Profil Resistensi Antimikroba Terhadap Flora Normal di Cavum Nasi Pada Petugas Dikamar Operasi Bedah Jantung Dan Petugas Post Operasi Intensive Care Unit Jantung RSUP H. Adam Malik.

(1)

PROFIL RESISTENSI ANTIMIKROBA TERHADAP FLORA

NORMAL DICAVUM NASI PADA PETUGAS DIKAMAR

OPERASI BEDAH JANTUNG DAN PETUGAS POST

OPERASI INTENSIVE CARE UNIT JANTUNG

RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

T E S I S

OLEH:

FANI ADE IRMA

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK ILMU PATOLOGI KLINIK DEPARTEMEN PATOLOGI KLINIK

FAKULTAS KEDOKTERAN USU / RSUP H.ADAM MALIK MEDAN


(2)

PROFIL RESISTENSI ANTIMIKROBA TERHADAP FLORA

NORMAL DICAVUM NASI PADA PETUGAS DIKAMAR

OPERASI BEDAH JANTUNG DAN PETUGAS POST

OPERASI INTENSIVE CARE UNIT JANTUNG

RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

T E S I S

Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Magister Dalam Bidang Patologi Klinik Pada Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara

OLEH: FANI ADE IRMA

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK ILMU PATOLOGI KLINIK DEPARTEMEN PATOLOGI KLINIK

FAKULTAS KEDOKTERAN USU / RSUP H.ADAM MALIK MEDAN


(3)

Medan, Juni 2012

Tesis ini diterima sebagai salah satu syarat Program Pendidikan untuk mendapatkan

gelar Magister Patologi Klinik di Departemen Patologi Klinik FK-USU/RSUP H. Adam

Malik Medan.

Disetujui oleh pembimbing

dr.Ricke Loesnihari,SpPK-K

NIP. 140 206 903 NIP.

dr. Nizam Akbar, SpJP

Disahkan Oleh

Ketua Departemen Patologi Klinik Ketua Program Studi Departemen

FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan Patologi Klinik FK USU/

RSUPH. Adam Malik Medan

Prof.dr.Adi Koesoema Aman,SpPK-KH,FISH Prof.DR.dr.Ratna A.Ganie,SpPKH,FISH NIP.194910111979011001 NIP 194807111979032001


(4)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayahnya, sehingga saya dapat mengikuti dan menyelesaikan Program Pendidikan Magister Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan dapat menyelesaikan karya tulis (tesis) ini yang berjudul Profil Resistensi Antimikroba Terhadap Flora Normal di Cavum Nasi Pada Petugas Dikamar Operasi Bedah Jantung Dan Petugas Post Operasi Intensive Care Unit Jantung RSUP H. Adam Malik. Selama saya mengikuti pendidikan, saya telah mendapat banyak bimbingan,nasehat,bantuan dan arahan serta juga dukungan dari berbagai pihak sehingga saya dapat menyelesaikan pendidikan.Untuk semua itu pada kesempatan ini perkenankanlah saya menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang tak terhingga kepada :

Yth. dr. Ricke Loesnihari SpPK-K, yang merupakan pembimbing saya yang telah banyak memberikan petunjuk, bimbingan, bantuan, pengarahan, dan dorongan selama pendidikan, dan dalam penelitian serta penulisan tesis ini. Semoga Tuhan membalas semua kebaikannya.

Yth, dr. Nizam Akbar, SpJP yang merupakan pembimbing saya yang telah memberikan petunjuk, bimbingan, bantuan, pengarahan, dan motivasi dalam penelitian serta penulisan tesis ini.

Yth, Prof. dr. Adi Koesoema Aman, SpPK-KH,FISH sebagai Ketua Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan yang memberi kesempatan kepada saya sebagai peserta Program Pendidikan Magister Patologi Klinik dan selama pendidikan saya telah banyak memberikan bimbingan, arahan, wawasan, motivasi serta nasehat kepada saya.


(5)

Yth, Prof. DR. dr. Ratna Akbari Ganie, SpPK-K,FISH sebagai Ketua Program Studi Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan yang selama ini telah banyak memberikan bimbingan, nasehat, arahan dan petunjuk serta motivasi baik selama saya mengikuti pendidikan dan sampai selesainya tesis ini.

Yth, dr. Ricke Loesnihari, SpPK-K, Sekretaris Program Studi Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan, yang telah banyak memberi bimbingan, arahan dan petunjuk selama saya mengikuti pendidikan.

Yth, seluruh guru-guru saya, Prof.dr. Herman Hariman PhD SpPK-KH, FISH, dr Muzahar, DMM, SpPK-K, dr. Zulfikar Lubis, SpPK, dr. Tapisari Tambunan SpPK-K, dr. Ozar Sanuddin, SpPK-K, dr. Farida Siregar SpPK, dr. Ulfa Mahiddin, SpPK, dr.Lina , SpPK, Prof. dr. Iman Sukiman, Sp.PK-KH,FISH dan dr. Nelly Elfrida Samosir, SpPK, yang telah banyak memberikan bimbingan, nasehat, arahan, dan dukungan selama saya mengikuti pendidikan dan hingga selesainya tesis ini.

Yth, dr Arlinda Sri Wahyuni, M. Kes, yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan bantuan di bidang statistik sejak awal penyusunan sampai hingga selesainya tesis ini.

Yang saya hormati, seluruh teman-teman sejawat PPDS Departemen Penyakit Dalam FK USU/RSUP.H.Adam Malik Medan, yang telah memberikan bantuan kepada saya dengan bekerja sama yang baik pada saat saya melakukan penelitian.

Yang saya sayangi, seluruh teman sejawat PPDS Patologi Klinik, para analis dan pegawai Departemen Patologi Klinik di


(6)

RSUP.H.Adam Malik Medan, telah memberikan bantuan, dukungan dan kerjasama yang baik selama saya menjalani pendidikan.

Sembah sujud dan terimakasih yang tak terhingga dan setulus-tulus nya saya sampaikan kepada kedua orang tua saya, Ayahanda A.Darwin Tajuddin Nur Nasution dan Ibunda Radhiah yang telah melahirkan, mengasuh dan mendidik serta memberi dukungan dan doa serta memberikan bantuan baik moril maupun materil dan memberikan pengorbanan dan perhatian yang tak terhingga.

Terimakasih yang tak terhingga dan setulus-tulus nya saya sampaikan kepada mertua saya, Abdul Rahim Nasution dan Nurwati Lubis yang memberi dukungan baik moril maupun materil dan memberikan pengorbanan dan perhatian yang tak terhingga.

Terimakasih saya sampaikan kepada kakak, abang,adik, abang ipar dan adik ipar saya yang memberi dukungan dan doa agar saya dapat menyelesaikan pendidikan magister ini.

Akhirnya terima kasih yang tak terhingga saya sampaikan kepada suami tercinta dr. Irwansyah Nasution SpA yang telah mendampingi saya dengan penuh pengertian, perhatian dan dorongan serta pengorbanan selama ini. Demikian juga pada keempat permata hati saya Dinda Seruni Medina Nasution, Achmad Alfansyah Nasution, Dina Yasmina Nasution dan Annisa Arafah Nasution yang telah banyak kehilangan perhatian dan kasih sayang selama saya mengikuti pendidikan.

Demikian juga kepada seluruh keluarga besar kami yang dengan ikhlas telah membantu, membimbing dan memotivasi selama saya mengikuti pendidikan, serta kepada semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.


(7)

Akhirul kalam, semoga tesis ini kiranya dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin Ya Robbal A’lamin.

Medan, Juni 2012 Penulis

( dr. FANI ADE IRMA)


(8)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar i

Daftar Isi v

Daftar Tabel vii

Daftar Grafik viii

Daftar Lampiran ix

Daftar Singkatan x

Ringkasan xii

BAB 1. PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang Pendahuluan 1

1.2 Perumusan Masalah 4

1.3 Tujuan Penelitian 4

1.4 Manfaat Penelitian 5

BAB 2. TINJAUAN KEPUSTAKAAN 6

2.1 Infeksi Nosokomial 6

2.2 Pembagian Infeksi Nosokomial 7

2.3 Mikroorganisme yang sering ditemukan dalam hidung 13 2.4 Mekanisme Resistensi Terhadap Antimikroba 18

BAB 3. METODE PENELITIAN 22

3.1 Desain Penelitian 22

3.2 Waktu danTempat Penelitian 22

3.3 Populasi Dan Subyek Penelitian 22

3.3.1.Populasi Penelitian 22


(9)

3.3.3.Kriteria Inklusi 23

3.3.4.Kriteria Eksklusi 23

3.4 Batasan Operasional 23

3.5 Perkiraan Besar Sampel 24

3.6 Analisa Data 25

3.7 Bahan Dan Cara Kerja 25

3.7.1. Pengambilan Bahan 25

3.7.2. Pemeriksaan Laboratorium 25

3.7.2.1. Pewarnaan Gram 25

3.7.2.2. Media Pembiakan 26

3.7.2.2.1. Agar Blood 27

3.7.2.2.2. Agar macConkey 29

3.7.2.2.3. Agar Chocolate 30

3.7.2.2.4. Prosedur Kerja API 20 E 31 3.7.2.2.5. Prosedur Kerja API Staph 32

3.7.2.3. Uji Sensitivitas 32

3.7.2.3.1. Agar Muller Hinton 32

3.8. Pemantapan Kualitas 35

3.9. Kerangka Kerja 37

3.10. Perkiraan Biaya Penelitian 40

3.11. Jadwal Penelitian 41

BAB IV. HASIL PENELITIAN 42

BAB V. PEMBAHASAN 58

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 64


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Gambaran Pola Kuman pada Keseluruhan Petugas –Kamar Bedah Jantung dan Post ICU Jantung RSUP H. Adam Malik Medan

Tabel II. Pola Kuman Pada Masing – Masing Kamar Operasi Jantung Dan Post Operasi Jantung.

Tabel III. Pengelompokan Petugas Kamar Operasi Jantung Ber dasarkan umur dan jenis kelamin.

Tabel IV. Pengelompokan Petugas Post Operasi ICU Jantung Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin

Tabel V. Perbedaan Profil Resistensi Antimikroba pada petugas Kamar Bedah Operasi Jantung dan Post Operasi ICU Jantung, dengan menggunakan Chi-Square, P< 0,05 signifikan.


(11)

DAFTAR GRAFIK

Grafik I. Profil Resistensi Antimikroba First Line Drug, Yaitu Ampicillin, Sulfametoksazole, Penisillin dan Eritro Mycin pada Petugas Kamar Bedah Operasi Jantung Dan Petugas Post Operasi ICU Jantung.

Grafik II. Profil Resistensi Antimikroba ( injeksi ) Amikasin dan Doxicyclin Pada Petugas Kamar Bedah Operasi Jantung dan petugas Post Operasi ICU Jantung.

Grafik III. Profil Resistensi Antimikroba Amoxclave Pada Petugas Kamar Operasi Bedah jantung dan Petugas Post Operasi ICU Jantung.

Grafik IV. Profil resistensi Antimikroba Quinolon (Norfloxacin dan Ciprofloxacin) pada Petugas Kamar Operasi Bedah Jantung dan Petugas Post Operasi ICU Jantung.

Grafik V. Profil Resistensi Antimikroba Golongan Cepha Losporin Pada Petugas Kamar Operasi Bedah Jan tung dan Petugas Post Operasi ICU Jantung.

Grafik VI. Profil resistensi Antimikroba Vancomycin pada petugas kamar Bedah Operasi Jantung dan Petugas post Operasi ICU Jantung


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Data Profil Resistensi Antimikroba Pada Petugas Kamar Operasi

Bedah Jantung.

2. Data Profil Resistensi Antimikroba Pada Petugas Post Operasi ICU

Jantung

3. Reading Table API STAPH

4. Reading TableAPI 20 E

5. Surat Persetujuan Tindakan medis

6. Lembar Penjelasan Kepada Calon Subjek Penelitian

7. Surat Persetujuan Komite Etik Penelitian Bidang Kesehatan FK-USU


(13)

DAFTAR SINGKATAN

ADH : Arginin Dehidroginase

AIDS : Aquired Immune Deficiency Syndrome

AK : Amikasin

AMP : Ampicillin

AMC : Amoxicillin / asam klavulanat

AML : Amoxicillin

CRO : Ceftriaxon

CXM : Cefuroxime

BSI : Bloodstream Infection

CDC : The Center For Desease Control And Preventive.

CIP : Ciprofloxacin

CIT : Citrat

Dkk : Dan kawan kawan

DO : Doxycyclin

E : Eritromycin

FEP : Cefepime

GEL : Gelatin Hydroplisis

H2S : Hydrogen Sulfat

ICU : Intensive Care Unit

URE : Urease


(14)

NIT : Nitrat

NCCLS : National Commite For Clinical Labora

tory standart

NOR : Norfloxacin

ODS : Ornithine Decarboxylase

PAL : B – Naphthyl Phosphate

P : Penicilline

SSI : Surgical Site Infection

SXT : Sulfametoxazole

VAP : Ventilator – Associated Pneumonia

VA : Vancomycin

VP : Voges Proskauer

WHO : World Health Organisation


(15)

RINGKASAN

Infeksi nosokomial atau infeksi yang didapatkan dirumah sakit didefinisikan yaitu infeksi yang didapatkan ketika pasien dirawat dirumah sakit dimana infeksi tersebut tidak dijumpai pada saat pasien masuk. Infeksi yang tampak lebih dari 48 jam setelah pasien masuk biasanya diduga sebagai infeksi nosokomial.

Infeksi nosokomial yang paling sering terjadi menurut “ French National Prevalence Survey” adalah Infeksi Saluran Kemih ( UTI) 35%, Infeksi Luka Operasi / Infeksi Daerah Operasi ( SSI) 20%, pneumonia nosokomial (VAP) 15%, dan Infeksi nosokomial lainnya.

The Center for Desease Control and Prevention ( CDC), memperkirakan sekitar 30% nosokomial infeksi dapat dicegah apabila petugas kesehatan mengikuti pedoman bagaimana cara mengkontrol infeksi dirumah sakit. Oleh karena kedekatan terhadap pasien, para petugas dapat menularkan infeksi terhadap pasien. Perpindahan bakteri dari petugas kesehatan terhadap pasien dapat melalui kontak langsung dan tidak langsung, melalui udara, atau melalui alat alat perawatan pasien, misalnya handuk atau baju.

Pemeriksaan spesimen dari petugas kesehatan dapat dilakukan denga swab didaerah rongga hidung ataupun lengan petugas baik itu diintensive care unit, pada kamar operasi, maupun diruang bangsal.


(16)

Pada pembedahan thorax jantung, telah banyak tindakan yang dilakukan untuk mencegah transmisi bakteri sewaktu dilakukan operasi. Tetapi pasien tetap mempunyai resiko terhadap nosokomial infeksi setelah operasi. Transmisi dapat melalui perangkat seperti drain, kateter urine, nasogastrik tube, yang mana dapat memberikan jalan masuk untuk bakteri staphylococcus aureus atau flora normal lainnya dari rongga.

Resistensi antimikroba berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit, meningkatakan masa rawat inap, dan biaya pengobatan yang semakin mahal. Resistensi antimikroba berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit, meningkatkan masa rawat inap, dan biaya pengobatan yang semakin mahal. Resistensi terhadap antimikroba dinegara berkembang dapat disebabkan adanya perilaku sosial ekonomi dan penyalah gunaan antibiotik oleh kalangan praktisi sosial ekonomi dan penyalah gunaan antibiotik oleh kalangan praktisi kesehatan. Praktisi yang tidak terampil, orang awam, kualitas obat yang buruk, kondisi yang tidak hyegien untuk penyebaran bakteri resisten serta pengawasan yang tidak memadai.

Peneliti tertarik meneliti untuk mengetahui perbedaan profil resistensi antimikroba pada petugas kesehatan dibagian kamar operasi bedah jantung dan Post operasi ICU jantung di RSUP H. Adam malik Medan, yang dilakukan secara Cross Sectional Study.dari Febuari 2011 sampai dengan juni 2012, melibatkan petugas dikamar bedah jantung dan petugas post operasi ICU jantung RSUP H. Adam Malik Medan.


(17)

Dari keseluruhan Jumlah sampel pada penelitian ini terdapat 31 petugas yang memenuhi kriteria inklusi, dimana sebanyak 17 petugas adalah petugas yang berada di kamar bedah operasi jantung dan 14 petugas di ruang Post operasi ICU jantung.

Dari hasil penelitian ini, dapat dilihat pola kuman yang paling banyak muncul pada keseluruhan petugas kamar bedah jantung dan post operasi ICU jantung adalah golongan Gram positif Staphylococcus dan golongan Gram Positif lainnya. Yaitu Staphylococcus epidermidis , Staphylococcus saprophyticus, Staphylococcus aureus, Staphylococcus xylosus, Streptococcus pyogenes . Dari penelitian ini, dimana bakteri golongan Gram positif yang paling banyak muncul, ternyata obat golongan Vancomycin telah terjadi resisten yaitu 79% - 94,1%.

Dari hasil penelitian, juga didapati antimikroba yang mengalami resisten adalah first line drug yaitu Ampicillin, Amoxicillin, Sulfametoxazole, kanamicin, penicillin dan eritromycin. Yaitu dengan rentang 44,4% - 100%. Untuk golongan B- lactam Amoxclave ditemukan resisten hanya 11,1 – 33,3.

Untuk golongan antimikroba golongan Quinolon (Norfloxacin dan Ciprofloxacin ), terlihat ciprofloxacin sudah mengalami resistensi dengan rentang 38,9% - 53,3%,

untuk golongan Cephalosporin ( Cefuroxime, Ceftriaxon dan Cefepime ), pada saat ini masih dipertimbangkan pemakaiannya oleh


(18)

karena resistensi nya yang masih rendah. Cefuroxime hanya 38,9% - 40%, Ceftriaxon 6,7% - 33,3%, Cefepime 22,2% - 26,7%.

Untuk golongan Amikasin dan Doxyxyclin ( injeksi ), terlihat keduanya mengalami resistensi yaitu Amikasin sekitar 26,7% - 66,7%. Sedangkan Doxycyclin sekitar 61,1% - 86,7%. Dari profil resistensi antimikroba petugas kamar operasi jantung dan petugas post operasi ICU jantung terlihat adanya perbedaan yang signifikan yaitu amikasin ( P = 0,022).


(19)

RINGKASAN

Infeksi nosokomial atau infeksi yang didapatkan dirumah sakit didefinisikan yaitu infeksi yang didapatkan ketika pasien dirawat dirumah sakit dimana infeksi tersebut tidak dijumpai pada saat pasien masuk. Infeksi yang tampak lebih dari 48 jam setelah pasien masuk biasanya diduga sebagai infeksi nosokomial.

Infeksi nosokomial yang paling sering terjadi menurut “ French National Prevalence Survey” adalah Infeksi Saluran Kemih ( UTI) 35%, Infeksi Luka Operasi / Infeksi Daerah Operasi ( SSI) 20%, pneumonia nosokomial (VAP) 15%, dan Infeksi nosokomial lainnya.

The Center for Desease Control and Prevention ( CDC), memperkirakan sekitar 30% nosokomial infeksi dapat dicegah apabila petugas kesehatan mengikuti pedoman bagaimana cara mengkontrol infeksi dirumah sakit. Oleh karena kedekatan terhadap pasien, para petugas dapat menularkan infeksi terhadap pasien. Perpindahan bakteri dari petugas kesehatan terhadap pasien dapat melalui kontak langsung dan tidak langsung, melalui udara, atau melalui alat alat perawatan pasien, misalnya handuk atau baju.

Pemeriksaan spesimen dari petugas kesehatan dapat dilakukan denga swab didaerah rongga hidung ataupun lengan petugas baik itu diintensive care unit, pada kamar operasi, maupun diruang bangsal.


(20)

Pada pembedahan thorax jantung, telah banyak tindakan yang dilakukan untuk mencegah transmisi bakteri sewaktu dilakukan operasi. Tetapi pasien tetap mempunyai resiko terhadap nosokomial infeksi setelah operasi. Transmisi dapat melalui perangkat seperti drain, kateter urine, nasogastrik tube, yang mana dapat memberikan jalan masuk untuk bakteri staphylococcus aureus atau flora normal lainnya dari rongga.

Resistensi antimikroba berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit, meningkatakan masa rawat inap, dan biaya pengobatan yang semakin mahal. Resistensi antimikroba berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit, meningkatkan masa rawat inap, dan biaya pengobatan yang semakin mahal. Resistensi terhadap antimikroba dinegara berkembang dapat disebabkan adanya perilaku sosial ekonomi dan penyalah gunaan antibiotik oleh kalangan praktisi sosial ekonomi dan penyalah gunaan antibiotik oleh kalangan praktisi kesehatan. Praktisi yang tidak terampil, orang awam, kualitas obat yang buruk, kondisi yang tidak hyegien untuk penyebaran bakteri resisten serta pengawasan yang tidak memadai.

Peneliti tertarik meneliti untuk mengetahui perbedaan profil resistensi antimikroba pada petugas kesehatan dibagian kamar operasi bedah jantung dan Post operasi ICU jantung di RSUP H. Adam malik Medan, yang dilakukan secara Cross Sectional Study.dari Febuari 2011 sampai dengan juni 2012, melibatkan petugas dikamar bedah jantung dan petugas post operasi ICU jantung RSUP H. Adam Malik Medan.


(21)

Dari keseluruhan Jumlah sampel pada penelitian ini terdapat 31 petugas yang memenuhi kriteria inklusi, dimana sebanyak 17 petugas adalah petugas yang berada di kamar bedah operasi jantung dan 14 petugas di ruang Post operasi ICU jantung.

Dari hasil penelitian ini, dapat dilihat pola kuman yang paling banyak muncul pada keseluruhan petugas kamar bedah jantung dan post operasi ICU jantung adalah golongan Gram positif Staphylococcus dan golongan Gram Positif lainnya. Yaitu Staphylococcus epidermidis , Staphylococcus saprophyticus, Staphylococcus aureus, Staphylococcus xylosus, Streptococcus pyogenes . Dari penelitian ini, dimana bakteri golongan Gram positif yang paling banyak muncul, ternyata obat golongan Vancomycin telah terjadi resisten yaitu 79% - 94,1%.

Dari hasil penelitian, juga didapati antimikroba yang mengalami resisten adalah first line drug yaitu Ampicillin, Amoxicillin, Sulfametoxazole, kanamicin, penicillin dan eritromycin. Yaitu dengan rentang 44,4% - 100%. Untuk golongan B- lactam Amoxclave ditemukan resisten hanya 11,1 – 33,3.

Untuk golongan antimikroba golongan Quinolon (Norfloxacin dan Ciprofloxacin ), terlihat ciprofloxacin sudah mengalami resistensi dengan rentang 38,9% - 53,3%,

untuk golongan Cephalosporin ( Cefuroxime, Ceftriaxon dan Cefepime ), pada saat ini masih dipertimbangkan pemakaiannya oleh


(22)

karena resistensi nya yang masih rendah. Cefuroxime hanya 38,9% - 40%, Ceftriaxon 6,7% - 33,3%, Cefepime 22,2% - 26,7%.

Untuk golongan Amikasin dan Doxyxyclin ( injeksi ), terlihat keduanya mengalami resistensi yaitu Amikasin sekitar 26,7% - 66,7%. Sedangkan Doxycyclin sekitar 61,1% - 86,7%. Dari profil resistensi antimikroba petugas kamar operasi jantung dan petugas post operasi ICU jantung terlihat adanya perbedaan yang signifikan yaitu amikasin ( P = 0,022).


(23)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN

Infeksi nosokomial atau infeksi yang didapatkan dirumah sakit didefinisikan yaitu infeksi yang didapatkan ketika pasien dirawat dirumah sakit dimana infeksi tersebut tidak dijumpai pada saat pasien masuk. Infeksi yang tampak lebih dari 48 jam setelah pasien masuk biasanya

diduga sebagai infeksi nosokomial. Infeksi nosokomial dapat

mempengaruhi ketidakmampuan dan stres emosi pasien, sehingga semua hal – hal tersebut dapat menambah perpanjangan masa rawat inap pasien. Bahkan infeksi nosokomial dapat menyebabkan kematian.

Infeksi nosokomial yang paling sering terjadi menurut “French National Prevalence Survey” adalah infeksi saluran kemih ( UTI ) 35 %, infeksi luka operasi / infeksi daerah operasi ( SSI ) 20 %, pneumonia nosokomial ( VAP ) 15 %, bakteremia nosokomial ( BSI ) 15 %, dan infeksi nosokomial lainnya. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan infeksi nosokomial antara lain jenis mikroorganism-

(infeksi endogen maupun infeksi exogen), daya tahan pasien, faktor lingkungan serta resistensi antimikroba.

(1,2)


(24)

“The Center for Desease Control and Prevention (CDC)”, memperkirakan sekitar 30% nosokomial infeksi dapat dicegah apabila petugas kesehatan mengikuti pedoman bagaimana cara mengkontrol infeksi dirumah sakit. Oleh karena kedekatan terhadap pasien, para petugas dapat menularkan infeksi terhadap pasien. Perpindahan bakteri dari petugas kesehatan terhadap pasien dapat melalui kontak langsung, dan tak langsung. Miasalnya melalui udara, atau melalui alat alat perawatan pasien, misalnya handuk atau baju. Pernah dilaporkan di bagian perawatan perinatal RS Welsh, mereka mendapatkan strain MRSA dari bangsal lain, yang ditransmisikan oleh seorang petugas kesehatan dengan carrier nasal strain tersebut.

Pemeriksaan spesimen dari petugas kesehatan yang merawat pasien jarang dijadikan sebagai suatu pengukuran adanya infeksi nosokomial. Oleh karena itu, penelitian mengenai hal tersebut akan memberikan data bahwa infeksi nosokomial pada pasien dapat disebabkan oleh para petugas. Pemeriksaan spesimen dapat dilakukan dengan swab didaerah rongga hidung ataupun tangan petugas baik itu di intensive care unit, pada kamar operasi, maupun diruang bangsal.

(1,3,4)

Pada pembedahan thorax jantung, telah banyak tindakan yang dilakukan untuk mencegah transmisi bakteri sewaktu dilakukan operasi. Tetapi pasien tetap mempunyai resiko terhadap nosokomial infeksi setelah operasi. Transmisi dapat melalui perangkat seperti drain, kateter urine, nasogastrik tube, yang mana dapat memberikan jalan masuk untuk


(25)

bakteri Staphylococcus aureus atau flora normal lainnya dari rongga hidung petugas terhadap pasien yang dirawat. Semua petugas baik anastesiologis, dokter bedah jantung, perawat, cleaning service atau yang lainnya dapat masuk dan memanipulasi satu atau lebih perangkat yang memberikan kontribusi terjadinya transmisi bakteri.

Terdapat berbagai mikroorganisme yang ditemukan pada cavum nasi manusia yang sehat, antara lain S. epidermidis, S. aureus, S.pneumoniae, Haemophilus spp, S. pyogenes dan lain lain. Mikroorganisme tersebut dapat mengalami kolonisasi didalam cavum nasi. Mikroorganisme ini kemudian mengalami transmisi dari petugas terhadap pasien – pasien yang sedang dirawat.

Ann tammelin dkk, di university Hospital Uppsala, sweden,pada petugas di departemen bedah thorax dan jantung vascular, tahun 2001 - 2002 menemukan pada kamar operasi, terdapat nasal carriege dari Staphilococcus aureus sebesar 15,6%. Sedangkan pada ICU, didapati nasal carriege sebanyak 19,3%, dan dibangsal sebesar 25,8 %.

(1,5,6,7,8,9)

(10)

Resistensi antimikroba berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit, meningkatkan masa rawat inap, dan biaya pengobatan yang semakin mahal. Resistensi terhadap antimkroba dinegara berkembang dapat disebabkan adanya perilaku sosial ekonomi dan penyalah gunaan antibiotik oleh kalangan praktisi kesehatan, praktisi yang tidak terampil,


(26)

orang awam, kualitas obat yang buruk, kondisi unhyegien untuk penyebaran bakteri resiten serta pengawasan yang tidak memadai.

Kalsoom Farzana dkk, melakukan nasal swab pada petugas berbagai bangsal beserta petugas kesehatan lainnya di Children Hospital Complex, Multan, menemukan 112 ( 86,8%) sampel positif paling sedikit satu Staphylococcus spesies, 9 specimen ( 6,9 % ) terdiri dari dua spesies Staphyllococcus yang berbeda, dan satu terdiri dari K. pneumoniae dengan Staphylococci. 62 spesimen Staphylococcus aureus, 45,7 % Coagulase negative Staphylococci. Terhadap S. aureus Vancomycin merupakan antibiotik yang paling sensitif, diikuti oleh Cephalothin ( 92%), Ciprofloxacin ( 90% ), Doxycycline ( 81% ), Amikasin (74%), Oxacillin (70%) dan Fucidic Acid (70%). Erythromycin ( 55 % ), sedangkan Ampicillin dan Penicillin hanya 11 % dan 3% secara berturut – turut.

11

Peneliti tertarik meneliti untuk megetahui perbedaan profil resisitensi antimikroba pada petugas kesehatan dibagian kamar operasi bedah jantung dan Post operasi ICU jantung di RSUP H. Adam malik Medan, oleh karena belum adanya data mengenai hal tersebut sehingga data tersebut dapat menjadi acuan terapi bagi klinisi untuk memberikan pengobatan empirik sebelum hasil kultur dan uji sensitivitas dari pasien diperoleh.


(27)

1.2 PERUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

Apakah terdapat perbedaan profil resistensi antimikroba terhadap bakteri dikavum nasi pada petugas dikamar operasi bedah jantung dan Post operasi ICU jantung di RSUP H. Adam Malik Medan.

1.3 HIPOTESA PENELITIAN

Terdapat perbedaan profil resistensi antimikroba terhadap bakteri dicavum nasi antara petugas dikamar operasi bedah jantung dengan petugas Post operasi ICU jantung.

1.4 TUJUAN PENELITIAN

Tujuan Umum :

Untuk mengetahui perbedaan profil resistensi antimikroba terhadap bakteri di cavum nasi pada petugas dikamar operasi bedah jantung dan Post operasi ICU jantung.


(28)

Tujuan Khusus :

1. Untuk mengetahui pola kuman dan sensitivitas terhadap bakteri dikavum nasi pada petugas dikamar operasi bedah jantung.

2. Untuk mengetahui pola kuman dan sensitivitasnya terhadap bakteri dikavum nasi pada petugas di Post operasi ICU jantung.

1.5 MANFAAT PENELITIAN

Mendapatkan profil resistensi antimikroba terhadap bakteri dikavum nasi pada petugas dikamar operasi bedah jantung dan Post operasi ICU jantung sehingga dapat mengantisipasi apabila terjadi infeksi nosokomial yang diakibatkan oleh petugas dari kedua ruangan tersebut.


(29)

BAB 2

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Infeksi Nosokomial

Infeksi nosokomial menurut WHO adalah adanya infeksi yang tampak pada pasien ketika berada didalam rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya, dimana infeksi tersebut tidak tampak pada saat pasien diterima dirumah sakit. Yang disebut infeksi nosokomial ini termasuk juga adanya tanda tanda infeksi setelah pasien keluar dari rumah sakit dan juga termasuk infeksi pada petugas petugas yang bekerja di fasilitas kesehatan. Infeksi yang tampak setelah 48 jam pasien diterima dirumah sakit biasanya diduga sebagai suatu infeksi nosokomial.

Infeksi nosokomial terjadi diseluruh dunia, termasuk dinegara – negara berkembang maupun negara miskin. Sebuah survei mengenai prevalensi infeksi nosokomial yang dikelola WHO, pada 55 rumah sakit di 14 negara yang dibagi menjadi 4 wilayah, yakni Eropa, Mediterranian Timur, Asia Tenggara dan Pasifik Barat, menunjukkan bahwa sekitar 8,7 % rumah sakit pasien mengalami infeksi nosokomial, pada survei lain menyatakan sekitar 1,4 juta pasien diseluruh dunia mengalami infeksi nosokomial. Dilaporkan frekuensi paling tinggi terjadi pada rumah sakit di Mediterranian Timur sebesar 11,8 %, diikuti wilayah Asia Tenggara 10%,


(30)

CDC, hasil survei di United State, terjadi peningkatan angka prevalensi nosokomial dari 7,2% pada tahun 1975, menjadi 9,8 % pada tahun 1995. Pada penelitian yang dilakukan oleh Wardana dan Acang tahun 1989, terjadinya infeksi nosokomial sebesar 18,46 % pada pasien yang dirawat di ruang gawat penyakit dalam RSUP M. Jamil, padang. Sedangkan penelitian pada tahun yang sama di RS. Hasan Sadikin Bandung didapatkan insiden infeksi nosokomial 17, 24 %, sedangkan di RSUD dr Sutomo prevalensi terjadinya infeksi nosokomial sebesar 9,85 % .(1,12)

2.2 Pembagian infeksi nosokomial

1. Infeksi saluran kemih ( UTI )

Merupakan infeksi nosokomial yg paling sering terjadi. Sekitar 80% infeksi saluran kemih ini berhubungan dengan pemasangan kateter. Infeksi saluran kemih jarang menyebabkan kematian dibandingkan infeksi nosokomial lainnya. Tetapi kadang - kadang dapat menyebabkan bakterimia dan kematian. Infeksi biasanya ditentukan oleh kriteria secara mikrobiologi. Positif apabila kultur urin ≥ 10 5 mikroorganisme / ml, dengan maksimum dari dua isolat spesies bakteri. Bakteri dapat berasal dari flora normal saluran cerna , misalnya E. coli ataupun didapat dari rumah sakit, misalnya Klebsiella multiresisten.(1,8,13)


(31)

2. Infeksi luka operasi / infeksi daerah operasi ( ILO / IDO )

Infeksi nosokomial yang sering terjadi, insiden bervariasi, dari 0,5 sampai 15 %, tergantung tipe operasi dan penyakit yang mendasarinya. Hal ini merupakan masalah yang signifikan, karena memberikan dampak pada biaya rumah sakit yang semakin besar, dan bertambah lamanya masa inap setelah operasi. Kriteria dari infeksi luka infeksi ini yaitu ditemukan discharge purulen disekitar luka atau insisi dari drain atau sellulitis yang meluas dari luka. Infeksi biasanya didapat ketika operasi baik secara exogen ( dari udara, dari alat kesehatan, dokter bedah dan petugas petugas lainnya ), maupun endogen dari mikroorganisme pada kulit yang diinsisi. Infeksi mikroorganisme bervariasi, tergantung tipe dan lokasi dari operasi dan antimikroba yang diterima pasien.

3. Pneumonia nosokomial ( VAP )

(1,8,13)

Yang paling penting adalah penggunaan ventilator pada pasien di ICU., dimana prevalensi terjadinya pneumonia sebesar 3% perhari. Merupakan angka kejadian fatal yang tinggi, yang dihubungkan

dengan Ventilator associated Pneumonia. Mikroorganisme

berkolonisasi di saluran pernafasan bagian atas dan bronchus dan menyebabkan infeksi pada paru ( pneumonia ). Sering merupakan endogen, tetapi dapat juga secara exogen. Diagnosa pneumonia berdasarkan gejala klinis dan radiologi, sputum purulen serta


(32)

timbulnya demam. Diketahui sekarang bahwa yang merupakan faktor resiko adalah tipe dan lamanya penggunaan ventilator, beratnya kondisi pasien atau ada atau tidaknya penggunaan antibiotik sebelumnya.

4. Bakteremia nosokomial ( BSI ) (1,8, 13)

Tipe infeksi nosokomial ini merupakan proporsi kecil dari infeksi nosokomial (sekitar 5 %), tetapi angka kejadian fatal nya tinggi, lebih dari 50% untuk beberapa organisme. Misalnya Staphylococcus Coagulase – Negative dan Candida spp. Infeksi mungkin kelihatan pada tempat masuknya alat intravaskular atau pada subkutaneus dari pemasangan kateter. Organisme berkolonisasi dikateter didalam pembuluh darah dapat menghasilkan bakteremia tanpa adanya tanda- tanda infeksi dari luar. Flora normal yang sementara atau tetap pada kulit merupakan sumber infeksi. Faktor resiko yang utama dalam mempangaruhi infeksi nosokomial ini adalah lamanya kateterisasi, level aseptik dan pemeliharaan yang kontiniu dari kateter.

5. Infeksi nosokomial lainnya.

(1,8,13)

Merupakan infeksi nosokomial yang ke empat tersering.

Sebagai contoh, misalnya :

• Infeksi pada kulit dan jaringan lunak, misalnya luka terbuka ( luka bakar dan luka akibat berbaring lama )


(33)

• Gastroenteritis merupakan infeksi nosokomial tersering pada anak anak, dimana penyebabnya terbanyak adalah rotavirus. Untuk penyebab tersering gastroenteritis pada orang dewasa adalah Clostridium difficile, sering terdapat pada negara berkembang.

• Sinusitis dan infeksi saluran cerna lainnya, infeksi pada mata dan konjungtiva.

(1)

• Endometritis dan infeksi lainnya dari organ reproduksi setelah melahirkan.

Bakteri dapat menyebabkan infeksi nosokomial dengan beberapa cara:

1. Flora tetap atau sementara pada pasien ( endogen )

Bakteri yang merupakan flora normal dapat menyebabkan infeksi oleh karena adanya perpindahan dari habitat alami ke luar, misalnya pindah kesaluran kemih, atau adanya kerusakan jaringan (luka), atau tidak adekuat pemberian antibiotik sehingga diikuti adanya pertumbuhan kuman yang berlebihan (C. difficile, Yeast spp).

2. Flora dari pasien atau petugas rumah sakit ( exogen )

Bakteri dapat berpindah diantara pasien :

• Melalui kontak langsung diantara pasien ( tangan, air ludah atau cairan tubuh lainnya )


(34)

• Melalui udara (melalui ludah atau debu yang sudah terkontaminasi oleh bakteri pasien ).

• Melalui petugas yang terkontaminasi melalui perawatan pasien, misalnya handuk, pakaian, hidung dan tenggorokan, yang kemudian menjadi carrier sementara atau permanen, yang kemudian mentransmisikan bakteri kepasien lainnya melalui kontak langsung ketika merawat. CDC memperkirakan sekitar 36% infeksi nosokomial infeksi dapat dicegah bila semua petugas kesehatan diberikan pedoman khusus dalam pengkontrolan infeksi ketika merawat pasien.

• Melalui objek –objek yang terkontaminasi oleh pasien, termasuk peralatan, tangan petugas, tamu atau sumber linkungan lain, misalnya air, cairan lainnya, makanan.

3. Flora yang berasal dari lingkungan kesehatan.

Beberapa tipe organisme dapat bertahan dengan baik pada lingkungan rumah sakit, misalnya didalam air, area yang lembab, dan kadang – kadang pada produk yang steril atau desinfektan, misalnya Pseudomonas, Acinobacter, mycobacterium. (1,2,8,13,14)


(35)

Faktor faktor yang mempengaruhi berkembangnya infeksi nosokomial :

• Antimikroba

Sebelum diperkenalkan pelatihan dasar mengenai kebersihan dan pemberian antimikroba, hampir semua infeksi dirumah sakit berasal dari sumber luar yang patogen (misalnya penyakit yang ditularkan melalui makanan atau udara, gangren, tetanus atau yang lainnya), atau disebabkan oleh mikroorganisme yang bukan flora normal dari pasien (misalnya tuberculosis). Perkembangan terapi antibiotik sebagai terapi infeksi bakteri digunakan untuk menurunkan angka kematian dari berbagai penyakit infeksi. Hampir semua infeksi yang didapatkan dirumah sakit disebabkan oleh mikroorganisme yang umumnya sering terdapat pada populasi umum, misalnya pada pasien – pasien dirumah sakit (misalnya S. aureus, Staphylococcus Coagulase Negative, Enterococci, Enterobacteriaceae).

• Kerentanan pasien

Faktor – faktor yang berpengaruh pada keadaan ini adalah umur, status imun, penyakit yang mendasarinya, serta intervensi dari terapi. Pasien yang mengalami penyait kronik seperti tumor ganas, leukemia, diabetes mellitus, gagal ginjal, atau AIDS, mempunyai kerentanan yang meningkat terhadap infeksi opurtunistik.


(36)

• Faktor lingkungan

Pasien dengan infeksi atau dengan carrier mikroorganisme patogenik merupakan sumber potensial infeksi terhadap pasien atau pekerja dirumah sakit. Adanya kondisi seperti ini di dalam rumah sakit, sering mengakibatkan transmisi bakteri dari satu unit ke unit lainnya. Mikrobial mungkin mengkontaminasi alat alat, bahan bahan yang kemudian kontak terhadap pasien .

• Resistensi bakteri

Banyak pasien yang menerima terapi antimikroba. Melalui seleksi dan adanya perubahan elemen resistensi genetik, antibiotik menjadi emergensi dimana banyak strain bakteri yang resisten terhadap berbagai antimikroba. Resistensi strain bakteri menjadi menetap dan dapat berkembang menjadi endemik di rumah sakit. Banyak strain Pneumococci, Staphylococci, Enterococci dan tuberculosis resisten terhadap hampir semua antimikroba yang sebelumnya efektif digunakan sebagai terapi.(1,2,8,14)


(37)

2.3 Mikroorganisme yang sering Ditemukan dalam Hidung.

Mikroorganisme Rentangan Insidens (%)

S. aureus 20-85

S. epidermis 90

Corynebacterium aerobic 50 - 80

Strept. Pneumonia 0 - 17

Strept. Pyogenes 0,1 - 10

Haemofilus influenza 12

Neisseria meningitidis 0 - 10

Staphylococcus epidermidis

S. epidermidis merupakan flora normal yang tersering didapat dikulit dan hidung. Apabila terdapat hasil S. epidermidis dari kultur darah, biasanya merupakan kontaminasi dari kulit. Walaupun virulensinya rendah, S.epidermidis sering merupakan penyebab dari pemasangan katub jantung dan kateter, infeksi saluran kemih, infeksi luka bedah, infeksi dari pemasangan alat – alat prostetik, infeksi shunt cerebrospinal fluid, infeksi yang berhubungan dengan dialisis peritoneal dan infeksi opthalmik. Resistensi obat – obatan terhadap S. epidermidis lebih sering terjadi dibandingkan dengan S. aureus. Vancomycin masih sensitif


(38)

terhadap S. epidermidis, tetapi adanya resistensi terhadap isolate pernah dilaporkan.

Staphylococcus aureus

S. aureus merupakan carrier pada individual yang sehat sekitar 22%, carrieg terjadi pada hampir semua bagian kulit, ditemukan juga pada permukaan mukosa pada anterior nares , juga terdapat pada mukosa vagina. Perpindahan dapat terjadi melalui kontak langsung, misalnya pada pegangan pintu, dimana pada putarannya menjadi sumber infeksi, atau dalam makanan, sehingga dapat menyebabkan keracunan makanan. Dalam keadaan- keadaan tertentu, S. aureus dapat menyebabkan berbagai proses, mulai dari infeksi kulit yang ringan sampai penyakit sistemik yang dapat mengancam nyawa. Mulai dari folliculitis, impetigo, furuncel dan carbuncel sampai ke Community – acquired Staphylococcus bronchopneumonia yang di hubungkan oleh virus sebagai faktor predisposisi. Toxin yang diproduksi oleh Staphylococcus aureus merupakan penyebab pada Staphylococcal scalded skin syndrome dan toxic shock syndrome. Penicilline merupakan obat yang terpilih ( drug of choice ) untuk pengobatan infeksi S. aureus. Kedaruratan resistensi terhadap penicillin disebabkan adanya “kemahiran” dari elemen – elemen genetik plasmidborne yang mengkode produksi β – lactamase. Sekarang ini, lebih dari 80% isolat S. aureus resisten terhadap penisilin oleh karena adanya enzim β – lactamase hydrolitic atau penicillinase. MRSA mewakili tantangan yang sebenarnya dari semua institusi kesehatan, dan pedoman


(39)

pedoman sudah di buat untuk mengatur dan mengkontrol perluasan MRSA pada insttitusi kesehatan. Beberapa rumah sakit telah mempunyai institusi untuk melakukan kultur nasal secara rutin terhadap petugas – petugas kesehatan untuk mendeteksi adanya carrier MRSA serta memberikan terapi dengan tujuan untuk menurunkan jumlah terpaparnya pasien, yang mana akan menurunkan percepatan infeksi nosokomial dirumah sakit.

Corynebacterium diphtheriae

C. diphthteriae merupakan penyebab klasik dari penyakit diphtheriae. Infeksi ini masih terlihat di negara berkembang. Infeksi ini dapat dicegah denga immunisasi yang meluas pada populasi yang bersiko terhadap toxoid diphtheriae. Virulensi organisme ini sepenuhnya oleh karena produksi toxin dari diphtheriae. Meskipun nasal swab bukan merupakan spesimen ideal untuk sekret hidung, tetapi kadang – kadang hal ini dapat diterima. Bagaimanapun nasal swab tidaklah merupakan hal yang rutin sebagai bahan kultur untuk mendapatkan Corynebacterium diphtheriae. Terapi dari diphtheriae ini melibatkan antitoxin dari kuda untuk menetralkan toxin agar tidak berikatan dengan sel target. Dilakukan terapi support seperti tracheostomy atau intubasi pembersihan jalan nafas, dan memonitor fungsi jantung. Penisilline atau Erythromycin dapat juga diberikan untuk mempercepat eradikasi organisme ini dari saluran pernafasan pasien. Gabungan Rifampisin dan Erythromycin telah


(40)

sudah terpapar. Pada hasil tes resistensi antimikroba menunjukkan strain C. diphtheriae secara umum sensitif terhadap Penicilline, Ampicilline, Cefuroxime, Erythromycin, Tetracycline, Ciprofloxacin, Gentamycine, Trimethoprim dan Rifampisin.

Haemophilus influenzae

Haemophilus influenzae merupakan bagian flora normal pada oropharynx dan nasopharynx pada orang dewasa. Diantara semua hemophili, H. Influenza serotype b dikatakan yang dikatakan paling pahogenik. Pada era sebelum vaksin terhadap H. Influenza ada, organisme ini paling sering menyebabkan meningitis bakcterial pada anak antara 1 bulan sampai 2 tahun. Lebih dari 90% isolate yang diambil dari semua kasus mempunyai kapsul serotype b. Adanya kolonisasi di nosopharinx pada pasien yang rentan dapat membuat H. Influenza masuk ke aliran darah, dan kemudian menuju meningens. Penyakit lainnya yang sering dihubungkan dengan H. Influenza adalah epiglottitis, otitis media, sinusitis, pneumonia, bakteremia, endocarditis, infeksi pada perinatal, maternal, serta pada urogenital. Spesimen diambil dari CSF, sputum, dan berbagai cairan tubuh lainnya. Tidak ada fakta yang jelas tentang isolat H. Influenza yang diambil dari swab hidung yang dapat mengarah kepada suatu infeksi. Pada tahun 1974, beberapa strain dari H. influenza menjadi resiten terhadap Ampicilin oleh karena menghasilkan enzim β lactamase yang dimediasi oleh plasmid. Pada semua penelitian, lebih dari 99 % strain sensitif terhadaf Amoxicillin - clavulanat. H.


(41)

Influenza resistant–chloramphenikol menghasilkan enzim chloramphenicol

acetyltransferase. Sekarang ini Cephalosporin generasi ketiga

direkomendasikan sebagai terapi terhadap infeksi berat dari H. Influenza, oleh karena lebih unggul aktivitasnya pada mikroorganisme ini baik secara in vitro maupun in vivo.

Streptococcus pneumoniae

S. pneumoniae merupakan penyebab utama dari pneumonia bakterial acquired community. Organisme ini dapat hidup di saluran nafas atas sampai 17 % pada orang dewasa. Hampir semua infeksi serius dari S. pneumoniae terjadi pada anak – anak dibawah umur 3 tahun, dan pada orang dewasa lebih dari 65 tahun. S. pneumoniae dapat menyebabkan bacteremia dan sepsis pada anak – anak dan dewasa, pada anak, sekitar 25 % bacteremia dihubungkan dengan otitis media Pneumococcal. S. pneumoniae juga merupakan penyebab paling sering dari meningitis bactererial pada orang dewasa. S. pneumoniae jarang menjadi penyebab dari endocarditis, pericarditis, osteomyelitis, peritonitis, , infeksi jaringan lunak, dan infeksi neonatal. Disini pengambilan sample dari swab pada hidung juga tidak jelas faktanya sebagai prediktor terjadinya infeksi yang disebabkan oleh S. pneumoniae. S. pneumonia merupakan kedaruratan terhadap resistensi antimokroba, terutama penicilline. Banyak penelitian yang diadakan CDC, menyatakan terjadinya penurunan sensitivitas terhadap penicilline sekitar 15 % - 35 %, tergantung dari wilayah geografi.


(42)

Cephalosporin dari semua generasi ketiga, dan terapi gagal terhadap infeksi organisme ini pernah dilaporkan. Disamping Penicillin dan Cephalosporin, Pneumococcal juga mengarah resistensi terhadap Macrolide, Sulfonamide dan Tetracycline.

2.4 Mekanisme Resistensi Terhadap Antimikroba (6,15,16,17)

Mekanisme resistensi bakteri sangatlah komplek, bervariasi, dan belum sepenuhnya dapat dimengerti. Gen untuk mekanisme resistensi bakteri, mungkin terletak di kromosom atau pada elemen extrakromosom yang disebut plasmid. Plasmid adalah potongan – potongan dari DNA yang bergerak secara bebas dari kromosom. Perbedaan yang menonjol adalah DNA kromosom relatif stabil, sementara Plasmid DNA dengan gampangnya bergerak dari satu strain ke strain yang lain, atau dari satu spesies ke spesies yang lain, bahkan dari satu genus ke genus yang lain. Sebagai tambahan, gen resistensi bakteri pada plasmid mudah ditransferkan, sehingga terjadi banyak organisme baru yang resisten terhadap mikroba.

Mekanisme yang paling sering terjadi pada transfer gen resisten yaitu dengan cara Conjugasi. Faktor lainnya diperlukan dimana gen yang ditransfer bisa bergerak dari satu organisme ke organisme lainnya. Diketahui terakhir ini, mekanisme transfer gen resisiten dengan Transposon ( Transposable genetik element ). Transposon bisa membawa plasmid. Yang lebih penting, bisa membawa sepotong kromosom dari satu


(43)

bakteri ke bakteri yang lain dengan cara Conjugasi (Conjugative transposon or jumping genetic element). Hasilnya mungkin adanya mozaik dari material genetik dari bakteri donor ke bakteri resepien. Transfer resistensi antimikroba melewati barier mayor, antara bakteri Gram positif dan Gram negatif. Ini sangat penting, karena merupakan transfer horozontal dari resistensi terhadap antimikroba untuk penyakit infeksi masa sekarang dan yang akan datang.(6)

Beberapa Mekanisme Resistensi Bakteri terhadap Antimikrobial MEKANISME GOLONGAN ANTIMIKROBA CONTOH

Inaktivasi enzym Perubahan reseptor Perubahan transpor antibiotik β-Lactams Aminoglycosides β-Lactams Perubahan ribosom Perubahan DNA gyrase Perubahan enzym bakteri Perubahan pada membran luar protein (porin)

Redused protein motive force

Aktif transport dari sel bakteri

Β-actames:penicilineses; cephalosporinases; Carbapenemase

Aminoglycosides-modifying enzymes dari gram negativ dan gram positif bakteri

Perubahan penisilin binding proteins dari gram negatif dan gram positif bakteri

Tetrasiclin; erythromicin; aminoglikosida

Quinolons

Sulfamethoxazol; trimethoprim Bakteri gram negatif; decreased influx

Aminoglykosid dan bakteri gram negatif; decreased influx

Tetrasiklin; erithromisin; aktif efflux


(44)

DiRS Universitas Uppsala, sweden, di departemen bedah thorak dan jantungvaskular, peneliti mencari S. aureus dengan melakukan swab pada nasal pada petugas di bangsal, ICU dan kamar operasi. Mereka mendapatkan 25, 8 % S. aureus terdapat pada petugas dibangsal, 19,3 % pada petugas di ICU, dan 15,6 % pada petugas di kamar operasi jantung.

Di pakistan, di Children Hospital Compleks, Multan, ditemukan bahwa ternyata 93,8 % spesimen swab pada nasal adalah staphylococci dengan perbandingan 48 % S. aureus dan 45, 7% Coagulase negative staphylococci. Didapatkan untuk S. aureus 100 % sensitif terhadap Vancomycin, diikuti Cephalotin 92 %, Ciprofloxacin 90 % dan doxycyclin 81 %. Sedangkan untuk Ampicillin 11 %, dan penicilline 3%.

(10)

(11)

Cesar Roberto Busato dkk, melakukan penelitian pada pekerja kesehatan diRS Santa Casa de Misericordia de Ponta Grossa, membandingkan resistensi antimikrobial terhadap S. aureus pada tahun 1996 dan tahun 1999, ternyata didapat antimikroba Ampicillin mengalami peningkatan resistensi dari 90, 4 % menjadi 92, 2 %, Penicillin dari 95, 2% menjadi 97, 7 %, Tetracycline dari 31, 7 % menjadi 33, 3 %, dan Ciprofloxacin dari 12, 7 % menjadi 17, 7 %. Sedangkan Vancomycin resistensi hanya 0 %

Heinz G. Jakob dkk, mengadakan penelitian didepartemen bedah jantung, Universitas Heidelberg, German. Mereka mendapatkan 376


(45)

pasien yang dioperasi pada departemen ini, terdapat kolonisasi S. aureus pada hidung 106 pasien ( 23,2 % ). Kemudian mereka juga mendapatkan dari 241 pekerja rumah sakit , 59 pekerja terdapat kolonisasi S. aureus. Dengan perbandingan dokter 36 %, sedangkan perawat 22,4 %.

Mohammad Bagher Khalili dkk, menemukan dari 742 petugas kesehatan dari beberapa RS di Yazd, Iran, 94 ( 12, 6% ) positif terhadap S. aureus dan 57 ( 7,6 %) untuk MRSA.

(19)

(20)


(46)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 DESAIN PENELITIAN

Penelitian dilakukan secara Cross sectional study

3.2 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Depertemen Patologi klinik FK USU/ RSUP. H. Adam Malik Medan dan bekerja sama dengan Departemen Ilmu Kardiovaskular dan Instalasi Bedah Pusat di RSUP. H. Adam Malik Medan.

Penelitian dimulai dilakukan bulan febuary 2011 sampai semua pekerja dikamar operasi bedah jantung dan post operasi ICU jantung diambil nasal swab dan dilakukan kultur sensitifitasnya..

3.3 POPULASI DAN SUBYEK PENELITIAN 3.3.1. Populasi Penelitian

Yang dimasukkan pada popolasi penelitian adalah semua petugas tetap ( dokter, perawat dan cleaning service ) pada kamar operasi bedah jantung vaskular dan petugas tetap ( dokter, perawat dan cleaning service) pada post operasi ICU jantung RSUP. H. Adam Malik Medan.


(47)

3.3.2. Subyek Penelitian

Subyek yang diikutkan dalam penelitian ini adalah semua petugas tetap di kamar operasi bedah jantung dan Post operasi ICU jantung dan memenuhi kriteria sebagai berikut.

3.3.3. Kriteria Inklusi

Semua petugas tetap ( dokter, perawat dan cleaning service ) kamar operasi bedah jantung vaskular

Semua petugas tetap ( dokter, perawat, dan cleaning service) Post operasi ICU jantung.

• Bersedia ikut dalam penelitian ini

3.3.4. Kriteria Eksklusi

Pegawai tetap ( dokter, perawat, dan cleaning service ) yang sedang dalam terapi memakan antibiotik.

3.4. BATASAN OPERASIONAL

Yang disebut dengan petugas tetap adalah petugas yang terdiri dari dokter, perawat dan cleaning service, dimana mereka telah bekerja minimal satu bulan di kamar operasi bedah jantung atau di Post operasi ICU jantung .


(48)

3.5. PERKIRAAN BESAR SAMPLE

Semua petugas tetap di kamar operasi sebanyak 17 orang :

- Operator ( dokter bedah jantung) : 3 orang

- 1 dokter jantung : 1 orang

- Perawat : 5 orang

- Dokter anastesi : 2 orang

- Perfusi : 3 orang

- Cleaning servise : 3 orang.

Semua petugas di post operasi ICU jantung sebanyak 14 orang

- Dokter spesialis jantung : 1 orang

- Perawat : 11 orang

- Cleaning service : 2 orang.

Jadi jumlah keseluruhan sampel adalah 31 orang.

3.6. ANALISA DATA

Analisa data dalam penelitian ini bertujuan untuk melihat proporsi jenis kuman dan profil resistensi antimikroba terhadap bakteri pada cavum nasi petugas kamar operasi bedah jantung dan petugas Post operasi ICU


(49)

jantung. Untuk membandingkan jenis kuman dan profil antimikroba pada kedua ruangan tersebut, digunakan uji Chi – Square dengan kemaknaan 5 %.(21)

3.7. BAHAN DAN CARA KERJA

3.7.1. Pengambilan Bahan.

• Pasien diberi penjelasan mengenai tindakan yang akan dilakukan

• Buka kultur swab dari pembungkusnya kemudian usapkan bagian kapasnya ke daerah anterior nares dengan gerakan melingkar.

• Kemudian kapas dimasukkan kedalam media transpot. Ditutup rapat,kemudian diberi label nama. Dan segera dibawa ke laboratorium untuk dilakukan pemeriksaan.

3.7.2. Pemeriksaan laboratorium 3.7.2.1. Pewarnaan Gram

• Setelah sampai dilaboratorium, segera lakukan pengecatan Gram. Pewarnaan Gram sebelum dilakukan tindakan kultur adalah sebagai tindakan antisipasi terhadap representasi dari bahan sampel.


(50)

Cara pewarnaan Gram :

- Buat hapusan diatas kaca objek dari 1 koloni kuman

- lakukan fiksasi, dilakukan diatas api bunsen.

- Tuang kristal violet, diamkan selama 1 menit

- Cuci dengan air, tuang lugol dan diamkan selama 1 menit

- Cuci dengan alkohol 96 % hingga warna violet hilang, cuci dengan air

- Tuangkan safranin , diamkan selama 30 detik

- Bilas dengan air, keringkan diudara

- Baca sediaan dibawah mikroskop, pembesaran 100 X dengan minyak emersi.

3.7.2.2. Media Pembiakan (22)

Setelah sampai dilaboratorium tanamkan langsung pada agar darah, agar chocolat dan agar MacConkey. Agar darah dan agar MacConkey diinkubasi pada temperatur 37⁰ C selama 24 – 48 jam, sedangkan agar chocolate di inkubasi didalam candle jar pada suhu 37⁰ C selama 24 – 48 jam. Koloni yang tumbuh diambil dan ditanam .


(51)

3.7.2.2.1 Agar Blood

Media Agar Blood biasanya digunakan untuk melihat terjadinya hemolisis pada beberapa mikroorganisme yang diakibatkan oleh produk enzim ekstraseluler ( streptolisin O ) yang bereaksi dengan eritrosit dan bersifat antigenik. Reaksi hemolisis terjadi ketika dilakukan penggoresan atau penusukan pada media.

Komposisi perliter:

Heart extract...10,0 g

Agar ... 15,0 g

Tryptose ... 10,0 g

NaCl ... 5,0 g

pH 6,8 ± 0,2 pada suhu 25⁰ C

Semua bahan dilarutkan kedalam aquadest sampai volume 1,0 liter. Panaskan selama 15 menit sampai mendidih yaitu suhu 121⁰ C, tunggu sampai suhunya menjadi 45⁰ - 50⁰ C tambahkan darah defebrinasi ( darah domba ) , diaduk rata, tuangkan kedalam piring petri. Hindari gelembung udara, disimpan dilemari es.

Cara kerja :

(22,23))


(52)

kedalam inkubator pada suhu 37⁰ C., dengan posisi tutup dibawah. Biarkan selama 24 jam. Kemudian apabila koloni yang tumbuh adalah Gram positif akan dilanjutkan dengan pemeriksaan identifikasi dengan uji katalase.

Uji katalase : 1 tetes H2O3

- Untuk Streptococcus β hemolyticus, pada agar blood, tampak adanya zona hemolisis yang luas dan terang. Kemudian dilakukan uji Bacitracin. Apabila sensitif , adalah S. pyogenes. Apabila Resisten, adalah S. agalactiae

20 % ditambahkan 1 – 2 koloni bakteri. Apabila terbentuk gas, berarti bakteri tersebut adalah Staphylococcus. Maka pemeriksaan akan dilanjutkan dengan API Staph. Apabila tidak terbentuk gas, maka :

- Untuk Streptococcus α hemolyticus, terbentuk zona hemolisis parsial, yang berwarna kehijauan. Setelah itu dilakukan uji Optocin. Apabila sensitif, adalah S. pneumoniae. Apabila resisten, adalah S. viridans.

- Untuk Streptococcus γ hemolyticus, tidak terjadi hemolisis pada eritrosit, sehingga tidak terlihat perubahan pada permukaan koloni.


(53)

3.7.2.2.2 Agar macConkey

Agar macConkey lebih sering digunakan sebagai media differensial oleh karena adanya kandungan kristal violet yang dapat menghambat pertumbuhan coccus Gram positif, sebaliknya Gram negatif tumbuh dengan mudah.

Komposisi perliter :

(22,23)

Pepton ... 20,0 g

Agar ... 12,0 g

Lactose ... 10,0 g

NaCl ... 5,0 g

Bile salt ... 5,0 g

Neutral Red ... 0,075 g

pH 7,1 ± 0,2 pada suhu 25⁰ C

Semua bahan dilarutkan didalam aquadest sampai volume 1 liter, panaskan selama 15 menit sampai mendidih yaitu pada suhu 121⁰ C. tuangkan kedalam piring petri.

Cara kerja : ambil swab kultur, kemudian lakukan penanaman kuman dengan melakukan goresan secara zig zag. Kemudian ditutup dan masukkan kedalam inkubator pada suhu 37⁰ C., dengan posisi tutup


(54)

terbalik. Biarkan selama 24 jam. Jika tumbuh lanjutkan identifikasi bakteri dengan API 20 E.

3.7.2.2.3 Agar Chocolate

Agar chocolate adalah media non selektif. Merupakan varian dari agar Blood. Media ini mengandung sel darah merah yang telah dilisiskan oleh pemanasan secara perlahan lahan pada suhu 50⁰ C sampai 55⁰ C. Agar Chocolate digunakan untuk pertumbuhan bakteri saluran pernafasan yang fastidious,seperti H. Influenzae.

Komposisi perliter : Komposisi perliter: (22,24)

Beef heart ... 10,0 g

Agar ... 15,0 g

Tryptose ... 10,0 g

NaCl ... 5,0 g

pH 6,8 ± 0,2 pada suhu 25⁰ C.

cara kerja :

Ambil swab kultur, kemudian lakukan penanaman kuman dengan melakukan goresan secara zig zag. Kemudian media dimasukkan kedalam toples yang berisi lilin yang sedang menyala. Tutup toples dan


(55)

biarkan sampai lilin mati. Masukkan toples yang berisi media Chocolate kedalam inkubator pada suhu 35⁰ C – 37 ⁰ C. biarkan selama 24 jam.

Jika terdapat pertumbuhan pada media – media diatas maka dilakukan pengecatan Gram kembali sebagai identifikasi bakteri.

3.7.2.2.4. Prosedur Kerja API 20E Cara kerja :

• Koloni yang tumbuh pada media agar macConkey, dan agar Chocolate, dimasukkan kedalam tabung yang berisi 5 cc NaCl 0,9 %.

• Bandingkan warna dalam tabung tersebut dengan tabung warna standart Mac Farland.

• Dengan menggunakan pipet, isi semua tabung API 20 dengan suspensi bakteri hanya pada bagian tabungnya saja ( jangan mengisi penuh mulut tabung ), kecuali untuk tes Cit, VP dan Gel, dimana pengisiannya dilakukan sampai penuh mulut tabungnya.

• Pada uji tes ADH, ODS, H2S dan URE, teteskan tabung tersebut dengan mineral oil.

• Tutup box dengan penutupnya dan inkubasi pada suhu 37⁰ C selama 24 jam.


(56)

• Nilai perubahan warna yang terjadi pada API 20E

3.7.2.2.5 Prosedur kerja API Staph

- Koloni yang tumbuh pada agar Blood, dimasukkan kedalam tabung yang berisi NaCL 0,9 % steril ( berisi 5 cc NaCL).

- Bandingkan warna dalam tabung tersebut dengan tabung warna standart Mac Farland ( nilai kekeruhannya )

- Dengan menggunakan pipet isi semua tabung dengan suspensi bakteri hanya pada bagian tabungnya saja (jangan mengisi penuh mulut tabung ), kecuali untuk tes VP, NIT dan PAL, dimana pengisian dilakukan pada tabung dan mulut tabung. Tutup box inkubasi dengan penutupnya dan diinkubasi pada suhu 36⁰ C ± 2⁰C selama 24 jam.

3.7.2.3. test uji Sensetivitas

(25)

3.7.2.3.1 Agar Muller Hinton

Agar muller Hinton digunakan untuk uji kepekaan bakteri terhadap obat – obatan yang bertujuan untuk mengetahui obat antimikroba yang dapat digunakan untuk mengatasi infeksi oleh mikroba tersebut.(23)


(57)

Beef extra ... 2.0 g

Acid hydrolysate of casein ... 17,5 g

Starch ... 1.5 g

Agar ... 17.0 g

pH 7,3 ± 0,1 pada suhu 25⁰ C

Larutkan semua bahan dalam aquadest sampai volume 1,0 liter

panaskan sampai mendididh selama 15 menit, sampai suhu 121⁰ C, tuangkan kedalam piring petri.

Uji kepekaan terhadap obat antimikroba digunakan melalui cara Metode Difusi Cakram , yaitu dengan cara Kirby Bauer.

Cara kerja :

- Ambil tiga sampai lima koloni kuman yang tumbuh pada media biakan dengan ose dan masukkan kedalam cairan NaCl 0,9 % (± 5 ml ), bandingkan suspensi dengan standart kekeruhan Mc Farlan 0,5.

- Suspensi kuman 1 cc disebarkan dengan bagian bawah botol steril secara merata pada permukaan media agar Muller Hinton.

- Letakkan cakram Antibiotik yang sesuai dengan bakteri yang sering dijumpai pada kavum nasi.


(58)

Yaitu : Amoxicillin ( 10 µg ), Ampicillin ( 10 µg ), Doxycycline ( 30 µg ), Penicillin ( 10 µg ), Erythromycin (15 µg), Vancomy (30 µg), Cefepime (5 µg), Ceftriaxone (30 µg), Cefuroxime (30 µg), ciprofloxacin (5 µg), Norfloxacin ( 10 µg ), Amikasin ( 30 µg ), Cotrimoxazole ( 1,25 / 23, 75 µg ), Kanamycin ( 30 µg ), Amoxicillin – clavulanat acid (20 / 10 µg). Cakram antibiotik diletakkan pada permukaan agar dengan sedikit penekanan agar melekat dengan sempurna.

- Petri dimasukkan dan diletakkan secara terbalik kedalam inkubator 37⁰ C selama 24 jam.

- Keesokan harinya dibaca zona hambatan pertumbuhan bakteri berdasarkan kriteria NCCLS untuk ditentukan sensitifitasnya.

- Pada penelitian ini, saya melaporkan pembacaan cakram antibiotik sebagai Sensitif dan Resisten.

- Jenis antibiotik yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperti yang dibawah ini :

Dikutip dari Standart Operating Procedures SOP in microbiologi Zone Diameter interpretive Standart and Equivalent Minimum Inhibitor


(59)

JENIS ANTIBIOTIK

DISK CONTENT DIAMETER RESISTEN (mm)

DIAMETER SENSITIF (mm)

Amoxicillin 10 µg 0 - 13 ≥ 18

Ampicillin 10 µg 0 - 11 ≥ 14

Doxycyclin 30 µg 0 - 17 ≥ 24

Penicillin 10 µg 0 - 20 ≥ 29

Erythromycin 15 µg 0 – 14 ≥ 18

Vancomycin 30 µg 0 - 9 ≥ 13

Cefepime 5 µg 0 - 22 ≥ 30

Ceftriaxone 30 µg 0 – 21 29

Cefuroxime 30 µg 0 – 20 ≥ 27

Ciprofloxacin 5 µg 0 – 21 ≥ 26

Norfloxacin 10 µg 0 – 12 ≥ 17

Amikasin 30 µg 0 – 14 ≥ 17

Cotrimoxazole 1,25/23,75 µg 0 – 10 ≥ 16

Kanamycin 30 µg 0 – 13 ≥ 18

Amoxicillin clavulanat


(60)

3.8. PEMANTAPAN KUALITAS

Pemantapan kualitas laboratorium adalah penting untuk menjamin kualitas hasil pemeriksaan laboratorium. Pemantapan kualitas intra laboratorium adalah program pemantapan kualitas yang dijalankan sendiri oleh laboratorium klinik yang bersangkutan untuk mempelajari serta mengurangi kesalahan kesalahan dalam pelaksanaan tugasnya.

Diperlukan stamm kuman yang telah disediakan untuk kegunaan pemeriksaan pewarnaan Gram, pemeriksaan kultur dan sensitifitas.

1. Dilakukan dengan stamm kuman untuk Gram positif ( warna ungu ), dipakai S. aureus ( bentuk koloni coccus kecil berkelompok tidak teratur dan menyerupai buah anggur ) dan Sreptococcus dan Gram negatif ( berwarna merah ) misalnya E. Coli yang telah diketahui dan sampel yang diduga berisi kuman yang sama secara bersamaan dilakukan pewarnaan.

2. Pemantapan stamm kuman yang telah diketahui dan sampel ditanam pada media yang sesuai untuk mengontrol media – media yang baru dibuat dan membandingkan morfologi koloni yang tumbuh.

- Agar macConkey : ditanam kuman E. coli dan diinkubasi 18 – 24 jam dan dilihat hasilnya berdasarkan warna koloninya yang berwarna merah.


(61)

- Agar darah : ditanam S. pneumoniae, dan diinkubasi 18 – 24 jam dan dilihat hasilnya berdasarkan morfologi dan hemolisis nya (Streptococcus α hemolyticus ).

- Untuk uji kepekaan Strain kuman Kontrol, yang digunakan adalah S. aureus, E. coli dan.

(27,28)

3.9. KERANGKA KERJA

DILAKUKAN NASAL SWAB

• Semua petugas Post Operasi ICU jantung

• Bersedia ikut dalam penelitian

• Semua petugas tetap kamar operasi bedah jantung.

• Bersedia ikut dalam penelitian

Pola dan sensitivitasnya

Pola dan sensitivitasnya


(62)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Secara keseluruhan dari penelitian ini terdapat 31 petugas yang memenuhi kriteria inklusi, dimana sebanyak 17 petugas adalah petugas yang berada di kamar bedah operasi jantung dan 14 petugas di ruang post operasi ICU jantung. Dimana pada kamar bedah operasi jantung terdiri dari 5 perawat, 3 perawat tehnisi perfusi yang menguasai alat mesin bypass jantung, 1 dokter jantung, 3 dokter bedah jantung, 2 dokter anastesi, dan 3 cleaning service. Sedangkan pada post operasi ICU jantung terdiri dari 11 perawat, 1 dokter jantung , dan 2 cleaning service.

Dari keseluruhan jumlah sampel pada penelitian ini dijumpai kuman yang tumbuh yaitu Staphylococcus epidermidis 13 ( 40 % ), Staphylococcus saprothyticus 7 ( 21% ), Staphylococcus aureus 4 (12 % ), Staphylococcus Xylosus 2 ( 6% ), Streptococcus pyogenes 1 ( 3 %), Pseudomonas aeroginosa 1 ( 3%), Klebsiella pneumonie 1 ( 3 %), Klebsiella ozenae 1(3%), Micrococcus spp 1 (3%), Streptococcus viridans 1 ( 3 %), Staphylococcus warneri 1 ( 3%).


(63)

Tabel 1. Gambaran pola kuman pada keseluruhan petugas kamar bedah jantung dan post operasi ICU jantung RSUP.H. Adam Malik Medan.

Jenis Kuman Frequency %

S. epidermidiss 13 40

S. saprophyticus 7 21

S. aureus 4 12

S. xylosus 2 6

Streptococcus pyogenes 1 3

Pseudomonas aeroginosa 1 3

Klebsiella pneumonie 1 3

Klebsiella ozenae 1 3

Micrococcus spp 1 3

S. viridans 1 3

S. warneri 1 3


(64)

Dari hasil penelitian, didapatkan pola kuman pada kamar operasi jantung , kuman yang terbanyak tumbuh adalah Staphylococcus epidermidis sebanyak 8 ( 44%), diikuti Staph. Aureus dan Staph. Saprophyticus, masing – masing 4 (22,2%), dan Klebsiella ozenae dan Strepcoccus viridans, masing masing 1(5,6%). Terdapat 2 kuman yang tumbuh pada salah satu sampel yang diambil.

Pada post operasi ICU jantung, didapatkan pola kuman yang terbanyak adalah Staphylococcus epidermidis yaitu 5 ( 33,3%), diikuti Staphylococcus saprophyticus 3 ( 20%), kemudian diikuti S. xylosus 2 (13,3%), diikuti Streptococcus pyogenes, Pseudomonas aeroginosa, Micrococcus spp, Klebsiella pneumonia dan S. warneri, masing masing 1 ( 6,7%). Di post operasi ICU jantung juga terdapat 2 kuman yang tumbuh dari satu sampel.


(65)

Tabel II. Pola kuman pada masing masing kamar operasi jantung dan post operasi ICU jantung

Jenis Kuman

Kamar bedah

operasi jantung post operasi ICU jantung S.epidermis 8 ( 44% ) 5 ( 33,30%)

S.saprophyticus 4 ( 22,2%) 3 ( 20%)

S.aureus 4 ( 22,2%) 0%

Streptococcus viridans 1 ( 5,6%) 0%

Klebsiella ozenae 1 ( 5,6%) 0%

S.xylosus 0% 2 ( 13,3%)

S. warneri 0% 1 ( 6,7%)

Pseudomonas aeroginosa 0% 1 (6,7%)

Micrococcus spp 0% 1 (6,7 %)

Klebsiella pneumonie 0% 1 ( 6,7%)

Streptococcus pyogenes 0% 1 (6,7%)


(66)

Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa umur petugas yang bekerja di kamar bedah operasi jantung paling banyak mempunyai umur > 35 tahun, sebanyak 13 orang ( 76% ), sedangkan jenis kelamin yang terbanyak adalah perempuan sebanyak 10 orang ( 59% ). Untuk umur petugas yang bekerja dipost operasi ICU jantung paling banyak mempunyai umur 31-35 tahun, yaitu sebanyak 8 orang ( 60%), sedangkan jenis kelamin yang terbanyak adalah perempuan sebanyak 11 orang (79%).

Tabel III. Pengelompokan petugas kamar operasi jantung berdasarkan umur dan jenis kelamin.

Frekuensi Persentase Umur

<21 0 0%

21-25 0 0%

26-30 2 12%

31-35 2 12%

> 35 13 76%

Sex

Male 7 41%


(67)

Tabel IV. Pengelompokan petugas post operasi ICU jantung berdasarkan umur dan jenis kelamin

Frekuensi Persentase

Umur

<21 1 10%

21-25 0 0%

26-30 3 20%

31-35 8 60%

> 35 2 10%

Sex

Male 3 21%

Female 11 79%

Untuk profil resistensi antimikroba flora normal pada daerah cavum nasi petugas pada kamar operasi bedah jantung, ditemukan bahwa ampicilin didapatkan 66,7% adalah resisten. Sedangkan untuk petugas post operasi ICU jantung didapatkan resisten sebesar 93,3 %. Untuk Amoxicillin pada kamar bedah operasi jantung, didapatkan 61,1% adalah resisten. Sedangkan pada post operasi ICU jantung, Amoxicillin resisten sebesar 86,7%. Untuk Sulfametoxazole, pada kamar bedah operasi jantung didapatkan 94,4% adalah resisten, sedangkan pada post operasi ICU jantung Sulfametoxazole resisten sebesar 100%. Untuk Kanamicin pada kamar bedah operasi jantung, ditemukan bahwa 66,7% adalah


(68)

resisten. Sedangkan dipost operasi ICU jantung, sebesar 53,3% adalah resisten. Untuk penicilline pada kamar bedah operasi jantung didapatkan 66,7% adalah resisten. Sedangkan pada post operasi ICU jantung ditemukan hanya 86,7% adalah resisten. Untuk Eritromycin pada kamar bedah operasi jantung didapatkan 44,4% adalah resisten. Sedangkan pada post operasi ICU jantung Eritromycin resisten sebesar 46,7% .

Grafik I. Profil resistensi antimikroba first line drug, yaitu Ampicillin, Amoxicillin, Sulfametoxazole, Penisillin dan Eritromycin pada petugas kamar bedah operasi jantung dan petugas post operasi ICU jantung.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 a m p ic il in a m o xi ci ll in su lf am e to sazo le k a n a m ic in p e n ic il il li n e ri tr o m y ci n a m p ic il li n a m o xi ci ll in su lf am e to sazo le k a n a m ic in p e n ic ii li n e ri tr o m y ci n

operasi bedah jantung post operasi icu jantung 33,3 38,9 5,6 33,3 33,3 55,6 6,7 13,3 0 46,6 13,3 53,3 66,7 61,1 94,4 66,7 66,7 44,4 93,3 86,7 100 53,3 86,7 46,7 sensitif resisten


(69)

Untuk profil resisten antimikroba Amikasin yang ditemukan pada petugas kamar bedah operasi adalah resisten sebesar 66,7%, sedangkan pada pada post operasi ICU jantung didapatkan resisten sebesar 26,7%%. Untuk Doxiciclin, pada kamar bedah operasi jantung ditemukan resisten sebesar 61,1%, sedangkan pada petugas post operasi ICU jantung hanya sebesar 86,7%.

Grafik II. Profil resisten antimikroba ( injeksi ) Amikasin dan Doxycyclin pada petugas kamar bedah operasi jantung dan petugas post operasi ICU jantung

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

amikasin doxicillin amikasin doxicillin kamar operasi bedah

jantung

post operasi ICU jantung 33,3 38,9 73,3 13,3 66,7 61,1 26,7 86,7 sensitif resisten


(70)

Untuk Amoxclave, didapatkan pada petugas kamar operasi bedah jantung sebesar 11,1% adalah resisten, sedangkan pada post operasi ICU jantung Amoxclave resisten sebesar 33,3% .

Grafik III. Profil resisten antimikroba Amoxclave pada petugas kamar operasi bedah jantung dan petugas post operasi ICU jantung.

Untuk resistensi antimikroba norfloxacin, didapatkan pada petugas kamar operasi bedah jantung resisten sebesar 27,8%, sedangkan pada post operasi ICU jantung didapatkan resisten sebesar 40%. Sedangkan ciprofloksasin pada kamar bedah operasi jantung didapatkan resisten sebesar 38,9%, sedangkan pada post operasi ICU jantung Ciprofloksasin resisten sebesar 53,3% .

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

kamar bedah operasi jantung

post operasi ICU jantung 88,9

66,7

11,1

33,3

sensitif amoxclave resisten amoxclave


(71)

Grafik IV. Profil resisten antimikroba Quinolon (Norfloxacin dan Ciprofloksasin) pada petugas kamar operasi bedah jantung dan petugas post operasi ICU jantung.

Untuk Cefuroxime, pada kamar bedah operasi jantung didapatkan resisten sebesar 38,9%, sedangkan pada post operasi ICU jantung didapatkan Cefuroxime sebesar 40% adalah resisten. Untuk Ceftriaxon, pada kamar operasi bedah jantung didapatkan resisten sebesar 33,3%, sedangkan pada post operasi ICU jantung, Ceftriaxon sebesar 6,7% adalah resisten. Untuk Cefepime, didapatkan pada kamar bedah operasi jantung 22,2% adalah resisten, sedangkan untuk post operasi ICU jantung resisten sebesar 26,7%

0 10 20 30 40 50 60 70 80

norfloxacin ciprofloxacin norfloxacin ciprofloxacin operasi bedah jantung post operasi icu jantung 72,2

61,1 60

46,7

27,8

38,9 40

53,3

sensitif resisten


(72)

Grafik V. Profil resisten antimikroba golongan Cephalosporin (Cefuroxime, Ceftriaxon dan Cefepime ) pada petugas kamar operasi bedah jantung dan petugas post operasi ICU jantung.

Untuk Vancomycin, pada kamar operasi bedah jantung didapatkan resisten hanya 94,1%, sedangkan untuk post operasi ICU jantung Vancomycin didapatkan sebesar 79% adalah resisten.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 C e fu ro xi m e C e ftr iax o n C e fe p im e C e fu ro xi m e C e ftr iax o n C e fe p im e

operasi bedah jantung post operasi icu jantung 61,1 66,7 77,8 60 80 73,3 38,9 33,3 22,2 40 6,7 26,7 sensitif resisten


(73)

Grafik VI. Profil resisten antimikroba Vancomycin pada petugas kamar bedah operasi jantung dan petugas post operasi ICU jantung.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

kamar operasi bedah jantung

post operasi ICU jantung 5,9

21 94,1

79

sensitif vancomycin resisten vancomycin


(74)

Antibiotik Kamar Operasi Jantung Post-Operasi Jantung P(value)

n % n %

S R S R S R S R

ampicillin 6 12 33,3 66,7 1 14 6,7 93,3 0,095

amoxicillin 7 11 38,9 66,1 2 13 13,3 86,7 0,134

sulfametoxazole 1 17 5,6 94,4 0 15 0 100 1.000

kanamicin 6 12 33,3 66,7 7 8 46,7 53,3 0,435

penisillin 6 12 33,3 66,7 2 13 13,3 86,7 0,242

eritromycin 10 8 55,6 44,4 8 7 54,5 45,5 0,898

amikasin 6 12 33,3 66,7 11 4 73,3 26,7 P = 0,022, P < 0,05

doxycyclin 7 11 38,9 61,1 2 13 13,3 86,7 0,134

amoxclave 16 2 88,9 11,1 10 5 66,7 33,3 0,203

norfloxacin 13 5 72,2 27,8 9 6 60 40 0,458

ciprofloksasin 11 7 61,1 38,9 7 8 46,7 53,3 0,407

cefuroxime 11 7 61,1 38,9 9 6 60 40 0,948

ceftriaxon 12 6 66,7 33,3 12 3 80 20 0,458

cefepime 14 4 77,8 22,2 11 4 73,3 26,7 1.000


(75)

Dari gambaran profil resistensi antimikroba masing masing petugas kamar bedah operasi jantung dan post operasi ICU jantung, dengan menggunakan Chi-square, didapat kan hanya satu antimikroba yang signifikan berbeda, yaitu Amikasin ( P = 0,022).


(76)

BAB V PEMBAHASAN

Infeksi yang didapat dirumah sakit yang ditularkan oleh petugas merugikan baik pada pasien, maupun pada pihak rumah sakit. Salah satu penularan kuman dapat melalui tangan. Adapun penularan yang berasal dari tangan kebanyakan berasal dari hidung, sehingga pada penelitian ini, saya mencoba meneliti profil resistensi jika penularan terjadi dari hidung.

Pemeriksaan spesimen dari petugas kesehatan yang merawat pasien dapat memberikan data bahwa infeksi nosokomial pada pasien dapat disebabkan oleh para petugas. Pemeriksaan spesimen dapat dilakukan dengan swab didaerah rongga hidung baik itu diintensive care unit, pada kamar operasi ataupun diruang bangsal.

Pada pembedahan thorakjantung, telah banyak tindakan yang dilakukan untuk mencegah transmisi bakteri sewaktu dilakukan operasi. Tetapi pasien tetap mempunyai resiko terhadap nosokomial infeksi setelah operasi, transmisi dapat melalui perangkat seperti drain, kateter urin, nasogastrik tube, endotracheal tube, yang mana dapat memberikan jalan masuk untuk bakteri S. Aureus atau flora normal lainnya dari rongga hidung petugas terhadap pasien yang dirawat. Semua petugas baik anestesiologis, dokter bedah, perawat, cleaning service atau yang lainnya dapat masuk dan memanipulasi satu atau lebih perangkat yang memberikan kontribusi terjadinya transmisi bakteri .10


(77)

Beberapa mikroorganisme telah dilaporkan pada beberapa penelitian sebagai penyebab infeksi nosokomial, terutama yang diambil dan diisolasi dari perlukaan operasi

Terdapat berbagai mikroorganisme yang ditemukan pada cavum nasi manusia yang sehat, antara lain S. epidermidis, S. aureus, S. Pneumonie, Haemophilus spp, S. pyogenes dan lain – lain. Mikroorganisme ini dapat mengalami kolonisasi didalam cavum nasi. Kemudian mikroorganisme ini mengalami transmisi dari petugas terhadap pasien –pasien yang sedang dirawat. Staphylococcus dan bakteri lainnya berkolonisasi pada mukosa rongga hidung sebagai flora normal.

Pada penelitian distribusi umur, didapatkan bahwa petugas yang bekerja dikamar bedah operasi jantung paling banyak mempunyai umur > 35 tahun, yaitu sebanyak 13 orang ( 76% ), sedangkan pada petugas post operasi ICU jantung paling banyak berumur antara 31-35 tahun, yaitu sebanyak 8 orang ( 60% ).

Pada penelitian yang dilakukan Hikmawati, febuari sampai tahun 2010, di Semarang, dimana membandingkan kolonisasi antara anak anak dan orangtua yang sehat, ternyata dari 150 sampel, didapat 79 sampel terkolonisasi bakteri, didapati S. pneumoniae paling banyak ditemukan pada anak- anak ( 45,3% ), dan enterobacteriaceae lebih banyak mengkolonisasi subjek orang tua. Sedangkan kolonisasi S. aureus lebih banyak ditemukan pada orang tua ( 8%), dari pada anak anak( 6,7%).29


(78)

Y. Ohara –Nemoto dkk, dijepang,1997, mendapatkan 18 dari 60 subjek, terdiri dari Staphylococci, dimana yang terbanyak adalah S. epidermidis sebanyak 13 ( 72,2%), diikuti oleh S. aureus sebanyak 8 (44%).

Pada penelitian distribusi jenis kelamin, didapatkan pada kamar bedah operasi jantung yang terbanyak adalah perempuan sebanyak 10 orang ( 59%), sedangkan pada post operasi ICU jantung didapatkan jenis kelamin yang terbanyak adalah perempuan, sebanyak 11 orang ( 79% ).

30

Dari penelitian ini, didapati pola kuman pada cavum nasi 31 orang keseluruhan petugas kamar bedah jantung dan post operasi ICU jantung, yaitu yang terbanyak adalah Staphylococcus epidermidis sebanyak 13 (40% ).

Sedangkan pada penelitian Tammelin dkk , pada tahun 2001-2003, di Rumah sakit Universitas Uppsala, swedia, menemukan S. aureus sebanyak 26 dari 133 orang ( 19,5%) petugas kesehatan dibagian bedah cardiovascular dan thorax. Di penelitian mereka ini mereka juga meneliti bangsal dari bagian bedah cardiovascular dan thorax. Selain pada hidung, mereka juga meneliti pada sampel swab jari para petugas.

Pada penelitian yang dilakukan Kalsoom Farzana dkk, dari april 2006 – maret 2007, pada petugas diberbagai bangsal , petugas administrasi , serta pegawai rumah sakit di Children Hospital Complex, Multan mendapatkan dari 129 sampel. Mereka mendapatkan


(79)

Staphylococci sebanyak 121( 93,8%), dan terdiri dari Staphylococcus aureus 62(48%), Methicillin resistant Staphylococcus aureus 18 (13,95%) dan Coagulase negative Staphylococci sebanyak 59 ( 45,7% )11

Dari kamar bedah operasi jantung didapatkan S. epidermidis sebanyak 8 ( 44% ), diikuti S. saprophyticus dan S. aureus masing masing 4 ( 22,2% ), sedangkan pada post operasi ICU jantung ditemukan S. epidermidis sebanyak 5 ( 33,3% ), diikuti S. saprophyticus sebanyak 3 (20%), dan S. xilosus sebanyak 2( 13,3%).

Pada Tammelin dkk, menemukan S. aureus pada bedah kamar jantung 7 dari 37 orang (15,6%), sedangkan pada post operasi ICU jantung sebanyak 11 dari 50 orang ( 19,3% ), dan dari bangsal 5 dari 28 orang ( 25,8%) .

Pada penelitian ini profil antimikroba amoxicillin dan sulfametoxazole pada cavum nasi petugas kamar bedah operasi jantung dan petugas post operasi ICU jantung tampak tinggi, hal ini dapat disebabkan seringnya pemberian resep antimikroba tersebut oleh para klinisi, begitu juga dengan ampicillin, amikasin, doxicycline, eritromycin dan penicillin, dimana telah diketahui bahwa penyalahgunaan antibiotik dapat membuat munculnya resistensi bakteri.

10

Dari data AMRIN ( Antimicrobial Resistance in Indonesia : prevalensi dan Prevention ) yang dilakukan di Semarang dan Surabaya, didapatkan pemakaian obat yang tertinggi adalah Ampicillin dan


(80)

Amokxicillin (71%), pada urutan kedua adalah Tetracycline (9%), Cotrimoxazole (8%). Sebagian besar antibiotik diresepkan oleh dokter, yaitu praktek pribadi 37%, puskesmas 29%, dan rumah sakit 13 %, enam persen antibiotik diberikan oleh perawat dan bidan tanpa menggunakan resep. Juga ditemukan sekitar 20% antibiotik digunakan sebagai pengobatan diri sendiri. Sehaingga ditemukan antibiotika yang paling resisten adalah Ampicillin dan Cotrimoxazole.

Masih diperdebatkan, jika terdapat penurunan penggunaan antimikroba, apakah nantinya juga dapat terjadi penurunan resistensi terhadap antimikroba tersebut. Meskipun terjadi penurunan penggunaan ampicillin dan penicillin, ternyata masih terjadi resistensi terhadap antibiotika ini. Diduga hal ini terjadi oleh karena adanya residu dari penggunaan antibiotika yang digunakan pada pertanian dan peternakan.

31

Terlihat dari grafik II, Amikasin resisten pada kamar bedah operasi jantung. Resitensi amikasin terjadi oleh karena terjadinya penurunan dalam pengambilan serta akumulasi obat. Hal ini disebabkan adanya membran yang impermiable, tetapi mekanismenya belum diketahui. Juga diketahui terjadi enzim aminoglikoside yang dimodifikasi, dimana enzim ini memkatalisa fungsi amino yang spesifik, yang memodifikasi obat sehingga terjadi ikatan yang lemah antara obat dan ribosome, sehingga gagal terjadi penyerapan obat.

32


(1)

38,9% - 53,3%, untuk golongan Cephalosporin ( Cefuroxime, Ceftriaxon dan Cefepime ), pada saat ini masih dipertimbangkan pemakaiannya oleh karena resistensi nya yang masih rendah. Cefuroxime hanya 38,9% - 40%, Ceftriaxon 6,7% - 33,3%, Cefepime 22,2% - 26,7%.

4. Untuk golongan Amikasin dan Doxyxyclin ( injeksi ), terlihat keduanya mengalami resistensi yaitu Amikasin sekitar 26,7% - 66,7%. Sedangkan Doxycyclin sekitar 61,1% - 86,7%. Dari profil resistensi antimikroba petugas kamar operasi jantung dan petugas post operasi ICU jantung terlihat adanya perbedaan yang signifikan yaitu amikasin ( P = 0,022).

SARAN

1. Seorang pasien setelah operasi bedah jantung, dan mengalami infeksi di rumah sakit, perlu ditelaah, apakah infeksi tersebut berasal dari petugas kamar bedah jantung atau post operasi ICU jantung, maka profil resistensi antimikroba yang saya peroleh dari penelitian ini dapat membantu dokter yang merawat dalam memilih obat untuk terapi empirik.

2. Perlu dilakukan penelitian terhadap para petugas kesehatan yang bertanggung jawab dalam perawatan pasien yang bertugas diruangan lainnya.


(2)

DAFTAR KEPUSTAKAAN

1. Ducel G, Fabry J : Prevention of Hospital – Aquired Infections a Practical guide, World Health Organisation, 2002, 1-8.

2. Parker M. T: hospital – acquired ; Guideline to Laboratory Methods, World Health Organization, 1978, 5 – 40

3. Terrie C Yvette : Nosocomial Infections ; Impact on Patient care, 2006

4. Albrich Werner, Haubarth Stephan ; Health care worker : source, vektor or victim of MRSA, Lancet Infection disease 2008.

5. Brooks F Geo, Butet S Janet ; Jawetz, Melnick and Adelberg ; Mikrobiologi Kedokteran , EGC, 2007, 198 – 2003

6. Winn W Jr, ed al : Koneman’s Color Atlas and Textbook of Diagnostic Microbiology, sixth edition, Lippincott Wiliams and Wilkins, 2006, 431- 1014

7. Strohl William, Rouse Harriet, Fisher D Bruce ; Microbiology, Lippincott Williams and Wilkins, 2001, 7 -10

8. Saene H.K.F. Van, Silvestri M. A. De La Cal : Infection Control in Intensive Care Unit, second edition, Springer 2005, 49 – 58

9. Nasution Minasari : Pengantar Mikrobiologi, USU press 2010, 58 – 71


(3)

10. Tammelin Ann, ed al : Nasal and Hand Carriege of Staphylococcus aureus in Staff at Departement for Thoracic and Cardiovascular Surgery : Endogenouse or Exogenous Source ?, University Hospital of Uppsala , sweden, 2003.

11. Farzana Kalsoom, ed al : Nasal Carriege of Staphyllococci in Health Care Workers : Antimicrobial Susceptibility Profil. Departement of Pathology, Children Hospital complex, Multan, Pakistan, 2008

12. Ginting yosia , Bachtiar Panjaitan : Pencegahan Infeksi Nosokomial, makalah Seminar Ilmiah Tahunan II Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FK USU, Medan, 2001

13. Eggimann Philippe, Didier Pittet : Infection Control in The ICU, American College of Chest Physicians, 2001

14. Bolyard Elisabeth A , ed al : Guideline for Infection Control in Health Care Personal, 1998

15. Goldman Emanuel, Green Lorrence H ; Practical Handbook of Microbiology, second edition, CRC Press, 2009, 275 – 519

16. Levinson Warren : Review of Medical Microbiology and Immunology, tenth edition, Mc Graw Hill, 2006, 106 – 118


(4)

18. Busato Roberto Cesar, ed al : Evolution of Staphylococcus aureus found on Health care worker Correlated with Local Consumtion of Antibiotics. Federal university of Parana,Curitiba, Brazil,2006

19. Jakob Heinz G, ed al : The endogenous pathway is a major route for deep sternal wound infection, Departement of Cardiac Surgery, University of Heidelberg, Germany, 2000

20. Khalili Mohammad B, ed al : Nasal Colonisasi rate of Staphylococcus aureus Strains among health care Service Employee’s of Teaching University Hospitals in Yazd, Departement of Medical Sciences, University of Medical Science, Yazd, Iran

21. Budiarto Eko : Biostatistika, EGC, 2001, 218 – 225

22. Prosedur Tetap Mikrobiologi, Instalasi Patologi Klinik, RSUP H. Adam Malik Medan.

23. Hardjeno H, dkk : Kumpulan Penyakit Infeksi dan Tes Kultur Sensitivitas Kuman serta Upaya Pengendaliannya, 2007, 5 – 13

24. Atlas Ronald M, Synder James W : Handbook of Media for Clinical Microbiology, 2002, 130 – 132


(5)

26. NCCLS : Standart Operating Procedure ( SOP) in microbiology Zone Diameter Interpretive Standart and Equivalent Minimum Inhibitor Concentration.

27. Arghyros Michael, ed al : Guidelines for Assuring Quality of Medical Microbiological Culture Media, 1996

28. Departemen Kesehatan Republik Indonesia : Pedoman Praktek Laboratorium Yang Benar,2003, 90 – 93

29. Hikmawati: Perbedaan pola kolonisasi bakteri potensial patogen Respiratori pada Nasofaring anak anak dan orangtua sehat, Universitas Diponegoro, 2010.

30. Nemoto Y. Ohara, Haraga H, Kimura S, Nemoto T.K : Occurrence of Staphyllococci in the oral cavities of healthy adults and nasal – oral tarfficking of the bacteria, Medical University School of Dentistry,1997.

31. Directorat General of Medical Care Ministry of Health, Republic Indonesia : Antimicrobial Resistance, Antibiotic Usage And Infection Control, 2005.

32. Busato Cesar Roberto, Gabardo Juarez, Leao Maria Terezinha Carneiro : The evolution of Resistance of Staphylococcus aureus Found on Healthcare Workers Correlated with Local Consumption of


(6)

33. Leclercq Marie-Paule Mingeot, Glupczynski Youri, Tulkens Paul M : Aminoglycosides : activity and resistance, Belgia, 1999.

34. Tanaka m, wang T : Mechanisme of Quinolon Resistance In Staphylococcus aureus , Tokyo, 2000.

35. Courvalin patrice : Vancomycin Resistance in Gram positive Cocci, paris, 2005.

36. Tenover Fred c : Mechanisms of Antimicrobial Resistance in Bacteria, USA, 2006


Dokumen yang terkait

Determinan Kualitas Pelayanan Perawatan di Ruang Intensive Care Unit (ICU) RSU. Sari Mutiara Medan

0 46 159

Kepatuhan Perawat dalam Penerapan Protap Perawatan Luka Post Operasi Sectio Caesarea (SC) di RSUD Langsa

24 329 87

ICU Delirium Pada Pasien Yang Dirawat di Intensive Care Unit (ICU) Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

5 50 80

Profil Kuman dan Resistensi Antimikroba Pada Flora Cavum Nasi Petugas Laboratorium RSUP Haji Adam Malik Yang Bekerja Ke Bangsal Dan Yang Tidak Ke Bangsal

0 3 18

Profil Kuman dan Resistensi Antimikroba Pada Flora Cavum Nasi Petugas Laboratorium RSUP Haji Adam Malik Yang Bekerja Ke Bangsal Dan Yang Tidak Ke Bangsal

0 0 2

Profil Kuman dan Resistensi Antimikroba Pada Flora Cavum Nasi Petugas Laboratorium RSUP Haji Adam Malik Yang Bekerja Ke Bangsal Dan Yang Tidak Ke Bangsal

0 0 7

Profil Kuman dan Resistensi Antimikroba Pada Flora Cavum Nasi Petugas Laboratorium RSUP Haji Adam Malik Yang Bekerja Ke Bangsal Dan Yang Tidak Ke Bangsal

0 0 17

Profil Kuman dan Resistensi Antimikroba Pada Flora Cavum Nasi Petugas Laboratorium RSUP Haji Adam Malik Yang Bekerja Ke Bangsal Dan Yang Tidak Ke Bangsal

0 0 6

1. Pengadaan alat tulis - Profil Kuman dan Resistensi Antimikroba Pada Flora Cavum Nasi Petugas Laboratorium RSUP Haji Adam Malik Yang Bekerja Ke Bangsal Dan Yang Tidak Ke Bangsal

0 0 35

PENGARUH ORIENTASI RUANG INTENSIVE CARE UNIT (ICU) TERHADAP KECEMASAN PASIEN PRA OPERASI BEDAH JANTUNG DI RSUP DR. KARIADI SEMARANG - Repository Universitas Muhammadiyah Semarang

1 1 16