Perbandingan Efektifitas Tetes Mata Natrium Diklofenak 0,1% Dan Deksametason 0,1% Dalam Menekan Inflamasi Pasca Bedah Katarak
PERBANDINGAN EFEKTIFITAS TETES MATA
NATRIUM DIKLOFENAK 0,1% DAN DEKSAMETASON 0,1%
DALAM MENEKAN INFLAMASI PASCA BEDAH KATARAK
(SUATU STUDI UJI KLINIK TERSAMAR GANDA PADA BEDAH KATARAK FAKOEMULSIFIKASI DENGAN PENANAMAN LENSA INTRAOKULER DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN DAN RS KHUSUS
MATA MEDAN BARU)
TESIS
dr. DELFI, SpM(K)
PROGRAM MAGISTER KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(2)
2012
TESIS INI DIA JUKA N UNTUK MEMPERO LEH G ELA R
MA G ISTER KLINIK DA LA M BIDA NG ILMU KESEHA TA N MA TA PA DA DEPERTEMEN ILMU KESEHA TA N MA TA
FA KULTA S KEDO KTERA N UNIVERSITA S SUMA TERA UTA RA MEDA N
Disa hka n O le h :
De p a rte m e n Ilm u Ke se ha ta n Ma ta FK- USU
Ketua Program Studi Kepala Departemen
Dr. Hj. Aryani Atiayatul Amra, SpM Dr. Delfi, SpM(K)
(3)
Pembimbing I :
Prof. dr. H. Aslim D Sihotang, SpM(KVR)
Guru Besar Tetap Ilmu Kesehatan Mata
Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
Medan
Pembimbing II :
Prof. Dr. H. Azman Lelo, PhD, SpFK(K)
Guru Besar Tetap Farmakologi
Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
Medan
(4)
KATA PENGANTAR DENGAN NAMA ALLAH
YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG
Segala puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya serta memberikan bimbingan, petunjuk dan kekuatan lahir dan bathin sehingga saya dapat merampungkan penelitian dan tesis ini. Shalawat dan salam ke haribaan junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW. Penulisan tesis ini merupakan tahap lanjutan untuk memperoleh gelar magister klinik di bidang ilmu kesehatan mata di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan yang berbahagia ini perkenankanlah saya menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Yang terhormat Bapak Prof. DR. Dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, CTM, SpA(K) Rektor Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti program magister Klinik di Fakultas Kedokteran Uniersitas Sumatera Utara.
2. Yang terhormat Bapak Prof. Dr. Gontar A. Siregar, SpPD, KGEH Dekan Fakultas Kedoketran Universitas Sumatera Utara yang telah menerima saya untuk mengikuti program Magister Klinik.
3. Yang terhormat Bapak Prof. Dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, SpA(K) Ketua Program Studi Magister Klinik Fakultas Kedoketran Universitas Sumatera Utara yang telah menerima saya untuk mengikuti program Magister Klinik.
(5)
4. Yang terhormat Bapak Ketua Departemen dan Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Mata yang telah memberi kesempatan kepada saya untuk mengikuti program Magister Klinik di Fakultas Kedoketran Universitas Sumatera Utara.
5. Yang terhormat Bapak dr. Azwan Hakmi Lubis, SpA,Mkes Direktur RSUP. H. Adam Malik yang telah memberikan kesempatan kepada saya dalam melakukan penelitian ini.
6. Yang terhormat Bapak Direktur RS Khusus Mata Medan Baru yang telah memberikan kesempatan kepada saya dalam melakukan penelitian ini.
7. Yang terhormat guru-guru saya : Prof. Dr. H. Aslim D Sihotang, SpM(KVR), Dr. H. Syaful Bahri, SpM, Dr. Hj. Aryani Atiyatul Amra, SpM yang telah memberikan bekal, petunjuk dan bimbingan dalam proses pendidikan Magister Klinik. Untuk kesemuanya ini saya sekeluarga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan mendoakan semoga Allah SWT menerimanya sebagai amalan.
8. Yang terhormat Prof. Dr. H. Aslim D Sihotang,SpM(KVR) dan Prof. Dr. H. Azman Lelo, PhD, SpFK yang telah bersedia membimbing pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis saya ini.
9. Yang saya hormati para teman sejawat dan residen Ilmu Kesehatan Mata atas segala bantuan dan kerjasama yang baik selama ini.
10. Seluruh pada medis, pegawai administrasi di RSUP. H. Adam Malik dan RS Khusus Mata Medan Baru yang telah memberikan kerjasama yang baik selama ini.
(6)
11. Yang sangat saya hormati kedua orang tua yang telah melahirkan, mendidik dan membesarkan saya dengan seluruh cinta dan kasih sayangnya yang tak terhingga, ayahanda H.D. Sutan Alam Sati dan ibunda Hj. Zainimar Dahlan tiada kata yang terucap untuk semua yang telah kalian berikan kepada ananda selama ini karena berkat dorongan semangat yang telah ayahanda dan ibunda berikanlah saya dapat menyelesaikan pendidikan ini. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan berkahNya kepada ayahanda dan ibunda.
12. Yang sangat saya hormati Ayah dan Ibu Mertua saya Prof.Dr.H. Aslim D Sihotang, SpM(KVR) dan Hj. Meilina Hutabarat yang telah memberikan pengertian dan semangat selama saya menjalani pendidikan ini.
13. Yang tercinta dan kusayangi istriku Mardiah Monica Djua Sari Sihotang serta kedua buah hati kami Salmah Amira Kamilia Sari dan Shazia Azra Khalisha Sari, sebanyak hal yang kita korbankan selama masa pendidikan ini, tak cukup kata yang dapat kupersembahkan sebagai rasa terima kasih bagi kalian orang-orang tercintaku atas begitu banyak pengorbanan yang telah kalian lakukan selama ini. Semoga apa yang telah Papa capai menjadi pemicu semangat untuk maju menuntut ilmu bagi kedua buah hatiku.
14. Yang terkasih adik terkasih Tri Darmayanti dan Keluarga, Indra, SE dan keluarga dan Zaida Fariani, SE dan keluarga serta keluarga besar yang telah banyak membantu dan mendorong keberhasilan pendidikan saya ini.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati saya menyadari bahwa walaupun saya telah berusaha semaksimal mungkin tetapi bak kata pepatah “Tak ada gading yang tak retak”, tentunya tulisan ini mempunyai kekurangan-kekurangan yang memerlukan sumbangsih pemikiran dari kita semua. Kepada Allah SWT
(7)
saya berserah diri mohon perlindungannya, semoga kita semua selalu ditunjuki dan dituntun ke jalan yang diridhoinya serta diberi ilmu yang bermanfaat bagi ummat.
Medan, Juli 2012 Penulis
(8)
DAFTAR TABEL / DIAGRAM
Tabel 1 : Distribusi Penderita Menurut Kelompok Umur, Jenis Kelamin Serta Mata yang Dioperasi.
Tabel 2 : Distribusi Penderita Menurut Kelompok Umur, Jenis Kelamin untuk Kelompok Deksametason dan Kelompok Diklofenak. Tabel 3 : Distribusi Penderita Menurut Jenis Katarak untuk Kelompok
Deksametason dan Diklofenak
Tabel 4 : Perbandingan Penurunan Flare Pada Kelompok Deksametason dan Kelompok Diklofenak
Tabel 5 : Perbadingan Penurunan Jumlah Penderita Dengan Gradasi Sel +2 Pada Kelompok Deksametason dan Kelompok Diklofenak.
Diagram 1 : Distribusi Penderita Menurut Kelompok Umur, Jenis Kelamin Serta Mata yang Dioperasi.
Diagram 2 : Distribusi Penderita Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin
Diagram 3 : Distribusi Penderita Menurut Jenis Katarak untuk Kelompok Deksametason dan Diklofenak
Diagram 4 : Perbandingan Penurunan Jumlah Penderita Dengan Flare +2 Pada Kelompok Deksametason dan Kelompok Diklofenak
Diagram 5 : Perbadingan Penurunan Jumlah Penderita Dengan Gradasi Sel +2 Pada Kelompok Deksametason dan Kelompok Diklofenak.
(9)
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI i
DAFTAR TABEL iii
BAB I. PENDAHULUAN 1
Latar Belakang Masalah 1
I.2. Rumusan Masalah 4
I.3. Tujuan Penelitian 4
I.4. Manfaat Penelitian 5
I.5. Hipotesis 5
BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 6
II.1. Bedah Katarak Fakoemulsifikasi
Dengan Penanaman Lensa Intraokuler 6 II.2. Inflamasi Pasca Bedah Katarak 7
II.3. Deksametason 12
II.4. Kerangka Konseptual 14
BAB III METODE PENELITIAN 15
III.1. Sifat Penelitian 15
III.2. Tempat dan Waktu Penelitian 15
III.3. Populasi 15
III.4. Sampel 16
(10)
III.7. Sarana 19
III.8. Pencatatan Data 19
III.9. Cara Kerja 19
III.10. Analisis Data 21
III.11. Jadual Pelaksanaan 21
III.12. Protokol Penelitian 22
BAB IV. HASIL PENELITIAN 23
BAB V. PEMBAHASAN 30
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 37
BAB VII. RINGKASAN 38
BAB VIII. PENUTUP 40
BAB IX. DAFTAR PUSTAKA 41
(11)
BAB I PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG MASALAH
Di Indonesia, sampai saat ini penyebab kebutaan yang utama adalah akibat katarak, yaitu sebesar 0,78 %. Satu-satunya pilihan dalam penanggulangan kebutaan akibat katarak adalah tindakan operasi.
Katarak termasuk salah satu penyakit degeneratif pada usia lanjut, namun 10% - 20% buta katarak telah dialami oleh penduduk Indonesia usia 40 – 54 tahun, yang termasuk dalam kelompok usia produktif. Menurut Sirlan. F dalam penelitiannya di daerah pantai Sumatera Barat dan Nusa Tenggara Barat mendapatkan penderita buta katarak usia produktif 14% dari seluruh buta katarak.
(1)
Buta katarak pada usia produktif ini seharusnya tidak terjadi bila diketahui faktor yang menyebabkannya, sehingga upaya penundaan dapat dilakukan sedini mungkin. Buta katarak usia produktif sangat mengkhawatirkan karena dapat mengancam sumber daya manusia produktif.
(2)
Buta katarak berbeda dengan kebutaan lainnya karena buta katarak merupakan kebutaan yang dapat direhabilitasi dengan tindakan bedah. Namun, pelayanan bedah katarak di negara kita belum tersedia secara merata. Dari data tahun 1996 yang baru mendapat pelayanan operatif 25% (penderita datang langsung ke rumah sakit), sedangkan 75% penderita masih bersifat menunggu datangnya pelayanan kesehatan, sehingga terjadi timbunan buta katarak semakin
(12)
backlog) ini mencapai jumlah 1,5 juta terutama pada penduduk yang tingkat sosial ekonominya rendah.
Dari setiap tindakan operasi selalu diharapkan akan diperoleh hasil terbaik yang dapat memuaskan baik bagi dokter maupun bagi penderita dan keluarganya. Berbagai teknik dan alat bantu operasi katarak telah dikembangkan sebagai upaya untuk mencapai hasil operasi katarak telah dikembangkan sebagai upaya untuk mencapai hasil operasi yang maksimal dengan penyulit seminimal mungkin. Untuk mengatasi keadaan afakia dengan hipermetropia yang tinggi penggunaan lensa intraokuler adalah pilihan yang terbaik dan menjadi satu bagian yang penting dalam penatalaksanaan penderita katarak menjadi satu bagian yang penting dalam penatalaksanaan penderita katarak.
(1.4)
Untuk mencapai hasil terbaik, maka masing-masing tahap dalam penatalaksanaan penderita katarak harus dikerjakan dengan baik. Dimulai dari tahap pemeriksaan dan diagnosis, tahap persiapan prabedah termasuk informed consent, tahap pembedahan, serta yang tidak kalah penting adalah tahap perawatan pasca bedah. Berbagai penyulit dapat terjadi pada setiap tahap tersebut.
(2,5)
Pada setiap tindakan bedah katarak fakoemulsifikasi akan selalu diikuti dengan inflamasi pasca bedah. Iritis yang terjadi pasca bedah katarak dapat dikatakan normal, oleh karena adanya manipulasi iris, lisis dari zonula serta irigasi bilik mata depan saat operasi. Reaksi inflamasi ini biasanya dengan cepat menghilang tanpa meninggalkan bekas permanen. Akan tetapi pada beberapa kausus, iritis tidak segera menghilang dan cenderung menjadi kronis, tanpa diketahui dengan jelas penyebabnya.
(1.6)
(13)
Shearing pada tahun 1978 mendapatkan angka komplikasi iritis sebesar 4% dari 90 kasus pasca bedah katarak fakoemulsifikasi dengan penanaman lensa intraokuler yang diamati selama 15 bulan. Sedangkan Kratz, dkk, pada tahun 1979 melaporkan bahwa dalam 3,5 tahun penelitiannya dari 756 kasus pemasangan lensa intraokuler setelah operasi katarak fakoemulsifikasi didapatkan angka komplikasi iritis sebesar 3,3%.
Penanganan inflamasi pasca bedah katarak fakoemulsifikasi adalah dengan pemberian obat anti-inflamasi. Kortikosteroid telah lama diketahui sebagai obat yang efektif untuk mengatasi inflamasi pasca bedah katarak fakoemulsifikasi. Namun di balik itu kortikosteroid juga dapat memberikan dampak samping yang tidak diinginkan seperti steroid-induced glaucoma , steroid-induced uveitis, pemanjangan masa penyembuhan luka, serta penurunan daya tahan terhadap infeksi
(3,8)
Bagaimana halnya dengan obat topikal anti-inflamasi non steroid? Natrium diklofenak adalah salah satu obat anti-inflamasi yang oleh beberapa penulis dikemukakan pasca katarak fakoemulfikasi. Di antaranya adalah oleh Robert dan Brennan (1995) yang di dalam penelitiannya melaporkan bahwa pemberian obat topikal natrium diklofenak sama efektifnya dengan obat topikal prednisolon dalam mengatasi inflamasi pasca bedah katarak fakoemulsifikasi.
(4,9)
Sepanjang pengetahuan penulis, di Lab Departemen Ilmu Kesehatan Mata RSUP. Haji Adam Malik dan RS. Khusus Mata Medan Baru belum pernah dilakukan penelitian tentang penggunaan obat topikal anti inflamasi non-steroid untuk mengatasi inflamasi pasca bedah katarak fakoemulsifikasi
(14)
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian efektifitas tetes mata anti-inflamasi non-steroid (natrium diklofenak) terhadap inflamasi pasca bedah katarak fakoemulsifikasi dengan penanaman lensa intraokuler.
1.2. RUMUSAN MASALAH
Apakah terdapat perbedaan efek menekan inflamasi antara tetes mata natrium diklofenak 0,1% dan deksametason 0,1% pada pasca bedah katarak fakoemulsifikasi dengan penanaman lensa intraokuler di RSUP. H. Adam Malik Medan dan RS Khusus mata Medan Baru?
I.3. TUJUAN PENELITIAN I.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui perbedaan efektifitas menekan inflamasi antara tetes mata natrium diklofenak 0,1% dan deksametason 0,1% pada pasca bedah katarak fakoemulsifikasi dengan penanaman lensa intraokuler di RSUP. H. Adam Malik Medan dan RS Khusus Mata Medan Baru.
I.3.2. Tujuan Khusus
I.3.2.1. Mengamati dan membandingkan flare dalam bilik mata depan pasca bedah aksi katarak fakoemulsifikasi dan penanaman lensa intraokuler antara mata yang diberi tetes mata deksametason 0,1% dan mata yang diberi tetes mata natrium diklofenak 0,1%
(15)
I.3.2.2. Mengamati dan membandingkan gradasi sel radang dalam bilik mata depan pasca katarak fakoemulsifikasi dan penanaman lensa intraokuler antara mata yang diberi tetes mata deksametason 0,1% dan mata yang diberi tetes mata natrium diklofenak 0,1%
1.4. MANFAAT PENELITIAN
Mengingat hasil akhir serta prognosis dari penderita yang menjalani bedah katarak fakoemulsifikasi juga tergantung pada perawatan pasca bedah khususnya pada penanganan penyulit pasca bedah, maka apabila diketahui bahwa tetes mata natrium diklofenak cukup efektif terhadap inflamasi pasca bedah katarak fakoemulsifikasi, obat tersebut dapat dipergunakan sebagai alternatif pilihan khususnya untuk menghindari timbulnya dampak samping yang tidak diinginkan dari pemberian obat topikal jenis steroid.
I.5. HIPOTESIS
Tidak terdapat perbedaan efektifitas antara tetes mata natrium diklofenak 0,1% dan tetes mata deksametason 0,1% terhadap inflamasi pasca bedah fakoemulsifikasi dengan penanaman lena intraokuler di RSUP H. Adam Malik Medan dan RS Khusus Mata Medan Baru.
(16)
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
II.1. BEDAH KATARAK FAKOEMULSIFIKASI DENGAN PENANAMAN LENSA INTRAOKULAR
Bedah Katarak fakoemulsifikasi kembali diperhatikan sejalan dengan berkembangnya teknik bedah mikro dan lensa tanam intraokuler pada bilik mata belakang, di mana akan menghasilkan pulihnya tajam penglihatan dengan baik pada seorang penderita katarak.
Terdapat beberapa hal penting pada bedah katarak fakoemulifikasi dengan penanaman lensa intraokuler, yang sangat erat kaitanya dengan reaksi inflamasi pasca bedah. Adapun beberapa hal tersebut adalah :
II.1.1. Pemberian asam mefenamat 500 mg atau indometasin 50 mg peroral 1 – 2 jam sebelum operasi.
II.1.2. Kapsulotomi anterior dengan menggunakan jarum kapsulotomi melalui insisi kecil pada kornea, dengan metode CCC.
II.1.3. Dilakukan hidrodiseksi dan hidrodilemenesi untuk memisahkan inti lensa dari korteks kemudian dilakukan fakoemulsifikasi dengan teknik horizontal choop menggunakan mesin fako unit.
II.1.4. Korteks lensa dikeluarkan dengan cara irigasi aspirasi menggunakan mesin fako unit .
II.1.5. Insersi lensa intraokuler foldauble pada bilik mata belakang dilakukan secara in the bag, setelah sebelumnya diberikan bahan viskoelastik untuk mengurangi komplikasi.
(17)
II.1.6. Bahan viskoelastik dikeluarkan dengan cara irigasi aspirasi menggunakan mesin fako unit.
II.1.7. Luka operasi ditutup tanpa jahitan dengan cara membuat oedem luka operasi.
II.1.8. Diberikan suntikan antibiotika (Gentamisin) 0,5 ml dan kortikostroid (Kortison Asetat) 0,5 ml, subkonjutiva.
II. 1.9. Pasca bedah diberikan tetes mata antibiotika (Neomycin-Polymixin B) dan anti inflamasi (Deksametason) 0,1 ml., setiap 8 jam sekali.(5,11)
II.2. INFLAMASI PASCA BEDAH FAKOEMULSIFIKASI
Pada dasarnya, suatu tindakan bedah akan menimbulkan trauma yang memberi akibat kerusakan jaringan dari organ yang dioperasi. Secara normal tubuh akan mengadakan reaksi dengan tujuan mengadakan proses penyembuhan pada jaringan yang mengalami kerusakan tersebut. Reaksi tersebut secara umum dikenal sebagai keradangan atau reaksi inflamasi.
Pada kerusakan jaringan terjadi robekan membran sel yang dengan aktivasi oleh enzim fosfolipase A
(5,7,12)
2 akan terbentuk asam arakidonat. Melalui jalur
siklo-oksigenase, arakidonat akan mengalami transformasi membentuk prostaglandin. Adanya prostaglandin pada jaringan akan menimbulkan tanda-tanda klasik dari inflamasi yaitu dolor, rubor dan vasodilatasi.
Selain itu, melalui jalur lipoksigenase, asam arakidonat akan membentuk leukotrien yang kemudian akan menimbulkan peningkatan juga permeabilitas vaskuler dan edema. Leukotrien juga mengaktifkan sistem
(18)
komplemen jaringan serta melibatkan faktor-faktor khemotaktik pada tempat terjadinya trauma dan memberikan reaksi inflamasi pada jaringan.
Neufeld dan Sears pertama kali menemukan prostaglandin yang dapat diisolasi dari jaringan iris dan menyebutkan sebagai irin. Ambache (1957) menemukan bahwa rangsangan mekanis terhadap iris dan pada tindakan parasintesis akan dilepaskan suatu substansi yang disebut irin ke bilik mata depan. Meningkatnya konsentrasi irin atau prostaglandin akan mengakibatkan peningkatan permeabilitas epitel badan silier sehingga menimbulkan perubahan respon peradangan.
(8,14)
(5,15,16)
(19)
Diagram repon molekuler rantai inflamasi pada trauma jaringan
Diambil dari : Shlevin, HH The Pharmacology of the Nonsteroidal Agents, Proceding of the Ophthalmic NSAID Roundtable, 1996, p21
Sama halnya dengan tindakan operasi yang lain, pada pasca bedah ekstraksi katarak juga akan terjadi reaksi inflamasi yaitu berupa iritis atau iridosiklitis. Pada setiap tindakan bedah katarak fakoemulsifikasi, bahkan pada pembedahan yang sangat hati-hati sekalipun, akan selalu diikuti oleh iritis atau iridosiklitis. Hal ini terjadi akibat adanya manipulasi iris, lisis dari zonula, adanya tindakan irigasi pada bilik mata depan, serta adanya kemungkinan sisa
(20)
Materi lensa yang tertinggal. Biasanya iritis terjadi minimal dan dapat menghilang dengan sendirinya, tanpa meninggalkan bekas yang permanen. Tetapi pada beberapa kasus dapat terjadi dimana reaksi tersebut tidak cepat menghilang dan cendrung menjadi kronis atau bertambah berat, sehingga dapat menimbulkan berbagai penyulit yang lain seperti penurunan tajam penglihatan, pembentukan membrane pada pupil, terjadinya sinekia anterior atau posperior, glaucoma skunder dan lain-lain
Inflamasi pasca bedah katarak fakoemulsifikasi ditandai dengan rasa tidak nyaman (discomfort) pada mata hingga rasa nyeri, hiperemi konjungtiva dan prikornea, sertam adanya plare dan sel pada bilik mata depan. Kimura, thygeson dan Hogan (1959) membuat gradasi flare dan sel radang pada bilik mata depan sebagai berikut
(6,16)
(7,17)
:
Pemeriksaan balik mata depan untuk mengamati adanya flare dan cells radang dilakukan dengan lampu celah biomikroskop dalam ruangan gelap, lebar celah 1 mm, tinggi celah 3 mm, sudut 45°,pembesar serta intensitas cahaya pada ukuran maksimal. (11,18)
GRADING OF ANTERIOR CHAMBER FLARE AND CELLS
Antrerior chanber flare Anterior chamber cells
0 None
1+ Flaint flare (barely dectetable
2+ moderate flare (iris and lens details clear) 3+ Merked flare (iris and lens detail hazy 4+ Intens flare (fixed, coagulated aqueous Humor with considerable fibrin)
0None
1+ 5 – 10 cells per field 2+ 10 – 20 cells per field 3+ 20 – 50 cells per field 4+ 50 - cells per field (Grading done with wide beam and narrow slit)
(21)
Kerja dari natrium diklofenak dengan menghambat enzim siklooksigenase sehingga dapat pula menghambat tranformasi dari asam arakidonat menjadi prostaglandin yang terjadi pada proses inflamasi. Selain itu, natrium diklofenak memacu perpindahan asam arakidonat yang diubah menjadi leukotrien melalui jalur lipoksigenase menjadi berkurang. Melalui penghambatan pada kedua jalur inflamasi tersebut, maka reaksi inflamasi yang terjadi akan terhambat.
Penggunaan natrium diklofenak secara umum adalah dengan pemberian secara systemic proral, sebagai anti inflamasi dan analgesic untuk pengobatan simtomatik pada kasus arthritis rheumatoid, asteoartritis atau ankylosing apondilitis.
(9,19)
Penggunaan topikal pada mata dalam bentuk tetes 0,1% sebagai anti infalamasi pada kasus pasca bedah dan kasus konjungtivitas alergi, sebagai anti-inflamasi dan analgesic pada kasus pasca laser excimer. Kraff, M.C.dkk, pada tahun 1994 mengemukakan angka penurunan inflamasi sebesar 83% pada penelitiannya terhadap 99 orang penderita yang diberikan tetes mata nutrium diklofenak 0,1% pasca bedah katarak fakoemulsifikasi dengan penanaman lensa okuler.
(6,20)
Avci.R. dkk, serta Othenin-Girard, P. dkk, melaporkan dari hasil penelitian mereka bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara tetes mata deksametason dan tetes mata natrium diklofenak dalam mengatasi inflamasi pasca bedah katarak Fakoemulsifikasi + LIO.
(16,21)
(22)
Reberts, C.W dan Brennan, K.M, dalam penelitiannya mendapatkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara tetes mata deksametason dan tetes mata natrium diklfenak dalam mengatasi inflamasi pasca bedah katarak fakoemulsifikasi + LIO.
Efek samping yang mungkin terjadi pada penggunaan topical adalah adanya reaksi hipersensitifitas terhadap bahan nutrium diklofenak, sedangkan efek samping yang lain belum diketahui secara pasti.
(18,23)
(20,24)
II.3. DEKSAMETASON
Deksametason adalah salah satu derivat sintetik kortikosteroid. Efek Inflamasinya sangat kuat yaitu antara 30 sampai 50 kali efek anti-inflamasi sama dengan kerja golongan glukokortikoid yang lain, yaitu mrmberikan efek yang hebat atas konsentrasi, distribusi dan fungsi leukosit perifer. Pemberian deksametason akan mengakibatkan konsentrasi neutrifil meningkat sementara limfosit, monosit, eosinofil dan basofil akan berkurang jumlahnya. Akibatnya fungsi dari leukosit dan makrofag, jaringan akan terhambat. Selain itu beberapa ahli juga berpendapat bahwa kortikostroid juga menstabilkan membrane lisosom sehingga mengurangi konsentrasi enzim fosfolipase A2 dalam rantai inflamasi, sehingga terjadi pula penghambatan pembentukan asam arakidonat. Akibatnya pambentuakan prostaglandin juga dapat dihambat. (17,25)
(23)
Disamping itu efeknya pada fungsi leukosit, obat tersebut juga bisa mempengaruhi peradangan melalui efek vaskuler yaitu menyebabkan vasokonstiksi, menurunkan permeabilitas kapiler dengan menghambat aktivitas kinin serta mengurangi jumlah histamin yang dilepas oleh bisofil. (16,26)
Penggunaan kortikosteroid di bidang mata sangat luas baik secara sistemik maupun lokal, indikasinya adalah pada keadaan inflamasinya, reaksi alergi atau hipersensifitas, menghambat aktivitas pertumbuhan jaringan Fibroblas dan kolagen serta untuk mencegah terjadinya neovaskulariasi pasca inflamasi.
Pada keadaan pasca bedah katarak fakoemulsifikasi dengan penanaman lensa intraokuler, efektifitas dari tetes deksametason 0,1% adalah sebesar 90%.
(23,27)
Efek samping pemberian bahan kortikosteroid secara lokal/topical pada mata antara lain steroid-induced glaucoma, steroid-induced uveitis, katarak, penurunan daya terhadap infeksi serta pemanjangan waktu penyembuhan luka.
(25,28)
(24)
II.4. KERANGKA KONSEPTUAL
Kriteria Inklusi : Mata :
- Katarak pro Fakoemulsikasi + LIO
- Riwayat radang introkule (-) - Riwayat trauma/operesi (-) - Glaukoma (-)
- Pemakaian anti inflamasi Steroid/non steroid, lokal/ Sistematik (-)
Sistematik
- DM (-)
- Hipertensi (-) Variable Perancu :
- Operator
- Teknik operasi
- Insrtumen
- Lama Operasi
- Penyulit Intra Bedah
TINDAKAN BEDAH Fakoemulsifikasi + LIO
TRAUMA JARINGAN ROBEKAN MEMBRAN FOSFOLIPID SEL ASAM ARAKIDONAT PROSTAGLANDIN (+) REAKSI INFLAMASI BMD
FOSFOLIPASE A2
SIKLOOKSIGENAS
FLARE + + SELL + +
HASIL OPERASI JELEK KOMPLIKASI EFEK SAMPING STEROID DIHAMBATAN DIKLOFENAK DIHAMBATAN STEROID PROSTAGLANDIN (-) EFEKTIFITAS FLARE SEL KOMPLOKASI HASIL OPERASI BAIK
(25)
BAB III
METODE PENELITIAN
III.1. SIFAT PENELITIAN
Penelitian ini bersifat eksperimental yaitu berupa suatu uji klinik tersamar ganda atau double blind clinical trial.(29)
III.2.TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN
Penelitian dilakukan di ruang perawatan Departemen Ilmu Kesehatan Mata RSUP. H. Adam Malik Medan dan RS Khusus Mata Medan Baru, mulai Maret 2012 sampai bulan April 2012.
III.3. POPULASI
Penderita katarak senilis yang dirawat di ruang Departemen Ilmu Kesehatan Mata RSUP. H. Adam Malik Medan dan RS Khusus Mata Medan Baru, yang dilakukan operasi katarak fakoemulsifikasi dan penanaman lensa intraokuler pada bilik mata belakang, antara bulan Maret 2012 sampai dengan bulan April 2012.
(26)
III.4. SAMPEL III.4.1. Besar Sampel
Besar sampel penelitian ini merupakan total selama rentang waktu penelitian.
III.4.2. Cara Pengambilan Sampel
Pasien yang memenuhi kriteria sampel diberi nomor urut kemudian secara acak dengan cara undian diberikan terapi obat A atau obat B.
III.4.3. Kriteria Sampel
a. Pesien katarak senilis yang telah menjalani Fakoemulsifikasi katarak, dengan penanaman lensa intra okuler yang dilakukan oleh dokter spesisalis mata dengan tehnik standar di Departemen Ilmu Kesehatan Mata RSUP. H. Adam Malik Medan dan RS Khusus Mata Medan Baru, tanpa penyulit intra bedah.
b. Pada pasca bedah hari pertama didapatkan inflamasi dalam bilik mata depan dengan gradasi flare + 1 atau + 2 dan sel radang +1 atau + 2 c. Tidak menderita/tidak ada riwayat glaucoma, uveitis, kekeluhan
kornea dan kalainan segmen anterior lain, serta diabetes mellitus dan hipertensi yang belum teragulasi.
d. Tidak sedang dalam terapi menggunakan obat anti-inflamasi steroid/non steroid secara sistematik/lokal.
(27)
III.4.4. Kriteria Putus Uji
a. Didapatkan penyulit kekeruhan kornea (descemen fold) yang tebal yang akan memberiakan kesulitan evaluasi flare dan sel radang dalam bilik mata depan.
b. Didapatkan reaksi hefersensitifitas atau alergi atau alergi terhadap obat yang digunakan.
c. Tidak kontrol pada 1 minggu dan /atau 2 minggu pasca bedah
III.5 VARIABEL
III.5.1. Variabel Bebas
Jenis Obat
- tetes mata natrium diklofenak 0,1% - tetes mata deksametason 0,1%
III.5.2. Variabel Tergantung
a. Flare dalam bilik mata depan b. Sel radang dalam bilik mata depan
(28)
III.6. DEFENISI OPERASIONAL III.6.1. Flare dalam BMD
-0 : Tidak didapat flare
+1 : Fain flare (terdeteksi hanya sepintas)
+2 : Moderate flare ( detail iris dan IOL tampak jelas) +3 : Marked flare ( detail iris dan OIL tampak kabur ) +4 : Intens flare ( terfikasi, terjadi koagulasi humor akuos
dengan fibrin )
III.6.2. Sel Radang Dalam BMD
+0 : Tidak didapatkan sel
+1 : 0 – 10 sel/ lapang pandangan +2 : 10 – 20 sel/ lapang pandangan +3 : 20 – 50 sel/ lapang pandangan +4 : > 50 sel/ lapang pandangan
Pemeriksaan dilakukan dengan lampu celah biomikroskop dalam ruang gelap. Lebar celah 1 mm, tinggi celah 3 mm, sudut 45º, pembesaran dan intensitas cahaya pada ukuran maksimal.
Flare tampak sebagai efek Tyndall yang terjadi dalam bilik mata depan sedangkan sel dalam bilik mata depan dapat dibedakan menjadi :
• Limfosit dan sel flasma : bulat, mengiklat, putih keabuan
• Makrofag : labih besar,warna tergantung bahan yang difagositosis
(29)
• Pigmen : kecil dan berwarna coklat
III.7. SARANA
1. Lampu cerah Biomikrosop
2. Tetes mata natrium diklofenak 0,1% dan tetes deksametason 0,1% yang diberi label obat A dan obat B
3. Tetes mata neomisin-polimiksin B
III.8. PENCATATAN DATA
Data yang dicatat adalah :
1. Data Umum : nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan 2. Hasi pemeriksaan sebelum operasi
- Keadaan kataraknya - Tajam Penglihatan - Tekanan Intraokuler 3. Laporan Operasi
- Tidak didapatkan penyulit intra bedah
4. Hasil pemeriksaan flare dan sel dalam bilik mata depan pada hari pertama, hari ketiga, 1 minggu dan 2 minggu pasca bedah.
III.9. CARA KERJA
1. Penderita yang memenuhi kriteria sampel dicatat mengenai a. Data umum, nama, jenis kelamin, alamat, pekerjaan b. Hasil pemeriksaan sebelum operasi:
- Tajam penglihatan - Tekanan intraokuler
(30)
c. Hasil pemeriksaan pasca bedah hari pertama : - Flare dalam bilik mata depan
- Sel radang dalam bilik mata depan
2. Penderita diberi nomor urut dan dikelompokkan ke dalam kelompok perlakuan terapi dengan obat B secara acak dengan cara undian.
3. Perlakuan pemberian terapi dengan obat tetes mata anti inflamasi ( obat A dan Obat B ) dimulai sejak hari pertama pasca bedah setelah pemeriksaan flare dan sel radang dalam bilik mata depan. Pemberian terapi disertai dengan obat tetes mata antibiotic neomisin-polimuksin B dengan ketentuan :
- Pertama, diberikan tetes mata anti inflamasi (obat A atau obat B) sebanyak 1 tetes.
- Obat kedua (tetes mata neomisin-polimiksin B ) diberikan setelah selang waktu 15 menit kemudian sebanyak 1 tetes.
- Kedua macam obat diberikan dengan dosis 4 kali sehari yaitu 6
jam sekali.
4. Pemeriksaan berikutnya dilakukan pada hari ketiga, hari ketujuh dan hari keempat belas pasca bedah dan dicacat :
- Flare dalam bilik mata depan - Sel radang dalam bilik mata depan
- Keluhan dan penyulit yang mungkin berhubungan dengan intoleransi atau efek samping obat
(31)
III.10. ANALISA DATA
Data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan uji statistic Mann Whitney.
III.11. JADUAL PELAKSANAAN
• Persiapan : Januari 2012
• Pengajuan Usulan Penelitian : Februari 2012
• Pengumpulan Data : Maret-April 2012
• Pengolahan Data : Mei 2012
• Penyusunan Laporan Penelitian : Juni 2012
(32)
III.12. PROTOKOL PENELITIAN
\
Penderita katarak senilis yang akan dilakukan Bedah Katarak
Fakoemullsifikasi + LIO di RSUP. H. Adam Malik dan RS Khusus Mata Medan Baru
Dicatat : nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, tajam penglihatan tekanan bola mata, jenis katarak keadaan umum dan riwayat penyakit sistemik
FAKOEMULSIFIKASI + LIO
Tidak didapatkan komplikasi ruptur kapsul posterior dan prolaps karpus vitreous selama operasi
Pasca bedah hari 1 :
-
Flare : gladasi + 1 dan 2
-
Sel : gradasi + 1 dan + 2
Terapi pasca bedah
-
tm. Natrium diklofenak 0,%
-
tm. Neomisin-polimiksin B
Sehari 4 x 1 tetes
Terapi pasca bedah
-
tm. Deksametason 0,1%
-
tm. Neomisin-polimiksin B
Sehari 4 x 1 tetes
Pasca beda hari ke – 3 Pasca beda hari ke - 7 Pasca beda hari ke - 14
Pengumpulan data
Analisa Data
(33)
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Penelitian dilakukan secara eksperimental dengan cara uji klinik tersamar ganda di ruang Departemen Ilmu Kesehatan Mata RSUP. H. Adam Malik Medan dan RS Khusus Mata Medan Baru mulai bulan Maret sampai dengan April 2012. Sampel penelitian merupakan total sampling dari semua penderita yang memenuhi kriteria inklusi selama rentang waktu penelitian.
Dalam penelitian ini diperoleh sampel sebesar 62 orang penderita (62 mata) yang menjalani operasi katarak fakoemulsifikasi disertai penanaman lensa intraokuler seluruh sampel dibagi ke dalam dua kelompok yaitu kelompok deksametason (31 orang) dan kelompok Natrium diklofenak (31 orang)
Gambar distribusi penderita berdasakan kelompok umur, jenis kelamin, serta mata yang dioperasi dapat dilihat pada tabel berikut ini.:
Tabel 1 : distribusi penderita berdasarkan kelompok umur, jenis kelamin, serta mata yang dioperasi
UMUR
(Tahun)
LAKI – LAKI PEREMPUAN JUMLAH
OD OS
OD OS
≤ 40 1 (1,62%) 2 (3,23%) 1 (1,62%) 4 (6,46%)
41 – 50 5 (8,07% ) 3 (4,84%) 1 (1,62%) 9 (14,52%)
51 – 60 7 (11,29%) 4 (6,45%) 4 (6,46%) 2 (3,23%0 17 (27,42%)
61 – 70 10 (16,13%) 4 (6,45%) 4 (6,46%) 5 (8,07%) 23 (37,10%)
≥ 71 4 (6,46%) 2 (3,23%) 2 (3,23%) 1 (1,62%) 9 (14,52%)
JUMLAH 27 (43,55%) 15 (28,85%) 15 (24,20%) 8 (15,39%) 62 (100,00%)
(34)
Usia penderita yang termuda adalah 40 tahun dan yang tertua adalah 90 tahun, rata-rata umur penderita adalah 59,25 + 11,14 tahun. Sedangkan kelompok umur yang terbanyak adalah kelompok umur 61 – 71 tahun yaitu sebesar 23 penderita (37,10%) Jumlah penderita laki-laki lebih banyak daripada pederita perempuan. Penderita laki-laki sejumlah 42 orang (67,75%) sedangkan penderita perempuan sebanyak 20 orang (32,26%). Dalam hampir semua kelompok umur penderita laki-laki lebih banyak dari pada penderita perempuan.Gambaran distribusi penderita menurut jenis kelamin dan mata yang dioperasi dapat dilihat pada diagram berikut :
Diagram I : Distribusi Penderita Menurut Jenis Kelamin dan Mata yang dioperasi
32,26%
67,75%
37,10%
(35)
Gambaran distribusi penderita menurut kelompok umur dan jenis kelamin dapat dilihat diagram dibawah ini :
Diagram 2 : Distribusi Penderita Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin
Distribusi penderita menurut kelompok umur dan jenis kelamin untuk masing-masing kelompok perlakuan dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 2 : Distribusi Penderita Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Untuk kelompok Deksametason dan Kelompok Diklofenak
UMUR (tahun)
KEL. DEKSAMETASON KEL. DIKLOFENAK
JUMLAH
LAKI-LAKI PEREMPUAN LAKI-LAKI PEREMPUAN
< 40 1 (1,62%) 1 (1,62%) 2 (3,23%) 4 (6,46%) 41 – 50 3 (4,84%) 1 (1,62%) 5 (8,07%) 9 (14,52%) 51 – 60 7 (11,29%) 3 (4,84%) 4 (6,46%) 3 (4,84%) 17 (27,42%) 61 – 70 6 (9,68%) 6 (9,68%) 8 (12,91%) 3 (4,84%) 23 (37,10%) > 71 2 (3,23%) 1 (1,62%) 4 (6,46%) 2 (3,23%) 9 (14,52%) JUMLAH 19 (30,65% 12 (19,36%) 23 (37,10%) 8 (12,91%) 62 (100,00%
(36)
Adapun distribusi penderita menurut jenis kataraknya pada masing-masing kelompok perlakuan dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 3 : Distribusi Penderita Menurut Jenis Katarak Untuk Kelompok Deksametason dan Kelompok Diklofenak
JENIS KEL. DEKSAMETASON KEL. DIKLOFENAK
JUMLAH KATARAK LAKI-LAKI PEREMPUAN LAKI-LAKI PEREMPUAN
Matur 11 (17,75%) 12 (19,36%) 14 (26,92%) 8 (12,91%) 45 (72,58%)
Imatur 5 (8,07%) 3 (4,84%) 7 (11,24%) 2 (3,23%) 17 (27,42%)
Jumlah 16 (25,81%) 15 (24,20) 21 (33,87%) 10 (16,13%) 62 (100,00%)
Diagram 3 : Distribusi Penderita Menurut Jenis Katarak Untuk Kelompok Deksametason dan Kelompok Diklofenak
DEKSAMETASON DIKLOFENAK
Pengamatan dari tanda-tanda reaksi inflamasi pasca bedah katarak fakoemulsifikasi dan pemasangan lensa intraokuler serta responnya terhadap pemberitaan obat anti inflamasi untuk masing-masing kelompok dilakukan terhadap setiap
(37)
Penderita pada hari pertama, hari ketiga, hari ketujuh dan hari keempat belas pasca bedah, sedangkan yang diamati adalah flare dan sel radang dalam bilik mata depan. Hasil pengamatan seperti yang tercantum adalah lampiran dianalisis dengan uji statistik Mann-Whitney. Tingkat kemaknaan (alfa) ditetapkan sebesar 0,05 (5%), sehingga dikatakan signifikan atau bermakna (B) bila P< 0,05 dan tidak signifikan atau tidak bermanfaat (TB) bila p ≥ 0,05.
Hasil pengamatan yang menunjukkan perbandingan penurunan flare dalam bilik mata depan pada kedua kelompok perlakuan dapat dilihat pada tabel diagram berikut :
Tabel 4 : Perbandingan Penurunan Jumlah Penderita Dengan Flare Pada Kelompok Deksametason dan Kelompok Diklofenak
Hari Ke
DEKSAMETASON DIKLOFENAK
P Ket
Jumlah Px Dengan Flare Jumlah Px Dengan Flare
+2 +1 0 + 2 + 1 0
1 19 (61,29%)
9 (29,03%)
0 25
(80,64%) 2 (6,45%)
0 0.0713 TB
3 15 (48,38%)
12 (38,70%)
0 24
(77,41%) 2 (6,45%)
1 (3,22%)
0.0530 TB
7 4 (12,90%) 14 (45,16%) 9 (29,03%) 5 (16,12%) 20 (64,51%) 2 (6,45%)
0.0713 TB
14 0 5
(16,12%) 21 (67,74%)
0 6
(19,35%) 20 (64,51%)
0.7367 TB
(38)
Diagram 4 : Perbandingan Penurunan Jumlah Penderita Dengan Flare +2 Pada Kelompok Deksametason dan kelompok Diklofenak
Hasil pengamatan untuk membandingkan penurunan gradasi sel radang dalam bilik mata depan pada kedua kelompok uji dapat dilihat pada tabel dan diagram berikut :
Tabel 5 : Perbandingan Penurunan Jumlah Penderita Dengan Gradasi Sel Radang Pada Kelompok Deksametason dan Kelompok Diklofenak
Hari Ke
DEKSAMETASON DIKLOFENAK
P Ket
Jumlah Px Dengan Gradasi Sel Jumlah Px Dengan Gradasi Sel
+2 +1 0 + 2 + 1 0
1 16 (51,61%)
8 (25,81%)
0 23
(74,19%) 1 (3,22%)
0 0.0502 TB
3 16 (51,61%)
8 (25,81%)
0 23
(74,19%) 1 (3,22%)
0 0.0502 TB
7 3 (9,68%) 17 (54,84%) 4 (12,90%) 6 (19,35%) 18 (58,81%) 1 (3,22%)
0.2055 TB
14 0 12
(38,71%) 12 (38,71%)
0 16
(51,61%) 8 (25,81%)
0.2662 TB
+2 : 10 – 20 sel/1.p +1 : 5 – 10 sel/1.p. 0 : tidak ada sel TB : Tidak Bermakna —•— DIKLOFENAK —— DEKSAMETASON
(39)
Diagram 5 : Perbandingan Penurunan Jumlah Penderita Dengan Gradasi Sel +2 Pada Kelompok Deksametason dan Kelompok Diklofenak
(40)
BAB V PEMBAHASAN
Penelitian ini merupakan suatu penelitian yang bersifat eksperimental dengan cara uji klinik tersamar ganda dengan tujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan efektifitas tetes mata deksametason 0,1% dan tetes mata natrium diklofenak 0,1% dalam menekan inflamasi pasca bedah katarak metode fakoemulsifikasi dengan penanaman lensa intraokuler antara
Alat ukur dari penelitan ini adalah adanya flare dan sel radang di dalam bilik mata depan yang merupakan salah satu penanda adanya inflamasi pada bilik mata depan. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan lampu celah biomikroskop dengan lebar celah 1 mm, sudut 45º, pembesaran serta intensitas cahaya maksimal. Area pengamatan adalah bilik mata depan di depan pupil. Pengamatan dilakukan pada hari pertama , ketiga, ketujuh dan keempat belas pasca bedah. Diharapkan terjadi penurunan jumlah Flare dan sel radang sebagai efek dari pengobatan sejalan dengan waktu.
Dalam rentang waktu penelitian selama 2 bulan mulai Maret 2012 sampai dengan April 2012 didapatkan 62 orang penderita yang memenuhi kriteria sampel, terdiri dari 42 orang penderita laki-laki (67,75%) dan 20 orang perempuan (32,26%). Dari tabel 1 tampak bahwa pada hampir semua kelompok umur, penderita laki-laki lebih banyak dari pada penderita perempuan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh wisnujono tahun 1985 – 1992 yang mendapatkan penderita operasi katarak laki-laki sebanyak 61,00% dan perempuan sebanyak 39,00% Sedangkan Aminoe pada tahun 1994 – 1995 melaporkan bahwa
(41)
penderita operasi katarak laki-laki sebesar 65,21% dan perempuan sebesar 34,79% . Dari penelitian di atas didapatkan kenyataan bahwa penderita operasi katarak laki-laki lebih banyak dari pada perempuan, kemungkinan mempunyai hubungan dengan kenyataan di dalam masyarakat bahwa laki-laki adalah kepala keluarga dan tulang punggung ekonomi keluarga, sehingga kepentingannya dalam kesehatan dan fungsi penglihatan yang baik lebih di utamakan.
Pada penelitian ini didapatkan usia penderita yang termuda adalah 40 tahun sedangkan yang tertua adalah 90 tahun. Rata-rata usia penderita adalah 59,25 tahun sedangkan standar deviasi 11,14 tahun. Dari tabel 1 tampak bahwa penderita katarak yang dioperasi yang terbanyak adalah dari kelompok umur 61 – 70 tahu yaitu sebesar 36,54%. Duke Elder (1968) menyatakan bahwa terjadinya katarak senilis mulai didapatkan pada usia 40 tahun dan terbanyak pada umur 60 – 70 tahun, sehingga opersi katarak banyak dilakukan pada umur sekitar 60 tahun. Gatut Suhendro pada penelitiannya tahun 1985 – 1987 mendapatkan bahwa sebagian besar penderita yang dioperasi katarak berusia 60 – 70 tahun.
Tabel 2 menunjukkan distribusi penderita menurut kelompok umur dan jenis kelamin untuk masing-masing kelompok perlakuan. Dalam kolompok deksametason, penderita laki-laki berjumlah 19 orang (61.29%) dan perempuan 12 orang (38,71%).
(25,30)
Sedangkan dalam kelompok diklofenak jumlah penderita laki-laki 23 orang (74,19%) dan perempuan 8 orang (25,81) dengan uji statistik Chi-square didapatkan nilai p = 0,25826 yang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang
(42)
bermakna untuk distribusi penderita menurut jenis kelamin dalam kedua kelompok.
Dari tabel 3 didapatkan bahwa berdasarkan jenis kataraknya, penderita dengan katarak matur jauh lebih banyak dari katarak inmatur, baik secara total maupun untuk masing-masing kelompok. Secara total, katarak matur sebanyak 72,58% sedangkan katarak inmatur 27,42%. Hal ini menunjukkan masih rendahnya kesadaran masyarakat dalam pentingnya pemeriksaan kesehatan mata maupun rendahnya kesadaran untuk bersedia menjalani operasi. Penyebab dari keadaan tersebut kemungkinan oleh karena bagi sebagian masyarakat, operasi masih merupakan masih yang menakutkan atau merupakan suatu hal yang belum bisa dijangkau dalam hal pembiayaan, sehingga penderita baru memeriksakan diri atau menjalani operasi apabila tajam penglihatannya sudah sangat terganggu.
Dalam penelitian ini kami mengambil sampel penderita pasca bedah fakoemulsifikasi + LIO yang pada hari pertama pasca bedah menunjukkan reaksi inflamasi bilik mata depan dengan gradasi flare dan sel + 2 dan + 1. Kami tidak mengambil sampel penderita dengan tingkat inflamasi yang lebih berat mengingat pada keadaan tersebut diperlukan terapi dan perawatan yang lebih intensif.
Wiwaswata dalam penelitiannya mendapatkan bahwa pada pasca bedah EKEK + LIO penderita yang menunjukkan adanya rekasi inflamasi pada hari pertama bedah besar 23,33%, pada hari ketiga terjadi penurunan menjadi sebesar 13,33%, sedangkan pada hari ketujuh didapatkan sebanyak 8,33%.
(43)
Dari tabel 4, terlihat bahwa hari pertama pasca bedah tidak terdapat perbedaan yang bermakna dari penderita dengan gradasi flare + 2 maupun + 1 antara kelompok deksametason dan kelompok diklofenak (p = 0,0713). Sebagian besar penderita menunjukkkan gradasi flare + 2 dimana pada kelompok deksametason sebesar 61,29% dan pada kelompok diklofenak sebesar 80,64%.
Pada hari ketiga, relatif tidak ada perubahan dibandingkan pada hari pertama. Hanya terjadi sedikit penurunan jumlah penderita dengan flare + 2 pada kelompok deksametason yaitu dari 61,29% menjadi 48,39%. Perbedaan antara kelompok deksametason dan kelompok diklofenak tetap tidak bermakna ( p = 0,0530).
Pada hari ketujuh, terjadi banyak penurunan jumlah penderita dengan flare + 2 pada kedua kelompok, sehingga terjadi peningkatan jumlah penderita dengan flare + 1. Sementara itu terdapat beberapa penderita yang telah mencapai flare 0 atau tidak didapatkan adanya flare dalam bilik mata depan yaitu sebesar 29,03% pada kelompok deksametason dan 6,45% pada kelompok diklofenak. Tidak perbedaan bermakna antara kelompok deksametason dan diklofenak pada hari ketujuh (p= 0,0713).
Pada hari keempat belas, pada kedua kelompok sudah didapatkan lagi penderita dengan flare + 2, sementara sebagian besar penderita telah mencapai gradasi flare 0, yaitu sebesar 67,74% pada kelompok deksametason, sedangkan pada kelompok diklofenak sebesar 64,51% Pada hari keempat belas ini juga tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok deksametason dan
(44)
Dari tabel 5, dapat dilihat bahwa pada kedua kelompok sebagian besar penderita mengalami reaksi inflamasi dengan gradasi sel bilik mata depan + 2, yaitu sebesar 51,61% pada kelompok deksametason dan sebesar 74,19% pada kelompok diklofenak. Tidak ada perbedaan bermakna antara kedua kelompok ( p = 0,0502). Pada hari ketiga tidak perubahan jumlah penderita dengan gradasi sel radang + 2 maupun + 1 pada kedua kelompok. Perubahan tampak pengamatan hari ketujuh dimana pada kedua kelompok terjadi penurunan jumlah penderita dengan gradasi sel radang 2, yaitu menjadi 9,68% pada kelompok deksametason dan 19,35, 1% pada kelompok diklofenak. Sementara itu beberapa penderita telah mencapai gradasi sel 0 yaitu sebesar 12,50% pada kelompok deksametason dan 3,22% pada kelompok diklofenak. Tidak ada perbedaan bermakna antara kedua kelompok (p = 0,2662).
Pada hari keempat belas sudah tidak didapatkan lagi adanya penderita dengan gradasi sel + 2 pada kedua kelompok. Sementara itu jumlah penderita yang mencapai gradasi sel 0 semakin banyak yaitu sebesar 38,71% pada kelompok deksametason dan 25,85% pada kelompok diklofenak. Dari kedua kelompok ini tidak ada perbedaan yang bermakna ( p = 0,2662).
Dari penelitian ini, tampak bahwa pada setiap hari pengamatan, pada tiap tingkat reaksi inflamasi yang terjadi terdapat kesetaraan gradasi flare dan gradasi sel radang sejalan dengan waktu terapi penurunan tingkat inflamasi ditandai dengan penurunan sebanding antara gradasi flare maupun gradasi sel radang. Smith dan Nozik (1983) mengemukakan bahwa tingkat inflamasi bilik mata depan ditentukan oleh gradasi flare dan gradasi sel radang dalam bilik mata
(45)
depan. Penurunan gradasi flare dan sel radang menunjukkan penurunan tingkat inflamasi menuju prose penyembuhan sejalan dengan waktu terapi.
Dalam penelitian ini kami mendapatkan bahwa tidak ada perubahan yang berati antara tingkatan imflamasi pada hari pertama dan hari ketiga pasca bedah, pada kedua kelompok perlakuan. Perubahan berarti baru tampak pada pengamatan hari ketujuh dimana pada kedua kelompok terjadi penurunan jumlah penderita dengan flare dan gradasi sell +2 dan semakin banyak penderita yang mengalami penurunan tingkatan inflamasi. Pada hari keempat belas tidak didapatkan lagi penderita dengan flare dan sel radang +2 dan semakin banyak penderita yang mencappa gradasi flare dan sel = 0. Hal ini berarti bahwa pada kedua kelompok terjadi proses penyembuhan yang berarti setelah pengobatan selama 14 hari.
Avci (1993), Othenin – Girard (1994) dan Robert & Bennan (1995) mengemukakan hasil penelitian mereka yang mendapatkan bahwa hanya terdapat sedikit penurunan inflamasi pasca bedah katarak + LIO antara hari pertama dan hari ketiga pasca bedah. Perubahan kearah penyembuhan baru tampak berarti pada hari ke 5 – 7. Sedangkan proses penyembuhan kebanyakan tercapai setelah 2 minggu sampai 1 bulan pasca bedah.
Pada penelitian ini kami dapatkan bahwa hari pertama, ketiga, ketujuh dan keempat belas, tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok deksametason dan kelompok diklofenak dalam menurunkan reaksi inflamasi pada bilik mata depan penderita pasca bedah fakoemulsifikasi + LIO
(46)
lamanya waktu pengobatan. Hal yang sama juga telah dilaporkan oleh avci (1993) dan Othenin Girard (1994) yang menyatakan bahwa tidak terdapat efektifitas yang bermakna antara obat tetes mata diklofenak 0,1% dan obat tetes mata deksametason 0,1 % dalam menekan reaksi inflamasi pasca bedah katarak + LIO.
(47)
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
VI.1. KESIMPULAN
Dari penelitian ini dapat kami simpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara tetes mata Deksametason 0,1% dan tetes mata Natrium diklofenak 0,1% dalam menurunkan reaksi inflamasi bilik mata depan penderita pasca bedah katarak metode fakoemulsifikasi dengan penanaman lensa intraokuler di RSUP H. Adam Malik Medan dan Rumah Sakit Khusus Mata Medan Baru.
VI.2. SARAN
1. Masih diperlukan penelitian lanjutan untuk mengetahui dan membandingkan keunggulan maupun kerugian dari obat topikal anti inflamasi non steroid dalam hal ini natrium diklofenak dibandingkan dengan obat topikal anti inflamasi steroid, khususnya dalam menekan reaksi inflamasi pasca bedah katarak dengan penanaman lensa intraokuler.
2. Berdasarkan hasil penelitian ini mungkin dapat dipertimbangkan pemberian tetes mata natrium diklofenak 0.1% sebagai alternatif pilihan untuk menekan inflamasi pasca bedah katarak, untuk menghindari efek samping dari pemberian tetes mata anti inflamasi steroid.
(48)
BAB VII RINGKASAN
Telah dilakukan penelitian terhadap penderita katarak senelis yang menjalani operasi katarak fakoemulsifikasi dengan penanaman lensa intraokuler di ruangan departemen Ilmu Penyakit Mata RSUP H. Adam Malik Medan dan Rumah Sakit Khusu Mata Medan Baru. Didapatkan 62 orang penderita yang memenuhi kriteria sampel. Penderita laki-laki sebanyak 42 orang (67,75%) dan perempuan sebanyak 20 orang (32,26%). Usia termuda 40 tahun dan tertua 90 tahun, dengan rata-rata usia 59,25 ± 11,14 tahun. Kelompok umur terbanyak adalah 61-70 tahun yaitu sebanyak 23 orang (72,58%). Menurut jenis kataraknya, didapatkan katarak matur sebanyak 45 orang (72,58%) dan katarak imatur 17 orang (27,42%). Seluruh penderita dibagi ke dalam dua kelompok perlakuan secara acak. Kelompok pertama diberikan terapi tetes mata deksametason 0,1% dan kelompok kedua diberi terapi tetes mata diklofenak 0,1%. Dilakukan pengamatan terhadap flare dan sel radang dalam bilik mata depan pada hari pertama, ketiga, ketujuh dan keempat belas pasca bedah.
Dari hasil pengamatan didapatkan tidak ada perbedaan yang ber makna antara kelompok deksametason dengan kelompok diklofenak pada tiap hari pengamatan, baik pengamatan terhadap flare maupun terhadap sel radang bilik mata depan.
(49)
Didapatkan pula bahwa penurunan tingkat inflamasi bilik mata depan pada kelompok baru tampak jelas pada hari ke tujuh dan hari keempat belas.
(50)
BAB VIII PENUTUP
Demikian telah dilaporkan hasil penelitian kami yang berjudul Perbandingan Efektifitas Tetas Mata Natrium Diklofenak 0,1% dan Dexsametason 0,1% dalam menekan inflamasi pasca bedah katarak. Semoga bermanfaat.
(51)
(52)
(53)
(54)
(55)
DAFTAR TABEL / DIAGRAM
Tabel 1 : Distribusi Penderita Menurut Kelompok Umur, Jenis Kelamin Serta Mata yang Dioperasi.
Tabel 2 : Distribusi Penderita Menurut Kelompok Umur, Jenis Kelamin untuk Kelompok Deksametason dan Kelompok Diklofenak. Tabel 3 : Distribusi Penderita Menurut Jenis Katarak untuk Kelompok
Deksametason dan Diklofenak
Tabel 4 : Perbandingan Penurunan Flare Pada Kelompok Deksametason dan Kelompok Diklofenak
Tabel 5 : Perbadingan Penurunan Jumlah Penderita Dengan Gradasi Sel +2 Pada Kelompok Deksametason dan Kelompok Diklofenak.
Diagram 1 : Distribusi Penderita Menurut Kelompok Umur, Jenis Kelamin Serta Mata yang Dioperasi.
Diagram 2 : Distribusi Penderita Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin
Diagram 3 : Distribusi Penderita Menurut Jenis Katarak untuk Kelompok Deksametason dan Diklofenak
Diagram 4 : Perbandingan Penurunan Jumlah Penderita Dengan Flare +2 Pada Kelompok Deksametason dan Kelompok Diklofenak
Diagram 5 : Perbadingan Penurunan Jumlah Penderita Dengan Gradasi Sel +2 Pada Kelompok Deksametason dan Kelompok Diklofenak.
(56)
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI i
DAFTAR TABEL iii
BAB I. PENDAHULUAN 1
Latar Belakang Masalah 1
I.2. Rumusan Masalah 4
I.3. Tujuan Penelitian 4
I.4. Manfaat Penelitian 5
I.5. Hipotesis 5
BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 6
II.1. Bedah Katarak Fakoemulsifikasi
Dengan Penanaman Lensa Intraokuler 6 II.2. Inflamasi Pasca Bedah Katarak 7
II.3. Deksametason 12
II.4. Kerangka Konseptual 14
BAB III METODE PENELITIAN 15
III.1. Sifat Penelitian 15
III.2. Tempat dan Waktu Penelitian 15
III.3. Populasi 15
III.4. Sampel 16
III.5. Variabel 17
(57)
III.7. Sarana 19
III.8. Pencatatan Data 19
III.9. Cara Kerja 19
III.10. Analisis Data 21
III.11. Jadual Pelaksanaan 21
III.12. Protokol Penelitian 22
BAB IV. HASIL PENELITIAN 23
BAB V. PEMBAHASAN 30
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 37
BAB VII. RINGKASAN 38
BAB VIII. PENUTUP 40
BAB IX. DAFTAR PUSTAKA 41
(58)
LAMPIRAN 1.
FORMULIR PEMERIKSAAN Nama :
Umur : Jenis Kelamin : Alamat : Pekerjaan :
I. Tajam Penglihatan OD : OS : II. Tekanan Bola Mata OD :
OS : III.Mata yang Dioperasi : OD / OS
IV.Obat Yang Digunakan: Ovat A / Obat B V.
Pasca Bedah Hari Ke Flare Sel
1
3
7
(59)
LAMPIRAN 2
SURAT PERNYATAAN (Informed Consent)
1. Saya yang bertanda tangan dibawah ini, sebagai penderita / keluarga penderita, secara
sadar dan rela serta tanpa paksaan menyatakan :
- Ingin berpatisipasi dalam penelitian ini
- Akan mengikuti dan mematuhi penelitian ini yang menyangkut efektifitas obat tetes
mata natrium deklofenak atau deksametason terhadap keradangan pasca bedah katarak.
2. Saya mengerti dan memahami bahwa obat yang digunakan dalam penelitian ini telah
mendapat mengesahan Kementerian Kesehatan RI. Dan dinyatakan obat tetes ini tidak akan menmbulkan dampak samping yang merugikan bila digunakan seraca benar
3. Setelah mempelajari dan mengerti mengenai tujuan penelitian ini, saya dapat memahami
dengan sebenarnya akan maksud dari penelitian ini serta metode yang digunakan.
4. Saya mengerti, bahwa penelitian seperti ini adalah biasa dikerjakan di Rumah Sakit dan
selama ini tidak ada laporan mengenai adanya dampak yang tidak diinginkan partisipan.
5. Saya menyadari, bahwa saya dapat membatalkan pernyataan ini dan dapat menarik diri
dari penelitian setiap saat.
6. Saya tegaskan, bahwa saya telah membaca, mengerti dan sadar akan isi surat pernyataan
ini, serta tidak akan menuntut apapun yang terjadi atas diri saya sehubungan dengan penyakit saya.
Medan, 2012
Peneliti Saya yang menyatakan
( Dr. Delfi, SpM(K) ( )
Saksi
(1)
(2)
DAFTAR TABEL / DIAGRAM
Tabel 1 : Distribusi Penderita Menurut Kelompok Umur, Jenis Kelamin Serta Mata yang Dioperasi.
Tabel 2 : Distribusi Penderita Menurut Kelompok Umur, Jenis Kelamin untuk Kelompok Deksametason dan Kelompok Diklofenak. Tabel 3 : Distribusi Penderita Menurut Jenis Katarak untuk Kelompok
Deksametason dan Diklofenak
Tabel 4 : Perbandingan Penurunan Flare Pada Kelompok Deksametason dan Kelompok Diklofenak
Tabel 5 : Perbadingan Penurunan Jumlah Penderita Dengan Gradasi Sel +2 Pada Kelompok Deksametason dan Kelompok Diklofenak.
Diagram 1 : Distribusi Penderita Menurut Kelompok Umur, Jenis Kelamin Serta Mata yang Dioperasi.
Diagram 2 : Distribusi Penderita Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin
Diagram 3 : Distribusi Penderita Menurut Jenis Katarak untuk Kelompok Deksametason dan Diklofenak
Diagram 4 : Perbandingan Penurunan Jumlah Penderita Dengan Flare +2 Pada Kelompok Deksametason dan Kelompok Diklofenak
Diagram 5 : Perbadingan Penurunan Jumlah Penderita Dengan Gradasi Sel +2 Pada Kelompok Deksametason dan Kelompok Diklofenak.
(3)
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI i
DAFTAR TABEL iii
BAB I. PENDAHULUAN 1
Latar Belakang Masalah 1
I.2. Rumusan Masalah 4
I.3. Tujuan Penelitian 4
I.4. Manfaat Penelitian 5
I.5. Hipotesis 5
BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 6
II.1. Bedah Katarak Fakoemulsifikasi
Dengan Penanaman Lensa Intraokuler 6 II.2. Inflamasi Pasca Bedah Katarak 7
II.3. Deksametason 12
II.4. Kerangka Konseptual 14
BAB III METODE PENELITIAN 15
III.1. Sifat Penelitian 15
III.2. Tempat dan Waktu Penelitian 15
III.3. Populasi 15
III.4. Sampel 16
(4)
III.7. Sarana 19
III.8. Pencatatan Data 19
III.9. Cara Kerja 19
III.10. Analisis Data 21
III.11. Jadual Pelaksanaan 21
III.12. Protokol Penelitian 22
BAB IV. HASIL PENELITIAN 23
BAB V. PEMBAHASAN 30
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 37
BAB VII. RINGKASAN 38
BAB VIII. PENUTUP 40
BAB IX. DAFTAR PUSTAKA 41
(5)
LAMPIRAN 1.
FORMULIR PEMERIKSAAN Nama :
Umur : Jenis Kelamin : Alamat : Pekerjaan :
I. Tajam Penglihatan OD : OS : II. Tekanan Bola Mata OD :
OS : III.Mata yang Dioperasi : OD / OS
IV.Obat Yang Digunakan: Ovat A / Obat B V.
Pasca Bedah Hari Ke Flare Sel
1
3
(6)
LAMPIRAN 2
SURAT PERNYATAAN (Informed Consent)
1. Saya yang bertanda tangan dibawah ini, sebagai penderita / keluarga penderita, secara
sadar dan rela serta tanpa paksaan menyatakan : - Ingin berpatisipasi dalam penelitian ini
- Akan mengikuti dan mematuhi penelitian ini yang menyangkut efektifitas obat tetes
mata natrium deklofenak atau deksametason terhadap keradangan pasca bedah katarak.
2. Saya mengerti dan memahami bahwa obat yang digunakan dalam penelitian ini telah
mendapat mengesahan Kementerian Kesehatan RI. Dan dinyatakan obat tetes ini tidak akan menmbulkan dampak samping yang merugikan bila digunakan seraca benar
3. Setelah mempelajari dan mengerti mengenai tujuan penelitian ini, saya dapat memahami
dengan sebenarnya akan maksud dari penelitian ini serta metode yang digunakan.
4. Saya mengerti, bahwa penelitian seperti ini adalah biasa dikerjakan di Rumah Sakit dan
selama ini tidak ada laporan mengenai adanya dampak yang tidak diinginkan partisipan.
5. Saya menyadari, bahwa saya dapat membatalkan pernyataan ini dan dapat menarik diri
dari penelitian setiap saat.
6. Saya tegaskan, bahwa saya telah membaca, mengerti dan sadar akan isi surat pernyataan
ini, serta tidak akan menuntut apapun yang terjadi atas diri saya sehubungan dengan penyakit saya.
Medan, 2012
Peneliti Saya yang menyatakan
( Dr. Delfi, SpM(K) ( )
Saksi