2.3 Mikroorganisme yang sering Ditemukan dalam Hidung.
Mikroorganisme Rentangan Insidens
S. aureus 20-85
S. epidermis 90
Corynebacterium aerobic 50 - 80
Strept. Pneumonia 0 - 17
Strept. Pyogenes 0,1 - 10
Haemofilus influenza 12
Neisseria meningitidis 0 - 10
Staphylococcus epidermidis
S. epidermidis merupakan flora normal yang tersering didapat dikulit dan hidung. Apabila terdapat hasil S. epidermidis dari kultur darah,
biasanya merupakan kontaminasi dari kulit. Walaupun virulensinya rendah, S.epidermidis sering merupakan penyebab dari pemasangan
katub jantung dan kateter, infeksi saluran kemih, infeksi luka bedah, infeksi dari pemasangan alat – alat prostetik, infeksi shunt cerebrospinal
fluid, infeksi yang berhubungan dengan dialisis peritoneal dan infeksi opthalmik. Resistensi obat – obatan terhadap S. epidermidis lebih sering
terjadi dibandingkan dengan S. aureus. Vancomycin masih sensitif
15
Universitas Sumatera Utara
terhadap S. epidermidis, tetapi adanya resistensi terhadap isolate pernah dilaporkan.
Staphylococcus aureus
S. aureus merupakan carrier pada individual yang sehat sekitar 22, carrieg terjadi pada hampir semua bagian kulit, ditemukan juga pada
permukaan mukosa pada anterior nares , juga terdapat pada mukosa vagina. Perpindahan dapat terjadi melalui kontak langsung, misalnya pada
pegangan pintu, dimana pada putarannya menjadi sumber infeksi, atau dalam makanan, sehingga dapat menyebabkan keracunan makanan.
Dalam keadaan- keadaan tertentu, S. aureus dapat menyebabkan berbagai proses, mulai dari infeksi kulit yang ringan sampai penyakit
sistemik yang dapat mengancam nyawa. Mulai dari folliculitis, impetigo, furuncel dan carbuncel sampai ke Community – acquired Staphylococcus
bronchopneumonia yang di hubungkan oleh virus sebagai faktor predisposisi. Toxin yang diproduksi oleh Staphylococcus aureus
merupakan penyebab pada Staphylococcal scalded skin syndrome dan toxic shock syndrome. Penicilline merupakan obat yang terpilih drug of
choice untuk pengobatan infeksi S. aureus. Kedaruratan resistensi terhadap penicillin disebabkan adanya “kemahiran” dari elemen – elemen
genetik plasmidborne yang mengkode produksi β
– lactamase. Sekarang ini, lebih dari 80 isolat S. aureus resisten terhadap penisilin oleh karena
adanya enzim β
– lactamase hydrolitic atau penicillinase. MRSA mewakili tantangan yang sebenarnya dari semua institusi kesehatan, dan pedoman
Universitas Sumatera Utara
pedoman sudah di buat untuk mengatur dan mengkontrol perluasan MRSA pada insttitusi kesehatan. Beberapa rumah sakit telah mempunyai
institusi untuk melakukan kultur nasal secara rutin terhadap petugas – petugas kesehatan untuk mendeteksi adanya carrier MRSA serta
memberikan terapi dengan tujuan untuk menurunkan jumlah terpaparnya pasien, yang mana akan menurunkan percepatan infeksi nosokomial
dirumah sakit.
Corynebacterium diphtheriae
C. diphthteriae merupakan penyebab klasik dari penyakit diphtheriae. Infeksi ini masih terlihat di negara berkembang. Infeksi ini
dapat dicegah denga immunisasi yang meluas pada populasi yang bersiko terhadap toxoid diphtheriae. Virulensi organisme ini sepenuhnya
oleh karena produksi toxin dari diphtheriae. Meskipun nasal swab bukan merupakan spesimen ideal untuk sekret hidung, tetapi kadang – kadang
hal ini dapat diterima. Bagaimanapun nasal swab tidaklah merupakan hal yang rutin sebagai bahan kultur untuk mendapatkan Corynebacterium
diphtheriae. Terapi dari diphtheriae ini melibatkan antitoxin dari kuda untuk menetralkan toxin agar tidak berikatan dengan sel target. Dilakukan terapi
support seperti tracheostomy atau intubasi pembersihan jalan nafas, dan memonitor fungsi jantung. Penisilline atau Erythromycin dapat juga
diberikan untuk mempercepat eradikasi organisme ini dari saluran pernafasan pasien. Gabungan Rifampisin dan Erythromycin telah
digunakan untuk eradikasi carriege dari C. diphtheriae pada individu yang
Universitas Sumatera Utara
sudah terpapar. Pada hasil tes resistensi antimikroba menunjukkan strain C. diphtheriae secara umum sensitif terhadap Penicilline, Ampicilline,
Cefuroxime, Erythromycin, Tetracycline, Ciprofloxacin, Gentamycine, Trimethoprim dan Rifampisin.
Haemophilus influenzae
Haemophilus influenzae merupakan bagian flora normal pada oropharynx dan nasopharynx pada orang dewasa. Diantara semua
hemophili, H. Influenza serotype b dikatakan yang dikatakan paling pahogenik. Pada era sebelum vaksin terhadap H. Influenza ada,
organisme ini paling sering menyebabkan meningitis bakcterial pada anak antara 1 bulan sampai 2 tahun. Lebih dari 90 isolate yang diambil dari
semua kasus mempunyai kapsul serotype b. Adanya kolonisasi di nosopharinx pada pasien yang rentan dapat membuat H. Influenza
masuk ke aliran darah, dan kemudian menuju meningens. Penyakit lainnya yang sering dihubungkan dengan H. Influenza adalah epiglottitis,
otitis media, sinusitis, pneumonia, bakteremia, endocarditis, infeksi pada perinatal, maternal, serta pada urogenital. Spesimen diambil dari CSF,
sputum, dan berbagai cairan tubuh lainnya. Tidak ada fakta yang jelas tentang isolat H. Influenza yang diambil dari swab hidung yang dapat
mengarah kepada suatu infeksi. Pada tahun 1974, beberapa strain dari H. influenza menjadi resiten terhadap Ampicilin oleh karena menghasilkan
enzim β lactamase yang dimediasi oleh plasmid. Pada semua penelitian, lebih dari 99 strain sensitif terhadaf Amoxicillin - clavulanat. H.
Universitas Sumatera Utara
Influenza resistant–chloramphenikol menghasilkan enzim chloramphenicol acetyltransferase. Sekarang ini
Cephalosporin generasi ketiga direkomendasikan sebagai terapi terhadap infeksi berat dari H. Influenza,
oleh karena lebih unggul aktivitasnya pada mikroorganisme ini baik secara in vitro maupun in vivo.
Streptococcus pneumoniae
S. pneumoniae merupakan penyebab utama dari pneumonia bakterial acquired community. Organisme ini dapat hidup di saluran nafas
atas sampai 17 pada orang dewasa. Hampir semua infeksi serius dari S. pneumoniae terjadi pada anak – anak dibawah umur 3 tahun, dan pada
orang dewasa lebih dari 65 tahun. S. pneumoniae dapat menyebabkan bacteremia dan sepsis pada anak – anak dan dewasa, pada anak, sekitar
25 bacteremia dihubungkan dengan otitis media Pneumococcal. S. pneumoniae juga merupakan penyebab paling sering dari meningitis
bactererial pada orang dewasa. S. pneumoniae jarang menjadi penyebab dari endocarditis, pericarditis, osteomyelitis, peritonitis, , infeksi jaringan
lunak, dan infeksi neonatal. Disini pengambilan sample dari swab pada hidung juga tidak jelas faktanya sebagai prediktor terjadinya infeksi yang
disebabkan oleh S. pneumoniae. S. pneumonia merupakan kedaruratan terhadap resistensi antimokroba, terutama penicilline. Banyak penelitian
yang diadakan CDC, menyatakan terjadinya penurunan sensitivitas terhadap penicilline sekitar 15 - 35 , tergantung dari wilayah geografi.
Isolat S. pneumoniae juga menunjukkan penurunan sensitivitas terhadap
Universitas Sumatera Utara
Cephalosporin dari semua generasi ketiga, dan terapi gagal terhadap infeksi organisme ini pernah dilaporkan. Disamping Penicillin dan
Cephalosporin, Pneumococcal juga mengarah resistensi terhadap Macrolide, Sulfonamide dan Tetracycline.
2.4 Mekanisme Resistensi Terhadap Antimikroba