Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam memang agama universal, ia hadir untuk memberi atmosfir Ilâhiyyah dalam setiap aspek kehidupan. Dalam kemunculan “perdana” di Tanah Arab, ia berusaha meminimalisir bahkan menghilangkan sama sekali fenomena jâhiliyyah dalam aktivitas penduduknya. Indikasi peran Islam dapat dilihat dari peristiwa dihancurkannya berhala-berhala saat futuh makkah sehingga mengubah kebiasaan bangsa Quraisy waktu itu yang senantiasa mengekspresikan ibadah di hadapan berhala-berhala buatan mereka yang akhirnya berganti menyembah Allah SWT. Atmosfir Ilâhiyyah ini tidak hanya menyentuh aspek ‘ibâdah mahdah semata, lebih dari itu ia menyelimuti segala aktivitas manusia yang bersifat ghayr mahdah agar tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Salah satu di antaranya dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam menjalankan bisnisnya. Selain sebagai seorang Rasul, Nabi Muhammad SAW memiliki multi atribut: kepala Negara yang mencintai rakyatnya, panglima perang yang gagah perkasa, suami yang menyayangi keluarga, diplomat ulung, bahkan juga beliau terkenal sebagai seorang pebisnis yang jujur. Tidak heran, setiap menjalankan bisnisnya, beliau selalu mendapatkan untung besar, hal mana dirasakan oleh Siti Khadijah --yang kelak menjadi isteri Rosulullah SAW-- sebagai pemilik bisnis. Dengan predikat sebagai rahmatan li al-‘âlamîn, Nabi Muhammad SAW senantiasa melebarkan sayap akhlaq dalam segala aktifitasnya kepada siapa saja dengan tidak pandang bulu sehingga beliau ditahbiskan orang sebagai al-âmin yang diperkuat dengan firman Allah SWT dalam Sûrah al-Qalam68: 4 berikut:   “Dan sesungguhnya kamu Muhammad benar-benar berbudi pekerti yang agung”. Sebuah predikat logis mengingat perilaku beliau yang senantiasa berlandaskan tauhid dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Di mana selanjutnya para sahabat dan pengikutnya menjadikan beliau tidak saja sebagai pemimpin yang ditaati dan dicintai, lebih dari itu beliau sebagai uswatun hasanah, cerminan dalam berperilaku. Sebagaimana disebutkan di muka, Nabi Muhammad SAW juga menjalankan peran sebagai pebisnis, suatu peran yang meneguhkan adanya keseimbangan dalam mengisi eksistensi sebagai khalîfah fî al-ard, sebagaimana dianjurkan oleh Allah SWT dalam Sûrah al-Qasas28: 77: + , -. 01 2 3 45 67 18 9 -: 3 ;1= ? 4 ;A= ? , +B 3 45 ACDB E F-2G 3 HI J 45 K L EM :1BDB OO “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari kenikmatan duniawi dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. Berdagang berbisnis sangat dihargai dan dijunjung tinggi dalam Islam, karena merupakan salah satu aktualisasi seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Ketika masyarakat dunia pada umumnya menempatkan kelas pendeta dan kelas militer di tempat yang tinggi, Islam menghargai orang-orang yang berilmu, petani, pedagang, tukang dan pengrajin. 1 Dan setiap manusia harus menghargai hasil kerja orang lain, 2 sebagaimana tersirat dalam sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Oleh Bayhaqy: ی ﻝ “Bayarlah upah pekerja itu sebelum kering keringatnya, dan beritahukanlah upahnya sewaktu ia lagi kerja”. 3 Di era globalisasi sekarang ini, di mana dunia seakan “selebar daun kelor”, suatu kecenderungan yang diramalkan Marshall McLuhan sebagai ‘desa global’ global village, 4 percepatan teknologi semakin mendapat tempatnya. Kondisi yang sama dialami dalam dunia bisnis, di mana banyak negara-negara di dunia yang mengadakan kerjasama bilateral, multilateral bahkan global di bidang perdagangan seperti APEC, AFTA, NAFTA, GATT. Sebagai layaknya pertemuan dua kebudayaan, maka difusi kebudayaan menjadi keniscayaan tak terelakkan. Segala nilai-nilai berbaur menjadi satu, entah positif pun negatif. Mengingat kondisi tersebut, maka yang menjadi kekhawatiran adalah maraknya nilai-nilai negatif. Memang, sebagai konsekuensi logis dari globalisasi 1 M. Dawam Rahardjo, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa; Risalah Cendekiawan Muslim Bandung: Penerbit Mizan, 1996, Cet. III, h. 457. 2 Ibid., h. 458. 3 al-Sayyid Ahmad al-Hasyimiy, Tarjamah Mukhtârul Ahâdits Bandung: Alma’arif, 1996, Cet. Ke-7, h. 167-168. 4 Marwah Daud Ibrahim, Teknologi Emansipasi dan Transendensi Bandung: Penerbit Mizan, 1995, Cet. II, h. 15. dan liberalisasi ekonomi, maka akan diikuti dengan penetrasi barang dan jasa dari luar negeri yang diiringi oleh maraknya dunia periklanan yang berorientasi menciptakan konsumerisme, sebagai akar dari hedonisme yang nyata-nyata memiliki dampak pada ‘moralitas umat’. 5 Di samping itu, juga akan menumbuhkan kompetisi di antara pelaku bisnis, sebagai konsekuensi logis dari homo economicus , bahkan lebih dari itu, suasana kehidupan global maupun kehidupan nasional domestik banyak yang bersifat hobessian, di mana yang kuat memeras yang lemah, yang kaya menindas yang miskin, yang pintar memintari yang bodoh. 6 Menyikapi kecenderungan di atas, dibutuhkan semacam pembekalan bagi pelaku bisnis yang dalam istilah Haidar Bagir : Manajemen Profetik, 7 istilah yang merujuk pada pemahaman bahwa manajemen pada dasarnya adalah sebuah upaya yang melibatkan satu faktor yang paling penting dari keseluruhan faktor-faktor di dalamnya, yaitu manusia. 8 Pembekalan inilah yang diharapkan mengubah paradigma business is business, tetapi lebih menekankan kesetaraan dan pengambilan prakarsa dalam setiap unsur manajemen, lebih egalitarian dalam soal imbalan remunerasi sehingga menumbuhkan rasa sense of belonging dari para partisipannya. 9 Memang, dalam ajarannya, Islam banyak menekankan aspek moral, terutama moral kepada Allah SWT hablun min Allah dan moral kepada sesama manusia hablun min al-nâs yang diintrodusir oleh para Da’i kepada umat. 5 M. Amien Rais, Tauhid Sosial; Formula Menggempur Kesenjangan Bandung: Penerbit Mizan, 1998, Cet. I, h. 218. 6 Ibid., h. 100-101. 7 Haidar Bagir, Mistisisme dalam Perusahaan, Tsaqafah, Vol. 1, No. 1, 2002, h. 60. 8 Ibid., h. 61. 9 Ibid., h. 61. Dalam bidang bisnis pun, Islam memberi landasan moral akhlâq karena menyangkut hubungan dengan sesama, di mana kejujuran dan kerelaan masing- masing pihak dalam hal ini sangatlah diperlukan sebagaimana ditegaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya dalam Sûrah Al-Nisâ4: 29: PQR S T R UM VJ 3W7 9 45 3XW S Y Z [ WB9 ? \ ]7 K T ]B _5 I ? `W Z a 0TbP 9 ;  cF 0 Y Zd e9 45 3XW 2B Y ZA D ? HI J IVCg Y Z h - ij “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. Salah satu komponen penting yang mendukung penyebaran ajaran Islam yakni dakwah selama ini mengalami perkembangan. Dakwah, suatu aktivitas religius, di mana ajaran Islam diintroduksikan kepada para pemeluknya oleh para Da’i, kini tidak lagi “dimonopoli” oleh sekelompok orang yang selama ini kita kenal dengan Kyai, Ustadz dan semacamnya. Ia, kini menempati wilayah yang siapapun bebas memasukinya. Fenomena maraknya pelaku dakwah dari kalangan artis, pejabat, mu’allaf, cendekiawan, bahkan profesional sekalipun, dipandang sebagai sebuah kekuatan baru yang berdiri untuk memperkuat barisan para Da’i. Walau sementara kalangan ada yang mengatakan bahwa mereka hanya sebagai ‘pemanis’ belaka, namun tak dapat disangkal bahwa kini dakwah mendapat dukungan dari berbagai pihak. Amrullah Ahmad mencermati perkembangan interaksi sistem dakwah, di mana pada akhir abad ke XX ini sudah mengalami ekstensifikasi sesuai dengan tantangan masyarakat industri. 10 Memang kondisi masa di mana globalisasi menjadi mainstream dalam kancah sosial budaya umat manusia, di situ juga dakwah ditantang untuk tetap eksis, alih-alih sebagai counter terhadap dampak negatif yang menyertainya. Dan keikutsertaan mereka --pelaku dakwah non-Kyai-- dapat dipandang sebagai wujud ghirah keislaman yang tinggi. Sebagai bagian dari komunitas Muslim, mereka mempunyai tanggung jawab moral terhadap kontinuitas ajaran Islam yang semakin dibutuhkan élan vitalnya di saat manusia mengalami kekeringan spiritual di tengah arus kecanggihan teknologi. Djohan Effendi melihat adanya kecenderungan orang modern untuk kembali menekuni ajaran agama seperti yang dikatakannya: “Proses modernisasi masyarakat kita tentu saja membawa berbagai perubahan. Perubahan itu relatif berlangsung sangat cepat, yang seringkali tidak terkejar oleh daya adaptasi masyarakat kita. Spesialisasi semakin ketat, persaingan makin keras. Berbagai keahlian baru makin dituntut. Nilai-nilai masyarakat kita menghadapi tantangan dan perubahan. Timbul gejala kekurangpastian dan keterasingan. Orang memerlukan pegangan yang memberikan ketahanan batin. Dan itu tak lain daripada tasawuf.” 11 Yudi Latif, seorang penulis buku dari Bandung, bahkan melihat gejala yang sama: “Agama, tiba-tiba memasuki jajaran kata kunci utama, ketika kita melakukan analisis isi berita-berita media massa belakangan ini. Jika benar media massa merupakan cermin bening kondisi objektif masyarakat, maka hal itu berarti, agama sekarang ini tengah menduduki posisi sentral dalam agenda kehidupan umat manusia. Sekurang-kurangnya anggapan demikian diperteguh oleh pendapat John Naisbitt dan Patricia Aburdene, yang dalam buku Megatrends 2000-nya mengkonstantir bahwa dasawarsa 1990-an 10 Amrullah Achmad, Dakwah Islam Sebagai Ilmu; Sebuah Kajian Epistemologi dan Struktur Keilmuan Dakwah Fakultas Dakwah: Diktat, t.t., h. 7. 11 Djohan Effendi, “Agama dalam Transformasi Masyarakat Indonesia Modern”, dalam Denny J.A. peny., Transformasi Masyarakat Indonesia Jakarta: Kelompok Studi Proklamasi, 1986, Cetakan Pertama, h. 129. sebagai era kebangkitan kembali agama-agama kebangkitan religius milenium baru. 12 Mencermati kecenderungan tersebut, nampaklah bahwa agama tetap merupakan kebutuhan hakiki umat manusia, yang dengannya terjawablah segala permasalahan yang dihadapinya. Dan dalam keterasingan di tengah hutan belantara teknologi inilah manusia mencari jati dirinya yang hilang dengan kembali kepada agama, meski sementara orang dengan nada sinis meragukan kemampuan agama dalam menjawab permasalahan yang dihadapi umat manusia modern sebagaimana Nietzhe dengan Got Is Totnya. Dan, sisi maraknya kegiatan keagamaan yang ditandai dengan lubernya tempat-tempat peribadatan, berkembangnya kajian-kajian agama, meningkatnya volume pewartaan masalah keagamaan, serta makin meluasnya media komunikasi informasi keagamaan di tengah-tengah gemuruh mesin pembangunan yang memperkukuh cengkeraman imperium sains dan teknologi seakan memperkuat hipotesis yang digaungkan oleh Will Durant dalam The Lessons of History sebagaimana dikutip oleh Yudi Latif: “Agama memiliki seratus jiwa. Segala sesuatu bila telah dibunuh, pada kali pertama itu pula ia telah tewas untuk selama-lamanya, kecuali agama. Sekiranya ia seratus kali dibunuh, ia akan muncul lagi dan kembali hidup setelah itu.” 13 Eksistensi agama sebagai jawaban dari berbagai persoalan hidup inilah yang berusaha digiatkan kembali gaungnya oleh para Da’i. Mereka tampil untuk menyuarakan kembali ajaran agama yang selama ini seakan tenggelam di tengah arus modernisasi. 12 Yudi Latif, Masa Lalu Yang Membunuh Masa Depan, Krisis Agama Pengetahuan dan Kekuasaan dalam Budaya Teknokratis Bandung: Mizan, 1999, Cet. I, h. 141. 13 Ibid., h. 141-142. Islam sebagai agama akhir zaman, memang merupakan ajaran yang multi solve , dalam artian dapat menjawab berbagai persoalan kehidupan manusia. Sejak awal kelahirannya, Islam bahkan merupakan jawaban setelah runtuhnya sistem jâhiliyyah . Kehadirannya tidak semata mengurusi persoalan Tauhid yang telah porak poranda selama Abu Jahal Cs. masih berperan sebagai corong jâhiliyyah. Lebih dari itu, membenahi pula aspek sosio-budaya yang selama ini centang perenang. Salah satu aspek penting dalam kehidupan umat manusia adalah ekonomi, di mana untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya dipandang sebagai causa prima , bahkan di negara kita pernah ada ungkapan “ekonomi sebagai panglima”. Dalam perjalanannya di panggung sejarah peradaban manusia, ekonomi dianggap memiliki peranan penting dalam proses pembangunan peradaban. Ekspansi suatu bangsa untuk memperluas wilayah kekuasaannya tidak terlepas dari peran penting ekonomi, ini dapat dilihat dari pembiayaan mereka dalam bidang militer guna mendukung ekspansi wilayah tersebut. Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, kaum penjajah Belanda memiliki kongsi dagang VOC Vereenidge Oost Indische Compagnie; Perkumpulan Dagang Hindia Timur untuk mendukung basis perekonomian mereka. Kaum Bumi Putera menyadari betul urgensitas perekonomian bagi pembangunan bangsa, karenanya H. Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam untuk mempertegas eksistensi kepedulian pengusaha muslim. M. Dawam Rahardjo mendeskripsikan secara kronologis bangkitnya pengusaha muslim ini dalam tulisannya “Pasang Surut Pengusaha Muslim; Tinjauan Sosiologis” . 14 Menyinggung pembahasan di awal bab mengenai fenomena pelaku dakwah dari berbagai kalangan, maka demikian halnya di bidang bisnis. “Aura” Dakwah di lingkungan bisnis ini dapat kita rasakan bila membaca literatur sejenis. Ary Ginandjar Agustian misalnya, dengan metode ESQ Emotional and Spiritual Quotients nya sering mengadakan pelatihan “kecerdasan emosi dan spiritual” bagi para pengusaha, eksekutif, dan pejabat. Bahkan, untuk mendukung gerakan dakwahnya, K.H. Abdullah Gymnastiar yang akrab disapa Aa Gym merasa perlu untuk mengembangkan bisnis sendiri. 15 Dalam literatur sejarah, maka akan kita temukan beberapa tesis pakar sejarah yang membahas masuknya Islam di Indonesia dengan melahirkan Teori Gujarat, Teori Makkah dan Teori Persia . 16 Dari sekian tesis tersebut, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa penyebaran agama Islam di Nusantara di antaranya dilakukan oleh kaum pedagang yang meneguhkan pandangan betapa perdagangan, bisnis, memiliki andil besar dalam pengenalan ajaran Islam. Maka, tidaklah mengherankan jika kemudian Wakil Presiden RI, H. Muhammad Jusuf Kalla semasa masih menjabat sebagai Menko Kesra dalam keynote speechnya pada seminar peluncuran buku Fiqh Perdagangan Bebas karya K.H. Ali Yafie, menyatakan bahwa “Orang Islam adalah masyarakat pedagang”. 17 Hal ini 14 M. Dawam Rahardjo, “Pasang Surut Pengusaha Muslim; Tinjauan Sosiologis” dalam Aswab Mahasin ed., Ruh Islam dalam Budaya Bangsa; Agama dan Problema Masa Kini Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, 1996, Edisi Pertama, h. 10-28. 15 Sinergi dakwah dan bisnis ala Aa Gym dapat dibaca lebih lanjut dalam buku karya Yudi Pramuko, Rahasia Sukses Dakwah dan Bisnis Aa Gym Jakarta: Taj Mahal, 2003, Cet. IV. 16 Ahmad Mansyur Suryanegara, Menemukan Sejarah Bandung: Mizan, 1998, Cet. IV, h. 74. 17 Majalah Ekonomi Syari’ah, Vol. 2, No. 3 – 20031424 H., h. 7. memiliki akar historis dengan apa yang dilakukan Nabi Muhammad SAW sewaktu masih aktif berbisnis sebagaimana disinyalir oleh Emil Salim: “… kita mengetahui pula bahwa mekanisme pasar yang sama telah membantu Muhammad, sebelum menjadi Rasul, menjadi orang yang dikenal jujur dan tinggi integritasnya dalam perdagangan. Sehingga Khadijah sangat mempercayai Muhammad dalam pelaksanaan bisnis. Ini berlangsung dalam masa jahiliyah ketika agama Islam belum berkembang.” 18 Nabi Muhammad SAW sebagai uswah hasanah bagi umatnya, selain mengemban amanat kerasulan juga memainkan peran sebagai seorang pedagang dengan misi profetik yang dibawanya. Beliau di masa mudanya telah melakukan perjalanan dagang hingga ke negeri Suriah, kemudian melebarkan sayap usahanya hingga Yaman, Irak, Yordania dan berbagai kota serta sudut strategis yang berada di Jazirah Arab. Dalam melakukan kegiatan bisnisnya, beliau tidak lupa untuk meletakkan dasar-dasar moral, manajemen, dan etos kerja yang bahkan telah lebih mendahului daripada zaman yang ada pada saat itu. Bahkan landasan etika dan bisnis yang dikembangkan oleh beliau kemudian mendapatkan legitimasi keagamaan pada saat beliau diangkat menjadi Rasul pada usia 40 tahun. Bahkan pada masa sekarang, landasan etika dan bisnis yang dikembangkan oleh beliau kemudian mendapatkan pembenaran secara akademis. Berbagai macam etika bisnis dan usaha modern yang dilakukan oleh Muhammad di kala muda seperti tujuan pelanggan, pelayanan yang unggul, kompetensi, efisiensi, transparansi, persaingan dan perdagangan yang sehat fair trade, dan iklim berkompetensi 18 Emil Salim, “Melemahnya Tanggung Jawab Sosial Masyarakat Bisnis” dalam Elza Peldi Taher, Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi; Pengalaman Indonesia Masa Orde Baru Jakarta: Yayasan Paramadina, 1994, Cetakan I, h. 98. yang sehat semuanya telah dilakukan oleh Muhammad SAW ketika beliau masih muda. 19 Etos bisnis yang dibangun oleh Rasulullah SAW tersebut dimiliki pula oleh para sahabat beliau. Abu Bakar R.A. menjalankan usaha perdagangan pakaian, ‘Umar R.A. memiliki bisnis perdagangan jagung, dan ‘Utsman R.A. juga memiliki usaha perdagangan pakaian. Kaum Ansar yang mengikuti Rasulullah SAW menjalankan usaha pertanian. 20 Sahabat lain yang juga aktif berbisnis, yakni Abdurrahman bin Auf R.A. bahkan dikatakan oleh Aisyah R.A., salah seorang isteri Rasulullah SAW bahwa Rasulullah SAW telah diberitahu oleh Malaikat Jibril bahwa ia Abdurrahman bin Auf telah ditetapkan akan masuk ke dalam Jannatun Na’îm . 21 Dari penjelasan di atas, maka dapat dikatakan bahwa bisnis memiliki porsi yang tidak kalah pentingnya dalam wacana dakwah. Dalam lingkup Indonesia, maka kita kenal H. Muhammad Ikhwan, SE, seorang putra Betawi asli yang juga seorang pebisnis yang meraih banyak prestasi di bisnis MLM 22 CNI 23 dan terakhir tercatat meraih posisi Crown Agency Manager CAM, peringkat puncak yang diidam-idamkan lebih dari 700 ribu distributor CNI lainnya. 24 19 Majalah Ekonomi Syari’ah, h. 7. 20 Muhammad dan R. Lukman Faironi, Visi Al-Qur’an Tentang Etika dan Bisnis Jakarta: Salemba Diniyah, 2002, Edisi Pertama, h. 133. 21 Majalah Ekonomi Syari’ah, h. 7. 22 MLM Multi Level MarketingNetwork Marketing : pemasaran berjenjang merupakan sebagian dari sebutan orang mengenai sistem bisnis, di mana pemasaran produkjasa dilakukan oleh individu perseorangan untuk kemudian membentuk jaringan kerja guna memasarkan produk atau jasa. Dari hasil penjualan pribadi dan jaringannya tersebut, tiap bulan perusahaan akan memperhitungkan bonus atau komisi sebagai hasil usahanya. Lihat PT. Citra Nusa Insanpurnama, Starter Kit , tth, h. 1. 23 CNI PT. Citra Nusa Insanpurnama adalah perusahaan MLM yang didirikan pertama kali di Bandung dengan nama awal PT. Nusantara Sun Chlorella Tama pada tahun 1986. Lihat PT. Centra Nusa Insancemerlang, h. 3. 24 Majalah Bulanan Sukses; Kemandirian Karir dan Finansial, Vol. XV, h. 10. Dalam melaksanakan tugasnya sebagai seorang Crown Agency Manager dan sebagai upline dari sekian banyak anggota di bawahnya, H. Muhammad Ikhwan, SE senantiasa memberikan motivasi sebagai wujud tanggung jawab seorang leader. Ialah yang merumuskan metode 4 empat langkah --dalam memberikan pengertian kepada orang lain yang akan diajak bergabung sebagai anggota CNI-- suatu metode yang memberikan kesadaran penuh bagi distributor CNI dalam memahami dirinya sebagai manusia, sehingga dengannya banyak anggota maupun calon anggota CNI yang tercerahkan. Selain itu, ia juga banyak memberikan motivasi yang sarat dengan nilai-nilai etika --yang notabene digali dari nilai-nilai Islam-- kepada para downlinenya. Segala upaya yang dibangun oleh H. Muhammad Ikhwan, SE senantiasa bermuara pada kesadaran akan pentingnya perubahan hidup --yakni perbaikan ekonomi dan kesadaran tentang etos kerja--, suatu kesadaran yang dianjurkan dalam Islam bahkan diingatkan oleh Allah SWT dalam Sûrah al-Ra’d13: 11: k \T mn 9 g; e9 E o R : R =; 9 p D k Wq CDB L =; 9 r0B9 ? s Z t` J 45 ume0 R 9 9wW xyz 3 ume0 R 9 Y{1| D S Z } - ? , wW 6 XW~ 4C H 0 9 k 9 P ; e9 p  ; 9 • €€ “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”. Bukan hanya sebatas motivasi yang menganjurkan orang harus bekerja dengan keras dan cerdas dalam merubah hidup, ia juga menganjurkan para down line nya untuk bekerja secara ikhlas terhadap kegagalan dalam proses apalagi keberhasilannya. Kita tahu bahwa keikhlasan adalah sisi yang bersentuhan dengan wilayah kejiwaan, wilayah hati. Artinya H. Muhammad Ikhwan, SE sangat menganjurkan sekali untuk selalu ingat terhadap kebesaran Yang Maha Kuasa dalam bisnis yang dijalani oleh para down linenya. Cara yang dilakukan H. Muhammad Ikhwan, SE tersebut dari pengamatan penulis cukup efektif dalam mengubah pola pikir --walaupun mungkin hanya terbatas pada down linenya saja- -, hal ini terjadi pada beberapa mitra CNI yang berubah pola hidup dan pola pikir yang tadinya pemalas berubah menjadi orang yang giat bekerja, dan dari penjudi menjadi mitra usaha yang rajin berinvestasi. Pertanyaannya adalah mengapa para mitra CNI mau mengikuti apa yang disarankan oleh H. Muhammad Ikhwan, SE? Karena apa yang dikatakan olehnya adalah apa yang telah dia lakukan baik itu kerja keras, cerdas maupun ikhlas. Dalam perspektif bahasa, ini mengindikasikan bahwa betapa sebuah jargon, kata- kata memiliki kekuatan dalam mengubah karakter seseorang. Dalam perspektif dakwah, kata-kata yang mengandung kebaikan termasuk dalam term hikmah. Mencermati hal-hal tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk menyusun karya tulis skripsi dengan judul: NILAI-NILAI DAKWAH DALAM KOMUNIKASI BISNIS Studi Atas Komunikasi Bisnis H. Muhammad Ikhwan, SE .

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah