Analisis Sosiologis Komunitas Gay Dalam Masyarakat Jepang Yang Tergambar Dalam Komik “Free Punch” Karya Isaku Natsume

(1)

ANALISIS SOSIOLOGIS KOMUNITAS GAY DALAM MASYARAKAT JEPANG YANG TERGAMBAR DALAM KOMIK “FREE PUNCH”

KARYA ISAKU NATSUME

ISAKU NATSUME NO FURII PANCHI MANGA NI HANEI SARETA NIHONSHAKAI NO GEI KOMYUNITI NO SHAKAIGAKUTEKI NO

BUNSEKI

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam

Bidang Ilmu Sastra Jepang.

OLEH :

SISKA INDRI TRIANA NIM : 070708017

070708026

DEPERTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2012


(2)

(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kesempatan, keberkahan, rahmat serta ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, yang merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan program Sarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Adapun penulisan skripsi ini berjudul “ANALISIS SOSIOLOGIS KOMUNITAS GAY DALAM MASYARAKAT JEPANG YANG TERGAMBAR DALAM KOMIK “FREE PUNCH” KARYA ISAKU NATSUME”.

Selama proses penulisan skripsi ini, penulis memperoleh banyak bantuan, bimbingan serta dukungan baik secara moril maupun materil yang diberikan secara langsung maupun tidak langsung oleh berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih, penghargaan dan penghormatan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu, yaitu kepada :

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum, selaku Ketua Jurusan Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen Pembimbing II saya yang bersedia meluangkan waktu membimbing saya dan membuat skripsi saya menjadi lebih sempurna.

3. Ibu Adriana Hasibuan, S.S, M. Hum, selaku Dosen Pembimbing I saya, yang bersedia menanggapi ide-ide saya dan dengan sabar telah membimbing serta


(4)

membuat saya dari tidak tahu menjadi tahu dan mengerti bagaimana membuat skripsi dengan baik.

4. Seluruh Staf Pengajar Jurusan Satra Jepang Universitas Sumatera Utara, yang telah bersusah payah mendidik selama penulis duduk di bangku perkuliahan. Saya tidak akan melupakan pengajaran yang telah saya terima.

5. Buat Bapak, Irwansyah dan Mama, Mariani, yang telah memberikan dukungan, semangat dan do’a demi kebaikan saya. Semoga adek bisa mangamalkan dengan baik ilmu yang adek dapat, memasuki kesuksesan berikutnya, lebih berbakti dan tidak lagi merepotkan Bapak sama Mama. 6. Keluarga besar Nenek, Ebok, Dede Kakang, Dede, Oom, Bukde, Pakde, Bu

Liah, Ulek sama semua-semuanya.... Atas semua dukungan, motivasi yang buat adek lebih terpacu buat nyelesaiin skripsi.

7. Kakak-kakakku (apa tersayang ya..? Xp) Mba’ Irma Windiarti dan Nina Eriana.. cuek-cuek tapi peduli jg ya... makasih udah sering ngasih adek ongkos, lebih sering lagi ya... Jihan Adiatma dan Desy Tiara Dipa, abis ni giliran klen la...

8. Anak-anak TPC (Ixa, Rani, Ratna, Riri plus Wira), SPA (biarpun udah gak aktif lagi, tapi kalian slalu di hati), K’Dial, K’Goen, Siska (kayak nyebutin diri sendiri >v<), Rina, Thika... Makasih untuk persahabatan dan kekeluargaan selama ini.. S’ka senang banget saat kita bisa saling peduli... 9. Anum, K’Wil, Mel, Tami... Teman refresing saat kepala berasap dan hati

membeku (halah >x<), temen makan, temen saat peledakan kreativitas, temen cosplay, temen nongkrong, temen lenje-lenje, temen cari inspirasi, temen guling-guling.. abis ni apa schedule kita berikutnya? Trus bwt Gio, aku bilang


(5)

deh, jangan nunggu Mel Xp.. dan Stevy, jangan jadikan kami sebagai contoh ya... ^x^

10. Rekan-rekan stambuk 2007 Sastra Jepang, Ade, Adji, Ayu, David, Debya, Dini, Dwi, Eka, Ema, Fitri, Gea, Icha, Hunny, Kristin, Leli, Memey, Naya, Rani, Rahma, Ratna, Rhea, Rifki, Risa, Romi, Sammy, Siti, Trya, Veny, Wahyu, Windi, Yuni, Zuhri (Absen dulu, klo ada yg ga kesebut.. Maap ya...) Kalian juga pemberi motivasi bagi saya.. =)

11. Dan semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, baik dari isi maupun uraiannya. Hal ini disebabkan karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan masukan-masukan berupa saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan skripsi ini.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi pembaca serta penulis sendiri.

Medan, April 2012 Penulis


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah ...1

1.2 Perumusan Masalah ...4

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan ...6

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ...6

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian ...9

1.6 Metode Penelitian ...10

BAB II. PANDANGAN UMUM TERHADAP GAY DI JEPANG 2.1 Pengertian Gay ...12

2.2 Kehidupan Kaum Gay Secara Umum ...17

2.2.1 Hubungan Para Gay Dengan Orang Tua ...19

2.2.2 Hubungan Para Gay Dalam Komunitas ...21

2.2.3 Hubungan Para Gay Dengan Masyarakat ...23

2.3 Pandangan Masyarakat Jepang Terhadap Gay ...25


(7)

BAB III. ANALISIS SOSIOLOGIS GAY DALAM MASYARAKAT JEPANG YANG TERGAMBAR DALAM KOMIK “FREE PUNCH” KARYA ISAKU NATSUME

3.1 Interaksi Sosial Gay Dalam Keluarga ...31 3.2 Interaksi Sosial Gay di Sekolah ...36 3.3 Interaksi Sosial Gay di Masyarakat ...42

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan ...42 4.2 Saran ...49


(8)

ABSTRAK

Kebudayaan merupakan hasil budi daya manusia yang terwujud dalam tingkah laku atau benda, bahasa, simbol dan lain sebagainya. Yang melingkupi manusia sehingga berpengaruh terhadap perilaku dan tindakan manusia. Kebudayaan erat kaitannya dengan antropologi. Antropologi adalah dasar filosofis yang pembahasannya berkaitan dengan kegiatan manusia. Termasuk interaksi sosialnya.

Skripsi ini membahas tentang interaksi sosial gay di Jepang berdasarkan gambaran dalam komik “Free Punch” karya Isaku Natsume. Gay adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada pria yang memiliki kecenderungan penyuka sesama jenis. Gay secara spesifik mengacu pada identitas seksual dan memiliki arti yang lebih dalam dibandingkan dengan kata homoseksual.

Di Jepang tidak ada sistem hukum yang mengatur tentang legalitas gay dan tidak ada larangan terhadap aktivitas mereka. Masyarakat Jepang lebih cenderung mengabaikan daripada secara terang-terangan mengecam para gay. Tetapi mereka juga tidak dapat menerima keberadaan para gay tersebut. Dalam kehidupan sehari-hari, para gay cenderung bertindak seperti pria normal yang menyukai lawan jenis dan menyembunyikan identitas gay mereka. Karena sekalipun di Jepang gay terkesan biasa saja, tetapi penilaian umum yang telah tertanam dalam diri masing-masing individu masyarakat adalah gay tetap dianggap menyimpang. Selain itu, apabila diketahui dalam suatu rumah terdapat seorang gay, maka hal itu akan sangat mempermalukan semua orang dalam keluarga tersebut terutama orang tua. Karena itu, para gay di Jepang berusaha


(9)

untuk menghindari kesan suka sesama jenis di hadapan masyarakat umum. Mereka berpenampilan dan beraktifitas seperti biasa, lebih mengkonsentrasikan diri dengan pekerjaan dan hampir tidak mempunyai waktu untuk hal-hal yang berkaitan dengan pribadinya sebagai gay.

Para gay Jepang menyembunyikan identitas mereka sebagai gay salah satunya adalah karena mereka dididik dengan konsep amae yang mengharuskan mereka mengedepankan giri. Mereka mempunyai kewajiban untuk menjaga nama keluarga di atas kepentingan mereka sendiri.

Dalam kehidupan sehari-harinya, para gay hidup mengikuti kebiasaan umum. Mereka bekerja dan mengikuti kegiatan dalam masyarakat seperti orang-orang lain pada umumnya. Tindakan mereka tidak membuat masyarakat di sekitar mereka salah paham karena mereka bisa menjaga tingkah lakunya.

Komik Free Punch menggambarkan realitas yang terjadi pada para gay dalam masyarakat. Seperti yang dilakukan tokoh Yamada dan Amano. Kedua laki-laki tersebut adalah gay. Para gay umumnya juga menyembunyikan identitas homoseksual mereka dan berusaha sebisa mungkin untuk tidak memperlihatkan tanda-tanda bahwa mereka gay dalam masyarakat. Dalam komik “Free Punch”, Yamada dan Amano justru terlihat bersikap lebih baik dibandingkan orang-orang di sekitarnya yang normal. Contohnya mereka ramah terhadap para tetangga dan bersedia menolong orang yang sedang dalam kesulitan.

Komik “Free Punch” menggambarkan tingkah laku para gay yang tidak menunjukkan identitas gay mereka kepada keluarganya. Yamada dan Amano tidak menampakkan hubungan sesama gay kepada keluarganya. Ini adalah cara mereka untuk menutupi identitas mereka yang sebenarnya. Karena mereka tetap


(10)

menjaga nama keluarga dan tidak membuat malu keluarga sehingga keluarganya tetap diterima dalam masyarakat.

Sementara di sekolah, Yamada dan Amano tidak mendapat kecaman ataupun penindasan dari rekan-rekannya. Sekalipun Yamada secara terbuka mengakui perasaannya terhadap Amano pada teman-temannya, tetapi mereka justru menganggap Yamada hanya bercanda. Kenyatannya adalah para gay yang mendapat penindasan lebih dikarenakan tingkah laku mereka yang seperti perempuan. Sementara Yamada dan Amano bukan orang yang memiliki tingkah laku seperti itu (seperti perempuan).


(11)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Jepang, negara kepulauan yang merupakan negara maju, memiliki kebudayaan yang kaya sekaligus modern tanpa melupakan tradisi. Sebagai salah satu negara kuat, baik dalam hal identitas dan kekuatan ekonomi, pengaruh Jepang meluas tidak hanya dalam ruang lingkup industri saja. Melalui jalur perekonomian, Jepang secara tidak langsung mulai menyebarkan pengaruh-pengaruh kebudayaannya dalam masyarakat dunia. Hal ini membuat kebudayaan Jepang mulai menarik minat banyak orang untuk mempelajari dan memahaminya.

Kebudayaan dalam arti luas dijelaskan oleh Ienaga dalam Situmorang (2009:2-3) sebagai keseluruhan cara hidup manusia. Arikunto (2002:13) menyebutkan bahwa kebudayaan merupakan hasil budi daya manusia yang terwujud dalam tingkah laku atau benda, bahasa, simbol dan lain sebagainya yang melingkupi manusia sehingga berpengaruh terhadap perilaku dan tindakan manusia. Kebudayaan erat kaitannya dengan antropologi yaitu dasar filosofis yang pembahasannya berkaitan dengan kegiatan manusia secara normatif maupun historis.

Koentjaraningrat (1980:193) mengartikan kebudayaan dalam ilmu Antropologi sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia.

Luzbetak dalam Maran (2000:26) mencoba merumuskan karakteristik umum kebudayaan yaitu; pertama, kebudayaan merupakan suatu cara hidup.


(12)

Kedua, kebudayaan adalah total dari rencana atau rancangan hidup. Ketiga, secara fungsional kebudayaan diorganisasikan dalam suatu sistem. Keempat, kebudayaan diperoleh melalui proses belajar. Dan kelima, kebudayaan adalah cara hidup dari suatu kelompok sosial dan bukan perorangan. Merujuk pada karakteristik-karakteristik tersebut, dapat disimpulkan bahwa manusia hidup dalam masyarakat dan beradaptasi sebagai suatu kelompok yang saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Karakteristik manusia sebagai makhluk sosial juga berkaitan erat dalam hal mempertahankan kalangsungan hidup manusia itu sendiri. Hal ini mencakup segala usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya termasuk cara untuk mempertahankan spesies manusia. Oleh karena itu, manusia saling berinteraksi satu sama lain. Interaksi sosial diantaranya terjadi dalam rumah sebagai keluarga, sekolah, tempat kerja dan lingkungan masyarakat. Dalam http://jurnal-sdm.blogspot.com dijelaskan bahwa interaksi sosial adalah suatu hubungan antar sesama manusia yang saling mempengaruhi satu sama lain baik itu dalam hubungan antar individu, antar kelompok maupun antar keduanya.

Interaksi sosial mencakup segala tingkah laku sosial yang biasa terjadi dalam masyarakat. Namun dalam hal seksualitas, terkadang terjadi tingkah laku yang umumnya dianggap tidak biasa. Tingkah laku seksual yang tidak biasa ini disebut sebagai abnormalitas seksual atau penyimpangan seksual (Kartono, 1958:227).

Salah satu kasus abnormalitas seksual yang terjadi adalah kasus yang sebenarnya banyak terjadi di berbagai negara, termasuk di Indonesia, yaitu

homoseksual. Homoseksual seperti dijelaskan oleh Kartono (1978:247) adalah


(13)

mengacu pada hubungan terhadap sesama jenis. Sementara untuk penyebutan secara spesifik yang digunakan untuk laki-laki adalah gay. Sedangkan kasus homoseksual pada perempuan lebih dikenal dengan sebutan lesbianisme.

Homoseksual memang bukan merupakan hal yang baru, tercatat bahwa di Yunani homoseksual sudah ada sejak 800 tahun sebelum masehi (http://www.nathanielwandering.net/greece.html). Pada masa itu, wanita merupakan simbol terhormat-tidaknya sebuah keluarga. Karena itu, wanita umumnya tetap tinggal di rumah sementara laki-laki yang mengurus segalanya di luar rumah. Hal ini mencerminkan kebebasan kaum laki-laki, dimana juga memicu berbagai perilaku yang bisa menunjukkan bahwa mereka memiliki kekuasaan terhadap perempuan atau bahkan terhadap sesama laki-laki.

Sementara itu, di Jepang tidak ada kepastian ataupun catatan yang jelas tentang sejak kapan homoseksualitas muncul di Jepang. Tetapi catatan penerbit Kodansha dalam Danandjaja (1997:394) mengatakan homoseksualitas antara kaum pria atau gay di Jepang mempunyai sejarah tertulis yang sudah lama, sedangkan sejarah tertulis mengenai homoseksualitas kaum wanita (lesbianisme) dapat dikatakan tidak ada.

Jepang telah melegalkan perubahan jenis kelamin (transseksual), tetapi belum mengatur hukum untuk pernikahan sesama jenis. Karena itu keberadaan homoseksual di Jepang sering dianggap sebagai pengaruh dari negara barat.

Sebagaimana interaksi sosial pada umumnya, para homoseksual juga memilki kehidupan sosial dengan masyarakat di sekelilingnya. Seperti di rumah, sekolah dan tempat kerja. Dalam skripsi ini, penulis berusaha membahas interaksi sosial para gay di Jepang dengan mengambil acuan dari sebuah komik yang


(14)

mengangkat tema tentang homoseksual khususnya yang terjadi pada laki-laki atau disebut sebagai gay. Komik tersebut berjudul “Free Punch”, yang membahas beberapa sisi kehidupan gay di Jepang yang dialami seorang guru dan murid yang bernama Yamada dan Amano Nao.

Skripsi ini berjudu l “ANALISIS SOSIOLOGIS KOMUNITAS GAY DALAM MASYARAKAT JEPANG YANG TERGAMBAR DALAM KOMIK “FREE PUNCH” KARYA ISAKU NATSUME”.

1.2 Perumusan Masalah

Homoseksual dalam hal ini khususnya gay umumnya dianggap sebagai hal yang salah dan melenceng dari norma masyarakat, terutama di Indonesia. Tetapi pendapat dari sebuah negara belum tentu sama dengan negara lainnya. Contohnya saja, beberapa negara di Amerika dan Eropa telah melegalkan pernikahan sesama jenis.

Di Jepang kisah tentang gay banyak diceritakan dalam buku-buku komik dan animasi. Beberapa drama atau film juga sering mengangkat tema tentang homoseksual yang terjadi pada laki-laki, sekalipun bukan sebagai cerita pokok. Media-media tersebut menggambarkan bahwa gay di Jepang bukanlah hal yang cukup aneh, tetapi merupakan hal yang biasa. Dalam istilah komik dan kartun kisah tentang gay yang terjadi pada laki-laki sering disebut sebagai Yaoi yang merupakan singkatan dari Yamanashi yang berarti tidak memiliki puncak/klimaks,

Ochinashi yang artinya tidak memilki inti/guna dan Iminashi, tidak memiliki arti

(http://en.wikipedia.org/wiki/Homosexuality_in_Japan).


(15)

gay adalah komik yang berjudul “Free Punch” karya Isaku Natsume. Komik ini menceritakan tentang kehidupan seorang pelajar SMA bernama Yamada dan gurunya Amano Nao yang secara tiba-tiba terlibat dalam hubungan homoseksual. Komik ini menggambarkan awal bagaimana Yamada dan Amano Nao menyadari bahwa mereka gay dan bagaimana kehidupan sehari-hari mereka.

Dalam lingkungan keluarga Yamada, orang tuanya tidak mengetahui hubungan homoseksual antara Yamada dan Amano Nao. Orang tuanya hanya mengetahui bahwa Amano Nao adalah seorang guru yang peduli terhadap Yamada. Sementara di sekolah, sekalipun Yamada pernah mengatakan bahwa dia menyukai Amano Nao, teman-temannya tidak menanggapi dengan serius dan menganggap bahwa Yamada hanya bercanda saja. Dalam kehidupan sehari-hari mereka dalam bermasyarakat, orang-orang di sekeliling mereka tidak menyadari bahwa Yamada dan Amano Nao adalah gay. Selebihnya mereka terlihat cukup normal dan biasa saja layaknya kebanyakan orang.

Pembahasan tentang gay di Jepang dalam skripsi ini terangkum dalam pertanyaan-pertanyaan berikut:

1. Bagaimana gambaran kehidupan komunitas gay di Jepang secara umum?

2. Bagaimana kehidupan atau interaksi sosial para gay dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat yang tergambar dalam komik “Free Punch” karya Isaku Natsume?


(16)

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Dalam setiap penelitian diperlukan adanya pembatasan masalah agar pembahasan tidak terlalu melebar sehingga menyulitkan pembaca untuk memahami pokok permasalahan yang dibahas.

Untuk itu pembahasan dalam skripsi ini akan dibatasi berdasarkan pada cerita yang tergambar pada komik “Free Punch” karya Isaku Natsume. Dimana akan membahas tentang kehidupan komunitas gay secara umum. Terutama interaksi sosial yang terjadi di rumah, di sekolah dan di masyarakat.

Agar pembahasannya jelas dan akurat, pada bab II penulis akan menjelaskan mengenai pengertian gay, kehidupan gay dalam rumah tangga, kehidupan gay di Jepang secara umum, pandangan masyarakat Jepang terhadap gay, serta akan mencantumkan sinopsis komik “Free Punch” karya Isaku Natsume.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.4.1 Tinjauan Pustaka

Istilah homoseksual diambil dari bahasa Yunani yaitu homos yang berarti satu atau kesamaan, jadi homoseksual adalah laki-laki atau perempuan yang tertarik secara seksual terhadap seseorang dari jenisnya sendiri. Paul Gebhard dalam Scanzoni (1976:186) mendefinisikan tingkah laku homoseksual sebagai hubungan fisik antara dua individu atau dari jenis kelamin yang sama yang diakui sebagai ketertarikan seks alami dan hal yang biasa dalam seksualitas.

Homoseksual behavior as “physical contact between two individuals or same gender which both recognize as being sexual in nature and which ordinarily


(17)

Dalam skripsi ini dibahas mengenai kehidupan sosial para gay di Jepang berdasarkan gambarannya dalam komik “Free Punch” karya Isaku Natsume. Gay merupakan suatu kasus yang dapat dibahas melalui aspek sosiologis. Bruce dalam Wiyarti (2008:1) berpendapat bahwa sosiologis adalah suatu sistem tata nilai yang ditujukan kepada masyarakat tentang bagaimana seharusnya mereka berkelakuan dan mengatur diri mereka. Sementara itu, Soemardjan dan Soemardi dalam Soekanto (1990:18) mengatakan bahwa sosiologis adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-prosesnya, termasuk perubahan sosial.

Itu berarti para gay tidak terlepas dari kehidupan masyarakat pada umumnya. Durkheim dalam Berry (2003:5) berpendapat bahwa masyarakat merupakan suatu kenyataan yang objektif secara mandiri, bebas dari individu lain bukan hanya sekedar penjumlahan individu tetapi suatu sistem yang dibentuk dari hubungan antar manusia sehingga menampilkan realita tertentu yang mempunyai ciri masing-masing.

Di Indonesia, gay masih dianggap hal yang buruk sehingga dalam sebuah keluarga seorang gay tidak diakui. Dan seorang gay umumnya menutupi diri dari orang lain yang bukan merupakan komunitasnya.

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah hal ini juga terjadi di Jepang, mengingat Indonesia dan Jepang sama-sama merupakan negara yang mengusung adat ketimuran.

Bagaimana seseorang bisa menjadi homoseksual dapat dilihat dalam tokoh-tokoh yang digambarkan oleh Isaku Natsume dalam komiknya, “Free Punch”. Dimana pada dasarnya seseorang tidak dengan sengaja ingin menjadi homoseksual tetapi lebih karena faktor lingkungan sekitarnya.


(18)

1.4.2 Kerangka Teori

Kerangka teori menurut Koentjaraningrat (1976:11) berfungsi sebagai pendorong proses berpikir langsung yang bergerak dari alam abstrak ke alam konkrit.

Sebagai pendorong proses berpikir, pembahasan mengenai kehidupan gay ini menggunakan teori sosiologis. Narwoko (2010:3) menjelaskan bahwa sosiologi mempelajari tingka h laku manusia sebagai anggota masyarakat, tidak sebagai individu yang terlepas dari kehidupan manusia. Fokus pembahasan sosiologi adalah interaksi manusia yaitu pada pengaruh timbal balik antara dua orang atau lebih dalam perasaan, sikap dan tindakan. Teori ini akan menganalisa kehidupan gay di Jepang yang tergambar dalam komik “Free Punch” karya Isaku Natsume.

Skripsi ini membahas tentang gay di Jepang berdasarkan gambaran dalam komik “Free Punch” karya Isaku Natsume dan berusaha mencari karakteristik atau hal khusus yang terjadi di tengah-tengah masyarakat pada masa sekarang ini melalui presentasi yang terdapat dalam komik tersebut. Dimana komik merupakan salah satu produk sastra. Sastra digambarkan Glickberg dalam Endraswara (2008:77) adalah hal yang fantastis yang memiliki perhatian yang besar terhadap fenomena sosial. Sastra menampilkan kejadian-kejadian yang ada di masyarakat serta mendefinisikan fakta sosial.

Penelitian ini juga menggunakan pendekatan semiotik untuk menjelaskan keadaan atau situasi serta tanda-tanda yang tergambar dalam komik “Free Punch” ini. Semiotik, dinyatakan Jabrohim (2001:71) sebagai ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial masyarakat dan kebudayaan itu


(19)

merupakan tanda. Dan semiotik dalam skripsi ini digunakan untuk menerjemahkan gambar serta simbol-simbol yang tidak diungkapkan dengan kata-kata.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.5.1 Tujuan

Moleong (2007:370) menyebutkan bahwa maksud dan tujuan dalam suatu karya tulis adalah penting karena hal ini menjadi dasar para penulis atau ilmuwan tertarik untuk berkarya dalam bidang ilmu pengetahuan dengan jalan menulis karya tulis ilmiah.

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk: 1. Mengetahui kehidupan para gay di Jepang secara umum.

2. Mengetahui kehidupan gay di Jepang yang terdapat dalam komik “Free Punch” karya Isaku Natsume.

1.5.2 Manfaat Penelitian

Penulis berharap penulisan skripsi ini akan membawa manfaat baik bagi para pembacanya, dan manfaat yang penulis harapkan terangnkum sebagai berikut:

1. Bagi masyarakat umum diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai keberadaan para gay di Jepang dan dapat membandingkannya dengan negara lain termasuk Indonesia.

2. Bagi para pelajar Bahasa Jepang dan peminat budaya Jepang diharapkan dapat lebih memahami kehidupan homoseksual dan para


(20)

gay disana berdasarkan gambaran dalam komik “Free Punch” karya Isaku Natsume.

3. Bagi penulis sendiri agar dapat memenuhi keingintahuan tentang kasus homoseksual khususnya gay yang terjadi di Jepang.

1.6 Metode Penelitian

Metode menurut Senn dalam Suriasumantri (2005:119) merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis.

Metode yang penulis gunakan adalah metode deskriptif, yang menurut Nazir (2002:54) adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu objek, set kondisi, sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Metode deskriptif termasuk sebagai metode dalam penelitian kualitatif. Denzin dan Lincoln dalam Moelong (2007:5) menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada.

Sementara itu, teknik yang penulis gunakan untuk mengumpulkan data adalah metode library reserch (penelitian kepustakaan) yaitu dengan mengumpulkan data dari berbagai sumber tertulis yang telah ada. Diantaranya adalah buku-buku, majalah, hasil penelitian baik yang ilmiah seperti skripsi, tesis ataupu non ilmiah. Penulis juga melakukan penelusuran data melalui internet seperti google book maupun blog-blog yang membahas mengenai permasalahan


(21)

yang berkaitan dengan judul skripsi ini. Sumber utama penelitian ini adalah melalui komik “Free Punch” karya Isaku Natsume.

Adapun langkah-langkah yang telah penulis lakukan dan akan dilakukan adalah sebagai berikut:

4. Mencari referensi tentang homoseksual dan menentukan masalah. 5. Mengumpulkan data yang memadai untuk dijadikan sumber bacaan

yang berkaitan dengan kehidupan gay di Jepang.

6. Mengajukan judul dan merangkum hasil penelusuran dalam sebuah laporan.


(22)

BAB II

PANDANGAN UMUM TERHADAP GAY DI JEPANG

4.1 Pengertian Gay

Istilah gay adalah suatu istilah tertentu yang digunakan untuk merujuk kepada pria homosekshomoseks atau lebih sering disebut dengan homo saja digunakan unt orang berjenis kelamin sama, yang tidak dapat diidentifikasikan sebagai

Lesbian adalah suatu istilah tertentu yang digunakan untuk

merujuk kepada wanita homosekseksual. Sekalipun ada sebutan gay males (gay pria) dan gay females (gay wanita) yang menunjukkan bahwa istilah gay juga digunakan untuk wanita, tetapi secara spesifik kata gay lebih umum ditujukan untuk para pria.

Sekalipun homoseksual merujuk pada pengertian hubungan sesama jenis secara umum, tetapi tidak dapat dikatakan bahwa gay dan lesbian ataupun biseksual merupakan pembagian dari homoseksual. Hal ini dikarenakan homoseksual sendiri mempunyai konteks arti yang berbeda selain itu beberapa buku dan penelitian masih menyebutkan homoseksual sebagai identitas penyuka sesama jenis antara laki-laki dan disandingkan dengan lesbian. Seperti Kartini Kartono yang menyebutkan homoseksual dan lesbianisme dalam bukunya, bukan gay dan lesbian. McLelland (2000:10) menjelaskan mengenai kata gei yang sebenarnya merujuk pada pria gay tetapi sering diartikan sebagai laki-laki yang

cross-dressing. Karena itu dalam beberapa bagian bukunya ia menggunakan kata


(23)

Sementara sebagian penelitian yang lainnya secara spesifik menyebutkan hubungan sesama jenis antara laki-laki sebagai gay. Homoseksualitas, sebagai suatu pengenal, pada umumnya dibandingkan dengan dan karena itu istilah ini memiliki arti yang lebih dalam dibandingkan dengan kata homoseksual.

Foucault (1997:53) mengatakan bahwa gay muncul sebagai salah satu bentuk seksualitas ketika dialihkan dari praktek sodomi menjadi semacam androgini (percampuran dari ciri-ciri maskulin dan feminin) batin.

Sodomi berasal dari kata Sodom yang merupakan nama sebuah kota yang melegalkan hubungan seksualitas sesama laki-laki (gay). Makna sodomi pada abad pertengahan diartikan sebagai perilaku anal seks baik antara homoseksual maupun heteroseksual. Tetapi anal seks lebih identik dengan homoseksualitas dan sekarang umumnya digunakan sebagai istilah untuk perilaku seksual gay (Spencer, 2004:60). Dulu pelaku sodomi dianggap sebagai orang sakit, pada masa sekarang gay adalah suatu seksualitas tersendiri.

McLelland (2000:126) mengatakan:

In all the representatitions of homosexual men discussed so far in Japanese popular culture, there is a basic agreement about the nature same-sex desire: it somehow 'feminizes' a man.

Dalam semua penggambaran tentang homoseksual pria (gay) yang dibicarakan sampai saat ini dalam kebudayaan populer Jepang, ada persetujuan umum (pemahaman masyarakat) tentang cinta sesama jenis tersebut: bagaimanapun itu pastilah pria yang feminin.

McLelland (2000:39) menjabarkan lebih lanjut bahwa, sekarang ini gay di Jepang sering bercampur dengan cross-dressing (memakai pakaian lawan jenis) dan transgender. Maksudnya adalah kebanyakan orang sulit membedakan seorang


(24)

gay, cross-dressing dengan transgender. Seorang cross-dressing bukan berarti gay, karena cross-dressing umum dilakukan komunitas cosplay (costume player) dan band beraliran visual kei untuk menegaskan peran yang mereka bawa saat pertunjukkan. Mereka melakukan cross-dressing demi hiburan. Berbeda dengan

Okama. Okama dalam Matsuura (2005:755) diartikan sebagai banci atau waria.

Long dalam McLelland (2000:8) menjelaskan bahwa kata okama diperoleh dari penggunaan istilah yang mengacu pada bokong dan anal seks yang didefinisikan sebagai tindakan seksual yang digunakan oleh para gay. Sementara transgender adalah orang yang merubah jenis kelaminnya dengan melakukan operasi.

Banyak istilah untuk gay yang digunakan di Jepang diantaranya

Douseiaisha (同性愛者, orang yang mencintai sesama jenis), gei (ゲイ, gay),

homosekushuaru (ホモセクシュアル, homoseksual), rezu atau rezubian (レズ,

レ ズ ビ ア ン), homo (ホ モ). Tetapi istilah yang paling umum digunakan

komunitas homoseksual adalah gei dan rezu atau rezubian

Selain itu beberapa istilah lain yang digunakan gay antara lain;

Anaru (アナル) : Secara harfiah berarti seks anal.

Barazoku (薔薇族) : Secara harfiah berarti Rose Tribe (suku bunga/

keturunan bunga) Barazoku adalah nama majalah gay pertama dan paling lama majalah di Jepang, yang berhenti publikasi pada tahun 2005. Namanya menjadi sinonim dengan "gay".

Futsuu (普通) : Secara harfiah berarti normal, dalam istilah gay berarti


(25)

Jani, Jani (ジャニ, ジャニー): Dari nama Inggris, Johnny. Mengacu pada arti muda, langsing, tampak kekanak-kanakan, dan laki-laki manis. Diambil dari nama sebuah agensi bakat, Johnny

& Associates, yang terkenal menghasilkan boyband

seperti Kinki Kids, Hey! Say! JUMP dan SMAP. Jani-kei (ジャニ 系, ジャニー 系) berarti tipikal Johnnys.

Kagema (阴间) : Secara harfiah ruang tersembunyi, istilah ini sering

digunakan pada periode Edo untuk merujuk kepada pelanggan pelacur laki-laki yang juga laki-laki, kasar dan identik dengan homo. Sebuah kagemachaya (阴间

茶屋) adalah sebuah rumah teh yang mengkhususkan diri dalam pelacuran laki-laki.

Ketsuman : Sebuah singkatan dari kata-kata ketsu dan manko, kata

ini biasanya menggambarkan anus dari laki-laki yang bertindak fasif.

Kuma (熊, クマ) : Sebuah beruang (seorang pria yang berbulu dan gemuk). Kuma-kei (熊 系, クマ 系) berarti tipe beruang.

Nekama (ネカマ) : Dari kata-kata net (Internet) dan kama, kata ini bisa

merujuk ke orang-orang yang berpura-pura menjadi perempuan di ruang chat online, atau untuk pria gay yang terlibat dalam situs porno.


(26)

Neko (ネコ) : Secara harfiah berarti kucing (dan kadang-kadang ditulis dengan kanji untuk kucing, meskipun lebih sering dalam katakana, seperti di atas), kata ini merujuk mitra yang pasif, terutama dalam seks anal.

Nicho (に ちょ) : Istilah yang diberikan untuk Shinjuku Nichome oleh

mereka yang terbiasa dan sering datang ke tempat itu.

Nonke (ノンケ) : Heteroseksual, orang yang normal. Meskipun dalam

bahasa Inggris sering diartikan keliru sebagai non-gay, tetapi sebenarnya istilah itu merupakan kombinasi dari kata pinjaman non (ノン) dan kata ke (気), yang berarti bujukan. Yang berarti tidak terbujuk.

NYU haafu (ニ ュ ー ハ ー フ): Dari kata Inggris setengah baru, istilah ini

digunakan untuk merujuk kepada waria.

Okama (お 釜, お か ま): Mengacu pada seorang pria gay, terutama yang

dipandang sebagai banci atau waria. Bisa berarti merendahkan. Kata ini berasal dari bahasa slang pada periode Edo untuk anus.

Okoge : Sebuah kata yang mengacu pada teman perempuan

seorang laki-laki gay dan perempuan yang suka berkunjung ke Ni Chome.

Onee (オネエ) : Pria gay yang lebih tua dan feminin. Secara harfiah berarti kakak.


(27)

Onnagirai (女嫌い) : Secara harfiah berarti pembenci wanita. Istilah ini digunakan pada periode Edo untuk menggambarkan seorang pria yang lebih menyukai hubungan romantis dengan laki-laki. Mirip dengan misogynia (kebencian terhadap wanita).

Riba (リバ), Ribaasu (リバース) : Terjemahan dari bahasa Inggris, reverse (terbalik). Digunakan untuk orang yang serbaguna. Seme (攻め, セメ) : Seme berasal dari kata semeru (攻める) yang berarti

menyerang. Mengacu pada pasangan yang dominan dalam hubungan tersebut. Lawan kata dari uke (受け, ウ ケ).

Seefutii sekkusu (セーフティー セックス) : Transliterasi dari seks aman.

Uke (受け, ウケ) : Dari kata kerja ukeru, menerima, istilah ini digunakan untuk pasangan yang pasif atau reseptif dalam seks anal. Secara umum baik di Jepang maupun di Indonesia gay adalah sebutan bagi homoseksual pria, yaitu pria yang menyukai sesama pria dan menjadikannya sebagai identitas seksual mereka. Kehidupan para gay di Jepang pada masa sekarang dapat dikatakan tidak jauh berbeda dengan di Indonesia. Yang membuat berbeda adalah keberadaan dan kehidupan gay pada masa lalu.

4.2 Kehidupan Gay Di Jepang

Dalam Narwoko (2010:124) dijelaskan bahwa ditinjau secara sosiologis, kehidupan sosial berlangsung dalam suatu wadah yang disebut masyarakat, dan


(28)

masyarakat dipandang sebagai suatu sistem sosial. Dimana sistem sosial didefenisikan sebagai pola interaksi sosial yang terdiri dari komponen sosial yang teratur.

Para gay, seperti masyarakat pada umumnya juga hidup bersosialisasi dan mengalami interaksi sosial. Yaitu proses dimana seseorang menerima dan menyesuaikan diri kepada adat istiadat suatu golongan dan menjadi bagian dari golongan tersebut (Shadily, 1993:119).

Jika pada zaman dulu perilaku gay dianggap sebagai budaya hingga populer bahkan di kalangan aristokrat (Danandjaja, 1997:395), masyarakat Jepang dewasa ini justru menganggapnya sebagai tindakan yang menyimpang.

Sekalipun gay dianggap sebagai orang yang memiliki perilaku menyimpang, tetapi mereka tetap harus menjalani kehidupan sosial dimana mereka akan bertemu banyak orang dan wajib berinteraksi dengan mereka.

McLelland (2000:265) menceritakan pengalamannya saat melakukan riset terhadap gay di Jepang, ia mengatakan bahwa:

Most of the homosexual men (gay) I know in Japan are attempting to pass as straight with colleagues and parents and therefore avoid the display of anything that might suggest a homosexual inclination. Also, having regular jobs, they tended to wear the same kind of conservative suits and white shirts which all salarymen wear. It is true that in Shinjuku Ni-chome there are many neatlyturned out young men in fashionable clothes smelling of expensive deodorant; however, they are hardly typical of homosexual men in general.

Sebagian besar pria gay di Jepang berusaha keras untuk tampil seperti pria normal

(Straight men—sebutan untuk pria bukan homoseksual) dihadapan kenalan dan

orang tuanya dan menghindari tampilan apapun yang mungkin menunjukkan kecenderungan homoseksual. Mereka juga memiliki pekerjaan tetap, cenderung memakai pakaian yang umum dan setelan putih layaknya karyawan pada umumnya. Memang benar bahwa di Ni Chome-Shinjuku ada banyak laki-laki (gay) yang tampil rapi dengan pakaian modis dan beraroma parfum mahal, tetapi mereka hampir tidak menggambarkan tipikal homoseksual pria pada umumnya.


(29)

Hal ini membuktikan bahwa kehidupan para gay di Jepang juga tidak berbeda. Mereka bertingkah laku dan beraktifitas layaknya masyarakat pada umumnya. Mereka bekerja, bersekolah dan berinteraksi dengan orang lain sama seperti kebanyakan orang. Hanya saja sekalipun ada banyak spekulasi yang menunjukkan bahwa gay di Jepang adalah hal yang biasa (seperti di kebanyakan negara barat) atau ada pula yang menyatakan menyimpang, tetapi di Jepang tidak ada peraturan yang mengatur tentang homoseksualitas, khususnya gay. Di Jepang tidak ada undang-undang yang melegalkan hubungan sesama jenis dan tidak ada peraturan tertulis yang melarang (Buckley, 2002:165).

4.2.1 Hubungan Para Gay Dengan Orang Tua

Keluarga merupakan institusi yang paling penting pengaruhnya dalam proses sosialisasi manusia. Dimana keluarga adalah awal mula sosialisasi terjadi pada seseorang (Narwoko, 2010:92).

Anak-anak Jepang dibesarkan dalam konsep Amae (manja) yang membuat mereka terikat cukup erat dengan orang tuanya terutama dengan ibu. Amae merupakan dasar dari giri dan ninjo. Giri dalam Matsuura (2005:219) diartikan sebagai kewajiban dan perasaan keharusan. Benedict (1979:155) menjelaskannya sebagai utang-utang yang wajib dibayar dengan jumlah yang sama dengan yang diterima oleh seseorang. Giri juga mencakup tingkah laku yang tenang dan terkendali, tidak memperlihatkan perasaan dan memiliki pengendalian diri. Sementara ninjo dalam Matsuura (2005:723) adalah rasa kemanusiaan atau perikemanusiaan.


(30)

Orang Jepang diajarkan untuk tahu malu dan menjaga nama keluarganya serta nama keluarga orang lain, sebisa mungkin tidak mebuat kesalahan yang membuat malu keluarganya dan orang-orang yang mengenalnya. Mereka tumbuh dengan pemahaman bahwa mereka memiliki kewajiban moral yang menjadi tanggungan mereka terhadap keluarga dan orang-orang di sekitar mereka (Doi, 1988:49)

Amae merujuk pada pengertian manja dan memperbolehkan manja terhadap orang lain yang dianggap dekat. Dimana seseorang sangat merasa ketergantungan terhadap orang lain dan membutuhkan orang yang dianggap lebih superior. Tetapi sama sekali tidak merujuk pada seksualitas (Doi, 1988:113). Hal ini terkadang justru dapat membuat orang tua tidak dapat menginterpretasi bahwa anaknya seorang gay karena menganggap bahwa hubungan yang dekat dengan seseorang apakah itu guru atau teman sesama jenis adalah bagian dari amae.

Hampir semua gay di Jepang tidak menunjukkan adanya kelainan ataupun tingkah laku yang berbeda di hadapan orang tuanya. Mereka cenderung menyembunyikan identitas mereka sebagai gay, karena ketakutan akan penolakan yang akan didapatnya apabila mereka mengatakan yang sebenarnya. Faktanya dalam banyak kasus yang sering terjadi, keberadaan homoseksual dalam sebuah rumah dianggap sebagai aib bagi keluarga tersebut sehingga orang tua tidak menginginkan orang lain mengetahui hal tersebut. Hal yang banyak terjadi adalah orang tua akan mengurung anaknya jika diketahui anaknya adalah gay. Sementara yang lainnya jelas-jelas menolak dan memilih untuk mengusir anaknya (http//:intersections.anu.edu.au).


(31)

Apabila diketahui bahwa dalam sebuah keluarga ternyata ada seorang gay dan kemudian mengakui keadaannya pada orang tuanya, ia telah mulai menempatkan orang tua dalam posisi yang sulit dalam kehidupan bermasyarakat. Meskipun keluarga dekat telah menerima keadaannya sebagai gay tetapi seperti dikatakan oleh Summerhawk dalam McLelland (2000:212) tekanan justru datang dari dan kepada orang tua. Orang tua akan terganggu oleh pertanyaan orang-orang sekitar tentang status lajang putra mereka. Oleh karena itu, ketika seorang pria gay keluar rumah atas nama orang tuanya untuk urusan yang akan melibatkan keluarganya, orang tua akan mulai menempatkan mereka dalam posisi yang sulit tentang jaringan sosial mereka, para orang tua merasa memiliki kewajiban untuk tidak mengungkapkan alasan mengapa anak mereka tidak menikah. Dengan kata lain menutupi identitas anak mereka yang merupakan seorang gay jika tidak mau mendapatkan cercaan dari masyarakat sekitar.

Dapat disimpulkan bahwa para gay tidak mempunyai kebebasan sekalipun dalam keluarganya sendiri berkaitan dengan identitas seksual mereka sebagai gay. Selama orang tua tidak mengetahui identitas gay seorang anak, pada dasarnya mereka akan mempunyai hubungan yang biasa saja layaknya hubungan kebanyakan pria normal dengan keluarganya. Tetapi memang pada kenyataannya para gay tidak terlalu banyak berinteraksi dengan orang tuanya, mereka cenderung menutup diri agar orang tuanya tidak dapat mengetahui identitas seksual mereka.

4.2.2 Hubungan Para Gay Dalam Komunitas

Komunitas merupakan salah satu kelompok sosial. Andersen dalam Wiyarti (2008:36) menjelaskan bahwa kelompok adalah kesatuan dari dua atau


(32)

lebih individu yang mengalami interaksi psikologis satu sama lain. Wiyarti menambahkan bahwa mempunyai dan digolongkan dalam suatu kelompok adalah suatu kebutuhan psikologis manusia, dimana kelompok merupakan tempat ia berlindung dan merasa aman.

Para gay tidak mempunyai hubungan pertemanan dengan sesama gay seperti antara perempuan dengan perempuan ataupun laki-laki dengan sesamanya seperti yang umum kita ketahui selama ini. Mereka mungkin mempunyai teman sesama gay yang menjadi tempat untuk berkeluh kesah atau berbagi pengalaman, tetapi itu hampir sulit ditemukan. Antara sesamanya, mereka hampir pasti akan terlibat dalam hal seksualitas (Robertson, 1998:145).

Para gay lebih protektif terhadap pasangannya karena menganggap bahwa menemukan pasangan gay adalah hal yang sangat sulit. Sehingga jika ia menemukan orang yang cocok dengannya, ia akan menjadi sangat protektif. Dan menjadikan pasangan tersebut segalanya baginya.

Kenyataan lainnya adalah para gay tidak mau terlihat sama dengan gay lainnya. Mereka berusaha untuk tampil berbeda atau setidaknya mempunyai kesan yang berbeda (McLelland, 2000:210).

Sementara itu, ada sebuah tempat di Shinjuku bernama Ni Chome yang merupakan tempat persinggahan bagi komunitas gay. Di tempat ini para gay Jepang bertemu dan berinteraksi dengan sesama gay. Tempat ini bahkan terkenal bagi wisatawan asing yang mempunyai ketertarikan sama.

Ni Chome adalah tempat di mana pengunjung akan menemukan konsentrasi terbesar bar gay dan sejenisnya di dunia. Daerah ini merupakan


(33)

tempat bagi sekitar 200 sampai 300 bar, pub, klub malam dan tempat-tempat lain yang melayani populasi gay Tokyo (http://www.suite101.com/content/gay-tokyo).

Selebihnya gay tidak memiliki perkumpulan khusus yang menjadi tempat naungan mereka. Tetapi tidak semua gay suka berada di tempat ini atau dengan senang hati akan masuk ke tempat ini. McLelland (2000:217) menyebutkan

Just because a man experiences same-sex desire, this does not necessarily mean that he will feel welcomed or at home in a gay bar. Even though Tokyo provides extensive recreational space when gay men can relax as gay men, not all men who experience same-sex desire in Japan necessarily see this space as supportive. Hanya karena seorang laki-laki memilki kecenderungan hubungan sesama jenis, tidak berarti mereka akan merasa diterima atau nyaman berada di bar gay. Bahkan sekalipun Tokyo menyediakan daerah tersendiri dimana gay dapat bersantai dan menikmati hidup sebagai gay, tidak semua laki-laki yang menyukai sesama jenis di Jepang melihat hal ini sebagai tempat yang mendukung mereka.

4.2.3 Hubungan Para Gay Dengan Masyarakat

Summerhawk dalam McLelland (2005:6) mencoba menjelaskan bahwa A majority of Japanese gay men live in contradiction, a constant stuggle with the inner self, even to the point of cutting off emotions and the denial of their own oppression.

Mayoritas laki-laki gay Jepang hidup dalam kontradiksi, perjuangan terus-menerus dengan batin, bahkan sampai ke titik menghilangkan emosi dan penolakan terhadap penindasan mereka sendiri.

Mereka berusaha hidup dengan tampilan seperti kebanyakan orang dan berusaha untuk tidak mencolok agar orang-orang disekitarnya selain gay tidak dapat mengidentifikasi keadaan mereka yang sebenarnya. Dengan cara seperti itu, mereka dapat hidup dan bersosialisasi dengan masyarakat umum seperti biasa. Sekalipun gay mengakui bahwa mereka mengalami penindasan dan diskriminasi dari orang-orang sekitarnya, yang kebanyakan terjadi di sekolah. Hal itu bukan karena orang-orang mengetahui bahwa ia adalah gay, tetapi karena penampilan


(34)

dan tingkah lakunya yang terlihat terlalu seperti perempuan (McLelland, 2000:209).

McLelland menambahkan (2000:210) bahwa hampir semua narasumber (gay) yang diteliti olehnya hidup seperti biasa dan cenderung mengikuti kehidupan bermasyarakat yang normatif seperti pria yang normal. Mereka masuk ke lembaga umum, sekolah sampai universitas dan bekerja di berbagai perusahaan. Hampir tidak ada dari mereka yang menunjukkan kecenderungan homoseksualitas yang mereka miliki. Mereka lebih memprioritaskan keluarga, lingkungan dan menempatkan kebutuhan seksual mereka di samping rutinitas yang mereka miliki. Atau bisa dikatakan mereka tidak mempunyai waktu untuk memikirkan kebutuhan seksuallitas mereka sebagai gay. Mereka menganggap bahwa bisa bersenang-senang dengan pasangan mereka setiap hari hanya bisa dilakukan di luar negeri.

Para gay Jepang merasa mereka tidak berbeda dengan teman-temannya yang normal dan normatif. Yang menjadi persoalan adalah ketika para gay tersebut merasa tertarik dengan rekannya yang merupakan pria normal. Mereka harus berusaha keras untuk menutupi hal tersebut, jika tidak mau rekannya berubah membenci mereka.

Tentu saja karena mereka tampil seperti biasa tanpa menunjukkan identitas mereka sebagai gay, orang-orang di sekitar mereka juga memperlakukan mereka seperti biasa. Dan apabila secara tidak sengaja seseorang melihat mereka sebagai gay, masyarakat Jepang akan berpura-pura tidak melihat apapun. Seperti giri dimana seseorang mempunyai kewajiban untuk menjaga reputasi orang lain (Benedict, 1979:152). Hal ini sekaligus dapat menjaga hubungan bermasyarakat


(35)

di Jepang dan menghindarkan mereka dari masalah dengan orang lain, termasuk dengan para homoseksual.

Sekalipun hal tersebut tidak selalu terjadi. Dalam banyak kasus lainnya, tidak jarang seorang gay akan mendapat tekanan dari orang-orang disekitarnya. Masyarakat kebanyakan menganggap para gay yang secara terang-terangan mengakui dan bertindak sebagai gay di depan umum adalah hal yang menjijikkan. Dan menilainya sebagai aib dalam masyarakat tersebut, sehingga mereka akan mendapat pengucilan, dihindari dan dijauhi. Inilah yang menyebabkan para gay di Jepang sebisa mungkin menutupi identitas mereka di hadapan publik (McLelland, 2005: 32).

Sementara itu, hal yang berbeda dilakukan oleh para perempuan Jepang. Perempuan Jepang suka mencari tahu dan mencoba memasuki dunia gay, banyak dari mereka yang pergi ke bioskop gay atau berjalan-jalan di bar-bar gay hanya untuk melihat gay, yang membuat beberapa gay merasa seperti tontonan. Banyak diantara para gay tersebut yang mengeluhkan para okoge, yaitu perempuan-perempuan yang senang berjalan-jalan di area Ni-Chome, shinjuku ini. mereka mengatakan bahwa orang-orang seperti ini yang menyebabkan masalah bagi gay hingga seperti melakukan pelecehan seksual. Sedangkan gay yang lainnya sama sekali tidak menanggapi invasi daerah gay oleh pengunjung heteroseksual, baik laki-laki ataupun perempuan. Terutama tidak merasakan empati yang sama untuk perempuan normal seperti yang beberapa perempuan lakukan untuk mereka. Para gay merasa bahwa perempuan tidak dapat mengerti perasaan gay dan hanya ingin berkumpul dengan gay demi keingintahuan.


(36)

4.3 Pandangan Masyarakat Jepang Terhadap Gay

Benedict (1979:191-197) mengatakan di Jepang terdapat pemikiran tradisional bahwa tidak ada sesuatu yang buruk mengenai perasaan manusiawi, karena itu tidak perlu bersikap moralistis mengenai seksualitas. Homoseksualitas pada pemikiran tradisional juga dianggap sebagai bagian dari perasaan manusiawi. Seorang pria yang bisa saja berpotensi menjadi gay atau wanita yang menjadi lesbian hampir tidak terbayangkan sebagai suatu bahaya. Menurut pemikiran tradisional bangsa Jepang, orang tidak usah takut menjadi homoseksual seperti halnya orang yang tidak perlu takut menjadi pemabuk.

Tetapi hal ini tidak lantas membuat posisi para gay menjadi lebih baik di mata masyarakat. Jelas saja karena mereka hanya membayangkan suatu homoseksual bukan sebagai gay yang merupakan identitas seksual. Kenyataannya adalah masyarakat Jepang pada umumnya lebih dapat dikatakan mengabaikan para gay, dibandingkan membuka diri terhadap mereka ataupun secara terang-terangan mengecam mereka. Namun kebanyakan orang Jepang mengakui atau bahkan menunjukkan perasaan tidak menyenangkan terhadap gay (Buckley, 2002:165). Sikap tidak senang terhadap gay ini dikarenakan para gay membuat orang-orang disekitarnya tidak merasa nyaman dan mereka menganggap keberadaan para gay membawa efek negatif terhadap masayarakat.

Pada zaman globalisasi seperti sekarang ini, kebanyakan tingkah laku manusia mudah terpengaruh oleh banyak faktor, khususnya media. Dimana media berperan sebagai sarana informasi yang tidak dapat terlepas dari kehidupan manusia dan secara otomatis menjadi acuan banyak orang dalam bertindak.


(37)

Bagi Jepang yang merupakan negara dengan perkembangan teknologi yang cukup tinggi, media merupakan suatu hal yang paling berpengaruh dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Media pulalah yang paling banyak memberikan pengaruh dalam pandangan masyarakat Jepang terhadap gay.

Salah satu media yang paling banyak mengangkat isu tantang gay adalah

Shoujo Manga. Shoujo manga adalah komik yang diperuntukkan bagi kaum

perempuan. Banyak shoujo manga yang mengangkat tema tentang gay. Shoujo manga juga tidak menempatkan para gay dalam posisi yang buruk. Media inilah yang menggambarkan perasaan gay seperti pemikiran tradisional yang menempatkan perasaan gay sebagai perasaan manusiawi yang tidak salah dan cenderung normal. Sekalipun hal ini juga tidak mempengaruhi kehidupan gay menjadi lebih baik dan dapat diterima masyarakat.

Kebanyakan masyarakat Jepang menunjukkan atau mengakui perasaan tidak suka yang muncul seketika terhadap gay. Polisi tidak memeriksa atau merazia bar gay dan daerah sekitarnya, dan tidak satupun kelompok relijius besar di Jepang yang merasa memiliki keuntungan untuk menindas gay. Dapat dikatakan bahwa hal-hal yang berhubungan dengan penilaian terhadap gay seperti perasaan aneh saat melihat laki-laki yang tertarik dengan sesamanya atau laki-laki yang menyatakan rasa cintanya terhadap pasangan gay-nya diungkapkan secara eksklusif dengan cara yang tidak terkatakan dan tidak dapat dimengerti oleh gay (Buckley, 2002:165).

Dapat dikatakan bahwa keberadaan gay di Jepang tidak jauh berbeda dengan di Indonesia, mereka mendapat toleransi tetapi tidak mendapatkan pengakuan secara hukum.


(38)

4.4 Sinopsis Komik “Free Punch” Karya Isaku Natsume

Free Punch adalah komik karangan Isaku Natsume yang diterbitkan oleh Shinshokan pada tahun 2009. Komik ini bercerita tentang tentang dua orang pemuda bernama Yamada dan Amano Nao. Yamada adalah seorang murid SMA yang terlihat kasar dan temperamental tetapi sebenarnya dia anak yang baik. Hanya saja kesannya telah terlihat buruk di mata teman-temannya sejak ia masih di kelas satu. Hal itu disebabkan karena ia memukul seniornya. Sementara Amano Nao adalah guru kimia yang banyak disukai oleh murid-murid di sekolahnya.

Suatu hari Yamada bertengkar dengan ayahnya tentang kepenerusan usaha keluarga dan kabur dari rumah. Sebenarnya ia tidak berniat untuk selamanya meninggalkan rumah. Rencananya ia akan menginap secara diam-diam di sekolah dan kembali ke rumah dalam dua atau tiga hari saat keadaan sudah membaik. Tetapi di hari ia kabur dan mencoba menyelinap ke dalam sekolah, ia bertemu dengan Amano Nao yang sedang bertugas patroli pada malam itu. Ia tertangkap dan karena berbagai alasan ia akhirnya menetap di rumah guru yang paling terkenal di sekolahnya tersebut.

Amano Nao adalah guru yang menyenangkan, senang bercanda dan sangat perhatian. Murud-murinya menganggap Amano Nao terlalu baik dan periang. Di mata Yamada, Amano Nao adalah orang yang tidak memilki perlindungan diri atau secara kasar ia menyebutnya bodoh sehingga mudah dimanfaatkan.

Teman-teman Yamada terkejut sekaligus iri mendengar ia sekarang ini tinggal di rumah Amano Nao. Setiap hari ia pasti mendapat ledekan dari


(39)

teman-temannya. Mereka memperingatkan Yamada agar tidak tertarik apalagi sampai jatuh cinta terhadap Amano Nao.

Peringatan itu dianggap Yamada hanya sebagai gurauan yang mengganggu, karena selama ini ia tidak mengerti apa yang membuat teman-temannya sangat menyukai Amano Nao. Yamada sendiri sebelumnya sama sekali tidak tertarik dan termasuk cuek terhadap apa yang terjadi di sekolah, termasuk terhadap Amano Nao.

Perlahan-lahan selama Yamada tinggal bersama Amano Nao, ia mulai mengetahui dan menyadari kebaikan hati serta pesona yang dimiliki guru tersebut. Amano Nao memang merupakan orang yang sangat baik yang peduli terhadap muri-muridnya. Ia selalu membela murid-muridnya di depan guru lain yang melecehkan dan meragukan kemampuan muridnya. Hal ini membuat Yamada sedikit demi sedikit merasa suka terhadap Amano Nao.

Sampai suatu hari, demi melindungi Yamada agar terhindar dari masalah perkelahian, Amano Nao pergi menggantikan Yamada menemui berandalan dari sekolah lain yang menantangnya berkelahi. Hal ini dilakukannya diluar sepengetahuan Yamada. Tetapi pada akhirnya Yamada mengetahuinya juga, dan yang terjadi diluar perkiraan semua orang yang mengenal Yamada. Bukannya berkelahi seperti yang biasa dilakukannya, ia malah melerai Amano Nao dan membawanya pergi dari tempat itu. Kelakuannya tentu saja membuat musuh-musuhnya terkejut. Sebenarnya Yamada bukan orang yang suka berkelahi, hanya karena ia menentang seniornya hingga berkelahi saat kelas satu, ia akhirnya mendapat label sebagai berandalan sekolah. Tetapi hal itupun dilakukan Yamada karena ia merasa apa yang dilakukan seniormya itu salah dan ia tidak setuju


(40)

dengan senior tersebut. Amano Nao mengertahui hal ini, ia menyaksikan saat Yamada secara jujur mengakui kesalahannya dan bersedia meminta maaf. Sejak saan itu ia merasa tertarik terhadap Yamada.

Ternyata Amano Nao tidak cukup berani melawan para berandalan itu. Yamada yang mengetahui hal tersebut semakin merasa salut terhadap Amano Nao dan semakin merasa yakin akan perasaannya.

Amano Nao secara sadar menutupi perasaan sukanya terhadap Yamada dari orang-orang disekelilingnya, tetapi Yamada ternyata lebih polos. Ia mengakui perasaannya saat temannya kembali meledeknya, hanya saja teman-temannya tetap menganggap hal itu sebagai gurauan dan tidak menanggapi secara serius pengakuan Yamada.

Tetapi Yamada sama sekali tidak mengakui bahkan tidak menceritakan perasaan sukanya terhadap Amano Nao kepada keluarga maupun masyarakat.

Keduanya menjalani aktifitas seperti biasa. Yamada sebagai seorang pelajar yang di waktu senggangnya memiliki kewajiban untuk menjaga kedai sake, serta Amano Nao sebagai seorang guru yang terkenal ramah dan baik hati di kalangan murid-murid serta tetangganya.

Pada akhirnya, Yamada mengakui perasaannya terhadap Amano Nao dengan tetap menyembunyikannya dari orang tuanya. Komik ini berakhir dengan berhasilnya Amano Nao membujuk Yamada untuk kembali ke rumah dan membicarakan masalahnya dengan ayahnya secara baik-baik.


(41)

BAB III

ANALISIS SOSIOLOGIS KOMUNITAS GAY DALAM MASYARAKAT JEPANG YANG TERGAMBAR DALAM KOMIK “FREE PUNCH”

KARYA ISAKU NATSUME

1.1 Interaksi Sosial Gay Dalam Keluarga

Hampir semua gay di Jepang tidak menunjukkan adanya kelainan ataupun tingkah laku yang berbeda di hadapan orang tuanya. Mereka cenderung menyembunyikan identitas mereka sebagai gay, karena ketakutan akan penolakan yang akan didapatnya apabila mereka mengatakan yang sebenarnya. Apabila diketahui bahwa dalam sebuah keluarga ternyata ada seorang gay dan kemudian mengakui keadaannya pada orang tuanya, ia telah mulai menempatkan orang tua dalam posisi yang sulit dalam kehidupan bermasyarakat.

Dalam komik “Free Punch”, keluarga yang mendapat sorotan adalah keluarga Yamada. Yamada tinggal dengan ayah dan ibunya, tidak digambarkan tentang keberadaan saudara yang lain atau dengan kata lain ia tidak mempunyai saudara lain.


(42)

Ibunya digambarkan sebagai sosok yang diam dan hanya senang memperhatikan. Ibu Yamada banyak memaklumi situasi keduanya, termasuk saat Yamada dan Ayahnya bertengkar. Ayah Yamada digambarkan sebagai sosok yang tegas sekaligus keras. Ia sangat peduli terhadap masa depan anakanya. Hal ini tercermin dalam chapter pertama, yaitu saat Yamada kabur dari rumah karena menganggap ayahnya terlalu mencampuri urusannya. Tetapi dibalik itu semua, ayahnya merupakan sosok yang sangat baik dan disukai banyak orang. Ayahnya juga sebenarnya tidak bermaksud kejam terhadap Yamada. Ia hanya tidak mau anaknya memilih jalan yang salah untuk masa depannya.

Yamada dan ayahnya dalam beberapa kesempatan terlihat cukup akrab, hanya saja mereka memang tidak bisa bicara dengan lembut satu sama lain. Bisa dikatakan bahwa perangai kasar yang dimilki oleh Yamada adalah sifat yang diturunkan oleh ayahnya.

Cuplikan I

Yamada terlihat malas apabila diperintahkan untuk menjaga kedai. Ayahnya yang melihat hal itu, suatu hari menegurnya.

Ayah : Kalau kau malas-malasan seperti itu, kau tidak akan dapat meneruskan bisnis ini.

Yamada : (Bersikap tidak peduli)

Ayah : Kalau kau seperti ini terus, bisnis keluarga kita akan hancur di tanganmu. Apa kau tahu ayah membangunnya dengan susah payah..


(43)

Ayah : Apa katamu?

Yamada : Aku tidak mau menjadi penerus usaha begini. Ayah Yamada marah dan terjadilah percekcokkan yang panjang. Ayah : Keluar kau dari rumah ini, anak kurang ajar!!! Yamada : Aku pergi! Dasar orang tua!

Ibu : Pergi lagi? Hati-hatilah... (Chapter I)

Analisis

Dari cuplikan diatas tergambar bahwa ayah Yamada sangat tegas terhadap Yamada, terlihat kasar dan tidak terbantahkan, tetapi itu semua karena ia menyayangi anaknya.

Alasan Yamada kabur dari rumah adalah karena ia tidak bersedia menjadi penerus kedai sake yang merupakan bisnis keluarga mereka, bukan karena masalah orientasi seksualnya. Pada saat ini, Yamada belum terlibat dalam hubungan homoseksual dan bahkan belum menyadari bahwa ia memiliki potensi sebagai gay.

Cuplikan di atas adalah salah satu dialog antara Yamada dan keluarganya dalam komik “Free Punch”. Dalam komik ini sama sekali tidak ada adegan yang menggambarkan bahwa Yamada mengakui identitasnya sebagai gay terhadap orang tuanya. Menurut penulis hal ini adalah salah satu contoh fakta yang dapat menjelaskan keadaan gay sebenarnya di Jepang. Dimana pada kenyataannya para gay di Jepang memang merahasiakan identitas dirinya sebagai gay, demi menjaga nama baik keluarganya.


(44)

Cuplikan II

Saat Yamada masih berada di rumah Amano Nao, ia menceritakan alasannya kabur dari rumah.

Amano Nao : Kau bertengkar dengan ayahmu karena kau adalah penerus bisnis keluarga kan? Kedai sake kan?

Yamada : Yah...

Amano Nao : Kalau kau memilki masalah untuk bicara dengan ayahmu, aku akan ikut denganmu..

--- Sesampai mereka di rumah Yamada dan bertemu dengan Ayah dan Ibu Yamada. Ayah Yamada : Kau anak nakal! Apa kau pulang setelah berpikir dengan baik??!

(Menatap Amano Nao)

Maaf, Sensei. Terima kasih telah menjaga anak kami... Yamada dan Amano Nao terdiam. (Chapter End)

Analisis

Sekalipun Ayah Yamada terlihat marah, tetapi ia tetap merasa berterima kasih terhadap Amano Nao yang bersedia menampung dan menjaga anaknya selama Yamada melarikan diri dari rumah. Ia bersyukur anaknya tidak terlantar dan hidup di jalanan.

Yamada bukan orang yang dapat menentang ayahnya atau dapat dikatakan ia tidak dapat menandingi ketegasan ayahnya. Bahkan saat Amano Nao pun ikut mengantar Yamada pulang, mereka hanya bisa terdiam mendengarkan perkataan


(45)

ayah Yamada. Sementara ibu Yamada lebih banyak diam dan memperhatikan, ia sudah merasa senang anaknya kembali pulang ke rumah.

Dari cuplikan komik “Free Punch” di atas juga dapat membuktikan bahwa para gay di Jepang tidak memiliki interaksi yang cukup dengan orang tuanya dan lebih banyak memendam perasaannya sendiri. Dalam kasus di atas, Yamada lebih memilih pergi dari rumah dibandingkan harus berdebat dengan ayahnya. Tergambar bahwa Yamada bahkan lebih terbuka pada Amano Nao dibandingkan dengan orang tuanya sendiri.

Seperti kebanyakan para gay pada umumnya, Yamada yang perlahan-lahan menjadi gay juga tidak memberitahukan keadaannya pada keluarga. Hal ini membuktikan bahwa ketakutan akan mempermalukan keluarga dimiliki oleh semua gay, dalam komik “Free Punch” yang menjadi contoh adalah Yamada.

The Japanese legal system has never criminalised consensual same-sex relations. However, an unspoken consensus makes it all, impossible to Japanese

gays to come out to family or work colleagues.

Sistem hukum Jepang tidak pernah menetapkan hubungan sesama jenis sebagai kriminalitas. Namun, persetujuan umum tak terucap yang menetapkan semua itu, mustahil bagi gay Jepang untuk mengakui (keadaan mereka) kepada keluarga dan rekan-rekan mereka (Buckley, 2002:165).

Sekalipun hukum Jepang tidak menetapkan gay sebagai suatu kriminalitas, tetapi masyarakat menganggapnya demikian.

Mungkin ini lebih baik daripada menempatkan keluarganya dalam posisi yang sulit dalam masyarakat. Atau daripada memancing situasi yang semakin sulit


(46)

seperti kisah seorang gay dalam McLelland (2000:208) yang memutuskan untuk pindah ke Australia dengan pasangan gay-nya yang merupakan gurunya sendiri. Saat di rumah, pembicaraan mereka terdengar oleh ibunya. Dan kemudia ibunya bertanya “kenapa sensei mengatakan ia mencintaimu?”. Anaknya menceritakan bahwa mereka telah berpacaran selama dua tahun dan ia bahkan telah meninggalkan sekolahnya demi tinggal dengan pasangannya di Australia. Ibunya sangat terkejut dan berlari ke luar ruangan untuk memanggil ayahnya “panggilkan dokter, bawa dokter kemari?”.

Cuplikan II juga menggambarkan kebijakan Amano Nao yang membujuk Yamada pulang dan akhirnya berhasil. Menjelaskan bahwa sekalipun tetap tidak jujur tentang identitas seksualnya sebagai gay, Yamada masih membutuhkan orang tuanya. Dan ia bersedia pulang karena masih memikirkan posisi orang tuanya dalam masyarakat. Membuktikan bahwa Yamada juga memiliki giri dan menjaga nama orang tuanya. Dan menjadi gambaran bahwa para gay di Jepang lebih mementingkan orang lain terutama keluarganya dibandingkan dirinya sendiri.

3.2 Interaksi Sosial Gay di Sekolah

Ada beberapa kasus dimana gay mengalami penindasan dan diskriminasi yang kebanyakan terjadi di sekolah, tetapi pada kenyatannya hal itu bukan disebabkan karen teman-temanya mengetahui bahwa mereka gay, tetapi justru karena tingkah lakunya yang seperti perempuan. Dan sistem pendidikan di Jepang menjunjung tinggi senioritas, karena itu bisa jadi penindasan yang mereka alami adalah salah satu wujud superior dari senior mereka. Hanya saja hal ini tetap


(47)

menjadi momok bagi sebagian besar gay, dan mereka lebih memilih untuk menutupi identitas gay mereka sekalipun terhadap teman dekatnya.

Komik “Free Punch” banyak menceritakan tentang kehidupan gay di sekolah, karena itu skripsi ini juga membahas interaksi para gay di sekolah dengan mengambil gambaran dari komik tersebut.

Yamada diceritakan sebagai siswa SMA khusus pria yang masih duduk di kelas dua. Yamada memiliki teman-teman yang senang bercanda dan suka lelucon. Rata-rata mereka merupakan pengagum Amano Nao. Sekalipun Yamada memiliki tampilan seorang berandalan tetapi teman-temannya tidak sungkan untuk berinteraksi dengannya dan tidak menilainya sebagai orang jahat.

Yamada memang pernah berkelahi dengan seniornya dan teman-teman sekelasnya mengetahui penyebabnya. Karena itu sekalipun sempat menganggap Yamada sebagai orang yang mengerikan karena berani memukul senior saat masih kelas satu, mereka tetap tidak memperlakukan Yamada sebagai orang yang perlu ditakuti dan dijauhi. Sebaliknya mereka bahkan sering bercanda dengan Yamada, walaupun Yamada bukan orang yang ekspresif dan cenderung datar.

Cuplikan III

Yamada sedang duduk di dekat jendela dan mengamati Amano Nao sambil memikirkan perasaannya terhadap guru populer tersebut.

Teman-teman : Kau memperhatikannya... (dengan wajah tidak senang) Yamada : (Terkejut) Ada apa dengan kalian semua?


(48)

melihatmu memandanginya dengan tatapan seperti anak anjing...

Yamada : Memangnya kalian apanya Amano?

Teman-teman : Eh, kami? Kami adalah pasukan pelindung Ten-ten (sebutan mereka untuk Amano Nao). Member 1, 2 dan 3.. Yamada : (Beranjak pergi)

Member 2 : (Menahan Yamada) Sebentar, Yamada! Kami belum selesai bicara!

Yamada : Apa? Tidak perlu bicara lagi!

Member 1 : Kau pergi bukan karena kau jatuh cinta atau sebagainya terhadap Amano Nao kan?

Teman-teman yang lain dan Yamada terkejut hingga terdiam karena perkataan Member 1.

Teman-teman : Yang benar saja!!!!?

Member 1 : Bercanda. Itu karena dia terlalu memperhatikan Amano kan..

Hei, Yamada.. kenapa kau menjadi kaku begitu? (Merasa bersalah) Hei, jangan dianggap serius dong.. Aku hanya bercanda...

Kau tidak menganggap ucapanku serius kan...?

Member 2 : Bagaimanapun bagusnya Amano terlihat, hal itu (jatuh cinta) tidak mungkin kan... (tertawa)

Hari berikutnya.


(49)

Member 2 : (Terkejut) Hei, kau tidak serius dengan perkataanmu kan? Member 3 : Kau tidak benar-benar menyukainya kan?

Yamada : Memangnya aku tau?! Ini pertama kalinya aku merasakan hal seperti ini terhadap seseorang...

Teman-teman : Heeeeeh...???! (berbicara sendiri diantara mereka) Aku tahu kenapa Amano menyebut Yamada lucu... (Chapter II)

Analisis

Hal ini menjelaskan bahwa teman-teman Yamada tidak mengetahui bahwa Yamada adalah gay dan tentang hubungan homoseksual Yamada dengan Amano Nao. Mereka juga tidak mempersalahkan tampilan Yamada yang terkesan diam dan menakutkan. Mereka bahkan bercanda dengan biasa saja terhadap Yamada.

Sekaligus membuktikan bahwa di Jepang sekarang ini homoseksualitas dianggap sebagai lelucon oleh sebagian besar masyarakatnya dan tidak menganggap hal itu sebagai isu sosial yang serius.

Teman-teman Yamada tidak mengetahui bahwa hal yang mereka jadikan sebagai lelucon ternyata merupakan kenyataan dalam hidup Yamada. Mereka merasa Yamada lucu karena bisa menganggap serius perkataan mereka. Padahal kenyataannya, Yamada dan Amano Nao memang telah terlibat hubungan sebagai gay. Disini tergambar bahwa Yamada tidak berusaha menutupi perasaannya, tetapi teman-temannya justru tidak menganggap serius pengakuannya.


(50)

Apabila ceritanya berkembang hingga teman-temannya akhirnya mengetahui kenyataan bahwa Yamada dan Amano Nao benar-benar terlibat dalam hubungan gay, mungkin yang terjadi mereka akan menjauhi keduanya dan mengabaikan mereka. Karena awalnya mereka adalah teman Yamada dan murid sekaligus pengagum Amano Nao, mereka tidak akan mau menindas keduanya.

Jika pada akhirnya teman-teman Yamada dapat menerima dengan baik keadaan Yamada yang merupakan seorang gay, maka ini akan menjadi cerita yang berbeda dimana pada kenyataannya pendapat umum menunjukkan bahwa di Jepang hubungan gay masih dianggap di luar kebiasaan dan bahkan ada beberapa masyarakat yang menganggapnya sebagai suatu kriminalitas.

Cuplikan IV

Yamada sedang melintasi wilayah kelas tiga yang terdengar sangat berisik dan berpapasan dengan wakil kepala sekolah. Tanpa sengaja tangan Yamada mengenai tangan wakil kepala tersebut.

Wakil Kepala : Apa ini? Yamada sedang melihat-lihat teman-teman gengnya? Yamada : ??

Wakil Kepala : Kau berhubungan dengan orang-orang yang paling tidak berguna. Yamada : Apa yang anda katakan?

Wakil Kepala : Saya pikir kalau kamu ingin berkelahi, lakukan itu di luar sekolah.

Yamada : Hah?

Tiba-tiba Amano datang dan menyelipkan hasil eksperimennya yang terlihat seperti balon ke dalam kerah baju guru tersebut.


(51)

Amano Nao : Ah, saya baru saja membuatnya. Lihatlah.. (Menunjukkan hasil eksperimennya) Wakil Kepala : Saya tidak tertarik.

Amano Nao : Wakil kepala sekolah, bisakah anda tidak menindas Yamada seperti itu lagi? Lain kali saya akan memasukkan benda ini ke dalam sepatu anda..

Wakil Kepala : Saya tidak menindasnya dan Sensei, bisakah anda hentikan itu? Berapa umur anda?

(Pergi meninggalkan Amano dan Yamada) Kendalikan kelasmu dengan baik.

Amano Nao : Kelas saya semuanya anak baik... (Chapter I)

Analisis

Di mata para guru, Yamada merupakan anak berandalan yang suka membuat masalah. Sehingga sekalipun Yamada tidak melakukan apapun, para guru akan salah paham padanya.

Sementara Amano Nao dianggap sebagai guru yang usil dan kekanak-kanakan. Tetapi di balik sifat usilnya, Amano Nao adalah guru yang baik dan selalu membela murid-muridnya. Ia tidak suka murid-muridnya dianggap sebagai anak nakal.


(52)

Cuplikan di atas menggambarkan bahwa kehidupan Amano Nao tidak mempunyai kesan yang buruk di mata sesama rekan guru, sekalipun ia disindir karena memegang kelas yang berisik dan merupakan guru yang usil tetapi para guru tidak membencinya.

Baik Amano Nao maupun Yamada juga tidak mendapat kecurigaan tentang identitas seksual mereka sebagai gay. Tetapi menurut analisis penulis, sekalipun teman-teman Yamada mengetahui bahwa mereka adalah gay, mereka juga tidak akan mendapat perlakuan yang buruk. Di samping karena keduanya tidak bertingkah feminin, mereka juga jenis orang yang tidak dapat ditindas, sehingga orang akan lebih dulu takut untuk memperlakukan Yamada dan Amano dengan buruk. Justru yang terjadi adalah orang-orang yang mengecam mereka yang merasa akan mendapat masalah.

Cuplikan di atas dapat dijadikan salah satu pembuktian bahwa di Jepang para gay tidak menunjukkan hubungan gay mereka di depan orang lain, sekalipun terhadap orang yang seprofesi dengan mereka dan memiliki intensitas pertemuan yang cukup sering.

3.3 Interaksi Sosial Gay di Masyarakat

Masyarakat umumnya menganggap bahwa gay yang secara terang-terangan mengakui bahwa mereka gay adalah hal yang menjijikkan, begitupun masyarakat Jepang. Jika gay mengakui identitas gay mereka, mereka akan dijauhi dan dikucilkan dari pergaulan. Menurut penulis hal ini mungkin disebabkan karena adanya pemikiran umum yang tidak berdasar bahwa homoseksual dapat


(53)

menular. Juga dikarenakan adanya kewajiban mereka untuk menjaga nama keluarganya.

Oleh karena itu, hampir tidak ada gay yang menunjukkan identitas mereka di hadapan masyarakat umum. Mereka tampil seperti biasa dan orang-orang disekitarnya pun memperlakukan mereka biasa saja.

Dalam komik “Free Punch” diceritakan bahwa keluarga Yamada memiliki kedai sake dan kegiatan sehari-hari Yamada apabila tidak bersekolah adalah menjaga kedai sake tersebut. Tidak ada kecaman yang didapatkan Yamada karena ia tidak menunjukkan orientasi seksualnya sebagai gay.

Cuplikan V

Tetangga : Selamat pagi, Yamada.. Yamada : Selamat pagi.

Tetangga : Berangkat sekolah? Hati-hati di jalan.. Yamad a : Ya, terima kasih. (Chapter III)

Analisis

Dialog singka t di atas, hampir tidak memiliki arti jika kita meninjaunya dari kalimat-kalimatnya yang sederhana dan terlalu biasa. Tetapi hal ini dapat menjelaskan banyak hal dimana Yamada yang terlihat kasar cukup dimengerti oleh tetangga-tetangganya. Orang-orang sekitarnya memahami bahwa Yamada hanya terlihat kasar di luar, tetapi sebenarnya baik di dalam. Sekalipun Yamada tidak terlihat ramah, tetapi kebaikannya tercermin dari perilakunya. Ia tidak


(54)

banyak bicara tetapi ia mau menyapa tetangga-tetangga yang kebetulan ditemuinya.

Cuplikan V

Suatu hari saat Yamada sedang menjaga kedai, ia melihat sekelompok anak nakal menjahili seorang anak kecil di depan kedainya. Anak-anak itu kemudian meninggalkan anak kecil tersebut setelah membuatnya menangis. Yamada menghampiri anak tersebut. Melihat Yamada anak tersebut ketakutan, ia terdiam tetapi air matanya masih terus mengalir.

Yamada : Dimana rumahmu? Anak kecil : (Tidak menjawab)

Yamada : (Merogoh sakunya, mencari-cari dan kemudian memberikan sebuah permen) Ini, jangan menangis lagi..

Pulanglah, orang tuamu akan cemas.. Apa kau mau aku mengantarmu?

Anak kecil : (Melihat pemen dengan wajah berbinar-binar) Tidak apa-apa. Aku bisa pulang sendiri. Terima kasih.. (Chapter III)

Analisis

Yamada bersikap baik terhadap anak kecil walaupun dari wajahnya terlihat bahwa ia merasa direpotkan. Dan sekalipun anak tersebut sempat terkejut dan takut saat melihat Yamada tetapi ia langsung dapat merasakan kebaikan hati Yamada. Tentu saja baik tidaknya tingkah laku seseorang tidak ada kaitannya dengan seksualitas.


(55)

Cuplikan di atas membuktikan bahwa gay di Jepang memiliki perhatian yang tinggi terhadap sekitarnya. Bukan karena ia gay dan selalu berusaha menutupi identitasnya, lantas membuatnya menutup diri dari masyarakat umum dan menghindari interaksi dengan masyarakat sekitar. Bahkan hingga bisa mencegahnya berbuat baik terhadap orang lain.

Cuplikan VI

Suatu hari sepulang sekolah Amano Nao : Selamat sore, bibi.. Tetangga : Selamat sore, Sensei..

Amano Nao : Berbelanja? Kelihatannya berat.. Biar saya bawakan..

(Mengambil sebagian belanjaan tanpa menunggu jawaban dari pemiliknya)

Tetangga : Aaah, terima kasih.. Berbelanja untuk persediaan juga.. Setelah sampai di depan apartemen sang bibi

Tatangga : Terima kasih, Sensei.. Amano Nao : Jangan sungkan..

Tetangga : Sensei, silahkan.. Sayuran baik untuk tubuh..

(Memberikan sebuah bungkusan berisi beberapa macam sayuran) Amano Nao : Ah, tidak usah, bibi.. Tidak apa-apa.. (Chapter III)


(56)

Amano Nao yang memiliki wajah ramah dan murah senyum lebih terkenal lagi. Ia senang membantu orang lain yang sedang kesulitan. Amano Nao sering mendapatkan kiriman bahan makanan dari para tetangganya.

Hanya saja, entah bagaimana ia tidak cukup populer di kalangan wanita. Tidak ada wanita yang digambarkan tertarik padanya.

Cuplikan-cuplikan diaatas sekaligus menjadi bukti bahwa para gay di Jepang menghindari tampilan yang mencolok yang dapat menunjukkan identitas gay mereka, juga bahwa para gay di Jepang tidak hidup terisolir tetapi mereka menjalani hidup bermasyarakat dan mamasuki lembaga sosial seperti sekolah. bahkan dalam kasus Amano Nao, ia bisa menjadi guru yang disukai oleh banyak muridnya

Membuktikan bahwa sebagian besar pria homoseksual di Jepang berusaha keras untuk tampil seperti pria normal (Straight men—sebutan untuk pria bukan homoseksual) dihadapan kenalan dan orang tuanya dan menghindari tampilan apapun yang mungkin menunjukkan kecenderungan homoseksual. Mereka juga memiliki pekerjaan tetap, cenderung memakai pakaian yang umum dan setelan putih layaknya karyawan pada umumnya.

Baik Amano Nao maupun Yamada tidak terlibat dalam komunitas gay. Bagi para gay, mereka mungkin hanya dianggap sebagai orang yang melakukan perilaku homoseksual dan bukan merupakan gay. Tetapi bagi penulis, ini cukup menjadi bukti dan penjelasan yang masuk akal tentang kehidupan gay di Jepang.

Kisah dalam komik “Free Punch” karya Isaku Natsume ini memang sederhana dan dapat dikatakan hampir tidak memiliki konflik terutama mengenai


(57)

homoseksualitas mereka, tetapi komik ini dapat membuktikan realitas kehidupan gay di Jepang yang memang menghindari masalah serta cenderung menutupi identitas gay mereka.

Menurut penulis, ciri-ciri gay di Jepang tidak berbeda jauh dengan di Indonesia dan negara barat. Hanya saja di Barat, terutama di Amerika, gay memiliki lebih banyak kebebasan untuk mengekspresikan dirinya. Mereka bisa mengakui dirinya sebagai gay dan dapat menikah. Tetapi di Jepang dan Indonesia hal itu mustahil. Para gay di kedua negara ini harus ke luar negeri dengan banyak pertimbangan jika benar-benar ingin mendapatkan kebebasan seperti halnya di Amerika.

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

1.1 Kesimpulan

Dari uraian tentang kehidupan dan interaksi sosial para gay di atas dapat disimpulkan;

1. Gay yang dalam bahasa Jepang juga disebut gay dengan penulisan gei (ゲイ) adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada pria yang memiliki kecenderungan penyuka sesama jenis. Gay secara spesifik mengacu pada identitas seksual dan memiliki arti yang lebih dalam dibandingkan dengan kata homoseksual.


(58)

2. Di Jepang tidak ada sistem hukum yang mengatur tentang legalitas gay dan tidak ada larangan. Masyarakat Jepang sendiri lebih cenderung mengabaikan daripada secara terang-terangan mengecam dan juga tidak dapat menerima mereka. Dalam kehidupan sehari-hari, para gay cenderung bertindak seperti pria normal yang heteroseksual dan menyembunyikan identitas gay mereka. Karena sekalipun di Jepang gay terkesan biasa saja, tetapi penilaian umum yang telah tertanam dalam diri masing-masing individu masyarakat adalah gay tetap saja dianggap menyimpang dan menjijikkan. Dan apabila diketahui dalam suatu rumah terdapat seorang gay, maka hal itu akan sangat mempermalukan semua orang dalam keluarga tersebut terutama orang tua. Karena itu, para gay di Jepang berusaha sebisa mungkin untuk menghindari kesan suka sesama jenis di hadapan masyarakat umum. Mereka berpenampilan dan beraktifitas seperti biasa, lebih mengkonsentrasikan diri dengan pekerjaan dan hampir tidak mempunyai waktu untuk hal-hal yang berkaitan dengan pemuasan diri. 3. Komik Free Punch menggambarkan realitas yang terjadi pada para gay

dalam masyarakat. Seperti yang dilakukan tokoh Yamada dan Amano Nao, para gay umumnya juga menyembunyikan identitas homoseksual mereka dan berusaha sebisa mungkin untuk tidak memperlihatkan tanda-tanda bahwa mereka gay dalam masyarakat. Para gay tidak mengakui identitas gay mereka terhadap keluarganya karena kewajiban mereka untuk menjaga nama keluarga dan tidak membuat malu sehingga dapat membuat keluarganya berada dalam posisi yang sulit


(59)

dalam masyarakat. Sementara di sekolah, para gay yang mendapat penindasan lebih dikarenakan tingkah laku mereka yang seperti perempuan. Dalam masyarakat, gay bertingkah laku seperti biasa. Mereka bekerja dan mengikuti kegiatan dalam masyarakat seperti orang-orang lain pada umumnya. Tindakan mereka tidak membuat masyarakat di sekitar mereka salah paham karena mereka bisa menjaga tingkah lakunya. Tetapi bagi gay yang terkuak identitasnya, akan membuat masyarakat mengucilkan mereka.

1.2 Saran

1. Penulis tidak berusaha mengarahkan pada penilaian pasti tentang apakah kita harus membenci atau menerima para gay, tetapi penulis hanya memberikan beberapa pemikiran agar kita dapat lebih bijak dalam menanggapi kasus homoseksual, terutama tentang gay.

2. Seperti kata-kata “Don’t judge book by its cover” seperti itu jugalah yang sebaiknya kita lakukan. Sebaiknya kita tidak mendiskreditkan para gay sebagai tokoh antagonis, karena di samping identitas seksual mereka sebagai gay, mereka tetaplah manusia yang mempunyai sifat baik.


(60)

3. Apabila melihat seseorang yang memiliki potensi sebagai penyuka sesama jenis, tidak baik bagi kita langsung menilainya sebagai gay, karena terkadang yang membuat seseorang memiliki sifat menyimpang justru adalah orang-orang yang ada di sekitarnya.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Edisi Revisi V). Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Benedict, Ruth. 1979. Pedang Samurai Dan Bunga Seruni: Pola-pola

Kebudayaan Jepang (Diterjemahkan oleh Pamoji). Jakarta: Sinar Harapan.

Berry, David. 2003. Pokok-pokok Pikiran Dalam Sosiologi (Diterjemahkan oleh Paulus Wirutomo). Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Buckley, Sandra. 2002. Encyclopedia Of Contemporary Japanese Culture. New York: Routledge.


(61)

Danandjaja, James. 1997. Folklor Jepang: Dilihat Dari Kacamata Indonesia. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti.

Doi, Takeo. 1988. Amae No Kozoo: The Anatomy of Dependence. Tokyo: Kodansha International.

Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Media Pressindo.

Foucault, Michel. 1997. Seks Dan Kekuasaan: Sejarah Seksualitas (Diterjemahkan oleh Rahayu S. Hidayat). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Jabrohim. 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: PT. Hanindita Graha Widia.

Kartono, Kartini. 1989. Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual (Cetakan Keenam). Bandung: CV. Mandar Maju.

Koentjaraningrat, 1976. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama

_____________. 1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.

Maran, Rafael Raga. 2000. Manusia Dan Kebudayaan: Dalam Perspektif Ilmu

Budaya Dasar. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Matsuura, Kenji. 2005. Kamus Jepang-Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

McLelland, Mark J. 2000. Male Homosexuality In Modern Japan: Cultural Myths

and Social Realities. Richmond: Curzon Press.

_____________. 2005. Queer Japan: From The Pacific War To The Internet Age. USA: Rowman.


(62)

Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif (Cetakan ke-23). Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Narwoko, J. Dwi dan Bagong Suyanto. 2010. Sosiologi: Teks Pengantar Dan

Terapan. Jakarta: Kencana.

Natsume, Isaku. 2009. Free Punch. Tokyo: Shinshokan.

Nazir, Moh. 2002. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Robertson, Jennifer Ellen. 1998. Takarazuka: Sexual Politics and Popular Culture

in Modern Japan. California: University of California Press.

Scanzoni, Letha dan John Scanzoni. 1976. Men, Women, and Change: A

Sociology Of Marriage And Family. USA: McGraw-Hill Inc.

Shadily, Hassan. 1993. Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Situmorang, Hamzon. 2009. Ilmu Kejepangan I (Edisi Revisi). Medan: USU Press.

Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar (Cetakan ke-42). Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Spencer, Colin. 2004. Sejarah Homoseksualitas: dari Zaman Kuno hingga

Sekarang. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Suriasumantri, Jujun S. 2005. Filsafat Ilmu (Cetakan ke-18). Jakarta: Surya Multi Grafika.

Wiyarti, Sri Mg. 2008. Sosiologi. Semarang: UNS Press

http://en.wikipedia.org/wiki/Homosexuality_in_Japan http://en.wikipedia.org/wiki/Human_sexual_behavior


(1)

2. Di Jepang tidak ada sistem hukum yang mengatur tentang legalitas gay dan tidak ada larangan. Masyarakat Jepang sendiri lebih cenderung mengabaikan daripada secara terang-terangan mengecam dan juga tidak dapat menerima mereka. Dalam kehidupan sehari-hari, para gay cenderung bertindak seperti pria normal yang heteroseksual dan menyembunyikan identitas gay mereka. Karena sekalipun di Jepang gay terkesan biasa saja, tetapi penilaian umum yang telah tertanam dalam diri masing-masing individu masyarakat adalah gay tetap saja dianggap menyimpang dan menjijikkan. Dan apabila diketahui dalam suatu rumah terdapat seorang gay, maka hal itu akan sangat mempermalukan semua orang dalam keluarga tersebut terutama orang tua. Karena itu, para gay di Jepang berusaha sebisa mungkin untuk menghindari kesan suka sesama jenis di hadapan masyarakat umum. Mereka berpenampilan dan beraktifitas seperti biasa, lebih mengkonsentrasikan diri dengan pekerjaan dan hampir tidak mempunyai waktu untuk hal-hal yang berkaitan dengan pemuasan diri. 3. Komik Free Punch menggambarkan realitas yang terjadi pada para gay

dalam masyarakat. Seperti yang dilakukan tokoh Yamada dan Amano Nao, para gay umumnya juga menyembunyikan identitas homoseksual mereka dan berusaha sebisa mungkin untuk tidak memperlihatkan tanda-tanda bahwa mereka gay dalam masyarakat. Para gay tidak mengakui identitas gay mereka terhadap keluarganya karena kewajiban mereka untuk menjaga nama keluarga dan tidak membuat malu sehingga dapat membuat keluarganya berada dalam posisi yang sulit


(2)

dalam masyarakat. Sementara di sekolah, para gay yang mendapat penindasan lebih dikarenakan tingkah laku mereka yang seperti perempuan. Dalam masyarakat, gay bertingkah laku seperti biasa. Mereka bekerja dan mengikuti kegiatan dalam masyarakat seperti orang-orang lain pada umumnya. Tindakan mereka tidak membuat masyarakat di sekitar mereka salah paham karena mereka bisa menjaga tingkah lakunya. Tetapi bagi gay yang terkuak identitasnya, akan membuat masyarakat mengucilkan mereka.

1.2 Saran

1. Penulis tidak berusaha mengarahkan pada penilaian pasti tentang apakah kita harus membenci atau menerima para gay, tetapi penulis hanya memberikan beberapa pemikiran agar kita dapat lebih bijak dalam menanggapi kasus homoseksual, terutama tentang gay.

2. Seperti kata-kata “Don’t judge book by its cover” seperti itu jugalah yang sebaiknya kita lakukan. Sebaiknya kita tidak mendiskreditkan para gay sebagai tokoh antagonis, karena di samping identitas seksual mereka sebagai gay, mereka tetaplah manusia yang mempunyai sifat baik.


(3)

3. Apabila melihat seseorang yang memiliki potensi sebagai penyuka sesama jenis, tidak baik bagi kita langsung menilainya sebagai gay, karena terkadang yang membuat seseorang memiliki sifat menyimpang justru adalah orang-orang yang ada di sekitarnya.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Edisi Revisi V). Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Benedict, Ruth. 1979. Pedang Samurai Dan Bunga Seruni: Pola-pola Kebudayaan Jepang (Diterjemahkan oleh Pamoji). Jakarta: Sinar Harapan. Berry, David. 2003. Pokok-pokok Pikiran Dalam Sosiologi (Diterjemahkan oleh

Paulus Wirutomo). Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Buckley, Sandra. 2002. Encyclopedia Of Contemporary Japanese Culture. New York: Routledge.


(4)

Danandjaja, James. 1997. Folklor Jepang: Dilihat Dari Kacamata Indonesia. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti.

Doi, Takeo. 1988. Amae No Kozoo: The Anatomy of Dependence. Tokyo: Kodansha International.

Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Media Pressindo.

Foucault, Michel. 1997. Seks Dan Kekuasaan: Sejarah Seksualitas (Diterjemahkan oleh Rahayu S. Hidayat). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Jabrohim. 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: PT. Hanindita Graha Widia.

Kartono, Kartini. 1989. Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual (Cetakan Keenam). Bandung: CV. Mandar Maju.

Koentjaraningrat, 1976. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama

_____________. 1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.

Maran, Rafael Raga. 2000. Manusia Dan Kebudayaan: Dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Matsuura, Kenji. 2005. Kamus Jepang-Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

McLelland, Mark J. 2000. Male Homosexuality In Modern Japan: Cultural Myths and Social Realities. Richmond: Curzon Press.

_____________. 2005. Queer Japan: From The Pacific War To The Internet Age. USA: Rowman.


(5)

Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif (Cetakan ke-23). Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Narwoko, J. Dwi dan Bagong Suyanto. 2010. Sosiologi: Teks Pengantar Dan Terapan. Jakarta: Kencana.

Natsume, Isaku. 2009. Free Punch. Tokyo: Shinshokan.

Nazir, Moh. 2002. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Robertson, Jennifer Ellen. 1998. Takarazuka: Sexual Politics and Popular Culture in Modern Japan. California: University of California Press.

Scanzoni, Letha dan John Scanzoni. 1976. Men, Women, and Change: A Sociology Of Marriage And Family. USA: McGraw-Hill Inc.

Shadily, Hassan. 1993. Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Situmorang, Hamzon. 2009. Ilmu Kejepangan I (Edisi Revisi). Medan: USU Press.

Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar (Cetakan ke-42). Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Spencer, Colin. 2004. Sejarah Homoseksualitas: dari Zaman Kuno hingga Sekarang. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Suriasumantri, Jujun S. 2005. Filsafat Ilmu (Cetakan ke-18). Jakarta: Surya Multi Grafika.

Wiyarti, Sri Mg. 2008. Sosiologi. Semarang: UNS Press

http://en.wikipedia.org/wiki/Homosexuality_in_Japan http://en.wikipedia.org/wiki/Human_sexual_behavior


(6)

http://intersections.anu.edu.au/issue3/mclelland2.html

http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/05/interaksi-sosial-definisi-bentuk-ciri.html http://www.nathanielwandering.net/greece.html