Analisis Yuridis terhadap Tindak Pidana Pemilu dalam UU Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD

(1)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PEMILU

DALAM UU NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN

UMUM ANGGOTA DPR, DPD DAN DPRD

Oleh :

AMARDI PETRUS BARUS

077005111 / HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

Judul Tesis :

N a m a : Amardi Petrus Barus

ANALISIS YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PEMILU DALAM UU NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DPR, DPD DAN DPRD

N I M : 077005111

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Ketua

Prof. Dr. Suhaidi,S.H.M.H.

Dr. Faisal Akbar Nasution S.H.M.Hum. Syafruddin S Hasibuan,S.H.M.H Anggota Anggota

.

Ketua Program Studi Dekan Fakultas Hukum


(3)

ABSTRAK

Penyelengaraan Pemilihan Umum sebagai peristiwa politik tidak mungkin dilepaskan dari persoalan-persoalan penegakan hukum. Begitu banyak ketentuan dalam perundangan Pemilihan Umum yang mengatur tindak pidana Pemilihan umum yang penegakannya harus didasarkan pada mekanisme hukum acara pidana biasa. Permasalahan hukum Pemilihan umum yang penyelesaiannya memerlukan putusan lembaga peradilan terbagi dalam dua jenis masalah, yaitu Perselisihan Hasil Pemilihan umum yang diatur dalam ketentuan Pasal 258 dan Pasal 259 dan tindak pidana Pemilihan umum yang diatur dalam Pasal 260 sampai dengan Pasal 310 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008. Adapun permasalahan dalam Tesis ini adalah : Bagaimanakah pengaturan tentang tindak pidana dalam UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, Bagaimanakah proses penyelesaian pelanggaran tindak pidana pemilihan umum di Indonesia serta Bagaimanakah hambatan yang dihadapi para penegak hukum dalam penanganan perkara tindak pidana pemilihan umum

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan, yang berkaitan dengan analisis yuridis terhadap tindak pidana pemilihan umum dalam UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Pada penelitian hukum normatif yang dipergunakan adalah merujuk pada sumber bahan hukum, yakni penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam perangkat hukum.

Aturan perundangan pidana pemilu setidaknya merupakan sistem yang sengaja diciptakan dalam rangka terus menerus memperbaiki kualitas demokrasi, adalah tidak akan terhindarkan kepentingan politis golongan mewarnai sistem perundang-undangan. Jika bandul kekuatan politik sarat mewarnai sistem perundangan pemilihan umum yang mengarah pada negasi (pengingkaran) terhadap nilai-nilai demokrasi. Sistem penegakan hukum tindak pidana pemilihan umum yang diatur dalam UU No. 10 tahun 2008 nampak begitu komprehensif, karena kriminalisasi terjadi hampir pada seluruh tindakan penyelenggara pemilihan umum yang diasumsikan menyimpang dan merugikan masyarakat pemilih maupun peserta pemilihan umum pada setiap tahapan pemilihan umum. Di sisi yang lain “nuansa cepat” dalam penegakkannya berpotensi menimbulkan permasalahan-permasalahan yang setidaknya juga dapat diakomodir oleh sistem hukum pidana yang bersifat umum.

Kata Kunci: -Analisis Yuridis -Tindak Pidana Pemilu


(4)

ABSTRACT

Electoral Organizing as a political event can not be separated from issues of law enforcement. So many provisions in the legislation governing the Electoral crime elections enforcement mechanisms should be based on ordinary criminal procedural law. The election law problems who resolution requiring the decision of the judiciary is divided into two kinds of problems, namely the general election result disputes as stipulated in the provisions of Article 258 and Article 259 and the general election offenses under Article 260 through Article 310 of Law Number 10 Year 2008. The problem in this thesis is: How does the arrangement of crime in Law. 10 year 2008 about the general election for DPR, DPD and DPRD, How is the process of settlement of criminal violations of general elections in Indonesia and How obstacles faced by law enforcement agencies in the handling of election crimes.

The method used in this research is normative legal research. Normative legal research is research that refers to the legal norms contained in legislation and court decisions, relating to the juridical analysis of election offenses in Law no. 10 year 2008 regarding the Election of Members of DPR, DPD and DPRD. On normative legal research that was used is referred to sources of legal materials, namely research, which refers to the legal norms contained in the law.

Criminal laws and the election at least a system that deliberately created in order to continuously improve the quality of democracy, is no political interest groups will inevitably color the regulatory system. If the pendulum of political power laden coloring legislative election system that leads to the negation (denial) to the values of democracy. Criminal law enforcement system of elections as stipulated in Law no. 10 years old in 2008 looked so comprehensive, because it happened almost on the criminalization of all acts which are assumed to administering elections distorted and detrimental to the community of voters and participants at every stage in the general election elections. On the other side "fast nuances" in the enforceability potentially cause the least problems can also be accommodated by the criminal justice system is general.

Keywords:- Juridical Analysis - Crime-Election


(5)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama penulis mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan Tesis ini dapat penulis selesaikan dengan baik, walaupun penulis menyadari sepenuhnya bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan dikarenakan beberapa faktor teknis yang sangat terbatas.

Adapun Tesis ini berjudul “Analisis Yuridis terhadap Tindak Pidana Pemilu dalam UU Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD”, yang merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan Program Studi Magister Ilmu Hukum, Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara.

Di dalam menyelesaikan Tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan baik berupa bimbingan, pengajaran dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat para pembimbing: Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H., Dr. Faisal Akbar Nasution, S.H., M.Hum., dan Syafruddin S Hasibuan, S.H., M.H. dimana di tengah-tengah kesibukannya masih tetap meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, petunjuk, dan mendorong semangat penulis untuk menyelesaikan penulisan Tesis ini.

Perkenankanlah juga, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian studi ini, kepada :


(6)

1. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Ibu Prof. Dr. Ir. T.Chairun Nisa B, M.Sc, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

2. Dekan Fakultas Hukum USU, Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH.M.Hum., atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum USU.

3. Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H., sebagai Pembimbing Utama penulis, yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing penulisan dalam penulisan Tesis ini, serta dorongan dan masukan kepada penulis sehingga tesis ini selesai di tulis.

4. Prof. Dr. H. Bismar Nasution, S.H., M.H., sebagai Ketua Program studi Magister Ilmu Hukum sekaligus sebagai Komisi Pembimbing dengan penuh perhatian memberikan dorongan, bimbingan dan saran kepada penulis.

5. Dr. Faisal Akbar Nasution, S.H., M.Hum., sebagai Komisi Pembimbing, dengan penuh perhatian memberikan arahan serta dorongan dalam penulisan Tesis ini.

6. Syafruddin S. Hasibuan, S.H., M.H., sebagai Komisi Pembimbing, dengan penuh perhatian memberikan arahan serta dorongan dalam penulisan Tesis ini.


(7)

7. Kedua Orang Tua Tercinta yang mendidik dengan penuh rasa kasih sayang, menanamkan budi pekerti yang luhur serta iman kepada Tuhan Yang Maha Esa.

8. Kepada Kakak dan Abang yang Penulis sayangi, atas kesabaran dan pengertiannya serta memberikan do’a dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan Tesis ini.

9. Kepada Rekan-rekan di Sekolah pascasarjana, dan rekan-rekan yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas jasa, amal dan budi baik tersebut dengan pahala yang berlipat ganda.

Akhirnya penulis berharap semoga Tesis ini dapat memberi manfaat dan menyampaikan permintaan yang tulus jika seandainya dalam penulisan Tesis ini terdapat kekurangan dan kekeliruan di sana-sini, penulis juga menerima kritik dan saran yang bertujuan serta bersifat membangun untuk menyempurnakan penulisan Tesis ini.

Medan, Desember 2010 Penulis,


(8)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Amardi Petrus Barus

Tempat/Tanggal lahir : Medan, 31 Maret 1976 Jenis kelamin : Laki-laki

Agama : Katolik

Pekerjaan/Jabatan : PNS/Kepala Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Negeri Siantar Simalungun

Alamat : Jl. Flamboyan Raya No. 58 A Simpang Medan

Permai – Tanjung Selamat Medan

Pendidikan : SD Negeri No. 163080 Kotamadya Tebing

Tinggi Tamat Tahun 1988

SMP Swasta Katolik Budi Murni 3 Kotamadya Medan Tamat Tahun 1991

SMA Swasta Katolik Budi Murni 1 Kotamadya Medan Tamat Tahun 1994

Strata Satu (S-1) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Tamat Tahun 1998

Strata Dua (S-2) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Tamat Tahun 2010


(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Penelitian... 1

B. Perumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 13

E. Keaslian Penulisan ... 13

F. Kerangka Teori dan Konsepsional ... 14

1. Kerangka Teori... 14

2. Konsepsional ... 25

G. Metode Penelitian ... 29

BAB II : PENGATURAN TINDAK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NO. 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DPR, DPD DAN DPRD………... 34

A. Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Pemilu ... 34

B. Pengaturan Tindak Pidana dalam UU No.10 tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD ... 43

1. Pelanggaran Pidana Pemilu………....……… 43


(10)

3. Ketentuan Pidana……….…………46

BAB III : PROSES PENYELESAIAN PELANGGARAN TINDAK PIDANA PEMILU DI INDONESIA ……… 50

A. Penyelesaian Pelanggaran Pidana Pemilu ... 50

B. Perspektif Penegakan Hukum Tindak Pidana Pemilu ... 59

C. Batas Waktu Penanganan Pelanggaran Pemilu ... 63

1. Mekanisme Pelaporan ... 63

2. Mekanisme Penyelesaian Pelanggaran Administrasi ... 64

3. Mekanisme Penyelesaian Pelanggaran Pidana Pemilu ... 65

3.1. Proses Penyidikan ... 65

3.2. Proses Penuntutan ... 67

3.3. Proses Persidangan ... 69

3.4. Proses Pelaksanaan Putusan ... 70

4. Perselisihan Hasil Perolehan Suara ... 71

D. Pedoman Penanganan Perkara Tindak Pidana Pemilu ... 73

BAB IV : HAMBATAN YANG DIHADAPI PARA PENEGAK HUKUM DALAM PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMILU………. 87

A. Potensi Problem Penegakan Hukum Tindak Pidana Pemilu ... 87

B. Hambatan Yang Dihadapi Para Penegak Hukum Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Pemilu ... 94

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 100

A. Kesimpulan ... 100


(11)

DAFTAR PUSTAKA ... 103 Lampiran I : Ketentuan Pidana Pemilu ... 107 Lampiran II : Tahapan penyelenggaraan Pemilihan Umum Anggota DPR,

DPD dan DPRD Tahun 2009 sebagaimana yang ditetapkan dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor

09 Tahun 2008 tanggal 3 April 2008 ... 125 Lampiran III : Pola Penanganan Perkara Tindak Pidana Pemilu ... 128


(12)

ABSTRAK

Penyelengaraan Pemilihan Umum sebagai peristiwa politik tidak mungkin dilepaskan dari persoalan-persoalan penegakan hukum. Begitu banyak ketentuan dalam perundangan Pemilihan Umum yang mengatur tindak pidana Pemilihan umum yang penegakannya harus didasarkan pada mekanisme hukum acara pidana biasa. Permasalahan hukum Pemilihan umum yang penyelesaiannya memerlukan putusan lembaga peradilan terbagi dalam dua jenis masalah, yaitu Perselisihan Hasil Pemilihan umum yang diatur dalam ketentuan Pasal 258 dan Pasal 259 dan tindak pidana Pemilihan umum yang diatur dalam Pasal 260 sampai dengan Pasal 310 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008. Adapun permasalahan dalam Tesis ini adalah : Bagaimanakah pengaturan tentang tindak pidana dalam UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, Bagaimanakah proses penyelesaian pelanggaran tindak pidana pemilihan umum di Indonesia serta Bagaimanakah hambatan yang dihadapi para penegak hukum dalam penanganan perkara tindak pidana pemilihan umum

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan, yang berkaitan dengan analisis yuridis terhadap tindak pidana pemilihan umum dalam UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Pada penelitian hukum normatif yang dipergunakan adalah merujuk pada sumber bahan hukum, yakni penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam perangkat hukum.

Aturan perundangan pidana pemilu setidaknya merupakan sistem yang sengaja diciptakan dalam rangka terus menerus memperbaiki kualitas demokrasi, adalah tidak akan terhindarkan kepentingan politis golongan mewarnai sistem perundang-undangan. Jika bandul kekuatan politik sarat mewarnai sistem perundangan pemilihan umum yang mengarah pada negasi (pengingkaran) terhadap nilai-nilai demokrasi. Sistem penegakan hukum tindak pidana pemilihan umum yang diatur dalam UU No. 10 tahun 2008 nampak begitu komprehensif, karena kriminalisasi terjadi hampir pada seluruh tindakan penyelenggara pemilihan umum yang diasumsikan menyimpang dan merugikan masyarakat pemilih maupun peserta pemilihan umum pada setiap tahapan pemilihan umum. Di sisi yang lain “nuansa cepat” dalam penegakkannya berpotensi menimbulkan permasalahan-permasalahan yang setidaknya juga dapat diakomodir oleh sistem hukum pidana yang bersifat umum.

Kata Kunci: -Analisis Yuridis -Tindak Pidana Pemilu


(13)

ABSTRACT

Electoral Organizing as a political event can not be separated from issues of law enforcement. So many provisions in the legislation governing the Electoral crime elections enforcement mechanisms should be based on ordinary criminal procedural law. The election law problems who resolution requiring the decision of the judiciary is divided into two kinds of problems, namely the general election result disputes as stipulated in the provisions of Article 258 and Article 259 and the general election offenses under Article 260 through Article 310 of Law Number 10 Year 2008. The problem in this thesis is: How does the arrangement of crime in Law. 10 year 2008 about the general election for DPR, DPD and DPRD, How is the process of settlement of criminal violations of general elections in Indonesia and How obstacles faced by law enforcement agencies in the handling of election crimes.

The method used in this research is normative legal research. Normative legal research is research that refers to the legal norms contained in legislation and court decisions, relating to the juridical analysis of election offenses in Law no. 10 year 2008 regarding the Election of Members of DPR, DPD and DPRD. On normative legal research that was used is referred to sources of legal materials, namely research, which refers to the legal norms contained in the law.

Criminal laws and the election at least a system that deliberately created in order to continuously improve the quality of democracy, is no political interest groups will inevitably color the regulatory system. If the pendulum of political power laden coloring legislative election system that leads to the negation (denial) to the values of democracy. Criminal law enforcement system of elections as stipulated in Law no. 10 years old in 2008 looked so comprehensive, because it happened almost on the criminalization of all acts which are assumed to administering elections distorted and detrimental to the community of voters and participants at every stage in the general election elections. On the other side "fast nuances" in the enforceability potentially cause the least problems can also be accommodated by the criminal justice system is general.

Keywords:- Juridical Analysis - Crime-Election


(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Amandemen Undang-undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945 Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar. Sebagai tindak lanjut dari UUD 1945 tersebut, Undang-undang telah menetapkan bahwa anggota DPR, DPD, DPRD dan Presiden serta Wakil Presiden, dipilih secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, setiap 5 (lima) tahun sekali.1

Pemilihan Umum secara langsung oleh rakyat tahun 2009 ini merupakan pemilihan langsung yang kedua setelah Pemilu 2004 lalu, yang merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.2

Dalam penyelenggaraan Pemilu, sangat sulit dihindari terjadinya pelanggaran dan sengketa, karena dalam penyelenggaraan Pemilu banyak sekali kepentingan yang terlibat, apalagi secara jujur harus di akui, bahwa tingkat kesadaran berdemokrasi masyarakat , relatif masih rendah. Yang perlu di jaga, agar pelanggaran dan sengketa tersebut tidak menimbulkan gejolak dan tindakan anarkis dalam masyarakat. Jalan

1

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, Pedoman Penanganan Perkara Tindak Pidana Pemilu, (Kejaksaan Agung RI, (Jakarta 1 Juli 2008), hal.1

2


(15)

yang terbaik untuk mengatasi masalah ini, adalah dengan cara menyelesaikan semua pelanggaran dan sengketa melalui jalur hukum, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.3

Penyelenggaraan Pemilihan Umum sebagai peristiwa politik tidak mungkin dilepaskan dari persoalan-persoalan penegakan hukum. Begitu banyak ketentuan tentang Pemilihan Umum terutama yang mengatur tindak pidana Pemilu dimana pelaksanaannya didasarkan pada mekanisme hukum acara pidana.

Problemnya adalah dapatkah tindak pidana Pemilu yang bernuansa politik harus diselesaikan cepat penyelesaiannya didasarkan pada hukum acara dalam keadaan normal. Atau seberapa besar pengaruh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, mengakomodir kepentingan ketepatan Pemilu yang terjadwal ketat dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana Pemilu.4

Permasalahan hukum Pemilu yang penyelesaiannya memerlukan putusan lembaga peradilan terbagi dalam dua jenis masalah, yaitu Perselisihan Hasil Pemilu yang diatur dalam ketentuan Pasal 258 dan Pasal 259 dan tindak pidana Pemilu yang diatur dalam Pasal 260 sampai dengan Pasal 310 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008. 5

3

Rozali Abdullah, Mewujudkan Pemilu yang Lebih Berkualitas, (Jakarta : Rajawali Pers 2009) hal.265.

4

Abdul Fickar Hadjar

5


(16)

Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara Komisi Pemilihan Umum dengan peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional yang dapat mempengaruhi perolehan kursi peserta Pemilu, yang hanya dapat diajukan permohonan pembatalannya kepada Mahkamah Konstitusi, paling lama 3 x 24 jam sejak diumumkan.

Sedangkan Tindak Pidana Pemilihan Umum berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008, didefenisikan sebagai pelanggaran terhadap ketentuan pidana Pemilu yang diatur dalam Undang-undang ini yang penyelesaiannya melalui pengadilan pada peradilan umum, sedangkan pelanggaran yang bersifat administratif diselesaikan melalui KPU dan Badan Pengawas Pemilu serta aparat di bawahnya.

Dalam konteks pengaturan tindak pidana, sesungguhnya UU Pemilu merupakan Undang-undang khusus (lex specialis) karena mengatur tindak pidana yang diatur dalam UU Pemilu. Secara umum KUHP (lex generalis) juga telah mengaturnya dalam Pasal 148 sampai dengan Pasal 153 KUHP. Begitu ketatnya UU Nomor 10 Tahun 2008 mengatur perihal tindak pidana Pemilu. Hal ini terlihat dari terjadinya kriminalisasi terhadap hampir seluruh perbuatan / tindakan dalam setiap tahapan pelaksanan Pemilu yang menghambat terlaksananya Pemilu.6

Tidak hanya ketat, dibandingkan dengan UU Nomor 12 Tahun 2003 yang hanya mengatur 31 Pasal tentang tindak pidana Pemilu, UU Nomor 10 Tahun

6


(17)

2008 ini mengaturnya sampai sejumlah 51 pasal. Dari 51 Pasal yang mengatur tindak pidana Pemilu, sebagian besar (40 pasal) mengancam penyelenggara Pemilu tingkat pusat (KPU) sampai dengan tingkat Desa (PPS). Hanya 11 ketentuan yang tidak langsung ditujukan kepada penyelengara Pemilu, bahkan berdasarkan ketentuan Pasal 311 UU Nomor 10 Tahun 2008, penyelenggara Pemilu ditambah hukumannya 1/3 dalam melakukan tindak pidana yang ditujukan pada subjek lain selain penyelenggara Pemilu. Subjek lain yang dapat dikenai tindak pidana Pemilu antara lain: setiap orang (umum), Pelaksana Kampanye (orang partai atau event organizer), Pejabat Negara (seperti Ketua/Wakil Ketua/Ketua Muda/Hakim Agung pada Mahkamah Agung, Ketua/Wakil Ketua, Hakim Mahkamah Konstitusi, hakim pada semua badan peradilan, Ketua / Anggota BPK, Gubernur/Deputi Gubernur BI, serta Pejabat Badan Usaha Milik Negara), PNS/TNI/POLRI, Lembaga-lembaga Survey baik perorangan maupun institusi, Perusahaan Percetakan, dan Badan Pengawas Pemilu.7

7

Ibid, Dalam hal penyelenggara Pemilu melakukan pelanggaran pidana pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 260, Pasal 261, Pasal 262, Pasal 265, Pasal 266, Pasal 269, Pasal 270, Pasal 276, Pasal 278, Pasal 281, Pasal 286, Pasal 287, Pasal 288, Pasal 289, Pasal 290, Pasal 291, Pasal 293, Pasal 295, Pasal 297, Pasal 298, dan Pasal 300, maka pidana bagi yang bersangkutan ditambah1/3 (satu pertiga) dari ketentuan pidana yang ditetapkan dalam pasal-pasal tersebut.

Meskipun penyelenggaraan penuntutan atas perkara pidana pemilu pada dasarnya menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana / KUHAP (lex generalis) namun dalam UU Pemilu juga menentukan mekanisme / hukum acaranya sendiri (lex specialis) mengingat segala penyelesaian yang berkaitan


(18)

dengan pemilu temasuk penegakan hukumnya dituntut harus diselesaikan dengan cepat, sehingga penyelenggaraan pemilu sebagai wujud pelaksanaan demokrasi dalam mengisi fungsi-fungsi kenegaraan yang masa jabatannya terbatas dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.

UU Pemilu No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD menentukan batasan penyelesaian perkara pidana pemilu dari sejak diterimanya laporan kejadian oleh Badan Pengawas Pemilu atau Panwaslu Provinsi atau Panwaslu Kabupaten/ Kota atau Panwaslu Kecamatan dan/ atau Pengawas Pemilu Lapangan sampai dengan putusan pengadilan dan eksekusinya paling lama 59 hari.

Pada tingkat laporan di Bawaslu/ Panwaslu, laporan dari masyarakat, pemantau atau peserta Pemilu, paling lama 3 (tiga) hari sejak kejadian perkara; laporan ditindak lanjuti paling lama 3 sampai dengan 5 (lima) hari, untuk kemudian ditentukan apakah pelanggaran administrasi atau pelanggaran pidana Pemilu. Dalam hal pelanggaran administrasi diteruskan kepada KPU dan pelanggaran pidana pemilu diserahkan kepada Penyidik/ Kepolisian. Dengan kecepatan dan kekhususan yang demikian, maka dituntut adanya koordinasi antara lembaga penyelenggara Pemilu dengan instansi-instansi terkait penegakan hukum Kepolisian, Kejaksaan dan Mahkamah Agung. Hal ini


(19)

dimaksudkan agar penyelesaian perkara pidana Pemilu tidak akan mengganggu jadwal pelaksanaan Pemilu itu sendiri.8

Ketentuan yang membatasi laporan pelanggaran pidana Pemilu paling lama tiga hari sejak terjadinya perkara dapat menimbulkan problem, utamanya bagi kejadian-kejadian atau perkara pidana Pemilu yang baru diketahui setelah melewati batas waktu tiga hari. UU Pemilu Nomor 10 tahun 2008 tidak menjelaskan mengenai hal ini, padahal pada realitasnya banyak kecurangan-kecurangan baru diketahui setelah Pemilu selesai dilaksanakan.9

Jika mengacu pada UU Pemilu No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, maka konsekwensi dari pemberlakuannya sebagai lex specialis, tindak pidana Pemilu yang diketahui pasca Pemilu selesai menjadi kadaluarsa. Hasil putusannya menjadi tidak relevan, meski sebagai keputusan hukum harus juga tetap ditegakkan. Apalagi bagi putusan-putusan pengadilan yang berpengaruh terhadap perolehan suara akan gugur pasca ditetapkannya hasil Pemilu nasional oleh KPU.

Kemungkinan yang akan terjadi terhadap tindak pidana Pemilu pasca Pemilu selesai adalah penuntutannya tetap dilakukan karena secara hukum tindak pidana ini tidak gugur. Hanya saja penuntutannya tidak didasarkan atas UU Pemilu tetapi dengan mengggunakan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pemilihan umum dalam KUHP yaitu Pasal 148 sampai dengan 153.

8

Ardianti Yunita, diakses

tanggal 4 Agustus 2009

9


(20)

Karena pada prinsipnya ketentuan-ketentuan pidana yang diatur dalam UU Nomor 10/2008 masih dapat diakomodir oleh ketentuan-ketentuan pidana Pemilu dalam KUHP. Sedangkan bagi tindak pidana yang mempengaruhi perolehan suara peserta Pemilu akan dimasukkan pada wilayah pelanggaran lain yaitu sengketa hasil Pemilu yang kewenangan memutusnya berada di tangan Mahkamah Konstitusi.

Persoalan lain, potensi konflik antara lembaga-lembaga penyelenggara Pemilu dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU). Dari 51 pasal UU Pemilu No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD yang mengatur tindak pidana Pemilu, mayoritas bahkan hampir keseluruhan ketentuannya mengancam penyelenggara Pemilu sampai ke tingkat desa. Dari mulai KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK (Kecamatan), PPS (Desa/Kelurahan) dan PPLN (Luar Negeri) jika lalai dalam melaksanakan tugas atau tidak mengindahkan rekomendasi-rekomendasi Bawaslu/ Panitia Pengawas, maka jerat hukum membentang di hadapan mereka.

Demikian juga Bawaslu / Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri yang tidak mengindahkan / menindak lanjuti temuan / laporan KPU menghadapi persoalan yang sama yaitu jerat hukum yang ancaman hukuman maksimalnya 3 (tiga) tahun. Kewenangan mengawasi yang begitu besar disisi lain juga dapat melahirkan ketegangan-ketegangan antara KPU dengan Bawaslu


(21)

yang pada gilirannya bila tidak disadari akan menghambat pelaksanaan Pemilu itu sendiri.10

Problem selanjutnya adalah bahwa dalam UU Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, di lihat pengawasan dana kampanye belum menjadi fokus perhatian. Dari 51 ketentuan tindak pidana Pemilu tiga belas pasal diantaranya mengatur tentang kampanye, dan hanya satu ketentuan yaitu Pasal 281 yang mengatur tentang laporan dana kampanye. Ini berarti bahwa pengawasan terhadap dana kampanye, yang berdasarkan pengalaman penyelenggaraan Pemilu pada waktu-waktu yang lalu menimbulkan banyak masalah, justru hanya diatur melalui “pengawasan laporan”.11

Aturan mengenai pengawasan dana kampanye Pemilu nampaknya memang sengaja tidak dibuat oleh para anggota DPR, karena pada kenyataannya banyak pengusaha yang memberikan suntikan dana terhadap partai politik terutama pada partai yang besar. Hal ini tentu menguntungkan parpol besar, dan tidak untuk partai kecil. Demikian juga mengenai besaran dana yang digunakan untuk kampanye juga tidak dapat diawasi oleh Bawaslu, karena ia tidak memiliki kewenangan dalam mengawasi dana kampanye. Dana kampanye bukan merupakan tahapan Pemilu, karenanya tidak diwasi oleh Bawaslu. Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, tugas Bawaslu hanya mengawasi Pemilu saja.

10

Achmad Mudatsir R

11


(22)

Di sisi lain, meskipun ketentuan mengenai dana kampanye memberikan kebebasan menerima sumbangan dari perseorangan, kelompok dan /atau perusahaan, namun juga membatasi penerimaan sumbangan dari badan usaha milik negara/ pemerintah. Realitas politik praktis yang memungkinkan para pejabat negara termasuk pejabat BUMN/D berasal dari orang partai politik justru menjadi potensi penyimpangan berupa pemberian sumbangan ilegal yang diberikan oleh Instansi/ BUMN yang dipimpinnya. Peluang penyimpangan dana kampanye ini memang sangat potensial terjadi. Oleh sebab itu, pengawasan dana kampanye partai politik menjadi sangat penting, mengingat audit terhadap dana kampanye partai politik ini baru diserahkan ke KPU sekitar empat puluh lima hari setelah pemungutan suara, maka akan menjadi sangat penting jika masyarakat dapat melaporkan indikasi penyimpangan ini kepada pengawas pemilu sehingga dapat diantisipasi sejak awal.

Sistem penegakan hukum tindak pidana Pemilu yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 nampak begitu komprehensif karena kriminalisasi terjadi hampir pada seluruh tindakan penyelenggara Pemilu yang diasumsikan menyimpang dan merugikan masyarakat pemilih maupun peserta Pemilu pada setiap tahapan pemilu. Di sisi lain “nuansa cepat” dalam pelaksanannya berpotensi menimbulkan permasalahan-permasalahan yang setidaknya juga dapat diakomodir oleh sistem hukum pidana yang bersifat umum.


(23)

Ketentuan perundang-undangan mengenai tindak pidana Pemilu setidaknya merupakan sistem yang sengaja diciptakan dalam rangka untuk memperbaiki kualitas demokrasi dan kepentingan politis golongan mewarnai sistem perundang-undangan tidak akan terhindarkan. Jika bandul kekuatan politik sarat mewarnai sistem perundangan Pemilu yang mengarah pada negasi (pengingkaran) terhadap nilai-nilai demokrasi, jangan khawatir, masyarakat dan Mahkamah Konstitusi akan melawannya.

Menurut Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi RI (disingkat MK) adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, selain Mahkamah Agung (disingkat MA) dengan seluruh badan peradilan yang bernaung di bawahnya (dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara). 12

Penjelasan Umum UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (disingkat UU MK) menegaskan bahwa keberadaan MKRI adalah ”sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak dan cita-cita demokrasi”.

Sesuai dengan keberadaan, kedudukan dan fungsinya tersebut, MKRI diberi wewenang sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945

12

Abdul Mukhtie Fadjar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konsitusi,(Jakarta : Konsititusi Press dan Jogyakarta : Citra Media, 2006). Hal. 127.


(24)

yang ditegaskan lagi dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU MK, yaitu mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :

1. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (dapat disebut menguji konstitusionalitas undang-undang);

2. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar (atau memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara);

3. memutus pembubaran partai politik;

4. memutus perselisihan hasil pemilihan umum (Pemilu); dan

5. memberi putusan atau pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/ atau Wakil Presiden menurut UUD (disingkat Impeachment DPR).

Untuk melaksanakan ke lima kewenangan MKRI tersebut (catatan : memutus soal Impeachment disebut oleh UUD 1945 sebagai kewajiban MK), hukum acaranya telah diatur dalam Pasal 28 sampai dengan Pasal 85 UU MK, meskipun masih bisa dilengkapi oleh MK (vide Pasal 86 UU MK) lewat Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK).

Hukum Acara MK bersifat umum dan khusus. Hukum Acara yang bersifat umum berlaku untuk semua kewenangan MK, sedangkan Hukum Acara yang bersifat khusus hanya berlaku khusus untuk masing-masing kewenangan MK.13

13

Abdul Mukhtie Fadjar, Disampaikan dalam acara Temu Wicara dengan guru SMA dan SMK Provinsi DKI Jakarta “Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan RI”, 11 Agustus


(25)

B. Perumusan Masalah

Dari latar belakang sebagaimana telah diuraikan di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pengaturan tindak pidana dalam UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD?

2. Bagaimanakah proses penyelesaian pelanggaran tindak pidana pemilu di Indonesia?

3. Bagaimanakah hambatan yang dihadapi para penegak hukum dalam penanganan perkara tindak pidana pemilu?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui pengaturan tindak pidana dalam UU No. 10 tahun 2008 tentang pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD.

2. Untuk mengetahui proses penyelesaian pelanggaran tindak pidana pemilu di Indonesia.

3. Untuk mengetahui hambatan yang dihadapi para penegak hukum dalam penanganan perkara tindak pidana pemilu.

2005, di Gedung Mahkamah Konstiusi, Jakarta Pusat. Pernah disampaikan di forum “Pendidikan Khusus Profesi Advokat”, Kerjasama FH Unibraw dengan AAI, 30 April 2005, di Malang. Dan disampaikan juga di Forum Dialog MKRI dengan Insan Pers tentang “MK dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia”, Kerjasama MKRI dengan LKBN Antara, 17-18 Mei 2005, di Hotel Red Top, Pancenongan.


(26)

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini dapat dilihat dari 2 (dua) sisi yaitu :

1. Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam bidang ilmu pengetahuan hukum yang berhubungan dengan penyelesaian tindak pidana pemilu yang sering terjadi pada saat tahapan pemilu dilaksanakan hingga selesainya pemilu.

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi para praktisi hukum dan aktivis partai politik dalam menyelesaikan tindak pidana pemilu yang terjadi.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi dan penelusuran yang dilakukan di perpustakaan khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara Medan, penelitian dengan judul: “Analisis Yuridis terhadap Tindak Pidana Pemilu dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD”, belum pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya dengan perumusan masalah yang sama, walaupun ada di program S2 Hukum USU, namun berbeda yaitu yang dilakukan oleh Marudut Hasugian dengan judul Pelaksanaan Pemilihan Presiden Republik Indonesia berdasarkan Paradigma Demokrasi Konstitusional (Studi


(27)

mengenai Sidang Umum MPR 1999). Adapun permasalahan yang dibahas dalam tulisan tersebut antara lain :

1. Bagaimanakah prosedur atau tata cara pemilihan Presiden Republik Indonesia dalam peraturan perundang-undangan.

2. Bagaimanakah pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam pemilihan Presiden Republik Indonesia.

Dengan demikian penelitian ini adalah baru pertama kali sehingga dijamin keasliannya dan sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu : jujur, rasional, objektif dan terbuka. Kesemuanya ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran secara ilmiah, keilmuan dan terbuka untuk dikritisi yang bersifat konstruktif (membangun).

F. Kerangka Teori dan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Dalam penulisan Tesis ini teori yang digunakan adalah pendapat Lawrence M. Friedman, dalam bukunya yang berjudul The Legal System A Social Science Perspective, 1975, menyebutkan bahwa sistem hukum terdiri atas perangkat struktur hukum (berupa lembaga hukum), substansi hukum (peraturan perundang-undangan) dan kultur hukum atau budaya hukum. Ketiga komponen ini mendukung berjalannya sistem hukum di suatu negara. Secara realitas sosial, keberadaan sistem hukum yang terdapat dalam masyarakat mengalami perubahan-perubahan sebagai akibat


(28)

pengaruh, apa yang disebut dengan modernisasi atau globalisasi baik itu secara evolusi maupun revolusi.14

Indonesia sebagai sebuah negara demokratis, melaksanakan pemilu merupakan suatu keharusan sebagaimana perintah UUD 1945. Indonesia sebagai negara hukum (Pasal 1 ayat (3)) UUD 1945, pemilu harus dilaksanakan sesuai dengan aturan yang ditetapkan dan pelanggaran terhadap aturan hukum haruslah ditindak dan diadili sesuai dengan hukum yang berlaku dan dalam sistem pemerintahan Indonesia telah menggunakan sistem pemerintahan Presidensial.

Sistem presidential, menurut Rod Hague, memiliki tiga ciri, pertama, Presiden dipilih oleh rakyat, bertindak sebagai kepala pemerintahan, dan mengangkat pejabat pemerintahan terkait. Presiden memperoleh legitimasi yang kuat dari rakyat karena karena dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu. Di samping itu, pemerintahan bisa berjalan dengan efektif karena menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Kedua, masa jabatan Presiden bersifat tetap, sama dengan dewan perwakilan. Ketiga, peran presiden sebagai lembaga eksekutif tidak tumpang tindih dengan dewan perwakilan sebagai lembaga legislatif. Oleh karena itu, tidak ada upaya saling menjatuhkan satu sama lain sehingga program pembangunan dapat terlaksana dengan baik sebab ini menyangkut kesejahteraan rakyat.15

Sebagai wujud awal dari pelaksanaan sistem pemerintahan Presidensial, maka dilaksanakan Pemilu. Di Indonesia, Pemilu diselenggarakan berlandaskan :

14

Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, (Bandung : Refika Aditama, 2007), hal. 26.

15

Luky Sandra Amalia, Indonesia Memilih Presidensial (Review Buku), Jurnal Kisruh Pemilu 2009 LIPI, Vol. 6, No.1, 2009 halaman


(29)

Asas Langsung, dengan asas langsung rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk

memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara.

Bersifat umum, berarti menjamin kesempatan yang belaku menyeluruh bagi semua

warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan pekerjaan dan status sosial.

Bebas, berarti setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan

pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun.

Rahasia, berarti di dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin

keamanannya oleh Negara, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nuraninya. Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak manapun.

Jujur dan adil berarti pemilih memberikan suaranya pada surat suara bertindak jujur

sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Setiap pemilih dan peserta pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun.16

Undang-undang No.10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD”, yang diundangkan tanggal 31 Maret 2008 mencabut UU Pemilu sebelumnya. Undang-undang tersebut merupakan pedoman bagi penyelenggara pemilu dan semua pihak yang terlibat didalamnya. Selain itu, undang-undang tersebut

16

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/mengawal konstitusi-2.htm/ Janedjri M Gaffar, diakses tanggal 11 September 2009


(30)

juga mencantumkan sejumlah sanksi dan sanksi pidana tersebut pada hakikatnya merupakan pengawal untuk pelaksanaan pemilu yang luber dan jurdil tersebut.

Tentang perbuatan pidana apa saja yang dikategorikan sebagai tindak pidana pemilu telah diatur secara rinci dalam UU No. 10 tahun 2008 Pasal 260 sampai dengan 311 sehingga tindak pidana yang dilakukan dan terjadi dalam rangka pelaksanaan pemilu diluar yang disebut pasal di atas tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pemilu. Sedangkan pengadilan yang memberikan wewenang oleh undang-undang ini untuk menyelesaikan perkara tidak pidana pemilu adalah Pengadilan Negeri. Hal ini tercantum dalam Pasal 252 UU No.10 Tahun 2008

“bahwa pelanggaran pidana pemilu yang diatur dalam UU ini yang penyelesaian dilaksanakan melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum” sedangkan hakimnya adalah hakim khusus.

Proses penanganan perkara dalam tindak pidana pemilu maksimal hanya pada tingkat banding sehingga upaya kasasi dan peninjauan kembali tidak berlaku dalam perkara ini. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 255 ayat (5) UU No.10 tahun 2008

“bahwa putusan pengadilan tinggi merupakan putusan terakhir dan mngikat dan tidak ada upaya hukum lain”. Ini berarti, tidak ada upaya hukum lain berupa upaya

hukum kasasi maupun peninjauan kembali (PK).

Sesuai dengan salah satu pengertian negara hukum di mana setiap tindakan penyelenggara negara serta warga negara harus dilakukan berdasarkan dan di dalam koridor hukum. Hal ini berarti yang harus mengawal konstitusi adalah segenap penyelenggara dan seluruh warga negara dengan cara menjalankan wewenang, hak,


(31)

dan kewajiban konstitusionalnya. Apabila setiap pejabat dan aparat penyelenggara negara telah memahami UUD 1945 serta melaksanakan wewenangnya berdasarkan UUD 1945, maka setiap produk hukum, kebijakan, dan tindakan yang dihasilkan adalah bentuk pelaksanaan UUD 1945.

Hal tersebut juga harus diimbangi dengan pelaksanaan oleh seluruh warga negara. Untuk itu juga dibutuhkan adanya kesadaran berkonstitusi dari setiap warga negara untuk tidak saja melaksanakan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang telah dibuat berdasarkan UUD 1945 melainkan juga untuk dapat melakukan kontrol pelaksanaan UUD 1945 baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan, kebijakan, maupun tindakan penyelenggara negara. Fungsi kontrol dari masyarakat diperlukan beriringan dengan penerapan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi dalam sistem ketatanegaraan. Hal itu karena antara UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan di bawahnya, kebijakan, serta tindakan penyelenggara negara, terdapat jarak yang memungkinkan adanya bias, bahkan pertentangan dalam pelaksanaan UUD 1945.17

Antara konstitusi dan peraturan perundang-undangan di bawahnya, paling tidak terdapat tiga hal yang membuat jarak antara keduanya. Pertama, konstitusi memiliki tingkat abstraksi yang lebih tinggi dibanding peraturan perundang- undangan di bawahnya. Pada praktiknya, selalu terdapat kemungkinan kekeliruan dalam mengoperasionalkan sesuatu yang abstrak menjadi aturan operasional. Kedua, terdapat perbedaan waktu antara pembuatan konstitusi dan peraturan

17


(32)

undangan biasa. Konstitusi lebih dulu ada, sedangkan aturan hukum di bawahnya dibuat kemudian. Perbedaan waktu pembuatan antara konstitusi dan aturan di bawahnya membawa konsekuensi kemungkinan adanya cara pandang berbeda terhadap suatu hal yang akan diatur. Waktu juga dapat mengakibatkan apa yang sesungguhnya dimaksud dalam pembuatan konstitusi tidak dapat sepenuhnya dipahami pada saat pembuatan aturan hukum di bawah konstitusi. Ketiga, tumbuhnya jarak yang muncul karena perbedaan penyusun konstitusi dengan aturan hukum di bawahnya. Secara teoritis, penyusun konstitusi adalah lembaga yang anggotanya ”mewakili seluruh rakyat” sehingga konstitusi disebut sebagai kesepakatan ”seluruh rakyat”. Sedangkan aturan hukum di bawah konstitusi, misalnya undang-undang, dibuat melalui mekanisme dan kelembagaan yang lebih merepresentasikan kehendak ”mayoritas rakyat”. Prinsip mayoritas ini adalah salah satu ciri demokrasi yang tidak dapat dihilangkan. Di sisi lain, suara mayoritas belum tentu yang terbaik bagi seluruh rakyat. Bahkan, suara mayoritas bisa menjadi tirani dan melanggar hak-hak konstitusional kelompok minoritas. Oleh karena itu, dari sisi normatif, produk hukum yang dibuat suara mayoritas mungkin menjadi bertentangan dengan konstitusi hasil kesepakatan seluruh rakyat. Untuk mengantisipasi kemungkinan adanya kemungkinan ketidaksesuaian dan pertentangan dalam pelaksanaannya, UUD 1945 menganut prinsip saling mengawasi dan mengimbangi. Setiap lembaga negara dalam menjalankan wewenangnya masing-masing dan selalu berhubungan dengan wewenang lembaga negara lain. Dalam pembuatan undang-undang, pembahasannya dilakukan DPR dan Presiden serta harus mendapatkan persetujuan bersama untuk


(33)

dapat menjadi undang-undang. Bahkan, suatu undang-undang yang telah disahkan dan berlaku, dapat diuji konstitusionalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi, jika ada masyarakat yang menganggap hak konstitusionalnya dilanggar ketentuan undang-undang tersebut. Demikian pula peraturan di bawah undang-undang-undang-undang dapat diuji Mahkamah Agung jika ada anggota masyarakat yang dirugikan dengan aturan tersebut karena bertentangan dengan undangundang. Oleh karena itu, peran masyarakat dalam mengawal konstitusi tidak dapat dinomorduakan. Masyarakat yang menentukan apakah suatu peraturan sebagai dasar hukum penyelenggaraan negara akan dilakukan pengujian atau tidak. Masyarakat pula yang akan menentukan apakah terhadap tindakan penyelenggara negara yang melanggar hak konstitusional diajukan gugatan atau tidak. Untuk itu, masyarakat harus menyadari hak-hak konstitusionalnya yang dilindungi UUD 1945 serta mengetahui mekanisme untuk memperjuangkan dan mempertahankan hak-hak tersebut.18

Dengan demikian, masyarakat akan tahu jika ada ketentuan hukum dan tindakan penyelenggara negara yang melanggar hak konstitusionalnya serta aktif mengawal pelaksanaan UUD 1945 melalui prosedur hukum yang telah tersedia. Pada titik inilah kesadaran berkonstitusi masyarakat diperlukan guna membangun negara hukum yang demokratis. Kesadaran berkonstitusi masyarakat merupakan modal sosial untuk mengawal pelaksanaan UUD 1945 baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan maupun tindakan penyelenggara negara. Dengan adanya

18

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/mengawal konstitusi-2.htm/ Janedjri M Gaffar, diakses tanggal 11 September 2009.


(34)

kesadaran tersebut, masyarakat dapat menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan UUD 1945 baik dalam berhubungan dengan warga masyarakat lain maupun dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara. Dengan sendirinya, ketentuan dasar hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara dapat dilaksanakan disertai dengan partisipasi dalam kehidupan bernegara. Jika hal itu dapat diwujudkan, maka benar-benar telah terbentuk masyarakat yang berperan sebagai warga negara yang ikut menentukan pelaksanaan konstitusi dan tujuan bernegara. Jika segenap penyelenggara negara dan seluruh warga negara telah memiliki kesadaran berkonstitusi, konstitusi akan benar-benar hidup dalam keseharian kehidupan berbangsa dan bernegara (the living constitution). Setiap wilayah dan detak kehidupan berbangsa dan bernegara selalu berjalan dengan landasan konstitusional. Dengan sendirinya, jika ada pelanggaran konstitusi, dengan cepat dapat diketahui dan menjadi permasalahan bersama yang harus dikembalikan pada koridor konstitusi. Di sisi lain, jika telah menjadi the living constitution, nilai dan aturan dasar konstitusi juga akan senantiasa berkembang dalam praktik konstitusional. Praktik tersebut akan senantiasa memperkaya dan melengkapi aturan konstitusional tanpa melanggar prinsip dasar konstitusional. Konstitusi tidak menjadi dokumen ”mati” dan cepat tertinggal dari perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebaliknya, konstitusi senantiasa tumbuh berkembang sehingga mampu menjawab berbagai masalah kebangsaan dan kenegaraan.19

19


(35)

Lahirnya Undang-Undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD merupakan program reformasi hukum tentang politik dan demokrasi di Indonesia yang dilaksanakan pemerintah Indonesia sejak bergulirnya reformasi.

Salah satu efek dari proses demokratisasi dan pemenuhan hak asasi manusia di Indonesia pasca 1998 adalah menguatnya pengawasan dan perimbangan dalam kehidupan sosial politik. Ini sebetulnya ciri masyarakat maju. Dalam masyarakat maju terdapat kompleksitas, dan hubungan sosial yang sejajar, cendikiawan Nurcholish Madjid menyebutnya sebagai corak hubungan masyarakat patembayan (gezellchaft). Mekanisme pengawasa corak ini lebih rumit, melibatkan partisipasi masyarakat luas, yang terbuka dan merata. Berbeda dengan corak masyarakat paguyuban, kehidupan bersama itu cukup diletakkan pada kemauan yang baik dan ketulusan pribadi pemimpin. Dalam masyarakat patembayan yang kompleks, kehidupan bersama tidak bisa lagi diserahkan kepada moralitas pribadi pemimpinnya saja, atau itikad baik, tetapi mesti diletakkan kepada mekanisme pengawasan da keseimbangan yang lebih terbuka. Sebagai bangsa yang sedang masuk ke jenjang kemajuan lebih tinggi, kata Nurcholis Madjid – biasa disapa Cak Nur – kita mesti berani bereksperimen dengan demokratisasi. Eksperimen coba dan salah (trial and error), suatu hal yang lumrah dialami, tak terhindarkan. Kesalahan justru akan memberi konfirmasi kepada kebenaran. Meskipun demikian, Cak Nur memberi catatan tebal ; eksperimen demokratisasi mesti diimbangi dengan sikap waspada dari gerak antusiasme yang berlebihan, justru akan membuat kesalahan, menyebabkan terjadinya gerak sentripetal yang tidak terkontrol. Pasca 1998, pada era reformasi


(36)

eksperimen dilanjutkan dengan menjadikan pemerintah dan partai politik sebagai penyelenggara Pemilu. Hasilnya : ada sebuah perkembangan baik. Timbul kesadaran konstitusional dan penguatan partisipasi demokrasi lokal. Lembaga penyelenggara Pemilu kemudian dituntut independen. Kelompok masyarakat dilibatkan sebagai pemantau pemilu.20

Kehadiran undang-undang ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam melaksanakan program reformasi di bidang hukum politik dan demokrasi dengan menyiapkan substansi hukum yang relevan dengan kebutuhan masyarakat maupun budaya hukum masyarakat. Substansi hukum melahirkan aparatur hukum baru dan mengakibatkan terjadinya pembaharuan hukum yang dapat berfungsi mendorong percepatan pembangunan politik dan demokrasi nasional dalam rangka untuk mencapai pemerataan pendidikan politik masyarakat. Pemerataan pendidikan demokrasi dan politik masyarakat ini merupakan tujuan hukum politik dan demokrasi.

Tujuan hukum politik dan demokrasi tidak terlepas dari tujuan hukum pada umumnya. Tujuan hukum adalah untuk mewujudkan keadilan (rechtsgerechtigheid), kemanfaatan (rechtsutiliteit), dan kepastian hukum (rechtszekerheid).21

20

Sisi Gelap Pemilu 2009 Potret Aksesori Demokrasi Indonesia, Ramdansyah, (Jakarta : Rumah Demokrasi, Cetakan I, Maret 2010), hal.3-5

Dalam hal mewujudkan keadilan, Adam Smith melahirkan ajaran mengenai keadilan (justice), Smith mengatakan bahwa ”tujuan keadilan adalah untuk melindungi diri dari

21

Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, (Satu Kajian Filosofos dan Sosiologis), (Jakarta : Gunung Agung, 2002), hal. 85.


(37)

kerugian” (the end of the justice to secure from enjury).22 Maka teori hukum bertujuan untuk menjelaskan nilai-nilai hukum dan postulat-postulatnya hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam. Hukum pada hakikatnya adalah sesuatu yang abstrak, namun dalam manifestasinya dapat berwujud konkrit. Suatu ketentuan hukum dapat dinilai baik jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan berkurangnya penderitaan.23

Ketatnya UU Nomor 10 Tahun 2008 mengatur perihal tindak pidana Pemilu terlihat dari adanya kriminalisasi terhadap hampir seluruh perbuatan/tindakan dalam setiap tahapan pelaksanan Pemilu yang dapat menghambat terlaksananya Pemilu.

Dibandingkan dengan UU Nomor 12 Tahun 2003 yang hanya mengatur 31 Pasal tentang tindak pidana Pemilu, UU Nomor 10 Tahun 2008 ini mengaturnya sampai sejumlah 51 pasal (dimulai dari Pasal 260 s/d Pasal 311). Dari 51 Pasal yang mengatur tindak pidana Pemilu, sebagian besar (40 pasal) mengancam penyelenggara Pemilu tingkat pusat (KPU) sampai dengan tingkat Desa (PPS). Hanya 11 ketentuan yang tidak langsung ditujukan kepada penyelengara Pemilu, bahkan berdasarkan ketentuan Pasal 311 UU Nomor 10 Tahun 2008, penyelenggara Pemilu ditambah hukumannya 1/3 dalam melakukan tindak pidana yang ditujukan pada subjek lain selain penyelenggara Pemilu. Subjek lain yang dapat dikenai tindak pidana Pemilu antara lain: setiap orang

22

Bismar Nasution, Op. Cit. hal. 4-5.

23

Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung : Remaja, Rosdakarya, 1993), hal. 79.


(38)

(umum), Pelaksana Kampanye (orang partai atau event organizer), Pejabat Negara (seperti Ketua/Wakil Ketua/Ketua Muda/Hakim Agung pada Mahkamah Agung, Ketua/Wakil Ketua, Hakim Mahkamah Konstitusi, hakim pada semua badan peradilan, Ketua / Anggota BPK, Gubernur/Deputi Gubernur BI, serta Pejabat Badan Usaha Milik Negara), PNS/TNI/POLRI, Lembaga-lembaga Survey baik perorangan maupun institusi, Perusahaan Percetakan, dan Badan Pengawas Pemilu.

Meskipun penyelenggaraan penuntutan atas perkara pidana pemilu pada dasarnya menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP (lex generalis) namun dalam UU Pemilu juga menentukan mekanisme/hukum acaranya sendiri (lex specialis) mengingat segala penyelesaian yang berkaitan dengan pemilu temasuk penegakan hukumnya dituntut harus diselesaikan dengan cepat, sehingga penyelenggaraan pemilu sebagai wujud pelaksanaan demokrasi dalam mengisi fungsi-fungsi kenegaraan yang masa jabatannya terbatas dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.

2. Konsepsional

Agar tidak terjadi kekeliruan dalam memahami istilah atau konsep yang dipergunakan, maka dapat diberikan defenisi operasional sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, sebagai berikut :


(39)

Yang dimaksud dengan Pelanggaran Pidana Pemilu adalah pelanggaran terhadap ketentuan pidana pemilu yang diatur dalam Undang-undang No. 10 tahun 2008, yang penyelesaiannya dilaksanakan melalui Pengadilan Umum.24

Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.25

Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.26

Dewan Perwakilan Rakyat, selanjutnya disebut DPR, adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.27

24

Rozali Abdullah, Op Cit, hal. 267.

25

Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD.

26

Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD

27

Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD


(40)

Dewan Perwakilan Daerah, selanjutnya disebut DPD, adalah Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.28

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya disebut DPRD, adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/ kota sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.29

Komisi Pemilihan Umum, selanjutnya disebut KPU, adalah lembaga penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.30

Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota, selanjutnya disebut KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota, adalah penyelenggara Pemilu di provinsi dan kabupaten/kota.31

Badan Pengawas Pemilu, selanjutnya disebut Bawaslu, adalah badan yang bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.32

Panitia Pengawas Pemilu Provinsi dan Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, selanjutnya disebut Panwaslu provinsi dan Panwaslu

28

Pasal 1 angka (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD

29

Pasal 1 angka (5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD

30

Pasal 1 angka (6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD

31

Pasal 1 angka (7) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD

32

Pasal 1 angka (15) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD


(41)

kabupaten/kota, adalah panitia yang dibentuk oleh Bawaslu untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilu di wilayah provinsi dan kabupaten/kota.33

Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan, selanjutnya disebut Panwaslu kecamatan, adalah panitia yang dibentuk oleh Panwaslu kabupaten/kota untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilu di wilayah kecamatan.34

Pengawas Pemilu Lapangan adalah petugas yang dibentuk oleh Panwaslu kecamatan untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilu di desa/kelurahan.35

Pengawas Pemilu Luar Negeri adalah petugas yang dibentuk oleh Bawaslu untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilu di luar negeri.36

Penduduk adalah warga negara Indonesia yang berdomisili di wilayah Republik Indonesia atau di luar negeri.37

Warga Negara Indonesia adalah orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai Warga Negara.38

Pemilih adalah Warga Negara Indonesia yang telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/ pernah kawin.39

33

Pasal 1 angka (16) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD

34

Pasal 1 angka (17) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD

35

Pasal 1 angka (18) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD

36

Pasal 1 angka (19) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD

37

Pasal 1 angka (20) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD

38

Pasal 1 angka (21) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD

39

Pasal 1 angka (22) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD


(42)

Pelanggaran pidana Pemilu adalah pelanggaran terhadap ketentuan pidana Pemilu yang diatur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008, yang penyelesaiannya dilaksanakan melalui Pengadilan Umum.40

Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara KPU dan Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suar hasil Pemilu secara nasional. Perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional, adalah perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat mempengaruhi perolehan kursi peserta Pemilu.41

G. Metode Penelitian

Kata metode berasal dari kata Yunani “methods” yang berarti cara atau jalan. Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode ini menyangkut masalah cara kerja yaitu cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.42 Dalam bahasa Indonesia kata metode berarti cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.43

Berikut ini akan dikemukakan metode penelitian yang digunakan pada proposal penelitian ini sebagai berikut :

1. Jenis dan Sifat Penelitian

40

Rozali Abdullah, Mewujudkan Pemilu yang Lebih Berkualitas, (Jakarta : Rajawali Pers, 2009) hal.267.

41

Rozali Abdullah, Mewujudkan Pemilu yang Lebih Berkualitas, (Jakarta : Rajawali Pers, 2009) hal.269.

42

Kontjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta : PT. Gramedia, 1977), hal. 16.

43


(43)

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan,44

Menurut Ronald Dworkin, ”Penelitian hukum normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hukum yang tertulis dalam buku (law as written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as is decided by the judge through judicial process).

yang berkaitan dengan analisis yuridis terhadap tindak pidana pemilu dalam UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Pada penelitian hukum normatif yang dipergunakan adalah merujuk pada sumber bahan hukum yakni penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam perangkat hukum.

45

Adapun sifat penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis yaitu penelitian ini hanya untuk menggambarkan tentang situasi atau keadaan yang terjadi terhadap permasalahan yang telah dikemukakan dengan membatasi kerangka studi kepada suatu analisis terhadap hukum dan peraturan mengenai pelaksanaan ketentuan acara pidana dalam UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD.

44

Soerdjono Soekanto, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 14.

45

Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, disampaikan pada ”Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum pada Majalah Akreditasi”, (Medan : Dosen Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, tanggal 18 Februari 2003), hal. 1.


(44)

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan undang-undang (statute approach) berupa pendekatan undang-undang-undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang terkati dengan isu hukum yang sedang ditangani,46 yaitu : Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, Undang-undang nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

3. Sumber Data

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan judul Analisis Yuridis terhadap Tindak Pidana Pemilu dalam UU Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, didasarkan pada penelitian kepustakaan (library research), yang dilakukan dengan menghimpun data sekunder. Data sekunder diperoleh melalui bahan hukum primer, bahan hukum sekunder serta bahan hukum tersier yaitu :

1. Bahan hukum primer, yakni bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari aturan hukum yang terdapat pada berbagai perangkat hukum atau peraturan perundang-undangan maupun putusan-putusan pengadilan. Seperti UUD 1945, UU No.10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Undang-Undang

46


(45)

tentang Mahkamah Konstitusi, Undang Nomor 24 Tahun 2003. Undang-Undang tentang Advokat, Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 18 Tahun Undang- 2003.Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, 2003.Undang-Undang-2003.Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004. 2. Bahan hukum sekunder, yaitu berupa buku-buku hukum termasuk skripsi, tesis,

disertasi hukum, majalah dan jurnal-jurnal ilmiah yang ada relevansinya dengan penelitian ini dan dapat memberi petunjuk dan inspirasi bagi penulis dalam rangka melakukan penelitian.

3. Bahan hukum tersier atau bahan penunjang, yakni yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, dan bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi hasil penelitian ini.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data penelitian dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library research).

Penelitian kepustakaan (library research) dilakukan dengan cara meneliti sumber bacaan yang berhubungan dengan topik dalam tesis ini, seperti buku-buku hukum, majalah hukum, artikel-artikel, peraturan perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan yang ada kaitannya dengan penelitian, pendapat para sarjana dan bahan-bahan lainnya.


(46)

5. Analisis Data

Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan, selanjutnya akan ditelaah dan dianalisis secara kualitatif. Analisis data secara kualitatif dilakukan dengan pemilihan pasal-pasal yang berisi kaedah-kaedah hukum yang mengatur mengenai pelaksanaan ketentuan acara pidana dalam UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, kemudian membuat sistematika dari pasal-pasal tersebut sehingga menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.


(47)

BAB II

PENGATURAN TINDAK PIDANA DALAM

UNDANG-UNDANG NO. 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DPR, DPD DAN DPRD

A. Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Pemilu

Awal mula berkembangnya gagasan dan konsep demokrasi di Indonesia, menurut Indra J. Piliang, peneliti dari CSIS, tidak dapat dilepaskan dengan perkembangan situasi sosial politik masa kolonial pada tahun-tahun pertama abad ke-20 yang ditandai dengan beberapa perkembangan penting, yaitu pertama, mulai terbuka terhadap arus informasi politik di tingkat global. Kedua, migrasi para aktivis politik berhaluan radikal, umumnya mereka adalah para buangan politik ke Hindia Belanda. Di wilayah yang baru ini, mereka banyak memperkenalkan ide-ide dan gagasan politik modern kepada para pemuda bumiputera. Dapat dicatat di sini para migran politik tersebut antara lain: Bergsma, Baars, Sneevliet, dan beberapa yang lain. Ketiga, transformasi pendidikan di kalangan masyarakat pribumi. Di Indonesia, fenomena demokrasi dapat ditemui dalam sejarah perkembangan politik pasca-kolonial.47

Pada umumnya hukum itu diartikan sebagai peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang di dalam masyarakat yang mempunyai sanksi yang bisa

47

Rumidan Rabi’ah, Lebih Dekat Dengan Pemilu di Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2009). hal.12.


(48)

dipaksakan. Hukum ini lahir untuk mengatur dan menyerasikan pelaksanaan kepentingan yang berbeda-beda di antara anggota masyarakat.48

Dalam kehidupan politik itu terdapat orsospol sebagai infra struktur politik dan lembaga pemerintahan sebagai supra struktur politik. Infra dan supra struktur politik saling memberi input dan output dan mengolah keluhan serta mempelajari aspirasi masyarakat. (complaint, claim, demand).49

Dalam pelaksanaan kehidupan politik, keterkaitan antara hukum sebagai alat untuk mengaturnya sangat diperlukan. Namun di sisi lain tak jarang, iklim politik mempengaruhi mau dibawa kemana hukum itu. Bahkan, hukum itu sendiri sering dimanfaatkan untuk kepentingan politik pihak-pihak tertentu. Demikian pula halnya dengan pelaksanaan Pemilu di Indonesia. Pemilu sebagai salah satu bentuk pelaksanaan kedaulatan rakyat sebagaimana yang diamanahkan oleh UUD 1945 juga tidak terlepas dari aturan hukum yang mewarnai kehidupan politik dan penentuan aturan hukum itu juga sangat dipengaruhi pula dengan warna politik yang menyertainya saat pembentukan aturan hukum itu sendiri.

Kedaulatan menurut Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar. Melaksanakan kedaulatan itu bagi

48

Moh. Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta : Rineka Cipta, 2001). Hal. 63

49


(49)

rakyat adalah dengan cara menentukan atau turut menentukan sesuatu kebijakan kenegaraan tertentu yang dapat dilakukan sewaktu-waktu menurut tata cara tertentu.50 Keinginan untuk melaksanakan pemilihan umum oleh pembentuk UUD 1945 tercermin dalam aturan tambahan yang berbunyi: “Dalam enam bulan sesudah berakhirnya peperangan Asia Timur Raya, Presiden Indonesia mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar ini, menurut Sri Soemantri M, landasan berpijak lainnya mengenai pemilu yang juga mendasar adalah demokrasi pancasila yang secara tersirat dan tersurat juga kita temukan dalam Pembukaan UUD 1945, paragraf keempat.51

Adanya ketentuan mengenai pemilihan umum dalam UUD 1945 dimaksudkan untuk memberi landasan hukum yang lebih kuat bagi pemilu sebagai salah satu wahana pelaksanaan kedaulatan rakyat. Dengan adanya ketentuan ini dalam UUD 1945, maka lebih menjamin waktu penyelenggaraan pemilu secara teratur reguler (per lima tahun) maupun menjamin proses dan mekanisme serta kualitas penyelenggaraan pemilu yaitu langsung, umum, bebas, dan rahasia (luber), serta jujur dan adil (jurdil). Sebagaimana maklum, pelaksanaan pemilu selama ini belum diatur dalam Undang-Undang Dasar.

52

50

Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta : PT. Bhuana Ilmu Populer 2007), hal. 739

Di Indonesia telah berulang kali diselenggarakan pemilihan umum yang disebut pesta demokrasi rakyat Indonesia, baik sewaktu Orde lama, Orde Baru,

51

Sri Soemantri M, Sistem Pemilu Dalam Ketatanegaaran Indonesia, Majalah PERSAHI, nomor ketiga, Januari 1990.

52

Ni’matul Huda, Hukum Tatanegara Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005).hal 269


(50)

dan Orde Reformasi baru-baru ini.53 Negara Republik Indonesia menurut Undang-undang Dasar 1945 merupakan negara hukum (rechtsstaat), negara nasion (nation state) dan negara teritorial modern.54

Permasalahan hukum pemilu yang penyelesaiannya memerlukan putusan lembaga peradilan terbagi dalam dua jenis masalah, yaitu Perselisihan Hasil Pemilu yang diatur dalam ketentuan Pasal 258 dan Pasal 259 dan Tindak Pidana Pemilu yang diatur dalam Pasal 260 sampai dengan Pasal 310 Undang-undang No. 10 tahun 2008. Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara Komisi Pemilihan Umum dengan peserta pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional yang dapat memengaruhi perolehan kursi peserta Pemilu, yang hanya dapat diajukan permohonan pembatalannya kepada Mahkamah Konstitusi, paling lama 3 x 24 jam sejak diumumkan.55

53

Inu Kencana Syafiie, Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia (SANRI) , (Jakarta : Bumi Aksara, 2008). hal. 104

Sedangkan Tindak Pidana Pemilihan Umum berdasarkan ketentuan Undang-undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD didefenisikan sebagai pelanggaran terhadap ketentuan pidana Pemilu yang diatur dalam undang-undang ini yang penyelesaiannya melalui pengadilan pada peradilan umum, sedangkan pelanggaran yang bersifat administratif diselesaikan melalui KPU dan Badan Pengawas Pemilu serta aparat dibawahnya. Dalam konteks pengaturan tindak pidana, sesungguhnya UU Pemilu merupakan undang-undang

54

S. Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta : Ghalia Indonesia, cetakan ke-10, 1995). hal. 19

55

Abdul Fickar Hadjar, Persfektif Penegakan Hukum Tindak Pidana Pemilu,www.google.com. diakses tanggal 2 November 2009.


(51)

khusus (lex specialis) karena mengatur tindak pidana yang diatur dalam UU Pemilu, secara umum KUHP (lex generalis) juga telah mengaturnya dalam pasal 148 sampai dengan pasal 153 KUHP, yang antara lain mengatur:56

a. dengan kekerasan/ancaman sengaja mrintangi orang menggunakan hak pilih; b. menjanjikan/menyuap orang supaya tidak menggunakan hak pilih; c. menerima janji/ menerima suap;

d. melakukan tipu muslihat agar suara pemilih tak berharga atau menyebabkan beralihnya hak pilih kepada orang lain;

e. memakai nama orang lain supaya dapat memilih;

f. menggagalkan pemungutan suara atau melakukan tipu muslihat agar hasil pemilihan lain dari yang seharusnya. Pengaturan tindak pidana sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang No. 10 Tahun 2008 dapat terlihat dari kriminalisasi hampir seluruh perbuatan dalam setiap tahapan pelaksanan Pemilu yang dapat menghambat terlaksananya Pemilu. Dibandingkan dengan UU No. 12 Tahun 2003 yang hanya mengatur 31 (tiga puluh satu) pasal tentang tindak pidana Pemilu, maka UU No. 10 tahun 2008 ini telah mengatur ketentuan pidana sampai 51 (lima puluh satu) pasal. Dari 51 (lima puluh satu) Pasal yang mengatur tentang tindak pidana pemilu, sebagian besar (40 pasal diantaranya) mengancam penyelenggara pemilu tingkat pusat (KPU) sampai dengan ke tingkat Desa. Hanya 11 (sebelas) ketentuan yang tidak langsung ditujukan kepada penyelengara pemilu bahkan berdasarkan ketentuan

56


(52)

Pasal 311 UU No. 10 Tahun 2008 penyelenggara pemilu ditambah hukumannya 1/3 dalam melakukan tindak pidana yang ditujukan pada subjek lain selain penyelenggara pemilu. Dengan demikian keseluruhan ketentuan / pasal tindak pidana pemilu dapat dijatuhkan terhadap penyelenggara pemilu dari tingkat pusat (KPU) sampai ke tingkat desa (PPS).

Subjek lain yang dapat dikenai tindak pidana Pemilu antara lain: setiap orang (umum), Pelaksana Kampanye (orang partai atau event organizer), Pejabat Negara (seperti Ketua/Wakil ketua/Ketua Muda/Hakim Agung pada Mahkamah Agung, Ketua/Wakil ketua, Hakim Mahkamah Konstitusi, hakim pada semua badan peradilan, Ketua / Anggota BPK, Gubernur/Deputi Gubernur BI, serta Pejabat Badan Usaha Milik negara ), PNS/TNI/POLRI, Lembaga-lembaga Survey baik perorangan maupun institusi, Perusahaan Percetakan, dan Badan Pengawas Pemilu.

Adapun jenis-jenis tindak pidana berdasarkan tahapan pelaksanaan Pemilu antara lain:57

a. Tahapan Pemutahiran data dan penyusunan daftar pemilih a) Sengaja menyebabkan orang kehilangan hak pilih;

b) Pemalsuan identitas diri sendiri orang lain dalam daftar pemilih; c) Menghalangi orang mendaftar sebagai pemilih;

d) Panitia Pemilihan Suara /PPLN tidak memperbaiki daftar pemilih; e) Merugikan WNI dalam proses rekapitulasi daftar pemilih tetap;

57


(53)

b. Pendaftaran peserta Pemilu/Penetapan Peserta Pemilu/Penetapan jumlah Kursi/ pencalonan DPR, DPD, DPRD;

a) Perbuatan curang memperoleh dukungan pencalonan DPD;

b) Membuat dan menggunakan dokumen palsu untuk menjadi calon angota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota;

c) Penyelenggara Pemilu yang tidak menindak lanjuti temuan Bawaslu dalam verifikasi partai politik;

d) Penyelenggara Pemilu yang tidak menindak lanjuti temuan Bawaslu dalam verifikasi partai politik dan verifikasi adninistratif calon DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota;

c. Tahapan Masa Kampanye;

a) Kampanye diluar jadwal waktu yang dtentukan;

b) Melanggar larangan isi kampanye (mempersoalkan dasar negara/UUD 45, disintegrasi, menghasut agama, ketertiban umum, kekerasan, merusak dan menggunakan fasilitas pemerintah);

c) Larangan kampanye bagi pejabat negara Hakim, BPK dan BI, PNS/TNI Polri;

d) Menyuap untuk memilih peserta tertentu atau tidak memilih (golput); e) Menerima suap;

f) Menerima sumbangan kampanye dari pihak asing, tiidak jelas identitas, pemerintah;


(54)

h) Lalai atau sengaja menyebabkan terganggunya tahapan pemilu; i) Keterangan tidak benar laporan Dana Kampanye;

d. Tahapan masa Tenang;

- Orang / lembaga survei dilarang mengumumkan hasil suevey pada masa tenang; e. Tahap pemungutan dan Penghitungan Suara;

a) KPU sengaja mencetak surat suara melebihi jumlah yang ditentukan(Pasal 145);

b) Perusahaan pencetak suara mencetak melebihi jumlah yang ditetapkan dalam Pasal 146 ayat (1);

c) Perusahaan pencetak tidak menjaga kerahasiaan, keamanan dan keutuhan surat suara;

d) Menjanjikan atau menyuap/memberi uang agar tidak memilih atau memilih peserta pemilu tertentu;

e) Dengan kekerasan menghalangi orang menggunakan hak pilihnya; f) Sengaja melakukan erbuatan yang menyebabkan suara pemilih tak bernilai; g) Mengaku orang lain pada saat pemungutan suara;

h) Memberikan suara lebih dari satu kali di satu atau lebih TPS; i) Sengaja mengagalkan pemungutan suara;

j) Majikan/atasan yang tidak memberikan kesempatan pekerja memberikan suaranya;

k) Merusak hasil pemungutan suara;


(55)

m) Memberitahu pilihan pemilih kepada orang lain; n) KPU tidak menetapkan pilihan suara ulang;

o) KPPS tidak melaksanakan ketetapan KPU untuk melakukan pungutan suara ulang;

f. Penetapan Hasil Pemilu

a) lalai menyebabkan rusak/hilangnya hasil pemungutan suara; b) mengubah Berita Acara hasil pemungutan suara;

c) KPU karena kelalaiannya menyebabkan hilangnya/berubahnya berita acara hasil rekapitulasi;

d) Sengaja merusak/mengganggu/mendistorsi sistim informasi perhitungan suara;

e) KPPS sengaja tidak membuat/menandatangani berita acara perolehan suara peserta pemilu;

f) KPPS sengaja tidak memberikan salinan berita acara pemungutan suara, sertifikat hasil penghitungan suara;

g) KPPS/KPPSLN tidak menjaga, mengamankan keutuhan kotak suara; h) Pengawas Pemilu lapangan yang tidak mengawasi penyerahan kotak suara

tersegel;

i) PPS yang tidak mengumumkan hasil perhitungan suara;

j) KPU tidak menetapkan perolehan hasil Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD; k) Orang/lembaga survey perhitungan cepat (quickcount) yang mengumumkan


(56)

l) Orang/lembaga survey perhitungan cepat (quickcount) yang tidak mengumumkan bahwa hasil perhitungannya bukan merupakan hasil pemilu resmi;

m) Bawaslu /Panwaslu yang tidak menindak lanjuti temuan/laporan pelanggaran Pemilu yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu (KPU Cs) dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilu.58

B. Pengaturan Tindak Pidana dalam UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD

1. Pelanggaran Pidana Pemilu

Yang dimaksud dengan pelanggaran pidana Pemilu adalah pelanggaran terhadap ketentuan pidana Pemilu yang diatur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 yang penyelesaiannya dilaksanakan melalui Pengadilan Umum.

Menurut wujud dan sifatnya, perbuatan atau tindak pidana adalah perbuatan yang melawan hukum, perbuatan itu merugikan masyarakat dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil.59

Penyidik Kepolisian Negara RI menyampaikan hasil penyidikannya disertai berkas perkara kepada Penuntut Umum, paling lama 14 (empat belas) hari sejak menerima laporan Bawaslu, Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/ Kota. Apabila

58

Ibid

59

Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2006), hal.345


(57)

hasil penyidikan belum lengkap, dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari, Penuntut Umum, mengembalikan berkas kepada penyidik kepolisian, dengan disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi. Selanjutnya penyidik Kepolisian negara RI, dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak tanggal penerimaan berkas, harus sudah menyampaikan berkas perkara tersebut kepada Penuntut Umum. Kemudian barulah Penuntut Umum melimpahkan berkas perkara dimaksud kepada Pengadilan Negeri, paling lama 5 (lima) hari sejak menerima berkas perkara.

Selanjutnya, Pengadilan Negeri memeriksa, mengadili dan memutus perkara tindak pidana Pemilu menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kecuali ditentukan lain dalam UU No. 10 Tahun 2008. Sidang pemeriksaan pidana Pemilu, dilakukan oleh Hakim Khusus, diatur dengan peraturan Mahkamah Agung.60

Pengadilan Negeri memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana pidan Pemilu, paling lama 7 (tujuh) hari setelah pelimpahan berkas perkara. Apabila terdapat putusan Pengadilan dimaksud diajukan banding, permohonan banding diajukan paling lama 3 (tiga) hari setelah putusan dibacakan. Pengadilan Negeri melimpahkan berkas perkara permohonan banding kepada Pengadilan Tinggi, paling lama 3 (tiga) hari setelah permohonan banding diterima.61

60

Abdullah, Rozali Mewujudkan Pemilu yang Lebih Berkualitas, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009).

61


(58)

Pengadilan Tinggi memeriksa dan memutuskan perkara banding paling lama 7 (tujuh) hari setelah permohonan banding diterima. Putusan Pengadilan Tinggi dalam hal ini, merupakan putusan akhir dan mengikat, serta tidak ada upaya hukum lain.

Kemudian, putusan pengadilan dimaksud harus sudah disampaikan kepada Penuntut Umum paling lama 3 (tiga) hari setelah putusan dibacakan dan harus dilaksanakan paling lama 3 (tiga) hari setelah putusan diterima oleh Jaksa.

Putusan Pengadilan terhadap perkara tindak pidana pemilu yang dapat mempengaruhi perolehan suara Peserta Pemilu harus sudah selesai paling lama 5 (lima) hari setelah KPU menetapkan hasil Pemilu secara nasional. KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti putusan Pengadilan tersebut. Salinan putusan Pengadilan harus diterima oleh KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/ Kota dan peserta Pemilu pada hari putusan Pengadilan tersebut dibacakan.62

2. Perselisihan Hasil Pemilu

Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara KPU dan Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional. Perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional, adalah perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat mempengaruhi perolehan kursi peserta Pemilu.63

62

Ibid.

63


(59)

Apabila terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional, peserta Pemilu dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil perhitungan suara oleh KPU kepada Mahkamah Konstitusional. Peserta Pemilu mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi, paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam, sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional oleh KPU. Dalam hal ini, KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/ Kota wajib menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstiusi.

3. Ketentuan Pidana

Ketentuan pidana dalam UU No. 10 Tahun 2008 ini, memuat sejumlah tindak pidana Pemilu beserta sanksinya, yang mungkin terjadi dalam penyelenggaraan Pemilu. Dalam undang-undang ini terdapat 51 (lima puluh satu) pasal yang merumuskan berbagai macam tindak pidana Pemilu, disertai sanksinya, baik berupa penjara, maupun denda. Di samping itu, ada juga sanksi berupa larangan tidak boleh mengikuti kampanye Pemilu khususnya untuk tindak pidana Pemilu yang berkaitan dengan kegiatan kampanye.64

Ketentuan pidana Pemilu dimaksud, dapat kita lihat rumusan dan sanksinya (dalam lampiran 1).65

Pengaturan mengenai Pelanggaran Pidana Pemilu dalam UU No. 10 tahun 2008 tercantum dalam Pasal 252 sampai dengan Pasal 259. Dengan demikian,

64

Ibid.

65


(1)

hasil penghitungan cepat bukan merupakan hasil resmi Pemilu

juta, maksimum Rp. 18 juta.

53. 309 KPU tidak

melaksanakan putusan pengadilan

Ketua dan anggota KPU, KPU Propinsi, KPU Kabupaten/ Kota

Tidak melaksanakan putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 257 ayat (2).

Pidana penjara minimum 12 bulan, maksimum 24 bulan, dan denda minimum Rp. 12 juta, maksimum Rp. 24 juta.

54. 310 Panwaslu tidak menindaklanjuti

temuan pelanggaran Pemilu oleh KPU

Ketua dan anggota: Bawaslu, Panwaslu Propinsi, Panwaslu Kabupaten/ Kota, Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Lapangan, Panwaslu LN.

Dengan sengaja

Tidak menindaklanjuti temuan dan/ atau laporan pelanggaran Pemilu yang dilakukan oleh anggota KPU, KPU Propinsi, KPU Kabupaten/ Kota, PPK, PPS/ PPLN, dan/ atau KPPS dalam setiap

Pidana penjara minimum 3 bulan, maksimum 36 bulan, dan denda minimum Rp. 3 juta, maksimum Rp. 36 juta.


(2)

tahapan penyelenggaraan Pemilu

55. 311 Pemberatan Penyelenggara pemilu sMelakukan pelanggaran

pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 260, 261, 262, 265, 266, 269, 270, 278, 281, 286, 287, 288, 289, 290, 291, 293, 295, 297, 298, dan Pasal 300.

Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan pidana yang ditetapkan dalam pasal-pasal tersebut.


(3)

Lampiran 2 : Tahapan penyelenggaraan Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD Tahun 2009 sebagaimana yang ditetapkan dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 09 Tahun 2008 tanggal 3 April 2008, pada pokoknya meliputi kegiatan sebagai berikut:

No. Program/ Kegiatan Jadwal Ket

1 2 3 4

Tahapan Persiapan

1. Penataan organisasi 23-10-07 s.d. 29-03-08 2. Bimbingan teknis, sosialisasi dan

koordinasi penyelenggaran Pemilu

01-01-08 s.d. 31-12-08

3. Pengelolaan data dan Informasi Pemilu 01-01-08 s.d. 10-12-08 Tahapan Penyelenggaraan Pemilu

1. Pemutakhiran data pemilih dan menyusun daftar pemilih

05-04-08 s.d. 20-10-08

2. Pendaftaran peserta Pemilu dan penetapan peserta Pemilu:

a. Partai Politik b. Perseorangan/ DPD

05-04-08 s.d. 05-07-08 14-06-08 s.d. 27-10-08 3. Penetapan jumlah kursi dan daerah

pemilihan

01-05-08 s.d. 12-06-08

4. Pencalonan anggota DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota:

a. Pencalonan anggota DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota b. Verifikasi kelengkapan bakal calon c. Penyusunan dan penetapan daftar

calon tetap

05-08-08 s.d. 03-10-08

11-08-08 s.d. 03-09-08 09-10-08 s.d. 26-10-08


(4)

d. Pengumuman daftar calon tetap 27-10-2008 5. Masa Kampanye

a. Persiapan kampanye b. Pelaksanaan kampanye

- Melalui pertemuan terbatas,

02-01-08 s.d. 28-02-09

08-07-08 s.d. 01-04-09

No. Program/ Kegiatan Jadual Ket

tatap muka, media massa cetak dan elektronika, penyebaran bahan kampanye kepada umum

- Melalui rapat umum 13-03-09 s.d. 01-04-09

6. Masa Tenang 02-04-09 s.d. 04-04-09

7. Pemungutan suara dan penghitungan suara:

a. Pemungutan suara dan penghitungan suara oleh KPPS/ KPPSLN TPS/ TPSLN

b. Penghitungan suara dari KPPS-PPK, KPU Kabupaten/ Kota, KPU

Propinsi dan KPU

05-04-2009

04-05-09 s.d. 05-05-09

8. Penetapan hasil Pemilu:

a. KPU Kabupaten/ Kota untuk anggota DPRD Kabupaten/ Kota

b. KPU Propinsi untuk anggota DPRD Propinsi

c. KPU untuk anggota DPR, DPD, DPRD Propinsi dan DPRD Kab/ Kota secara nasional

15-04-2009

20-04-2009

05-05-2009


(5)

Kota, DPRD Propinsi, DPR dan DPD 10. Penetapan dan pengumuman calon

terpilih anggota DPRD Kab/ Kota, DPRD Propinsi, DPR dan DPD

13-05-09 s.d. 20-05-09

11. Pemberitahuan kepada calon terpilih 15-05-09 s.d. 31-05-09 12. Pengucapan sumpah/ janji:

a. DPRD Kabupaten/ Kota b. DPRD Propinsi

c. DPD dan DPR

Juli 2009 Agustus 2009 1 Oktober 2009


(6)

Telah diuji pada


Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pemilu dan Proses Penyelesaian Perkaranya dalam Persfektif Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD

0 31 103

KAJIAN YURIDIS PELAKSANAAN KAMPANYE PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF BERDASARKAN PERATURAN KPU NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN KAMPANYE PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DPR, DPD DAN DPRD

0 3 16

KAJIAN YURIDIS PELAKSANAAN KAMPANYE PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF BERDASARKAN PERATURAN KPU NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN KAMPANYE PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DPR, DPD DAN DPRD

0 30 72

IMPLIKASI SISTEM PENGISIAN KEANGGOTAAN DPR MENURUT UNDANG­UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DPR, DPD, DAN DPRD TERHADAP KUALITAS DEMOKRASI DI INDONESIA

0 4 85

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENGATURAN ELECTORAL THRESHOLD DAN PARLIAMENTARY THRESHOLD MENURUT UNDANG – UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DPR, DPD, DPRD

0 5 125

ANALISIS PENETAPAN PARTAI POLITIK PESERTA PEMILU TAHUN 2009 DITINJAU DARI UNDANG – UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM, DPR, DPD DAN DPRD

0 14 127

PENGATURAN TINDAK PIDANA DALAM KAMPANYE PEMILU DI INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1O TAHUN 2OO8 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DPR, DPD, DPRD (STUDI KASUS DI PANWASLU KOTA PADANG).

0 0 6

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PEMILU DAN PROSES PENYELESAIAN PERKARANYA DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DPR, DPD, DAN DPRD.

0 0 2

uuno8tahun2012 ttgpemiluanggotadpr dpddprd pasal19hakmemilih

0 1 150

Pemilihan umum anggota DPR dpd

0 0 1