksual pada konsumer pornografi :

(1) Adiksi atau ketagihan, (2) Eskalasi, yaitu peningkatan kualitas ketagihan menjadi perilaku yang semakin menyimpang, (3) Desentisisasi, yaitu semakin menipisnya sensitifitas, dan (4) Acting Out, yaitu ketika pecandu pornografi mulai melakukan tindak seksual. Pada tahap inilah tindakan asusila dan kriminalitas seksual dapat terjadi.

37


(38)

Selain itu, pornografi dapat mengganggu perkembangan seksual anak-anak dan remaja atau kaum muda. Hal ini dapat mengakibatkan kecenderungan untuk berhubungan seksual sebagai aktivitas fisik semata bukan sebagai sesuatu hal yang sakral dalam ikatan pernikahan yang sah secara hukum dan agama.

d. Resiko kesehatan. Berikut ini beberapa resiko kesehatan yang diakibatkan oleh Penyakit Menular Seks (PMS) akibat pornografi adalah Infeksi alat kelamin, komplikasi, penyakit alat kelamin dalam kronis, kanker kelamin, menular bayi dalam kandungan, dan HIV/ AIDS. Kecanduan pornografi juga dapat merusak fungsi dan struktur otak.

F. Metode Penelitian

Dalam penguraian dan penulisan skripsi ini, penlis mengumpulkan data yang diperlukan dengan menggunakan metode sebagai berikut :

Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Dalam hal ini berusaha mengumpulkan data-data melalui sarana kepustakaan, yakni dengan cara mempelajari dan menganalisa secara sistematik buku-buku, peraturan-peraturan dan bahan-bahan lainnya yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini diuraikan dalam 5 bab, dan tiap-tiap bab berbagi atas beberapa sub-sub bab, untuk mempermudah dalam memaparkan materi dari skripsi ini yang dapat digambarkan sebagai berikut :

BAB I : Pendahuluan, bab ini merupakan gambaran umum yang berisi tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan dan Manfaat


(39)

Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II : Perkembangan Peraturan Yang Berkaitan Dengan Pornografi Sebelum Keluarnya Uu No.44 Tahun 2008. Dalam bab ini berisi tentang Pornografi kaitannya dengan UU No.8 Tahun 1992 Tentang Perfilman, Pornografi Kaitannya dengan UU No.36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Pornografi Kaitannya dengan UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers, Pornografi Kaitannya dengan UU No.32 Tahun 2002 tentang penyiaran.

BAB III : Perbuatan Yang Termasuk Tindak Pidana Pornografi Menurut Uu No.44 Tahun 2008 Tentang Pornografi. Dalam bab ini berisi tentang Latar Belakang Lahirnya UU No.44 Tahun 2008, Perbuatan-Perbuatan yang Termasuk kedalam lingkup tindak pidana pornografi, Sanksi Pidana menurut UU No.44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

BAB IV : Aspek Hukum Pidana Video Porno Di Dalam Uu No.44 Tahun 2008.

Dalam bab ini berisi tentang Penyebaran Video porno sebagai salah satu bentuk tindak pidana tindak pidana pornografi, Upaya Penegakan Hukum terhadap Video Porno Menurut UU No.44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan Beberapa contoh kasus.

BAB V : Kesimpulan dan Saran. Merupakan bab penutup dari seluruh rangkaian

bab-bab sebelumnya, yang berisikan kesimpulan yang dibuat berdasarkan uraian skripsi ini, yang dilengkapi dengan saran-saran.


(40)

BAB II

PERKEMBANGAN PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PORNOGRAFI SEBELUM KELUARNYA UU NO.44 TAHUN 2008

A. Pornografi kaitannya dengan UU No.8 Tahun 1992 Tentang Perfilman

Memuat UU No.8 Tahun 1992 Tentang Perfilman Pasal 1 Perfilman adalah seluruh kegiatan yang berhubungan dengan pembuatan, jasa teknik, pengeksporan, pengimporan, pengedaran, pertunjukan, dan/atau penayangan film. Film sebagai karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar, pembinaan dan pengembangannya diarahkan untuk mampu memantapkan nilai-nilai budaya bangsa, menggelorakan semangat pengabdian dan perjuangan bangsa, memperkokoh persatuan dan kesatuan, mempertebal kepribadian dan mencerdaskan bangsa, serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia, yang pada gilirannya akan memantapkan ketahanan nasional.

Dengan bertolak dari pedoman tersebut, maka pengaturan perfilman sebagai hasil dan sekaligus cerminan budaya perlu diarahkan sehingga mampu memperkuat upaya pembinaan kebudayaan nasional. Pengaturan perfilman bukan saja dimaksudkan untuk meningkatkan jumlah dan kualitas produksi film Indonesia dalam fungsinya sebagai komoditi ekonomi, tetapi juga mengukuhkan fungsinya sebagai sarana penerangan, pendidikan, dan hiburan.

Masalah ini menjadi semakin penting, terutama apabila dikaitkan dengan kenyataan bahwa peraturan perundang-undangan yang digunakan sebagai landasan pembinaan dan pengembangan perfilman Indonesia sudah tidak memadai karena hanya mengatur segi-segi tertentu dalam kegiatan perfliman secara terpisah, yang


(41)

seringkali tidak berkaitan satu dengan yang lain. Maka, berdasarkan hal tersebut, disusunlah Undang-undang tentang Perfilman.

Pornografi yang diedarkan secara massal sama tuanya dengan mesin cetak sendiri. Hampir bersamaan dengan penemuan fotografi, teknik ini pun digunakan untuk membuat foto-foto porno. Bahkan sebagian orang mengatakan bahwa pornografi telah menjadi kekuatan yang mendorong yang mendorong teknologi dari mesin cetak, melalui fotografi foto dan gambar hidup hingga video, TV satelit dan internet. Seruanseruan untuk mengatur atau melarang teknologi-teknologi ini telah sering menyebutkan pornografi dan pornoaksi sebagai dasar keprihatinannya.

Banyak film porno seperti itu yang dibuat dalam dasawarsa-dasawarsa berikutnya, namun karena sifat pembuatannya dan distribusinya yang biasanya sembunyi-sembunyi, keterangan dari film-film seperti itu seringkali sulit diperoleh. Sementara itu, pornografi dan pornoaksi, pornoaksi, dunia Sex telah menjadi bahan pembicaraan dan sudah ada selama bertahun-tahun lalu.

Selama sejarahnya, kamera film juga telah digunakan untuk membuat pornografi dan pornoaksi, dan dengan munculnya perekam kaset video rumahan, industri film porno pun mengalami perkembangan besar-besaran dan melahirkan bintang-bintang "film dewasa" seperti Ginger Lynn, Christy Canyon, dan Traci Lords belakangan diketahui usianya di bawah usia legal, yaitu 18 tahun, pada saat membuat sebagian besar dari film-filmnya. Orang kini dapat menonton film porno dengan leluasa dalam privasi rumahnya sendiri, ditambah dengan pilihan yang lebih banyak untuk memuaskan fantasi dan fetishnya.38

38

Effendy Onong Uchyana, 1993, Televisi siaran Teori dan Praktek, Bandung, Mandar Maju hal. 51


(42)

Ditambah dengan hadirnya kamera video yang murah, orang kini mempunyai sarana untuk membuat filmnya sendiri, untuk dinikmati sendiri atau bahkan untuk dijual dan memperoleh keuntungan.

Ada yang berpendapat bahwa Sony Betamax kalah dalam perang format dari VHS dalam menjadi sistem rekam/tonton video di rumah karena industri video film biru memilih VHS ketimbang sistem Sony yang secara teknis lebih unggul. Para produsen film erotik diramalkan akan memainkan peranan penting dalam menentukan standar DVD yang akan dating. Kelengkapan outfit yang besar cenderung mendukung Cakram cahaya biru yang memiliki kapasitas tinggi, sementara kelengkapan yang kecil umumnya lebih mendukung HD-DVD yang tidak begitu mahal. Menurut sebuah artikel Reuter 2004 "Industri bermilyar-milyar dolar ini menerbitkan sekitar 11.000 judul dalam bentuk DVD setiap tahunnya, memberikannya kekuatan yang sangat besar untuk mempengaruhi pertempuran antara kedua kelompok studio dan perusahaan teknologi yang saling bersaing untuk menetapkan standar untuk generasi berikutnya".39

Sementara itu banyak juga, sejumlah pornografi dan pornoaksi dihasilkan melalui manipulasi digital dalam program-program editor gambar seperti Adobe Photoshop. Praktik ini dilakukan dengan membuat perubahan-perubahan kecil terhadap foto-foto untuk memperbiaki penampilan para modelnya, seperti misalnya menyingkirkan cacat pada kulit, memperbaiki cahaya dan kontras fotonya, hingga perubahan-perubahan besar dalam bentuk membuat photomorph dari makhluk-makhluk yang tidak pernah ada seperti misalnya gadis kucing atau gambar-gambar

39

Abdul Kholiliq. AF. RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi dalam Perspektif Politik Hukum Pidana, Makalah diskusi panel bertema “membahas RUU APP Secara akademik dan proporsional. Diselenggarakan oleh Departemen Ilmu Hukum dasar bekerja sama dengan Departemen hukum pidana UII, Yogyakarta Tanggal 16 maret 2006,


(43)

dari para selebriti yang bahkan mungkin tidak pernah memberikan persetujuannya untuk ditampilkan menjadi film porno.40

Manipulasi digital membutuhkan foto-foto sumber, tetapi sejumlah pornografi dihasilkan tanpa aktor manusia sama sekali. Gagasan tentang pornografi yang sepenuhnya dihasilkan oleh komputer sudah dipikirkan sejak dini sebagai salah satu daerah aplikasi yang paling jelas untuk grafik komputer dan pembuatan gambar tiga dimensi. Pembuatan gambar-gambar lewat komputer yang sangat realistik menciptakan dilemma-dilema etika baru. Ketika gambar-gambar khayal tentang penyiksaan atau pemerkosaan disebarkan secara luas, para penegak hukum menghadapi kesulitan-kesulitan tambahan untuk menuntut gambar-gambar otentik yang menampilkan perbuatan kriminal, karena kemungkinan gambar-gambar itu hanyalah gambar sintetik. Keberadaan foto-foto porno palsu dari para selebriti memperlihatkan kemungkinan untuk menggunakan gambar-gambar palsu untuk melakukan pemerasan atau mempermalukan siapapun yang difoto atau difilmkan, meskipun ketika kasus-kasus itu menjadi semakin lazim, pengaruhnya kemungkinan akan berkurang. Akhirnya, generasi gambar-gambar yang sama sekali bersifat sintetik, yang tidak merekam peristiwa-peristiwa yang sesungguhnya, menantang kritik-kritik konvensional terhadap pornografi dan pornoaksi.

Memuat UU No.8 Tahun 1992 tentang perfilman Pasal 13 adalah :

(1) Pembuatan film didasarkan atas kebebasan berkarya yang bertanggung jawab. (2) Kebebasan berkarya dalam pembuatan film sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

dilakukan sesuai dengan arah dan tujuan penyelenggaraan perfilman dengan memperhatikan kode etik dan nilai-nilai keagamaan yang berlaku di Indonesia. Pasal 14

(1) Usaha pembuatan film hanya dapat dilakukan oleh perusahaan pembuatan film yang memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).

(2) Pembuatan film untuk tujuan khusus dikecualikan dari ketentuan dalam ayat (1).

40


(44)

(3) Pembuatan film oleh pihak asing yang menggunakan lokasi di Indonesia dapat dilakukan atas dasar izin.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembuatan film sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) serta syarat dan tata cara untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 15

(1) Pembuatan reklame film dapat dilakukan, baik oleh perusahaan pembuatan film atau perusahaan lain yang bergerak di bidang reklame film maupun oleh perseorangan.

(2) Pembuatan reklame film dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) serta memperhatikan kesesuaiannya dengan isi film yang direklamekan.

Pasal 16

Dalam pembuatan film, artis dan karyawan film berhak mendapatkan jaminan sosial dan perlindungan hukum lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehubungan dengan kegiatan dan peran yang dilakukan berdasarkan perjanjian kerja yang dibuatnya dengan perusahaan pembuatan film. Memuat UU No.8 Tahun 1992 tentang perfilman Pasal 24 yakni Pengedaran Film Usaha pengedaran film hanya dapat dilakukan oleh perusahaan pengedar film dan perusahaan pembuatan film yang memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).

Pasal 25

Film yang dapat diedarkan hanya film yang telah dinyatakan lulus sensor oleh lembaga sensor film.

Pasal 26

(1) Kegiatan pengedaran film dilakukan dengan memperhatikan nilai-nilai keagamaan dan sosial budaya yang hidup di kalangan masyarakat di daerah yang bersangkutan.

(2) Pengaturan mengenai pengedaran film sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pertunjukan dan Penayangan Film Pasal 27

(1) Usaha pertunjukan film hanya dapat dilakukan oleh perusahaan pertunjukan film yang memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).

(2) Usaha penayangan film hanya dapat dilakukan olch perusahaan penayangan film yang memiliki izin usaha perfilman sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 28

(1) Pertunjukan film hanya dapat dilakukan dalam gedung atau tempat yang diperuntukkan bagi pertunjukan film.

(2) Pertunjukan film, selain di tempat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan bukan oleh perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), hanya dapat dilakukan untuk tujuan tertentu.

(3) Penayangan film dilakukan melalui stasiun pemancar penyiaran atau perangkat clektronik lainnya yang khusus ditujukan untuk menjangkau khalayak pemirsa. (4) Ketentuan mengenai pertunjukan dan penayangan film sebagaimana dimaksud


(45)

Pasal 29

(1) Pertunjukan film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2), dilakukan dengan memperhatikan ketentuan penggolongan usia penonton yang telah ditetapkan bagi film yang bersangkutan.

(2) Penayangan film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3), dilakukan dengan memperhatikan ketentuan penggolongan usia penonton yang penayangannya disesuaikan dengan waktu yang tepat.

Pasal 30

Pertunjukan dan penayangan reklame film selain memperhatikan ketentuan Pasal 29, harus memperhatikan kesesuaiannya dengan isi film yang direklamekan.

Pasal 31

(1) Pemerintah dapat menarik suatu film apabila dalam peredaran dan/atau pertunjukan dan/atau penayangannya ternyata menimbulkan gangguan terhadap keamanan, ketertiban, ketenteraman, atau' keselarasan hidup masyarakat.

(2) Produser atau pemilik film yang terkena tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat melakukan pembelaan melalui saluran hukum.

Pasal 32

Film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), hanya dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan untuk masyarakat apabila:

a. telah lulus sensor; b. tidak dipungut bayaran. Sensor Film

Pasal 33

(1) Untuk mewujudkan arah dan tujuan penyelenggaraan perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4, setiap film dan reklame film yang akan diedarkan, diekspor, dipertunjukkan, dan/atau ditayangkan wajib disensor.

(2) Penyensoran dapat mengakibatkan bahwa sebuah film: a. diluluskan sepenuhnya;

b. dipotong bagian gambar tertentu; c. ditiadakan suara tertentu;

d. ditolaknya seluruh film; untuk diedarkan, diekspor, dipertunjukkan, dan/atau ditayangkan.

(3) Sensor film dilakukan, baik terhadap film dan reklame film yang dihasilkan oleh perusahaan pembuatan film maupun terhadap film impor.

(4) Film dan reklame film yang telah lulus sensor diberi tanda lulus sensor oleh lembaga sensor film.

(5) Selain tanda lulus sensor, lembaga sensor film juga menetapkan penggolongan usia penonton bagi film yang bersangkutan.

(6) Film, reklame film, atau potongannya yang ditolak oleh lembaga sensor film dilarang diedarkan, diekspor, dipertunjukkan, dan/atau ditayangkan, kecuali untuk kepentingan penelitian dan/atau penegakan hukum.

(7) Terhadap film yang ditolak oleh lembaga sensor film, perusahaan film atau pemilik film dapat mengajukan keberatan atau pembelaan kepada badan yang berfungsi memberikan pertimbangan dalam masalah perfilman.

Pasal 34

(1) Penyensoran film dan reklame film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, dilakukan oleh sebuah lembaga sensor film.

(2) Penyelenggaraan sensor film dan reklame film dilakukan berdasarkan pedoman dan kriteria penyensoran.


(46)

(3) Pembentukan, kedudukan, susunan keanggotaan, tugas, dan fungsi lembaga sensor film, serta pedoman dan kriteria penyensoran diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

KETENTUAN PIDANA Pasal 40

Dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) :

a. barang siapa dengan sengaja mengedarkan, mengekspor, mempertunjukkan dan/atau menayangkan film dan/atau reklame film yang ditolak oleh lembaga sensor film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (6); atau

b. barang siapa dengan sengaja mengedarkan, mengekspor, mempertunjukkan dan/atau menayangkan potongan film dan/atau suara tertentu yang ditolak oleh lembaga sensor film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (6); atau c. barang siapa dengan sengaja mengedarkan, mengekspor, mempertunjukkan

dan/atau menayangkan film yang tidak disensor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1).

Pasal 41

(1) Dipidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) :

a. barang siapa melakukan usaha perfilman tanpa izin (usaha perfilman) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), Pasal 17, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 24, dan Pasal 27; atau

b. barang siapa mengedarkan, mengekspor, mempertunjukkan atau menayangkan reklame film yang tidak disensor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1); atau

c. barang siapa melakukan kerjasama dengan perusahaan perfilman asing tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1).

(2) Ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditambah sepertiga jika perusahaan perfilman yang tidak memiliki izin usaha perfilman, mengedarkan, mengekspor, mempertunjukkan, dan/atau menayangkan film dan/atau reklame film yang tidak memiliki tanda lulus sensor.

B. Pornografi Kaitannya dengan UU No.36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi

Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan/atau penerimaan dan setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui system kawat, optik, radio, atau siaran elektromagnetik lainnya.41

Penghentian kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi dapat dilakukan oleh pemerintah setelah diperoleh informasi yang patut didugadengan kuat dan

41


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Ilmu hukum sebagai sebuah kajian sarat akan nilai-nilai moral sehingga pada setiap praktek penegakan hukum selalu mempertimbangkan nilai-nilai yang hidup didalam masyarakat yang terkait dengan nilai-nilai moralitas, permasalahan pornografi merupakan fenomena yang harus disikapi dengan arif, karena hal ini terkait dengan permasalahan nilai moralitas dan budaya bangsa. Pro dan kontra terhadap permaalahan pornografi merupakan bukti adanya kepedulian bangsa Indonesia terhadap nilai-nilai moralitas dan hak asasi manusia. Namun demikian permasalahan pornografi sudah demikian komplek sehingga pemerintah harus menentukan alternatif penyelesaian masalah tersebut, kebijakan yang diambil Negara dalam hal ini adalah kebijkan penal yaitu kebijakan dengan menggunakan peraturan perundang-undangan. Sehingga pemerintah mengesahkan RUU menjadi undang-undang yakni UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang pornografi yang dijadikan acuan normative penyelesaian permasalahan pornografi.

2. Upaya untuk mengarahkan tuduhan bahwa pornografi yang marak di tengah masyarakat disebabkan karena masuknya budaya Barat yang serba vulgar. Hal ini semakin diperkuat dengan berbagai citra, berita dan hiburan yang dipasarkan oleh industri media massa dan hiburan Barat.

3. Perlindungan hukum anak akibat pornografi harus diupayakan dengan sungguh-sungguh dan nyata, yaitu dengan membuat pengaturan dalam bentuk undang-undang seperti Undang-undang No. 44 Tahun 2008 dan upaya


(2)

penegakkannya karena dampak negatif dari pornografi sangat luar biasa besarnya dan akan mempengaruhi moral bangsa dimasa-masa yang akan datang.

B. Saran

1. Semua pihak harus berpikir positif dan lebih bijak dalam menyikapinya. Tampaknya sejauh ini mungkin tidak ada aturan positif yang malah merugikan. Kalaupun itu terjadi mungkin harus dikaji lebih tarif bahwa benturan itu terjadi karena perilaku tersebut mungkin tidak sesuai dengan harkat martabat universal yang dianut manusia berbudaya dan beragama. Jangan sampai hal mulia ini dijadikan alat komoditas.

2. Kebijakan kriminalisasi terhadap perbuatan dalam pornografi harus terus diharmonisasikan seiring maraknya kejahatan di dunia cyber yang semakin canggih. Hal ini disebabkan tindak pidana teknologi informasi yang tidak mengenal batasbatas teritorial dan beroperasi secara maya oleh karena itu menuntut pemerintah harus selalu berupaya mengantisipasi aktivitas-aktivitas baru yang diatur oleh hukum yang berlaku.

3. Perlu Aturan pemidanaan terhadap penyertaan, percobaan, dan pengulangan (residive) terhadap tindak pidana teknologi informasi. Pemidanaan yang sama terhadap penyertaan dan pencobaan serta ada pemberatan terhadap perbuatan pengulangan dimaksudkan untuk menghindari terjadinya ketidakadilan hukum dan sebagai upaya untuk kesejahteraan sosial (sosial welfare) dan untuk perlindungan masyarakat (social defence).


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Adami Chazawi, 2010. Tindak Pidana Pornografi, Penerbit PMN – ITS Press, Surabaya.

—————, 2010. Hukum Pidana Positif Penghinaan, Penerbit PMN – ITS Press, Surabaya

—————, 2007. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3 Percobaan dan Penyertaan, Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Ade Armando, Mengupas Batas Pornografi. Kementrian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, Jakarta

Alex A. Rachim, Pornografi Dalam Pers Sebuah Orentasi, [Jakarta; Dewan Pers 1987]

Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, dari Retribusi ke Reformasi, Pradnya Paramitha, Jakarta, 1985.

__________, Pornografi dalam Hukum Pidana, Suatu studi Perbandingan, CV. Bina Mulia, Jakarta, 1997.

Azimah Soebagijo. 2008. Pornografi Dilarang Tapi Dicari. Jakarta: Gema Insani. Barda Nawawi Arief. 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penaggulangan dan

Penegakan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Djoko Prakoso, Hukum Penitensier di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988

D. Schaffmeister, etc (ed) J. E. Sahetapy, Hukum Pidana, Konsorsium Ilmu Hukum, Departemen P & K, Liberty Yogyakarta, 1995

Eddy Rifai, Peranan Media massa dalam Penegakan Hukum Pidana (Suatu Studi Tentang Sarana Non Panel dalam Kebijakan Penanggulangan Kejahatan), UI, Depok, 1999.

Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.

Effendy Onong Uchyana, 1993, Televisi siaran Teori dan Praktek, Bandung, Mandar Maju.

Gunawan, FX. R., 1993, Filsafat Pornografi, Bentang, Yogyakarta.

Jeff Olson, 1999, Lepas Dari Jerat Pornografi (Seri Pemulihan Diri),Yogyakarta: Yayasan Gloria.


(4)

Kemal Dermawan, Mohammed, Strategi Pencegahan Kejahatan Pornografi, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1994.

KUHP Terjemahan BPHN

Martiman Prodjohamodjojo, Memahami Dasa – dasar Hukum Pidana Indonesia, Pradnya Paramitha, Jakarta, 1996.

Masruchin Ruba, Mengenal Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, IKIP Malang, 1996.

Mufid Muhammad, 2005, Komunikasi dan Regulasi Penyiaran, Jakarta, PrenadaMedia.

M. Abdulkadir, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Adityan Bakti, bandung, 2004. M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada,

Jakarta, 2003

Muladi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta, 2002.

Noor MS Bakry. 1994. Pancasila Yuridis Kenegaraan. Yogyakarta: Liberty. Oemar seno Adji, Mass Media dan Hukum. Cet.II, Erlangga, Jakarta, 1997. P. A. F Lamintang, Hukum Penintensier Indonesia, Amico, Bandung, 1984.

Rahardjo, Agus, Cybercrime pemahaman dan upaya pencegahan kejahatan berteknologi, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.

Reinhard Golose, Petrus, Penegakan Hukum Cybercrime dalam Sistem Hukum Indonesia dalam Handout Seminar Pembuktian dan Penanganan Cybercrime di Indonesia, FHUI, Jakarta.

Remmelink, Jan. 2003. Hukum Pidana Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Padananya dalam KUHP Indonesia. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Romli Atmasasmita. Strategi Pembinaan Hukum, Alumni FH-UI. Jakarta. 1992. Ruswandi Awing, Mengoptimalkan Lembaga Penyiaran Publik dan Komunitas,

http://staff.blog.ui.ac.id

Sudibyo Agus, 2004, Ekonomi Politik Media Penyiaran, Yogyakarta, LKiS

Suherman, Ade Maman, 2002, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Ghalia Indonesia, Jakarta.


(5)

Sudarto, R. Ali, Kedudukan Badan Hukum, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, PT Alumni, Bandung, 2000.

Tjipta Lesmana, 1995, Pornografi dalam Media Massa, Puspa Swara, Jakarta.

Wisnusubroto, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Komputer, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 1999.

W. Poespoprojo. 1998. Filsafat Moral Kesusilaan dalam Teori dan Praktek. Bandung: Pustaka Grafika.

Internet

http://qnoyzone.blogdetik.com/index.php/2010/06/21/opini-video-porno-dan-matinya-logika-hukum-di-indonesia/ 31 Agustus 2010

http://bumnwatch.com/ariel-peterpan-tersangka-video-porno/ 2 September 2010

https://korananakindonesia.wordpress.com/2010/06/23/kasus-video-porno-ariel-luna-dan-cut-tari-ditahan/ 2 September 2010

http://entertainment.kompas.com/read/2010/06/22/10133543/Ariel.Tersangka 2 September 2010

http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php keyword : pornografi, 2 September 2010

http://www.rollingstone.co.id/read/2010/07/27/792/8/2/Ariel-Video-Hukum-Pidana, 3 September 2010

http://www.jkmhal.com/main.php?sec=content&cat=1&id=13549, 3 September 2010 http://berita.witanto.com/2010/06/ariel-tersangka-kasus-video-porno/85,3September

2010

http//www.kompas.com/kompas%2Dcetak/9907/28/opini/porn.htm, 4 September 2010 http://www.kompas.com/kompas-cetak/0605/29/swara/2683713.htm, 5 September


(6)

Artikel, Makalah

Abdul Kholiliq. AF. RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi dalam Perspektif Politik Hukum Pidana, Makalah diskusi panel bertema “membahas RUU APP Secara akademik dan proporsional. Diselenggarakan oleh Departemen Ilmu Hukum dasar bekerja sama dengan Departemen hukum pidana UII, Yogyakarta Tanggal 16 maret 2006

Barda Nawawi Arif, 2001, paya non penal dalam kebijakan penanggulangan kejahatan, Makalah seminar Nasional kriminologi VI, Fakultas Hukum UNDIP, Semarang

Donny Danardono, Tak Mungkinnya Norma Hukum Antipornografi, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0605/29/swara/2683713.htm

Jeremias Jena, Mendefinisikan pornografi, http://www.freelists.org/archives/ppi/05-2006/msg00416.html

Jurnal Perempuan edisi Pornografi no. 38, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, Cet. I, November 2004

Reinhard Golose, Petrus, Penegakan Hukum Cybercrime dalam Sistem Hukum Indonesia dalam Handout Seminar Pembuktian dan Penanganan Cybercrime di Indonesia, FHUI, Jakarta, 12 April 2007

Santoso, Edhi, Pornografi: Ada Apa Denganmu, artikel dalam Suara APIK, ed. 25, Jakarta: LBH APIK, 2005

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers

Undang-Undang No.8 Tahun 1992 Tentang Perfilman

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi


Dokumen yang terkait

Analisis Hukum Perdata Tentang Syarat Sah Kontrak Berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

9 219 88

Analisis Yuridis terhadap Tindak Pidana Pemilu dalam UU Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD

4 92 146

Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Teknologi Informasi Dari Perspektif UU NO. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

0 47 112

Penerapan UU No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi Terhadap Penjual Vcd/Dvd Porno (Studi Putusan No. 1069/Pid.B/2010/Pn.Bdg)

5 89 91

IMPLEMENTASI PENEGAKAN SANKSI PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI Implementasi Penegakan Sanksi Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Boyolali).

0 4 20

PERBANDINGAN PENGATURAN TINDAK PIDANA PORNOGRAFI DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DAN UNDANG- UNDANG NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI.

0 1 8

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PEMBUAT SITUS PROSTITUSI ONLINE BERDASARKAN UU NO 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI DAN UU NO 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK.

0 1 1

uu no 44 tahun 2008 tentang pornografi

0 2 13

uu no. 44 tahun 2008 tentang pornografi

0 0 10

BAB III PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK YANG MENJADI OBJEK PORNOGRAFI DALAM UU NO 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI A. DAMPAK PORNOGRAFI - Kajian Juridis Terhadap Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Ponografi Terhadap Perlindungan Anak Sebagai objek Tinda

0 0 28