Imperialisme Budaya Dalam Komik Jepang (Analisis Wacana tentang Bentuk Imperialisme Budaya dalam Komik Jepang)

(1)

IMPERIALISME BUDAYA DALAM KOMIK JEPANG

(Analisis Wacana tentang

Bentuk Imperialisme Budaya dalam Komik Jepang)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan Sarjana (S-1) pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi

Disusun oleh :

Christine M. Siregar

(040904080)

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(2)

ABSTRAK

Fokus penelitian ini mengambil tema tentang imperialisme budaya dalam komik Jepang khususnya dalam penciptaan kriterium kepahlawanan (heroism) Jepang. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran secara umum tentang isi dari komik-komik Jepang untuk kemudian dapat dianalisis bagaimana bentuk imperialisme budaya yang terkandung di dalamnya. Ruang lingkup dan objek penelitian ini adalah isi cerita dalam komik Samurai X, Naruto dan Death Note yang memuat kriterium kepahlawanan Jepang. Jumlah komik yang diteliti sebanyak 10 jilid komik yaitu terdiri dari 4 jilid komik Samurai X, 3 jilid komik Naruto dan 3 jilid komik Death Note. Penelitian ini menggunakan studi media massa yang termasuk analisis kualitatif. Paradigma yang digunakan oleh peneliti adalah perspektif kritis analisis teks media, yaitu dengan metode analisis wacana (discourse analysis) versi Teun A. Van Dijk. Metode ini mengungkapkan makna yang ada dibalik teks dengan membongkar struktur teks tersebut. Dalam penelitian ini, data yang terkumpul dibaca, diolah dan dianalisis sesuai dengan elemen-elemen perangkat analisis wacana yang meliputi: Tematik, Skematik, Semantik, Sintaksis, Stilistik, dan Retoris. Melalui penelitian terhadap komik tersebut ditemukan bahwa secara umum komik Jepang menghadirkan tokoh-tokoh pahlawan berkarakteristik Jepang. Penggambaran kekuatan para tokoh-tokoh Jepang ini tidak hanya ditekankan pada kekuatan fisik semata melainkan kehidupan pribadi dan berbagai masalah yang dihadapi para tokoh-tokoh tersebut. Ini merupakan teknik para manga-ka untuk mendekatkan pembacanya dengan tokoh-tokoh yang ada dalam komik. Dengan teknik ini pembaca diajak untuk menjadi bagian dari komik tersebut yang kemudian membuat pembaca mengagumi tokoh tersebut dan menjadikannya pahlawan dalam kehidupannya. Selain itu, seiring dengan perkembangan manga yang semakin mendunia, para manga-ka juga sudah lebih berani menunjukkan posisi Jepang di mata dunia. Ini ditandai dengan penggunaan lembaga internasional dalam komik yang kemudian memarginalkan negara-negara lain di satu sisi dan mengukuhkan Jepang di sisi lain. Hal ini sebenarnya sesuai dengan ideologi, karakter dan kepentingan para manga-ka. Bagaimanapun tidak dapat disalahkan jika para manga-ka mengangkat negara mereka sendiri dalam karya-karyanya, terutama mengingat bahwa negara Jepang merupakan negara dengan penduduk bernasionalis cukup tinggi.


(3)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN

ABSTRAKSI i

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iv

DAFTAR TABEL vi

BAB I PENDAHULUAN 1

I.1 Latar Belakang Masalah 1

I.2 Perumusan Masalah 6

I.3 Pembatasan Masalah 6

I.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 7

I.5 Kerangka Teori 8

I.6 Kerangka Konsep 13

I.7 Defenisi Operasional 14

I.8 Metode Penelitian 16

I.9 Sistematika Penulisan 20

BAB II URAIAN TEORITIS 21

II.1 Komunikasi Massa 21

II.2 Teori Imperialisme Budaya 28

II.3 Analisis Wacana Kritis; Pendekatan Teun Van A. Dijk 33

II.4 Komik 40

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 46

III.1 Deskripsi Objek Penelitian 46

III.2 Tipe Penelitian 53

III.3 Objek Penelitian 53

III.4 Unit dan Level Analisis 54

III.5 Teknik Pengumpulan Data 55

III.6 Teknik Analisis Data 56

BAB IV PEMBAHASAN DATA 57

IV. 1 Penyajian Data 57


(4)

BAB V PENUTUP 90

V.1 Kesimpulan 90

V.2 Saran 91

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(5)

DAFTAR TABEL

Tabel IV.I.1.1 Analisis data komik Samurai X – Bab 1 ………. 57

Tabel IV.I.1.2 Analisis data komik Samurai X – Bab 41 ……… 58

Tabel IV.I.1.3 Analisis data komik Samurai X – Bab 89 ………. 58

Tabel IV.I.1.4 Analisis data komik Samurai X – Bab 136 ……… 59

Tabel IV.I.2.1 Analisis data komik Naruto – Bab 339 ……….. 60

Tabel IV.I.2.2 Analisis data komik Naruto – Bab 342 ………... 60

Tabel IV.I.2.3 Analisis data komik Naruto – Bab 344 ………... 60

Tabel IV.I.2.4 Analisis data komik Naruto – Bab 351 ………... 61

Tabel IV.I.3.1 Analisis data komik Death Note – Chapter 1 ………. 62

Tabel IV.I.3.2 Analisis data komik Death Note – Chapter 2 ………. 63

Tabel IV.I.3.3 Analisis data komik Death Note – Chapter 4 ………. 64

Tabel IV.I.3.4 Analisis data komik Death Note – Chapter 8 ……….. 64

Tabel IV.I.3.5 Analisis data komik Death Note – Chapter 11 ………... 65


(6)

ABSTRAK

Fokus penelitian ini mengambil tema tentang imperialisme budaya dalam komik Jepang khususnya dalam penciptaan kriterium kepahlawanan (heroism) Jepang. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran secara umum tentang isi dari komik-komik Jepang untuk kemudian dapat dianalisis bagaimana bentuk imperialisme budaya yang terkandung di dalamnya. Ruang lingkup dan objek penelitian ini adalah isi cerita dalam komik Samurai X, Naruto dan Death Note yang memuat kriterium kepahlawanan Jepang. Jumlah komik yang diteliti sebanyak 10 jilid komik yaitu terdiri dari 4 jilid komik Samurai X, 3 jilid komik Naruto dan 3 jilid komik Death Note. Penelitian ini menggunakan studi media massa yang termasuk analisis kualitatif. Paradigma yang digunakan oleh peneliti adalah perspektif kritis analisis teks media, yaitu dengan metode analisis wacana (discourse analysis) versi Teun A. Van Dijk. Metode ini mengungkapkan makna yang ada dibalik teks dengan membongkar struktur teks tersebut. Dalam penelitian ini, data yang terkumpul dibaca, diolah dan dianalisis sesuai dengan elemen-elemen perangkat analisis wacana yang meliputi: Tematik, Skematik, Semantik, Sintaksis, Stilistik, dan Retoris. Melalui penelitian terhadap komik tersebut ditemukan bahwa secara umum komik Jepang menghadirkan tokoh-tokoh pahlawan berkarakteristik Jepang. Penggambaran kekuatan para tokoh-tokoh Jepang ini tidak hanya ditekankan pada kekuatan fisik semata melainkan kehidupan pribadi dan berbagai masalah yang dihadapi para tokoh-tokoh tersebut. Ini merupakan teknik para manga-ka untuk mendekatkan pembacanya dengan tokoh-tokoh yang ada dalam komik. Dengan teknik ini pembaca diajak untuk menjadi bagian dari komik tersebut yang kemudian membuat pembaca mengagumi tokoh tersebut dan menjadikannya pahlawan dalam kehidupannya. Selain itu, seiring dengan perkembangan manga yang semakin mendunia, para manga-ka juga sudah lebih berani menunjukkan posisi Jepang di mata dunia. Ini ditandai dengan penggunaan lembaga internasional dalam komik yang kemudian memarginalkan negara-negara lain di satu sisi dan mengukuhkan Jepang di sisi lain. Hal ini sebenarnya sesuai dengan ideologi, karakter dan kepentingan para manga-ka. Bagaimanapun tidak dapat disalahkan jika para manga-ka mengangkat negara mereka sendiri dalam karya-karyanya, terutama mengingat bahwa negara Jepang merupakan negara dengan penduduk bernasionalis cukup tinggi.


(7)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

““Manga” Masih Mendominasi Dunia”, demikianlah judul artikel yang ditulis oleh Anung Wendyartaka dalam Teropong Pustakaloka yang dimuat pada harian Kompas, Senin, 26 November 2007. Manga adalah sebutan untuk komik-komik yang berasal dari Jepang. Istilah manga sendiri tidak hanya digunakan di Jepang, tetapi hampir di seluruh dunia termasuk Indonesia. Istilah manga yang mendunia ini seolah-olah menunjukkan kekuatan pengaruh manga yang memang sudah mendunia.

Ketika kita berbicara tentang komik di Indonesia, maka stereotype yang muncul adalah bacaan anak-anak, tidak lebih dari itu. Entah karena komik menggunakan gambar dalam penceritaannya atau karena komik “Doraemon” sangat terkenal di Indonesia, komik tetap dianggap sebagai konsumsi anak-anak dan cenderung dianggap sebelah mata. Namun, stereotype ini tidak berlaku bagi mereka yang mengikuti perkembangan komik. Bagi yang mengikuti perkembangan komik di Indonesia bahkan di dunia jelas menyadari bahwa sasaran pembaca komik berbeda-beda, tergantung isi yang ditawarkan komik tersebut. Tidak hanya itu, komik juga dianggap berpotensi untuk dijadikan lahan industri dan sumber pendapatan jika dikelola dengan baik.

Kondisi ini sangat berbeda jika kita melihat perkembangan komik di Jepang. Di negara yang warganya super sibuk tersebut, komik justru memegang peranan penting dalam industri penerbitan di Jepang. Pendapatan komik untuk tahun 2006


(8)

saja berkisar sekitar 4,1 milyar dollar AS. Tidak hanya diakui di negaranya, komik Jepang bahkan mendominasi industri komik dunia. Hal ini dibahas dalam Frankfurt Book Fair 2007, di Hall 3.0 dalam diskusi yang bertajuk “The International Comics Market in 2007”, 10 Oktober 2007. (Kompas Edisi 148, Senin 26 November 2007).

Walaupun di Jepang sendiri omzet industri manga (komik Jepang) mengalami penurunan sebesar 4,2 persen, di luar negeri industri manga justru mengalami peningkatan. Dari 3.195 judul baru komik yang beredar tahun 2006 di Prancis dan Belgia, lebih dari setengahnya adalah komik Jepang, persisnya berjumlah 1.418 judul. Dominasi manga juga terjadi di wilayah Catalan (Catalonia). Pada Oktober 2007, persentase manga di pasar komik negara tersebut mencapai 43 persen, disusul komik Amerika 34-37 persen dan komik Spanyol 20 persen. Hal yang sama terjadi di negara Italia yang bahkan mengakibatkan penerbit komik lokal kewalahan diterpa serbuan manga. Walaupun mengalami peningkatan di berbagai belahan dunia, pihak Jepang tetap merasa khawatir dengan penurunan omzet industri manga di negaranya. Ini dikarenakan, bagi Jepang sendiri manga ikut mengambil peran penting dalam industri penerbitan Jepang sehingga berbagai persoalan yang menimpa industri manga sangat berpengaruh terhadap perkembangan industri penerbitan secara keseluruhan. Sebagai gambaran, dari seluruh produk buku dan majalah yang terbit di negari Sakura ini, seperempatnya adalah manga. (Kompas edisi 148, 26 November 2007).

Jika negara-negara yang industri komiknya cukup berkembang saja sudah didominasi dengan komik Jepang, apalagi Indonesia yang industri komiknya


(9)

justru baru bergerak. Salah satu penerbit komik legal di Indonesia, Elex Media Komputindo, mengakui bahwa dari 60 judul komik yang mereka terbitkan, 52 diantaranya merupakan komik Jepang, sisanya 7 komik Korea dan 1 komik Indonesia. Bahkan menurut data Buku Laris Pustakaloka Kompas, sejak tahun 2003 sampai kini, komik Jepang yang diterbitkan Elex Media Komputindo menempati urutan teratas atau lima besar best seller. Ini membuktikan bahwa komik manga sangat digemari masyarakat di Indonesia.

Sekilas, komik-komik Jepang atau manga memang terlihat sebagai bacaan hiburan belaka. Namun, siapa yang menyangka manga yang notabenenya hanya bacaan hiburan itu justru mengandung ideologi Jepang yang pelan-pelan merasuki jiwa pembacanya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh George Gerbner, seorang kritikus budaya massa. Isi media itu sendiri pada mulanya mungkin dipandang sebagai hiburan. Namun, perlahan tapi pasti ia terus menginjeksikan secara halus “citra palsu” tentang kehidupan, masyarakat dan dunia (dikutip oleh Ibrahim dalam buku Hegemoni Budaya). Animonster, salah satu majalah yang mengkhususkan diri untuk membahas anime (animasi Jepang) dan manga, menjadi saksi bentuk hegemoni ini.

Hampir dalam setiap edisi Animonster kita dapat membaca artikel-artikel tentang acara berbau Jepang yang diadakan di tanah Indonesia, khususnya di Bandung dan Jakarta. Dengan kata lain, hampir setiap bulan selalu diadakan acara berbau Jepang. Padahal acara berbau tanah air saja paling-paling diadakan setahun sekali itupun saat hari Kemerdekaan. Belum lagi foto-foto remaja wanita yang memakai kimono atau foto-foto remaja pria dengan hakama maupun gakuran (seragam sekolah anak laki-laki di Jepang), bertebaran di sepanjang edisi


(10)

Animonster. Budaya cosplay (costume player, yaitu kegiatan meniru tokoh-tokoh komik atau kartun Jepang) pun seolah hal yang biasa bagi mereka penggemar kartun dan komik Jepang ini. Bon odori, salah satu tari tradisional Jepang juga bukan hal asing bagi mereka. Belum lagi urusan kuliner, mulai dari sushi sampai takoyaki semuanya dilahap dengan nikmat oleh lidah Indonesia mereka. Harajuku

style yang mencakup gaya rambut dan gaya berpakaian juga makin diminati di

negara ini.

Tidak berhenti sampai disitu, perkembangan komik Indonesia yang pelan-pelan mulai bergerak juga ikut terpengaruh dengan manga. Hal ini diangkat Umi Kulsum dalam artikelnya “Tren Komik Indonesia Masih dalam Dekapan Manga”, yang dimuat di Kompas pada Senin, 26 November 2007. Komik-komik yang diterbitkan oleh orang Indonesia justru bergaya manga, baik dari segi gambar maupun gaya cerita. Komik-komik Indonesia dengan gaya manga semakin tumbuh subur dengan terbitnya buku-buku cara menggambar ala manga dan dengan berdirinya sekolah-sekolah yang menyediakan jasa untuk mengajar cara menggambar ala manga, sebut saja Accolyte School, Gakushudo maupun Machiko School.

Serbuan manga oleh Jepang merupakan bentuk imperialisme yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Para penggemar manga bahkan bangga menyebut diri mereka O-taku, yaitu sebutan untuk mereka yang tergila-gila pada anime dan

manga. Padahal, di Jepang sendiri, sebutan O-taku justru mengandung makna

yang buruk karena diperuntukkan bagi mereka yang terlalu menggilai anime dan

manga serta tidak mampu bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Jelas


(11)

Pada tahun 2006 yang lalu, the Japan Foundation bekerjasama dengan Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI) menyelenggarakan lomba esai tentang Jepang. Esai ini kemudian dibukukan dengan judul “Image Jepang di Mata Anak Muda Indonesia”. Lewat kata pengantar dalam buku ini, Mohammad Yusuf selaku Ketua Tim Juri dari HISKI mengungkapkan bahwa hampir tidak ada satu pun para pelajar atau mahasiswa yang menulis sisi negatif dari Jepang. Lagi-lagi terjadi kekaburan citra dengan realita akan Jepang.

Kekaburan ini tentu tidak semata-mata terjadi begitu saja. Komik Jepang yang menjadi alat penyebaran budaya Jepang adalah salah satu penyebab kekaburan citra dengan realita akan Jepang. Pembaca komik Jepang menjadikan komik Jepang sebagai referensinya akan negara Jepang yang sebenarnya. Materi yang dihadirkan komik sendiri sangat beragam, salah satunya adalah pembentukan kriterium kepahlawanan, yang dihadirkan lewat komik Jepang ber-genre action. Melalui komik jenis ini, pembaca disuguhi kisah-kisah kepahlawanan tokoh utamanya yang kemudian dipuja dan dianggap sebagai “realita”. Berbeda dengan komik negara lain yang tokoh pahlawannya cenderung berasal dari kalangan umum, beberapa komik Jepang justru menggunakan tokoh pahlawan yang berasal dari kalangan Samurai (Samurai X, Samurai Champloo, Samurai 7) atau Ninja (Naruto, Ninja Hatori, Ninja Rantaro); kalangan yang jelas-jelas hanya ada di Jepang. Dan sejalan dengan yang diungkapkan George Gerbner, perlahan tapi pasti, komik-komik Jepang terus menginjeksikan secara halus “citra palsu” tentang kehidupan Samurai, tentang masyarakat Ninja, dan tentang kepahlawanan Jepang.


(12)

Jika selama ini kita selalu khawatir dengan masuknya budaya “barat” dari belahan Amerika Serikat sana, maka sudah saatnya kita meletakkan perhatian kita sejenak pada serangan budaya Jepang. Jika budaya “barat” masuk dengan pintu media televisi, maka Jepang justru masuk lewat media komik dan kartun Jepang. Oleh karena itulah diperlukan sebuah penelitian yang mampu mengungkapkan ideologi-ideologi tersembunyi yang terkandung dalam komik Jepang.

Dari latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk meneliti bagaimana bentuk Imperialisme Budaya dalam komik Jepang.

I.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas maka dikemukakan perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut

“Bagaimana bentuk Imperialisme Budaya dalam komik Jepang yang beredar di Indonesia?”

I.3 Pembatasan masalah

Agar ruang lingkup penelitian tidak terlalu luas dan permasalahan yang diteliti menjadi jelas, terarah dan lebih spesifik, maka pembatasan masalah yang akan diteliti adalah:

a. Penelitian ini dilakukan pada komik-komik yang berasal dari Jepang, yaitu komik Samurai X, Naruto dan Death Note.

b. Fokus penelitian hanya pada level teks, yaitu untuk mencari makna yang ada dibalik penyajian tata bahasa tersebut.


(13)

c. Penelitian ini tidak membahas lebih jauh ke masalah kognisi sosial dan konteks sosial di balik teks tersebut.

d. Bentuk imperialisme yang diteliti terbatas pada pembentukan kriterium kepahlawanan (heroism) negara Jepang yang terkandung dalam komik-komik Jepang.

I.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

I.4.1 Tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui gambaran secara umum tentang isi dari komik-komik Jepang terkait dengan persoalan imperialisme budaya khususnya tentang pembentukan kriterium kepahlawanan negara Jepang.

b. Untuk mengetahui bagaimana implikasi Imperialisme Budaya dalam komik-komik Jepang.

I.4.2 Manfaat dari penelitian ini adalah:

a. Secara teoritis, penelitian ini ditujukan untuk memperkaya khasanah penelitian tentang media, khususnya tentang kajian media yang diteliti dengan analisis wacana. Penelitian ini juga diharapkan mampu menambah pengetahuan tentang teori imperialisme budaya dalam bidang Ilmu Komunikasi.

b. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran pembaca agar lebih kritis terhadap media, khususnya komik-komik Jepang.


(14)

c. Secara akademis, penelitian ini dapat disumbangkan kepada Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU, guna memperkaya bahan penelitian dan sumber bacaan.

I.5 Kerangka Teori

Kerangka teori berisi pokok-pokok pikiran yang menjadi titik tolak atau landasan dalam menyoroti masalah, sehingga menggambarkan juga dari sudut masalah penelitian disoroti. Kerangka teori juga berfungsi sebagai tolak ukur untuk menguji kondisi variabel atau gejala didalamnya yang sama berdasarkan pengumpulan dan pengolahan data. (Nawawi, 1991: 32).

Adapun teori-teori yang dianggap relevan dalam penelitian ini adalah Komunikasi massa, Imperialisme Budaya, Analisis Wacana Kritis; Pendekatan Teun A. Van Dijk, dan komik.

I.5.1 Komunikasi Massa

Pengertian komunikasi massa terutama dipengaruhi oleh kemampuan media massa untuk membuat produksi masssal dan untuk menjangkau khalayak dalam jumlah besar. Di samping itu, ada pula makna lain—yang dianggap makna asli— dari kata massa, yakni suatu makna yang mengacu pada kolektivitas tanpa bentuk, yang komponen-komponennya sulit dibedakan satu sama lain. Kamus bahasa Inggris ringkas memberikan definisi “massa” sebagai “suatu kumpulan orang banyak yang tidak mengenal keberadaan individualitas”. Definisi ini hampir menyerupai pengertian “massa” yang digunakan oleh para ahli sosiologi,


(15)

khususnya bila dipakai dalam kaitannya dengan khalayak media. (Mc Quail, 1989 : 31).

Dalam Severin dan Tankard (2007 : 4) menurut Wright (1959), perubahan teknologi baru menyebabkan perubahan dalam definisi komunikasi massa yang mempunyai tiga ciri :

1. Komunikasi massa diarahkan kepada audiens yang relatif besar, heterogen dan anonim.

2. Pesan-pesan yang disebarkan secara umum, sering dijadwalkan untuk bisa mencapai sebanyak mungkin anggota audiens secara serempak dan sifatnya sementara.

3. Komunikator cenderung berada atau beroperasi dalam sebuah organisasi yang kompleks yang mungkin membutuhkan biaya yang besar.

Dari pengertian-pengertian di atas jelas terlihat bahwa dalam komunikasi massa diperlukan alat sebagai penyebaran isi komunikasinya, alat tersebut adalah media massa. Media massa menurut sifatnya dapat dibedakan menjadi media elektronik dan media cetak. Sementara menurut periodiknya, media massa dapat dibedakan menjadi media periodik seperti surat kabar atau majalah, dan media non periodik seperti buku termasuk komik.

I.5.2 Teori Imperialisme Budaya

Gagasan mengenai imperialisme “budaya” atau “media” berasal dari teori dan bukti awal tentang peran media dalam pembangunan nasional (misalnya Lerner, 1958; Schramm, 1964) dan dalam perumusan ulang secara kritis yang dilakukan oleh para penulis seperti Schiller (1969), Wells (1972), Mattelart


(16)

(1979), dan banyak lainnya. Korelasi pandangan bahwa media dapat membantu “modernisasi” dengan memperkenalkan nilai-nilai “barat” dilakukan dengan mengorbankan nilai-nilai tradisional dan hilangnya “keaslian” budaya lokal. Secara sederhana, dapat dikemukakan bahwa nilai-nilai yang diperkenalkan itu adalah nilai-nilai kapitalisme dan karenanya prosesnya “imperialistis” serta dilakukan secara sengaja, atau disadari dan sistematis, yang menempatkan negara yang sedang berkembang dan lebih kecil di bawah kepentingan kekuasaan kapitalis yang lebih dominan.

Herberth Schiller dalam bukunya “Communication and Cultural Domination” (1976) menegaskan penggunaan istilah imperialisme budaya untuk menggambarkan dan menjelaskan cara perusahaan-perusahaan multinasional termasuk media dalam membangun negara-negara yang didominasi negara yang sedang berkembang.

Imperialisme budaya merupakan sebuah konsep kritis yang menyatakan bahwa difusi artifak, citra dan gaya budaya modern (dari bahasa-bahasa dominan dan musik pop hingga pesawat TV dan perangkat keras komputer) ke seluruh dunia merupakan sebentuk penindasan atau “imperialisme” budaya kontemporer. Proses ini mendukung kepentingan ekonomi, politik, dan budaya dari adikuasa internasional seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan Jepang.

Imperialisme media dan imperialisme budaya merupakan gejala yang terjadi dalam waktu bersamaan. Media menjadi sarana di mana satu kelompok mengukuhkan posisinya dan merendahkan kelompok lain. Khalayak tidak merasa dibodohi atau dimanipulasi oleh media. Khalayak mengkonsumsi semua “produksi kesan” kemasan media dalam bentuk apapun yang seakan membuat


(17)

mereka merupakan bagian darinya, meskipun itu hanya impian atau ilusi. Salah satu bentuk kesan yang dapat diciptakan media adalah kriterium kepahlawanan (heroism) dari seseorang atau sekelompok orang bahkan suatu negara.

I.5.3 Analisis Wacana Kritis; Pendekatan Teun A. Van Dijk

Istilah analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai dalam banyak disiplin ilmu dan dengan berbagai pengertian. Meskipun ada gradasi yang besar dari berbagai definisi, titik singgungnya adalah analisis wacana berhubungan dengan studi mengenai bahasa/pemakaian bahasa (Eriyanto, 2001 : 3-4).

Analisis wacana kritis berisi metode-metode yang menekankan multi level analisis. Mempertahankan analisis pada jenjang mikro (teks) dengan analisis pada jenjang meso dan makro.

Ada beberapa pendekatan dari analisis wacana, salah satunya adalah Pendekatan Teun A. Van Dijk yang sering disebut sebagai Pendekatan Kognisi Sosial.

Menurut Van Dijk, penelitian mengenai wacana tidak bisa mengeksklusi seakan-akan teks adalah bidang yang kosong, sebaliknya ia adalah bagian kecil dari struktur besar masyarakat. Pendekatan yang dikenal sebagai kognisi sosial ini membantu memetakan bagaimana produksi teks yang melibatkan proses yang kompleks tersebut dapat dipelajari dan dijelaskan.

Teks bukan sesuatu yang datang dari langit, bukan juga suatu ruang hampa yang mandiri. Akan tetapi teks dibentuk dalam suatu praktek diskursus. Van Dijk tidak hanya membongkar teks semata, tapi ia melihat bagaimana struktur sosial, dominasi dan kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat dan bagaimana


(18)

kognisi/pikiran dan kesadaran yang membentuk dan berpengaruh terhadap teks tersebut. Wacana oleh Van Dijk digambarkan mempunyai tiga dimensi/bangunan : teks, kognisi sosial dan konteks sosial.

Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah struktur dari teks. Van Dijk memanfaatkan dan mengambil analisis linguistik –tentang kosakata, kalimat, proposisi, dan paragraf– untuk menjelaskan dan memaknai suatu teks. Van Dijk melihat suatu teks terdiri atas beberapa struktur/tingkatan yang masing-masing bagian saling mendukung. Makna global dari suatu teks didukung oleh kata, kalimat, dan proposisi yang dipakai. Pernyataan/tema pada level umum didukung oleh pilihan kata, kalimat, atau retorika tertentu. Prinsip ini membantu peneliti untuk mengamati bagaimana suatu teks terbangun lewat elemen-elemen yang lebih kecil. Skema ini juga memberikan peta untuk mempelajari suatu teks. Kita tidak cuma mengerti apa isi dari suatu teks berita, tetapi juga elemen yang membentuk teks berita, kata, kalimat, paragraf dan proposisi. Kita tidak hanya mengetahui apa yang diliput media, tetapi juga bagaimana media mengungkapkan peristiwa ke dalam pilihan bahasa tertentu dan bagaimana itu diungkapkan lewat retorika tertentu.

I.5.4 Komik

Pengertian “komik” secara umum adalah cerita bergambar dalam majalah, surat kabar, atau berbentuk buku, yang pada umumnya mudah dicerna dan lucu. Pengertian tersebut ada benarnya, namun pengertian ini menjadi kurang tepat terutama bagi komik-komik yang menampilkan cerita-cerita serius. (Sobur, 2003 : 137).


(19)

Komik Jepang memiliki keunikan tersendiri dibanding dengan komik-komik negara lain. Artworknya cukup sederhana, bentuk matanya bulat dan besar serta sangat kental dengan budaya dan nilai-nilai yang dianut masyarakat Jepang. Namun, seiring dengan perkembangannya, mulai banyak bermunculan komik dengan artwork yang lebih rumit, realistis, dan detail yang lebih rinci serta jalan cerita yang kompleks. Kentalnya budaya Jepang yang disajikan dalam manga (komik Jepang), menjadikan manga sebagai salah satu alat penyebaran budaya Jepang di seluruh dunia. (“The Manga Culture”, Kang Guru Radio English edisi Maret 2008)

I.6 Kerangka Konsep

Kerangka konsep merupakan kemampuan peneliti menyusun konsep operasional peneliti yang bertitik tolak pada kerangka teori dan tujuan penelitian (Lubis, 1998:110). Konsep adalah istilah dan defenisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat penelitian ilmu sosial. Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini adalah memakai model dari analisis wacana Teun A. Van Dijk.

Van Dijk menganalisis pada tiga tahap, yaitu teks, kognisi sosial dan konteks. Penelitian ini hanya membahas pada tahap teks. Analisis teks Van Dijk dibagi pada tiga level, yaitu :

1. Struktur Makro, mencakup tema atau topik yang dikedepankan. 2. Super Struktur, bagaimana urutan teks diskemakan.


(20)

I.7 Definisi Operasional

1. Tematik

Menunjukkan gambaran umum dari suatu teks. Bisa juga disebut sebagai gagasan inti, ringkasan, atau yang utama dari suatu teks.

2. Skematik

Teks atau wacana mempunyai skema atau alur dari pendahuluan sampai akhir. Bagaimana bagian-bagian dalam teks disusun dan diurutkan sehingga terbentuk suatu kesatuan arti.

3. Latar

Latar merupakan bagian teks yang dapat mempengaruhi semantik (arti) yang ingin ditampilkan. Latar belakang peristiwa menentukan ke arah mana pandangan khalayak hendak dibawa.

4. Detil

Berhubungan dengan kontrol informasi yang ditampilkan seseorang untuk melakukan penonjolan dan menciptakan citra tertentu dan mengekspresikan sikapnya secara implisit.

5. Maksud

Menunjukkan bagaimana pembuat teks secara eksplisit menonjolkan kebenaran tertentu dan secara implisit mengaburkan kebenaran lain.

6. Koherensi

Adalah pertalian atau jalinan antar kata dan kalimat dalam teks. Dua buah kalimat yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat dihubungkan sehingga tampak koheren.


(21)

7. Koherensi Kondisional

Ditandai dengan pemakaian anak kalimat sebagai penjelas. Ada tidaknya anak kalimat tidak akan mengurangi arti kalimat.

8. Koherensi Pembeda

Berhubungan dengan bagaimana dua peristiwa atau fakta itu hendak dibedakan. Dua buah peristiwa dapat dibuat saling bertentangan dan berseberangan. Perlu diketahui bagian mana yang diperbandingkan dan dengan cara apa perbandingan itu dilakukan.

9. Pengingkaran

Bagaimana pembuat teks menyembunyikan apa yang akan diekspresikan secara implisit.

10.Bentuk Kalimat

Merupakan segi sintaksis yang berhubungan dengan cara berpikir logis, yaitu prinsip kausalitas. Bentuk kalimat ini tidak hanya persoalan teknis di ketatabahasaan tetapi juga menentukan makna yang dibentuk oleh susunan kalimat itu.

11.Kata ganti

Elemen ini untuk memanipulasi bahasa dengan menciptakan suatu komunitas imajinatif. Kata ganti merupakan alat untuk menunjukkan dimana posisi seseorang dalam wacana.

12.Leksikon

Elemen ini menandakan bagaimana seseorang melakukan pemilihan kata atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia. Pilihan kata-kata yang dipakai menunjukkan sikap dan ideologi tertentu.


(22)

13.Praanggapan

Merupakan pernyataan yang digunakan untuk mendukung makna suatu teks dengan memberikan premis yang dipercaya kebenarannya.

14.Grafis

Merupakan bagian untuk memeriksa bagian yang ditekankan atau ditonjolkan. Dapat diamati beberapa bagian yang dibedakan dari tulisan lain.

15.Metafora

Penyampaian pesan melalui kiasan, ungkapan, metafora sebagai ornamen dari suatu teks. Yang dapat menjadi petunjuk utama untuk mengerti makna suatu teks.

I.8 Metode Penelitian

I.8.1 Tipe Penelitian

Penelitian ini menggunakan paradigma kritis, yakni salah satu cara pandang dalam menganalisis media. Dikategorikan dalam penelitian interpretatif, dan bersifat subjektif. Metode penelitian ini menggunakan analisis wacana versi Teun A. Van Dijk pada level teks.

Pada level teks ini terdapat tiga lapis yaitu makro, super struktur, dan mikro. Dengan analisis wacana model Van Dijk ini akan mengungkapkan bagaimana penggunaan bahasa digunakan untuk membentuk realitas media.

I.8.2 Objek Penelitian

Yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah komik-komik yang berasal dari Jepang yang telah beredar di Indonesia, yaitu Samurai X, Naruto dan Death Note.


(23)

I.8.3 Unit dan Level analisis

Unit yang akan dianalisis adalah teks dari isi cerita dalam komik Samurai X, Naruto dan Death Note. Ketiga komik ini dipilih dengan pertimbangan bahwa komik tersebut cukup laris di pasaran, terbukti dengan diangkatnya serial komik tersebut ke dalam bentuk animasi dan dua di antaranya pernah ditayangkan di stasiun televisi swasta di Indonesia. Selain itu, komik-komik tersebut juga dipilih berdasarkan masa terbitnya, dimana setiap judul komik mewakili masanya masing-masing. Samurai X mewakili komik Jepang yang beredar di Indonesia pada tahun 2001. Sementara Naruto mewakili komik Jepang yang terbit di masa tahun 2004. Yang terakhir, Death Note, mewakili komik Jepang yang dirilis pada akhir 2007. Setelah diadakan pra-penelitian, maka komik yang akan diteliti berjumlah 10 jilid dengan rincian 4 jilid komik Samurai X, 3 jilid komik Naruto dan 3 jilid komik Death Note.

Analisis hanya dilakukan pada level teks saja. Bagaimana strategi tekstual yang dipakai dalam komik tersebut untuk memarginalkan suatu kelompok, memasukkan gagasan atau nilai-nilai tertentu sebagai bentuk dari imperialisme budaya. Jika digambarkan maka struktur teks adalah sebagai berikut :

Stuktur Makro

Makna global dari suatu teks yang diamati dari topik atau tema yang diangkat dari suatu teks.

Super Struktur

Kerangka dari suatu teks, seperti bagian pendahuluan, isi, penutup, dan kesimpulan.

Struktur Mikro

Makna lokal dari suatu teks yang diamati dari pilihan kata, kalimat, dan gaya yang dipakai oleh suatu teks.


(24)

I.8.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah :

a. Data Primer, yaitu data-data unit analisa dari teks-teks yang terdapat pada komik.

b. Data Sekunder, yaitu library research dengan cara mengumpulkan literatur serta berbagai sumber bacaan yang relevan dan mendukung penelitian.

I.8.5 Teknik Analisis Data

Analisis data menunjukkan kegiatan penyederhanaan data ke dalam susunan tertentu yang lebih dibaca dan diinterpretasikan. Penelitian ini menganalisis teks pada komik Jepang dengan menggunakan Analisis Wacana. Teks dianalisis dengan kerangka analisis wacana Teun A. Van Dijk, untuk kemudian disederhanakan lagi ke dalam tabel.


(25)

STRUKTUR WACANA

HAL YANG DIAMATI ELEMEN

Struktur Makro Tematik

Tema atau topik yang dikedepankan dalam suatu berita

Topik

Super Struktur Skematik

Bagaimana bagian dan urutan teks diskemakan dalam teks secara utuh.

Skema

Struktur Mikro Semantik

Makna yang ingin ditekankan dalam teks. Misalnya dengan memberi detil pada satu sisi atau membuat eksplisit pada satu sisi dan mengurangi detil di sisi lain.

Latar, detil, maksud, praanggapan,

nominalisasi

Struktur Mikro Sintaksis

Bagaimana kalimat (bentuk, susunan) yang dipilih

Bentuk kalimat, koherensi, kata ganti.

Struktur Mikro Stilistik

Bagaimana pilihan kata yang dipakai dalam teks.

Leksikon

Struktur Mikro Retoris

Bagaimana dan dengan cara apa penekanan dilakukan.


(26)

I.9 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari 5 bab yaitu:

BAB I : Pendahuluan, bagian ini terdiri dari Latar Belakang Masalah,

Perumusan Masalah, Pembatasan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Kerangka Teori, Kerangka Konsep, Operasionalisasi Konsep, Metodologi Penelitian serta Sistematika Penulisan.

BAB II : Uraian Teoritis, berisi pengertian dan teori-teori yang digunakan

dalam penelitian, yaitu Teori Komunikasi dan Komunikasi Massa, Imperialisme Budaya, Analisis Wacana Kritis; Pendekatan Teun A. Van Dijk, dan Komik.

BAB III : Metodologi Penelitian, bab ini berisi tentang Deskripsi Objek

Penelitian, Tipe Penelitian, Objek Penelitian, Unit dan Level Analisis, Teknik Pengumpulan Data, dan Teknik Analisis Data.

BAB IV : Pembahasan Data, menyajikan keseluruhan penelitian dimana

data yang diperoleh dibahas dan dijabarkan sesuai dengan tujuan penelitian. Secara rinci bab ini terdiri dari Penyajian Data, Analisis Data dan Uraian Analisis.

BAB V : Penutup, pada bab terakhir ini dibuat Kesimpulan mengenai


(27)

BAB II

URAIAN TEORITIS

Kerangka teori berisi pokok-pokok pikiran yang menjadi titik tolak atau landasan dalam menyoroti masalah, sehingga menggambarkan juga dari sudut masalah penelitian disoroti. Kerangka teori juga berfungsi sebagai tolak ukur untuk menguji kondisi variabel atau gejala didalamnya yang sama berdasarkan pengumpulan dan pengolahan data. (Nawawi, 1991: 32).

Adapun teori-teori yang dianggap relevan dalam penelitian ini adalah teori komunikasi dan komunikasi massa, Imperialisme Budaya, Analisis Wacana Kritis; Pendekatan Teun A. Van Dijk, dan komik.

II.1 Komunikasi Massa

Kata “komunikasi” atau communication (Inggris) berasal dari kata Latin

communis yang berarti “sama”, communico, communicatio, atau communicare

yang berarti “membuat sama” (to make common). Istilah pertama (communis) adalah istilah yang paling sering disebut sebagai asal-usul kata komunikasi, yang merupakan akar dari kata-kata Latin lainnya yang mirip. Secara sederhana, komunikasi menyarankan bahwa suatu pikiran, suatu makna, atau suatu pesan dianut secara sama. (Mulyana, 2004 : 41)

Defenisi komunikasi sendiri sangatlah banyak jumlahnya, namun rumusan yang paling populer di kalangan orang yang mempelajari komunikasi adalah rumusan yang dibuat oleh Harold Laswell. Untuk menerangkan proses komunikasi, Laswell menjabarkannya dengan menjawab pertanyaan berikut:


(28)

“Who says what in which channel to whom and with what effect?”. Melalui pertanyaan ini, Laswell menjabarkan lima komponen atau unsur yang ada dalam komunikasi, yaitu Siapa yang mengatakan (komunikator); Apa yang dikatakan (pesan); Media apa yang digunakan (media); kepada Siapa pesan disampaikan (komunikan); dan dengan Akibat bagaimana yang terjadi (efek). (Winarso, 2005 : 4)

Dari pengertian Laswell tersebut, media merupakan salah satu unsur yang terdapat dalam kegiatan komunikasi. Ketika kita berbicara tentang media, maka hal yang cukup menarik untuk dibahas adalah media massa yang menjadikan komunikasi berperan sebagai penghubung sistem sosial. Dan kegiatan ini disebut sebagai komunikasi massa.

Definisi komunikasi massa yang paling sederhana dirumuskan oleh Bittner, yakni: komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang.

Pengertian komunikasi massa terutama dipengaruhi oleh kemampuan media massa untuk membuat produksi masssal dan untuk menjangkau khalayak dalam jumlah besar. Di samping itu, ada pula makna lain –yang dianggap makna asli – dari kata massa, yakni suatu makna yang mengacu pada kolektivitas tanpa bentuk, yang komponen-komponennya sulit dibedakan satu sama lain. Kamus bahasa Inggris ringkas memberikan definisi “massa” sebagai “suatu kumpulan orang banyak yang tidak mengenal keberadaan individualitas”. Definisi ini hampir menyerupai pengertian “massa” yang digunakan oleh para ahli sosiologi, khususnya bila dipakai dalam kaitannya dengan khalayak media. (Mc Quail, 1989 : 31).


(29)

Dalam Severin dan Tankard (2007 : 4) menurut Wright (1959), perubahan teknologi baru menyebabkan perubahan dalam definisi komunikasi massa yang mempunyai tiga ciri :

1. Komunikasi massa diarahkan kepada audiens yang relatif besar, heterogen dan anonim.

2. Pesan-pesan yang disebarkan secara umum, sering dijadwalkan untuk bisa mencapai sebanyak mungkin anggota audiens secara serempak dan sifatnya sementara.

3. Komunikator cenderung berada atau beroperasi dalam sebuah organisasi yang kompleks yang mungkin membutuhkan biaya yang besar.

Dari pengertian-pengertian di atas jelas terlihat bahwa dalam komunikasi massa diperlukan alat sebagai penyebaran isi komunikasinya, alat tersebut adalah media massa. Media massa menurut sifatnya dapat dibedakan menjadi media elektronik dan media cetak. Sementara menurut periodiknya, media massa dapat dibedakan menjadi media periodik seperti surat kabar atau majalah, dan media non periodik seperti buku termasuk komik.

Pada dasarnya komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa (media cetak dan media elektronik). Komunikasi massa berasal dari pengembangan kata media of mass communication (media komunikasi massa). Media massa menunjuk pada hasil produk teknologi modern sebagai saluran dalam komunikasi massa. Massa dalam arti komunikasi massa lebih menunjuk pada penerima pesan yang berkaitan dengan media massa. Massa disini menunjuk kepada khalayak, audience, penonton, pemirsa atau pembaca. (Nurudin, 2004 : 2-3)


(30)

Alexis S Tan menyebutkan bahwa fungsi komunikasi massa bisa beroperasi dalam empat hal, dua diantaranya adalah mempersuasi dan menyenangkan; memuaskan kebutuhan komunikasi. Media massa sebagai alat dalam komunikasi massa diyakini mampu memberi keputusan; mengadopsi nilai, tingkah laku dan aturan yang cocok agar diterima dalam masyarakatnya. Media massa juga mampu menggembirakan audiences-nya, mengendorkan urat syaraf, menghibur, mengalihkan perhatian dari masalah yang dihadapi. (Nurudin, 2004 : 63)

Bagi Joseph A. Devito (1997) fungsi persuasi dianggap sebagai bentuk yang paling penting. Persuasi bisa datang dari berbagai macam bentuk; (1) mengukuhkan atau memperkuat sikap, kepercayaan, atau nilai seseorang, (2) mengubah sikap, kepercayaan, atau nilai seseorang, (3) menggerakkan seseorang untuk melakukan sesuatu dan (4) memperkenalkan etika, atau menawarkan sistem tertentu.

Elemen komunikasi pada komunikasi secara umum juga berlaku bagi komunikasi massa. Perbedaan komunikasi massa dengan komunikasi pada umumnya lebih berdasarkan pada jumlah pesan berlipat-lipat yang sampai pada penerima. Dalam komunikasi massa pengirim sering disebut sebagai sumber (source) atau komunikator sedangkan penerima pesan yang berjumlah banyak itu disebut audience, komunikan, pendengar, pemirsa, penonton atau pembaca. Sementara saluran dalam komunikasi massa yang dimaksud antara lain televisi, radio, surat kabar, buku, film, kaset/CD, internet yang juga sering disebut sebagai media massa. Ada beberapa elemen dalam komunikasi massa antara lain, komunikator, isi, audience, umpan balik, gangguan (saluran dan semantik), gatekeeper, pengatur, filter dan efek.


(31)

1. Komunikator

Komunikator dalam komunikasi massa merupakan gabungan dari berbagai individu dalam sebuah lembaga media massa yang bekerja sama satu sama lain. Komunikator dalam komunikasi massa sifatnya mencari keuntungan. Bukan semata-mata mencari keuntungan, tetapi orientasi keuntungan menjadi dasar pembentukan organisasi. Media massa membutuhkan pemasukan bagi kelangsungan hidup lembaga itu sendiri. Setidak-tidaknya ada lima karakteristik yang dipunyai komunikator dalam komunikasi massa : 1) daya saing (competitiveness), 2) ukuran dan kompleksitas (size and complexity), 3) industrialisasi (industrialization), 4) spesialisasi (specialization), dan 5) perwakilan (representation).

2. Isi

Masing-masing media punya kebijakan sendiri-sendiri dalam isinya. Sebab, masing-masing media itu tidak hanya melayani masyarakat yang beragam tetapi juga menyangkut individu atau kelompok sosial. Bagi Ray Eldon Hiebert dkk (1985) isi media setidak-tidaknya bisa dibagi ke dalam lima kategori yakni; 1) berita dan informasi, 2) analisis dan interpretasi, 3) pendidikan dan sosialisasi, 4) hubungan masyarakat dan persuasi, 5) iklan dan bentuk penjualan lain, dan 6) hiburan.

3. Audiences

Audience dalam komunikasi massa sangat beragam, dari jutaan penonton

televisi, ribuan pembaca buku atau ratusan pembaca jurnal ilmiah. Masing-masing

audience ini berbeda satu sama lain. Mereka berbeda dalam cara berpakaian,


(32)

hidupnya. Tetapi masing-masing individu ini juga bisa saling mereaksi satu sama lain terhadap pesan yang diterimanya. Audience dalam komunikasi massa memiliki karakteristik cenderung berisi individu-individu yang condong untuk berbagi pengalaman dan dipengaruhi oleh hubungan sosial diantara mereka, besar, heterogen, anonim dan secara fisik dipisahkan dari komunikator secara ruang dan waktu.

4. Umpan Balik

Di dalam komunikasi massa, umpan balik biasanya terjadi tidak secara langsung atau tertunda. Artinya, antara komunikator dengan komunikan dalam komunikasi massa tidak terjadi kontak langsung yang memungkinkan mereka mengadakan reaksi langsung satu sama lain.

5. Gangguan

Gangguan dalam komunikasi massa bisa dibedakan atas gangguan saluran dan gangguan semantik. Gangguan saluran bisa terjadi dari kesalahan komunikator sendiri maupun dari luar diri komunikator tersebut. Gangguan saluran antara lain berupa kesalahan cetak pada media cetak, langganan majalah yang tidak datang atau gambar tak jelas pada televisi. Sedangkan gangguan semantik adalah gangguan dalam proses komunikasi yang diakibatkan oleh pengirim atau penerima pesan itu sendiri. Gangguan ini terjadi akibat banyaknya perbedaan yang terjadi pada audience sehingga sangat mustahil memberikan pesan yang sangat tepat melalui berbagai seperangkat nilai, kebutuhan, hobi, harapan, suasana hati, minat, pengalaman hidup, kemampuan bahasa individu tertentu.


(33)

6. Gatekeeper

Istilah gatekeeper tidak hanya terbatas untuk menunjuk orang atau organisasi yang memberi ijin suatu kegiatan, tetapi mempengaruhi keluar masuknya “sesuatu”. Mereka yang disebut gatekeeper antara lain reporter, editor berita atau editor film atau orang lain dalam media massa yang ikut menentukan arus informasi yang disebarkan. Mereka memainkan peranan dalam beberapa fungsi. Mereka dapat menghapus pesan atau mereka bahkan bisa memodifikasi dan menambah pesan yang akan disebarkan. Mereka pun bisa menghentikan sebuah informasi dan tidak membuka “pintu gerbang” (gate) bagi keluarnya informasi yang lain.

7. Pengatur

Yang dimaksud pengatur dalam media massa adalah mereka yang secara tidak langsung ikut mempengaruhi proses aliran pesan media massa. Pengatur ini tidak berasal dari dalam media itu, tetapi di luar media. Namun demikian, meskipun di luar media massa, kelompok itu bisa ikut menentukan kebijakan redaksional. Sedangkan pengatur yang dimaksud antara lain pengadilan, pemerintah, konsumen, organisasi professional, kelompok penekan, juga termasuk narasumber dan pengiklan. Sedangkan aturan untuk mengatur itu bisa berisi hukum, aturan, pelarangan, tekanan informal yang bisa mengontrol isi media atau struktur yang ada dalam media tersebut.

8. Filter

Yang dimaksud filter adalah kerangka pikir melalui mana audience menerima pesan. Filter ibarat sebuah bingkai kacamata dimana audience bisa melihat dunia. Ini berarti dunia riil yang diterima dalam memori sangat tergantung


(34)

dari bingkai tersebut. Ada beberapa filter antara lain, fisik, psikologis, budaya dan yang berkaitan dengan informasi.

9. Efek

Efek komunikasi massa bisa dibagi menjadi beberapa bagian. Secara sederhana Keith R Stamm dan John E Bowes (1990) membagi kedua bagian dasar. Pertama, efek primer meliputi terpaan, perhatian dan pemahaman. Kedua, efek sekunder meliputi perubahan tingkat kognitif (perubahan pengetahuan dan sikap) dan perubahan perilaku (menerima dan memilih). (Nurudin, 2004 : 192)

II.2 Teori Imperialisme Budaya

Istilah imperialisme diintrodusir oleh Lenin dan Hobson. Dua teori imperialisme yang paling awal dikemukakan oleh Hobson dan Lenin. Cukup banyak persamaan pemikiran antara keduanya, sehingga sering diidentikkan dengan “tesis Hobson-Lenin”, Hobson berpendapat bahwa terdapat permintaan efektif yang tidak mencukupi di negara-negara metropolis, karena upah yang rendah; dan konsekuensinya, kaum kapitalis memerlukan pasar untuk menjual komoditinya di luar negeri. Ia percaya bahwa redistribusi pendapatan akan memecahkan masalah konsumsi kurang ini.

Hobson mengungkapkan bahwa imperialisme merupakan perwujudan suatu negara federasi dunia dimana kebijakan utamanya berpusat pada adopsi oleh beberapa negara-negara lain dan berada di bawah suatu hegemoni dari negara pusat. (Hobson, 1988 : 8)

Argumen Lenin agak berbeda, ia berpendapat bahwa merosotnya laju keuntungan di negara-negara metropolis berarti bahwa dengan dibukanya


(35)

wilayah-wilayah jajahan, terdapat kesempatan-kesempatan investasi yang lebih menguntungkan di luar negeri. Lenin menyatakan bahwa imperialisme ditandai oleh jaringan pengaliran modal ke wilayah koloni. (Purba, 2005 : 42)

Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa Imperialisme berarti hegemoni politik-ekonomi-budaya yang dijalankan suatu bangsa atas bangsa-bangsa lain. Kata ini biasanya mengacu pada imperialisme budaya atau imperialisme media yang mencerminkan keprihatinan mengenai bagaimana perangkat keras dan perangkat lunak komunikasi digunakan oleh negara-negara adikuasa untuk memasukkan nilai dan agenda politik-ekonomi-budaya mereka pada bangsa dan budaya yang kalah kuat. Imperialisme media merupakan salah satu istilah yang berhubungan dengan imperialisme budaya. Media memainkan peranan penting dalam menghasilkan kebudayaan dan mempunyai peranan yang besar sekali dalam proses imperialisme budaya.

Gagasan mengenai imperialisme “budaya” atau “media” berasal dari teori dan bukti awal tentang peran media dalam pembangunan nasional (misalnya Lerner, 1958; Schramm, 1964) dan dalam perumusan ulang secara kritis yang dilakukan oleh para penulis seperti Schiller (1969), Wells (1972), Mattelart (1979), dan banyak lainnya. Korelasi pandangan bahwa media dapat membantu “modernisasi” dengan memperkenalkan nilai-nilai “barat” dilakukan dengan mengorbankan nilai-nilai tradisional dan hilangnya “keaslian” budaya lokal. Secara sederhana, dapat dikemukakan bahwa nilai-nilai yang diperkenalkan itu adalah nilai-nilai kapitalisme dan karenanya prosesnya “imperialistis” serta dilakukan secara sengaja, atau disadari dan sistematis, yang menempatkan negara


(36)

yang sedang berkembang dan lebih kecil di bawah kepentingan kekuasaan kapitalis yang lebih dominan.

Herberth Schiller dalam bukunya “Communication and Cultural Domination” (1976) menegaskan penggunaan istilah imperialisme budaya untuk menggambarkan dan menjelaskan cara perusahaan-perusahaan multinasional termasuk media dalam membangun negara-negara yang didominasi negara yang sedang berkembang. Schiller juga mengungkapkan bahwa spill over informasi akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi di samping menciptakan global village yang telah diprediksi oleh Naisbitt dan Toffler bisa juga melahirkan imperialisme budaya.

Menurut Schiller Imperialisme budaya merupakan suatu proses dimana masyarakat dibawa kepada sistem dunia modern dan bagaimana ia menguasai seluruh lapisan, menekan, memaksa, dan kadang-kadang masuk ke dalam lembaga sosial tersebut untuk mempromosikan nilai-nilai dan struktur dari sistem pusat.

Secara ringkas Baran mengungkapkan imperialisme budaya merupakan invasi dari negara-negara asing yang powerful terhadap suatu kultur masyarakat asli atau pribumi melalui media massa. (Baran, 2004 : 521)

Imperialisme budaya merupakan sebuah konsep kritis yang menyatakan bahwa difusi artifak, citra dan gaya budaya modern (dari bahasa-bahasa dominan dan musik pop hingga pesawat TV dan perangkat keras komputer) ke seluruh dunia merupakan sebentuk penindasan atau “imperialisme” budaya kontemporer. Proses ini mendukung kepentingan ekonomi, politik, dan budaya dari adikuasa internasional seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan Jepang.


(37)

Berdasarkan garis besar dari dalil Schiller (1976), ada beberapa konsep pokok dari Imperialisme budaya, yaitu :

1. Sistem dunia modern, merupakan konsep sederhana yang menunjukkan kapitalisme.

2. Masyarakat, konsep sederhana yang menunjukkan beberapa negara atau masyarakat dalam batas geografi tertentu yang akan dikembangkan. 3. Sistem pusat yang mendominasi, menunjukkan negara-negara maju atau

dalam diskursus arus informasi internasional disebut sebagai negara pusat.

4. Struktur dan nilai, menunjukkan kebudayaan atau organisasi dari negara yang berkuasa ke negara berkembang.

Imperialisme media dan imperialisme budaya merupakan gejala yang terjadi dalam waktu bersamaan. Media menjadi sarana di mana satu kelompok mengukuhkan posisinya dan merendahkan kelompok lain. Khalayak tidak merasa dibodohi atau dimanipulasi oleh media. Khalayak mengkonsumsi semua “produksi kesan” kemasan media dalam bentuk apapun yang seakan membuat mereka merupakan bagian darinya, meskipun itu hanya impian atau ilusi. Salah satu bentuk kesan yang dapat diciptakan media adalah kriterium kepahlawanan (heroism) dari seseorang atau sekelompok orang bahkan suatu negara.

Idi Subandy Ibrahim dalam Hegemoni Budaya mengungkapkan bahwa di bawah figur media yang keras, orang bisa dikendalikan dan akhirnya dihancurkan. Tetapi, ada juga yang mengendalikan dan mengekspresikan diri melalui media. Amerika Serikat, misalnya, telah dengan mengesankan mentasbihkan dirinya sebagai ‘pahlawan’ yang selalu berbicara atas nama misi perdamaian dalam setiap


(38)

invasi. Sejarah mencatat bahwa setiap pahlawan membutuhkan “media”. Jika dulu medianya adalah revolusi maka sekarang medianya adalah media massa. Media massa mampu menciptakan pahlawan-pahlawan kultural rekaan media yang ditokohkan atas dasar citra (image) atau kesan (impression) simbolis yang kemudian mengukuhkan kriterium kepahlawanan (heroism) seseorang.

Salah satu yang mendasari munculnya teori ini adalah bahwa pada dasarnya manusia tidak mempunyai kebebasan untuk menentukan bagaimana mereka berpikir, apa yang dirasakan dan bagaimana mereka hidup. Umumnya, mereka cenderung mereaksi apa saja yang dilihatnya dari media massa. Akibatnya, individu-individu itu lebih senang meniru apa yang disajikan media massa. Mengapa? Karena media massa menyajikan hal baru yang berbeda dengan yang biasa mereka lakukan. Media massa juga merupakan alat kultural yang memuat produk budaya di mana ia berasal. Sebagaimana yang telah disebutkan di awal tulisan ini semuanya bermuara pada imprialisme budaya.

Teori ini juga menerangkan bahwa ada satu kebenaran yang diyakininya. Sepanjang negara dunia ketiga terus menerus menyiarkan atau mengisi media massanya dengan materi yang berasal dari negara-negara maju, orang-orang dunia ketiga akan selalu percaya apa yang seharusnya mereka kerjakan, pikir dan rasakan. Perilaku ini sama persis seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari kebudayaan negara-negara maju tersebut.

Teori imperialisme budaya ini juga tak lepas dari kritikan. Teori ini terlalu memandang sebelah mata kekuatan audience di dalam menerima terpaan media massa dan menginterpretasikan pesan-pesannya. Ini artinya, teori ini menganggap bahwa budaya yang berbeda (yang tentunya lebih maju) akan selalu membawa


(39)

pengaruh peniruan pada orang-orang yang berbeda budaya. Tetapi yang jelas, terpaan yang terus-menerus oleh suatu budaya yang berbeda akan membawa pengaruh perubahan, meskipun sedikit. (Nurudin, 2004 : 167)

II.3 Analisis Wacana Kritis; Pendekatan Teun A. Van Dijk

Kata wacana adalah salah satu kata yang banyak disebut saat ini. Kata wacana ini sendiri memiliki makna yang luas, ini dikarenakan oleh perbedaan lingkup dan disiplin ilmu yang memakai istilah wacana tersebut. Namun dari banyaknya pengertian tersebut terdapat sebuah kesamaan dimana wacana merupakan bentuk dari pemakaian bahasa. Karena bahasa adalah aspek sentral dari penggambaran suatu subjek, dan lewat bahasa ideologi terserap di dalamnya, maka aspek inilah yang dipelajari dalam analisis wacana.

Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang wacana, ada baiknya kita melihat batasan atau pengertian wacana dari berbagai sumber. Istilah wacana sekarang ini dipakai sebagai terjemahan dari perkataan bahasa Inggris discourse. Dalam salah satu kamus bahasa Inggris terkemuka, mengenai wacana atau discourse ini kita dapat membaca keterangan sebagai berikut:

Kata discourse berasa dari bahasa Latin discursus yang berarti lari kian kemari (yang diturunkan dari ‘dis’-dari, dalam arah yang berbeda’, dan currere ‘lari’).

1. Komunikasi pikiran dengan kata-kata; ekspresi ide-ide atau gagasan-gagasan; konversasi atau percakapan.

2. Komunikasi secara umum, terutama sebagai suatu subjek studi atau pokok telaah.

3. Risalat tulis; disertasi formal; kuliah; ceramah; khotbah (Webster dikutip oleh Sobur, 2004 : 10)

Sebuah tulisan adalah sebuah wacana. Tetapi, apa yang dinamakan wacana itu tidak perlu hanya sesuatu yang tertulis seperti diterangkan dalam kamus


(40)

Websters; sebuah pidato pun adalah wacana juga. Jadi, kita mengenal wacana lisan dan wacana tertulis. Ini sejalan dengan pendapat Henry Guntur Tarigan bahwa “Istilah wacana dipergunakan untuk mencakup bukan hanya percakapan atau obrolan, tetapi juga pembicaraan di muka umum, tulisan, serta upaya-upaya formal seperti laporan ilmiah dan sandiwara atau lakon”. (Sobur, 2004 : 10)

Dalam pengertian yang lebih sederhana, wacana berarti cara objek atau ide diperbincangkan secara terbuka kepada publik sehingga menimbulkan pemahaman tertentu yang tersebar luas. Wacana selalu mengandaikan pembicara/penulis, apa yang dibicarakan, dan pendengar/pembaca. Bahasa merupakan mediasi dalam proses ini.

Istilah analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai dalam banyak disiplin ilmu dan dengan berbagai pengertian. Meskipun ada gradasi yang besar dari berbagai definisi, titik singgungnya adalah analisis wacana berhubungan dengan studi mengenai bahasa/pemakaian bahasa (Eriyanto, 2001 : 3-4).

Seperti yang banyak dilakukan dalam penelitian mengenai organisasi pemberitaan selama dan sesudah tahun 1960-an, analisis wacana menekankan pada “how the ideological significance of news is part and parcel of the methods used to process news” (bagaimana signifikansi ideologis berita merupakan bagian dan menjadi paket metode yang digunakan untuk memproses media).

Lantas, apakah yang disebut analisis wacana itu? Jika kita coba rumuskan, analisis wacana adalah studi tentang struktur pesan dalam komunikasi. Lebih tepatnya lagi, analisis wacana adalah telaah mengenai aneka fungsi (pragmatik) bahasa. Kita menggunakan bahasa dalam kesinambungan atau untaian wacana. Tanpa konteks, tanpa hubungan-hubungan wacana yang bersifat antarkalimat, dan


(41)

suprakalimat maka kita sukar berkomunikasi dengan tepat satu sama lain. Analisis wacana lahir dari kesadaran bahwa persoalan yang terdapat dalam komunikasi bukan terbatas pada penggunaan kalimat atau bagian kalimat, fungsi ucapan, tetapi juga mencakup struktur pesan yang lebih kompleks dan inheren yang disebut wacana. Dalam upaya menganalisis unit bahasa yang lebih besar dari kalimat tersebut, analisis wacana tidak terlepas dari pemakaian kaidah berbagai cabang ilmu bahasa, seperti halnya semantik, sintaksis, morfologi, dan fonologi. (Sobur, 2004 : 48)

Terdapat tiga pandangan mengenai bahasa dalam analisis wacana, Positivisme-empiris, Konstruktivisme, dan Pandangan Kritis. Pandangan kritis sendiri tercipta sebagai hasil koreksi dari pandangan konstruktivisme yang kurang sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional. Dalam Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis/ CDA), wacana disini tidak dipahami sebagai studi bahasa. Bahasa disini dianalisis bukan dengan menggambarkan semata dari aspek kebahasaan tetapi juga menghubungkan dengan konteks. Artinya, bahasa dipakai untuk tujuan dan praktek tertentu termasuk di dalamnya praktek kekuasaan dalam melihat ketimpangan yang terjadi.

Karakteristik Analisis Wacana Kritis menurut Teun A. Van Dijk, Fairclough dan Wodak adalah:

1. Tindakan

Wacana diasosiasikan sebagai bentuk interaksi. Pertama wacana dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan. Kedua, wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar, terkontrol, bukan sesuatu yang di luar kendali.


(42)

2. Konteks

Analisis Wacana Kritis mempertimbangkan konteks dari wacana seperti latar, situasi, peristiwa dan kondisi. Wacana diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu.

3. Historis

Salah satu aspek penting untuk mengerti teks adalah dengan menempatkan wacana itu dalam konteks historis tertentu dimana wacana itu diciptakan.

4. Kekuasaan

Setiap wacana yang muncul dalam bentuk teks, percakapan atau apapun, tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan netral tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Kekuasaan berhubungan dengan kontrol kekuasaan.

5. Ideologi

Teori-teori klasik tentang ideologi diantaranya mengatakan bahwa ideologi dibangun oleh kelompok yang dominan dengan tujuan mereproduksi dan melegitimasi dominasi mereka.

Analisis wacana kritis berisi metode-metode yang menekankan multi level analisis. Mempertahankan analisis pada jenjang mikro (teks) dengan analisis pada jenjang meso dan makro.

Sebetulnya, banyak model analisis wacana yang diperkenalkan dan dikembangkan oleh para ahli. Eriyanto (2001) dalam buku Analisis Wacana-nya, misalnya, menyajikan model-model analisis wacana yang dikembangkan oleh Roger Fowler dkk. (1979), Theo van Leeuwen (1986), Sara Mills (1992), Norman Fairclough (1998), dan Teun A. van Dijk (1998). Dari sekian banyak model


(43)

analisis wacana itu, model van Dijk adalah model yang paling banyak dipakai. Ini dikarenakan van Dijk mengelaborasi elemen-elemen wacana sehingga bisa aplikasikan secara praktis. (Sobur, 2004 : 73)

Model yang dipakai van Dijk ini kerap disebut sebagai “kognisi sosial”. Istilah ini sebenarnya diadopsi dari pendekatan lapangan psikologi sosial, terutama untuk menjelaskan struktur dan proses terbentuknya suatu teks. Nama pendekatan semacam ini tidak dapat dilepaskan dari karakteristik pendekatan yang diperkenalkan oleh van Dijk. Menurut van Dijk, penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis atas teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang harus juga diamati (Eriyanto, 2001 : 221).

Menurut Van Dijk, penelitian mengenai wacana tidak bisa mengeksklusi seakan-akan teks adalah bidang yang kosong, sebaliknya ia adalah bagian kecil dari struktur besar masyarakat. Pendekatan yang dikenal sebagai kognisi sosial ini membantu memetakan bagaimana produksi teks yang melibatkan proses yang kompleks tersebut dapat dipelajari dan dijelaskan.

Teks bukan sesuatu yang datang dari langit, bukan juga suatu ruang hampa yang mandiri. Akan tetapi teks dibentuk dalam suatu praktek diskursus. Van Dijk tidak hanya membongkar teks semata, tapi ia melihat bagaimana struktur sosial, dominasi dan kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat dan bagaimana kognisi/pikiran dan kesadaran yang membentuk dan berpengaruh terhadap teks tersebut. Wacana oleh Van Dijk digambarkan mempunyai tiga dimensi/bangunan : teks, kognisi sosial dan konteks sosial.

Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah struktur dari teks. Van Dijk memanfaatkan dan mengambil analisis linguistik –tentang kosakata, kalimat,


(44)

proposisi, dan paragraf– untuk menjelaskan dan memaknai suatu teks. Van Dijk melihat suatu teks terdiri atas beberapa struktur/tingkatan yang masing-masing bagian saling mendukung. Makna global dari suatu teks didukung oleh kata, kalimat, dan proposisi yang dipakai. Pernyataan/tema pada level umum didukung oleh pilihan kata, kalimat, atau retorika tertentu. Prinsip ini membantu peneliti untuk mengamati bagaimana suatu teks terbangun lewat elemen-elemen yang lebih kecil. Skema ini juga memberikan peta untuk mempelajari suatu teks. Kita tidak cuma mengerti apa isi dari suatu teks berita, tetapi juga elemen yang membentuk teks berita, kata, kalimat, paragraf dan proposisi. Kita tidak hanya mengetahui apa yang diliput media, tetapi juga bagaimana media mengungkapkan peristiwa ke dalam pilihan bahasa tertentu dan bagaimana itu diungkapkan lewat retorika tertentu. Kalau digambarkan maka struktur teks adalah sebagai berikut:

Bagan Struktur Teks Menurut van Dijk

(Sumber : Eriyanto 2001: 227)

Pemakaian kata, kalimat, proposisi, retorika tertentu oleh media dipahami van Dijk sebagai bagian dari strategi penulis. Pemakaian kata-kata tertentu, kalimat, gaya tertentu bukan semata-mata dipandang sebagai cara berkomunikasi,

Stuktur Makro

Makna global dari suatu teks yang diamati dari topik atau tema yang diangkat dari suatu teks.

Super Struktur

Kerangka dari suatu teks, seperti bagian pendahuluan, isi, penutup, dan kesimpulan.

Struktur Mikro

Makna lokal dari suatu teks yang diamati dari pilihan kata, kalimat, dan gaya yang dipakai oleh suatu teks.


(45)

tetapi dipandang sebagai politik berkomunikasi—suatu cara untuk mempengaruhi pendapat umum, menciptakan dukungan, memperkuat legitimasi, dan menyingkirkan lawan atau penentang. Struktur wacana adalah cara yang efektif untuk melihat proses retorika dan persuasi yang dijalankan ketika seseorang menyampaikan pesan. Kata-kata tertentu mungkin dipilih untuk mempertegas pilihan dan sikap, membentuk kesadaran politik, dan sebagainya. Berikut akan diuraikan satu per satu elemen wacana van Dijk tersebut.

STRUKTUR WACANA

HAL YANG DIAMATI ELEMEN

Struktur Makro Tematik

Tema atau topik yang dikedepankan dalam suatu berita

Topik

Super Struktur Skematik

Bagaimana bagian dan urutan teks diskemakan dalam teks secara utuh.

Skema

Struktur Mikro Semantik

Makna yang ingin ditekankan dalam teks. Misalnya dengan memberi detil pada satu sisi atau membuat eksplisit pada satu sisi dan mengurangi detil di sisi lain.

Latar, detil, maksud, praanggapan,

nominalisasi

Struktur Mikro Sintaksis

Bagaimana kalimat (bentuk, susunan) yang dipilih

Bentuk kalimat, koherensi, kata ganti.

Struktur Mikro Stilistik

Bagaimana pilihan kata yang dipakai dalam teks.

Leksikon

Struktur Mikro Retoris

Bagaimana dan dengan cara apa penekanan dilakukan.


(46)

II.4 Komik

Pengertian “komik” secara umum adalah cerita bergambar dalam majalah, surat kabar, atau berbentuk buku, yang pada umumnya mudah dicerna dan lucu. Pengertian tersebut ada benarnya, namun pengertian ini menjadi kurang tepat terutama bagi komik-komik yang menampilkan cerita-cerita serius. (Sobur, 2003 : 137)

Berdasarkan jenisnya, komik dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu

comic-strips dan comic-books. Comic-strip atau strip merupakan komik

bersambung yang dimuat pada surat kabar maupun majalah. Sedangkan comic-books adalah kumpulan cerita bergambar yang terdiri dari satu atau lebih judul dan tema cerita, yang di Indonesia disebut komik atau buku komik. Pada perkembangan kini, komik mengalami beberapa modifikasi mulai dari format, muatan isi, teknis pembuatan, hingga strategi pemasarannya.

Jika kita mencoba menengok kembali ke belakang –sekadar menelusuri sejarah penelusuran komik– maka kita akan menemukan bahwa ternyata komik dapat dimanfaatkan oleh sementara golongan untuk tujuan-tujuan propaganda. Hal ini terjadi pada sekitar tahun 1519, dimana pengikut Marthin Luther menjabarkan 95 tesis yang “berlawanan” dengan Gereja di Roma kepada masyarakat awam dalam bentuk komik. Memang kalau dilihat isinya, komik zaman itu lebih bersifat propaganda. Akan tetapi, setidaknya, saat itu sudah disadari kekuatan media komik untuk menjabarkan kepada massa.

Sejak awal 1990-an, komik strip sudah menjadi ciri khusus surat-surat kabar Amerika, sementara di Indonesia, komik strip muncul tahun 1930. Kehadiran komik-komik di Indonesia pada tahun 1930an dapat ditemukan pada media


(47)

Belanda seperti De Java Bode dan D’orient dimana terdapat komik-komik seperti Flippie Flink and Flash Gordon. Put On, seorang peranakan Tionghoa adalah karakter komik Indonesia yang pertama, merupakan karya Kho Wan Gie yang terbit rutin di surat kabar Sin Po—surat kabar yang mengetengahkan “Komik-Timur” dengan menampilkan lelucon berupa strip yang berjiwa Timur. Put On menginspirasi banyak komik strip lainnya sejak tahun 30-an sampai 60-an seperti pada Majalah Star (1939-1942) yang kemudian bertukar menjadi Star Weekly. Sementara itu di Solo, Nasroen A.S. membuahkan karya komik stripnya yang berjudul Mentjcari Poetri Hidjaoe melalui mingguan Ratu Timur. Di awal tahun 1950-an, salah satu pionir komik bernama Abdulsalam menerbitkan komik strip heroiknya di harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, salah satunya berjudul “Kisah Pendudukan Jogja”, bercerita tentang agresi militer Belanda ke atas kota Yogyakarta. Komik ini kemudian dibukukan oleh harian “Pikiran Rakyat” dari Bandung. Sebagian pengamat komik berpendapat bahwa inilah buku komik pertama oleh artis komik Indonesia.Sayangnya, sekitar tahun 1980-an, perkembangan komik mengalami mati suri. Baru sekitar tahun 1990-an sampai saat ini komik Indonesia mulai bangkit kembali, itupun yang berkembang justru kebanyakan meniru gaya “manga” (komik Jepang).

Sekitar akhir tahun 1940-an, banyak komik-komik dari Amerika yang disisipkan sebagai suplemen mingguan suratkabar. Diantaranya adalah komik seperti Tarzan, Rip Kirby, Phantom and Johnny Hazard. Kemudian penerbit seperti Gapura dan Keng po dari Jakarta, dan Perfects dari Malang, mengumpulkannya menjadi sebuah buku komik. Ditengah-tengah membanjirnya komik-komik asing, hadir Siaw Tik Kwei, salahs seorang komikus terdepan, yang


(48)

memiliki teknik dan ketrampilan tinggi dalam menggambar mendapatkan kesempatan untuk menampilkan komik adapatasinya dari legenda pahlawan Tiongkok ‘Sie Djin Koei’. Komik ini berhasil melampaui popularitas Tarzan di kalangan pembaca lokal. Popularitas tokoh-tokoh komik asing mendorong upaya mentransformasikan beberapa karakter pahlawan super itu ke dalam selera lokal. R.A. Kosasih, yang kemudian dikenal sebagai Bapak Komik Indonesia, memulai karirnya dengan mengimitasi Wonder Woman menjadi pahlawan wanita bernama Sri Asih. Terdapat banyak lagi karakter pahlawan super yang diciptakan oleh komikus lainnya, diantaranya adalah Siti Gahara, Puteri Bintang, Garuda Putih and Kapten Comet, yang mendapatkan inspirasi dari Superman dan petualangan Flash Gordon.

Adapatasi dari komik asing dalam komik Indonesia mendapatkan tentangan dan kritikan dari kalangan pendidik dan pengkritik budaya. Karena itu penerbit seperti Melodi dari Bandung dan Keng Po dari Jakarta mencari orientasi baru dengan melihat kembali kepada khazanah kebudayaan nasional. Sebagai hasil pencarian itu maka cerita-cerita yang diambil dari wayang Sunda dan Jawa menjadi tema-tema prioritas dalam penerbitan komik selanjutnya. R.A. Kosasih adalah salah seorang komikus yang terkenal keberhasilannya membawa epik Mahabharata dari wayang ke dalam media buku komik. Sementara itu dari Sumatera, terutamanya di kota Medan, terdapat pionir-pionir komikus berketerampilan tinggi seperti Taguan Hardjo, Djas, dan Zam Nuldyn, yang menyumbangkan estetika dan nilai filosofi ke dalam seni komik. Di bawah penerbitan Casso and Harris, artis-artis komik ini mengeksplorasi cerita rakyat Sumatera yang kemudian menjadi tema komik yang sangat digemari dari tahun


(49)

1960-an hingga 1970-an. Tema yang banyak muncul adalah pewayangan, superhero, dan humor-kritik. Sebagian besar komikus pada masa ini memanfaatkan majalah dan koran sebagai medianya, meskipun beberapa karya seperti Majapahit oleh R.A. Kosasih juga mendapatkan kesempatan untuk tampil dalam bentuk buku.

Ditandai oleh dimulainya kebebasan informasi lewat internet dan kemerdekaan penerbitan, komikus mendapat kesempatan untuk mengeksplorasi gayanya masing-masing dengan mengacu kepada banyak karya luar negeri yang lebih mudah diakses. Selain itu, beberapa judul komik yang sebelumnya mengalami kesulitan untuk menembus pasar dalam negeri, juga mendapat tempat dengan maraknya penerbit komik bajakan.

Selain itu beberapa penerbit besar mulai aktif memberikan kesempatan kepada komikus muda untuk mengubah image komik Indonesia yang selama ini terkesan terlalu serius menjadi lebih segar dan muda. Ada dua aliran utama yang mendominasi komik modern Indonesia, yaitu Amerika (lebih dikenal dengan comics) dan Jepang (dengan stereotype manga).

Komikus yang menggunakan aliran Jepang sangat diuntungkan dengan berkembangnya komunitas di Internet. Beberapa situs seperti julliedillon.net, howtodrawmanga.com, dan mangauniversity memuat banyak informasi pembuatan manga. Hal ini juga membuat ciri utama komikus Indonesia dengan aliran gambar Jepang, yaitu kebanyakan nama pengarangnya disamarkan dengan nickname masing-masing di dunia maya. Kemungkinan hal inilah yang menyebabkan sulitnya mengetahui jumlah tepatnya komikus lokal. Beberapa pengarang komik yang aktif mengeluarkan karya dengan gaya ini antara lain,


(50)

Anthony Ann—dengan nama samaran lainnya Sentimental Amethyst atau Hisako Ikeda—Calista, Cynara, Anzu Hizawa, dan lain-lain. Pada awal 2008, Machiko Manga School, yaitu sebuah lembaga pendidikan yang mengajar cara membuat komik gaya manga, telah menerbitkan komik dengan format Manga Magazine— kumpulan komik dari berbagai pengarang yang dibuat dalam satu buku. Komik ini diberi nama Maqita, akronim dari manga ala kita.

Jika perkembangan komik di Indonesia berjalan dengan tersendat-sendat, perkembangan komik di Jepang justru sangat pesat. Buku komik di Jepang sangat populer dan diterbitkan untuk anak-anak maupun orang dewasa. Sejarah komik Jepang mulai pada akhir abad ke-19, ketika surat kabar dan majalah mulai memuat kartun mula-mula dengan satu gambar, dan kemudian dengan banyak gambar yang menggambarkan politik, adat istiadat, dan kehidupan sehari-hari dengan cara olok-olok dan humor. Pada tahun 1920-an dan 1930-an buku komik menjadi populer, khusus cerita petualangan dan kumpulan komik untuk anak-anak. Komik yang terbaik mencerminkan zaman ini adalah Norakuro oleh Togawa Suiho, yang menonjolkan seekor anjing tentara sebagai peran utama. Setelah Perang Dunia II, hampir semua surat kabar dan majalah mulai memuat kartun dengan empat gambar, disebut juga Yottsu Koma Manga (komik empat

kotak). Sekitar tahun 1960-an muncul banyak majalah komik yang memuat cerita

bersambung. Komik yang paling populer saat itu adalah Tetsuwan Atomu karya Tezuka Osamu, dan merupakan komik pertama yang diangkat ke televisi dalam format animasi.

Manga semakin popular hampir di seluruh dunia termasuk di Indonesia.


(51)

Karakteristik komik Jepang adalah penggambaran chara-nya (karakter tokoh komik) yang sederhana, mata besar, hidung dan bibir yang kecil. Namun, seiring perkembangannya, ada juga manga-ka (komikus) yang menggunakan penggambaran chara dengan style yang lebih realistis dan rumit. Tema yang diangkat dalam manga sangat beragam, mulai dari action, petualangan, romance, olahraga, drama sejarah, komedi, science fiction, misteri, horror dan masih banyak lagi. Dengan semakin berkembangnya penggemar manga di Jepang, muncul café-café yang menyediakan perpustakaan mini khusus manga, disebut Manga Kisa. Disini, penggemar manga tidak hanya bisa menikmati kopi atau makanan sambil membaca manga, mereka juga diperbolehkan bermalam jika mereka ketinggalan kereta api atau pesawat. Selain café, style manga juga berpengaruh ke gaya pakaian maupun aksesori. Mereka yang tertarik untuk menekuni manga ini juga bisa belajar membuat manga di universitas-universitas di Jepang. Kentalnya budaya Jepang yang disajikan dalam manga (komik Jepang), menjadikan manga sebagai salah satu alat penyebaran budaya Jepang di seluruh dunia.


(52)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

III.1 Deskripsi Objek Penelitian

Adapun objek penelitian dalam penelitian ini adalah komik Samurai X, Naruto dan Death Note.

III.1.1 Samurai X

Komik “Samurai X” merupakan karya Nobuhiro Watsuki yang terdiri atas 28 jilid dan terbit pertama kali di Jepang pada tahun 1994 dengan judul “Rurouni Kenshin: Meiji Kenkaku no Romantan”. Komik ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan secara legal oleh Penerbit Elex Media Komputindo pada tahun 2001.

Komik berlatar era Meiji ini bercerita tentang petualangan seorang pengembara, Kensin Himura, yang di masa lalunya dikenal sebagai “Battosai si pembantai” (Hitokiri Battosai). Cerita dimulai dengan pertemuan Kenshin dengan seorang gadis bernama Kaoru Kamiya, yang langsung menyerang Kenshin karena mengira Kenshin adalah battosai yang selama ini dicarinya. Kenshin pun menjelaskan kepada Kaoru bahwa dia hanyalah seorang pengembara dan baru saja sampai di kota itu. Kaoru baru percaya pada Kenshin setelah Kenshin menunjukkan sakabato (pedang bertepi terbalik) miliknya. Namun, di tengah perbincangan mereka, tiba-tiba terdengar teriakan dari petugas keamanan yang sedang dibantai. Kaoru langsung menyerang orang tersebut, namun terdesak karena kalah kuat. Kenshin pun segera menyelamatkan Kaoru. Orang tersebut


(53)

segera pergi meninggalkan mereka sambil mengatakan bahwa dia adalah Himura dari aliran Kamiyakasshin, sang “Battousai si pembantai”.

Kaoru pun bercerita kepada Kenshin bahwa aliran Kamiyakasshin adalah aliran yang dianutnya, merupakan aliran yang diciptakan oleh ayahnya. Tadinya, dojo Kamiyakasshin memiliki anggota-anggota yang aktif. Namun, semenjak munculnya “Battosai si pembantai”, satu demi satu anggotanya keluar karena takut pada pembantaian yang dilakukan Battosai. Padahal, aliran Kamiyakasshin bukanlah ilmu untuk membunuh melainkan memegang prinsip bahwa pedang harusnya digunakan untuk melindungi hidup manusia. Demi membersihkan nama baik alirannya tersebut, Kaoru bertekad ingin mengalahkan orang yang mengaku sebagai Battosai tersebut.

Setelah mendengar cerita Kaoru, Kenshin menasehati Kaoru agar tidak bertindak gegabah dan malah membahayakan nyawanya sendiri. Kenshin pun permisi dan meninggalkan dojo Kamiyakasshin. Kihee, pekerja di dojo Kamiyakasshin, yang berada disitu saat itu berkata kepada Kaoru agar berhati-hati pada Kenshin, dengan alasan bahwa pengembara hanyalah orang yang selalu ingin senang dalam hidupnya.

Beberapa hari pun berlalu sejak kejadian itu. Tiba-tiba Kihee mendatangi Kaoru dan memaksa Kaoru untuk segera mencap darah akte penjualan dojo Kamiyakasshin. Ternyata, Kihee sudah merencanakan semua ini sejak masuk ke dojo Kamiyakasshin. “Battosai si pembantai” yang selama ini mengaku beraliran Kamiyakasshin sebenarnya adalah Hiruma Gohei, yang merupakan adik kandung dari Kihee. Mereka sengaja menggunakan gelar tersebut untuk merusak nama baik Kamiyakasshin agar Kaoru berputus asa dan mau menjual dojo tersebut. Hiruma


(54)

Gohei pun segera menyerang Kaoru, dan Kihee mengambil cap darahnya. Namun, Kenshin tiba di saat yang tepat. Kenshin segera menolong Kaoru dan mengalahkan pasukan Hiruma Gohei. Kenshin pun mengungkapkan bahwa “Battosai si pembantai” tidak pernah menggunakan aliran Kamiyakasshin. Aliran yang dianutnya adalah Hiten Mitsurugi, merupakan aliran ilmu pedang lama yang mengutamakan saling membantai. Dan seketika itu pula, Kenshin menjatuhkan Gohei dengan aliran Hiten Mitsurugi. Kihee yang ketakutan pun tak berdaya melawan Kenshin, dan Kenshin segera menghancurkan akte penjualan yang sudah dicap oleh Kaoru.

Setelah mengungkapkan jati dirinya, Kenshin memutuskan mengembara lagi karena dia merasa tidak pantas hidup bersama Kaoru dengan segala masa lalunya sebagai pembunuh. Namun, Kaoru memintanya untuk tetap tinggal bersamanya dan mengatakan tidak keberatan dengan segala masa lalu Kenshin. Dari sinilah Kenshin memulai petualangannya dan bertemu dengan orang-orang memberi warna baru dalam kehidupannya.

III.1.2 Naruto

Naruto, karya komikus Masashi Kishimoto pertama kali diterbitkan di Jepang oleh Shueisha pada tahun 1999. Sama halnya dengan “Samurai X”, komik ini juga diterbitkan di Indonesia oleh Penerbit Elex Media Komputindo. Komik ini pertama kali hadir di Indonesia pada tahun 2004. Komik ini merupakan jenis komik bersambung, dan di Indonesia sampai pada bulan April 2008 telah mencapai jilid yang ke 39.

‘Naruto”, bercerita seputar kehidupan tokoh utamanya, Naruto Uzumaki, seorang ninja remaja yang berisik, hiperaktif, dan ambisius; dan petualangannya


(55)

dalam mewujudkan keinginan untuk mendapatkan gelar Hokage, ninja terkuat di desanya. Cerita ini dimulai dengan munculnya seekor monster rubah ekor sembilan bernama Kyuubi menyerang Konoha, sebuah desa shinobi yang terletak di negara Api. Kekacauan terjadi di desa Konoha dan banyak korban berjatuhan. Demi menyelematkan desa Konoha, seorang ninja yang menjabat sebagai Hokage pada masa itu menyegel Kyubi tersebut ke tubuh Naruto. Ninja tersebut, yang berhasil menyegel siluman rubah ekor sembilan dikenal sebagai Hokage generasi ke-4.

Tiga belas tahun telah berlalu sejak kejadian tersebut, Naruto Uzumaki tumbuh menjadi anak yang sering membuat onar di desa Konoha. Naruto melakukan hal itu karena menginginkan perhatian dari penduduk desa yang menjauhinya karena rubah di tubuhnya. Naruto kemudian ditipu oleh seorang pengkhianat bernama Mizuki untuk mencuri gulungan rahasia dari Hokage Ketiga. Naruto yang polos melakukan hal tersebut dan berhasil mencuri serta mempelajari jurus seribu bayangan. Setelah tahu bahwa dia dimanfaatkan, Naruto menolak memberikan gulungan tersebut kepada Mizuki. Naruto kemudian ditolong oleh guru Iruka yang merupakan guru favorit Naruto. Guru Iruka adalah orang yang pertama kali mengakui keberadaan Naruto.

Sebagaimana para calon ninja lainnya, Naruto juga mengikuti ujian di akademi ninja untuk naik ke tingkat genin (ninja tingkat bawah). Para calon ninja yang telah lulus menjadi genin kemudian dibagi dalam kelompok beranggotakan tiga orang. Naruto yang telah lulus menjadi genin dengan nilai terendah dikelompokkan dengan Sasuke Uchiha—yang lulus dengan nilai tertinggi—dan


(56)

Sakura Haruno. Kelompok mereka disebut kelompok Tujuh yang diketuai oleh Kakashi Hatake.

Untuk menguji kelayakan anggota kelompok Tujuh sebagai seorang ninja, Kakashi mengadakan ujian kepada Naruto, Sasuke dan Sakura. Jika gagal dalam ujian ini, maka ketiganya akan dikembalikan ke akademi ninja untuk belajar lagi. Kakashi juga menambahkan bahwa tingkat kegagalan ujian ini mencapai 66%. Tidak rela dikembalikan ke akademi, ketiganya pun berusaha sekuat tenaga untuk menyelesaikan ujian tersebut. Sayangnya mereka bertindak gegabah sehingga Naruto, Sasuke dan Sakura nyaris tidak lulus dalam ujian yang diadakan Kakashi ini. Namun, ketiganya akhirnya menyadari bahwa kerjasama tim adalah kunci utama dari ujian ini. Setelah melihat kekompakan tim antara Naruto dan Sasuke serta Sakura, maka Kakashi pun meluluskan mereka. Berbagai lika liku kehidupan pun dialami Naruto bersama rekannya Sasuke dan Sakura. Persahabatan, perasaan saling memahami dan saling melindungi, kesetiaan, kesepian, persaingan dan pengorbanan demi sesuatu yang berharga adalah nilai-nilai yang harus dilalui Naruto dalam petualangan kehidupannya.

III.1.3 Death Note

Death Note merupakan komik yang dihasilkan dari duet Tsugumi Ohba dan Takeshi Obata. Pertama kali diterbitkan di Jepang oleh Shueisha pada tahun 2003. Hadir di Indonesia secara legal pada Oktober 2007 diterbitkan oleh PT Gramedia. Komik ini juga merupakan jenis komik bersambung namun telah berakhir pada jilidnya yang ke-12 di Jepang. Dari ke-12 jilid tersebut, sampai pada bulan April 2008, enam jilid diantaranya telah beredar secara legal di Indonesia.


(1)

dunia, pembaca semakin yakin bahwa kriterium kepahlawanan Jepang adalah bentuk yang paling ideal untuk membawa dunia ini ke arah yang lebih baik. Pembaca diberikan citra palsu akan kekuatan Jepang yang sebenarnya, sekaligus juga menciptakan harapan palsu terhadap Jepang. Lewat manga, pembaca diyakinkan bahwa Jepang adalah negara terbaik dan pembaca semakin terkagum-kagum dengan kisah-kisah kepahlawanan yang kesemuanya diperankan oleh orang Jepang tersebut.

Kekaguman inilah yang kemudian berubah menjadi pemujaan sehingga pembaca yang kemudian menjadi penggemar tersebut akan bangga jika dirinya juga menjadi “Jepang”. Para penggemar komik Jepang hidup dalam citra-citra palsu yang ditampilkan oleh komik Jepang, dan semakin jauh dari identitasnya yang sebenarnya.


(2)

BAB V PENUTUP V.1 Kesimpulan

Setelah dilakukan analisis teks dari ketiga komik yang menjadi objek penelitian penulis yaitu Samurai X, Naruto dan Death Note, maka penulis mencoba menarik kesimpulan.

1. Secara umum komik Jepang menghadirkan tokoh-tokoh pahlawan berkarakteristik Jepang, seperti samurai maupun ninja. Kalaupun ada komik yang tokoh utamanya diambil dari golongan masyarakat biasa tetap saja tokoh tersebut diungkapkan sebagai masyarakat Jepang, baik secara eksplisit maupun implisit. Tokoh-tokoh yang hadir dalam komik Jepang, tidak hanya digambarkan kuat secara fisik saja, tetapi juga kuat secara mental serta cerdas. Para manga-ka juga tidak berkonsentrasi pada tokoh utama saja, melainkan menciptakan berbagai karakter unik lainnya dengan tujuan agar setiap tokoh dalam komik tersebut memiliki penggemar tersendiri, termasuk tokoh antagonisnya. Komik Jepang juga tidak menonjolkan kekuatan individu semata, melainkan lebih menekankan kekuatan dari suatu aliran, jurus atau kelompok tertentu. Selain itu, untuk lebih mendekatkan tokoh komik dengan penggemarnya, para manga-ka menciptakan karakter tidak dengan menekankan kekuatan fisiknya, tetapi dengan menambah detail-detail seperti kepribadian si tokoh atau lika-liku kehidupan tokohnya. Para manga-ka juga menggunakan detil-detil sejarah atau lembaga yang benar-benar ada dalam penceritaan komiknya untuk menambah kesan nyata dalam komik Jepang.


(3)

2. Dengan menggunakan tokoh-tokoh pahlawan yang berasal dari Jepang atau berkarakteristik Jepang, para manga-ka telah menciptakan suatu bentuk imperalisme budaya yaitu penonjolan akan Jepang itu sendiri, seolah-olah Jepang adalah sosok kepahlawanan ideal dunia. Teknik para manga-ka yang tidak menonjolkan satu tokoh saja, menjadi penegasan akan kriterium kepahlawanan Jepang di mata dunia. Ini didukung dengan pemilihan kata-kata yang berskala dunia seperti “dewa”, “neraka” atau “seluruh dunia”. Penegasan ini juga disertai pemarginalan negara asing di satu sisi dan pengukuhan posisi Jepang di sisi lain. Selain itu, dengan tidak menonjolkan kekuatan fisik, melainkan lebih menekankan kepada kehidupan tokohnya, para pembaca merasa lebih dekat dengan tokoh komik tersebut. Ini membuat pembaca merasa menjadi bagian dari komik tersebut dan menjadikan tokoh tersebut sebagai pahlawan dalam kehidupan nyatanya alih-alih pahlawan yang ada dalam kehidupan sebenarnya.

V.2 Saran

Mengingat Jepang adalah negara dengan penduduk yang bernasionalis tinggi maka wajar jika para manga-ka menampilkan Jepang sebagai karakteristik tokoh-tokoh pahlawan komiknya. Hal ini tidak dapat kita persalahkan maupun kita hindari, karena bagaimanapun juga manga adalah produk impor dari Jepang. Namun demikian, para pembaca hendaknya menyadari bahwa komik tersebut hanyalah sebuah karya fiksi, sama sekali tidak bisa dijadikan sebagai referensi akan keadaan Jepang yang sebenarnya; sekalipun terdapat detil-detil yang benar-benar ada dalam komik tersebut. Kisah-kisah kepahlawanan yang dihadirkan dalam komik Jepang memang unik dan bisa dijadikan inspirasi dalam kehidupan


(4)

dalam komik seperti nilai persahabatan, perjuangan, keberanian maupun pengorbanan demi melindungi sesuatu yang berharga bagi kita.

Komik sendiri sudah berkembang tidak sebagai bacaan anak-anak semata, melainkan bacaan semua usia sehingga ceritanya juga sudah jauh lebih berbobot. Akan tetapi perlu diingat, semakin berbobot cerita yang dihadirkan maka semakin cerdik pula trik yang dilakukan manga-ka untuk memanipulasi pikiran pembacanya. Oleh karena itu, para penikmat komik juga harus menyesuaikan dirinya dengan bacaan yang sesuai dengan usianya. Untuk penikmat komik yang masih anak-anak, maka diperlukan pengawasan orang tua dalam pengkonsumsian komik anak-anak mereka.


(5)

Daftar Pustaka

Baran, Stanley J. 2004. Introduction to Mass Communication : Media Literacy and Culture. Third Edition. New York : McGraw-Hill

Bulaeng, Andi. 2004. Metode Penelitian Komunikasi Kontemporer. Yogyakarta : Andi Yogyakarta.

Effendi, Onong Uchjana. 1993. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung : Citra Aditya Bakti.

Eriyanto. 2001. Analisis Wacana : Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta : LkiS.

Hobson, J.A. 1988. Imperialism : A Study. London : Unwin Hyman Ltd

Lubis, Suwardi. 1998. Metodelogi Penelitian Komunikasi. Medan : USU Press. Maki, Tatsu. dkk. 2003. Let’s Draw! : Kepala dan Wajah Volume 1. Bandung :

Nexx Media, Inc.

Mulyana, Deddy. 2004. Ilmu Komunikasi : Suatu Pengantar. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

McQuail, Denis. 1989. Teori Komunikasi Massa : Suatu Pengantar. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Nawawi, Hadari. 1991. Instrumen Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Nurudin. 2004. Komunikasi Massa. Malang : Gespur.

Purba, Amir. 2005. Sosiologi Komunikasi. Medan : Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.

Purwasito, Andrik. 2003. Komunikasi Multikultural. Surakarta : Muhammadiyah University Press.

Rakhmat, Jalaluddin., dkk. 1997. Hegemoni Budaya. Yogyakarta : Yayasan Bentang Budaya.

Schiller, Herbert I. 1976. Communication and Cultural Domination. New York : International Arts and Sciences Press.


(6)

Sobur, Alex. 2004. Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya.

__________. 2003. Semiotika Komunikasi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. The International Society for Educational Information, Inc. 1989. Jepang Dewasa

Ini (terjemahan). Tokyo : International Society for Educational Information, Inc.

The Japan Foundation. 2007. Image Jepang di Mata Anak Muda Indonesia : Kumpulan Hasil Lomba Essay 2006 Tentang Jepang. Jakarta : Japan Foundation.

Wahyudi, J.B. 1996. Dasar-Dasar Jurnalistik Radio dan Televisi. Jakarta : Grafiti.

Winarso, Heru Puji. 2005. Sosiologi Komunikasi Massa. Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher.

Sumber-sumber lain :

Majalah Animonster berbagai edisi.

Kulsum, Umi. “Tren Komik Indonesia : Masih dalam Dekapan “Manga””. Kompas Edisi 148 Tahun ke-43, 26 November 2007

Kang Guru Radio English, “The Manga Culture”. Edisi Maret 2008

Wendyartaka, Anung. “Frankfurt Bookfair 2007 : “Manga” Masih Mendominasi Dunia”. Kompas Edisi 148 Tahun ke-43, 26 November 2007

Wikipedia. 2007. Komik Indonesia