Uji Aktivitas Anti Inflamasi Ekstrak Etanol 70% Buah Parijoto (Medinilla speciosa Blume) secara In Vitro dengan Metode Stabilisasi Membran HRBC (Human Red Blood Cell)

(1)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

UJI AKTIVITAS ANTI INFLAMASI EKSTRAK

ETANOL 70% BUAH PARIJOTO (

Medinilla speciosa

Blume) SECARA

IN VITRO

DENGAN METODE

STABILISASI MEMBRAN HRBC (

HUMAN RED

BLOOD CELL

)

SKRIPSI

ASKANDARI

1111102000089

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

JUNI 2015


(2)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

UJI AKTIVITAS ANTI INFLAMASI EKSTRAK

ETANOL 70% BUAH PARIJOTO (

Medinilla speciosa

Blume) SECARA

IN VITRO

DENGAN METODE

STABILISASI MEMBRAN HRBC (

HUMAN RED

BLOOD CELL

)

SKRIPSI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi

ASKANDARI

1111102000089

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

JUNI 2015


(3)

(4)

(5)

(6)

Nama : Askandari Program Studi : Farmasi

Judul : Uji Aktivitas Anti Inflamasi Ekstrak Etanol 70% Buah Parijoto (Medinilla speciosa Blume) secara In Vitro dengan Metode Stabilisasi Membran HRBC (Human Red Blood Cell)

Parijoto (Medinilla speciosa Blume) adalah tumbuhan liar yang sering tumbuh di lereng-lereng gunung atau di hutan-hutan dan kadang dibudidayakan sebagai tanaman hias. Parijoto merupakan tanaman tropis yang memiliki buah dengan warna merah muda keunguan. Buah parijoto secara tradisional digunakan sebagai anti inflamasi, anti kolestrol dan anti bakteri. Berdasarkan penelitian buah parijoto mengandung metabolit sekunder flavonoid, tanin, saponin, dan glikosida. Buah parijoto juga telah terbukti memiliki aktivitas sebagai anti oksidan dan anti bakteri. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas anti inflamasi dari buah parijoto yang diekstraksi menggunakan etanol 70% dengan metode stabilisasi membran HRBC (Human Red Blood Cell/Sel Darah Merah Manusia). Kontrol positif yang digunakan adalah natrium diklofenak dengan konsentrasi 100 ppm yang merupakan NSAID. Hasil persentase stabilitas membran sel darah merah manusia ekstrak etanol 70% buah parijoto pada konsentrasi 50 ppm (10,63%), 100 ppm (18,32%), 500 ppm (33,08%), dan 1000 ppm (60,78%), serta kontrol positif yaitu natrium diklofenak (59,87%). Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak dengan konsentrasi 1000 ppm memiliki aktivitas sebagai anti inflamasi karena memiliki persentase stabilitas membran sel darah merah identik dengan kontrol positif. Hasil tersebut didukung dengan hasil analisa statistik ANOVA yang menunjukkan bahwa ekstrak dengan konsentrasi 1000 ppm identik atau tidak berbeda secara bermakna dengan natrium diklofenak. Hal ini menunjukkan bahwa buah parijoto memiliki potensi sebagai anti inflamasi. Kata kunci : Parijoto (Medinilla speciosa Blume), anti inflamasi, natrium diklofenak, sel darah merah manusia, stabilisasi membran.


(7)

Name : Askandari Study Program : Pharmacy

Title : Anti-Inflammatory Activity Test of Ethanol 70% Extract Parijoto Fruit (Medinilla speciosa Blume) In Vitro using the Membrane Stabilization HRBC (Human Red Blood Cell) Method

Parijoto (Medinilla speciosa Blume) is a wild plant that often grows on mountain slopes or in forests and sometimes it is cultivated as an ornamental plant. Parijoto is a tropical plant that has a fruit with a purplish pink color. Parijoto fruit is traditionally used as an anti-inflammatory, anti-cholesterol and anti-bacterial agent. Based on research, parijoto fruit contains secondary metabolites such as flavonoids, tannins, saponins, and glycosides. Parijoto fruit has also been shown activity as an anti-oxidant and anti-bacterial agent. The purpose of this study was to determine the anti-inflammatory activity of parijoto fruit that has been extracted using 70% ethanol using the membrane stabilization HRBC (Human Red Blood Cell) method. Diclofenac sodium which is a NSAID has been used as a control positive with the 100 ppm consentration. The stability percentage result of a human red blood cell membrane using ethanol 70% extract of parijoto fruit at the 50 ppm consentration (10.63%), 100 ppm (18.32%), 500 ppm (33.08%), and 1000 ppm (60.78 %), and the positive control which was diclofenac sodium (59.87%). This showed that the extract with the 1000 ppm consentration has anti-inflammatory activity because the red blood cell membrane stability percentage was identical to the positive control. These results were supported by the ANOVA statistical analysis result that showed the extract with the 1000 ppm consentration was identical or do not differ significantly to diclofenac sodium. This indicates that the parijoto fruit has potential as an anti-inflammatory.

Keywords: Parijoto (Medinilla speciosa Blume), anti-inflammatory, diclofenac sodium, human red blood cells, membrane stabilization.


(8)

Segala puji dan syukur bagi Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam untuk baginda Nabi Muhammad SAW yang telah membawa petunjuk

bagi umat manusia. Skripsi dengan judul “Uji Aktivitas Anti Inflamasi Ekstrak

Etanol 70% Buah Parijoto secara In Vitro dengan Metode Stabilisasi Membran HRBC (Human Red Blood Cell)” ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan hingga penyusunan skripsi ini terasa sangat sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Yardi, Ph.D., Apt selaku pembimbing pertama dan Ibu Prof. Dr. Atiek Soemiati, M.Si., Apt selaku pembimbing kedua, yang memiliki andil besar dalam proses penelitian dan penyelesaian skripsi saya ini, semoga segala bantuan dan bimbingan bapak dan Ibu mendapat imbalan yang lebih baik di sisi-Nya.

2. Bapak Dr.H. Arif Sumantri, SKM, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Yardi, Ph.D., Apt selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak dan Ibu dosen yang telah memberikan bimbingan dan bantuan selama saya menempuh pendidikan di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitar Islam Negerri Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Kepada Kak Eris, Mbak Rani, Kak Lisna, Kak Tiwi, dan Kak Rahmadi yang

telah memberikan banyak bantuan kepada penulis selama penelitian di kampus


(9)

6. Kepada kedua orang tua penulis Bapak Yoliot Cori (Almarhum) dan Ibu Elisabil, serta keluarga besar penulis yang selalu memberikan dukungan moril, materil, dan spiritual hingga selesainya skripsi ini.

7. Untuk sahabat-sahabat “Pojokers” yang selalu mendukung, memberi masukan, dukungan doa, dan semangat. Tidak lupa juga untuk Fitri, Sutar, Aziz, Dini, Mbak Ani, Elsa, dan Ipul.

8. Teman-teman seperjuangan “Beng-beng” dan seluruh Farmasi angkatan 2011 yang sama-sama berjuang selama 4 tahun untuk menyelesaikan pendidikan ini.

9. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang turut membantu menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih terdapat kekurangan, dan masih jauh dari kesempurnaan karena terbatasnya ilmu dan kemampuan penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna perbaikan ke masa mendatang.

Akhir kata dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan semoga segala bantuan yang telah diberikan penulis akan mendapat balasan, rahmat dan ridho dari Allah SWT, serta dapat bermanfaat bagi penyusun khususnya, dan para pembaca umumnya, Aamiin.

Wassalamu’alaikum Waromatullahi Wabarokatuh

Jakarta, Juni 2015 Penulis


(10)

(11)

Halaman

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

HALAMAN PERETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR ISTILAH ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 3

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Medinilla speciosa Blume ... 4

2.2 Penapisan Fitokimia ... 6

2.3 Metode Ekstraksi ... 10

2.4 Inflamasi ... 12

2.5 Obat Anti Inflamasi ... 24

2.6 Uji Anti Inflamasi Metode Stabilisasi Membran Eritrosit ... 25

2.7 Spektrofotometer UV-Vis ... 26

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 30

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 30

3.2 Bahan dan Alat ... 30

3.3 Prosedur Kerja ... 31

3.3.1 Determinasi ... 31

3.3.2 Penyiapan Bahan ... 31


(12)

3.3.4 Penapisan Fitokimia... 31

3.3.5 Pengamatan Organoleptis ... 33

3.3.6 Uji Kadar Air ... 33

3.3.7 Uji Aktivitas Anti Inflamasi Metode Stabilisasi Membran Eritrosit ... 33

3.3.8 Analisis Data ... 36

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 37

4.1 Hasil Penelitian ... 37

4.1.1 Hasil Determinasi ... 37

4.1.2 Hasil Ekstraksi ... 37

4.1.3 Hasil Uji Penapisan Fitokimia ... 37

4.1.4 Hasil Pengamatan Organoleptis ... 38

4.1.5 Hasil Uji Kadar Air ... 38

4.1.6 Hasil Uji Efek Stabilisasi Membran Sel Darah Merah Ekstrak Kasar Buah Parijoto ... 38

4.1.7 Hasil Analisa Statistik... 40

4.2 Pembahasan ... 41

4.2.1 Ekstraksi dan Penapisan Fitokimia ... 41

4.2.2 Stabilisasi Membran Sel Darah Merah ... 44

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 50

5.1 Kesimpulan ... 50

5.2 Saran ... 50

DAFTAR PUSTAKA ... 51


(13)

Tabel 1. Hasil Uji Penapisan Fitokimia Ekstrak Buah Parijoto ... 40 Tabel 2. Nilai absorbansi dan persentase stabilitas membran sel darah merah dari larutan uji, kontrol positif, dan kontrol negatif ... 41 Tabel 3. Nilai rata-rata persentase stabilitas membran sel darah merah larutan uji


(14)

Gambar 1. Buah Parijoto (Medinilla speciosa Blume) ... 5

Gambar 2. Reaksi Uji Mayer ... 6

Gambar 3. Reaksi Uji Dragendorff ... 7

Gambar 4. Mekanisme Reaksi Pembentukan Garam Flavilium ... 7

Gambar 5. Reaksi Hidrolisis Saponin dalam Air ... 8

Gambar 6. Skema Mekanisme Inflamasi Akut ... 18

Gambar 7. Efek Utama yang Ditimbulkan oleh IL-1 dan TNF pada Inflamasi .... 23

Gambar 8. Pelepasan Mediator Inflamasi oleh Sel Mast ... 24

Gambar 9. Skema Instrumentasi Spektrofotometer UV-VIS ... 27


(15)

COX : Cyclooxygenase

Hb : Hemoglobin

HRBC : Human Red Blood Cell

Ig : Imunoglobulin IL : Interleukin

Jejas : Lecet (tergores, luka sedikit, dsb) pd kulit LT : Leukotrien

OAINS : Obat Anti Inflamasi Non Steroid

PAF : Platelet Activating Factor

PGE : Prostaglandin PGI : Prostasiklin

ROS : Reactive Oxygen Species

SRS-A : Slow Reacting Substance of Anaphilaxis

TNF : Tumor Necrosis Factor


(16)

Lampiran 1. Hasil Determinasi Buah Parijoto (Medinilla speciosa Blume) ... 57

Lampiran 2. Alur Penelitian ... 58

Lampiran 3. Skema Uji Aktivitas Anti Inflamasi ... 59

Lampiran 4. Pembuatan Larutan Uji dan Standar ... 60

Lampiran 5. Perhitungan Pembuatan Larutan Dapar Posfat dan Pengenceran Larutan Uji dan Standar... 61

Lampiran 6. Data Absorbansi dan Persentase Stabilitas Membran Sel Darah Merah dengan Optimasi Menggunakan Suhu Inkubasi 370C ... 63

Lampiran 7. Nilai Absorbansi Larutan Uji Ekstrak Etanol 70% Buah Parijoto dan Kontrol Positif ... 65

Lampiran 8. Nilai Absorbansi Kontrol Larutan Uji Ekstrak Etanol 70% Buah Parijoto, Kontrol Positif dan Kontrol Negatif ... 66

Lampiran 9. Penentuan Stabilitas Membran Sel Darah Merah terhadap Ekstrak Etanol 70% dan Na Diklofenak sebagai Kontrol Positif ... 67

Lampiran 10. Hasil Uji Statistik Persentase Stabilitas Ekstrak Etanol 70% Buah Parijoto dan Na Diklofenak Kontrol Positif ... 69

Lampiran 11. Foto – foto Alat dan Bahan Penelitian... 74

Lampiran 12. Foto Proses Pengujian Aktivitas ... 75

Lampiran 13. Foto Ekstrak Etanol 70% Buah Parijoto dan Hasil Uji Penapisan Fitokimia... 76


(17)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki beribu-ribu pulau dengan luas kawasan hutan mencapai 130,78 juta hektar. Indonesia sendiri memiliki 30.000 jenis tumbuhan dari total 40.000 jenis tumbuhan di dunia, dimana 940 jenis diantaranya merupakan tumbuhan berkhasiat obat (jumlah ini merupakan 90% dari jumlah tanaman obat yang ada di kawasan Asia) (Nugroho, 2010). Kekayaan alam yang dimiliki oleh Indonesia menjadikannya negara terbesar kedua di dunia setelah Brazil yang memiliki keanekaragaman hayati (Farida et al., 2012).

Penggunaan obat tradisional sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh hampir semua negara di dunia. Selama dekade terakhir, penggunaan obat tradisional telah berkembang pesat. Pengembangan obat tradisional ini terus dilakukan sebagai perawatan kesehatan bagi masyarakat miskin di negara-negara berkembang. Obat tradisional juga sering digunakan dalam perawatan kesehatan secara nasional (Karamian et al., 2013).

Masyarakat Indonesia telah lama mengenal dan menggunakan tanaman berkhasiat obat sebagai salah satu upaya dalam pencegahan penyakit (preventif), meningkatkan kesehatan (promotif), memulihkan kesehatan (rehabilitatif), dan penyembuhan (kuratif). Pengetahuan tentang tanaman khasiat obat berdasar pada pengalaman dan keterampilan secara turun-menurun telah diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya (Sari, 2006). Masyarakat jawa khususnya masyarakat yang hidup di lereng Gunung Merapi memanfaatkan daun dan buah parijoto (Medinilla speciosa

Blume) secara turun-menurun sebagai obat. Daun dan buah parijoto dimanfaatkan sebagai anti bakteri, obat sariawan, anti radang dan obat kolestrol.

Kandungan kimia yang terdapat dalam daun dan buah parijoto (Medinilla speciosa Blume) adalah saponin dan kardenolin, disamping itu buahnya juga mengandung falvonoid dan daunnya mengandung tanin (Anonim, 2014). Penelitian yang telah dilakukan oleh Wachidah, 2013 yang


(18)

menunjukkan bahwa terdapat kandungan metabolit sekunder dari buah parijoto (Medinilla speciosa Blume) yaitu saponin, glikosida, flavonoid dan tanin, serta memiliki aktivitas sebagai anti oksidan. Penelitian lain yang telah dilakukan oleh Kumar et al., 2012 dilaporkan bahwa tanaman Skimmia anquetilia yang mengandung flavonoid, saponin, glikosida, steroid dan tanin serta penelitian yang dilakukan oleh Saleem et al., 2011 bahwa tanaman

Gendarussa vulgaris Nees yang mengandung saponin, glikosida, steroid, flavonoid dan tanin keduanya memiliki aktivitas sebagai anti inflamasi.

Inflamasi atau radang merupakan proses respon tubuh terhadap rangsangan merugikan yang ditimbulkan oleh berbagai agen berbahaya seperti infeksi, antibodi ataupun luka fisik (Goodman dan Gilman, 2006). Mediator-mediator kimia juga berperan sebagai pemberi respon terjadinya inflamasi, mediator tersebut dapat berikatan pada reseptor yang spesifik pada sel target dan dapat meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan kemotaksis neutrofil, merangsang kontraksi otot polos, memiliki aktivitas enzimatik secara langsung, menginduksi rasa nyeri atau stres oksidatif (Kumar et al., 2010). Stres oksidatif ini telah terbukti berkaitan dengan jalur patogenesis beberapa penyakit seperti aterosklerosis, kanker, kerusakan hati, rematoid artritis dan gangguan syaraf (Kumar, 2011). Efek anti inflamasi telah diamati pada flavonoid dan tanin. Flavonoid seperti quercetin diketahui efektif dalam mengurangi peradangan akut. Flavonoid tertentu memiliki aktivitas penghambatan ampuh terhadap berbagai enzim seperti protein kinase C, tirosin kinase protein, fosfolipase A2, fosfodiesterase dan lainnya (Kumar et al., 2012).

Sel darah merah (eritrosit) manusia telah banyak digunakan sebagai model studi interaksi obat dengan membran. Seperti obat yang memiliki efek anestesi dan obat anti inflamasi non steroid (OAINS) dapat mencegah lepasnya hemoglobin (Hb) dari sel darah merah (eritrosit) ketika terjadi kondisi hipotonik. Teori ini digunakan sebagai metode yang sangat berguna untuk menilai aktivitas anti inflamasi dari bermacam-macam senyawa secara in vitro (Kumar, 2011). Chowdhuryet al., 2014 dalam penelitiannya menggunakan metode ini untuk melakukan uji aktivitas anti inflamasi dari


(19)

ekstrak Gardenia coronaria Leaves. Penelitian yang dilakukan oleh Prakatindih 2014 juga menggunakan metode ini untuk menguji aktivitas anti inflamasi kitosan yang telah diiradiasi. Melihat metode ini cukup efektif untuk melihat efek anti inflamasi secara in vitro serta potensi yang dimiliki oleh tanaman parijoto (Medinilla speciosa Blume) khususnya bagian buah sebagai anti inflamasi, maka pada penelitian ini akan dilakukan uji aktivitas anti inflamasi ekstrak etanol 70% buah parijoto secara in vitro dengan metode stabilisasi membran HRBC (Human Red Blood Cell).

1.2 Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup

Masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah apakah ekstrak etanol 70% buah parijoto (Medinilla speciosa Blume) memiliki efek anti inflamasi ditinjau dari jumlah hemoglobin (Hb) yang dilepaskan oleh sel darah merah. Ruang lingkup penelitian ini adalah fitokimia dan farmakologi eksperimental.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menguji efek anti inflamasi dari ekstrak etanol 70% buah parijoto (Medinilla speciosa Blume) ditinjau dari jumlah hemoglobin (Hb) yang dilepaskan oleh sel darah merah.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah menambah khasanah ilmu pengetahuan tentang anti inflamasi serta referensi bagi penelitian selanjutnya. Penelitian ini juga dapat memberikan informasi mengenai potensi buah parijoto (Medinilla speciosa Blume) sebagai anti inflamasi alami.


(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Medinilla speciosa Blume 2.1.1 Taksonomi

Klasifikasi tanaman parijoto adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji) Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil) Sub Kelas : Rosidae

Ordo : Myrtales

Famili : Melastomataceae Genus : Medinilla

Spesies : Medinilla speciosa Blume (www.plantamor.com)

2.1.2 Deskripsi

Habitus : Perdu, tegak, tinggi l – 2 m.

Batang : Bulat, kulit dengan lapisan gabus jika tua, bergerigi, kasar, putih kecoklatan.

Daun : Tunggal, bersilang berhadapan, tangkai pendek, bulat, lunak, warna ungu kemerahan, helaian daun bentuk lonjong, pangkal dan ujung runcing, tepi rata, panjang 10-20 cm, lebar 5-15 cm, pertulangan melengkung, permukaan alas licin, berwarna hijau, permukaan bawah kasar, warna hijau kelabu.

Bunga : Majemuk, di ketiak daun, sempurna, berkelamin ganda, kelopak 5 helai, ujung runcing, pangkal berlekatan, panjang 3-8 mm, warna ungu tua, benang sari 2 kali lipat jumlah mahkota, kepala sari berupa kuncup membengkok,


(21)

(Anonim, 2013).

Gambar 1. Buah Parijoto (Medinilla speciosa Blume) [ Sumber : Koleksi Pribadi ]

2.1.3 Tempat Tumbuh

Merupakan tumbuhan liar di lereng-lereng gunung atau di hutan-hutan dan kadang dibudidayakan sebagai tanaman hias. Tumbuh baik pada tanah yang berhumus tinggi dan lembab, pada ketinggian 800 m sampai 2.300 m di atas permukaan laut. Berbunga pada bulan November - Januari dan waktu panen yang tepat bulan Maret - Mei (Anonim, 2013).

2.1.4 Kandungan Kimia

Buah parijoto mengandung metabolit sekunder berupa saponin, glikosida, flavonoid dan tanin (Wachidah, 2014).

2.1.5 Khasiat

Secara tradisional buah Medinilla speciosa digunakan sebagai obat warna merah keunguan, kepala putik duduk di atas bakal buah, kepala putik bulat, ungu, mahkota lepas, 5 helai, bentuk kuku, panjang 5-8 mm, warna merah muda.

Buah : Buni, bulat, bagian ujung berbenjol bekas pelekatan kelopak, diameter 5-8 mm, warna merah keunguan.

Biji : Bulat, jumlah banyak, kecil, putih. Akar : Serabut, putih kotor.


(22)

sariawan, antiradang dan antibakteri (Anonim, 2013). Parijoto dipercaya oleh masyarakat di daerah Gunung Merapi dapat meningkatkan kesehatan ibu dan janin (Anggana, 2011). Sedangkan masyarakat Desa Colo Kabupaten Kudus memiliki keyakinan jika ibu hamil mengkonsumsi parijoto, kalau anaknya laki-laki maka akan terlihat cakap, kalau perempuan terlihat cantik (Wibowo et al., 2012).

2.2 Penapisan Fitokimia

Tujuan utama dari penapisan fitokimia adalah menganalisis tumbuhan untuk mengetahui kandungan bioaktif yang berguna untuk pengobatan. Pendekatan secara penapisan fitokimia meliputi analisa kualitatif kandungan dalam tumbuhan atau bagian tumbuhan (akar, batang, daun, bunga, buah dan biji) terutama kandungan metabolit sekunder yang merupakan senyawa bioaktif seperti alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, terpenoid dan glikosida.

a. Alkaloid

Alkaloid adalah senyawa nitrogen (N) yang merupakan hasil metabolit sekunder pada tumbuh-tumbuhan. Umumnya alkaloid menunjukkan efek fisiologik yang menarik, sehingga banyak digunakan sebagai obat-obatan (Guevera, 1985).

Hasil positif alkaloid pada Uji Mayer ditandai dengan terbentuknya endapan putih. Diperkirakan endapan tersebut adalah kompleks kalium-alkaloid. Pada uji alkaloid dengan pereaksi Mayer, diperkirakan nitrogen pada alkaloid akan bereaksi dengan ion logam K+ dari kalium tetraiodomerkurat (II) membentuk kompleks kalium-alkaloid yang mengendap. Perkiraan reaksi yang terjadi pada Uji Mayer :


(23)

Hasil positif alkaloid pada Uji Dragendorff juga ditandai dengan terbentuknya endapan coklat muda sampai kuning. Endapan tersebut adalah kalium - alkaloid.

Gambar 3. Reaksi Uji Dragendorff [ Sumber : Marliana, 2005 ]

b. Flavonoid

Flavonoid adalah senyawa polifenol yang mengandung C15 terdiri atas dua inti fenolat yang dihubungkan dengan tiga satuan karbon. Struktur umum flavonoid juga digambarkan sebagai deretan senyawa C6-C3-C6 (Guevera, 1985).

Pendeteksian adanya senyawa flavonoid dapat dilakukan dengan metode Wilstater sianidin. Uji Wilstater sianidin biasa digunakan untuk mendeteksi senyawa yang mempunyai inti alfa-benzopiron. Warna merah yang terbentuk pada pada Uji Wilstater disebabkan karena terbentuknya garam flavilium (Achmad, 1986).

Gambar 4. Mekanisme reaksi pembentukan garam flavilium [Sumber : Achmad, 1986]


(24)

c. Saponin

Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang kuat, dapat menimbulkan busa jika dikocok dengan air dan pada konsentrasi rendah dapat menyebabkan hemolisis sel darah merah pada tikus. Identifikasi saponin dapat dilakukan dengan mengocok ekstrak bersama air hangat di dalam tabung reaksi dan akan timbul busa yang dapat bertahan lama, setelah penambahan HCl 2N busa tidak hilang. Timbulnya busa pada Uji Forth menunjukkan adanya glikosida yang mempunyai kemampuan membentuk buih dalam air yang terhidrolisis menjadi glukosa dan senyawa lainnya (Guevera, 1985). Reaksi pembentukan busa pada uji saponin ditunjukkan pada gambar berikut :

Gambar 5. Reaksi hidrolisis saponin dalam air [ Sumber : Marliana, 2005 ]

d. Tanin

Istilah “tanin” pertama kalinya digunakan untuk bahan dari tumbuhan yang mempunyai kemampuan untuk menggumpalkan protein hewan pada proses penyamakan kulit. Saat ini tanin mempunyai nilai penting sebagai sitotoksik, antikanker dan antitumor. Tanin terdiri dari 2 kelompok berdasarkan hasil hidrolisanya. Tipe pertama dikenal sebagai pirogalol tanin yaitu, senyawa- senyawa fenolik yang mempunyai ikatan ester dengan gula. Tipe kedua adalah tanin terkondensasi yang kadang-kadang disebut katekol tanin dan merupakan polimer dari senyawa- senyawa fenolik berhubungan dengan pigmen flavonoid. Penambahan suatu asam, kondensasi tanin akan mengalami dekomposisi menjadi


(25)

senyawa-senyawa berwarna merah yang tidak larut disebut dengan phlobaphene atau merah tanin (Guevera, 1985). Tanin pada ekstrak tumbuh-tumbuhan diidentifikasi dengan uji gelatin dengan prinsip pengendap protein dari gelatin oleh tanin (Fransworth, 1996). Dan hasil positif juga diberikan oleh pereaksi ferri klorida (FeCl3), dimana tanin terhidrolisa memberikan warna biru atau biru-hitam, sedangkan kondensasi tanin menberikan warna biru-hijau. Senyawa-senyawa polifenol juga memberikan reaksi warna spesifik dengan FeCl3, tetapi tidak memberikan endapan dengan gelatin.

e. Antrakuinon

Antrakuinon mungkin dijumpai baik dalam bentuk glikosida dengan ikatan O- atau C-glikosida maupun aglikonnya. Biasanya digunakan sebagai zat warna dan katartiks (purgatives). Turunan antrakuinon biasanya merupakan senyawa berwarna merah jingga yang larut dalam air panas dan alkohol encer. Identifikasinya dilakukan dengan cara Uji Borntrager’s, tetapi kadang-kadang uji ini memberikan hasil negatif pada antrakuinon yang sangat stabil atau turunan antranol, untuk itu identifikasi dilakukan modifikasi Uji Borntrager’s. Antrakuinon memberikan warna yang spesifik dengan basa seperti, merah, violet dan hijau. Secara spektrofotometri antrakuinon memberikan pita resapan yang berbeda dengan senyawa kuinon lainnya, dimana memberikan 4 atau 5 pita resapannya pada daerah UV dan sinar tampak. Paling tidak 3 dari pita resapan berkisar antara 215 dan 300 nm, dan lainnya diatas 430 nm (Guevera, 1985).

f. Glikosida

Glikosida merupakan senyawa alami yang terdapat pada berbagai jenis tumbuh-tumbuhan tinggi dan memberikan pengaruh fisiologis. Senyawa ini terbentuk dari gugus non-gula (aglikon) dan gugus gula (glikon). Gugus aglikonnya sangat bervariasi tergantung dari jenis tumbuhan penghasil antara lain, alkaloida, flavonoida, steroida,


(26)

triterpenoida dan lain sebagainya (Guevera, 1985). Untuk pemeriksaan atau uji glikosida dapat dilakukan selain berdasarkan aglikonnya, juga dapat dilakukan terhadap gugus gulanya karena gugus aglikon yang sangat bervariasi, maka dapat dilakukan terhadap gugus gulanya dengan pereaksi Keller-Kiliani (Chairul, 2003).

2.3 Metode Ekstraksi

Menurut Ketut Ristiasa dalam Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat (2000) yang dimaksud dengan ekstraksi adalah proses penarikan kandungan senyawa kimia dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dengan menggunakan alat yang sesuai.

Berikut adalah beberapa cara ekstraksi dengan menggunakan pelarut.

2.3.1 Cara Dingin a. Maserasi

Maserasi merupakan cara penyarian sederhana. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisisa dalam cairan penyari dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruang (kamar). Cairan penyari akan menembus dinding sel atau masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif tersebut akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan yang di luar sel. Larutan yang lebih pekat (di dalam sel) didesak keluar sel, masuk ke dalam larutan di luar sel. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan (Ristiasa, 2000).

b. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada


(27)

temperatur ruangan. Prinsip perkolasi adalah serbuk simplisisa ditempatkan dalam suatu bejana silinder yang bagian bawahnya diberi sekat berpori. Cairan penyari dialirkan dari atas ke bawah melalui serbuk tersebut, kemudian melarutkan zat aktif dari sel-sel yang dilalui sampai mencapai keadaan jenuh (Ristiasa, 2000).

2.3.2 Cara Panas a. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna (Ristiasa, 2000).

b. Soklet

Sokletasi merupakan ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru umumnya dilakukan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Ristiasa, 2000).

c. Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-500C (Ristiasa, 2000).

d. Infusa

Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-980C) selama waktu tertentu (15-20 menit). Infus pada umumnya digunakan untuk menarik atau mengekstraksi zat aktif yang larut dalam air dan bahan-bahan nabati. Hasil dari ekstrak ini menghasilkan zat aktif yang tidak stabil dan mudah tercemar oleh kuman dan kapang, sehingga ekstrak


(28)

yang diperoleh dengan infus tidak boleh disimpan lebih dari 4 jam (Ristiasa, 2000).

e. Dekok

Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (> 30 menit) dan temperatur sampai titik didih air (Ristiasa, 2000).

2.4 Inflamasi 2.5.1 Defenisi

Inflamasi atau radang merupakan proses respon tubuh terhadap rangsangan yang merugikan yang ditimbulkan oleh agen berbahaya seperti infeksi, antibodi, ataupun luka fisik (Goodman & Gilman, 2006). Pada reaksi inflamasi akan terjadi pelepasan histamin, bradikinin, prostaglandin, ekstravasasi cairan, migrasi sel, kerusakan jaringan dan perbaikannya yang ditujukan sebagai upaya pertahanan tubuh dan biasanya respon ini terjadi pada beberapa kondisi penyakit yang serius, seperti kardiovaskular, gangguan inflamasi dan autoimun, kondisi neurodegeneratif, infeksi dan kanker (Kumar et al., 2010 ; Chippada et al., 2011).

Ada lima tanda klinis terjadinya inflamasi yaitu rubor (kemerahan), tumor (pembengkakan), kalor (panas), dolor (rasa nyeri), dan functio laesa (kehilangan fungsi). Kemerahan terjadi pada tahap pertama dari inflamasi. Darah berkumpul pada daerah cedera jaringan akibat pelepasan mediator kimia tubuh (kinin, prostaglandin, dan histamin). Pelepasan histamin menyebabkan dilatasi arteriol. Pembengkakan merupakan tahap kedua dari inflamasi, dimana plasma masuk kedalam jaringan interstitial pada tempat cedera. Kinin mendilatasi arteriol dan meningkatkan permeabilitas kapiler. Rasa panas pada tempat inflamasi disebabkan oleh bertambahnya pengumpulan darah dan mungkin juga dapat disebabkan oleh pirogen (substansi yang menyebabkan demam) yang mengganggu pusat pengatur panas pada hipotalamus. Adanya pembengkakan serta pelepasan mediator-mediator kimia menyebabkan timbulnya rasa nyeri. Rasa nyeri dan terjadi


(29)

penumpukan cairan pada tempat cedera jaringan dapat menyebabkan gangguan mobilitas pada daerah yang terkena (Kee & Hayes, 1993).

2.5.2 Mekanisme Inflamasi

Kerusakan atau perubahan yang terjadi pada sel dan jaringan akibat adanya noksi (pengaruh merusak) akan membebaskan berbagai mediator dan substansi radang. Asam arakidonat mulanya merupakan komponen normal yang disimpan pada sel dalam bentuk fosfolipida, dibebaskan dari sel penyimpan lipid oleh asil hidrolase sebagai respons adanya noksi. Asam arakidonat ini kemudian mengalami metabolisme menjadi dua alur. Alur siklooksigenase yang membebaskan prostaglandin, prostasiklin, tromboksan; alur lipoksigenase yang membebaskan leukotrien dan berbagai substansi seperti 5-HPETE, 5-HETE dan sebagainya (Mansjoer, 2003).

Respons kardiovaskular pada proses radang tergantung dari karakteristik dan distribusi noksi. Dilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler di sekitar jaringan yang mengalami pengaruh-pengaruh merusak pada fase akut berlangsung cepat dimulai 1 sampai 30 menit sejak terjadi perubahan-perubahan pada jaringan dan berakhir 15 sampai 30 menit dan kadang-kadang sampai 60 menit (lnsel, 1991; Melmon dan Morreli, 1978; Robins, 1974). Volume darah yang membawa leukosit ke daerah radang bertambah, dengan gejala klinis di sekitar jaringan berupa rasa panas dan warna kemerah-merahan (PGE2 dan PGI2). Aliran darah menjadi lebih

lambat, leukosit beragregasi di sepanjang dinding pembuluh darah menyebabkan pembuluh darah kehilangan tekstur. Peningkatan permeabilitas kapiler disebabkan kontraksi sel-sel endotel sehingga menimbulkan celah-celah bermembran. Permeabilitas kapiler ditingkatkan oleh histamin, serotonin, bradikinin, sistim pembekuan dan komplemen dibawah pengaruh faktor Hageman dan SRS-A. Larutan mediator dapat mencapai jaringan karena meningkatnya permeabilitas kapiler dengan gejala klinis berupa udem (Korolkovas, 1988; Boyd, 1971; Robins, 1974).


(30)

Fase radang sub-akut berlangsung lambat, mulai dari beberapa jam sampai beberapa hari misalnya karena pengaruh noksi bakteri. Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler masih berlangsung. Karakteristik paling menonjol adalah infiltrasi fagosit yaitu sel polimorfonuklir dan monosit ke jaringan. Selain itu aliran darah lambat, pendarahan dan terjadi kerusakan jaringan yang ekstensif. Proses fagosit mencapai daerah peradangan dinamakan kemotaktik. Migrasi fagosit diaktivasi oleh salah satu fragmen dari komponen komplemen, untuk leukosit polimorfonuklir yaitu C3a. Selain itu LTB4 dan PAF ikut berperanan. Fagosit bergerak pada permukaan sel endotel, pada ujung depan mengecil dan memanjang sehingga dapat memasuki antar sel endotel kemudian melarutkan membran (diapedesis). Fagosit melepaskan diri dari antar sel, masuk ke jaringan dan berakumulasi (Insel, 1991; Melmon dan Morreli, 1978; Roitt et al, 1985). Fagosit yang mula-mula ke luar dari dinding pembuluh darah adalah leukosit polimorfonuklir yang menyerang dan mencerna bakteri dengan cara fagositosis. Disusul datangnya monosit (makrofag) sebagai petugas pembersih, mencerna leukosit polimorfonuklir dan sel jaringan yang telah mati akibat toksin bakteri. Pada radang kronik makrofag juga ikut mencerna bakteri (Boyd, 1971).

Plasma darah setelah melewati dinding pembuluh darah yang permeabel sifatnya berubah disebut limfe radang. Leukosit dan limfe radang secara bersama membentuk eksudat radang yang menimbulkan pembengkakan pada jaringan. Rasa sakit disebabkan tertekannya serabut syaraf akibat pembengkakan jaringan. Selain itu rasa sakit disebabkan bradikinin dan PG. Kerusakan jaringan disebabkan fagositosis, enzim lisosomal dan radikal oksigen. Deman oleh pirogen endogen yang dihasilkan adalah karena kerusakan sel (Korolkovas, 1988; Boyd, 1971).

Berdasarkan fasenya, ada dua fase yang terjadi dalam mekanisme inflamasi yaitu fase perubahan vaskular dan fase reaksi selular. Fase perubahan vaskular terjadi pada pembuluh darah. Mula-mula akan terjadi vasokonstriksi yaitu penyempitan pembuluh darah terutama pembuluh


(31)

darah kecil (arteriol). Proses dapat berlangsung beberapa detik sampai beberapa menit tergantung pada kerasnya jejas (luka). Kemudian akan terjadi vasodilatasi yang dimulai dari pembuluh arteriol yang tadinya menyempit lalu diikuti oleh bagian lain pembuluh darah itu. Akibat dilatasi ini, maka aliran darah akan bertambah sehingga pembuluh darah akan penuh terisi darah dan tekanan hidrostatiknya meningkat, yang selanjutnya dapat menyebabkan keluarnya cairan plasma dari pembuluh darah itu. Setelah itu, aliran darah melambat karena permeabilitas kapiler juga bertambah. Sehingga cairan darah dan protein akan keluar dari pembuluh darah dan mengakibatkan darah menjadi kental. Proses tersebut dikenal dengan proses eksudasi. Keseluruhan proses ini terjadi akibat adanya zat kimia yang menyerupai histamin dan protaglandin (Pringgoutomo, 2002).

Setelah fase vaskuler selesai, terjadi reaksi seluler pada daerah yang mengalami inflamasi. Fase ini dimulai setelah sel darah putih dalam darah berpindah ke tempat cedera atau infeksi. Sel-sel darah putih dan trombosit tertarik ke daerah tersebut oleh zat-zat kimia yang dihasilkan dari sel yang cedera, sel mast, melalui pengaktifan komplemen, dan pembentukan sitokin yang terjadi setelah antibodi berikatan dengan antigen. Tertariknya sel darah putih ke area cedera disebut kemotaksis. Ketika berada di area tersebut, berbagai stimulan menyebabkan sel endotel kapiler dan sel darah putih, terutama neutrofil dan monosit menghasilkan molekul adhesif komplementer. Neutrofil merupakan sel pertama yang tiba di daerah yang mengalami inflamasi. Neutrofil bekerja dengan memfagositosis, mendegradasi sel debris, serta membunuh mikroba. Neutrofil dapat membunuh mikroorganisme melalui dua cara yaitu menggunakan enzim lisosomal pencernaan dan memproduksi oksigen bebas radikal (Corwin & Elizabeth, 2008).

Urutan proses yang terjadi pada leukosit terdiri atas penepian (marginasi), pelekatan (sticking), diapedesis (emigrasi), dan fagositosis. Proses marginasi adalah proses ketika sel darah putih melekat pada sel endotel, sehingga sel darah putih bergerak ke perifer kapiler. Proses ini


(32)

(33)

2.5.3 Penyebab Inflamasi

Pengaruh-pengaruh merusak (noksi) dapat berupa noksi fisika, kimia, bakteri, parasit dan sebagainya. Noksi fisika misalnya suhu tinggi, cahaya, sinar X dan radium, juga termasuk benda-benda asing yang tertanam pada jaringan atau sebab lain yang menimbulkan pengaruh merusak. Asam kuat, basa kuat dan racun termasuk noksi kimia. Bakteri patogen antara lain Streptococcus, Staphylococcus dan Pneumococcus

(Boyd, 1971).

Penyebab paling umum dari proses peradangan antara lain : 1. Infeksi mikrobial (bakteri pirogenik, virus)

2. Agen fisik (trauma, radiasi pengion, panas, dan dingin)

3. Cedera kimiawi (korosif, asam, basa, agen pereduksi, dan toksin bakteri)

4. Jaringan nekrosis misalnya infark iskemik

5. Reaksi hipersensitivitas misalnya parasit dan basil tuberkulosis (Underwood, 1999).

2.5.4 Tipe Inflamasi

Berdasarkan waktu terjadinya inflamasi diklasifikasikan menjadi: 1. Inflamasi akut, adalah inflamasi yang terjadi dalam waktu yang segera

dan hanya dalam waktu yang tidak lama terhadap cedera jaringan. Karakteristik utamanya adalah adanya eksudasi cairan (edema) dan emigrasi dan polimorfonuklear (neutrofil).

2. Inflamasi kronis, adalah inflamasi yang terjadi dalam waktu dan durasi yang lebih lama dengan melibatkan limfosit serta makrofag dan menimbulkan poliferasi pembuluh darah serta pembentukan jaringan parut.

Berdasarkan pada karakteristik utama inflamasi kronik dan akut, dapat dibedakan menurut jenis eksudat dan variabel morfologi :

1. Inflamasi serosa

Inflamasi serosa dicerminkan oleh akumulasi cairan dalam jaringan dan menunjukan sedikit peningkatan permeabilitas vaskuler. Pada


(34)

peritoneum, pleura, dan perikardium keadaan ini dinamakan efusi, namun dapat juga ditemukan ditempat lain (mialnya lepuh karena luka bakar pada kulit).

2. Inflamasi fibrinosa

Inflamasi fibrinosa merupakan keadaan meningkatnya permeabilitas vaskular yang lebih nyata, disertai eksudat yang mengandung fibrinogen dalam jumlah besar. Fibrinogen tersebut akan diubah mejadi fibrin melalui sistem koagulasi. Keterlibatan permukaan serosa (misalnya perikardium atau pleura) disebut dengan istilah perikarditis fibrinosa atau pleuritis fibrinosa.

3. Inflamasi supuratif atau purulen

Pola ini ditandai oleh eksudat purulen (pus/nanah) yang terdiri atas leukosit dan sel-sel nekrotik. Istilah abses mengacu kepada kumpulan inflamasi purulen setempat yang disertai dengan nekrosis likuefaksi (misalnya abses stafilokokus)

4. Ulkus

Ulkus merupakan erosi lokal pada permukaan epitel yang ditimbulkan oleh jaringan nekrotik yang mengelupas atau mengalami inflamasi (misalnya ulkus lambung) (Richard et al., 2006).

2.5.5 Mediator Inflamasi

Kerusakan sel akibat adanya noksi akan membebaskan berbagai mediator atau substansi radang antara lain histamin, bradikinin, kalidin, serotonin, prostaglandin, leukotrien dan sebagainya. Histamin terdapat pada semua jaringan juga pada leukosit basofil. Di dalam jaringan, histamin disimpan dalam sel mast dan dibebaskan sebagai hasil interaksi antigen dengan antibodi IgE pada permukaan sel mast, berperan pada reaksi hipersensitif dan alergi. Substansi tersebut merupakan mediator utusan pertama dari sedemikian banyak mediator lain, segera muncul


(35)

dalam beberapa detik. Reseptor-reseptor histamin adalah H1 dan H2. Stimulasi pada kedua reseptor ini menyebabkan vasodilatasi pada arterial dan pembuluh darah koronaria, merendahkan resistensi kapiler dan menurunkan tekanan darah sistemik. Pada reaksi radang permeabilitas kapiler meningkat karena dibebaskannya histamin (Mutschler, 1991; Garrison, 1991).

Prazat kalikrein ialah kalikreinogen yang tidak aktif terdapat dalam pankreas, mukosa usus dan plasma darah. Kalikreinogen diaktivasi oleh faktor Hageman, melalui penguraian enzimatik dihasilkan kinin aktif yaitu bradikinin dan kalidin, keduanya autakoid. Sebagai mediator radang bradikinin dan kalidin bereaksi lokal, menimbulkan rasa sakit, vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas kapiler dan berperan meningkatkan potensi prostaglandin (Mutschler, 1991; Garrison, 1991).

Serotonin (5-hidroksitriptamin, 5-Hf), dalam konsentrasi tinggi terdapat pada platelet darah, perifer mukosa usus dan di beberapa bagian otak. Salah satu reseptor 5-Hf yang terdapat pada membran platelet ialah 5-Hf 2, jika distimulasi akan meningkatkan agregasi platelet (Garrison, 1991).

Mediator eikosanoid berasal dari dua famili berbeda, dari alur siklooksigenase dihasilkan prostaglandin dan dari alur lipoksigenase dihasilkan leukotrien, termasuk semua senyawa yang masih berhubungan dengan keduanya. Sebagai prazat adalah asam arakidonat. Prostaglandin (PG) sebenarnya bukan sebagai mediator radang, lebih tepat dikatakan sebagai modulator dari reaksi radang. Sebagai penyebab radang, PG bekerja lemah, berpotensi kuat setelah berkombinasi dengan mediator atau substansi lain yang dibebaskan secara lokal, autakoid seperti histamin, serotonin, PG lain dan leukotrien. Prostaglandin paling sensibel pada reseptor rasa sakit di daerah perifer. Prostaglandin merupakan vasodilator potensial, dilatasi terjadi pada arteriol, prekapiler, pembuluh sfingter dan postkapiler venula. Walaupun PG merupakan vasodilator potensial tetapi bukan sebagai vasodilator universal (Hirschelmann, 1991; Campbell, 1991). Selain PG dari alur siklooksigenase juga dihasilkan tromboksan.


(36)

Tromboksan A2 berkemampuan menginduksi agregasi platelet maupun reaksi pembebasan platelet (Campbell, 1991).

Dari alur lipoksigenase dihasilkan mediator leukotrien (LT) dan hidroksi asam lemak. Mediator LTB4 potensial untuk kemotaktik leukosit

polimorfonuklir, eosinofil dan monosit. Pada konsentrasi lebih tinggi LTB4 menstimulasi agregasi leukosit polimorfonuklir. Mediator LTB4 mengakibatkan hiperalgesia. Efek terhadap mikrovaskulatur diinduksi oleh LTC4 clan LTD4, beraksi di sepanjang endotel dari postkapiler venula yang menyebabkan eksudasi plasma. Pada konsentrasi tinggi LTC4 dan LTD4 mempersempit arteriol dan mengurangi eksudasi. Kombinasi LTC4 dan LTD4 merupakan mediator baru, dinamakan slow reacting substance of

anaphylaxis (SRS-A) yang dapat menyebabkan peradangan, reaksi anafilaksi, reaksi alergi dan asma (Campbell, 1991).

Platelet-activating factor (PAF) disimpan di dalam sel dalam bentuk prazat. PAF disintesis oleh platelet, neutrofil, monosit, sel mast, eosinofil dan sel mesangial ginjal. PAF merupakan stimulator agregasi platelet, agregasi leukosit polimorfonuklir dan monosit, meningkatkan potensi LT, pembebasan enzim lisosomal dan superoksida, juga merupakan faktor kemotaktik eosinofil, neutrofil dan monosit (Campbell, 1991).

Selama berlangsung proses inflamasi banyak mediator kimia yang dilepaskan dari plasma, sel atau jaringan rusak. Mediator inflamasi dibagi dalam beberapa kelompok :

1. Amin vasoaktif : histamin dan serotonin

2. Protein plasma : komplemen kinin, dan sistem pembekuan

3. Metabolit asam arakidonat : prostaglandin, leukotrien, dan lipoksin 4. Platelet-Activating Factor (PAF)

5. Sitokin dan kemokin 6. Nitrogen oksida

7. Konstituen lisosom pada leukosit 8. Radikal bebas yang berasal dari oksigen 9. Neuropeptida dan mediator lainnya


(37)

Beberapa mediator inflamasi yang penting antara lain : a) Histamin dan serotonin

Histamin dan serotonin merupakan dua dari beberapa mediator pertama dalam proses inflamasi. Pelepasan histamin dan serotonin menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular. Kedua mediator ini berasal dari sel mast, basofil, dan trombosit. Beberapa faktor yang mnyebabkan pelepasan amin dari sel mast adalah sebagai berikut :

1) Adanya agen fisik (trauma atau panas) 2) Reaksi imun yang melibatkan Ig E

3) Fragmen komplemen C3a serta C5a (anafilatoksin) 4) Sitokin (IL 1 dan IL 8)

5) Faktor – faktor pelepasan histamin yang berasal dari leukosit

b) Komplemen C3a dan C5a

C3a dan C5a disebut juga sebagai anafilatoksin. Anfilatoksin mampu memicu degranulasi pada sel endotelial, mastosit, dan fagosit yang lebih lanjut memicu respon peradangan. C3a dan C5a merupakan polipeptida yang berfungsi layaknya sitokin yang hanya dilepaskan pada area peradangan. C3a dan C5a akan menstimulasi pelepasan histamin dari sel mast dan dengan demikian terjadi peningkatan permeabilitas vaskular dan vasodilatasi. C5a juga mengaktifkan metabolisme arakidonat sehingga terjadi pelepasan mediator inflamasi tambahan.

c) Bradikinin

Pelepasan bradikinin menyebabkan timbulnya rasa nyeri, vasodilatasi dan edema / pembengkakan yang terjadi dalam proses inflamasi. Bradikinin bukan merupakan zat kemotaksis. Bradikinin dihasilkan dari pemecahan protein plasma kininogen oleh enzim protease spesifik (kalikrein). Kalikrein juga memiliki aktivitas kemotaktik dan menyebabkan agregasi neutrofil.


(38)

d) Prostaglandin

Prostaglandin merupakan golongan asam lemak rantai panjang turunan dari asam arakidonat dan disintesis oleh berbagai jenis sel. Prostaglandin dihasilkan melalui jalur siklooksigenase. Terdapat beberapa jenis prostaglandin antara lain I2 (prostasiklin) dan

prostaglandin E2 yang menyebabkan vasodilatasi. Selain itu

prostaglandin E2 juga dapat meningkatkan sensitivitas terhadap

ransangan nyeri dan dapat memediasi demam (Richard et al., 2006). Prostaglandin memiliki sejumlah efek fisiologi dan farmakologi luas, antara lain terhadap otot polos (dinding pembuluh, rahim, bronchi, dan lambung – usus), agregasi trombosit, produksi hormon, lipolisis di depot lemak dan SSP. Senyawa ini terbentuk bila membran sel mengalami kerusakan oleh suatu rangsangan kimiawi, fisik atau mekanis, maka enzim fosfolipase diaktifkan untuk mengubah fosfolipida yang terdapat di daerah tersebut menjadi asam arakidonat yang kemudian sebagiannya diubah oleh enzim siklooksigenase menjadi asam enderoperoksida dan seterusnya menjadi zat – zat prostaglandin. Bagian lain dari arakidonat diubah oleh enzim lipoksigenase menjadi zat – zat leukotrien (Tjay dan Rahardja, 2007).

e) TNF dan IL-1

TNF dan IL-1 merupakan sitokin utama yang memediasi inflamasi. Kedua sitokin ini terutama diproduksi oleh sel – sel makrofag aktif. Kerjanya yang paling penting dalam proses inflamasi meliputi efek pada endotelium, leukosit, dan induksi reaksi sitemik fase akut. Sekresi TNF dan IL-1 distimulasi oleh endotoksin, kompleks imun, toksin, jejas fisik, dan berbagai produk inflamasi. TNF dan IL-1 menginduksi aktivasi endotel yang meliputi induksi molekul adhesi endotel dan mediator kimia (sitokin lainnya seperti IL-6, IL-8, faktor pembunuhan, PGI2 PAF, dan nitrit oksida). Kedua

sitokin ini juga menginduksi enzim – enzim yang berkaitan dengan remodeling matriks dan peningkatan trombogenisitas endotel.


(39)

IL-1 dan TNF menginduksi respon fase akut sistemik yang menyertai infeksi atau jejas seperti demam, anoreksia, letargi, neutrofilia, pelepasan kortikotropin, serta kortikosteroid, dan efek hemodinamik akibat oleh syok septik-hipotensi, penurunan resitensi vaskular, peningkatan frekuensi jantung serta asidosis.

Gambar 7. Berbagai efek utama yang ditimbulkan oleh IL-1 dan TNF pada inflamasi [ Sumber : Richard, 2006 ]

Produk bakteri, kompleks imun, toksin, jejas fisik, sitokin

lainnya

AKTIVASI MAKROFAG (dan sel lainnya)

IL-1 / TNF

Reaksi Fase Akut

Demam, tidur, selera makan, protein fase akut meningkat, efek hemodinamik (syok), neutrofilia

Efek Endotelial

Daya rekat leukosit, sintesis PGI, aktivitas prokoagulan

meningkat, aktivitas

antikoagulan menurun, 1, IL-8, IL-16, PDGF meningkat

Efek Fibroblas

Poliferasi, sintesis kolagen, kolagenase, protease, sintesis PGE meningkat

Efek Leukosit


(40)

Gambar 8. Pelepasan mediator inflamasi oleh sel mast [ Sumber : Elsevier, 2002 ]

2.5 Obat Anti Inflamasi

2.6.1 Obat Anti Inflamasi Steroid

Kortikosteroid seperti deksametason, prednison, prednisolon seringkali digunakan sebagai obat anti inflamasi. Kelompok obat ini dapat mengendalikan anti inflamasi dengan menekan atau mencegah banyak komponen dari proses inflamasi pada tempat cedera. Kortikosteroid disintesis secara alami di korteks adrenal dan merupakan hasil biosintesis dari kolestrol. Mekanisme kerja anti inflamasi steroid adalah menghambat berbagai sel yang memproduksi faktor–faktor penting untuk membangkitkan respon radang (Gilman, 2008).


(41)

2.6.2 Obat Anti Inflamasi Non Steroid

Obat – obat yang termasuk dalam ini adalah indometasin, asam mefenanmat, asam salisilat, ibuprofen, diklofenak, dan fenilbutazon (Gilman, 2008). Kerja utama kebanyakan non steroidal anti inflammatory drugs (NSAID) adalah sebagai penghambat sintesis prostaglandin, dimana enzim-enzim seperti siklooksigenase dapat merubah asam arakidonat menjadi prostaglandin dan tromboksan.

2.6 Uji Anti Inflamasi Metode Stabilisasi Membran Eritrosit

Berbagai metode dapat digunakan untuk menguji aktivitas anti inflamasi dari suatu obat, kandungan kimia, maupun herbal. Metode yang dapat dilakukan secara in vivo antara lain pembentukan edema buatan, eritema, iritasi dengan panas, pembentukan kantung granuloma, iritasi pleura, dan penumpukan kristal sinovitis (Vogel, 2002 & Turner, 1965). Selain itu, metode in vitro juga dapat dilakukan untuk menguji aktivitas anti inflamasi, antara lain pelepasan fosforilasi oksidatif (ATP), menghambat denaturasi protein, stabilisasi membran eritrosit, stabilisasi membran lisosomal, pengujian fibrinolitik, dan agregasi platelet (Oyedapo

et al., 2010).

Sel darah merah manusia (eritrosit) telah digunakan sebagai suatu model untuk mempelajari interaksi antara obat dan membran. Obat–obatan seperti anastetik transquiliser dan obat anti inflamasi non steroid dapat menstabilkan eritrosit untuk melawan terjadinya haemolisis hipotonik pada konsentrasi rendah. Ketika sel darah merah mengalami stress hipotonik, pelepasan hemoglobin (Hb) dari sel darah merah dapat dicegah oleh agen anti inflamasi (Kumar, 2011).

Membran sel darah merah merupakan analog dari membran lisosomal. Enzim lisosomal yang dilepaskan selama inflamasi menyebabkan berbagai gangguan pada jaringan, kerusakan makromolekul, dan peroksidasi lipid yang dianggap dapat bertanggung jawab pada kondisi patologis terntentu seperti serangan jantung, syok septik, rheumatoid


(42)

artritis, dan lain – lain. Aktivitas ekstraseluler dari enzim ini dianggap berhubungan pada inflamasi akut dan kronik (Chippada et al., 2011).

Stabilisasi dari membran lisosomal merupakan hal yang sangat penting pada respon inflamasi dengan menghambat pelepasan konstituen lisosomal dari aktivasi neutrofil seperti enzim bakterisidal dan protease yang dapat menyebabkan peradangan pada jaringan dan kerusakan selama

extra celluler release (Kumar et al., 2011).

Kerusakan pada membran lisosomal biasanya memicu pelepasan fosfolipase A2 yang menyebabkan hidrolisis fosfolipid untuk memproduksi mediator inflamasi. Stabilisasi pada membran sel ini menghambat lisis dan pelepasan isi dari sitoplasma yang ikut membatasi kerusakan jaringan dan eksaserbasi dari respon inflamasi. Oleh karena itu, diharapkan senyawa dengan aktivitas penstabil membran dapat memberikan perlindungan secara signifikan pada membran sel dalam melawan pelepasan zat – zat penyebab luka (Karunanithi, 2012).

2.7 Spektrofotometer UV-Vis

Spektrofotometer UV-VIS yang terdiri dari dua komponen utama yaitu spektrometer dan fotometer. Spektrometer menghasilkan spektra panjang gelombang tertentu, sedangkan fotometer merupakan alat pengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan atau diabsorpsi. Spektrofotometer UV-VIS digunakan untuk mengukur energi secara relatif bila energi tersebut ditransmisikan, direfleksikan, atau diemisikan sebagai fungsi dari panjang gelombang. Sedangkan spektrofotometri adalah suatu metode yang didasarkan pada pengukuran energi cahaya tampak (visibel) atau cahaya untraviolet (UV) oleh suatu senyawa sebagai fungsi panjang gelombang (Day & Underwood, 2002).

2.8.1 Prinsip Dasar

Hukum yang mendasari spektrofotometri adalah hukum “ Lambert-Beer”. Bila sebagian cahaya monokromatis melalui suatu media yang transparan maka akan bertambah turunnya intensitas cahaya yang


(43)

dipancarkan sebanding dengan bertambahnya tebal dan kepekatan media (Day & Underwood, 2002).

Keterangan: A = Absorbansi sampel a = Absorbtivitas molar b = Tebal kuvet

c = Konsentrasi sampel 2.8.2 Instrumentasi

Spektrofotometer UV-VIS pada umumnya tersusun dari dua komponen, yaitu spektrometer (mengukur dan menghasilkan spektra dengan panjang gelombang tertentu atau sinar monokromatis) dan fotometer (pengukur daya kuat sinar monokromatis yang ditransmisikan atau diabsorpsi) (Day & Underwood, 2002).

Berikut ini skema instrumentasi Spektrofotometer UV-VIS :

Gambar 9. Skema Instrumentasi Spektrofotometer UV-VIS [ Sumber : Day & Underwood, 2002 ]

a. Sumber Cahaya

Sumber cahaya mempunyai fungsi untuk memberikan energi pada daerah panjang gelombang yang tepat untuk pengukuran dan mempertahankan intensitas cahaya yang tetap selama pengukuran. Spektrofotometer sinar tampak menggunakan lampu wolfarm dengan λ


(44)

diatas 375 nm, sedangkan spektrofotometer UV menggunakan lampu deuterium (D2) memiliki λ dibawah 375 nm. Sumber cahaya pada spektrofotometer dibagi menjadi tiga bagian :

 Sumber cahaya visibel dengan lampu Wolfram atau lampu Tungsten

 Sumber cahaya UV dengan lampu deuterium (D2) atau lampu hidrogen

 Sumber cahaya inframerah dengan lampu Nernst atau lampu Glowen (Day & Underwood, 2002).

b. Monokromator

Monokromator adalah suatu alat yang berfungsi untuk mengubah cahaya polikromatik menjadi cahaya monokromatik yang kemudian dilewatkan pada celah sempit atau slit agar memungkinkan pemisahan panjang gelombang yang diukur. Beberapa monokromator yang biasa digunakan adalah prisma dan grating (Willard et al., 1988).

c. Kuvet

Kuvet adalah tempat disimpannya larutan contoh yang akan diukur serapannya yang diletakkan pada jalan cahaya dari minokromator. Pada saat cahaya monokromatis melalui kuvet, terjadi penyerapan sejumlah tertentu cahaya, sedangkan sebagian lainnya diteruskan ke detektor (Day & Underwood, 2002). Kuvet visibel dan UV yang khas mempunyai panjang lintasan 1 cm, ada juga yang mempunyai ketebalan 0,1 cm sampai 10 cm atau bahkan lebih (Willard et al., 1988).

d. Detektor

Detektor berfungsi untuk mengubah energi cahaya yang ditransmisikan atau diteruskan oleh kuvet, yang jatuh mengenainya menjadi suatu besaran yang terukur. Detektor yang ideal harus mempunyai kepekaan tinggi, dan responnya stabil pada daerah panjang gelombang pengamatan (Day & Underwood, 2002).


(45)

e. Rekorder

Rekorder merupakan bagian akhir dalam alat ini. Sinyal listrik yang dihasilkan pada detektor dapat dibaca pada rekorder dengan mengkonversikannya ke dalam besaran absorban atau %T (Day & Underwood, 2002).


(46)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan mulai Bulan Maret hingga Bulan Mei 2015 di Laboratorium Penelitian I, Laboratorium Penelitian II, Laboratorium Farmakognosi dan Fitokimia, Laboratorium Kimia Obat dan Laboratorium Formulasi Sediaan Steril FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3.2 Bahan dan Alat 3.2.1 Bahan Uji

Bahan uji yang digunakan adalah buah parijoto (Medinilla speciosa

Blume) dengan spesifikasi warna merah muda keunguan dan rasa asam sepat yang berasal dari Desa Colo, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Bahan selanjutnya yang digunakan adalah sel darah merah yang diisolasi dari

whole blood (darah lengkap) yang masih segar dengan batas kadaluarsa 30 hari. Darah yang digunakan adalah golongan darah B dan diperoleh dari PMI (Palang Merah Indonesia) DKI Jakarta. Sel darah merah yang dibutuhkan untuk uji ini adalah sel darah yang belum mengalami lisis.

3.2.2 Bahan Kimia

Etanol 70%, kloroform, asam sulfat (H2SO4), pereaksi Dragendorff,

pereaksi Mayer, asam klorida (HCl), aquades, natrium klorida (NaCl), feri klorida (FeCl3), amoniak (NH3), dinatrium hydrogen posfat dihidrat

(Na2HPO4. 2H2O), natrium dihidrogen posfat monohidrat (NaH2PO4.

H2O), natrium hidroksida (NaOH), natrium diklofenak (PT. Indofarma).

3.2.3 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari peralatan gelas standar, tabung gelap, mikropipet Mettler Toledo 200 µL, mikropipet Mettler Toledo 1000 µL, neraca analitik, vacuum rotary evaporator,


(47)

sentrifugator, tabung sentrifus, autoklaf, spuit, pH meter, vortex, mikrotips, dan termometer.

3.3 Prosedur Kerja 3.3.1 Determinasi

Buah parijoto (Medinilla speciosa Blume) yang digunakan pada penelitian ini dilakukan determinasi terlebih dahulu di Herbarium Bogoriense LIPI Bogor untuk menentukan apakah buah yang digunakan pada penelitian ini benar jenis Medinilla speciosa Blume, suku Melastomaceae, Parijoto.

3.3.2 Penyiapan Bahan

Buah parijoto (Medinilla speciosa Blume) yang digunakan pada penelitian ini diambil pada Bulan Desember 2014 dari Desa Colo, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Buah parijoto disortasi untuk dipisahkan dari kotoran-kotoran atau bahan-bahan asing sehingga dapat mengurangi jumlah pengotor yang ikut terbawa dalam bahan uji, kemudian dicuci dengan air mengalir dan dikering anginkan hingga tidak terdapat sisa air. Buah segar yang telah didapatkan kemudian dihaluskan dengan blender dan dilakukan ekstraksi.

3.3.3 Pembuatan Ekstrak

Buah segar parijoto (Medinilla speciosa Blume) yang telah dihaluskan dimaserasi dengan etanol 70% selama 48 jam, dan dilakukan secara terus menerus hingga hasil maserasi atau maserat yang diperoleh hampir jernih. Hasil maserasi kemudian diuapkan dengan menggunakan alat vacuum rotary evaporator pada suhu 400C hingga didapatkan ekstrak kental dengan kadar air kurang dari 10% yang merupakan ekstrak kasar.

3.3.4 Penapisan Fitokimia

Penapisan fitokimia dilakukan terhadap ekstrak kasar yang telah diperoleh. Uji penapisan fitokimia yang dilakukan meliputi uji alkaloid,


(48)

flavonoid, saponin, tanin, glikosida, dan terpenoid. Berikut prosedur masing-masing pengujian.

I. Identifikasi senyawa alkaloid

Ekstrak ditimbang 10 mg, lalu ditambahkan 10 mL kloroform diaduk rata. Campuran disaring dan dimasukkan kedalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 0,5 mL H2SO4 1 M dan dikocok baik-baik,

dibiarkan beberapa saat. Lapisan atas yang jernih dipipet kedalam 2 tabung reaksi kecil. Salah satunya diberikan pereaksi Dragendorff dan tabung lainnya pereaksi Mayer 2-3 tetes. Reaksi positif apabila menunjukkan endapan kuning jingga (orange) dengan pereaksi Drogendorf dan endapan putih dengan pereaksi Mayer (Guevara, 1985 dalam Wachidah, 2013).

II. Identifikasi Senyawa Flavonoid

Ekstrak parijoto ditetesi dengan larutan NaOH. Adanya perubahan menjadi warna kuning dan ketika ditambahkan larutan asam warna menjadi pudar menunjukkan hasil positif adanya flavonoid (Tiwari et al.,

2011).

III. Identifikasi Senyawa Saponin Uji Forth

Ekstrak ditimbang 10 mg, lalu ditambahkan 10 ml air panas. Selanjutnya dikocok kuat selama 10 detik, akan terbentuk buih yang mantap setinggi 1-10 cm selama 10 menit. Kemudian ditambahkan 1 tetes HCl 2N dan diamati (Guevera, 1985 dalam Wachidah, 2013).

IV. Identifikasi Senyawa Tanin

0,5 g ekstrak direbus dalam 10 mL air dalam tabung reaksi dan disaring, kemudian ditambahkan beberapa tetes FeCl3 0,1% dan diamati,

positif jika terbentuk warna hijau kecoklatan atau biru kehitaman (Ayoola


(49)

V. Identifikasi Senyawa Glikosida Metode Keller-Killiani

Ekstrak sebanyak 10 mg ditambahkan 3 ml pereaksi FeCl3 kemudian

diaduk dan dipindahkan ke dalam tabung reaksi. Diteteskan 1 ml larutan asam sulfat pekat melalui dinding tabung reaksi. Biarkan campuran beberapa lama sehingga terbentuk warna merah kecoklatan, yang mungkin berubah menjadi biru atau lembayung. Perubahan tersebut menunjukkan reaksi positif terhadap 2-deoksi-gula (Guevera, 1985 dalam Wachidah, 2013).

VI. Identifikasi Terpenoid

Sebanyak 0,5 g ekstrak ditimbang kemudian ditambahkan 2 ml kloroform. Sebanyak 3 ml H2SO4 ditambahkan dengan hati-hati untuk

membentuk lapisan. Perubahan warna menjadi coklat kemerahan yang terdapat pada antar lapisan mengindikasikan adanya terpenoid (Ayoola et al., 2008).

3.3.5 Pengamatan Organoleptis

Organoleptis ekstrak dinyatakan melalui pengamatan dengan panca indera, mendeskripsikan bentuk, warna, bau, dan rasa ekstrak (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000).

3.3.6 Uji Kadar Air

Parameter non spesifik kadar air dilakukan terhadap ekstrak kasar. Ekstrak ditimbang sebanyak 1 gram dalam wadah yang telah ditara. Kemudian dikeringkan pada suhu 1050C selama lima jam dan ditimbang. Pengeringan dilanjutkan dan ditimbang pada jarak satu jam sampai perbedaan antara dua penimbangan berturut – turut tidak lebih dari 0,25% (Depkes RI, 2000)


(50)

3.3.7 Uji Aktivitas Anti Inflamasi Metode Stabilisasi Membran Eritrosit 3.3.7.1 Pembuatan Larutan yang Dibutuhkan

a. Pembuatan Dapar Posfat (0,15 M pH 7,4)

Sebanyak 2,67 gram dinatrium hidrogen posfat dihidrat (Na2HPO4.

2H2O) dilarutkan dalam 100 mL aquades. Kemudian sebanyak 2,07 gram

natrium dihidrogen posfat monohidrat (NaH2PO4. H2O) dilarutkan dalam

100 mL aquades. Kemudian 81 mL larutan Na2HPO4. 2H2O (0,15 M)

dicampurkan dengan 19 mL NaH2PO4. H2O (0,15 M) pada suhu ruang

(Ruzin, 1999). Kemudian disterilisasi menggunakan autoklaf 1210C.

b. Pembuatan Larutan Isosalin

Sebanyak 0,85 gram NaCl dilarutkan dalam dapar posfat 0,15 M pH 7,4 kemudian di add hingga volumenya 100 mL (Kumar et al., 2011 dan Oyedapo et al., 2010). Kemudian disterilisasi menggunakan autoklaf 1210C selama 15 menit.

c. Pembuatan Larutan Hiposalin

Sebanyak 0,25 gram NaCl dilarutkan dalam dapar posfat 0,15 M pH 7,4 kemudian di add hingga volumenya 100 mL (Kumar et al., 2011 dan Oyedapo et al., 2010). Kemudian disterilisasi menggunakan autoklaf 1210C selama 15 menit.

d. Penyiapan Konsentrasi Sampel Uji dan Natrium Diklofenak

Sebanyak 500 mg ekstrak dilarutkan dalam 5 mL etanol 70% lalu diencerkan dengan isosalin sampai 50 mL (10000 ppm) pada suhu ruang, selanjutnya encerkan larutan tersebut menjadi 50, 100, 500, dan 1000 ppm, masing – masing seri konsentrasi dibuat triplo. Kemudian 5 mg natrium diklofenak dilarutkan dalam 1 mL etanol 70% lalu diencerkan dengan isosalin sampai 50 mL (100 ppm) pada suhu ruang.


(51)

3.3.7.2 Pembuatan Suspensi Sel Darah Merah

Darah yang telah diperoleh dari PMI (Palang Merah Indonesia) dimasukkan ke dalam tabung sentrifus sebanyak 10 mL. Selanjutnya disentrifus dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit pada suhu ruang. Supernatan yang dihasilkan dipisahkan, kemudian residu yang dihasilkan dicuci kembali dengan menggunakan larutan isosalin dan disentrifus kembali. Proses tersebut diulangi sebanyak tiga kali hingga larutan isosalin berwarna jernih (Oyedapo et al., 2010). Lalu dibuat suspensi sel darah merah 10% dengan mencampurkan 2 mL sel darah merah dengan 18 mL larutan isosalin (Saleem et al., 2011).

3.3.7.3 Pengujian Aktivitas Anti Inflamasi Ekstrak Etanol 70% Buah Parijoto terhadap Stabilisasi Membran Eritrosit

a. Pembuatan Larutan Uji

Dibuat larutan uji dengan mencampurkan 1 mL larutan sampel, 1 mL dapar posfat, 2 mL hiposalin dan 0,5 mL suspensi 10% sel darah merah.

b. Pembuatan Larutan Kontrol Positif

Dibuat dengan mencampurkan 1 mL larutan natrium diklofenak, 1 mL dapar posfat, 2 mL hiposalin dan 0,5 mL suspensi 10% sel darah merah.

c. Pembuatan Larutan Kontrol Larutan Uji

Dibuat dengan mencampurkan 1 mL larutan sampel, 1 mL dapar posfat, 2 mL hiposalin dan 0,5 mL larutan isosalin.

d. Pembuatan Larutan Kontrol Negatif

Dibuat dengan mencampurkan 1 mL isosalin, 1 mL dapar posfat, 2 mL hiposalin dan 0,5 mL suspensi 10% sel darah merah.


(52)

Setiap larutan kemudian diinkubasi pada suhu 560C selama 30 menit dan disentrifugasi kembali dengan kecepatan 5000 rpm selama 10 menit. Cairan supernatan yang diperoleh mengandung hemoglobin, cairan tersebut diambil dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 560 nm dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis (Oyedapo et al., 2010).

Hasil absorbansi kemudian dimasukkan kedalam rumus berikut ini : % Stabilitas membran :

=100

3.3.8 Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan SPSS dengan uji One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test untuk uji normalitas dan Test of Homogeneity of Variances untuk uji homogenitas. Jika data terdistribusi normal dan homogen maka dilanjutkan dengan Uji Analisis of Varian (ANOVA) satu arah dengan taraf kepercayaan 95% sehingga dapat diketahui apakah perbedaan yang diperoleh bermakna atau tidak. Jika terdapat perbedaan bermakna, dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) dengan metode LSD.


(53)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2 Hasil Penelitian 4.1.8 Hasil Determinasi

Hasil determinasi sampel tumbuhan dari Herbarium Bogoriense LIPI Bogor pada tanggal 30 januari 2015 menunjukkan bahwa sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah benar jenis Medinilla speciosa

Blume, suku Melastomaceae, Parijoto (Lampiran 1).

4.1.9 Hasil Ekstraksi

Sebanyak 1950 gram buah segar parijoto diekstraksi menggunakan 15 liter etanol 70% didapatkan ekstrak kental sebanyak 54,409 gram dengan persentase rendemen sebagai berikut.

Berat Sampel Awal : 1950 gram Berat Ekstrak : 54,409 gram % Rendemen = �

=

= 2,79%

4.1.10 Hasil Uji Penapisan Fitokimia

Ekstrak yang telah diperoleh kemudian dilakukan uji penapisan fitokimia (Tabel 1).

Tabel 1. Hasil Uji Penapisan Fitokimia Ekstrak Etanol 70% Buah Parijoto.

No Metabolit Sekunder Hasil Keterangan/Visualisasi

1 Alkaloid - Tidak terdapat endapan

2 Flavonoid + Kuning kecoklatan jadi pudar

3 Saponin + Busa stabil selama 10 menit

4 Tanin + Terlihat warna biru kehitaman

5 Glikosida + Terlihat warna merah kecoklatan 6 Terpenoid - Tidak terjadi perubahan warna


(54)

Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa ekstrak etanol 70% buah parijoto mengandung metabolit sekunder berupa flavonoid, saponin, tanin, dan glikosida.

4.1.11 Hasil Pengamatan Organoleptis

Secara organoleptik ekstrak etanol 70% buah parijoto berupa ekstrak kental, berbau aromatik, berwarna coklat kemerahan, dan terasa pahit.

4.1.12 Hasil Uji Kadar Air

Uji kadar air dilakukan terhadap ekstrak kasar buah parijoto.

Rata-rata kadar air : =

4.1.13 Hasil Uji Efek Stabilisasi Membran Sel Darah Merah Ekstrak Kasar Buah Parijoto

Untuk mengetahui aktivitas anti inflamasi secara in vitro dapat dilakukan dengan salah satu metode stabilisasi membran sel darah merah atau juga sering disebut Metode Stabilisasi Membran HRBC (Human Red Blood Cell). Pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat Spektrofotometer UV-Vis dengan panjang gelombang 560 nm, karena pada panjang gelombang tersebut dapat terukur serapan hemoglobin yang terdapat dalam larutan uji. Berdasarkan hasil pengamatan dan perhitungan yang telah dilakukan, didapatkan persentase stabilisasi membran sel darah merah pada tabel 2 dan gambar 10 serta untuk perhitungan terdapat pada lampiran 9.

Bobot Awal : 1,001 gram Bobot Akhir : 0,94 gram Kadar Air 1 :

= obot w – obot

� �

= −

= 6,193%

Bobot Awal : 1,000 gram Bobot Akhir : 0,92 gram Kadar Air 2 :

= obot w – obot

� �

= − 2


(55)

Tabel 2. Nilai absorbansi dan persentase stabilitas membran sel darah merah dari larutan uji, kontrol positif pada konsentrasi 100 ppm, dan kontrol negatif terhadap induksi panas dan larutan hipotonik.

Larutan A Larutan A %S Rata-rata %S

Uji 1 (Ekstrak 50 ppm) 0,988 Kontrol Uji 1

0,012 11,06

10,63 ± 1,15

0,979 0,008 11,51

1,003 0,008 09,33

Uji 2 (Ekstrak 100 ppm) 0,907 Kontrol Uji 2

0,014 18,62

18,32 ± 1,21

0,924 0,013 16,98

0,900 0,015 19,35

Uji 3 (Ekstrak 500 ppm) 0,759 Kontrol Uji 3

0,040 34,48

33,08 ± 1,51

0,772 0,020 31,47

0,782 0,050 33,29

Uji 4 (Ekstrak 1000 ppm) 0,514 Kontrol Uji 4

0,080 60,45

60,78 ± 0,66

0,505 0,083 61,54

0,518 0,083 60,36

Uji 5 (Natrium Diklofenak 100 ppm) 0,474 Kontrol Uji 5

0,015 58,17

59,87 ± 2,27

0,492 0,080 62,45

0,479 0,029 58,99

Uji 6 (Kontrol Negatif)

1,026

1,097 1,073

1,193 Keterangan :

A : Absorbansi

%S : Persentase Stabilitas

Persentase stabilitas membran sel darah merah dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

% Stabilitas Membran :

=

100

–{ −


(56)

Gambar 10. Rata-rata persentase stabilisasi membran sel darah merah dari larutan uji dan kontrol positif terhadap induksi panas dan larutan hipotonik

Berdasarkan perhitungan persentase stabilisasi membran sel darah merah menunjukkan bahwa dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak meningkat pula persentase stabilisasi membran sel darah merah. Ekstrak dengan konsentrasi 1000 ppm memiliki persentase tertinggi, artinya pada konsentrasi 1000 ppm ekstrak etanol 70% buah parijoto memiliki potensi sebagai anti inflamasi, karena persentase stabilitas sel darah merah pada konsentrasi tersebut identik dengan natrium diklofenak sebagai kontrol positif. Dapat dilihat bahwa ekstrak dengan konsentrasi 50, 100, dan 500 ppm memiliki rentang yang cukup jauh dengan kontrol positif (natrium diklofenak). Hal ini memperlihatkan bahwa ekstrak dengan konsentrasi 50, 100, dan 500 ppm tidak cukup baik dalam menstabilkan membran sel darah merah.

4.1.14 Hasil Analisa Statistik

Hasil data persentase stabilisasi membran sel darah merah ekstrak etanol 70% buah parijoto pada konsentrasi 50, 100, 500, dan 1000 ppm dilakukan uji statistik menggunakan SPSS yaitu uji normalitas dan homogenitas. Hasil uji One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test untuk uji normalitas dan Test of Homogeneity of Variances untuk uji homogenitas

0 10 20 30 40 50 60 70 10,63 18,31 33,08

60,78 59,87

P er se n tase S tabi ltas ( % )

Rata-rata %S

Uji 1 (50 ppm) Uji 2 (100 ppm) Uji 3 (500 ppm) Uji 4 (1000 ppm) Uji 5 (Na Diklofenak 100 ppm)


(57)

menunjukkan bahwa data nilai persentase stabilitas membran sel darah

merah terdistribusi normal dan homogen (p≥0,05).

Tabel 3. Nilai rata-rata persentase stabilitas membran sel darah merah ekstrak etanol 70% buah parijoto dengan beberapa seri konsentrasi dan natrium diklofenak pada konsentrasi 100 ppm

Larutan Uji Rata-rata Persentase Stabilitas (%)

Uji 1 (Ekstrak 50 ppm) 10,63

Uji 2 (Ekstrak 100 ppm) 18,32

Uji 3 (Ekstrak 500 ppm) 33,08

Uji 4 (Ekstrak 1000 ppm) 60,78

Uji 5 (Na Diklofenak 100 ppm) 59,87

Hasil analisa statistik dengan menggunakan ANOVA menunjukkan bahwa persentase stabilitas pada masing-masing uji berbeda secara bermakna (p<0,05), kemudian dilanjutkan dengan uji LSD atau beda nyata terkecil terhadap persentase stabilitas kelompok. Hasil uji LSD menunjukkan ekstrak pada konsentrasi 1000 ppm berbeda secara bermakna dengan ekstrak pada konsentrasi 50, 100, dan 500 ppm, namun tidak berbeda secara bermakna atau identik dengan kontrol positif yaitu natrium diklofenak.

4.3 Pembahasan

4.2.1 Ekstraksi dan Penapisan Fitokimia

Metode ekstraksi yang digunakan pada buah parijoto adalah metode ekstraksi maserasi. Metode maserasi merupakan metode ekstraksi cara dingin yang memiliki keuntungan dalam proses ekstraksi total, yaitu memperkecil kemungkinan terjadinya kerusakan pada senyawa termolabil yang terdapat pada sampel (Istiqomah, 2013). Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Maserasi bertujuan untuk menarik zat-zat berkhasiat yang tahan pemanasan maupun yang tidak tahan pemanasan. Secara teknologi,


(58)

maserasi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan (Depkes RI, 2000).

Dasar dari maserasi adalah melarutnya bahan kandungan simplisia dari sel yang rusak, yang terbentuk pada saat penghalusan, ekstraksi (difusi) bahan kandungan dari sel yang masih utuh. Setelah selesai waktu maserasi, artinya keseimbangan antara bahan yang diekstraksi pada bagian dalam sel dengan masuk kedalam cairan, telah tercapai maka proses difusi segera berakhir. Selama maserasi atau proses perendaman dilakukan pengocokan berulang-ulang. Upaya ini menjamin keseimbangan konsentrasi bahan ekstraksi yang lebih cepat didalam cairan. Sedangkan keadaan diam selama maserasi menyebabkan turunannya perpindahan bahan aktif. Semakin besar perbandingan simplisia terhadap cairan pengekstraksi, akan semakin banyak hasil yang diperoleh (Voigh, 1994).

Hasil maserasi buah parijoto diperoleh ekstrak sebanyak 54,409 gram dengan nilai rendemen 2,79%. Kecilnya nilai rendemen yang diperoleh kemungkinan karena sampel yang digunakan adalah sampel segar, jadi kandungan air yang terdapat dalam sampel masih banyak. Terdapat beberapa faktor juga yang mempengaruhi ekstraksi diantaranya adalah metode ekstraksi, ukuran partikel, kondisi dan waktu penyimpanan, lama ekstraksi, perbandingan jumlah sampel dan pelarut, serta jenis pelarut yang digunakan.

Ekstrak buah parijoto yang telah diperoleh dilakukan uji penapisan fitokimia. Penapisan fitokimia dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui adanya kandungan metabolit sekunder yang terdapat dalam sampel, seperti flavonoid, alkaloid, saponin, tanin, glikosida dan terpenoid. Hasil penapisan fitokimia menunjukkan bahwa buah parijoto mengandung saponin, glikosida, flavonoid dan tanin, namun tidak terdapat kandungan metabolit sekunder alkaloid dan terpenoid. Hasil penapisan fitokimia tersebut sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Wachidah, 2013.

Uji positif tanin ditunjukkan dengan terbentuknya warna biru kehitaman (tanin terhidrolisis) atau biru kehijauan (tanin terkondensasi)


(59)

saat direaksikan dengan FeCl3. Berdasarkan hasil penapisan fitokimia

kandungan tanin terdapat perubahan warna menjadi biru kehitaman pada ekstrak. Tanin yang terdapat pada buah ini adalah tanin terhidrolisis (Ayoola et al, 2008).

Uji saponin dalam ekstrak dapat digunakan uji Forth. Hasil penapisan fitokimia, diketahui bahwa buah parijoto memiliki kandungan saponin yang ditandai dengan terbentuknya busa apabila dikocok dan apabila didiamkan selama sepuluh menit busa tetap stabil (Guevera, 1985 dalam Wachidah,2013).

Uji selanjutnya adalah uji flavonoid, buah parijoto menunjukkan hasil yang positif ditandai dengan terbentuk warna kuning dan ketika ditambahkan larutan asam warna menjadi pudar. Flavonoid merupakan senyawa polifenol yang banyak terdapat dalam tumbuh-tumbuhan (Tiwari

et al, 2011).

Uji glikosida dilakukan berdasarkan gugus gulanya dengan metode Keller-Kiliani. Glikosida merupakan senyawa yang terbentuk dari gugus non-gula (aglikon) dan gugus gula (glikon). Uji glikosida yang telah dilakukan, terjadi perubahan warna menjadi merah kecoklatan menunjukkan bahwa buah parijoto mengandung glikosida (Guevera, 1985 dalam Wachidah,2013).

Ekstrak yang telah didapatkan juga dilakukan uji kadar air. Uji kadar air penting untuk dilakukan karena jika kandungan air dalam ekstrak terlalu banyak maka kemungkinan mikroba untuk tumbuh akan besar sehingga akan mempengaruhi kualitas ekstrak. Hasil untuk uji kadar air menunjukkan bahwa ekstrak yang didapatkan mengandung 7,097% air, yang mana hasil tersebut tidak melebihi kadar yang diperbolehkan berdasarkan literatur yaitu tidak melebihi 10% (Depkes RI, 2000)


(60)

4.2.2 Stabilisasi Membran Sel Darah Merah

Pada penelitian ini sel darah merah yang digunakan adalah sel darah merah yang diisolasi dari darah yang diperoleh dari PMI (Palang Merah Indonesia). Darah yang digunakan juga bisa diambil secara langsung dari volunter, tetapi dalam hal ini metode tersebut kurang efektif, misalnya jika diambil langsung dari volunter darah harus segera ditambahkan anti koagulan agar darah tidak menggumpal pada saat penyimpanan. Apabila anti koagulan yang digunakan tidak sebanding dengan darahnya, misal anti koagulan (Na2EDTA) yang digunakan berlebih maka akan menyebabkan

terjadinya kerusakan pada sel darah merah. Sel darah merah akan mengalami krenasi atau pengkerutan akibat anti koagulan yang bersifat hiperosmolar (Wirawan, 2004). Cara ini juga tidak efisien artinya pada setiap akan dilakukan uji darah harus diambil terlebih dahulu dari volunter, sedangkan uji yang dilakukan lebih dari satu kali, oleh karena itu pada penelitian ini darah yang digunakan adalah darah yang berasal dari PMI yang sudah mengandung anti koagulan. Pada penelitian ini anti koagulan secara spesifik tidak mepengaruhi uji karena cara kerja anti koagulan adalah dengan cara mengikat kalsium dan menghambat agregasi trombosit dengan cara menghambat pembentukan trombin yang diperlukan untuk mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin dalam proses pembekuan (Riswanto, 2010), sehingga tidak mempengaruhi sel darah merah.

Metode stabilisasi membran sel darah merah adalah salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengetahui aktivitas anti inflamasi secara in vitro. Metode ini dapat digunakan karena membran sel darah merah tersebut analog dengan membran lisosom dan stabilisasi membran sel darah merah tersebut dapat menyiratkan bahwa terjadi juga stabilisasi pada membran lisosom. Stabilisasi membran lisosom penting dalam membatasi respon inflamasi dengan mencegah pelepasan kandungan lisosom dari aktivasi neutrofil seperti enzim protease yang menyebabkan peradangan pada jaringan dan cairan ekstraseluler. Beberapa NSAID diketahui memiliki sifat stabilisasi membran yang dapat berkontribusi pada potensi efek anti inflamasi (Kumar et al., 2012). Persentase stabilisasi atau


(1)

Kesimpulan :

A. Kelompok uji yang memiliki potensi sebagai anti inflamasi adalah uji 5 yaitu ekstrak dengan konsentrasi 1000 ppm yang memiliki persentase stabilitas yang sebanding dengan kontrol positif (natrium diklofenak) dengan konsentrasi 100 ppm. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai signifikansi uji 4 (ekstrak 1000 ppm) lebih dari 0,05 yang berartinya uji 4 tidak berbeda secara bermakna atau identik dengan uji 5.

B. Kelompok Uji 1, 2, dan 3 (ekstrak 50, 100, dan 500 ppm) tidak sebanding dengan uji 5 (natrium diklofenak). Hal ini ditunjukkan dengan nilai signifikannya kurang dari 0,05, artinya uji 1, 2, dan 3 berbeda secara bermakna dengan uji 5. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak dengan konsentrasi 50, 100, dan 500 ppm memiliki potensi sebagai anti inflamasi yang tidak sebanding dengan kontrol positif.


(2)

Lampiran 11. Foto – foto Alat dan Bahan Penelitian

Sentrifugator Oven Autoklaf

Spektrofotometer UV-Vis Water Bath Timbangan Analitik

Vacuum Rotary Evaporator


(3)

Lampiran 12. Foto Proses Pengujian Aktivitas Proses Pencucian Darah

Proses Pengujian Aktivitas

Diukur dengan Spektrofotometer UV-Vis

Pencampuran Inkubasi


(4)

Lampiran 13. Ekstrak Etanol 70% Buah Parijoto dan Hasil Uji Penapisan Fitokimia

Uji Penapisan Fitokimia

No Uji Hasil

1. Alkaloid

Ekstrak Etanol 70% Buah Parijoto


(5)

2. Flavonoid

3. Saponin

4. Tanin

Ditambah H2SO4 (+)

Ditambah NaOH


(6)

5. Glikosida

6. Terpenoid

(+)