II. A. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemaafan
Menurut McCullough 2000 ada beberapa faktor yang mempengaruhi pemaafan pada seseorang. Faktor-faktor tersebut dapat dilihat dalam tiga kategori,
yaitu: a.
Proses emosional dan kognitif Adapun hal yang termasuk dalam proses emosional dan kognitif adalah
empati, perspektif saling menerima, ruminasi dan supresi. Empati dan perspektif saling menerima cukup berperan dalam kualitas prososial seseorang
seperti keinginan untuk menolong orang lain, hal ini akan tampak jelas dalam memaafkan. Perasaan empati yang berdampak kepada orang yang telah
menyakiti kita dan memahami perspektif kognitifnya mempunyai korelasi yang tinggi dalam pengukuran memaafkan yang dilakukan oleh McCullough
secara umum. Ruminasi diartikan sebagai sulitnya untuk melupakan orang yang telah menyakiti. Karena pikiran, perasaan dan gambaran buruk
tentangnya selalu muncul dan mengganggu diri individu. Hal-hal tersebut muncul karena peristiwa buruk yang pernah dialami karena kesalahan orang
lain tersebut ditekan, dan dalam hal ini individu melakukan supresi. b.
Kualitas dari suatu hubungan Faktor-faktor hubungan – seperti kedekatan, komitmen dan kepuasan—juga
merupakan faktor yang menentukan dalam memaafkan. Orang-orang yang cenderung lebih bisa memaafkan dalam suatu hubungan dikarakteristikkan
Universitas Sumatera Utara
dengan adanya kedekatan, komitmen dan kepuasan. Banyak penelitian yang dilakukan oleh para ahli. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan
terhadap 100 pasangan, baik itu sebagai orang yang memaafkan maupun sebagai orang yang sudah menyakiti pasangannya. Kedua-duanya melaporkan
adanya tingkatan kedekatan, komitmen maupun kepuasan yang dihubungkan dengan tingkatan memaafkan.
c. Faktor situasi
Variabel lainnya yang memiliki pengaruh terhadap memaafkan adalah keberadaan faktor apology. Faktor ini sering dihubungkan dengan negoisasi.
Kemunculan apology ini dianggap sebagai faktor yang berpotensi bagi kontrol orang yang telah menyakiti individu dan bagaimana hubungan akan terus
berlanjut ketika pemaafan sudah dilakukan. Berdasarkan pemaparan tersebut dapat disimpulkan ada beberapa faktor
yang mempengaruhi pemaafan pada seseorang yang dapat dilihat dalam tiga kategori yaitu; proses emosional dan kognitif seperti empati, perspektif saling
menerima, ruminasi dan supresi; kualitas dari suatu hubungan seperti kedekatan, komitmen dan kepuasan; dan faktor situasi yaitu apology.
II.A.4. Proses dalam Pemaafan
Enright dan Coyle 1998 mengembangkan suatu model proses dari pemaafan. Model tersebut meliputi aspek kognitif, afektif, dan perilaku yang
terjadi dalam proses pemaafan. Proses tersebut dibagi kedalam empat fase yaitu: fase membuka kembali uncovering phase, fase memutuskan decision phase,
Universitas Sumatera Utara
fase bekerja work phase, dan fase pendalaman deepening phase. Secara rinci Enright Coyle 1998 menjelaskan dalam bentuk tabel:
Tabel 1. Proses Pemaafan
Unit Cognitive, Behavioral, and Affective Phases
1 2
3 4
5
6 7
8 Fase Membuka Kembali
Memeriksa mekanisme pertahanan diri yang digunakan. Konfrontasi dengan kemarahan: intinya adalah bukan menyembunyikan
kemarahan, melainkan disalurkan. Menerima rasa malu.
Menyadari adanya katarsis. Kesadaran bahwa orang diaskiti berulangkali memikirkan peristiwa yang
menyakitkan. Korban membandingkan dirinya dengan orang yang telah menyakitinya.
Menyadari akan adanya perubahan yang menetap akibat peristiwa yang menyakitkan tersebut.
Individu yang disakiti menyadari bahwa pandangannya tentang keadilan telah berubah.
1
2 3
Fase Memutuskan Perubahan dalam hati, adanya insight baru bahwa strategi yang lama
untuk mengatasi masalahnya tidak membawa hasil yang diharapkan. Keinginan untuk mempertimbangkan pemaafan sebagai suatu pilihan.
Komitmen untuk memaafkan orang yang telah menyakiti tersebut.
1
2 3
4 Fase Bekerja dalam Pemaafan
Reframing, mulai mengambil peran, dengan memaknai peristiwa menyakitkan yang dialami dengan cara memposisikan bila dirinya yang
telah menyakiti. Mengembangkan empati terhadap pelaku.
Penerimaan terhadap luka peristiwa menyakitkan yang dialami. Pemaafan sebagai hadiah moral bagi orang yang telah menyakiti.
Universitas Sumatera Utara
1 2
3 4
5 Fase Pendalaman
Menemukan makna baru dalam diri dengan melakukan pemaafan. Menyadari bahwa dirinya memiliki kebutuhan untuk dimaafkan pada
masa yang lalu. Menyadari bahwa dirinya tidak sendiri.
Menemukan tujuan hidup yang baru karena peristiwa ini. Kesadaran bahwa perasaan negatif yang dimiliki dugantikan dengan
perasaan positif dan perasaan positif tersebut membebaskan serta menguntungkan bagi individu yang telah disakiti.
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam pemaafan terdapat empat fase yang dapat dilalui oleh individu yang telah disakiti, yaitu fase
membuka kembali, fase memutuskan, fase bekerja dalam pemaafan, dan fase pendalaman. Empat fase yang dikemukakan oleh Enriht Coyle 1998 tersebut
akan menjadi acuan bagi peneliti dalam bentuk pedoman wawancara untuk melihat bagaimana dinamika pemaafan pada remaja yang orangtuanya bercerai.
II.B. Remaja II.B.1. Definisi Remaja
Masa remaja merupakan masa transisi dalam rentang kehidupan manusia, menghubungkan masa kanak-kanak dan dewasa. Adolescence atau remaja berasal
dari kata Latin adolescere yang berarti ”tumbuh” atau ” tumbuh menjadi dewasa”. Secara psikologis, masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan
masyarakat dewasa, masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-
orang yang lebih tua Hurlock, 1990. Santrock 1998 mengatakan bahwa remaja
Universitas Sumatera Utara
adalah periode perkembangan transisi dari anak-anak ke dewasa awal yang melibatkan perubahan biologis, kognitif, dan sosioemosional.
Gunarsa 1995 mengatakan bahwa pada umumnya permulaan masa remaja ditandai oleh perubahan-perubahan fisik yang mendahului kematangan
seksual, kurang lebih bersamaan dengan perubahan fisik ini, juga akan melepaskan diri dari ikatan dengan orangtuanya, kemudian terlihat perubahan
kepribadian yang berwujud dalam cara hidup untuk menyesuaikan diri dalam masyarakat.
Menurut Monks 1996 masa remaja berlangsung antara usia 12 dan 21 tahun terbagi dalam tiga fase, yaitu: remaja awal 12 hingga 15 tahun, remaja
tengahmadya 15 hingga 18 tahun dan remaja akhir 18 hingga 21 tahun. Sedangkan menurut Hurlock 1990 masa remaja merupakan masa peralihan dari
masa kanak-kanak ke masa dewasa, dimulai saat anak matang secara seksual dan berakhir saat ia mencapai usia matang secara hukum.
Berdasarkan pendapat dari beberapa tokoh di atas dapat disimpulkan bahwa remaja adalah individu yang berusia 12-21 tahun yang sedang mengalami
masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang, mencakup perubahan fisik, sosial, kognitif, dan mental.
II.B.2. Ciri-ciri Masa Remaja
Menurut Havighurst dalam Hurlock, 1990 ciri-ciri masa remaja antara lain:
a. Masa remaja sebagai periode yang penting
Universitas Sumatera Utara
Pada masa remaja terjadi perkembangan fisik dan mental yang cepat dan penting dimana semua perkembangan itu menimbulkan perlunya penyesuaian
mental dan pembentukan sikap, nilai dan minat baru. b.
Masa remaja sebagai periode peralihan Peralihan tidak berarti terputus dengan atau berubah dari apa yang telah terjadi
sebelumnya. Tetapi peralihan merupakan perpindahan dari satu tahap perkembangan ke tahap perkembangan berikutnya. Dengan demikian dapat
diartikan bahwa apa yang terjadi sebelumnya akan meninggalkan bekas pada apa yang telah terjadi sekarang dan yang akan datang, serta mempengaruhi
pola perilaku dan sikap yang baru pada tahap berikutnya. Ketika seorang remaja yang dalam masa tumbuh-kembang harus menghadapi masalah
perceraian orangtua, hal ini tentu saja akan membekas dalam dirinya dan mempengaruhi tahap perkembangan selanjutnya. Hetherington dan koleganya
dalam Dagun, 2002 mengadakan tes pada kelompok anak yang belum usia sekolah saat terjadinya perceraian. Penelitian ini dilakukan pada waktu anak
bermain dan pada saat berinteraksi sosial dengan teman. Hetherington menemukan bahwa konflik keluarga itu menimbulkan pengaruh terhadap
sikap bermain anak. Pengaruh yang lain adalah terganggunya pergaulan dengan teman sebaya. Akibat yang lebih jauh lagi dapat menjadi alasan
penting terhambatnya perkembangan anak. Anak berkembang tidak stabil terutama ketika bergaul dengan teman-temannya. Pengaruh itu akan terus
berlanjut sampai anak menginjak masa remaja dan interaksi sosial terganggu pada masa dewasa.
Universitas Sumatera Utara
c. Masa remaja sebagai periode perubahan
Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Ketika perubahan fisik terjadi dengan pesat,
perubahan perilaku dan sikap juga berlangsung pesat. Ketika perubahan fisik menurun, maka perubahan sikap dan perilaku juga menurun.
d. Masa remaja sebagai usia bermasalah
Setiap periode mempunyai masalahnya sendiri-sendiri, namun masalah masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak laki-laki
maupun anak perempuan. Ada dua alasan bagi kesulitan ini, yaitu: 1
Sepanjang masa kanak-kanak, masalah anak-anak sebagian diselesaikan oleh orang tua dan guru-guru, sehingga kebanyakan
remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah. 2
Karena para remaja merasa diri mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri, menolak bantuan orang tua dan guru-
guru. e.
Masa remaja sebagai masa mencari identitas Pencarian identitas dimulai pada akhir masa kanak-kanak, penyesuaian diri
dengan standar kelompok lebih penting daripada bersikap individualistis. Pada awal masa remaja, penyesuaian diri dengan kelompok masih tetap penting
bagi anak laki-laki dan perempuan. Namun lambat laun mereka mulai mendambakan identitas diri dengan kata lain ingin menjadi pribadi yang
berbeda dengan orang lain. Peran orang tua dalam hal pencarian identitas ini tentulah mempunyai peranan yang cukup penting. Sebagaimana yang
Universitas Sumatera Utara
dikatakan oleh Hetherington dalam Hughes Noppe, 1985 bahwa ayah berpartisipasi dalam memelihara anak secara langsung dengan mendisplinkan
anak, mengajar mereka dan menyediakan model dewasa. Anak laki-laki memiliki kebutuhan akan model pria yang kuat sebagai self-control seperti
halnya orang tua dengan disiplin yang keras. Setelah perceraian anak laki-laki kehilangan model pria tersebut sehingga perceraian kemudian ditandai lebih
besar pada anak laki-laki daripada anak perempuan Hetherington dkk dalam Hughes Noppe, 1985.
f. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan
Anggapan stereotype budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak rapih, yang tidak dapat dipercaya dan cenderung merusak dan berperilaku
merusak, menyebabkan orang dewasa yang harus membimbing dan mengawasi kehidupan remaja muda takut bertanggung jawab dan bersikap
tidak simpatik terhadap perilaku remaja yang normal. g.
Masa remaja sebagai masa yang tidak realistic Pada masa ini, remaja melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana
adanya, terlebih dalam hal cita-cita. Semakin tidak realistis cita-citanya ia semakin menjadi marah. Remaja akan sakit hati dan kecewa apabila orang lain
mengecewakannya atau kalau ia tidak berhasil mencapai tujuan yang ditetapkannya sendiri. Bagi para remaja yang orangtuanya bercerai akan
timbul perasaan bersalah bahwa mereklah yang menjadi penyebab perceraian orangtuanya. Tentu saja hal itu tidak benar. Sebagaimana yang dikatakan oleh
MacGregor 2005 bahwa perceraian itu sesungguhnya bukanlah tentang anak
Universitas Sumatera Utara
remaja, melainkan adalah tentang orangtuanya. Jadi bisa dikatakan ada semacam perasaan tidak realistik yang muncul pada diri seorang remaja.
h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa
Dengan semakin mendekatnya usia kematangan, para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk memberikan kesan
bahwa mereka sudah hampir dewasa, remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, yaitu merokok, minum
minuman keras, menggunakan obat-obatan dan terlibat dalam perbuatan seks. Mereka menganggap bahwa perilaku ini akan memberi citra yang mereka
inginkan. Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa ada tujuh hal yang
menjadi ciri-ciri masa remaja yaitu; masa remaja sebagai periode yang penting, masa remaja sebagai periode peralihan, masa remaja sebagai periode perubahan,
masa remaja sebagai usia bermasalah, masa remaja sebagai masa mencari identitas, masa remaja sebagai masa yang tidak realistic dan masa remaja sebagai
ambang masa dewasa.
II.C. Perceraian II.C.1. Definisi Perceraian
Menurut Biro Pusat Statitsik 2002, perceraian adalah berpisahnya suami- istri dan belum menikah lagi. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 2003
dinyatakan bahwa perceraian adalah perpisahan antara suami-istri selagi kedua- duanya masih hidup. Hurlock 1990 mengemukakan perceraian adalah kulminasi
Universitas Sumatera Utara
dari penyesuaian perkawinaan yang buruk dan terjadi apabila antar suami dan istri sudah tidak mampu lagi mencari cara penyelesaian masalah yang dapat
memuaskan bagi kedua belah pihak. Berdasarkan definisi yang dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa
perceraian adalah suatu keadaan terputusnya ikatan pernikahan antara suami-istri selagi kedua-duanya masih hidup.
II.C.2. Faktor-faktor Penyebab Perceraian
Menurut Fauzi 2006 ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya perceraian, yaitu:
a. Ketidakharmonisan dalam rumah tangga
Alasan tersebut adalah alasan yang paling kerap dikemukakan oleh pasangan suami-istri yang akan bercerai. Ketidakharmonisan bisa disebabkan oleh
berbagai hal antara lain; ketidakcocokan pandangan, perbedaan pendapat yang sulit disatukan, krisis keuangan, krisis akhlak, adanya orang ketiga, bahkan
tidak berjalannya kehidupan seksual sebagaimana mestinya. b.
Krisis moral dan akhlak Selain ketidakharmonisan dalam rumah tangga, perceraian juga sering
memperoleh landasan berupa krisis moral dan akhlak, yang dapat dilalaikannya tanggung jawab baik oleh suami ataupun istri, poligami yang
tidak sehat, penganiayaan kerap juga disebut sebagai Kekerasan dalam Rumah TanggaKDRT, pelecehan, dan keburukan perilaku lainnya yang
Universitas Sumatera Utara
dilakukan baik oleh istri maupun suami, misalnya mabuk, berzina, terlibat tindak kriminal, bahkan hutang piutang.
c. Perzinahan
Masalah lain yang dapat mengakibatkan terjadinya perceraian adalah terjadinya perzinahan, yaitu hubungan seksual di luar nikah yang dilakukan
baik oleh suami maupun istri. Sebagai umat beragama, sudah jelas adanya sanksi hukuman bagi mereka yang berzina. Di dalam hukum, perkawinan
Indonesia, perzinahan dimasukkan ke dalam salah satu pasalnya sebagai yang dapat mengkibatkan berakhirnya sebuah perkawinan.
d. Pernikahan tanpa cinta
Alasan lainnya yang kerap dikemukakan baik oleh suami maupun istri untuk mengakhiri pernikahan adalah bahwa pernikahan mereka telah berlangsung
tanpa dilandasi adnya cinta. Menjalani sebuah pernikahan tanpa cinta merupakan suatu keadaan yang sulit dan melelahkan, tapi itu tidak langsung
dapat diartikan bahwa kita memerlukan sebuah perceraian. e.
Adanya masalah-masalah dalam perkawinan Alasan perceraian tersebut kerap diajukan apabila kedua pasangan atau salah
satunya merasakan ketimpangan dalam perkawinan yang sulit diatasi sehingga mendorong mereka untuk mempertimbangkan perceraian. Diantara masalah-
masalah perkawinan itu adalah: kurangnya keintiman secara seksual; emosi yang meledak ketika terlibat perdebatan, menjadi terlalu terbawa emosi, dan
membiarkan amarah menguasai diri; bersikap mementingkan diri sendiri; berlaku tidak jujur; menyindir secara keterlaluan; tidak menghargai pasangan;
Universitas Sumatera Utara
tidak perhatian kepada pasangan atau tidak mendengarkannya; dan masalah- masalah lainnya.
Sedangkan menurut Newman Newman 2006 dinyatakan ada empat hal yang berkontribusi terhadap terjadinya perceraian, yaitu:
a. Umur saat menikah
Kasus perceraian di Amerika Serikat tinggi pada pasangan yang menikah sebelum usia 18 tahun sekitar 48, dibandingkan dengan pasangan yang
menikah di usia 25 tahun atau lebih sekitar 24. Untuk pasangan yang menikah muda ataupun usia yang lebih tua, ketidakpuasan terhadap
penampilan peran adalah faktor yang cukup signifikan terhadap ketidakstabilan pernikahan. Untuk pasangan muda, ketidakpuasan ini biasanya
lebih kepada masalah seksual dan kecemburuan. Untuk pasangan yang lebih tua, ketidakpuasan lebih disebabkan karena adanya konflik interpersonal, gaya
dominasi daan melemahnya perasaan kebersamaan. Usia saat menikah biasanya juga dihubungkan dengan perbedaan kebutuhan perkembangan dan
banyaknya ancaman terhadap ketidakstabilan pernikahan. b.
Tingkat sosial ekonomi Konsep tingkat sosial ekonomi ini cukup kompleks, karena merupakan
kombinasi dari faktor pendidikan, pekerjaan dan penghasilan. Laki-laki dan wanita dengan pekerjaan yang lebih tinggi memiliki angka rata-rata perceraian
yang lebih rendah daripada mereka yang berpendidikan rendah. Dalam hal ini juga dikenal glick effect, yaitu laki-laki dan wanita yang dikeluarkan dari
sekolah atau kampus memiliki angka rata-rata perceraian yang lebih tinggi
Universitas Sumatera Utara
daripada mereka yang telah menyelesaikan pendidikan sekolahnya. Angka rata-rata perceraian dan perpisahan umumnya lebih tinggi pada pasangan
dengan pendidikan dan pendapatan yang rendah. Pendapatan total keduanya memiliki hubungan yang erat dengan perceraian. Laki-laki dengan pendapatan
yang lebih tinggi, angka rata-rata perceraiannya lebih rendah. Sedangkan bagi wanita yang menyumbang lebih besar terhadap total pendapatan keluarga dan
merasa kurang bahagia dengan perkawinan akan cenderung untuk bercerai. c.
Perkembangan sosioemosional dari masing-masing pasangan Perkembangan sosioemosional dihubungkan dengan dimensi penerimaan diri,
otonomi dan ekpsresi dari pasangan. Masalah-masalah dalam komunikasi dianggap sebagai penyebab utama perceraian, baik itu pada laki-laki maupun
wanita. Secara umum wanita lebih cenderung untuk merasa stres dan memiliki masalah dalam penyesuaian perkawinan daripada laki-laki. Kestabilan
identitas maskulin dari suami, tingkat pendidikan, status sosial dan kemampuan untuk menerima semua bentuk pengekspresian emosi berdampak
terhadap kebahagiaan perkawinan. Kestabilan perkawinan juga tergantung pada bagaimana masing-masing pasangan mencapai perasaan dan identitas
dirinya. Pencapaian ini akan membantu untuk membangun keseimbangan kekuatan dan saling menghormati yang menjadi pusat dari emosional dan
keintiman intelektual. d.
Sejarah keluarga yang bercerai Anak-anak dari orang tua yang bercerai lebih cenderung untuk mengalami
perceraian pada pernikahan mereka nantinya kelak. Beberapa studi
Universitas Sumatera Utara
menunjukkan bahwa orang tua yang bercerai akan meningkatkan kemungkinan pada pernikahan anak remaja berakhir dengan perceraian.
Penjelasan lainnya adalah bahwa anak-anak dari orang tua tunggal dan keluarga yang orangtuanya menikah lagi biasanya cenderung untuk menikah
pada usia muda daripada anak-anak dari keluarga pada umumnya, yang biasanya akan meningkatkan kemungkinan terjadinya perceraian.
Dengan demikian terdapat beberapa faktor penyebab perceraian, antara lain: ketidakharmonisan dalam rumah tangga, krisis moral dan akhlak, perzinahan,
pernikahan tanpa cinta, adanya masalah-masalah dalam perkawinan, umur saat menikah, tingkat sosial ekonomi, perkembangan soisoemosional dari masing-
masing pasangan, dan sejarah dari keluarga yang bercerai. Namun dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan teori penyebab perceraian yang
dikemukakan oleh Fauzi 2006, yaitu ketidakharmonisan dalam rumah tangga, krisis moral dan akhlak, perzinahan, pernikahan tanpa cinta, dan adanya masalah-
masalah dalam perkawinan. Teori ini dipilih dengan alasan bahwa faktor-faktor penyebab perceraian tersebut lebih cocok untuk budaya masyarakat Indonesia.
II.C.3. Dampak Perceraian pada Anak
Reaksi anak terhadap perceraian berbeda-beda, tergantung pada tingkat usia anak tersebut. Menyalahkan diri sendiri self-blame hilang setelah anak
berusia 6 tahun, perasaan takut ditinggalkan berkurang setelah 8 tahun, perasaan bingung dan takut pada anak kecil digantikan anak yang lebih dewasa dengan
malu dan marah Kelly Wallerstein dalam Hughes Noppe, 1985. Anak juga
Universitas Sumatera Utara
akan menunjukkan beberapa gejala emosional, seperti: penyangkalan saat mereka tidak percaya akan apa yang diberitahukan pada mereka, shock, kemarahan,
konflikpertentangan, kecemasan, ketidakpastian, kesepian, rasa bersalah, malu dan kesengsaraan. Perasaan anak-anak biasanya terungkap dengan meningkatnya
gaya hidup yang tidak beraturan, kurang memperhatikan tugas sekolah dan PR, tidur larut malam dan terlambat ke sekolah, serta berkembangnya penyakit-
penyakit psikosomatik sehingga tidak masuk sekolah. Penyakit-penyakit psikosomatik ini lebih disebabkan oleh keadaan emosional ketimbang penyakit
fisik Charlish, 2003. Hetherington dalam Sigelman Rider, 2003 mengatakan bahwa anak-
anak yang dibesarkan dalam situasi perceraian akan mengalami kemarahan, ketakutan, depresi, dan merasa bersalah. Mereka menyalahkan diri sendiri dan
merasa bertanggung jawab atas apa yang terjadi, karena mereka menganggap bahwa merekalah yang menjadi penyebab perceraian kedua orang tua mereka.
Selain itu anak merasa bahwa perginya salah satu orang tua meninggalkan mereka dikarenakan orang tua sudah tidak menyayangi mereka lagi. Sering pula mereka
berkhayal akan rujuknya kembali kedua orang tua mereka. Amato Keith dalam Kail Cavanaugh, 2000 menemukan hal penting
lain akibat dari perceraian pada anak, yaitu: Pertama, akibat perceraian sama pada anak laki-laki dan anak perempuan; Kedua, perceraian lebih berbahaya pada anak
masa sekolah dan anak remaja dibandingkan pra-sekolah atau dibangku kuliah; Ketiga, prestasi sekolah, perilaku, penyesuaian masih dipengaruhi perceraian.
Ketika anak yang berasal dari keluarga bercerai berada pada usia dewasa,
Universitas Sumatera Utara
pengaruh perceraian tetap ada. Sebagai orang dewasa, anak tersebut melaporkan kurang puas dengan kehidupan dan kelihatannya menjadi depresi serta mengalami
perceraian juga Furstenberg Teitler dalam Kail Cavanaugh, 2000. Kajian lain yang dilakukan Gluecks dalam Ihromi, 1999 menyimpulkan
bahwa perceraian memberikan kontribusi terhadap tingkat delikuensi di kalangan remaja. Kesimpulan ini didukung oleh Browning dalam Ihromi, 1999 yang
mengadakan penelitian di kalangan remaja delikuen dan non-delikuen di Los Angeles. Dikatakan bahwa temuannya mendukung hipotesis bahwa anak-anak
delikuen cenderung berasal dari keluarga-keluarga yang tidak harmonis yang orangtuanya bercerai.
Pada anak-anak yang orangtuanya bercerai, ternyata perilaku bermasalah tidak hanya mereka munculkan dirumah tetapi juga hubungan dengan teman-
temannya mulai menegang, masalah akademis dan kesulitan untuk menyesuaikan diri di sekolah Amato, Hetherington et al, dalam Sigelman Rider, 2003.
Bumpass dan Rindfuss dalam Ihromi, 1999 mengatakan bahwa dari beberapa studi diketahui, anak-anak dari orang tua bercerai cenderung mengalami
pencapaian tingkat pendidikan dan kondisi ekonomi yang rendah serta mengalami ketidakstabilan dalam perkawinan mereka sendiri. Masalah kesulitan ekonomi ini
khususnya dialami oleh anak-anak yang berada di bawah pengasuhan ibu yang berasal dari strata bawah.
Menurut Amato dalam Sigelman Rider, 2003 efek perceraian tidak akan selesai setelah fase krisis itu terlewati. Perceraian akan meninggalkan bekas
yang berupa dampak negatif untuk beberapa tahun setelahnya. Anak perempuan
Universitas Sumatera Utara
dan laki-laki yang mengalami perceraian, prestasi akademik mereka lebih rendah pada usia 16 tahun dibandingkan dengan teman-teman seusianya Jonsson
Gahler dalam Sigelman Rider, 2003. Dampak lain terhadap perceraian yang terlihat oleh Landis dalam Ihromi,
1999 adalah meningkatnya ”perasaan dekat” anak dengan ibu serta menurunnya jarak emosional terhadap ayah. Ini terjadi bila anak berada dalam asuhan dan
perawatan ibu. Selain itu anak-anak yang orangtuanya bercerai merasa malu dengan perceraian tersebut. Mereka menjadi inferior terhadap anak-anak lain.
Tidak jarang pula mereka berbohong dengan mengatakan bahwa orang tua mereka tidak bercerai atau bahkan menghindari pertanyaan-pertanyaan tentang perceraian
orang tua mereka. Dengan melihat begitu banyaknya dampak negatif akibat sebuah
perceraian, maka perlu disampaikan beberapa hal yang dapat dilakukan orang tua kepada anak-anaknya untuik meminimalisir dampak perceraian itu. Menurut
Subotnik Harris 2005 panduan tersebut adalah : a.
Anak-anak seharusnya diberitahukan secara bersama-sama oleh kedua orang tua tanpa kekerasan dan perasaan marah.
b. Anak-anak seharusnya tidak berada di tengah konflik orang dewasa dengan
mengatakan adanya perselingkuhan yang dilakukan oleh orang tua. c.
Anak-anak perlu tahu bahwa mereka bukanlah penyebab retaknya perkawinan. d.
Sampaikan pada anak-anak bahwa keputusan bercerai adalah keputusan orang tua mereka dan mereka tidak dapat merubahnya.
Universitas Sumatera Utara
e. Anak-anak perlu tahu bahwa meskipun keduanya berpisah, tetapi orang tua
mereka akan selalu mencintai dan menyayangi mereka. f.
Anak-anak seharusnya diberikan informasi yang akurat bahwa hidup mereka akan berubah.
g. Bagi para orang tua, dengarkanlah anak-anak secara seksama dan cobalah
untuk mengurangi masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan sehari-hari nantinya.
h. Anak-anak seharusnya tidak menjadi perantara dan pembawa pesan antara
orang tua yang telah berpisah. i.
Anak-anak seharusnya diizinkan untuk mencintai dan menikmati hubungan dengan orang tua dan keluarga barunya. Cobalah untuk menemukan hal-hal
yang positif tentang keluarga barunya itu untuk bisa disampaikan padanya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perceraian memberikan dampak yang buruk bagi anak, baik itu bagi perkembangan fisik, kognitif,
maupun mental.psikologisnya. Dan dengan beberapa saran yang sudah diberikan tadi diharapkan dapat menjadi panduan bagi para orang tua yang memutuskan
untuk bercerai, agar dapat meminimalisir dampak-dampak buruk yang muncul akibat perceraian tersebut.
Universitas Sumatera Utara
II.D. Pemaafan pada Remaja yang Orangtuanya Bercerai
Remaja yang orangtuanya bercerai akan mengalami masalah-masalah yang berkaitan dengan proses perkembangannya yang mereka munculkan dalam bentuk
gangguan fisik, psikologis, dan emosional. Dari pemaparan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa komposisi terbesar akan dampak emosional yang muncul
adalah kemarahan. Mereka menjadi marah karena terlalu sering melihat orangtua bertengkar. Kemarahan juga bisa muncul karena anak korban perceraian harus
hidup dalam ketegangan tetapi tidak suka hidup dalam ketegangan http:www.telaga.org
. Tanggal akses 22 April 2007. Hetherington dalam Sigelman Rider, 2003 mengatakan bahwa anak-
anak yang dibesarkan dalam situasi perceraian akan mengalami kemarahan, ketakutan, depresi, dan merasa bersalah. Mereka menyalahkan diri sendiri dan
merasa bertanggung jawab atas apa yang terjadi, karena menganggap bahwa merekalah yang menjadi penyebab perceraian kedua orang tua mereka. Selain itu
anak merasa bahwa perginya salah satu orang tua meninggalkan mereka dikarenakan orang tua sudah tidak menyayangi mereka lagi. Pada beberapa kasus
perceraian, tidak jarang anak akan menyalahkan kedua orang tua, atau salah satunya, atas perceraian yang terjadi. Butuh waktu untuk meredakan kemarahan
dan agar bisa menerima kenyataan akan perpisahan kedua orangtuanya Charlish, 2003.
Kendati demikian tentu saja dampak negatif ini harus segera diatasi agar tidak terbawa anak hingga tahapan perkembangan selanjutnya. Ketika kemarahan
menjadi sesuatu yang sangat melekat, bisa saja ini mengubah kepribadian mereka
Universitas Sumatera Utara
sebelumnya. Anak-anak yang pada awalnya memiliki kepribadian bersahabat, pemaaf, baik, ceria dan karakter-karakter kepribadian lainnya berubah drastis. Hal
ini akan mempengaruhi hubungannya dengan orang tua setelah perceraian terjadi. Penting bagi orang tua untuk mengingat bahwa inilah peran yang mereka
miliki seumur hidup. Hubungan sebagai orang tua bukanlah sesuatu yang dapat dilepaskan di saat situasi secara pribadi tidak menyenangkan atau tidak
memuaskan. Walaupun orang tua boleh memutuskan bahwa perkawinan tidak lagi dapat diteruskan, mereka perlu dibantu untuk memahami bahwa hubungan
sebagai orang tua harus terus berlanjut seumur hidup Charlish, 2003. Hubungan antara orang tua dan anak tidak dapat terjalin dengan baik jika
salah satu pihak masih merasakan kemarahan dan kepedihan atas perceraian yang terjadi. Dalam hal ini anak adalah korban yang sangat dirugikan. Hal ini semakin
ditegaskan dengan beberapa penelitian yang dilakukan, seperti yang telah disebutkan sebelumnya.
Charlish 2003 mengatakan butuh waktu sekian tahun bagi anak untuk bisa menerima utuh dan memahami kehilangan salah satu orang tua setelah
perceraian terjadi. Menurut Chase-Lansdale, dkk dalam Berk, 2000 anak yang orangtuanya bercerai dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap perceraian
tersebut selama 2 dua tahun perceraian terjadi. Pada beberapa anak yang orangtuanya bercerai akan mengalami kepedihan emosi, ketakutan dan kesepian
selama 2 – 5 tahun, bahkan ada yang lebih dari 5 tahun Charlish, 2003. Kemarahan dan ketakutan yang dirasakan anak-anak ini harus dicari upaya untuk
meredakannya bahkan kalau bisa menghilangkannya.
Universitas Sumatera Utara
Dari pemaparan di atas dapat dilihat bahwa perceraian orang tua membawa dampak bagi anak-anak, yang dalam hal ini anak adalah sebagai
korban. Dampak bagi anak bisa bersifat positif maupun negatif. Bagi anak-anak yang sering melihat orangtuanya bertengkar, perceraian mungkin bisa dianggap
membawa dampak positif. Karena dengan bercerai maka anak-anak tidak akan melihat pertengkaran orangtuanya lagi. Namun kiranya dalam hal ini dampak
negatif akan lebih banyak muncul. Baik itu secara fisik anak akan terpisah dari salah satu orang tua, secara kogniitif anak akan mengira bahwa kedua
orangtuanya tidak mencintainya lagi dan dampak psikologis anak akan merasa tertekan dengan situasi sulit yang dihadapi sehubungan dengan perceraian
orangtuanya. Ketiga dampak ini ini, baik fisik, kognitif maupun psikologisnya akan sangat mempengaruhi baik-tidaknya tumbuh-kembang seorang anak
nantinya. Kemarahan yang dirasakan anak-anak akibat perceraian orangtuanya akan
mempengaruhi kesehatan mentalnya kelak, dimana faktor kesehatan mental ini berperan dalam baik-tidaknya tumbuh-kembang seorang anak nantinya. Dengan
demikian kemampuaan memaafkan menjadi sangat penting bagi anak. Dengan memaafkan orangtuanya atas situasi sulit yang dihadapi kiranya akan membantu
anak-anak untuk bisa lebih baik nantinya, terutama dalam komunikasi dengan orang tua dan lingkungan. Juga lebih baik dalam tumbuh-kembangnya baik itu
secara fisik, kognitif maupun psikologis.
Universitas Sumatera Utara
II.D. Kerangka Berfikir
Setiap individu yang memasuki gerbang pernikahan tentunya memiliki tujuan untuk membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan sejahtera secara lahir-
batin. Seiring berjalannya waktu setelah terbentuknya suatu keluarga tentu saja banyak hal yang akan merintangi jalannya, sehingga bagi keluarga yang bisa
menghadapinya akan menjadi keluarga yang bahagia. Namun bagi yang tidak mampu menghadapinya, hal ini bisa menyebabkan ketidakbahagiaan suatu
keluarga. Masalah-masalah yang bisa menyebabkan tidak bahagianya suatu keluarga, diantaranya: terjadinya KDRT, masalah anak maupun masalah sosial-
ekonomi. Pada beberapa kasus keluarga yang tidak bahagia itu ada juga yang masih
berusaha untuk tetap mempertahankan keutuhan keluarganya dengan berbagai alasan, meskipun kehidupan keluarga tersebut tidak lagi harmonis dan bahagia.
Dan pada kasus yang lain, keluarga tersebut memilih untuk bercerai, karena keluarga tersebut tidak lagi harmonis dan bahagia. Perceraian bisa terjadi dalam
suatu keluarga disebabkan oleh faktor-faktor, yaitu; ketidakharmonisan dalam rumah tangga, krisis moral dan akhlak, perzinahan, pernikahan tanpa cinta dan
adanya masalah-masalah dalam perkawinan. Perceraian yang terjadi dalam suatu keluarga dapat memberikan dampak
baik itu bagi pasangan suami-istri maupun anak-anak. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh para ahli dapat disimpulkan bahwa anak-anak adalah pihak
yang paling dirugikan ketika perceraian terjadi. Khususnya bagi anak yang masih remaja, perceraian orang tua dapat menjadi masalah yang cukup besar, mengingat
Universitas Sumatera Utara
dalam tahap perkembangan seorang remaja, segala sesuatunya masih bersifat tidak stabil baik itu ketidakstabilan emosi, sifat maupun karakter. Perlu juga
diingat bahwa pembentukan karakter dan mental yang sehat sangat penting diperhatikan dalam tahap perkembangan remaja agar tidak mengganggu
perkembangan tahap selanjutnya. Anak remaja yang orangtuanya bercerai akan menunjukkan reaksi-reaksi
emosional, seperti kemarahan, malu, rasa bersalah, kesepian, kesengsaraan, shock, ketidakpastian, kecemasan, konflikpertentangan dan penyangkalan, atas situasi
yang terjadi. Dari semua reaksi emosional yang ditunjukkan remaja, kemarahan merupakan salah satu reaksi yang lebih mudah untuk dilihat dan ditampilkan
dibandingkan reaksi-reaksi emosional lainnya. Ketika kemarahan terus dirasakan seorang remaja yang orangtuanya bercerai, hal ini akan menyebabkan
perkembangan mental yang tidak sehat. Karena itu diperlukan suatu cara yang mengarahkannya untuk bisa memaafkan orangtuanya atas perceraian yang terjadi.
Pemaafan pada remaja yang orangtuanya bercerai dipengaruhi oleh faktor-faktor, seperti; proses emosional dan kognitif, kualitas dari suatu hubungan dan faktor
situasi. Terdapat4 fase yang dalam pemaafan, yaitu fase membuka kembali, fase memutuskan, fase bekerja dalam pemaafan dan fase pendalaman. Dengan fase-
fase dan faktor-faktor yang mempengaruhi pemaafan tersebut peneliti ingin mengetahui bagaimana dinamika pemaafan pada remaja yang orangtuanya
bercerai.
Universitas Sumatera Utara
PARADIGMA PENELITIAN DAPAT DILIHAT PADA LEMBAR LAMPIRAN
Universitas Sumatera Utara
BAB III METODE PENELITIAN