Realisasi Budaya Malu Masyarakat Jepang Dilihat Dari Pertanggung Jawaban Bangsa Jepang Terhadap Korban Jugun Ianfu Di Indonesia Pasca Perang Dunia II

(1)

REALISASI BUDAYA MALU MASYARAKAT JEPANG DILIHAT DARI PERTANGGUNGJAWABAN BANGSA JEPANG TERHADAP KORBAN

JUGUN IANFU DI INDONESIA PASCA PERANG DUNIA II

NIBANGME NO SEKAI TAISEN GO NO INDONESIA NI JUGUN IANFU NO KENSHIN NI TAISHITE NIHONSHAKAI NO SEKININ KARA

MIRARETE NIHONSHAKAI NO HAJI BUNKA NO JITSUGEN

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu persyaratan mengikuti

ujian Sarjana bidang ilmu Sastra Jepang

Oleh

SAMUEL. H. M. MANIK 070708027

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

REALISASI BUDAYA MALU MASYARAKAT JEPANG DILIHAT DARI PERTANGGUNGJAWABAN BANGSA JEPANG TERHADAP KORBAN

JUGUN IANFU DI INDONESIA PASCA PERANG DUNIA II NIBANGME NO SEKAI TAISEN GO NO INDONESIA NI JUGUN IANFU

NO KENSHIN NI TAISHITE NIHONSHAKAI NO SEKININ KARA MIRARETE NIHONSHAKAI NO HAJI BUNKA NO JITSUGEN

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu persyaratan mengikuti

ujian Sarjana bidang ilmu Sastra Jepang Oleh

070708027

SAMUEL. H. M. MANIK

PEMBIMBING I

NIP. 196708072004011001 Zulnaidi, S.S, M. Hum.

PEMBIMBING II

NIP. 196009191988031001 Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum.

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(3)

Disetujui Oleh :

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

Departemen Sastra Jepang Ketua,

Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum NIP. 196009191988031001


(4)

PENGESAHAN Diterima Oleh :

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam Bidang ilmu Sastra Jepang pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Pada : Tanggal : Hari :

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Dekan,

NIP. 195110131976031001 Dr. Syahron Lubis, M. A

Panitia Ujian

No. Nama Tanda Tangan

1. ( )

2. ( )


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “REALISASI BUDAYA MALU MASYARAKAT JEPANG DILIHAT DARI PERTANGGUNGJAWABAN BANGSA JEPANG TERHADAP KORBAN JUGUN IANFU DI INDONESIA PASCA PERANG DUNIA II”.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki kekurangan baik dari segi penulisan, pembahasan maupun pemahaman. Untuk itu, penulis secara terbuka menerima kritik dan saran dari pembaca agar dapat menutupi kekurangan-kekurangan tersebut.

Dalam penulisan skripsi ini penulis menerima banyak bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Maka dari itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya, terutama kepada:

1. Bapak Drs. Syahron Lubis, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum, selaku Ketua Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Zulnaidi, S.S, M. Hum. selaku Dosen Pembimbing I, yang telah meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing serta memberikan arahan dan dorongan kepada penulis, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.


(6)

4. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum. selaku Dosen Pembimbing II, yang telah membimbing, memeriksa, dan memberikan saran-saran serta masukan dalam rangka perbaikan dan penyempurnaan penulisan skripsi ini.

5. Seluruh staf pengajar Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya yang telah memberikan ilmu dan pendidikan kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan.

6. Seluruh staf pegawai Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya yang telah membantu penulis dalam hal non-teknis dalam penulisan skripsi ini. 7. Orang tua tercinta, Ayahanda Edison Manik dan Ibunda Nurmasinta Purba

yang telah memberikan dukungan moril dan materil selama masa pendidikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini penulis persembahkan sebagai tanda terimakasih atas segenap cinta, kasih sayang dan dukungan yang selalu kalian berikan sampai hari ini. 8. Yang tersayang Lia Indriani Tobing, yang tidak pernah lelah untuk

membantu dan memberikan dukungan kepada penulis selama kuliah hingga penyelesaian skripsi ini. Uda Sediman Manik yang selalu menjaga dan memperhatikan penulis sejak kecil hingga sekarang. Juga sahabat-sahabatku Saefudin Zuhri Dalimunthe, Vernando Simanullang, Nelson Silalahi, Otorio Siregar, Indy oioi(Alm.), Dwi Nuriza Nasution, Veni Pratama Nasution, Hany Humaira, Rizayu Paradita, Yuni Amanda Sari, Erma Dani Sembiring, dan Frans ‘Kodok’ Sitorus. Terimakasih udah jadi kelurga dan sahabat terbaikku yang selalu memberi semangat dan dukungan.

9. Rekan-rekan seperjuangan, angkatan 2007 Departemen Sastra Jepang, terima kasih atas motivasi dan sarannya kepada penulis.


(7)

10. Serta seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini, yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih banyak kekurangan, baik dari isi maupun uraianya. Hal ini disebabkan karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan masukan-masukan berupa saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan skripsi ini.

Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi pembaca serta penulis sendiri.

Medan, 21 Januari 2013 Penulis,


(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 . Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 . Perumusan Masalah ... 7

1.3 . Ruang Lingkup Pembahasan ... 8

1.4 . Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ... 8

1.5 . Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 12

1.6 . Metode Penelitian ... 12

BAB II KONSEP BUDAYA MALU SEBAGAI KARAKTERISTIK BANGSA JEPANG DAN SEJARAH JUGUN IANFU DI INDONESIA ... 15

2.1. Konsep Malu dalam Masyarakat Jepang ... 15

2.1.1. Kouchi (Malu Umum) ... 16

2.1.2. Shichi (Malu Khusus) ... 19

2.2. Kouchi, Shichi dan Fungsi Malu dalam Masyarakat Jepang ... 22

2.2.1. Kouchi dan Shichi dalam Keluarga ... 22


(9)

2.2.3. Fungsi Malu dalam Masyarakat Jepang ... 27

2.3. Sejarah Jugun Ianfu ... 30

2.3.1. Peran Wanita pada Masa Pendudukan Jepang di Indonesia ... 30

2.3.2. Peristiwa Terjadinya Jugun Ianfu ... 32

2.3.3. Berakhirnya Jugun Ianfu ... 37

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN TERHADAP KORBAN JUGUN IANFU DI INDONESIA SEBAGAI WUJUD REALISASI BUDAYA MALU MASYARAKAT JEPANG ... 40

3.1. Permintaan Maaf Oleh Pemerintah Jepang ... 40

3.2. Ganti Rugi Terhadap Korban Jugun Ianfu ... 43

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 54

4.1. Kesimpulan ... 54

4.2. Saran ... 56

DAFTAR PUSTAKA


(10)

ABSTRAK

Budaya adalah sesuatu yang semiotik, tidak terlihat dan bersifat abstrak. Beberapa contoh budaya Jepang adalah budaya balas budi (giri), budaya senioritas (nenkoujoretsu), budaya malu, dan sebagainya. Oleh karena itu, penulis didalam skripsi ini akan menganalisis tentang budaya malu masyarakat Jepang.

Malu adalah suatu reaksi psikologis yang timbul karena adanya kritik dari orang lain, atau timbul pada saat ditertawakan orang lain. Rasa malu berarti mengutamakan penilaian masyarakat pada umumnya.

Budaya malu merupakan salah satu budaya yang sangat berpengaruh bagi masyarakat Jepang. Masyarakat Jepang mendasarkan tindakan mereka pada suatu ukuran, yaitu apakah tindakan mereka akan menimbulkan malu atau tidak. Jika iya, maka mereka akan berusaha untuk menghindari tindakan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa bagi orang Jepang, standar untuk menilai baik atau buruknya suatu tindakan adalah malu. Dan pihak yang menilainya adalah masyarakat dan diri sendiri, bukan keberadaan Tuhan. Hal ini didefenisikan sebagai budaya malu umum (kouchi). Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa orang Jepang cenderung mengarah keluar (masyarakat), bukan ke dalam dirinya. Sifat mengarah keluar inilah yang dalam bahasa Jepang disebut dengan istilah gaimenteki. Dan sifat

gaimenteki (mengarah keluar) ini merupakan suatu ciri dari budaya malu.

Malu muncul dikarenakan ketidak mampuan membalas budi dari orang lain, atau disebut on (konsep kebaikan), yang terdiri dari giri (mengabdi memikirkan untung rugi) dan gimu (pembalasan kebaikan setulus hati). Atau juga dengan adanya penilaian pihak lain yang cenderung negatif, seperti sindiran, kritikan atau cemoohan.


(11)

Menurut paham Shintoisme dan Budhisme diajarkan bahwa nilai yang paling tinggi adalah rasa malu. Oleh sebab itu, seluruh aktifitas mereka difokuskan pada usaha menjaga rasa malu tersebut. Dan seseorang yang tahu malu di defenisikan sebagai orang yang bajik, bahkan dikatakan sebagai orang terhormat.

Pada dasarnya orang Jepang akan merasa malu jika dikritik atau ditertawakan orang lain. Akan tetapi, konsep tersebut belum dapat menampilkan seluruh segi dari konsep malu, khususnya konsep malu yang ada di dalam diri orang Jepang. Ternyata bukan hanya kritikan dan tertawaan orang lain yang dapat membuat orang Jepang merasa malu. Konsep yang lebih dapat mengungkapkan pemikiran malu dalam diri orang Jepang adalah ketika seseorang mendapat perhatian yang sifatnya khusus dari orang lain. Juga berupa penilaian pihak lain yang bersifat positif, seperti pujian dan sanjungan. Maksudnya, budaya malu bukanlah sekedar balas budi, atau tidak hanya sebatas kritikan, sindiran dan cemoohan dari pihak lain. Akan tetapi, perhatian berupa pujian dan sanjungan pun mempengaruhi ada atau tidaknya rasa malu dalam diri seseorang. Yaitu malu yang bertolak ukur pada diri sendiri (naimenteki), dan tidak mengacu pada penilaian dari pihak lain (gaimenteki). Budaya malu seperti ini disebut dengan malu khusus (shichi).

Munculnya shichi atau malu khusus dalam diri seseorang diakibatkan oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam diri orang tersebut. Dua faktor yang menyebabkan munculnya shichi dalam diri orang Jepang, yaitu shikou no kuichigai dan yuretsu kijun. Shikou no kuichigai ialah salah pengertian atau salah


(12)

paham. Shikou no kuichigai merupakan faktor yang muncul dari dalam diri orang yang bersangkutan.

Sedangkan yuretsu kijun merupakan standarisasi yang digunakan oleh orang Jepang untuk membandingkan diri sendiri dengan orang lain, yaitu standard superior (makna yang menyatakan lebih baik daripada orang lain) dan standard inferior (makna kurang atau lebih rendah dibandingkan orang lain).

Peran keluarga sangat berkaitan dalam budaya malu, yaitu keluarga mengatas namakan rasa malu pada proses pembelajaran norma dan kaidah kehidupan. Maka dari itu, keluarga yang pada dasarnya dipimpin oleh orang tua, berperan aktif dalam menanamkan rasa malu pada setiap keluarganya. Shichi atau malu khusus yang berhubungan erat dengan shikou no kuichigai dan yuretsu kijun, merupakan hal yang sangat mempengaruhi ada tidaknya rasa malu dalam diri seorang individu pada saat berada dalam lingkungan keluarga.

Begitu juga didalam masyarakat, dalam bersosialisasi di kalangan masyarakat seorang individu hanya ditempatkan sebagai salah satu bagian yang sangat kecil di dalam mekanisme sosial yang sangat besar. Sehingga menimbulkan rasa kesepian dan ketidakberdayaan di dalam diri individu tersebut. Rasa kesepian dan ketidakberdayaan ini yang menyebabkan seorang individu akan sangat peka terhadap perhatian orang lain. Sehingga timbul lah shiko no kuichigai dan yuretsu kijun yang secara mutlak akan menimbulkan rasa malu di dalam diri individu tersebut.

Budaya malu juga memiliki dua fungsi yaitu fungsi aktif dan pasif. Fungsi malu yang bersifat aktif adalah fungsi malu yang menjadi motivasi dan mendorong seseorang untuk melakukan tindakan sesuai perannya dan


(13)

menjalankannya dengan ideal sebagaimana seperti yang diharapkan oleh masyarakat di sekitarnya.

Fungsi malu yang bersifat aktif dapat kita lihat dari pertanggungjawaban bangsa Jepang yang berupa permintaan maaf dan ganti rugi kepada para korban

jugun ianfu, dan merupakan suatu realisasi budaya yang di tunjukkan oleh bangsa Jepang terhadap masyarakat dunia.

Pemerintah Jepang melakukan suatu pertanggungjawaban sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat dunia untuk memperbaiki hal buruk yang mereka lakukan di masa lalu. Mereka menetapkan kebijakan hukum yang terdiri dari beberapa hal pokok. Yaitu, menerangkan dan mengakui fakta-fakta paksa seksual dan kerugian yang disebabkan olehnya selama perang dunia ke-2, juga melaksanakan tindakan sosial berupa permintaan maaf dan ganti rugi terhadap para korban jugun ianfu, yaitu dukungan moral dan materi berupa dana kompensasi sebesar 380 juta yen dan tertuang secara resmi dalam Memorandum of Understanding (MOU) yang ditandatangani di Jakarta pada tanggal 25 Maret 1997.

Fungsi malu yang bersifat pasif yaitu sebagai penahan tindakan seseorang dalam menonjolkan dirinya secara berlebihan. Seorang individu akan menonjolkan diri untuk menghindari kritikan dari orang lain yang menimbulkan gejala malu, dengan cara mencapai suatu prestasi tertentu untuk memenuhi perannya ditengah-tengah masyarakat. Namun sifat menonjolkan diri yang berlebihan akan menyebabkan seorang individu menjadi sumber perhatian dan menimbulkan kesan negatif bagi orang lain, sehingga menimbulkan rasa malu.


(14)

Fungsi malu seperti ini yang merupakan pembentuk karakteristik bangsa Jepang yang selalu berusaha menahan diri dan rendah diri.


(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Kebudayaan merupakan salah satu unsur yang sangat penting bagi kehidupan bermasyarakat. Kebudayaan suatu negara dipengaruhi oleh karakteristik geografis negara tersebut serta mempunyai pengaruh timbal-balik dengan karakteristik rakyatnya.

Pengertian kebudayaan dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu kebudayaan dalam arti luas dan kebudayaan dalam arti sempit (Ienaga Saburo dalam Situmorang, 2006:2-3). Dalam arti luas, kebudayaan adalah seluruh cara hidup manusia (ningen no seikatsu no itonami kata) dan tidak bersifat alamiah. Sedangkan kebudayaan dalam arti sempit adalah keseluruhan hal yang terdiri dari tradisi, ilmu pengetahuan, sistem kepercayaan dan seni. Oleh karena itu, Ienaga mengatakan kebudayaan dalam arti luas adalah segala sesuatu yang bersifat konkret yang diolah manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Sedangkan kebudayaan dalam arti sempit adalah budaya yang berisikan sesuatu yang bersifat semiotik.

Konsep kebudayaan menurut Koentjaraningrat dalam Takari, dkk (2008:5) adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar. Sebuah budaya berkaitan erat dengan masyarakat karena budaya itu sendiri lahir dari masyarakat. Kata kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta buddayah, yaitu bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian,


(16)

kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan akal. Oleh karena itu, budaya selalu dibedakan dengan kebudayaan. Budaya merupakan sesuatu yang semiotik, tidak terlihat dan bersifat abstrak. Sedangkan kebudayaan adalah sesuatu yang konkret.

Maka dari itu, dapat kita lihat bahwa contoh budaya Jepang adalah budaya balas budi (giri), budaya senioritas (nenkoujoretsu), budaya malu, dan sebagainya. Sedangkan contoh kebudayaan Jepang adalah chanoyu, ikebana, origami, dan sebagainya (Situmorang, 2006:2).

Budaya malu merupakan salah satu budaya yang sangat berpengaruh bagi masyarakat Jepang. Rasa malu artinya adalah mengutamakan penilaian masyarakat pada umumnya. Masyarakat Jepang merupakan masyarakat yang dikendalikan oleh budaya malu. Yang artinya, masyarakat Jepang mendasarkan tindakan mereka pada suatu ukuran, yaitu apakah tindakan mereka akan menimbulkan malu atau tidak. Jika iya, maka mereka akan berusaha untuk menghindari tindakan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa bagi orang Jepang, standar untuk menilai baik atau buruknya suatu tindakan adalah malu. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa orang Jepang cenderung mengarah keluar (masyarakat), bukan ke dalam dirinya. Sifat mengarah keluar inilah yang dalam bahasa Jepang disebut dengan istilah gaimenteki. Dan sifat gaimenteki (mengarah keluar) ini merupakan suatu ciri dari budaya malu.

Masyarakat Jepang selain memiliki budaya malu, juga menganut kepercayaan politheis dan merupakan masyarakat yang tidak mengenal konsep dosa. Di Jepang ada istilah Tsumi yang artinya kesalahan, namun berbeda dengan konsep dosa dalam pengertian agama monotheis. Jepang sebagai bangsa yang


(17)

politheis (mempercayai banyak Tuhan atau Dewa) memiliki dua istilah yang disebut Kami dan Hotoke sebagai objek penyembahan. Jumlah Kami dan Hotoke

ini sangat banyak, bahkan roh leluhur yang sudah lama disembah juga akan menjadi Kami atau Hotoke. Oleh karena itu objek yang disembah oleh masing-masing keluarga berbeda-beda. Ketika di rumah, anggota keluarga menyembah dewa leluhur (sousen), ketika di perusahaan mereka menyembah dewa atau roh orang yang telah mengabdi untuk perusahaan, ketika bekerja untuk kepentingan wilayah mereka menyembah dewa wilayah yang disebut dengan Ubusuna gami, dan ketika bekerja untuk kepentingan negara mereka menyembah dewa negara atau dewa kaisar (Hori Ichiro, 1968). Hal ini didukung oleh pernyataan Shintarou dalam Mushakojuji Kinhide (1982:61) bahwa Jepang adalah unik, satu-satunya negara tanpa Tuhan yang membimbing geraknya.

Ruth Benedict dalam bukunya “The Crysanthemum and The Sword” (Bunga Seruni dan Pedang Samurai) mengatakan bahwa malu merupakan suatu reaksi psikologis yang timbul karena adanya kritik dari orang lain, atau timbul pada saat ditertawakan orang lain. Orang Jepang akan merasa malu jika dikritik atau ditertawakan orang lain. Akan tetapi, konsep tersebut belum dapat menampilkan seluruh segi dari konsep malu, khususnya konsep malu yang ada di dalam diri orang Jepang. Ternyata bukan hanya kritikan dan tertawaan orang lain yang dapat membuat orang Jepang merasa malu. Konsep yang lebih dapat mengungkapkan pemikiran malu dalam diri orang Jepang adalah ketika seseorang mendapat perhatian yang sifatnya khusus dari orang lain.

Menurut Sakuta dalam Raphaela Dwianto (1991:42), budaya malu masyarakat Jepang telah muncul sejak periode Yayoi dan berkembang pesat pada


(18)

saat pemerintahan Tokugawa. Berupa penanaman konsep malu yang menjelaskan bahwa, pada masyarakat bertani di era Yayoi, seorang individu tidak mempunyai arti jika terpisah dari komunitasnya. Sedangkan bagi masyarakat berburu dan beternak di era Yayoi, seorang individu dapat berdiri sendiri, meskipun terpisah dari komunitasnya. Sakuta juga menambahkan bahwa pada periode Tokugawa, sistem sentralisasi pemerintahan dianggap sebagai ladang subur penerapan budaya malu.

Selain itu, Ruth Benedict (1989) dan Sakuta Keichi dalam Raphaela Dwianto (1991) menganalisa budaya malu masyarakat Jepang dari dua sisi berbeda.

Pertama, Ruth Benedict (1989:338) menyatakan bahwa, malu muncul dikarenakan ketidak mampuan membalas budi dari orang lain, atau disebut on, yang terdiri dari giri dan gimu. Atau juga dengan adanya penilaian pihak lain yang cenderung negatif, seperti sindiran, kritikan atau cemoohan. Benedict juga menambahkan bahwa, malu yang dimiliki masyarakat Jepang bukan malu yang muncul karena keberadaan Tuhan atau takut karena dosa. Akan tetapi, lebih kepada malu yang muncul dengan adanya keberadaan pihak lain.

Menurut paham Shintoisme dan Budhisme diajarkan bahwa nilai yang paling tinggi adalah rasa malu. Oleh sebab itu, seluruh aktifitas mereka difokuskan pada usaha menjaga rasa malu tersebut. Dan seseorang yang tahu malu di defenisikan sebagai orang yang bajik, bahkan dikatakan sebagai orang terhormat (Ruth Benedict, 1989:234). Sedangkan malu yang bertolak ukur terhadap rasa takut kepada Tuhan adalah malu yang bertolak ukur pada


(19)

pengabdian seorang manusia kepada Sang Pencipta, sebagai makhluk yang lemah dan tidak luput dari salah dan khilaf.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa masyarakat Jepang adalah masyarakat yang bertindak pada suatu ukuran yang dijadikan dasar untuk menentukan apakah tindakan yang dilakukan akan menimbulkan perasaaan malu atau tidak. Jadi, standar penilaian baik buruknya suatu tindakan adalah malu. Dan pihak yang menilainya adalah masyarakat dan diri sendiri, bukan keberadaan Tuhan. Hal ini didefenisikan sebagai budaya malu umum (kouchi).

Kedua, Sakuta Keichi dalam Raphaela Dwianto (1991:14) menyatakan bahwa budaya malu Masyarakat Jepang bukan hanya sebatas balas budi, namun juga berupa penilaian pihak lain yang bersifat positif, seperti pujian dan sanjungan. Maksudnya, budaya malu bukanlah sekedar balas budi, atau tidak hanya sebatas kritikan, sindiran atau cemoohan dari pihak lain. Akan tetapi, perhatian berupa pujian dan sanjungan pun mempengaruhi ada atau tidaknya rasa malu dalam diri seseorang. Budaya malu seperti ini disebut dengan malu khusus (shichi). Yaitu malu yang bertolak ukur pada diri sendiri (naimenteki), dan tidak mengacu pada penilaian dari pihak lain (gaimenteki).

Rasa malu yang paling tinggi adalah ketidakmampuan membalas budi orang lain dan ketika berbuat salah kepada orang lain. Hal ini dapat dilihat dari perlakuan bangsa Jepang terhadap Jugun Ianfu di Indonesia semasa pendudukannya pada tahun 1942-1945. Jugun Ianfu merupakan istilah Jepang terhadap perempuan penghibur tentara Jepang dimasa perang Asia Pasifik, istilah asingnya adalah Comfort Women.


(20)

Pada kenyataannya Jugun Ianfu bukan merupakan perempuan penghibur tetapi perbudakan seksual yang brutal, terencana, serta dianggap masyarakat internasional sebagai kejahatan perang. Diperkirakan 200 sampai 400 ribu perempuan Asia berusia 13 hingga 25 tahun dipaksa menjadi budak seks tentara Jepa

Hingga sekarang para korban Jugun Ianfu ini menuntut kepada Jepang agar sejarah kelam tersebut diakui Jepang dan dimasukkan kedalam kurikulum pendidikan Jepang dan menuntut hak mereka dalam bentuk kompensasi dari pemerintah Jepang (Eka Hindra, 2007:289). Hal inilah yang menimbulkan rasa malu bagi bangsa Jepang sehingga menimbulkan keinginan untuk memperbaiki rasa malu tersebut.

Dari hal ini, dapat kita pahami bahwa budaya malu yang terdapat pada masyarakat Jepang adalah bagian dari budaya dalam arti sempit. Seperti yang dikatakan Ienaga Saburo dalam Dwianto (1991:4), bahwa kebudayaan dalam arti sempit meliputi ilmu pengetahuan, kesenian, agama, pemikiran, moral dan lain-lain.

Dari pemahaman yang telah diuraikan tersebut, jelas lah bahwa budaya malu yang telah tertanam dalam diri masyarakat Jepang sejak dahulu menjadi suatu pendorong timbulnya keinginan bangsa Jepang untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan cara meminta maaf dan memberikan ganti rugi kepada para korban Jugun Ianfu yang menderita pada masa penjajahan bangsa Jepang.

Berdasarkan keterangan dan penjelasan diatas, dapat kita pahami bahwa bangsa Jepang memiliki konsep budaya malu yang sangat unik dan berbeda


(21)

dengan bangsa-bangsa lain. Dan meneliti budaya malu pada masyarakat Jepang, artinya menelaah malu sebagai suatu kebudayaan. Hal inilah yang menjadi alasan sehingga penulis merasa tertarik untuk meneliti dan menuangkannya dalam bentuk skripsi dengan judul Realisasi Budaya Malu Masyarakat Jepang dilihat dari Pertanggungjawaban Bangsa Jepang terhadap Korban Jugun Ianfu di Indonesia Pasca Perang Dunia II”.

1.2. Perumusan Masalah

Budaya malu merupakan salah satu tema yang sangat menarik perhatian diantara sekian banyak tema tentang kebudayaan Jepang yang unik dan sangat beragam. Hal ini dapat dilihat dari konsep budaya malu yang sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Jepang. Bahkan beberapa teori mengatakan bahwa masyarakat Jepang merupakan masyarakat yang dikendalikan oleh budaya malu. Yang artinya standar untuk menentukan baik atau buruknya suatu tindakan adalah malu.

Sebagaimana yang telah kita ketahui, bahwa Jugun Ianfu merupakan sebutan bagi para wanita yang dijadikan budak seks dan pemuas nafsu para tentara Jepang selama penjajahannya di negara-negara Asia Pasifik terutama Indonesia pada masa Perang Dunia II. Mereka dipaksa untuk melayani para tentara Jepang tanpa dapat menolak, dan kejadian itu merupakan hal yang sulit untuk diterima oleh moral sosial para korban Jugun Ianfu tersebut.

Namun pemahaman atas konsep budaya malu tersebut diatas merupakan pemahaman yang menjadi dasar pemikiran bangsa Jepang untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya terhadap para korban Jugun Ianfu. Dan


(22)

direalisasikan dalam bentuk permintaan maaf dan ganti rugi terhadap para korban Jugun Ianfu tersebut.

Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana konsep budaya malu sebagai karakteristik masyarakat Jepang? 2. Bagaimana realisasi budaya malu masyarakat Jepang dalam

mempertanggungjawabkan perbuatannya terhadap para korban Jugun Ianfu di Indonesia pasca Perang Dunia II?

1.3. Ruang Lingkup Pembahasan

Untuk memudahkan dalam menganalisa topik permasalahan, penulis membatasi ruang lingkup pembahasan. Sehingga masalah yang akan dibahas lebih terarah.

Di dalam penelitian ini, pembahasan akan difokuskan pada penerapan budaya malu masyarakat Jepang dilihat dari pertanggungjawaban terhadap para korban jugun ianfu pasca Perang Dunia II yang diwujudkan dalam bentuk permintaan maaf dan memberikan ganti rugi terhadap para korban Jugun Ianfu. Selain itu, agar lebih jelas penulis juga menjelaskan konsep budaya malu yang tertanam di dalam diri masyarakat Jepang sebagai karakteristik bangsa Jepang.

1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.4.1. Tinjauan Pustaka

Budaya malu merupakan suatu konsep yang tertanam di dalam diri orang Jepang sejak dahulu kala. Konsep ini sangat berperan besar dalam mengontrol


(23)

atau mengendalikan pola hidup masyarakat Jepang. Konsep malu yang khas ini telah membentuk suatu pola tingkah laku yang memiliki karakteristik tersendiri dan berbeda dengan pola dalam masyarakat lain.

Sebuah filsuf konfusius kuno di Jepang mengatakan “kesalahan mendasar kita adalah mempunyai kesalahan dan tidak sudi memperbaikinya” (the real fault is to have faults and not to amend it). Setiap kali seorang Jepang membuat kesalahan fatal, karena malu ia akan menggugat diri dengan melakukan meditasi dan kemudian memperbaiki diri atau mengundurkan diri bahkan ada yang sampai bunuh diri karena mal

Ajaran Konfusianisme di Jepang sebagai falsafah hidup dijunjung tinggi sebagai panduan yang menjiwai identitas dan tanggung jawab tidak hanya dalam keseharian keluarga, tapi juga dalam keseharian bersosialisasi dengan masyarakat. Petuahnya dijunjung tinggi dan diwujudkan sebagai panduan perilaku bermasyarakat dalam memahami konsep respect dan rasa malu. Respect berarti tahu diri dan menghargai orang lain tidak hanya dalam keseharian keluarga, tetapi juga dalam berinteraksi dengan masyarakat. Dan rasa malu merupakan sebuah tolak ukur dalam menentukan kualitas seseorang. Mereka yang tidak memiliki rasa malu dianggap memiliki kualitas minimal (minimum quality of a human being).

Ruth Benedict (1989:223) mengatakan bahwa malu adalah suatu reaksi terhadap kritik orang lain. Seseorang merasa malu apabila ia dijadikan bulan-bulanan atau ditolak dihadapan orang lain, atau dengan membayangkan bahwa dirinya telah dijadikan bulan-bulanan. Dalam kasus manapun, malu merupakan sanksi yang berat. Namun malu mengharuskan adanya kehadiran orang lain, atau


(24)

setidaknya bayangan adanya kehadiran orang lain. Sementara rasa berdosa tidak memerlukan hal tersebut.

Sementara Sakuta menyatakan dengan lebih luas bahwa kita merasa malu tidak saja ketika dihadapkan pada penolakan dari orang lain. Baik itu merupakan penolakan maupun pujian, atau pada saat kita mendapatkan perhatian khusus dari orang lain kita juga akan merasakan malu. Menurut Sakuta dalam Raphaela Dwianto (1991:55-59), rasa malu mempunya pengaruh positif dan pengaruh negatif. Pengaruh malu yang bersifat positif adalah malu yang mendorong seseorang untuk melakukan suatu tindakan atau di sebut dengan jiko kenji. Sedangkan pengaruh malu yang bersifat negatif, adalah pengaruh malu yang mencegah seseorang dalam bertindak atau di sebut dengan sifat teishisei dan sifat

hikaeme. Serta dianggap sebagai dampak dari penerapan budaya malu masyarakat Jepang.

1.4.2. Kerangka Teori

Teori merupakan asas atau hukum-hukum umum yang menjadi dasar atau pedoman suatu ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, teori adalah aturan (tuntutan kerja) untuk melakukan sesuatu, menurut Moeliono dalam Sangidu (2007:13). Kerangka teori berfungsi sebagai pendorong berpikir deduktif yang bergerak dari alam abstrak ke alam konkret, suatu teori yang dipakai peneliti sebagai kerangka yang memberi pembahasan terhadap fakta-fakta konkret yang tidak terbilang banyaknya dalam kenyataan masyarakat yang harus diperhatikan.

Dalam penelitian ini digunakan pendekatan fenomenologis. Pendekatan fenomenologis merupakan pendekatan yang menekankan rasionalitas dan realitas


(25)

budaya yang ada serta berusaha memahami budaya dari sudut pandang pelaku budaya tersebut (Moleong, 1994:8). Dalam pendekatan fenomenologis, peneliti berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang dalam situasi tertentu.

Berbicara mengenai budaya malu dan jugun ianfu, erat sekali hubungannya dengan sejarah Jepang. Menurut Nazir (1988:55), sejarah adalah pengetahuan yang tepat terhadap apa yang telah terjadi. Sejarah adalah deskripsi yang terpadu dari keadaan-keadaan atau fakta-fakta masa lampau yang ditulis berdasarkan penelitian serta studi yang kritis untuk untuk mencari kebenaran. Maka dari itu, selain menggunakan pendekatan fenomenologis, penulis juga menggunakan pendekatan historis.

Penelitian sejarah merupakan penelitian yang bertujuan untuk membuat rekonstruksi masa lampau secara sistematis dan objektif, yang dilakukan dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi, mensintesis, memverifikasi bukti-bukti untuk menegakkan fakta-fakta, dan memperoleh kesimpulan yang kuat (Ginting, 2006:24). Penelitian dengan menggunakan pendekatan sejarah penyelidikan yang kritis terhadap keadaan-keadaan, perkembangan, serta pengalaman di masa lampau dan menimbang secara cukup teliti dan hati-hati tentang bukti validitas dari sumber sejarah serta interpretasi dan sumber-sumber keterangan tersebut. Dengan pemikiran tersebut, penulis akan berusaha mendeskripsikan bagaimana konsep budaya malu masyarakat Jepang dan wujudnya dalam pertanggungjawaban terhadap para korban jugun ianfu di Indonesia.


(26)

1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui secara jelas bagaimana konsep Budaya Malu sebagai karakteristik masyarakat Jepang

2. Untuk mendeskripsikan realisasi Budaya Malu masyarakat Jepang dalam konteks pertanggungjawaban terhadap para korban jugun ianfu di

Indonesia

2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk :

1. Menambah pengetahuan tentang Budaya Malu masyarakat Jepang

2. Menambah pemahaman tentang konsep Budaya Malu sebagai karakteristik masyarakat Jepang

3. Menambah referensi atau informasi untuk penelitian lain yang berhubungan dengan Budaya Malu masyarakat Jepang.

1.6. Metode Penelitian

Secara etimologis, metode berasal dari kata ‘met’ dan ‘hodes’ yang berarti melalui. Sedangkan istilah metode adalah jalan atau cara yang harus ditempuh untuk mencapai suatu tujuan. Sehingga 2 hal penting yang terdapat dalam sebuah metode adalah : cara melakukan sesuatu dan rencana dalam pelaksanaan. Menurut


(27)

Drs. Agum M. Hardjana, metode adalah cara yang sudah dipikirkan masak-masak dan dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah tertentu guna mencapai tujuan yang hendak dicapai

Metode penelitian merupakan salah satu hal yang sangat diperlukan dalam melakukan penelitian, yaitu untuk menunjang keberhasilan tulisan yang akan disampaikan penulis kepada pembaca. Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara alamiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Untuk itu, dalam pengerjaan penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif.

Metode deskriptif adalah suatu metode yang dipakai untuk memecahkan suatu masalah dengan cara mengumpulkan, menyusun, mengklasifikasikan, mengkaji dan menginterpretasikan data. Metode deskriptif termasuk dalam cakupan penelitian kualitatif. Menurut Moleong (2005:6), penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, dan dengan deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.

Menurut Koentjaraningrat dalam Exe Citra (2006:12), penelitian yang bersifat deskriptif yaitu memberikan gambaran yang secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu. Oleh karena itu, data-data yang diperoleh akan dikumpulkan, disusun, diklasifikasikan sekaligus dikaji dan kemudian diinterpretasikan dengan tetap mengacu pada sumber data dan informasi yang ada.


(28)

Penulis juga menggunakan metode studi kepustakaan. Studi kepustakaan merupakan studi aktivitas yang sangat penting dalam sebuah penelitian. Beberapa aspek yang yang perlu dicari dan diteliti meliputi masalah, teori, konsep dan penarikan kesimpulan. Dengan kata lain, studi kepustakaan adalah pengumpulan data dengan cara membaca buku-buku yang berkaitan dengan objek penelitian. Data yang diperoleh dari referensi tersebut akan dianalisa untuk dapat sitarik kesimpulan (Nasution, 1996:14).

Di samping itu, penulis juga memperoleh data-data dari beberapa situs di internet berkaitan dengan masalah yang akan diteliti. Seluruh data-data yang didapat baik dari proses studi kepustakaan maupun data internet, akan dianalisa dan kemudian diinterpretasikan untuk mendapatkan hasil berupa kesimpulan.


(29)

BAB II

KONSEP MALU BAGI MASYARAKAT JEPANG DAN SEJARAH JUGUN IANFU DI INDONESIA

2.1. Konsep Malu dalam Masyarakat Jepang

Menurut Ruth Benedict (1989:232), di dalam studi-studi antropologis mengenai berbagai kebudayaan, suatu masyarakat yang menganut norma-norma moralitas yang absolut dan mengandalkan dikembangkannya suatu nurani oleh para penganutnya adalah suatu kebudayaan rasa bersalah. Tetapi orang di dalam masyarakat yang demikian juga menderita karena rasa malu kalau ia menuduh dirinya sendiri dengan kekakuan-kekakuan yang sama sekali bukan dosa. Ia bisa merasa menyesal hanya karena tidak berbusana layak untuk suatu kesempatan, atau karena salah berbicara.

Dalam masyarakat dimana rasa malu merupakan sanksi utama, orang menyesali tindakan-tindakan yang oleh umum dianggap seharusanya membuat orang merasa bersalah. Penyesalan ini bisa mendalam sekali dan tidak dapat diperingan, seperti halnya rasa bersalah dapat diperingan dengan suatu pengakuan atau penebusan.

Masyarakat Jepang memiliki dua konsep malu yang menjadi tolak ukur pada setiap tindakan yang mereka lakukan, yaitu kouchi (malu umum) dan shichi

(malu khusus). Berikut ini penulis akan mengemukakan konsep malu kouchi dan konsep malu shichi.


(30)

2.1.1. Kouchi atau Malu Umum

Malu merupakan suatu reaksi psikologis. Dalam ilmu psikologi dikatakan bahwa reaksi timbul karena adanya suatu rangsangan, baik dari luar diri orang yang bersangkutan maupun dari dalam diri sendiri. Dalam bahasa Jepang, rangsangan yang berasal dari luar diri orang yang bersangkutan disebut bersifat

gaimenteki sedangkan yang berasal dari dalam diri sendiri disebut bersifat

naimenteki.

Rasa malu adalah reaksi terhadap kritik yang dilancarkan orang lain. Orang dibuat malu kalau secara terbuka diperolokkan dan ditolak, atau kalau dia membayangkan dirinya seakan diperolokkan. Dalam kedua hal itu rasa malu merupakan sanksi yang kuat. Tetapi hal itu memerlukan suatu hadirin, atau setidaknya hadirin dalam khayalan orang (Ruth Benedict, 1989:233).

Ruth Benedict (1989:105) juga menjelaskan bahwa malu akan muncul apabila seseorang tidak mampu menunaikan kewajibannya dengan baik. Oleh sebab itu, bangsa Jepang memiliki banyak kata yang artinya kewajiban. Dan kewajiban itu mencakup utang seseorang dari yang paling besar sampai yang paling kecil, yaitu on. On berarti suatu hutang atau suatu beban yang harus ia pikul sebaik mungkin.

Hal tersebut juga dikuatkan oleh skema kewajiban-kewajiban bangsa Jepang dan pemenuhannya yang dipaparkan oleh Ruth Benedict (1989:125), yang isinya antara lain:

I. On : kewajiban-kewajiban yang timbul secara pasif. Seseorang menerima on ; seseorang mengenakan on. Artinya : on adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh si penerima yang pasif.


(31)

ko on : on yang diterima dari kaisar.

oya on : on yang diterima dari orang tua.

nushi no on : on yang diterima dari majikan atau tuan.

shi no on : on yang diterima dari guru.

II. Pemenuhan on. Si penerima on membayar kembali utang-utang ini; ia memenuhi kewajiban-kewajiban ini terhadap orang –on nya. Artinya : ini adalah kewajiban yang dilihat dari sudut pembayaranya kembali secara aktif. Ada dua jenis pemenuhan on :

A. Gimu : Pembayaran kembali yang maksimal pun dari kewajiban ini dianggap masih belum cukup, dan tidak ada batas waktu pembayarannya.

chu : kewajiban terhadap kaisar, hukum dan negara.

ko : kewajiban terhadap orang tua dan nenek moyang.

nimmu : kewajiban terhadap pekerjaan seseorang

B. Giri : Utang-utang ini wajib dibayar dalam jumlah yang tepat sama dengan kebaikan yang diterima, dan ada batas waktu pembayarannya.

1. Giri terhadap dunia.

- Kewajiban terhadap tuan pelindung. - Kewajiban terhadap sanak keluarga jauh.

- Kewajiban terhadap orang-orang bukan keluarga karena on

yang diterima dari mereka, misalnya hadiah uang, suatu kebaikan, pekerjaan yang mereka sumbangkan (dalam suatu kelompok kerja).


(32)

- Kewajiban terhadap keluarga yang tidak begitu dekat (paman, bibi, kemenakna pria dan wanita) walaupun on yang diterima bukan berasal dari mereka, melainkan dari nenek moyang yang sama.

2. Giri terhadap nama seseorang. Ini adalah versi Jepang dari die Ehre.

- Kewajiban seseorang untuk membersihkan reputasinya dari penghinaan atau tuduhan atas kegagalan, yaitu kewajiban membalas dendam.

- Kewajiban seseorang untuk tidak menunjukkan atau mengakui kegagalan atau ketidaktahuannya dalam melaksanakan jabatannya.

- Kewajiban seseorang untuk mengindahkan sopan santun Jepang, misalnya melaksanakan semua perilaku ketakziman, tidak hidup diatas tempatnya yang sesuai, mengekang pengungkapan emosi pada kesempatan atau suasana yang tidak cocok, dan seterusnya.

Dari paparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa malu merupakan suatu reaksi yang timbul akibat adanya rangsangan berupa kritik dan sejenisnya dari orang lain.

Ruth Benedict (1989:233) juga menyebutkan bahwa kebudayaan yang benar-benar berdasarkan rasa malu, mengandalkan sanksi ekstern untuk tingkah laku yang baik, dan tidak seperti pada kebudayaan yang benar-benar berdasarkan rasa bersalah, yang mengandalkan keyakinan intern tentang dosa.


(33)

2.1.2. Shichi atau Malu Khusus

Pada dasarnya malu akan timbul ketika seseorang mendapat kritik dari orang lain. Akan tetapi, bagi masyarakat Jepang rasa malu juga akan timbul pada saat ia mendapat pujian. Seperti yang dikatakan Sakuta dalam Raphaela Dwianto (1991:14), kita merasa malu hanya ketika kita dihadapkan pada penolakan dari orang lain. Baik itu merupakan penolakan maupun pujian, pada saat kita mendapat perhatian khusus dari orang lain pun, kita akan merasa malu.

Dari pernyataan Sakuta tersebut dapat kita simpulkan bahwa selain kritik, perhatian khusus dari orang lain juga dapat menimbulkan malu dalam diri orang Jepang. Hal inilah yang disebut shichi atau malu khusus. Namun, muncul atau tidaknya shichi pada diri seseorang tergantung pada bagaimana ia menempatkan keberadaannya.

Munculnya shichi atau malu khusus dalam diri seseorang diakibatkan oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam diri orang tersebut. Berikut ini merupakan dua faktor yang menyebabkan munculnya shichi dalam diri orang Jepang, yaitu

Shikou no Kuichigai dan Yuretsu Kijun. 1. Shikou no Kuichigai

Shikou no Kuichigai ialah salah pengertian atau salah paham. Shikou no Kuichigai merupakan faktor yang muncul dari dalam diri orang yang bersangkutan yang disebut juga dengan naimenteki. Faktor ini muncul akibat dari adanya perhatian khusus dari pihak lain, sehingga timbul rasa malu di dalam diri orang yang bersangkutan.

Max Scheler dalam Raphaela Dwianto (1991:16-17) mengemukakan pendapatnya sebagai berikut:


(34)

Manusia digolongkan sebagai eksistensi universal dan eksistensi partikular. Pada saat anda mengharap dilihat sebagai manusia universal, meskipun orang lain memperhatikan anda sebagai eksistensi tersebut, anda tidak akan merasa malu (dalam kasus pragawati atau pasien). Di lain pihak, pada saat anda mengharapkan dilihat sebagai individu, dan anda diperhatikan seperti yang anda harapkan, maka akan sama halnya (dalam kasus sepasang kekasih).

Dari pendapat Max Scheler tersebut, dapat kita tarik kesimpulan bahwa eksistensi seseorang dapat dilihat sebagai suatu eksistensi universal dan eksistensi

partikular. Ketika seseorang berada pada eksistensi universal, maka orang lain akan menilainya sebagai sesuatu yang umum. Dan ketika seseorang berada pada eksistensi partikular, orang lain akan menilainya sebagai sesuatu yang khusus.

Ketika berada di dalam dua golongan eksistensi ini, seseorang akan menjadi individu dan orang lain dalam dua posisi yang berbeda. Seseorang tidak akan merasa malu selama tidak terjadi kesalah pahaman dalam menilai eksistensi ini. Sebagai contoh, dapat kita lihat dalam kasus pragawati. Mereka tidak akan malu berjalan di atas panggung meskipun ditatap oleh ratusan orang. Hal ini terjadi akibat adanya kesadaran bahwa pada saat itu mereka berada dalam eksistensi universal dan orang-orang yang melihat mereka pun menempatkan dan menganggap mereka sebagai suatu eksistensi universal. Sebagai contoh lain, dapat kita lihat dalam suatu pasangan. Seseorang tidak akan merasa malu ketika pasangan nya memberikan perhatian khusus. Orang tersebut akan menempatkan dirinya dalam eksistensi partikular dan pasangannya tersebut juga melihatnya dalam eksistensi partikular.

Namun, tidak jarang juga terjadi kesalah pahaman dalam diri seseorang ketika berada di dalam eksistensi ini yang menyebabkan timbulnya rasa malu di dalam diri orang tersebut.


(35)

Hal ini dapat kita lihat pada kasus seorang pasien yang canggung atau malu ketika memeriksakan dirinya ke dokter. Pada dasarnya, setiap dokter akan menempatkan dirinya kedalam eksistensi universal. Namun beberapa pasien menempatkan dirinya ke dalam eksistensi partikular. Kesalah pahaman seperti inilah yang biasanya akan menimbulkan rasa malu.

Dari sini dapat kita lihat bahwa shiko no kuichigai merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan rasa malu bagi orang Jepang. Dan dapat kita simpulkan bahwa malu yang timbul merupakan malu yang berasal dari dalam diri orang yang bersangkutan yaitu shichi.

2. Yuretsu Kijun

Yuretsu Kijun merupakan faktor kedua yang dapat menimbulkan shichi. Yaitu standarisasi yang digunakan oleh orang Jepang untuk membandingkan diri sendiri dengan orang lain.

Di dalam yuretsu kijun, terdapat dua golongan standar yang selalu digunakan orang Jepang yaitu superior dan inferior. Superior merupakan makna yang menyatakan lebih baik daripada orang lain, sedangkan inferior ialah makna kurang atau lebih rendah dibandingkan orang lain. Dengan adanya yuretsu kijun, seseorang akan masuk ke dalam golongan superior atau inferior.

Sakuta dalam Raphaela Dwianto (1991:22) berpendapat bahwa selain berlaku secara umum di masyarakat luas, yuretsu kijun juga berlaku secara khusus dan bersifat pribadi. Berikut pernyataan Sakuta mengenai hal tersebut:

Akan tetapi, standar superior dan inferior yang menjadi dasar timbulnya malu ini tidak selalu merupakan standar yang berlaku di dalam kelompok di mana seseorang menjadi anggotanya. Ada pula standar yang lebih luas (misalnya kelas, etnis). Kemudian bila standar ini berbeda dari standar kelompok, maka standar


(36)

Dari pernyataan Sakuta diatas, dapat kita lihat bahwa yuretsu kijun

menjadi dasar timbulnya malu. Berbeda dengan Benedict yang dalam konsepnya tidak menjelaskan adanya standar tertentu yang dipakai masyarakat dalam mengkritik seseorang, Sakuta di sini secara jelas menagatakan bahwa adanya

yuretsu kijun yang digunakan dalam menilai kadar superior dan inferior seseorang, yang kemudian menjadi dasar bagi timbulnya malu di dalam diri orang tersebut.

Di sini dapat kita lihat dengan jelas bahwa shichi yang melibatkan yuretsu kijun ini, rangsangannya berasal dari dalam diri orang yang bersangkutan. Dan hal inilah yang membedakannya dari kochi yang proses timbulnya hanya dikaitkan dengan faktor rangsangan dari luar diri orang tersebut.

Konsep malu umum atau kochi yang dikemukakan oleh Ruth Benedict bahwa rasa malu timbul karena adanya rangsangan berupa kritik dari masyarakat, menurut Sakuta belum cukup untuk menimbulkan gejala malu. Dasar bagi timbulnya malu adalah adanya perhatian dari orang lain. Perhatian ini melibatkan adanya shikou no kuichigai dan yuretsu kijun. Sakuta menegaskan bahwa di balik segala kritik dan ejekan orang lain, terdapat hal yang lebih mendasar yang dapat menimbulkan malu yaitu perhatian dari orang lain.

2.2. Kouchi, Shichi dan Fungsi Malu dalam Masyarakat Jepang 2.2.1. Kouchi dan Shichi dalam Keluarga

Bangsa Jepang dikenal sebagai bangsa yang tekun, ulet, disiplin dan berdedikasi tinggi. Karakteristik bangsa Jepang ini tidak diperoleh secara instan, melainkan melalui proses pengajaran yang turun temurun dari orang tua ke anak


(37)

untuk kemudian diwariskan ke cucu dan keturunan selanjutnya. Keluarga menjadi tempat pendidikan awal bagi anak sebelum memasuki masyarakat yang lebih luas. Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang peranan nya sangat besar. Peranan yang sangat besar itu disebabkan oleh karena keluarga mempunyai fungsi yang sangat penting di dalam kelangsungan hidup bermasyarakat. Fungsi yang sangat penting itu terutama dijumpai pada peranannya untuk melakukan sosialisasi, yang bertujuan untuk mendidik warga masyarakat agar memenuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang dianut, untuk pertama kalinya diperoleh dalam keluarga. Seperti yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto (1992:40) bahwa pola perilaku yang benar dan tidak menyimpang untuk pertama kalinya dipelajari dari keluarga.

Keluarga juga merupakan tempat pertama bagi seorang anak untuk belajar mengenal lingkungan di sekitarnya. Selain itu, keluarga juga menekankan nilai-nilai dan pendidikan moral dengan maksud agar anak tersebut dapat bergaul dan diterima dengan baik di lingkungan masyarakat. Hal ini sesuai dengan yang dipaparkan oleh Ruth Benedict (1989:280) bahwa pembelajaran budaya malu dimulai dari sikap sopan dalam hal duduk melipat kaki, adab membungkuk, adab anak perempuan dalam hal tidur, adab sopan di meja makan, dan adab memegang sumpit, bahkan juga adab bertindak dalam pengetahuan pertamanya dalam ilmu seksologi.

Pada umumnya, seorang individu akan berusaha semampunya untuk meraih prestasi maksimal pada masa remaja. Karena, ketika seorang individu tersebut berada pada tahap pendidikan sekolah dasar, ia telah diajarkan mengenai kompetisi dalam belajar dan nilai-nilai religius. Dan akan timbul rasa malu bagi


(38)

keluarganya apabila si anak tersebut memiliki kebiasaan buruk di sekolah yang menyebabkan prestasinya kurang memuaskan. Sehingga ketika ia sudah dewasa, apabila cita-cita yang ia harapkan tidak tercapai, akan timbul rasa malu di dalam diri individu tersebut.

Menurut Ruth Benedict (1989:225), kaitan keluarga dengan budaya malu ialah, keluarga mengatas namakan rasa malu pada proses pembelajaran norma dan kaidah kehidupan. Maka dari itu, keluarga yang pada dasarnya dipimpin oleh orang tua, berperan aktif dalam menanamkan rasa malu pada setiap keluarganya. Seperti pengenalan displin waktu belajar dan bermain, penanaman prinsip bahwa seorang anak akan malu akibat menangis, dan pemahaman konsep yang mengajarkan bahwa anak laki-laki lebih berkuasa dari anak perempuan.

Sesuai dengan pembahasan sebelumnya, shichi atau malu khusus yang berhubungan erat dengan shikou no kuichigai dan yuretsu kijun, merupakan hal yang sangat mempengaruhi ada tidaknya rasa malu dalam diri seorang individu pada saat berada dalam lingkungan keluarga. Selain itu Sakuta dalam Raphaela Dwianto (1991:35) juga menyebutkan bahwa kedudukan keluarga dalam masyarakat sangat lemah. Pada umumnya, ketika salah seorang anggota keluarga diadili oleh masyarakat, keluarga tidak akan melindungi anggotanya tersebut bahkan ikut mengadilinya. Hal ini terjadi akibat keluarga merasa anggota tersebut pantas untuk menerima hukuman, karena dianggap telah membuat malu keluarganya di mata masyarakat.

Dari sini dapat kita lihat bahwa keluarga tidak dapat menolak penilaian masyarakat dan tunduk pada tuntutan masyarakat. Dan jelas bahwa kedudukan keluarga adalah lemah diantara masyarakat. Hal ini membawa pengaruh


(39)

psikologis bagi anggota keluarga dan dianggap sebagai sifat mengarah keluar atau

gaimenteki, berupa standarisasi penilaian pihak lain.

Sifat gaimenteki ini akan menimbulkan perasaan di dalam diri anggota keluarga bahwa dirinya tidak memiliki arti penting dan muncul rasa kesepian. Dan pada situasi seperti ini biasanya akan mudah timbul kesalah pahaman akibat terlalu pekanya perasaan individu tersebut terhadap perhatian dari orang lain yaitu yang disebut dengan shikou no kuichigai dan juga akan berlanjut kearah sifat

yuretsu kijun di dalam dirinya.

2.2.2. Kouchi dan Shichi dalam Masyarakat

Pada masyarakat Jepang, proses sosialisasi dirasakan sangat penting karena dalam sudut pandang kemasyarakatan, hal itu dilakukan untuk menjaga agar masyarakat terus memiliki anggota yang berkualifikasi (Lebra, 1976;137). Berkualifikasi maksudnya adalah mengerti dan mampu menjalankan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakatnya untuk kemudian menjadikannya sebagai identitas diri atau karakter.

Masyarakat luas dalam bahasa Jepang diartikan sebagai taishu shakai. Tadashi Fukutake (1988:116) mendefenisikan taishu shakai sebagai berikut :

Taishu shakai mengacu kepada masyarakat yang beranggotakan sejumlah besar individu. Individu-individu di dalam masyarakat tersebut saling terpisah, tidak membentuk organisasi yang satu dan menyeluruh secara erat. Tidak terdapat ikatan erat antar individu. Tiadanya hubungan erat ini menyebabkan rasa kesepian dan rasa tidak aman di dalam diri individu.

Masyarakat taishu shakai muncul di Jepang sekitar tahun 1920-an, tepatnya setelah Perang Dunia I berakhir menjelang timbulnya fasisme Jepang. Dan masyarakat taishu shakai ini semakin berkembang pesat setelah Perang


(40)

Dunia II berakhir yang juga merupakan awal mula pendudukan Amerika Serikat, dan terus berlangsung hingga saat ini.

Masyarakat taishu shakai merupakan masyarakat yang tidak memiliki ikatan emosional yang erat antar individu. Hubungan yang sering terjadi di antara individu hanya hubungan formal yang tidak akrab. Di dalam masyarakat taishu shakai juga tidak terdapat satu tradisi atau adat istiadat yang yang sama (Soerjono Soekanto, 1985:26). Hal inilah yang merupakan penyebab tidak dapat terjalinnya hubungan erat antar individu.

Seperti pendapat Tadashi Fukutake tersebut diatas, individu dalam masyarakat taishu shakai tidak saling memiliki hubungan yang erat satu sama lain. Tidak adanya ikatan erat ini menyebabkan seseorang menjadi peka terhadap pandangan individu-individu lain yang ada di sekitarnya. Adanya pandangan atau perhatian dari orang lain, akan menyebabkan seseorang menempatkan dirinya pada eksistensi universal atau partikular yang menimbulkan munculnya shiko no kuichigai dan berakhir dengan timbulnya gejala malu.

Dalam masyarakat taishu shakai terdapat suatu sistem sosial masyarakat yang mutlak, yaitu seorang individu hanya ditempatkan sebagai salah satu bagian yang sangat kecil di dalam mekanisme sosial yang sangat besar. Sehingga menimbulkan rasa kesepian dan ketidakberdayaan di dalam diri individu tersebut. Rasa kesepian dan ketidakberdayaan ini yang menyebabkan seorang individu akan sangat peka terhadap perhatian orang lain. Sehingga timbul lah shiko no kuichigai dan yuretsu kijun yang secara mutlak akan menimbulkan rasa malu di dalam diri individu tersebut.


(41)

2.2.3. Fungsi Malu dalam Masyarakat Jepang

Malu bagi bangsa Jepang memiliki fungsi yang sangat penting dan sangat mempengaruhi karakteristik masyarakatnya sendiri. Secara umum, fungsi malu di dalam mayarakat Jepang terbagi menjadi 2 yaitu fungsi malu yang bersifat aktif dan fungsi malu yang bersifat pasif.

1. Fungsi Aktif

Fungsi malu berhubungan erat dengan status dan peran. Fungsi aktif yang dimaksud di sini adalah fungsi malu yang dapat mendorong seorang individu untuk melakukan suatu tindakan berdasarkan status dan peran nya di dalam masyarakat sekitarnya. Sebagai mana pendapat yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto (1990:264) bahwa di dalam setiap kalangan masyarakat, setiap anggotanya memiliki status dan peran masing-masing. Pembagian status dan peran ini sangat perlu untuk mempertahankan tatanan masyarakat, dan menghindarkan kemungkinan timbulnya kekacauan dalam masyarakat.

Dilihat dari defenisi nya, status dan peran hampir memiliki pengertian yang sama. Yaitu posisi atau kedudukan seseorang di mata masyarakat. Namun jika kita mengamatinya lebih dalam, status dan peran memiliki pengertian spesifik yang berbeda. Status merupakan kedudukan seorang individu di dalam masyarakatnya. Contohnya, status sebagai walikota, status sebagai bupati, status sebagai guru dan sebagainya. Sedangkan peran merupakan pola tindakan seorang individu dalam berinteraksi dan lebih tepatnya membantu masyarakat di sekitarnya. Sebagai contohnya dapat kita lihat seorang polisi. Seorang polisi pada hakekatnya merupakan seseorang yang berperan besar dalam menolong dan melindungi masyarakat. Seorang polisi diharapkan dapat menolong masyarakat


(42)

dalam memberantas kejahatan, menertibkan lalu lintas dan sebagainya sesuai dengan statusnya sebagai seorang polisi. Hal ini dikuatkan oleh pendapat Soerjono Soekanto (1985:37) bahwa status adalah posisi seseorang di dalam suatu sistem sosial masyarakat, sedangkan peran adalah pola perilaku yang berhubungan dengan dengan status orang tersebut.

Bagi masyarakat Jepang, peran lebih dipentingkan daripada status, meskipun status tetap memiliki nilai tersendiri. Setiap individu di Jepang selalu dituntut untuk bertingkahlaku sesuai dengan perannya. Hal ini mengakibatkan orang Jepang menjadi sangat peka terhadap penilaian masyarakatnya. Mereka akan selalu bertindak sesuai dengan peran yang dituntut oleh masyarakatnya. Seseorang yang tidak menjalankan perannya sesuai dengan tuntutan masyarakat, akan dikritik bahkan ditolak oleh masyarakatnya. Kritikan dan penolakan oleh masyarakat seperti ini akan menimbulkan gejala malu dalam dirinya, karena telah gagal menjalankan perannya sebagaimana yang telah dituntut oleh masyarakatnya.

Dengan demikian, malu menjadi semacam motivasi bagi seseorang untuk sedapat mungkin bertindak memenuhi perannya sesuai dengan tuntutan masyarakat di sekitarnya. Sehingga, orang tersebut akan berusaha bertindak sesuai dengan apa yang menjadi tuntutan masyarakat terhadap dirinya dengan mewujudkannya ke dalam perannya di lingkungan bermasyarakat untuk menghindari kritikan dan penolakan seperti yang telah disebutkan diatas. Maka, fungsi malu yang bersifat aktif adalah fungsi malu yang menjadi motivasi dan mendorong seseorang untuk melakukan tindakan sesuai perannya dan menjalankannya dengan ideal sebagaimana seperti yang diharapkan oleh masyarakat di sekitarnya.


(43)

2. Fungsi Pasif

Di dalam kehidupan bermasyarakat, seorang individu biasanya memiliki sifat menonjolkan diri untuk menunjukkan keberadaan serta perannya kepada orang-orang di sekitarnya. Orang tersebut biasanya akan berusaha menonjolkan kemampuan intelektualnya yang berguna bagi masyarakat di sekitarnya, sehingga masyarakat akan sadar dengan eksistensi orang tersebut. Misalnya, seorang guru akan selalu bersikap ramah dan berusaha berbicara secara formal kepada orang-orang di sekitarnya. Sehingga orang-orang-orang-orang disekitarnya tersebut akan sangat menghormati dan menjadikannya sebagai peran yang patut untuk dipanuti.

Seorang individu juga akan menghindari kritikan dari orang lain yang akan menimbulkan gejala malu dengan sifat menonjolkan diri tersebut. Ia akan menunjukkan kepada orang lain bahwa ia sedang berusaha atau telah mencapai suatu prestasi tertentu, untuk memenuhi perannya ditengah-tengah masyarakat.

Akan tetapi, sifat menonjolkan diri yang berlebihan akan menyebabkan seorang individu menjadi sumber perhatian dan menimbulkan kesan negatif bagi orang lain. Perhatian orang lain seperti ini akan menimbulkan rasa malu. Begitu juga dengan orang lain yang melihatnya. Orang yang melihat tersebut akan menghindari perbuatan serupa karena khawatir akan mendapat malu dan akhirnya akan menahan tindakan-tindakan yang bersifat terlalu menonjolkan diri.

Oleh karena itu, dari sini dapat kita lihat bahwa malu juga memiliki fungsi pasif yaitu sebagai penahan tindakan seseorang dalam menonjolkan dirinya secara berlebihan (Keiichi Sakuta dalam Raphaela Dwianto, 1991:55). Fungsi malu seperti ini yang merupakan pembentuk karakteristik bangsa Jepang yang selalu berusaha menahan diri dan rendah diri.


(44)

2.3. Sejarah Jugun Ianfu

2.3.1. Peran Wanita Pada Masa Pendudukan Jepang di Indonesia

Jepang semasa Perang Dunia II memiliki sesuatu yang kompleks dalam kemajuan industrinya, yaitu kemajuan industri berjalan seiring dengan dipertahankannya apa yang disebut-sebut sebagai tradisi khas. Hal ini berarti bahwa meskipun jepang berhasil mengadopsi kemajuan industri barat, tetapi tidak segala-galanya pikiran barat dipakai. Jepang tetap feodal,otoriter dan fasis. Tetapi sejalan dengan itu, industri Jepang terus merangsak maju dan persenjataan modern juga dimiliki, sehingga dimata dunia Jepang telah menjadi kekuatan baru yang patut diperhitungkan.

Negeri Jepang yang pada satu sisi berhadapan dengan Sekutu, dan pada sisi yang lain dihantam oleh kontradiksi tajam di lingkungan internalnya terutama oleh kekuatan industri dan konservatisme feodal, pada dasarnya telah menampakkan corak rejim fasis yang vulgar. Franz Magnis (1995:27) mengatakan bahwa kekuasaan militer yang mutlak, cara memerintah yang totaliter dan genangan ideologi nasionalisme yang kental, merupakan sejumlah bukti dari fasisme Jepang. Realitas perwatakan Jepang yang demikian merupakan ancaman yang paling nyata bagi rakyat jajahannya. Tragedi kehidupan yang menimpa rakyat tersebut pada dasarnya mengenai siapa saja, tua-muda, laki-laki atau perempuan, tentu saja dengan skala dan bentuk yang berbeda-beda.

Segi yang menimbulkan ironi adalah bahwa apa yang secara faktual berlangsung, dalam kenyataannya tidak semua dapat hadir berimbang dalam fakta sejarah. Apa yang cenderung hadir adalah adanya bias gender yang menyebabkan tempat bagi kaum laki-laki lebih besar daripada kaum perempuan. Kehadiran


(45)

peran kaum perempuan di masa pendudukan Jepang sangat kecil. Hal ini tampaknya seiring dengan pandangan yang sangat umum yang melihat bahwa dunia perang dan perjuangan adalah wilayahnya kaum laki-laki, sedangkan kaum perempuan hanyalah penjaga rumah atau pengasuh anak-anaknya.

Setiap perang senantiasa berisi heroisme, kekuatan, kejantanan, dan semua atribut yang dikonstruksikan sebagai sifat laki-laki. Artinya, perang merupakan bagian atau dunia untuk kaum laki-laki, dan perempuan hanya menjadi pelengkap atau pendukung yang bisa aktif maupun pasif. Keterlibatan kaum perempuan dalam perang, lebih merupakan suatu keterlibatan yang ‘dijatahkan’, ketimbang suatu keterlibatan yang memang harus dipikulnya.

‘Penjatahan’ tersebut merupakan gambaran hidup bagi perempuan sebagai kaum ‘rendahan’, yaitu mereka yang mengisi lapisan bawah struktur. Fakta sejarah menggoreskan bahwa kaum perempuan dikerahkan untuk kepentingan dua hal. Yang pertama, diperbantukan bagi keperluan organ-organ resmi Jepang, dan diperas tenaganya dalam pekerjaan-pekerjaan massal, maupun pekerjaan yang lazim dikatakan sebagai pekerjaan perempuan, seperti menjadi pembantu rumah tangga, bekerja sebagai pelayan, dan lain-lain.

Yang kedua, untuk keperluan biologis balatentara jepang yaitu sebagai ‘wanita penghibur’. Hal tersebut, pada dasarnya adalah suatu pengerahan kaum perempuan, yang diproyeksikan sebagai pemuas nafsu seks orang jepang yang ada di negara jajahan nya pada masa pendudukan tersebut, baik kalangan militer maupun sipil. Apa yang di hadirkan oleh pemerintahan pendudukan tersebut tidak lain dari suatu praktek prostitusi, yang dikelola secara gelap.


(46)

Praktek kedua inilah yang pada dasarnya menempatkan kaum perempuan dalam posisi yang paling tidak beruntung, dan merupakan suatu tindakan yang menjadi dalih lahirnya praktek Jugun Ianfu.

Jugun Ianfu atau ‘wanita penghibur’ adalah sebuah konsep yang belakangan ini berkembang, yang menunjuk kepada setiap wanita yang dinyatakan sebagai korban nafsu tentara Jepang selama masa pendudukan di daerah-daerah jajahannya.

2.3.2. Peristiwa Terjadinya Jugun Ianfu

Jugun Ianfu adalah sebutan atau istilah untuk perempuan-perempuan Asia yang direkrut oleh pemerintah Jepang pada masa pendudukannya semasa Perang Dunia II untuk dijadikan budak nafsu seksual bala tentara Jepang. Diperkirakan 200 sampai 400 ribu perempuan Asia berusia 13 hingga 25 tahun dipaksa menjadi budak seks tentara Jepang

Sebenarnya hingga sekarang ini belum ada suatu kesepakatan bulat atas konsep Jugun Ianfu ini. Menurut Hartono dan Juliantoro (1997:81-82), setidaknya ada dua pendapat mengenai Jugun Ianfu ini. Satu pendapat menyatakan bahwa

Jugun Ianfu adalah pelacur pada masa pendukan Jepang. Pelacur disini bermakna sebagai kaum perempuan yang memiliki profesi sebagai pekerja seks, tetapi dalam hal ini melakukan secara khusus kepada orang-orang Jepang selama masa pendudukan di negeri jajahannya tersebut.

Pada dasarnya penjajah memang bertujuan untuk meraih keuntungan dari negara yang dijajah. Begitu pula yang dilakukan oleh pemerintah Jepang pada masa jajahannya. Mereka mengeruk segala hasil bumi bahkan memanfaatkan


(47)

perempuan-perempuan dari negara jajahannya sebagai pelampiasan nafsu. Fenomena ini telah meninggalkan trauma sosial yang dalam bagi negara-negara bekas jajahan Jepang.

Sebagian besar masyarakat yang mengetahui adanya keterlibatan perempuan, khususnya mereka yang dimasukkan ke dalam sebuah rumah bordil (khusus Jepang), tidak melihat bahwa keberadaan Jugun Ianfu sebagai akibat dari sebuah sistem penjajahan. Dalam hal ini mayarakat tidak percaya bahwa praktek yang dilakukan oleh para perempuan tersebut merupakan suatu tindakan yang sama sekali tidak dikehendaki, suatu tindakan paksa yang tidak bisa ditolak. Terlebih lagi posisi sosial,ekonomi dan politik mereka sangat lemah.

Pendapat lain mengatakan bahwa Jugun Ianfu adalah keseluruhan perempuan yang menjadi korban nafsu seks bangsa Jepang (apakah itu bala tentara Jepang ataupun aparat sipil dari pemerintah Jepang tersebut). Pandangan ini sendiri, justru banyak berkembang di kalangan masyarakat Jepang sendiri, terutama mengacu kepada berbagai protes yang telah dilancarkan oleh kelompok masyarakat yang memberikan dukungan kepada eks Jugun Ianfu, khususnya dari Korea, Filipina, Singapura, Cina maupun Indonesia.

Hadirnya konsep Jugun Ianfu ini, bukan saja berat bagi pihak yang akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut, tetapi juga bagi mereka yang mengalami atau telah dipaksa menjadi Jugun Ianfu. Masalahnya tidak semata-mata pada penderitaan, kesakitan fisik dan mental, bukan hanya pada kekerasan, bukan hanya pada kekasaran kata, bukan hanya kemiskinan yang mereka alami ketika itu, tetapi lebih-lebih kepada masa depan. Dalam situasi di mana Jugun Ianfu diidentikkan sebagai suatu pelacuran, dimana secara faktual mereka


(48)

melakukan suatu hubungan seksual dengan bangsa Jepang ketika itu, maka yang menjadi masalah adalah bahwa kejadian itu akan sangat sulit diterima oleh moral sosial. Membuka masa lalu dirasakan sama artinya dengan kembali kepada masa silam, yang dianggap hina dan tidak diterima oleh masyarakat.

Mereka yang pada masa pendudukan Jepang menjadi Jugun Ianfu adalah perempuan yang berpendidikan rendah, bahkan ada pula yang tidak berpendidikan. Faktor pendidikan ini, dalam banyak hal sangat berpengaruh kepada kemampuan mereka untuk mengakses pengetahuan dan juga kemauan mereka untuk mengakses informasi yang lebih luas. Oleh karena itu tampak behwa mereka adalah kaum perempuan yang bodoh, patuh atau bersedia dilakukan dengan semena-mena.

Selain itu, kebanyakan dari para Jugun Ianfu adalah kaum perempuan dari desa, yang secara ekonomi dapat dikatakan berada di level bawah/ miskin (Hartono dan Juliantoro, 1997:89). Sebagian masih gadis, malah ada yang di bawah umur, ada pula yang sudah punya suami dan bahkan ada pula yang sudah punya anak. Dilihat dengan moral sosial, mereka dapat dikategorikan sebagai ‘perempuan baik-baik’, yang punya hubungan sosial yang baik dengan keluarga.

Rekrutmen jugun ianfu biasanya dilakukan dengan adanya keterlibatan pihak-pihak tertentu, yang kebanyakan adalah aparat desa yang mempunyai akses langsung untuk suatu mobilisasi. Dari kedekatan hubungan dengan para calon

jugun ianfu, maka pihak pengumpul atau pencari dapat dibedakan dalam : pihak yang punya hubungan dekat, seperti teman, tetangga, kenalan atau orang yang sudah dikenal; dan orang atau pihak yang sama sekali tidak dikenal, biasanya orang Jepang langsung.


(49)

Dilihat dari polanya, maka tampak dalam rekrutmen jugun ianfu ini, relasi-relasi sosial yang ada dimanfaatkan untuk mempermudah proses pengerahan. Adanya pihak-pihak ini membuat proses rekrutmen berjalan cukup lancar, karena masing-masing unsur dari pihak pengumpul ini memiliki akses tersendiri pada kaum perempuan, baik di desa maupun di kota.

Para wanita direkrut dengan alasan akan dijadikan penari atau penyayi di negeri Jepang. Secara sederhana, mereka terbuai oleh iming-imingan pemerintah Jepang tersebut, atau dalam kasus tertentu dipaksa oleh orang tua mereka yang harus tunduk pada pemerintah pendudukan tentara Jepang. Bahkan jika para wanita tersebut tetap bersikeras untuk menolak, mereka akan dibawa secara paksa. Seperti yang dikatakan oleh Koichi Kimura (2007:240) bahwa, ada tiga cara perekrutan yang dilakukan oleh pemerintah militer Jepang terhadap perempuan yang akan dijadikan jugun ianfu antara lain:

1. Pemaksaan melalui kekerasan fisik

2. Pemaksaan dengan jalan menyebarkan perasaan takut dan ancaman disertai terror yang merupakan kekerasan psikologi.

3. Pemaksaan dengan cara tipu daya dengan iming-iming akan diberikan pekerjaan dan janji untuk disekolahkan.

Setelah dikumpulkan, kaum perempuan yang akan dipekerjakan akan diseleksi. Mereka yang dinilai ‘layak’ untuk dipekerjakan sebagai jugun ianfu-lah yang akan diambil. Sedangkan yang dinilai tidak sehat atau ‘tidak layak’ pada umumnya akan dipekerjakan ditempat lain. Tempat lain yang dimaksud disini dapat berupa rumah makan, tempat hiburan, hotel atau di rumah tangga seorang pembesar militer. Sedangkan tempat penampungan utama dari mereka yang


(50)

dianggap ‘sehat’ untuk dijadikan jugun ianfu adalah rumah bordil khusus, yaitu lokasi yang secara khusus disediakan bagi orang Jepang. Disebut khusus karena orang Indonesia atau suku bangsa lain tidak boleh masuk kelokasi tersebut. Bahkan, orang Jepang sendiri tidak bisa sembarangan masuk ke lokasi selain yang ditentukan oleh pihak penguasa.

Berikut Skema Pengerahan Tenaga Jugun Ianfu :

MESIN KONTROL

Pemerintahan Militer

*Aparat Setempat, Calo, dan lain-lain yang punya akses terhadap perempuan

Individu (non-massal)

PRT (peran ganda) Masyarakat (di mana

kaum perempuan berada)

(Calon-Calon) Jugun Ianfu

Hotel; Restoran; Rumah Hiburan

Orang-Orang Jepang Sipil-Militer Rumah


(51)

2.3.3. Berakhirnya Jugun Ianfu

Kenyataan di mana bala tentara Jepang akhirnya berhasil dikalahkan oleh sebuah koalisi besar antara negara-negara kapitalis dan negara-negara komunis yang dikenal dengan nama Sekutu, merupakan suatu berkat bagi para jugun ianfu. Pasukan Sekutu inilah yang berhasil menggempur Jepang dan menjadikannya manusia tahanan, yang bertekuk lutut, setelah sebelumnya anak-anak, kaum perempuan, orang tua dan banyak manusia lainnya habis dibumi hanguskan oleh bom atom. Bangsa-bangsa di Asia Tenggara dan Asia Timur, memang digembirakan oleh berita kekalahan Jepang tersebut. Tetapi itulah paradoksnya, bahwa kebahagiaan itu adalah derita bagi rakyat Jeoang yang tinggal di Hiroshima dan Nagasaki.

Seiring berakhirnya masa jajahan Jepang pada tahun 1945 mereka meninggalkan Indonesia sekaligus melepaskan para jugun ianfu. Beberapa diantara mereka dikembalikan ke wilayah asalnya masing-masing, namun sebagiannya masih terserak di wilayah-wilayah yang jauh dari tempat asal mereka. Seperti catatan-catatan yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer, masih banyak perempuan mantan jugun ianfu yang tersebar di berbagai pulau dipelosok Indonesia. Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya ‘Perawan Remaja dalam Cenkeraman MIliter’ menceritakan perempuan-perempuan yang terdapat di pulau Buru.

Keadaan para jugun ianfu setelah Jepang melepaskan mereka adalah sesuatu yang menyedihkan. Sebagian dari perempuan yang telah diperlakukan tidak manusiawi itu ditinggalkan begitu saja di tempat mereka dilecehkan. Pulau Buru merupakan salah satu wilayah terpencil dan asing bagi para perempuan


(52)

malang tersebut. Mereka tidak dapat kembali karena tidak tahu jalan pulang, atau banyak juga yang malu untuk kembali karena keadaan mereka yang menganggap mereka memalukan. Mereka yang bertahan disana diambil orang-orang dari suku pedalaman untuk dijadikan istri. Kebanyakan dari mereka adalah perempuan yang menarik. Apabila dibandingkan dengan perempuan asli Buru, maka keadaan mereka akan sangat jauh berbeda. Perbedaan kulit dan wajah mereka sangat berbeda dengan penduduk asli Buru, maka tidak heran mereka menjadi ‘tawanan’ disana.

Penderitaan yang dialami para jugun ianfu berakhir seiring dengan berakhirnya perang dunia ke-2 dan Jepang kalah perang tahun 1945, ditandai dengan dibomnya sebuah asrama jugun ianfu yang terletak di daerah Telawang Kalimantan Selatan oleh tentara sekutu. Tentara Jepang yang berada di asrama Telawang menghilang, dan para jugun ianfu mengambil keputusan untuk kembali ke daerah asal mereka. Namun mereka tidak bisa pulang dengan mudah. Hal ini diketahui bahwa banyak perempuan jugun ianfu malu. Mereka yang pulang kembali ke daerah asal mereka dengan menanggung malu akibat 3 tahun mereka dijadikan pemuas nafsu Jepang. Sebagian masayarakat yang mengetahui masa lalu mereka menganggap mereka adalah pelacur.

Seperti yang diungkapkan oleh Eka Hindra Koichi Kimura, masalah-masalah yang dirasakan para jugun ianfu adalah sebagai berikut:

1. Kesehatan yang buruk akibat kekerasan fisik, psikologis, dan seksual yang mereka alami selama menjadi jugun ianfu. Karena mereka tidak memiliki cukup uang untuk memelihara


(53)

kesehatannya, sebagian besar jugun ianfu meninggal karena tidak mendapatkan perawatan kesehatan yang memadai.

2. Trauma akibat perbudakan seks yang harus mereka jalani pada usia yang masih sangat muda.

3. Tertekan secara sosial karena oleh masyarakat dianggap sebagai bekas pelacur dan manusia kotor, mengingat masyarakat tidak mendapatkan informasi yang benar tentang sejarah jugun ianfu. 4. Tertekan secara psikis karena perasaan bersalah telah menjadi

jugun ianfu.

5. Sebagian besar jugun ianfu dalam keadaan miskin karena ditolak bekerja di tengah-tengah masyarakat dengan alasan bekas pelacur. Berakhirnya asrama-asrama pengelola layanan seksual antara lain Jepang tersebut, pada dasarnya meninggalkan sejumlah soal yang sangat serius bagi para eks jugun ianfu, yang telah ditinggalkan begitu saja oleh orang-orang yang merekrut, yang memeras tenaga serta memperdaya mereka selama bertahun-tahun, yaitu stigma sosial, kepedihan, duka pribadi yang mendalam, masalah kesehatan pada sebagian besar eks jugun ianfu, dan ketidakpastian hidup. Keempat soal tersebut pada dasarnya adalah muatan dari suatu kondisi kehinaan yang mendalam sebagai manusia yang telah dipaksa melakukan perbuatan yang oleh moral sosial Indonesia dilaknat sebagai tindakan aib dan dosa.


(54)

BAB III

PERTANGGUNGJAWABAN TERHADAP KORBAN JUGUN IANFU DI INDONESIA SEBAGAI WUJUD REALISASI BUDAYA MALU

MASYARAKAT JEPANG

3.1. Permintaan Maaf Oleh Pemerintah Jepang

Pada dasarnya hal yang paling dibutuhkan oleh para eks jugun ianfu

adalah ketenangan hidup dan penghargaan sebagai manusia. Mereka ingin orang lain mengetahui masa lalunya dengan solider, penghargaan dan pembelaan. Artinya, jika sekarang mereka mengajukan masa lalu untuk sebuah gugatan, maka hal itu tidak lain dari tuntutan agar pihak Jepang meminta maaf atas semua perbuatan yang pernah dilakukan.

Pada satu sisi, tuntutan kepada Jepang agar meminta maaf, sesungguhnya merupakan anak panah yang diarahkan kepada dua sasaran. Dari satu segi, bagi para eks jugun ianfu, permintaan resmi pemerintah Jepang pada dasarnya adalah suatu bentuk pertanggungjawaban atas masa lalu yang pernah dilakukan. Pertanggungjawaban di sini harus ditujukan langsung kepada pihak yang terkena atau yang menjadi korban. Tanpa suatu pertanggungjawaban, maka sangat mungkin Jepang menganggap perbuatannya di masa pendudukan adalah wajar. Di segi lain bagi para eks jugun ianfu, permintaan maaf tersebut akan menjadi bukti baru yang mendukung bukti masa lalu mereka.

Dukungan mulai berdatangan dari berbagai kelompok yang punya perhatian terhadap masalah jugun ianfu ini, seperti CFR (Citizens Fund for Redress World II Victims in Asia and The Pacific, Dana Masyarakat untuk


(55)

Penyantunan Korban Perang Dunia II di Asia dan Pasifik). Lembaga ini pula yang mengusahakan dana kesehatan bagi para eks jugun ianfu, dan bekerja sama dengan LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Indonesia. Dukungan terhadap mereka yang pada masa pendudukan Jepang dipaksa untuk menjadi pemuas nafsu bangsa Jepang, terus saja mengalir, terutama untuk mengangkat masalah ini menjadi persoalan internasional.

Para eks jugun ianfu juga menuntut tiga hal yang dirasa perlu dihadirkan sebagai pertanda adanya pertanggungjawaban, yaitu: pengakuan atas kekejaman tentara Jepang pada masa pendudukan, dan dengan itu pula diakuinya seluruh mereka yang menjadi korban dari perang; adanya permintaan maaf secara terbuka, tulus dan jujur serta perlunya pihak pemerintah Jepang memberikan kompensasi, atau ganti rugi atas mereka yang telah menderita selama masa pendudukan tersebut; dan, perlunya dimasukkan muatan sejarah tentang jugun ianfu dalam pelajaran sejarah di sekolah-sekolah Jepang. Hal ini dibutuhkan agar jugun ianfu

tidak sekedar menjadi sejarah hitam dari mereka yang menjadi korban, tetapi juga dari bangsa Jepang sendiri.

Pada akhirnya, secara perlahan Jepang mulai memperbaiki sejarah kelam tersebut. Tidak hanya dengan Indonesia, dengan bangsa-bangsa yang bahkan menjadi musuh utama Jepang, hubungan segera dinormalkan. Meskipun pada tahun 1945 Jepang dihadirkan sebagai bangsa yang diakalahkan oleh sekutu, tetapi berbagai perkembangan berikutnya, baik yang terjadi di Jepang sendiri maupun yang terjadi di dunia internasioanal, telah membuat wajah Jepang, yang semula terlibat dalam berbagai pertentangan ideologis, berubah menjadi Jepang yang tampil sebagai bangsa dengan kepentingan dagan yang sangat tinggi. Tidak


(1)

だひょうじ,表示していない。

とく

,特に、

にほんじん

,日本人の

じぶん

,自分における

はじ

,恥

のがいねん,概念である。だが、

じつ

,実は、

にほんじん

,日本人を

,恥ずかしく

かん

,感じ

させるげんいん,原因は

たにん

,他人から

わら

,笑いや

ひはん

,批判だけであるとは

かぎ

,限ら

ない。にほんじん,日本人の

じぶん

,自分における

はじ

,恥の

ぶんか

,文化をもっと

ひょうじ

,表示

す る こ と が で き る がいねん,概念 は

だれ

,誰 か が

たにん

,他人 か ら

とくべつ

,特別

なちゅうもく,注目を

,受けるときである。それは、

たにん

,他人から

せっきょくてき

,積極的

なかんてい,鑑定である。

たと

,例えば、

しょうさんおよ

,称賛及びお

せじ

,世辞である。つま

り、はじ,恥 の

ぶんか

,文化 は

おんがえ

,恩返 しすることだけではなく、

たにん

,他人 か

ら ひはん,批判 と か

ひにく

,皮肉 と か

けいべつ

,軽蔑 と は

かぎ

,限 ら な い 。 だ

が、しょうさんおよ,称賛及 びお

せじ

,世辞 のような

ちゅうもく

,注目 も

だれ

,誰 かの

じぶん

,自分

のなか,中に

,恥ずかしさを

,持っているかどうかのことに

えいきょう

,影響を

あた

,与

える。それはじぶんじしん,自分自身に

もと

,基づいた

,恥ずかしさ(

ないめんてき

,内面的

) あ る い は たにん,他人 か ら の

かんてい

,鑑定 に

もと

,基 づ い た

,恥 ず か し さ

(がいめんてき,外面的)である。このような

はじ

,恥の

ぶんか

,文化は

とくべつ

,特別な

はじ

,恥

(しち,志知)と

,言われる。

だれ

,誰 か の

じぶん

,自分 に お け る

とくべつ

,特別 な

はじ

,恥 あ る い は

しち

,志知

のあらわ,現れたのはその

ひと

,人の

じぶん

,自分における

よういん

,要因である。

しち

,志知

のあらわ,現 れた

ふた

,二 つの

よういん

,要因 は「

しこう

,思考 の

,食 い

ちが

,違 い」

およ

,及 び


(2)

ることである。「しこう,思考の

,食い

ちが

,違い」は

だれ

,誰かの

じぶん

,自分に

あらわ

,現

れたよういん,要因である。

いっぽう

,一方 、 『

ゆうれつきじゅん

,優劣基準 』 と い う の

は 、 たにん,他人 と

じぶん

,自分 を

ひかく

,比較 す る た め

ににほんしゃかい,日本社会に

しよう

,使用される

ひょうじゅんか

,標準化、

そ れ は じょうしひょうじゅん,上司標準 ( ほ か の

ひと

,人 よ

り じょうたい,状態 が い い と い う

いみ

,意味 ) と

かい

,下位

のひょうじゅん,標準(ほかの

ひと

,人より

よわ

,弱いか、または

ひく

,低いと

いういみ,意味)。

かぞく

,家族 の

やくわり

,役割 は

はじ

,恥 の

ぶんか

,文化

にひじょう,非常 に

かんけい

,関係 している。

かぞく

,家族 は

じんせい

,人生

のきはん,規範やルールーを

まな

,学ぶことに

ちじょく

,恥辱を

しよう

,使用し

て い る 。 そ の た め 、きほんてき,基本的にりょうしん,両親 が

ひき

,率 い

るかぞく,家族は、すべての

かぞく

,家族に

ちじょく

,恥辱のかんかく,感覚

をしんとう,浸透 さ せ る た め に

せっきょくてき

,積極的 な

やくわり

,役割

を と,取 る 。 「 し ち 」 ま た は

しこう

,思考 の

,食 い

ちが


(3)

とゆうれつきじゅん,優劣基準 に

ひじょう

,非常 に

かんけい

,関係 し て い

るとくしゅ,特殊な

ちじょく

,恥辱は、

かてい

,家庭の

なか

,中にいる

とき

,時

に こじん,個人 に

ちじょく

,恥辱 の

うむ

,有無 を

おお

,大 き い

なえいきょう,影響をする。

しゃかい

,社会の

なか

,中でもそうである。

しゃかい

,社会の

なか

,中

で つ,付 き

,合 う と き に 、

ここ

,個々 は 、

たん

,単 に

きょだい

,巨大

なしゃかいきこう,社会機構で

ひじょう

,非常に

ちい

,小さな

ぶぶん

,部分の一

つ と し て はいち,配置 さ れ ま す 。

こたいない

,個体内 で の

こどく

,孤独

と むりょくかん,無力感 を しょう,生 じ さ せ る 。 こ の こどく,孤独

と むりょくかん,無力感 は ここ,個々 の げんいん,原因 に な り 、 た,他

のひとびと,人々のかんしん,関心にひじょう,非常にびんかん,敏感になる。

し た が っ て 、ぜったい,絶対 に

こじんないとうわく

,個人内当惑 を

,引

き お,起 こ す 「

しこう

,思考 の

,食 い

ちが

,違 い 」 と

「ゆうれつきじゅん,優劣基準」が

しょう

,生じる。

はじ

,恥 の

ぶんか

,文化 も 、

ふた

,二 つ の

きのう

,機能 、 す な わ

ち せっきょくてき,積極的 な

きのう

,機能 と

じゅどうてき


(4)

なきのう,機能 を

,持 っている。

せっきょくてき

,積極的 な

ちじょく

,恥辱

の きのう,機能 は モ チ ベ ー シ ョ ン に な り 、

だれ

,誰 か が

かれ

,彼

のやくわり,役割で

こうどう

,行動することを

しょうれい

,奨励し、

まわ

,周

りのしゃかい,社会 のきぼう,希望 のとお,通 りにりそう,理想 としてそれ

をじっこう,実行する。

せっきょくてき

,積極的 な

ちじょく

,恥辱 の

きのう

,機能 は

「 じゅうぐんいあんふ,従軍慰安婦 」 の

ひがいしゃ

,被害者 へ

の しゃざい,謝罪 と

ほしょう

,補償 の

かたち

,形 で

にほん

,日本

の ひとびと,人々 の せきにん,責任 か ら み,見 る こ と が で

き、こくさいしゃかい,国際社会 に

にほんじん

,日本人 による

ぶんか

,文化

をじつげん,実現したものである。

にっぽんせいふ

,日本政府 は

こくさいしゃかい

,国際社会

がきたい,期待 するように

かれ

,彼 らが

かこ

,過去 にした

あく

,悪 い

こと

,事

をしゅうせい,修正するために

せきにん

,責任を

じっし

,実施した。

かれ

,彼ら

は い く つ か の きほんてき,基本的 な

ことがら

,事柄 か ら

,成

り せいさくほう,政策法 を

せってい


(5)

ち 、 きょうせいてき,強制的 な

せいこうい

,性行為 の

じじつ

,事実

と だいにじせかいたいせんちゅう,第二次世界大戦中 、 そ れ に よ

る そんしつ,損失 を

せつめい

,説明 し 、

りょうしょう

,了承 し 、 ま

た、しゃざい,謝罪と

じゅうぐんいあんふ

,従軍慰安婦の

ひがいしゃ

,被害者

に たい,対 す る

ほしょう

,補償 の

かたち

,形

で しゃかいこうけんかつどう,社会貢献活動 を

おこな

,行 い 、

3.8

おくえん

,億円、

せいしき

,正式に 1997

ねん

,年3

つき

,月25

,日にジャカ

ルタでしょめい,署名された

おぼ

,覚え

,書き(MOU)に

きさい

,記載され

た に そうとう,相当 す る ほしょうきん,補償金 の かたち,形

でどうとくてき,道徳的および

ぶっしつてきしえん

,物質的支援である。

じゅどうてき

,受動的 な

ちじょく

,恥辱 の

きのう

,機能 は

だれ

,誰 か

が かじょう,過剰 に

かれ

,彼 を

ていきょう

,提供 す

る しょうへきさよう,障壁作用 と し て で あ る 。

こじん

,個人

が しゃかい,社会 の なか,中 で そ の やくわり,役割 を は,果 た す た め

に 、 とくてい,特定 の

いぎょう

,偉業 を

たっせい

,達成 す る た め

のほうほう,方法 で 、

はじ

,恥 の

しょうじょう

,症状 を

,引 き


(6)

すた,他しゃ,者からのひ,批はん,判をさ,避けるために、とうかく,頭角

をあらわ,現 す 。 し か し 、かど,過度 のひか,控 え め なせい,性しつ,質

はこ,個じん,人がけねんざいりょう,懸念材料になり、た,他

にん

,人にネガ

ティブないんしょう,印象と、

しゅうちしん

,羞恥心を

しょう

,生じさせる。

このようなちじょく,恥辱のきのう,機能はいつもじ,自

ぶん

,分を

たす

,助け

ようとじそんしん,自尊心が

ひく

,低い

にほんじん

,日本人のせいかく,性格


Dokumen yang terkait

Pertanggung Jawaban Penghasut Untuk Melakukan Unjuk Rasa Yang Berakibat Anarkhis

1 44 88

Analisis Yuridis Atas Pertanggung Jawaban Notaris Terhadap Akta Fidusia Yang Dibuat Setelah Terbit PERMENKUMHAM Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Fidusia Elektronik

9 172 181

Analisa Pertanggung Jawaban Penyidik Polri Dalam Kaitan Terhadap Terjadinya Salah Tangkap Atau Error In Persona

0 39 152

Realisasi Budaya Malu Masyarakat Jepang Dilihat Dari Pertanggungjawaban Bangsa Jepang Terhadap Korban Jugun Ianfu Di Indonesia Pasca Perang Dunia II Nibangme No Sekai Taisen Go No Indonesia Ni Jugun Ianfu No Kenshin Ni Taishite Nihonshakai No Sekinin Ka

6 49 77

Perkembangan Ekonomi Jepang Pasca Perang Dunia II

2 33 48

Sekilas Pembangunan Negara Jepang Pasca Perang Dunia II

0 53 41

Pertanggung jawaban Pidana Pilot (Kapten Terbang) atas Terjadinya Kecelakaan Pesawat Udara dari Perspektif Undang–Undang No.1 Tahun 2009

1 47 119

Pertanggung Jawaban Lembaga Penjamin Simpanan Dalam Hubungannya Terhadap Nasabah Dan Bank.

5 74 107

Realisasi Budaya Malu Masyarakat Jepang Dilihat Dari Pertanggungjawaban Bangsa Jepang Terhadap Korban Jugun Ianfu Di Indonesia Pasca Perang Dunia II Nibangme No Sekai Taisen Go No Indonesia Ni Jugun Ianfu No Kenshin Ni Taishite Nihonshakai No Sekinin Kara

0 0 25

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah - Realisasi Budaya Malu Masyarakat Jepang Dilihat Dari Pertanggungjawaban Bangsa Jepang Terhadap Korban Jugun Ianfu Di Indonesia Pasca Perang Dunia II Nibangme No Sekai Taisen Go No Indonesia Ni Jugun Ianfu No

0 0 14