Analisis Perilaku Budaya Kelompok Masyarakat Jepang Pada Komik 20TH Century Boys Karya Naoki Urasawa

(1)

ANALISIS PRILAKU DALAM KELOMPOK MASYARAKAT

JEPANG PADA KOMIK 20

TH

CENTURY BOYS KARYA

NAOKI URASAWA

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana

Bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh:

RIDHONA MORATIH NIM : 040708016

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG

MEDAN


(2)

ANALISIS PRILAKU DALAM KELOMPOK MASYARAKAT

JEPANG PADA KOMIK 20

TH

CENTURY BOYS KARYA

NAOKI URASAWA

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana

Bidang Ilmu Sastra Jepang Oleh :

RIDHONA MORATIH NIM : 040708016

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

Adriana Hasibuan,SS.M.Hum

NIP. 19620727 198703 2 005 NIP. 19600919 1988 03 1 001

Drs.Eman Kusdiyana,M.Hum

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG

MEDAN


(3)

Disetujui oleh:

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

Departemen Sastra Jepang Ketua Program Studi

NIP. 19580704 1984 12 1 001 Prof.Hamzon Situmorang.M.S.Ph.D


(4)

PENGESAHAN Diterima oleh,

Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu Ujian Sarjana dalam bidang Ilmu Sastra Jepang pada Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

Pada : Pukul Tanggal :

Hari :

Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara Dekan

NIP.132098531

Drs. Syaifuddin, M.A, Ph.D

Panitia Ujian

No. Nama Tanda Tangan 1. Prof. Hamzon Situmorang, M.S, Ph.D ( ) 2. Drs.Eman Kusdiyana, M.Hum ( )


(5)

(6)

KATA PENGANTAR

BISMILLAHIRROHMANIRRAHIM....

Puji dan Syukur penulis panjatkan kekhadirat ALLAH SWT, Karena dengan rahmat dan ridhoNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

Analisis Perilaku Budaya Kelompok Masyarakat Jepang Pada Komik 20TH

Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih, penghargaan, serta penghormatan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan studi dan skripsi ini, antara lain kepada:

Century Boys Karya Naoki Urasawa, ini diajukan untuk memenuhi persyaratan

dalam mencapai gelar kesarjanaan pada Fakultas Sastra Program Studi Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.

1. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Hamzon Situmorang, M.S, Ph.D, selaku Ketua Program Studi S-1 Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Adriana Hasibuan,SS.M.Hum, selaku dosen pembimbing I yang telah menyediakan waktu di sela-sela kesibukannya untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

4. Bapak Drs.Eman Kusdiyana,M.Hum, selaku dosen pembimbing II yang telah mengarahkan dan membimbing penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.


(7)

5. Dosen Penguji Ujian Skripsi, yang telah menyediakan waktu untuk membaca dan menguji skipsi ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada semua Dosen Pengajar Program Studi S-1 Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan banyak ilmu kepada penulis, sehingga penulis dapat meyelesaikan perkuliahan dengan baik. 6. Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan untuk kedua orang

tua tersayang dan tercinta Ayahanda Alm.Drs.H.Ridwan P Sihombing dan Ibunda Endang Trisni Rahayu yang telah banyak mencurahkan kasih sayangnya, do’a dan perhatiannya kepada penulis.

7. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Saudara - Saudaraku ( Kak

Detik, Ira & Melin ) yang telah banyak memberikan dukungan dan doanya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

8. Teman-teman yang telah membantu dan memberi support kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Teman-teman Sastra Jepang stambuk 2004 Fitri, Lusi, Miskah, Rahma, Tobrini, Salim, Citra, Ai terima kasih atas kebersamaannya dan semoga kita semua dapat meraih apa yang dicita-citakan di masa depan.

9. Dan juga buat keluarga besar Hels, Tauko Medan & MSA terima kasih atas dukungannya. Terutama kepada Bang Fathra, Bang Anggi, Yosi, Rainy, Ina, Anggi. Dan pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan disini satu-persatu.

Penulis menyadari bahwa tidak ada yang sempurna dalam hidup ini, termasuk juga dalam penulisan skripsi ini. Namun penulis tetap mencari


(8)

kesempurnaan tersebut dalam suatu nilai pekerjaan yang dilakukan secara maksimal. Maka dengan berangkat dari prinsip itu jugalah, penulis berusaha merampungkan skripsi penulis tersebut.

Medan, Januari 2010

Penulis


(9)

ABSTRAK

Seperti yang kita tahu, negara kita dengan masyarakat yang heterogen memilki beraneka ragam kebudayaan. Begitu pula negara Jepang yang kita kenal sebagai negara yang maju dalam berbagai bidang, termasuk budaya mereka. Masyarakat Jepang terkenal sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi nilai budayanya. Sebagai contoh budaya ikebana, hinamatsuri, tanabata, chanouyou dan lain sebagainya yang nenonjolkan karakteristik masyarakat Jepang itu sendiri. Salah satu budaya Jepang yang menonjol di masyarakatnya adalah budaya kelompok atau kebersamaan (shudan shugi). Shudan shugi adalah suatu kecenderungan dimana orang Jepang lebih memilih mengutamakan kepentingan kelompok ketimbang kepentingan individu. Pola ini telah menjadi pola dasar hubungan antar masyarakat Jepang. Hal ini memang tidak hanya dapat kita temui di Jepang saja, tetapi di Indonesia sendiri juga kita telah banyak di ajarkan sejak kecil agar tidak bertindak lebih mementingkan kepentingan individu saja. Tetapi yang membedakannya dengan di Indonesia adalah bahwa masyarakat Jepang menjadikannya sebuah tradisi dan budaya yang melekat dalam karakteristik diri mereka, sehingga mereka perlu melestarikannya.

Jepang merupakan negara yang tentu saja memiki berbagai macam komunitas dalam masyarakatnya. Sebagaimana yang terlihat dalam kehidupan mereka sehari-hari, dalam linkungan keluarga, sekolah, maupun dalam lingkungan tempat mereka bekerja. Sebagai contoh, dalam perusahaan jepang ada budaya


(10)

(senior-junior), dan dalam lingkungan masyarakat jepang misalnya adanya kelompok ekstrem yang di namakan otaku atau ada juga yang dinamakan visual

kei dalam budaya remaja Jepang.

Hal ini kemudian banyak dijadikan sastrawan sebagai lahan cerita dalam karya sastranya. Karya sastra yang menonjol di Jepang sebagaimana kita tahu adalah komik jepang (manga).

Otaku adalah istilah untuk menyebut orang yang tergila-gila terhadap budaya visual modern Jepang yaitu misalnya komik Jepang (manga), anime, game, dan lain-lain.

Para otaku tersebut membentuk kelompok-kelompok tersendiri berdasarkan kesukaan atau hobi yang sama. Mereka berkumpu baik secara langsung maupun tidak langsung (mealui media internet) dan membentuk suatu komunitas yang memiliki tujuan dan keinginan yang sama.

Diantara banyaknya kelompok otaku tersebut, komunitas otaku manga dan anime di Jepang saat ini cukup besar kalau melihat dari tingkat pasar penggemar manga dan anime. Dapat dikatakan komunitas otaku di Jepang dapat terlihat dari banyaknya kelompok otaku manga dan anime yang bermunculan dalam masyarakat Jepang saat ini.

Visual kei atau dalam pelafalan Jepang, bijuaru kei, terdiri dari dua bahasa yang berbeda, yaitu visual dari bahasa Inggris yang kira-kira berarti “yang terlihat” dan kei dari bahasa Jepang yang berarti bentuk. Jadi dari segi bahasa, visual kei berarti gaya atau penampilan fisik (luar). Secara luas, visual kei dapat


(11)

diartikan juga sebagai gaya yang terbentuk dari kepribadian atau tingkah laku tiap individu yang terekspresikan melalui penampilan luar.

Pada saat ini, terjadi perombakan besar-besaran pada fashion dan gaya berpakaian anak muda Jepang, dimana tidak hanya wanita yang menggunakan make-up dan mengenakan rok untuk sekedar hang-out atau berkumpul, ataupun pergi ke konser, tetapi kaum pria juga melakukan hal yang sama. Hal ini tidak dipandang sebagai sebuah kelainan melainkan sebagai fashion belaka.


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Sastra merupakan hasil dari kebudayaan yang tergolong dalam ilmu pengetahuan dan seni. Jika menilik pengertian sastra, kita dapat melihat dari berbagai segi, diantaranya menurut Jean paul Sartr 2008) yang mengatakan bahwa sastra bukan semata-mata sebuah aktivitas yang berdiri atas ego. Bukan juga sekedar pemaparan deskriptif mengenai sejumlah karakter dan situasi peradaban manusia. Menurutnya sastra merupakan pertanggungjawaban yang menjawab mengenai persoalan kebebasan manusia. Kreativitas seni yang tertuang dalam sastra tak lain merupakan aktivitas

pembelaaan nilai moral manusia.

Sedangkan pengertian sastra dilihat dari segi etimologi, sastra (bahasa inggris: literature), menurut Oxford English Dictionary, berasal dari kata “litera” yang artinya tulisan yang bersifat pribadi. Istilah ini secara umum bermaksud mengidentifikasikan makna yang terkandung dalam sebuah teks(tulisan) termasuk prosa, fiksi, drama, dan puisi. Sebelumnya telah dikenal semacam sastra lisan, seperti epik, legenda, mitos, balada (bentuk lain puisi lisan) dan cerita rakyat (folktale). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan bahwa sastra berarti: (1) bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari); (2) karya tulis, yang jika dibandingkan dengan tulisan lain,


(13)

memiliki berbagai keunggulan seperti keaslian, keartistikan keindahan dalam isi dan ungkapannya (www.tonggowordpress.com/2008)

Melihat defenisi diatas, di negara kita pengertian sastra sebenarnya juga telah lama mengalami perluasan arti. Bentuk konkretnya, sastra ternyata bukan mencakup seputar tulisan yang bermakna seni saja namun juga mencakup banyak hal berkaitan dengan sosialita, termasuk di dalamnya adalah budaya. Seperti yang juga dikatakan Sartre, karena ia menyangkut kehidupan manusia, maka ia tak kan lepas dari ideologi yang menjadi kebiasaaan sebuah komunitas tertentu yang dinamakan kebudayaan.

Budaya menurut Koentjaraningrat (1976 :28) adalah daya dari budi yang berupa cipta dan rasa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa tersebut. Sedangkan dalam Situmorang (1995 : 3) kebudayaan adalah jaringan makna yang dianyam oleh manusia dimana manusia tersebut hidup dan mereka tergantung pada jaringan-jaringan makna tersebut.

Maka, dilihat dari defenisi diatas , dapat dikatakan bahwa hasil dari kebudayaan yang berupa cipta, karsa, dan rasa manusia yang memiliki jaringan makna dituangkan dalam suatu bentuk karya sastra.

Seperti yang kita tahu, negara kita dengan masyarakat yang heterogen memilki beraneka ragam kebudayaan. Begitu pula negara Jepang yang kita kenal sebagai negara yang maju dalam berbagai bidang, termasuk budaya mereka. Masyarakat Jepang terkenal sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi nilai budayanya. Sebagai contoh budaya ikebana, hinamatsuri, tanabata, chanouyou dan lain sebagainya yang nenonjolkan karakteristik masyarakat Jepang itu sendiri.


(14)

Salah satu budaya Jepang yang menonjol di masyarakatnya adalah budaya kelompok atau kebersamaan (shudan shugi). Shudan shugi adalah suatu kecenderungan dimana orang Jepang lebih memilih mengutamakan kepentingan kelompok ketimbang kepentingan indivi Pola ini telah menjadi pola dasar hubungan antar masyarakat Jepang. Hal ini memang tidak hanya dapat kita temui di Jepang saja, tetapi di Indonesia sendiri juga kita telah banyak di ajarkan sejak kecil agar tidak bertindak lebih mementingkan kepentingan individu saja. Tetapi yang membedakannya dengan di Indonesia adalah bahwa masyarakat Jepang menjadikannya sebuah tradisi dan budaya yang melekat dalam karakteristik diri mereka, sehingga mereka perlu melestarikannya. Menurut Ishizawa Takeshi orang Jepang itu mempunyai tujuan utama untuk membentuk hubungan baik di dalam komunitas. Kebesaran komunitas bergantung pada situasi dan zaman. Dalam suatu negara, desa, keluarga, perusahaan, pabrik, kantor, partai, kelompok agama, tim sepak bola, dan lain-lain atau dalam bentuk apapun, orang Jepang lebih mementingkan komunitas dibandingkan diri sendiri. Sesudah zaman Meiji, pemerintah Meiji sangat menekankan kesetiaan pada negara. Tindakan pribadi dinilai dapat mendorong atau merusak rukun komunitas. Tindakan ini membawa prilaku masyarakat jepang cenderung hidup dalam kelompok.

Dalam http://www.infoskripsi.com Drs. Leonard F. Polhaupessy, Psi. menguraikan perilaku adalah sebuah gerakan yang dapat diamati dari luar, seperti orang berjalan, naik sepeda, dan mengendarai motor atau mobil. Untuk aktifitas ini mereka harus berbuat sesuatu, misalnya kaki yang satu harus diletakkan pada


(15)

kaki yang lain. Jelas, ini sebuah bentuk perilaku. Cerita ini dari satu segi. Jika seseoang duduk diam dengan sebuah buku ditangannya, ia dikatakan sedang berperilaku. Ia sedang membaca. Sekalipun pengamatan dari luar sangat minimal, sebenarnya perilaku ada dibalik tirai tubuh, didalam tubuh manusia.

Dalam buku lain diuraikan bahwa perilaku adalah suatu kegiatan atau aktifitas organisme (makhluk hidup)yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis semua makhluk hidup mulai dari tumbuh – tumbuhan, binatang sampai dengan manusia itu berperilaku, karena mereka mempunyai aktifitas masing – masing. Sehingga yang dimaksud perilaku manusia, pada hakikatnya adalah tindakan atau aktifitas manusia darimanusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain: berjalan, berbicara, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca dan sebagainya. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku (manusia) adalah semua kegiatan atau aktifitas manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati pihak luar.

Jepang merupakan negara yang tentu saja memiki berbagai macam komunitas dalam masyarakatnya. Sebagaimana yang terlihat dalam kehidupan mereka sehari-hari, dalam linkungan keluarga, sekolah, maupun dalam lingkungan tempat mereka bekerja. Sebagai contoh, dalam perusahaan jepang ada budaya

nenkojouretsu (senioritas), dalam lingkungan sekolah ada budaya senpai-kohai


(16)

kelompok ekstrem yang di namakan otaku atau ada juga yang dinamakan visual

kei dalam budaya remaja Jepang.

Hal ini kemudian banyak dijadikan sastrawan sebagai lahan cerita dalam karya sastranya. Karya sastra yang menonjol di Jepang sebagaimana kita tahu adalah komik jepang (manga).

Komik Jepang atau dalam bahasa jepangnya dikenal dengan istilah manga sudah tidak asing lagi terdengar di Indonesia. Karena derasnya arus komik asing terutama Jepang membawa fenomena budaya membaca komik yang besar di Indonesia. Siapa yang tidak tahu tokoh seperti Doraemon, Crayon Shinchan,

Candy-candy, Sailormoon, dan masih banyak lagi. Sebut saja Doraemon, yang

pengarang aslinya Fujiko F. Fujio yang telah tiada, tetap saja sampai saat ini tokoh rekaannya masih sangat digandrungi dan masih diproduksi komik-komik lanjutannya. Apalagi teknologi internet sekarang sudah sangat luas, jadi komik tidak hanya dapat dibaca dalam bentuk hard copy, tetapi juga dalam bentuk digital. Bahkan, tidak sedikit komik-komik itu diangkat ke layar kaca dalam bentuk film.

Komik sudah sangat mempengaruhi gaya hidup masyarakat. Osamu Tezuka sebagai bapak animasi mengatakan “Apapun yang terjadi, bagi saya sebagai pembuat komik, saya tetap menganggap komik itu suatu benda yang benar-benar lucu dan menarik. Sebab komik itu adalah salah satu media yang dapat menyerap intelektual manusia, serta menumbuhkan rasa saling pengertian sesama orang” ujarnya.


(17)

Adapun pengertian komik menurut bentuk seni yang menggunakan gambar-gambar tidak bergerak yang disusun sedemikian rupa sehingga membentuk jalinan cerita. Biasanya, komik dicetak diatas kertas dan dilengkapi dengan teks. Komik dapat diterbitkan dalam berbagai bentuk, mulai dari strip dalam koran, dimuat dalam majalah, hingga berbentuk buku sendiri.

Kejadian yang terjadi dalam sebuah peristiwa dalam komik biasanya digambarkan oleh seorang tokoh. Tokoh dalam sebuah komik dilukiskan dalam karakter, pribadi dan perencanaan diri yang kuat dan meyakinkan, keberadaan tokoh tersebut terasa hidup dan meyakinkan.

Salah satu manga bejudul 20th century Boys atau Anak Lelaki Abad 20 yang merupakan manga fiksi ilmiah karya Naoki Urasawa yang terkenal dengan karya lainnya seperti Monster, Pluto. Manga ini diterbitkan sejak tahun 1999 oleh

Shogakukan yaitu penerbit manga terbesar di Jepang. Sedangkan pada tahun 2001, manga ini meraih penghargaan Manga Kondansha dalam kategori umum. Di

Indonesia, 20th

Secara garis besar, manga ini menceritakan tentang persahabatan anak-anak yang terjalin hingga dewasa dimana mereka telah sibuk dengan kehidupan

Century Boys diterbitkan oleh Level Comics yang termasuk ke dalam kelompok Gramedia pada tahun 2005. Ceritanya sendiri cukup kompleks dan berat khas Naoki Urasawa. Manga ini banyak diminati di Indonesia khususnya laki-laki dewasa kareana manga ini termasuk ke dalam genre komik dewasa sehingga menghadirkan permasalahan yang rumit dan tidak tertebak jalan ceritanya.


(18)

mereka masing-masing. Hingga suatu hari, salah satu sahabat mereka meninggal dalam keadaan misterius. Tokoh utama dalam cerita ini kemudian menyelidiki dan ternyata kejadian tersebut ada hubungannya dengan peristiwa saat mereka masih kecil. Saat mereka kecil, mereka merencanakan sebuah skenario penyelamatan bumi dimana ada kekuatan jahat yang menghancurkan dunia secara perlahan dan mereka datang sebagai pahlawan yang menyelamatkan bumi. Mereka tidak menyangka bawa skenario tersebut kemudian dijalankan di masa depan oleh organisasi yang menamakan dirinya “Sahabat”. Tokoh “sahabat” disini digambarkan secara misterius memakai topeng dan memiliki kekuatan supranatural yang dapat menggerakkan pengikutnya loyal dan rela mengorbankan nyawa demi dirinya. Identitas “Sahabat” hingga beberapa volume belum diketahui, tetapi dia adalah salah satu teman masa kecil mereka yang telah mereka lupakan. Mereka harus mengingat kejadian-kejadian masa kecil mereka untuk mengetahui identitas “Sahabat”. Sementara itu “Sahabat” terus melaksanakan skenario untuk menghancurkan dunia.

Dalam komik ini, diceritakan bahwa Kenji dan kawan-kawannya amat setia kawan satu sama lain hingga rela mempertaruhkan nyawa mereka. Mereka rela berkorban demi kepentingan kelompoknya serta umat manusia. Sikap ini dilandasi oleh pola hubungan shudan shugi (kebersamaan) dalam kelompok. Dalam komik ini juga digambarkan oleh berbagai tokoh bahwa dalam kehidupan mereka sehari-hari, baik dalam lingkungan perusahaan, sekolah, maupun masyarakat bahwa struktur kebersamaan yang merupakan pola dasar pemikiran


(19)

orang Jepang tentang sikap dan prilakunya yang didorong oleh kesadaran akan selalu berada di dalam lingkungan kelompoknya amatlah penting.

Peneliti melihat bahwa manga ini adalah manga yang unik, oleh karena itu

manga ini menarik untuk diteliti, keunikan yang menyebabkan manga ini menarik

adalah jalan ceritanya yang kompleks dan tidak mudah ditebak kelanjutannya karena mengandung teka-teki yang misterius dan karena permasalahan yang diangkat dalam manga ini adalah permasalahan yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang sehingga pembacanya dapat mengetahui karakteristik budaya masyarakat Jepang yang tersurat dalam manga ini hingga akhir cerita. Dengan melihat peristiwa yang terjadi dalam komik 20th Century Boys yang mencerminkan budaya Shudan Shugi (kebersamaan ) dalam kelompok

dengan melihat kondisi sosialnya maka adapun judul penelitian ini adalah

ANALSIS PRILAKU DALAM KELOMPOK MASYARAKAT JEPANG PADA KOMIK 20TH

1.2. Perumusan Masalah

CENTURY BOYS KARYA NAOKI URASAWA.

Sesuai judul proposal, yaitu “Analisis Prilaku Dalam Kelompok Masyarakat Jepang Pada Komik 20th

Jadi, untuk memudahkan arah sasaran yang ingin dikaji dalam komik 20

Century Boys Karya Naoki Urasawa”, maka proposal ini akan membahas mengenai bentuk shudan shugi dan perilaku shudan shugi yang tercermin dalam komik ini.

th

Century Boys maka masalah penelitian yang dirumuskan dalam pertanyaan adalah sebagai berikut:


(20)

1. Bagaimana prilaku-perilaku dalam kelompok (shudan shugi ) yang tercermin dalam komik 20th

2. Bagaimana bentuk shudan shugi yang terdapat dalam komik 20

Century Boys karya Naoki Urasawa?

th

1.3. Ruang Lingkup Pembahasan

Century Boys karya Naoki Urasawa?

Dari permasalahan-permasalahan yang ada, maka penulis menganggap perlunya adanya pembatasan ruang lingkup dalam pembahasan. Hal ini dimaksudkan agar masalah penelitian tidak menjadi terlalu luas dan berkembang jauh, sehingga penulisan dapat terarah dan terfokus.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis hanya akan membatasi ruang lingkup pembahasan yang difokuskan pada kondisi sosial kehidupan masyarakat Jepang dengan budaya kelompoknya (shudan shugi) yang tercermin dalam komik ini, terutama dilihat dari prilaku, ciri-ciri, sikap yang digambarkan dalam komik “20th

Century Boys”. Penulis juga akan mendeskripsikan hal-hal yang melatarbelakangi

munculnya shudan shugi, pengertian dan jenis-jenisnya, bagaimana pengaruhnya bagi masyarakat jepang berdasarkan komik tersebut. Untuk dapat melihat atau mengerti hal tersebut, penulis akan coba juga melihat pandangan tentang shudan


(21)

1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

1.4.1. Tinjauan Pustaka

Kebudayaan Jepang sangat beragam, dan budaya Jepang sudah tidak begitu asing dalam memahami bagaimana perilaku dan kebiasaan mereka yang menunjukkan pola karakter yang mengarahkan kepada fungsi-fungsi moral yang menjadikan masyarakat Jepang baik dalam golongan besar sampai pada yang terkecil tetap pada prinsip budaya. Budaya menurut Koentjaraningrat (1976 : 28) adalah daya dari budi yang berupa cipta dan rasa. Hasil dari cipta, rasa, dan karsa tersebut dinamakan kebudayaan. Unsur-unsur kebudayaan menurut C. Kluckhon dalam Koentjaraningrat (1976: 203-204) ada tujuh, yaitu: (1) bahasa, (2) sistem teknologi, (3) mata pencarian hidup atau ekonomi, (4) organisasi sosial, (5) sistem pengetahuan, (6) religi, (7) kesenian.

Salah satu bentuk dari unsur kebudayaan yaitu bahasa dapat ditemukan dalam komik. Sedangkan kebudayaan menurut Suryo Hadiprojo (1982 :192), adalah hasil dari budidaya dan hasil dari pemikiran manusia. Defenisi ini mirip sekali dengan yang dikemukakan koentjaraningrat sehingga kebudayaan hadir dalam masyarakat dan membaur membentuk persepsi dan pemikiran yang berbeda-beda dan terbentuklah gejala dan aspek-aspek sosial dalam masyarakat.

Ilmu yang mempelajari tentang sifat masyarakat, perilaku masyarakat, dan perkembangan masyarakat di sebut sosiologi Sosiologi merupakan ilmu cabang ilmu sosial yang mempelajari masyarakat, dan pengaruhnya terhadap kehidupan manusia. Masalah pokok dalam studi sosiologi


(22)

sastra menurut Nyoman Kutha (2003 : 25)adalah eksistensi aspek sosial dalam struktur instrinsik suatu karya.

Sosiologi sastra menurut Ratna (2003 : 2) yaitu pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek-aspek kemasyarakatan yang terkandung didalamnya. Sosiologi sastra mewakili keseimbangan antara dua komponen, yaitu sastra dan masyarakat. Oleh karenanya, analisis sosiologis memberikan perhatian yang besar terhadap fungsi-fungsi sastra sebagai produk masyarakat tertentu.

Dari defenisi di atas dapat dilihat bahwa sastra dan kebudayaan, baik secara definitif etimologis maupun secara praktis pragmatis berkaitan erat, keduanya berbagi wilayah yang sama,yaitu aktivitas manusia, namun dengan jalan yang berbeda. Sastra melalui kemampuan imajinasi dan kreativitas yang ditumpu kemampuan emosionalitas, sedangkan kebudayaan melalui kemampuan akal sebagai kemampuan intelektualitas. Kedua-duanya sama-sama menaruh perhatian besar pada aspek-aspek rohaniyah sebagai pencerahan akal budi.

Penelitian sosiologi sastra banyak memberikan perhatian pada sastra modern. Misalnya komik, yang berkaitan dengan masyarakat sebagai latar belakang prosa kratif, masalah yang menarik adalah kenyataan bahwa masyarakat berada dalam kondisi berubah dan dinamis. Analisis sosiologis melalui peranan-peranan sosial menempatkan individu sekaligus sebagai anggota masyarakat.

Seorang komikus dapat belajar pengetahuan sosial dan berlatih kepekaan sosial dari ilmu sosiologi, sehingga dapat membuat karya sastranya lebih


(23)

berbobot dan mesra dengan pergulatan dengan dunia ceritanya dan lebih terasa nyata bagi pembacanya.

Pembahasan sastra secara sosiologis menutut Hardjana (1994 : 73) dapat mengembangkan kecenderungan lain secara lebih jauh lagi, yakni kecenderungan tokoh khayalan dengan lingkungannya sebagai identik dengan tidak lain dan tidak bukan adalah mewakili tokoh-tokoh dalam suatu kelompok sosial tertentu dan lingkungan hidup kelompok tersebut.

Kelompok sosial menurut Sunarto (2000 : 129) merupakan suatu gejala yang amat penting dalam kehidupan manusia, karena sebagian besar kegiatan manusia berlangsung di dalamnya. Mungkin tanpa kita sadari bahwa sejak lahir hingga kini kita telah menjadi anggota bermacam-macam kelompok.

Menurut individu terhadap suatu stimulus atau suatu tindakan yang dapat diamati dan mempunyai frekuensi spesifik, durasi dan tujuan baik disadari maupun tidak.

Perilaku merupakan kumpulan berbagai faktor yang saling berinteraksi. Sering tidak disadari bahwa interaksi tersebut amat kompleks sehingga kadang-kadang kita tidak sempat memikirkan penyebab seseorang menerap-kan perilaku tertentu. Karena itu amat penting untuk dapat menelaah alasan dibalik perilaku individu, sebelum ia mampu mengubah perilaku tersebut.


(24)

1.4.2. Kerangka Teori

Kebudayaan menurut Edward B. Taylor (exalute.wordpress.com/2009), merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat oleh seseorang sebagai anggota masyarakat.

Sedangkan menurut Dr. K. Kupper

Masih dalam situs yang sama, menurut

(exalute.wordpress.com/2009), kebudayaan merupakan sistem gagasan yang menjadi pedoman dan pengarah bagi manusia dalam bersikap dan berperilaku, baik secara individu maupun kelompok.

William H. Haviland,

Sedangkan defenisi prilaku yang dimaksud dalam pengertian di atas menurut Skinner (1938) yang dikutip Notoatmojo, 1997 (http:/eprint.ums.ac.id) adalah hasil hubungan antara rangsangan (stimulus) dan tanggapan (respon).

Kebudayaan adalah seperangkat peraturan dan norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat, yang jika dilaksanakan oleh para anggotanya akan melahirkan perilaku yang dipandang layak dan dapat di tarima oleh semua masyarakat.

Ada dua jenis respon menurut Skinner yaitu respondent respons dan

operant respons. Respondens respons adalah respon yang ditimbulakan oleh

rangsangan tertentu. Perangsangan itu menimbulkan respon yang bersifat tetap. Misalnya makanan yang lezat beraroma akan merangsang keluarnya air liur.


(25)

Perangsangan itu akan mengikuti tau memperkuat suatu prilaku tertentu yang telah dilakukan organisme, dalam hal ini manusia.

Penelitian tentang gejala masyarakat yang menyangkut kebudayaan ini dilakukan melalui sebuah komik yang merupakan sebuah karya sastra. Imajinasi pengarang dalam karya sastra tersebut sebenarnya mengandung nilai-nilai budaya yang sangat tinggi. Sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial. Sastra yang ditulis pada suatu kurun waktu tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat pada zaman itu.

Sastra juga dipergunakan sebagai sumber untuk menganalisa sistem masyarakat. Sastra juga mencerminkan kenyataan dalam masyarakat dan merupakan sarana untuk memahaminya (luxemburg : 1986 23-24-29). Karya sastra mempunyai hubungan nonsastra kepada riwayat hidup pengarang, kondisi zaman ketika karya sastra itu ditulis, dan dengan kenyataan yang terungkap dalam karya sastra tersebut (luxemburg, 1986 : 46). Kaya sastra yang dikaji dengan melibatkan masyarakat, dilakukan dengan menggunakan teori sosiologi sastra.

Menurut Ratna (www. Kajiansastra.blogspot.com/2009) ada sejumlah defenisi mengenai sosiologi sastra yang perlu dipertimbangkan dalam rangka menemukan objektivitas hubungan antara karya sastra dengan masyarakat, antara lain:


(26)

1. Pemahaman terhadap karya sastra dengan pertimbangan aspek kemasyarakatannya.

2. Pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya.

3. Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatarbelakangi.

4. Sosiologi sastra adalah hubungan dua arah (dialektik) antara sastra dengan masyarakat, dan

5. Sosiologi sastra berusaha menemukan kualitas interdependensi antara sastra dengan masyarakat.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra tidak terlepas dari manusia dan masyarakat yang bertumpu pada karya sastra sebagai objek yang dibicarakan.

Dalam bukunya A Glossary of Literature Term, Abrams menulis bahwa dari sosiologi sastra ada tiga perhatian yang dapat dilakukan oleh kritikus atau peneliti, yaitu:

1. Penulis dengan lngkungan budaya tempat ia tinggal.

2. Karya, dengan kondisi sosial yang direfeleksikan di dalamnya. 3. Audien atau pembaca (www.kajiansastra.blogspot.com/2009)

Dalam hal ini peneliti memusatkan pada karya sastra dengan kondisi sosial direfleksikan di dalamnya. Pradopo (2002: 22) berpendapat bahwa sosiologi sastra


(27)

dikenal pada tulisan-tulisan para kritikus dan ahli sejarah sastra yang perhatian utamanya ditujukan pada cara-cara seorang pengarang dipengaruhi oleh status kelasnya, ideologi masyarakat, keadaan ekonomi yang berhubungan dengan pekerjaan dan jenis pembaca yang dituju. Para ahli sosiologi sastra memperkenalkan karya sastra sebagai karya yang ditentukan secara tidak terhindarkan oleh-keadaan-keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya yaitu dalam pokok permasalahan.

Sebagai salah satu bentuk karya sastra, komik merupakan genre yang dapat mencerminkan kebudayaan. Komik dapat diartikan sebagai cerita bergambar (cergam) yang terdiri dari teks atau narasi yang berfungsi sebagai penjelasan dialog dan alur cerita (google.com: 2009). Komik menurut wikipedia indonesia dijelaskan bahwa komik adalah suatu bentuk kesenian yang menggunakan gambar-gambar tidak bergerak yang disusun sedemikian rupa sehingga membentuk jalinan cerita. Sedangkan komik menurut Marcel Bonnet (google.com:2009) adalah salah satu produk akhir dari hasrat manusia untuk menceritakan pengalamannya, yang dituangkan dalam gambar dan tanda, mengarah kepada suatu pemikiran dan perenungan.

Joseph McGarth dalam Silviana Realyta,2007:6 mengemukakan bahwa suatu kelompok adalah kumpulan dua orang atau lebih yang dalam batasan tertentu saling berhubungan secara dinamis antara satu dengan yang lainnya. Definisi ini mencakup berbagai tipe kelompok seperti keluarga kecil, kelompok kerja yang besar, kelompok eksperimental yang hanya bertemu sekali, unit militer


(28)

yang tinggal bersama untuk beberapa bulan atau beberapa tahun. Kelompok-kelompok tersebut berbeda dalam hal jumlah interaksi sosial yang terjadi, intensitas tekanan (pressure) terhadap anggota, atau komitmen yang dilibatkan dalam fungsi kelompok (Silviana Realyta,2007:6).

Paulus dalam Silviana Realyta, 2007:11 mengemukakan bahwa suatu kelompok terdiri dari dua orang atau lebih yang berinteraksi, memiliki tujuan yang sama. Hubungan yang stabil, saling tergantung, dan merasa bahwa mereka merupakan bagian dari kelompok. Sedangkan menurut Taylor, Plepo, dan Sears dalamSilviana Realyta, 2007:12 , dalam suatu kelompok individu-individu saling tergantung dan mempunyai potensi untuk interaksi mutual. Ciri-ciri dasar dari suatu kelompok adalah bahwa anggota-anggota saling tergantung, artinya mereka saling mempengaruhi satu sama lain dalam berbagai cara.

Bales dalam Silviana Realyta, 2007:10 mendefinisikan kelompok sebagai sejumlah orang yang terlibat dalam interakasi satu sama lain pada satu atau serangkaian pertemuan, dimana tiap anggota menerima berbagai pesan atau persepsi dari anggota lainnya sehingga pada saat itu atau saat mendatang ia dapat memberikan reaksi pada salah seorang anggota tersebut sebagai inividu, walaupun hal tersebut hanya dapat di-recall bila anggota lainnya juga hadir. Bass dalam Silviana Realyta, 2007:12 mendefinisikan kelompok sebagai kelompok individu yang keberadaannya berarti bagi individu- individu tersebut.

Stodgil dalam Silviana Realyta, 2007:13 mendefenisikan kelompok sebagai suatu sistem interaksi terbuka dimana tindakan- tindakan akan


(29)

menentukan struktur sistem dan interaksi suksesif enghasilkan efek yang setara terhadap identitas sistem. DeLamater dalam Shaw 1981 mengemukakan definisi komprehensif dari kelompok dapat diformulasikan dalam kaitannya dengan berbagi hal: interaksi antar individu, persepsi dari anggota-anggota lain dan perkembangan persepsi bersama, perkembangan ikatan afeksi, dan perkembangan ketergantungan atau peran.

Marvin.E.Shaw dalam Silviana Realyta, 2007:13 mendefenisikan kelompok sebagai dua orang atau lebih yang berinteraksi satu sama lain dengan sedemikian rupa sehingga setiap orang mempengaruhi.

Dari definisi-definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa kelompok (group) adalah kumpulan dua orang atau lebih yang saling berinteraksi, saling mempengaruhi sikap dan perilaku satu sama lain, saling tergantung, memiliki hubungan yang relatif stabil, dan memilki perasaan sebagai bagian dari kelompok.

Untuk menyelami karakter masyarakat jepang mengenai budaya kelompok (shudan shugi) peneliti memakai pendekatan semiotik. Menurut Halliday umum dimana bahasa dan sastra adalah satu bidang di dalamnya. Meskipun demikian, justru dalam bahasa dan sastralah kajian semiotik dilakukan secara mendalam, sehingga dalam periode dan semestaan tertentu semotik seolah-olah menjadi dominasi ilmu sastra.


(30)

Semiotik didefenisikan Ferdinand de Saussure dalam bagian dari kehidupan sosial. Secara implisit, dalam defenisi itu adalah prinsip, bahwa semiotika menyandarkan dirinya pada aturan main (rule) atau kode sosial yang berlaku di dalam masyarakat, sehingga tanda dapat di pahami maknanya secara kolektif.

Penggunaan metode semiotik sebagai pendekatan pembacaan dalam penelitian karya sastra didasarkan pada pengertian tentang tanda, cara kerjanya, dan penggunaannya. Menurut peirce adalah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain dalam batas2 tertentu. Tanda2 memungkinkan kita berpikir , berhubungan dengan orang lain dan memberikan makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Manusia memiliki kemungkinan yang sangat luas dalam penerapan tanda-tanda dengan kategori linguistik.

Tanda dalam semiotika mempunyai dua aspek yaitu penanda dan petanda. Penanda adalah bentuk formal dari yang menandai sesuatu yang disebut dengan petanda. Sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh penanda itu yaitu artinya (Pradopo 2002: 68).


(31)

1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.5.1. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mendeskripsikan prilaku-prilaku dalam kelompok (shudan

shugi ) masyarakat Jepang dalam komik ini.

2. Untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk shudan shugi yang tercermin dalam komik ini.

1.5.2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dharapkan dari penelitian ini antara lain adalah:

1. Bagi peneliti dan masyarakat umum diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan mengenai makna yang terkandung dalam komik 20th

2. Bagi masyarakat luas pada umumnya dan para pelajar bahasa Jepang khususnya diharapkan penelitian ini dapat menambah wawasan mengenai kelompok (shudan shugi) masyarakat Jepang.

Century Boys, khususnya makna sosiologis.

1.6. Metode Penelitian

Sesuai dengan tema dan permasalahan yang akan dianalisis dalam komik 20th Century Boys maka penelitian ini menggunakan metode deskriptif

dalam cakupan penelitian kualitatatif dan pendekatan sosiologis. Menurut Koentjaraningrat (1976:30) bahwa, penelitian yang bersifat deskriptif yaitu yang memberikan gambaran yang secara cermat mengenai individu, keadaan,


(32)

gejala, atau kelompok tertentu. Metode deskriptif juga merupakan suatu metode yang menggambarkan keadaan atau objek penelitian yang dilakukan pada masa sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya dan dipakai untuk memecahkan masalah dengan cara mengumpulkan, menyusun, mengklasifikasikan, mengkaji, dan menginterpretasikan data.

Data yang digunakan untuk penelitian ini adalah komik yang berjudul

20th Century Boys karya Naoki Urasawa yang diterbitkan oleh Level Comics

pada tahun 2005 setelah diterjemahkan dalam versi bahasa Indonesia. Komik

20th

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan (library research) yaitu dengan menelusuri sumber-sumber kepustakaan dengan buku-buku dan referensi yang ada di perpustakaan umum Universitas Sumatera Utara, perpustakaan yang berada di Jurusan sastra Jepang, membaca literatur, dan melakukan penelusuran melalui media internet.

Century Boys ini pertama kali diterbitkan oleh Shogakukan, Tokyo pada

tahun 2000.

Langkah-langkah yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengumpulkan data dan referensi atau buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian.

2. Membaca komik 20th

3. Mencari, mengumpulkan, dan menganalisis aspek-aspek sosiologis yang terdapat dalam komik 20

Century Boys dari volume 1 sampai 22

th

4. Setelah dianalisis, penelitian tersebut disusun dalam sebuah laporan.


(33)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP MANGA DAN BUDAYA KELOMPOK (SHUDAN SHUGI) PADA MASYARAKAT JEPANG

2.1.Manga

2.1.1. Pengertian dan Sejarah Manga

Manga ( baca: man-ga, atau ma-ng-ga) merupakan kata komik dalam

bahasa jepang; diluar Jepang kata tersebut digunakan khusus untuk membicarakan tentang komik Jepang. Mangaka (baca: man-ga-ka, atau ma-ng-ga-ka) adalah profesi orang yang menggambar manga. Berbeda dengan komik Amerika, manga biasanya dibaca dari kanan ke kiri, sesuai dengan arah tulisan kanji Jepang (www.wikipedia.org/wiki/manga)

Majalah-majalah manga di jepang biasanya terdiri dari beberapa judul komik yang masing-masing mengisi sekitar 30-40 halaman majalah itu (satu chapter/bab). Majalah-majalah tesebut sendiri biasanya mempunyai tebal berkisar antara 200 hingga 850 halaman. Sebuah judul manga yang sukses dapat terbit hingga bertahun-tahun seperti Jojo no Kimyou na booken/ Jojo’s Bizzare Adventure/ misi rahasia. Umumnya judul-judul yang sukses dapat diangkat untuk dijadikan dalam bentuk animasi (atau sekarang lebih dikenal dengan istilah ANIME), ontohnya adalah seperti Naruto, Bleach, dan One piece (www.wikipedia.org/wiki/manga)

Beberapa manga cerita aslinya biasa diangkat berdasarkan dari novel/visual novel, contohnya adalah ‘Basiliks” (tidak beredar di Indonesia) berdasarkan dari novel Kooga Ninpoochou oleh Futaro Yamada, yang


(34)

menceritakan pertarungan antara klaim ninja Tsubagakure Iga dan klan ninja Manjidani Koga. Ada juga yang mengangkat dari cerita sejarah, seperti sejarah Tiga Kerajaan (The Three Kingdom) seperti Legenda Naga (Ryuuroden) dan sejarah-sejarah Jepang, kadang ada yang memakai nama yang benar-benar ada, ada juga yang memakai tokoh fiktif.

Setelah beberapa lama, cerita-cerita dari majalah itu akan dikumpulkan dan dicetak dalam bentuk buku berukuran biasa, yang disebut Tankoobon ( atau kadang dikenal dengan sebagai istilah volume). Komik dalam benntuk ini biasanya dicetak diatas kertas berkualitas tinggi dan berguna untuk orang-orang yang tidak atu malas membeli majalah-majalah manga yang terbit mingguan yang memiliki beragam campuran cerita/judul. Dari bentuk tankoobon inilah biasanya manga diterjemahkan kedalam bahaasa-bahasa lain di negara-negara lain seperti Indonesia.

Untuk beberapa judul (yang sukses) bahkan telah/akan dibuat versi manusia (Live Action, atau kadang disingkat sebagai L.A. di Jepang), beberapa judul yang telah diangkat menjadi Live Action contohnya adalah manga berjudul Death Note, Detektif Conan, GeGeGe no Kintaro, Cutie Honie, Casshern, DevilMan, Saigake!! Otokuju dan lain-lain.

Lebih lanjut sebagian judul juga akan dibuat remake kembali secara internasional oleh produsen di luar Negara Jepang, seperti Amerika, yang membuat film Live Action Dragon Ball versi Hollywood (20’th Century fox), dan kabarnya juga akan dibuat versi live action dari Death Note oleh pihak produser barat.


(35)

Komik jepang yang paling tua dan terkenal pertama kali di temukan di gudang Shooshooin di Nara yang memperlihatkan berbagai ekspresi wajah manusia dengan mata yang keluar dan melorot dalam bentuk Fusaakumen. Karya yang lain disebut Daidaron, menggambarkan mata orang yang terbelalak dan orang yang berjenggot. Selain itu pada langit-langit d Kondoo (gedung utama) kuil Buddha Hooryuuji pada abad ke-7 dan padda panggung bangunan Brahma dan Indra di kuil Thooshoodaiji pada abad ke-8, dimana dalam gambar komik ini terdapat unsure-unsur religious dan nilai-nilai tradisi. Sedangkan di gedung Phoenix kuil Byoodooin, tercatat arsitektur zaman Heian (794-1185), yang pada saat itu ditemukan karikatur pengadilan rendah.

Namun ada juga yang menyebut manga pertma kali muncul abad 12 (pada akhir zaman Heian) dimana mangan generasi awal yang bertajuk “Choju Jinbutsu Giga” karya biksu Toba Soojoo yang berisi berbagai gambar lucu hewan dan manusia. Manga yang dibuat banyak seniman ini memenuhi hampir semua persyaratan manga. Sederhana, memilki cerita didalamnya, dan memilki gambar artistik.

Pada pertengahan abad ke-12, terdapat gulungan surat bergambar yang terkenal yang disebut Shigisan Engi Emaki, yang menggambarkan gerakan yang dinamis. Dalam gambar tersebut terdapat sebuah adegan pendeta Buddha Myoren membuat sebuah panic ajaib terbang ke udara dan membawa gudang beras orang kaya ke puncak gunung. Sedangkan pada adegan lainnya, karung-karung beras terbang keluar dari gudang. Kemudian Bandainagon Ekotoba (akhir tahun 1100-an) memperlihatkan gerbang utama dari sebuah kuil terkenal yang sedang terbakar


(36)

dengan ekspresi wajah dari sekitar seratus orang yang dikejutkan oleh api atau orang-oarang yang melarikan diri, hal ini membuat adegan ini menjadi hidup dan membuat kita merasa ada diantara mereka. Kedua gambar ini termasuk kedalam kategori cerita bergambar (emaki-mono).

Kemudian pada zaman Kamakura (1185-1333) seiring dengan perkembangan agama Buddha, komik juga terlihat yaitu pada gulungan surat bergambar seperti Jigooku Zooshi dalambentuk adegan gambar neraka dan Gaki Zooshi dalam bentuk adegan penderitaan, kedua surat bergambar ini memperlihatkan adegan yang berhubungan dengan kematian.

Pada zaman Muromachi (1333-1568) ada contoh komik berbentuk cerita pendek yaitu Otogi Zooshi. Pada masa ini keberanian berimajinasi, daya piker dan selera humor yang tinggi sudah terlihat jelas.

Di zaman Edo (1603-1867), pertumbuhan kebudayaan popular memberikan semangat baru dalam komik yang merebut daya tarik lebih besar dalam bentuk buku cetakan blok kayu, seperti pada lukisan Ootsure-e yang dibuat dengan tekanan kuas yang kasar, lukisan Toba-e dengan sindirannya terhadap manusia, dan lukisan paham Kuwagata Keisai (1764-1824) yang dikenal juga sebagai Kitao Masayoshi, serta Yamaguchi Soken (1759-1818).

Sejarah komik Jepang seutuhnya berawal pada zaman Edo, ketika istilah manga (komik Jepang) pertama kali digunakan oleh pelukis Ukiyo-e (grafis pahatan kayu) yang terkenal yaitu Hokusai Katsushika. Ia memproduksi sebuah serial buku bergambar yang diterbitkan dalam 15 jilid antara tahun 1814 dan 1878. Manga ini berisi lebih dari 4000 ilustrasi. Cara Hokusai menggambarkan


(37)

gerakan badan manusia, dan pengamatan ilmiahnya tentang gerakan otot benar-benar terlihat alami dan nyata, sepertti dalam komik Suzume Odori-zu (Dancing Sparrow, Burung Pipit Sedang Menari, Jilid 3). Yari No Keiko-zu (Spear Throwing Practice, Latihan Melempar, Jilid 6), dan juga Bureiko-zu (Informal Party, Pesta Tidak Resmi, Jilid 8).

Pada zaman Showa (1926-1989) yang dikenal juga dengan abad manga anak-anak, dimana saat itu, manga mulai berkembang pesat. Pada tahun 1989 dalam selang waktu satu tehun telah diterbitkan sekitar 500 juta manga, 500 juta majalah manga bulanan, dan 700 juta majalah mingguan manga. Dari prestasi yang dicapai ini Jepang dapat dikatakan sebagai “Kerajaan Manga”, yang mulai bangkit dalm situasi setelah melewati masa perang lewat manga anak-anak.

Sebelum dan selama Perang Dunia ke-II, para seniman local menggunakan The Japan Punch sebagai media penerbitan yang juga merupakan majalah komik dengan cerita humor yang dikelola oleh orang-orang Inggris yang tinggal di Jepang, meskipun awalnya The Japan Punch muncul sebagai sindiran politik pada saat itu diawasi dengan ketat oleh pemerintah Jepang (Anggraini,, 2008: 33)

Berkembangnya tekhnologi produksi manga pada pada pasca Perang Dunia ke-II tidak lepas dari peran serta komikus berbakat Osamu Tezuka (1928-1989). Tezuka mengubah wajah dunia manga pasca Perang Dunia ke-II secara radikal. Ia menggunakan gaya narasi yang unik dengan komposisi cerita menyerupai novel yang disebut dengan Story Manga (komik naratif) dengan alur cerita yang naik turun saat menuju klimaks cerita serta menggunakan tekhnik-tekhnik seperti pada pembuatan film, dengan sudut pengambilan gambar yang


(38)

dinamis dengan penggalan- penggalan gambar yang tidak beraturan, yang sengaja didesain untuk menggambarkan urutan gerakan dan membangun ketegangan . bunyi pun juga diungkapkan dengan huruf sebagai penggambaran aktifitas bisu dan emosi. Tezuka juga memperkenalkan system produksi manga yang baru, yaitu cara mempercepat produksi serta menjamin kelangsungan usaha manga. Selain itu diperkenalkan tekhnik sinematik kedalam komik tradisional.

Selama tahun 1960-an, seiring dengan meningkatnya pendapatan ekonomi Jepang, perusahaan penerbitan komik menyadari bahwa pasar untuk buku komik dan majalah komik telah berkembang dan jumlah komikpun meningkat.

Pada tahun 1963, Tezuka membuat animasi televise untuk pertama kalinya dan menjual karakter animasi tersebut untuk menutupi biaya produksi. Karya-karyanya yang sukses besar diluar negeri antara lain yaitu “Mighty Atom” (Astro Boy) dan “Jungle Emperor”. Tezuka juga memproduksi karun versinya sendiri yang bejudul “Faust”, dan Destovyeki’s Crime and Punishmen” yaitu menceritakan tentang kehidupan Buddha serta drama mengenai samurai.

Kemudian karya Tezuka tersebut dibuat dalam lembaran komik yang sangat dihargai sebagai suatu karya seni.

Populernya karya-karya Tezuka memacu munculnya banyak serial animasi yang berdurasi 30 menit, yang kebanyakan didasarkan pada serial yang diterbitkan majalah-majalah komik. Sejumlah film animasi telah diterjemahkan ke dalam berbagai Negara.

Tezuka telah meletakkan pondasi bagi industri manga di Jepang pasca Perang Dunia ke –II dan merombak tradisi manga lama. Ia meninggal pada tahun


(39)

1989, dan untik mengenang jasanya didirikanlah Manga Museum pada tahun 1994 di Tajarazuka (Anggraini, 2008: 34)

2.1.2. Jenis-Jenis Manga

Jika dilihat bedasarkan jenis pembacanya jenis manga terbagi atas :

1. Manga yang khusus ditujukan untuk anak disebut kodomo (untuk anak-anak).

2. Manga yang khusus ditujukan untuk (wanita) dewasa disebut josei (atau redikomi, wanita)

3. Manga yang khusus untuk dewasa disebut seinen (pria)

4. Manga yang khusus ditujukan untuk perempuan disebut shoojo(remaja perempuan)

5. Manga yang khusus ditujukan untuk laki disebut shoonen (remaja laki-laki)

Banyak dari jenis-jenis ini juga berlaku untuk anime dan permainan komputer Jepang (www.wikipedia.org/wiki/manga/jenismanga.com).

Dari berbagai jenis manga diatas, yang banyak beredar di Indonesia adalah Shoojo dan Shoonen.

Shoojo atau shoujo adalah genre dari komik/manga yang bertema atau ditujuka n pada pembaca perempuan remaja. Genre ini mencakup tema yang luas seperti shoonen, hanya saja lebih mengarah ke perasaan dan drama antar karakternya bila dibandingkan dengan manga shoonen yang keras dan penuh aksi. Rata-rata shoojo bertemakan romance, balet maupun ice skating.


(40)

Sejarah shoonen dimulai pada masa awal era Showa sekitar tahun 1950. Machiko Hasegawa dengan Nakayoshi Tencho misalnya atau Princess Knight karya Osamu Tezuka adalah pionir-pionir genre ini. Pada perkembangannya beberapa manga-ka (sebutan untuk creator manga) mulai memasukkan unsure

shonen-ai kedalam karyanya.

Shoonen (bahasa Jepang : diucapkan shounen) adalah sebutan untuk ragam manga atau anime khusus bagi remaja laki-laki. Manga atau anime yang beragam shoonen biasanya berseri dan memiliki penggemar cukup banyak.

Manga atau anime shoonen memiliki beberapa ciri khas. Pertama adalah pada plot ceritanya biasanya sarat dengan tema kepahlawanan atau aksi. Ada juga yang bertemakan komedi percintaan yang menampilkan tokoh lelaki culun yang dikelilingi gadis-gadis cantik dengan karakter yang hampir sama dengan manga atau anime lain. Kedua, manga ini biasanya menyediakan layanan bagi para penggemar, maksudnya ada plot tertentiu yang dibuat berdasarkan masukan para penggemar.

Contohnya adalah pada manga Samurai Deeper Kyo yang hampir semua tokohnya memaki baju yang sangat ketat. Bahkan dalam manga atau anime shoonen yang bertema komedi percintaan hal-hal seperti itu sudah dianggap sebagai kewajiban. Love Hina contohnya, selalu saja ada adegan tokoh utama pria yang mengintip tersasar ke onsen (pemandian air panas) khusus wanita atau ada adegan dimana tokoh wanitanya sedang bercengkrama sembari mandi air panas.

Manga atau anime shoonen sangat berpengaruh pada kultur masyarakat Indonesia. Dulu ketika Dragon Ball pertama kali mengudara, para remaja sampai


(41)

anak kecil seperti tidak mau ketinggalan untuk menontonnya. Gaya gambar komikus Indonesia yang beragam shoonenjuga banyak dipengaruhi oleh mangaka asal Jepang.

Penerbit komik di Indonesia sepertinya sangat diuntungkan dengan keadaan ini sehingga kebanyakan komik yang beredar di Indonesia bergenre shoonen, sebut saja Naruto, One Piece, dan Dragon Ball.

Di jepang, manga beragam shoonen biasanya disisipkan dalam majalah komik. Majalah tersebut biasanya dwi mingguan. Sekali terbit, satu judul biasanya berisi 30-40 halaman. Di Jepang, penggemar ragam ini sangat banyak, sebut saja penggemar Dragon Ball dan One piece, banyaknya animo penggemar judul tertentu bias dilihat dari hasil penjualan hiasan khas (merchandise) maupun komiknya (www.wikipedia.com)

2. Budaya Kelompok (Shudan Shugi)

2.2.1. Pengertian Budaya Kelompok (Shudan Shugi)

Menurut Suryohadiprojo (1982: 42), bahwa sifat Jepang yang menonjol adalah peranan kelompok dalam kehidupan masyarakat. Besarnya peranan kelompok dalam kehidupan masyarakat, sebenarnya tidak hanya terdapat pada bangsa Jepang, karena pada umumnya terdapat juga pada manusia yang belum terkena individualism. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa masyarakat Jepang menganut paham sosialis daripada individulis, dimana penekanan kelompok jauh lebih berperan.


(42)

Masyarakat Jepang merupakan masyarakat yang menganut paham kelompok (Shuudan Shugi). Pengertian Shuudan Shugi menurut kamus Nihonggo Daijiten (Anggraini, 2008:16) yaitu merupakan pembentukan susunan atau formasi suatu status yang disatukan oleh keinginan dalam suatu kelompok yang mengatur berbagai tuntutan dari tiap individu yang dilaksanakan oleh sebagian besar masyarakat yang menganut ideologi kelompok. Dapat dikatakan kalau masyarakat Jepang jauh lebih terbiasa dalam bertindak secara kelompok dibandingkan masyarakat Negara lainnya, seperti Negara barat atau Amerika.

Dalam forum.megaxus.com, pola dasar hubungan antar orang Jepang dibagi atas:

1. Kebersamaan (Shuudan Shugi)

Kebersamaan atau Shuudan Shugi adalah suatu kecenderungan dimana orang jepang lebih mengutamakan kepentingan kelompok ketimbang kepentingan Individu.

2. Keakraban (Onjoshugi)

Keakraban atau Onjoshugi adalah hubungan interaksi antara orangtua dan anak. Hubungan ini melahirkan kewajiaban timbal balik diantara keduanya dimana orangtua memberikan perlindungan dan anaknya menunjukkan loyalitas dan kepatuhannya.

3. Struktur Kebersamaan

Struktur kebersamaan merupakan pola dasar pemikiran oaring Jepang tentang sikap dan prilakunya yang didorong oleh kesadaran akan selalu berada di adalam lingkungan kelompoknya.


(43)

Kebanyakan orang Jepang akan merasa puas sekali dapat menyesuaikan pakaian, tingkah laku, gaya hidup, dan bahkan pikiran pada norma-norma kelompok mereka. Afliasi kelompok di Jepang penting sekali, tetapi orang cenderung untuk menekankan hal ini dengan berusaha menafsirkan segalanya dari sudut pandang yang sama seperti halnya kerja sama (habatsu) kelompok yang bersifat pribadi dalam politik, hubungan antar kekeluargaan (ie), hubungan akademis (gakubatsu), perlindungan pribadi dan rekomendasi-rekomendasi. Mereka ingin menekankan, bahwa yang menentukan bukanlah kemampuan seseorang, tetapi koneksi seseorang.

Penekanan pada kelompok mempunyai pengaruh yang merasuk kedalam gaya hidup Jepang terutama hubungan antar pribadi di Jepang. Sehingga orang merasa bahwa bangsa Jepang terutama cenderung berkelompok. Ini merupakan fenomena yang umum terjadi, terutama terlihat bila suatu masyarakat ditinjau dari luar, tetapi tampaknya lebih kuat di jepang daripada di banyak Negara lain.

Untuk melaksanakan sistem kelompoknya dengan berhasil, orang jepang berpendapat sebaiknya menhindari konfrontasi terbuka. Dengan kata lain setiap konflik tajam terjadi maka dikemukakan secara tidak langsung atau hanya berupa implikasi samar-samar sehingga keharmonisan kelompok tetap terjaga. Kalau ada perbedaan pendapat, selalu ada kompromi atas dasar makeru ga kachi (mengalah untuk menang). Dalam kelompok, kehangatan hubungan merupakan hal yang amat penting dan seseorang mencari amae atau rasa bersatu dengan sesame anggota kelompok. Setiap anggota kelompok selalu berusaha untuk tidak menunjukan emosi, yaitu kesenangan, amarah, kesedihan, dan gembira.


(44)

Disamping itu juga mereka tidakmau kelihatan atau dirasakan sebagai menguasai anggota lain.

Dalam suatu masyarakat yang sangat homogen seperti jepang, bentuk-bentuk komunikasi secara non-verbal demikian lebih menguntungkan dalam mempertahankan kesetiakawanan kelompok. Dapat dikatakan bahwa kecenderungan Jepang untuk menekankan pada kelompok, sedikit banyak mengorbankan indiviidu.

Pada mayoritas orang jepang, hidup dalam kelompok berarti menjaga suasana kelompok tersebut, dan suasana ini dianggap penting daripada prinsip yang harus dipertahankan.

Kelompok-kelompok dari setiap jenis berlimpahan di seluruh masyarakat Jepang dan biassanya memainkan peranan yang lebih besar dan memberikan lebih dari sekedar perasaan identifikasi diri kepada setiap individu dalam kelompok.

Bagi orang jepang keberhasilan kelompok mereka memberikan suatu kepuasaan tersendiri dari setiap jiwa individunya.

Dikarenakan telah merasuk kedalam gaya hidup orang jepang untuk berprilaku sama dengan satu kelompoknya, jika ada saja salah satu individu yang berbeda makamungkin dianggap aneh dan akan dikucilkan. Contohnya, para otaku yang memiliki “gaya” berbeda dibandingkan orang Jepang pada umumnya, baik dari penampilan maupun selera atau hobinya. Dikarenakan memiliki identitas yang berbeda itulah maka para otaku tersebut membentuk kelompok mereka sendiri. Dengan membentuk kelompok baru, maka mereka tetap dalam suatu


(45)

kelompok. Dapat dikatakan. Walaupun tersingkir dari masyarakaat umum, mereka kemudian membentuk komunitas atau kelompok sendiri. Sehingga mereka tetap dalam jalinan kelompok itu sendiri.

2.2. Budaya Kelompok (Shudan Shugi) Dalam Masyarakat Jepang 2.2.1. Budaya Kelompok (Shudan Shugi) di Lingkungan Kerja

Nakane Chie (Hutabarat,2003:22) menjelaskan perusahaan adalah merupakan sebuah ie (keluarga). Keluarga (kazoku) menurut Marioka Kyomi adalah susunan orang-orang yang didasarkan pada hubungan darah seperti abang-adik, orangtua-anak, yang didasarkan pada hubungan adalah suami-istri. Mereka kelompok yang mengutamakan kesejahteraan bersama.

Keluarga tradisional jepang cenderung merupakan keluarga besar. Di dalam keluaarga tradisional tersebut dilaksanakan suatu jenis usaha tertentu, tradisi tertentu, dan symbol-simbol keluarga. Untuk kelanjutan hidup keluarga, jabatan kepala keluarga diwariskan pada anak laki-laki tertua, atau warisan tidak dibagi-bagi pada seluruh anak. Melaksnakan usaha tertentu, misalnya keluarga petani mengerjakan tanah tertentu atau keluarga pedagang melaksnakan suatu jenis usaha tertentu. Atau seperti dalam Nakane Chie dikatakan mempunyai harta tertentu. Sedangkan pengertian melaksanakan tradisi tertentu, misalnya adalah melakukan pemmujaan leluhur dengan mengadakan tempat penyembahan kamidana (rak dewa) dan butsudan (rak Buddha). Mempertahankan symbol-simbol keluarga misalnya adalah melanjutkan nama keluarga (kamyo).

Kunci dari konsep manajemen jepang adalah azas kekeluargaan. Ini adalah warisan atau lanjutan dari tradisi manajemen masa tokugawa, yang sebagian besar


(46)

terdiri dari perusahaan-perusahaan keluarga. Pemimpin-pemimpin Jepang juga memalingkan perhatian mereka kepada ideologi keluarga trdisional untuk mencari cara penyelesaian terhadap suatu masalah dalam perusahaannya. Dengan mengubah perusahaan itu menjadi suatu jenis keluarga baru yang diperluas (extended family). Diusahakan suatu penyatuan kembali dari sesama anggota perusahaan, baik para peimpin maupun para karyawan. Kebijaksanaan-kebijaksanaan peagawai yang diterapkan untuk memberikan isi kepada ideologi ini sekaligus mengandung hakekat hubungan keluarga dan sesuai kebutuhanuhan-kebut keluarga biologis dari karyawan-karyawan. Ikatan-ikatan abadi dengan perusahaan, promosi yang didasarkan lamanya dinas dan perhatian yang lebih besar terhadap latihan keterampilan adalah sesuai dengan tradisi kekeluargaan dan kebutuhan-kebutuhan nyata keluarga (Gregory, dalam Hutabarat, 2003: 23).

2.2.2. Budaya Kelompok (Shudan Shugi) Dalam Lingkungan Sosial

Solidaritas organisasi merupakan bentuk yang mengikat masyarakat kompleks, masyarakat yang telah mengenal pembagian kerja yang rinci dan dipersatukan oleh kesalingtergantungan antar bagian. Tiap anggota menjalankan peranan berbeda, dan diantara peranan yang ada terdapat kesalingtergantungan laksana kesalingtergantungan antara bagian-bagian suatu organisme biologis.Kelompok merupakan suatu gejala yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena sebagian besar kegiatan manusia berlangsung di dalamnya. Suatu kenyataan yang harus di hadapai oleh setiap manusia bahwa sejak lahir hingga dewasa, ia akan menjadi anggota bermacam-macam kelompok. Setiap orang dilahirkan dan dibesarkan dalam suatu kelompok yang dinamakan keluarga.


(47)

Kelahirannya pun menandai keanggotaannya dalam berbagai kelompok lain. Disamping menjadi anggota keluarga, ia juga menjadi warga masyarakat, warga salah satu umat beragama, warga suatu suku bangsa (etnis), dan warga negara dimana dia berada. Kalau pada awal hidup pergaulannya cenderung terbatas pada interaksi dengan anggota keluarga, maka dalam tahap berikutnya dia mulai menjadi anggota keloompok lain. Seperti anggota teman bermain, anggota organisasi formal, misalnya sekolah, universitas. Setelah itu ia akan bergabung dalam kelompok lain di berbagai bidang kehidupan, seperti menjadi karyawan perusahaan.

Nakana Chie mengungkapkan bahwa organisasi kelompok merupakan prinsip bangunan vertikal, yang intinya terdapat dalam hubungan sosial dasar diantara individu. Menurut nakane, ciri yang paling karakteristik dari organisasi sosial Jepang dalam hal ini kelompok timbul dari ikatan tunggal dalam hubungan sosial seseorang sebagai perorangan. Suatu kelompok selalu memilki satu hubungan tunggal yang bersifat berbeda dengan orang atau kelompok yang lain. Jalannya hubungan semacam ini adalah sesuai dengan struktur masyarakat-masyarakat berkasta atau berkelas. Kecenderungan bangunan itu, yang berkembang sepanjang sejarah bangsa Jepang telah menjadi satu ciri dari kebudayaan Jepang (Nakane, dalam Hutabarat, 2003: 18)


(48)

2.2.3. Budaya Kelompok (Shudan Shugi) Dalam Lingkungan Sekolah

Bentuk budaya kelompok (shudan shugi) dalam lingkungan sekolah misalnya adanya kelompok-kelompok yang terbentuk di lingkungan sekolah. Misalnya grup band sekolah, klub sepak bola sekolah dan klub-klub lainnya. Dalam lingkungan pergaulan di Jepang, termasuk di sekolah lebih memberatkan pada sifat berkelompok daripada individu. Peranan anak sebagai individu diakui dan dihargai, tetapi senantiasa dalam lingkungan serta kepentingan kelompok. Hidup sendiri, terlepas dari kelompok adalah suatu penderitaan besar. Bahkan misalkan ada seorang siswa yang berbeda dan tidak pandai bergaul dalam lingkungan sekolah maka dia akan dikucikan oleh teman-temannya atau dijadikan sasaran kekerasan oleh suatu kelompok yang berkuasa atau popular di lingkungan sekolah tersebut.

Hal ini juga menjadi alasan seorang siswa menjadi depresi dan memilih mengakhiri hidupnya sendiri. Ia hanya akan melihat dirinya sebagai bagian suatu massa manusia tanpa nama yang kehilangan semua keakraban dan rasa aman. Sebab itu, seorang siswa atau anak akan menjaga diri agar diakui dan diterima sebagai anggota kelompok dan menjaga loyalitasnya dengan kelompoknya. Sehingga kelompoknya menjadi ciri semua kegiatan-kegiatannya.

Jika ada siswa yang memliki kepribadian sulit bergaul atau tertutup berpindah dari lingkunganya ke dalam sebuah lingkungan yang baru, akan mejadi bumerang tersendiri bagi dirinya untuk masuk ke sebuah kelompok yang baru yang belum tentu dapat menerima dirinya. Dia harus menyesuaikan diri lagi dengan lingkungannya yang baru atau menjadi seorang yang dikucilkan.


(49)

2.3. Ringkasan Cerita Komik 20th

Tokoh utama dalam komik 20

Century Boys th

Cerita ini bermula dari kisah saat mereka masih remaja. Disini di ceritakan ada seorang teman mereka bernama Sadakiyo mempunyai sedikit sifat dan ciri seorang otaku. Sadakiyo merupakan anak pindahan dari sekolah lain dan dia suka menyendiri dari teman-temannya. Di rumahnya dia mengoleksi banyak manga dan majalah manga yang tersusun rapi dalam sebuah rak buku. Pernah sekali gerombolan Kenji mendatangi rumahnya dan diijinkan membaca manga tetapi kemudian salah satu gerombolan Kenji bernama Maruo tidak hati-hati dan merusak manga tersebut, Sadakiyo menjadi marah dan tidak mengijinkan mereka kembali kerumahnya lagi.

Century Boys ini bernama Kenji Endoh. Pada masa kanak-kanaknya dia memliki banyak teman-teman yang tergabung dalam kelompok pembela kebenaran. Mereka berteman hingga dewasa meskipun mereka telah sibuk dengn kegiatan mereka masing-masing.

Sadakiyo adalah maniak manga dan dia suka menyembunyikan wajahnya dengan topeng Ninja Hattori sehingga Kenji dan teman-temannya menganggap dia aneh. Sadakiyo juga sering berlaku aneh, seperti meniru pesawat terbang dengan mengeluarkan suara-suara yang aneh. Dia dipenuhi oleh khayalannya sendiri dan asik dengan duninya sendiri.

Kelompok otaku lainnya juga diceritakan dalam komik ini yaitu Ujiko dan Ujio, mereka adalah kenalan Kanna, keponakan Kenji yang tinggal di sebelah apartemennya. Mereka berdua senang menggambar manga dan merupakan seorang mangaka (pembuat manga). Kamar mereka dipenuhi poster-poster tokoh


(50)

manga atau anime favorit mereka juga bertumpuk-tumpuk manga tentunya. Mereka banyak menggambar komik dewasa yang bersifat mesum sehingga Kanna sering memperingatkan mereka karena mereka sering mengintip kamarnya. Mereka mengenakan kaos atau marchendise yang bergambar tokoh animasi, mengoleksi kartu telpon bergambar tokoh animasi dan barang-barang lainnya yang bergambar tokoh animasi favorit mereka. Mereka menganggap Kanna mirip dengan tokoh favorit mereka di dalam komik, dan mengidolakannya. Kanna menganggap mereka aneh dan menjauhi mereka.

Sedangkan Kenji di saat remajanya mempunyai sebuah grup band yang bernama Mars Naito. Band ini beraliran Rock dan terdiri dari tiga orang. Kenji betindak sebagai pemain gitar dan vokalisnya. Dia dari kecil sudah sering memimpikan akan mempunyai sebuah band rock dan akan menjadi terkenal dengan bandnya tersebut. Ketika kecil Kenji terispirasi lagu berjudul 20th Century Boys yang di bawakan grup band asal Amerika bernama T-Rex. Saking sukanya dia dengan lagu ini, saat-saat jam istirahat dia suka menyelinap ke dalam ruangan klub radio yang sedang siaran dan menyabotasenya sehingga dia bisa memasang lagu tersebut dan disiarkan dari sana yang suaranya terdengar di koridor-koridor sekolah. Dia akan memegang sapu dan berpura-pura sapu tersebut adalah sebuah gitar dan bergaya menyanyikannya. Sampai suatu hari kakaknya yang bernama Kiriko mengetahui cita-cita adiknya itu dan membelikannya gitarnya yang pertama. Dia amat senang dan memamerkannya dengan teman-temannya di sekolah.


(51)

Band Kenji walaupun belum begitu terkenal tetapi sering manggung di tempat-tempat yang sering di datangi kalangan remaja. Band ini tergolong visual kei karena mereka mengenakan kostum-kostum seperti gadis-gadis bangsawan yang penuh dengan renda serta wig dan make up perempuan. Mereka berdandan seperti untuk menarik penonton agar mau mendengarkan lagu mereka. Band ini akhirnya bubar saat salah seorang personelnya yaitu drumernya yang bernama Namio mendapat tawaran dari band lain yang sudah terkenal dan masuk televisi, sehingga meninggalkan band yang telah dibentuk Kenji itu. Kenji merelakannya karena band mereka mungkin tidak mempunyai harapan lagi untuk menjadi terkenal. Kenji tidak tahu bahwa beberapa tahun kemudian temannya si Namio ini menyesal telah keluar dari band tersebut. Karena dia telah merasa cocok dengan terdorong oleh kesetiakawanan Kenji.

Saat mereka dewasa, mereka di undang reunian dan disanalah mereka bertemu kembali. Band tersebut kemudian terbentuk kembali walaupun tujuan mereka bukan mencapai ketenaran lagi, tetapi mereka merasa bahagia karena dikelilingi teman-teman dekat dan tidak merasa terbebani. Kanna keponakan Kenji selalu menyukai lagu-lagu pamannya. Dia sering mendengarkannya melalui walkman. Lagu pamannya mengispirasinya agar selalu semangat dalam hidup.


(52)

BAB III

ANALISIS PRILAKU BUDAYA KELOMPOK PADA KOMIK “20TH CENTURY BOYS” KARYA NAOKI URASAWA

3.1. Kelompok Otaku

Otaku adalah istilah untuk menyebut orang yang tergila-gila terhadap

budaya visual modern Jepang yaitu misalnya komik Jepang (manga), anime, game, dan lain-lain.

Kata otaku sendiri berarti rumahmu atau kamu dan mempunyai konotasi formal. Tetapi sejak tahun 80-an, kata “otaku” dipakai dalam makna lain. Awalnya adalah ketika kalnagan penggemar anime dan manga ketika bertemu dan saling menyapa “ otaku no korekusyon (collection) o mitemoiidesuka?” (bolehkah saya melihat koleksi kamu) dengan menggunakan bahasa yang sopan. Agar dapat membedakan “otaku” sebagai kata ganti orang kedua tersebut dengan istilah untuk menyebut para penggemarsubkultur manga dan anime maka istilah otaku dituliskan dengan huruf katakana.

Istilah otaku awalnya berasal dari creator Macross (1982) yaitu Shoji kawamori dan Haruhiko Mikimoto yang bekerja di studio Nue. Karena keduanya belajar di Universitas Keio yang terkenal sebagai institusi pendidikan terhormat, mereka menggunakan otaku untuk saling menyapa. Kemudian staff Studio Nue juga turut menggunakan sapaan otaku, sehingga menular ke kalangan fans Macross.


(53)

Tahun 1983, istilah otaku untuk menyebut fans digunakan dalam artikel Otaku No Kenkyu dalam majalah Manga Burikko (generasi otaku) dan menulis bahwa otaku itu anti sosial, tertutup dan aneh.

Pada waktu itu, masyarakat umum sama sekali belum mengenal istilah otaku. Media massa yang pertama kali menggunakan istilah otaku adalah radio Nippon Broadcasting System yang mengangkat segmen Otakuzoku No Jittai (situasi kalangan otaku) pada acara radio Young Paradise. Istilah otazuku (secara harfiah: suku otaku) digunakan untuk menyebut kalangan otaku, mengikuti sebutan yang sudah ada untuk kelompok anak muda yang memakai kata akhiran “zoku”, seperti Boozooku dan Takenokozoku.

Istilah otaku dalam arti sempit awalnya hanya digunakan di antara orang-orang yang memilki hobi sejenis yang membentuk kalangan terbatas seperti penerbita Doujinshi. Belakangan ini, istilah otaku dalam arti luas mempunyai konotasi negatif atau positif tergantung pada situasi dan orang yang menggunakannya. Istilah otaku secara negatif digunakan untuk penggemar fanatik suatu subkultur yang letak bagusnya atau positifnya tidak bisa dimengerti masyarakat umum, atau orang yang kurang mampu berkomunikasi dansering tidak mau bergaul dengan orang lain. Otaku secara positif digunakan untuk menyebut orang yang sangat tinggi hingga mencapai tingkat pakar dalam bidang tersebut.

Secara degoratif, istilah otaku banyak digunakan orang sebagai sebutan untuk “laki-laki dengan kebiasaan aneh dan tidak dimengerti masyarakat umum”, tanpa memandang orang tersebut menekuni suatu hobi atau tidak. Anak


(54)

perempuan di Jepang sering menggunakan isttilah otaku untuk laki-laki yang tidak populer di kalangan anak perempuan, tapi sebaliknya istilah ini tidak pernah digunakan untuk perempuan. Berhubung istilah otaku sering digunakan dalam konteks yang menyinggung perasaan, penggunaan istilah otaku sering dikritik sebagai praduga atau perlakuan diskriminasi terhadap seseorang. Istilah ataku juga identik dengan sebutan Akiba Kei yang digunakan untuk laki-laki yang berselera buruk dalam soal berpakaian. Sebutan Akiba Kei berasal dari gaya berpakaian laki-laki yang lbih suka menghabiskan uang untuk keperluan hobi di distrik Akihabara, Tokyo daripada membeli baju yang sedang tren. Sebutan lain yang kurang umum untuk Akiba-Kei adalah A-Boy atau A-kei, mengikuti istilah B-Boy (B-Kei atau B-Kaji) yang sudah lebih dulu ada untuk orang yang meniru penampilan penyanyi hip-hop berkulit hitam.

Sebelum istilah otaku menjadi populer di Jepang, sudah ada orang yang disebut “mania” karena hanya menekuni sesuatu dan tidak mempunyai minat pada kehidupan sehari-hari yang biasa dilakukan orang-orang. Di Jepang istilah otaku sering digunakan diluar konteks penggemar berat anime atau manga untuk menggantikan istilah mania, sehingga ada istilah Game-otaku, Gundam-otaku (otaku mengenai robot Gundam), Gunji-otaku (otaku bidang militer), Pasokon otaku (otaku komputer), tetsudoo-otaku (oaku kereta api alias Tecchan) dan lain-lain.

Para otaku tersebut membentuk kelompok-kelompok tersendiri berdasarkan kesukaan atau hobi yang sama. Mereka berkumpu baik secara


(55)

langsung maupun tidak langsung (mealui media internet) dan membentuk suatu komunitas yang memiliki tujuan dan keinginan yang sama.

Diantara banyaknya kelompok otaku tersebut, komunitas otaku manga dan anime di Jepang saat ini cukup besar kalau meliaht dari tingkat pasar penggemar manga dan anime. Dapat dikatakan komunitas otaku di Jepang dapat terlihat dari banyaknya kelompok otaku manga dan anime yang bermunculan dalam masyarakat jepang saat ini.

3.1.1. Kelompok Otaku Dalam lingkungan Sosial Cuplikan (Jilid V Halaman 202-203) :

Kanna :“Mereka itu manga-ka yang namanya Ujiko Ujio. Gambarnya bagus sih, tapi gak begitu menarik!” (Kanna berbicara dengan temannya dengan lagak acuh tak acuh).

Ujiko : “Apaa!!?

Ujio : “Tunggu, tunggu, kamu jangan bercanda!!”

Ujiko :“Memangnya bisa seenaknya saja bilang komik kami jelek!?” Kanna :” Habis beneran gak menarik…”

Teman Kanna : “ Kanna, tahanlah dirimu!!”

Ujiko :“Di…di masa keemasan CG ini, kami pakai tinta…

Ujio :”Dengan pena ini, kami mau meniupkan angin segar di dunia manga!!”

Ujiko &Ujio : “Mana mungkin semangat kami ini bisa di mengerti orang seperti kalian!?”


(56)

Dari cuplikan dialog di atas seorang otaku menggap dirinya berbeda dari orang yang bukan otaku dan mereka menggap orang luar tidak dapat mengerti kesungguhan mereka pada hobi dan minat mereka. Sedangkan masyarakat yang bukan merupakan otaku beranggapan mereka adalah sekumpulan orang-orang aneh dan bisa dianggap seorang yang maniak. Mereka mengagap dunia mereka tidak ada yang salah, jadi ketika seorang yang bukan seorang otaku dan tidak mengerti mengkritik mereka, mereka tidak bisa menerimanya dan merasa tidak aman sehingga mereka mencoba membuat berbagai macam alasan yang terkadang tidak logis dalam pikiran. Mereka memperjuangkan hal-hal yang umumnya tidak diperjuangkan masyarakat biasa. Masyarakat biasa menganggap bahwa kehidupan para otaku yang terlalu mendalami hobinya dan hanya terfokus pada hobinya tanpa memperdulikan hal yang lainnya terlalu aneh dan terkadang pola pikir otaku yang menganggap bahwa dunia imajinasi yang mereka ciptakan melalui manga dan anime adalah sesuatu yang paling baik.

Sedangkan para otaku menganggap pola pikir masyarakat biasalah yang aneh, karena tidak mengerti kesungguhan mereka. Dan tidak mungkin seorang otaku dapat berhenti begitu saja apabila dia sudah sangat total dalam menjalani hidupnya sebagai otaku.

Otaku lahir dan diidentifikasi oleh masyarakat. Oleh karena itu, keberadaan para otaku sebenarnya diciptakan oleh masyarakat. Para otaku yang merasa sudah di labeli masyarakat karena perbedaan hobi dan pola pikir mereka dari masyarakat kebanyakan semakin menjauh dan menutup diri dari masyarakat


(57)

tersebut. Mereka membentuk kelompok tersendiri dan mencari orang-orang yang sepaham dengan mereka.

3.1.2. Kelompok Otaku Dalam Lingkungan Kerja Cuplikan (Jilid III Halaman 27-28) :

Sadakiyo : “Haah..” “Aku payah…” Kenji : “Ada apa Sadakiyo?”

Sadakiyo :“Aku melakukan kesalahan fatal…” Kenji : “Kerjaan?”

Sadakiyo : “ Haah, mati aku, mati aku…!” Kenji :”Ada apa sih!?

Sadakiyo :” Di surat pemesanan toner, tertulis 4 buah dalam angka romawi, tapi aku salah lihat, kukira itu kanji untuk ribuan…”

Sadakiyo :”Pihak sana akan mengirim barang dalam jumlah banyak banget!!”

Kenji :”4…seribu…?”

Sadakiyo :” sisanya 996 unit mau diapain?” Kenji :”yaah….”

Sadakiyo :”Apa aku bunuh diri saja ya…?” Kenji :”woi


(58)

Dari cuplikan dialaog di atas dapat dilihat bahwa Sadakiyo yang seorang otaku yang bekerja dalam sebuah perusahaan sering mendapat hambatan dan melakukan kesalahan-kesalahan ceroboh yang merugikan suatu perusahaan dikarenakan dia terlalu sering menghayal dan melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak berguna saat di seharusnya dia bekerja.

Seorang otaku terkadang sering menggunakan fasilitas kantor , seperti internet untuk menyalurkan hobi mereka. Bila ada jamuan makan atau minum bersama dengan rekan-rekan kantor nya, otaku memilih untuk langsung kembali pulang ke rumah dan menikmati hobinya. Mereka berkomunikasi dengan otaku lainnya yang memiliki hobi yang sama melalui media internet hingga berjam-jam. Bahkan ada yang hingga pagi sehingga menyebabkan dirinya terlambat masuk kantor atau lalai mengerjakan tugas-tugas kantor.

Dari kalimat terakhir dapat dikatakan juga seorang otaku menjadi seorang yang pesimis oleh kehidupannya. Di karenakan terisolasinya mereka dari pergaulan luar dan lingkungan sekitar. Mereka kurang mensyukuri hidup dan memandang segalanya dengan kacamata negatif.

Para atasan yang memiliki bawahan seorang otaku biasanya sulit mengendalikan amarah dan selalu menekan bawahannya yang otaku tersebut. Mereka dianggap berlebihan dalam mendalami hobi mereka yang membuat mereka tidak jarang mengenyampingkan pekerjaan-pekerjaan mereka. Dan akibatnya perusahaan menganggap mereka sebagai penghambat kemajuan perusahaan.


(59)

3.1.3. Kelompok Otaku Dalam Lingkungan Sekolah Cuplikan (Jilid 16 Halaman 5-6):

Saat istirahat siang di sekolah Kenji. Kenji : “Ooooh....!!”

“Terbitan Sunday minggu ini, ya?!”

Maruo :” Waah...aku ingin baca terusannya Orochi!” Sadakiyo :”Kalau mau lihat, boleh kok...”

Maruo :“Asyiiiik!!

Kenji :”Terimakasih, pasti cepat kukembalikan deh!” Yositsune :”Ooh! Sunday minggu ini ya!?”

Maruo : “Aku duluan!”

Sadakiyo : (Dalam hati) “Jangan sampai terlipat!”

“Mereka selalu begitu...kan jadi cepat kotor. Pegangnya jangan begitu! Jangan dilipat!”

“Jangan sampai ketekuk! Jangan sampai kotor!” Analisis:

Dari cuplikan dialog di atas Sadakiyo yang seorang Otaku tidak bersikap jujur dengan teman-temannya. Dalam hatinya dia tidak ingin meminjamkan majalah komik Sunday itu. Tetapi dia ingin mendapat perhatian dari teman-temannya sehingga terpaksa meminjamkannya. Dia amat menjaga majalah komik dan komik-komiknya yang lain sehingga khawatir dengan teman-temannya akan merusaknya.


(60)

Dari dialog diatas juga dapat dilihat bahwa Sadakiyo adalah seorang otaku yang pendiam dan tertutup dengan orang lain. Apabila berada di tengah keramaian atau berada di tengah-tengah masyarakat biasa, para otaku sulit berhubungan atau berkomunikasi dengan yang bukan otaku. Apabila bertemu dengan otaku yang lainnya mereka menjadi pribadi yang antusias dan bersemangat membicarakan hobinya.

Sikap para otaku yang tertutup selain dikarenakan kurangnya kemampuan mereka untuk berinteraksi secara langsung dengan orang lain selain dengan sesama otaku juga dikarenakan sikap dan pandangan masyarakat yang juga menjauhi para otaku.

Cuplikan (Jilid III Halaman 121-122):

Maruo :”Huuaaah..”

“Ayolah, pulang dan tidur sana... apa kamu teringat cinta monyetmu di acara reuni tadi?”

Kenji :”Kamu ingat Sadakiyo?” Maruo :”Sadakiyo...?”

Kenji :”Di acara reuni tadi dia datang nggak?”

Maruo :”Sadakiyo...nama keluarganya apa?” “Aku nggak ingat dia datang atau nggak..”

“Kita udah tua, sih banyak yang jadi nggak kenal, kecuali kalau memperkenalkan diri dulu...”


(61)

Maruo :”ng?”

Maruo :”Ah, aku ingat, dia nggak mungkin ada di foto” Kenji :”?”

Maruo :”Karena waktu kelas 5 SD Sadakiyo pindah sekolah” “Dia selalu dikerjain kan?”

“Donkey juga sering dikerjai, tapi sejak dia berteman sama kita, dia nggak diganggu lagi...”

“Tapi, Sadakiyo memang aneh, selalu memakai topeng...” Kenji : (Dalam hati)”Sadakiyo...”

“Sadakiyo yang selalu pakai topeng..”

“Sadakiyo yang selalu menyendiri di pojok kelas...”

“Sadakiyo yang selalu dikerjain di belakang gedung sekolah...” “Sadakiyo yang selalu bicara dengan alien di atap sekolah...” Analisis:

Dari dialog diatas dapat terlihat bahwa Sadakiyo adalah seorang otaku yang aneh dan di jauhi teman-temannya karena keanehanya itu. Bahkan ketika dewasa pun tema-temannya tidak ada yang ingat kepadanya. Dia sering di kerjai oleh teman-temannya, memojok sendiri di dalam kelas, selalu memakai topeng, berbicara sendiri di atap sekolah yang menurut imajinasinya dia berbicara dengan alien.

Sadakiyo yang seorang otaku sebenarnya ingin mempunyai teman juga. Tetapi dia mengetahui bahwa teman-temannya berbeda darinya. Sehingga dia lebih baik menyendiri dan kembali melanjutkan dunia imajinasinya. Dalam dunia


(62)

imajinasinya, mungkin seorang otaku mempunyai teman imajinasinya sendiri dan mereka asik dengannya.

3.2. Kelompok Band Visual Kei

Visual kei atau dalam pelafalan Jepang, bijuaru kei, terdiri dari dua bahasa yang berbeda, yaitu visual dari bahasa Inggris yang kira-kira berarti “yang terlihat” dan kei dari bahasa Jepang yang berarti bentuk. Jadi dari segi bahasa, visual kei berarti gaya atau penampilan fisik (luar). Secara luas, visual kei dapat diartikan juga sebagai gaya yang terbentuk dari kepribadian atau tingkah laku tiap individu yang terekspresikan melalui penampilan luar (Purnama, dalam Finanditha,11: 2008)

Gaya ini sering di pakai dalam grup band Jepang. Ketika melihat sebuah grup band Jepang, terutama grup band Japanese-Rock yang biasa disingkat dengan J-Rock, mungkin kita tidak pernah menyangka bahwa makhluk cantik yang berpenampilan seperti wanita itu adalah seorang pria. Mereka bukanlah orang-orang yang mengalami krisis gender, tetapi mereka hanya menggunakan suatu fashion yang disebut visual kei. Visual kei memang identik dengan J-Rock. Hal ini dikarenakan hampir semua grup band yang menggunakan style visual kei ini adalah grup band J-Rock. J-Rock merupakan istilah yang dibuat oleh orang Amerika. Di Jepang sendiri, mereka tidak memakai istilah J-Rock. Secara harfiah artinya band Jepang yang membawakan musik rock. Namun kenyataannya, J-Rock belum tentu visual kei. Sedangkan visual kei itu sendiri, merupakan suatu fenomena dalam dunia J-Rock (Slasher Bird, dalam Finanditha 11:2008)


(1)

“Tapi…500 ribu orang itu kayaknya mustahil, tapi menyenangkan sekali kalau aku bisa tampil di Budokan yang penuh dengan penonton” (Ting…ting..).

*Budokan: salah satu gedung untuk panggung paling besar dan paling prestisius di Jepang.

Analisis:

Dari cuplikan dialog diatas terlihat bahwa Kenji yang seorang personil anggota band visual kei adalah seorang mahasiswa yang malas masuk kuliah demi mengejar mimpinya. Dia terobsesi dengan bandnya dan bagaimana caranya agar bandnya dapat terkenal dan manggung di Budokan.

Teman-temannya yang bukan anak band menganggap remeh impiannya itu dan kadang menertawakan dirinya di belakangnya. Karena bagi masyarakat Jepang mungkin menjadi terkenal dengan sebuah band adalah cita-cita yang tidak lazim. Pola pikir yang lazim di masyarakat biasanya bahwa seorang anak harusnya masuk ke sekolah yang bergensi atau bermutu tinggi pendidikannya dengan belajar mati-matian, agar selanjutnya bisa masuk universitas yang bergengsi dan bermutu juga, dan kemudian terjun ke masyarakat yang memiliki pekerjaan yang penghasilan yang tinggi. Bermain band mungkin hanya dianggap sebagai hobi semata yang boleh dilakukan tetapi tidak untuk ditekuni. Pola pikir ini sebenarnya bukan sesuatu yang negatif juga, tetapi standar yang dilakukan itu


(2)

melakukan apa yang selalu diinginkan oleh orangtua mereka yang bersikap bagaimana masyarakat umumnya, bukannya memliki jalan sendiri yang memang dicita-citakan oleh anak tersebut.


(3)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari penulisan skripsi ini adalah : 1. Bagi masyarakat Jepang peran kelompok merupakan hal yang sangat

penting. Status didalam kelompok adalah kelanjutan dan perpanjangan dari status didalam masyarakat pada saat memasuki kelompok. Hal ini dapat dilihat dari karya sastra Jepang berupa komik atau manga yang banyak mengambil topik kelompok khususnya manga berjudul 20th

2. Dalam komik 20

Century Boys, yang bercerita mengenai kelompk otaku dan grup band visual kei. Dalam komik ini digambarkan kehidupan dan prilaku para otaku dan anggota grup band visual kei. Perilaku otaku kebanyakan diantaranya adalah maniak game, manga atau anime. Mereka banyak melakukan kegiatan yang berhubungan dengan hobinya tersebut yang terkadang berlebihan sehingga melupakan peran mereka didalam masyarakat itu sendiri. Sedangkan grup band visual kei meupakan fenomena yang berkembang di kalangan anak muda Jepang yang ciri khasnya memakai pakaian wanita dan berdandan layaknya wanita. Grup band ini banyak membawakan aliran musik bernuansa rock dan populer di kalangan anak muda Jepang.

th

Century Boys, Urasawa menggambarkan perilaku otaku yang anti sosial dan hubungan mereka dengan masyarakat yang


(4)

berkomunikasi lewat teknologi media, misalnya internet. Mereka saling bertukar informasi,memamerkan, atau berdiskusi mengenai manga, game, dan animasi. Dengan masyarakat yang bukan seorang otaku mereka berprilaku anti atau enggan bekomunikasi, karenanya terkadang mereka sering dianggap aneh oleh lingkungan sekitarnya. 3. Dalam komik ini, Urasawa juga menggambarkan ciri khas band visual

kei dan prilaku yang berhubungan dengan band tersebut. Misalanya, band ini menggunakan istilah-istilah yang berbau gothic dan berdandan ala lady-lady di Eropa, mencat rambut mereka dengan warna-warna yang mencolok, memakai make up wanita sehingga terkesan cantik, dan mereka digilai para penggemar mereka yang sampai rela mengikuti konser tur mereka ke berbagai daerah di Jepang. 4. Kelompok otaku hidup dalam dunia khayalan yang mereka ciptakan

sendiri seperti dunia manga, game dan anime. Mereka lebih senang hidup dalam dunia khayalan tersebut karena kehidupan nyata mereka tidak sesuai dengan yang mereka harapakan, jadi mereka sering lari dari kenyataan. Mereka dapat lebih berekspresi dalam dunia mereka dan sulit memisahkan antara mana yang merupakan khayalan dan mana yang merupakan kenyataan. Sehingga banyak dari mereka yang cenderung anti sosial.

5. Fenomena band visual kei sudah menyebar didalam dunia permusikan di Jepang. Gaya berpakaian serta dandanan mereka banyak diikuti dan digemari oleh kalangan muda-mudi Jepang. Orang awam dalam


(5)

masyarakat Jepang sampai saat ini masih sering menyamakan visual kei dengan fashion kelainan mental. Tidak hanya dari mendengar lagunya saja yang memang banyak beraliran rock atau underground, tetapi juga melihat dandanan mereka dan langsung memutuskan bahwa mereka aneh. Padahal menurut orang Jepang sendiri, fashion adalah fashion, tidak ada hubungannya dengan kepribadian. Meskipun berpakaian seperti wanita dan menggunakan make-up, pada kenyataannya ketika berbicara mereka tetap memakai suara asli mereka, dan dalam kehidupan sehari-hari pun mereka mengenakan baju yang biasa dipakai oleh para pria. Selain itu, grup band visual kei ini tidak hanya mementingkan penampilan semata sebagai daya tarik, tetapi juga menampilkan musik yang berkualitas.

4.2. Saran

1. Penulis berharap masyarakat hendaknya tidak hanya memandang seseorang dari penampilan atau luarnya saja. Tetapi juga dari kemampuan dan minat yang mereka punyai. Kelompok otaku maupun grup band visual kei tidak seharusnya dikucilkan dalam masyarakat, tetapi diberikan wadah atau tempat yang dapat menampung minat dan kreatifitas mereka dalam bidang yang mereka senangi tersebut. Jadi mereka merasa diterima dalam masyarakat dan dapat bersosialisasi dengan baik.

2. Bagi para orangtua dalam masyarakat Jepang yang memiliki anak-anak yang memiliki hobi atau minat terhadap musik, game, manga


(6)

dan animasi hendaknya lebih berpikiran terbuka dan tidak menghalangi kreatifitas mereka selama masih dalam tahap yang wajar atau tidak berlebihan. Mereka dapat mengawasi anak-anak mereka agar tidak terlalu berlebihan seperti para kelompok otaku.