Pemaafan pada Remaja yang Orangtuanya Bercerai

(1)

PEMAAFAN PADA REMAJA YANG ORANGTUANYA BERCERAI

SKRIPSI

Guna Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

OLEH:

I N A N D A 031301075

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2007


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul Pemaafan pada Remaja yang Orangtuanya Bercerai adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini yang saya kutip dari hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, September 2007


(3)

ABSTRAK

Program Studi Psikologi

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, September 2007 Inanda

Pemaafan pada Remaja yang Orangtuanya Bercerai x + 108 halaman + 10 tabel + lampiran

Bibliografi 32 (1985-2006)

Perceraian merupakan peristiwa yang menyakitkan serta traumatis bagi pihak-pihak yang terlibat, terutama sekali anak. Percerian memberikan dampak yang buruk dalam berbagai aspek kehidupan anak. Secara emosional anak-anak yang orangtuanya bercerai akan menunjukkan berbagai reaksi, yaitu; penyangkalan (saat mereka tidak percaya akan apa yang diberitahukan kepada mereka), shock, konflik/pertentangan, kecemasan, ketidakpastian, kesepian, rasa bersalah, malu, kesengsaraan dan kemarahan (Charlish, 2003). Semua respon emosional tersebut akan mempengaruhi bagaimana mereka memaafkan kedua orangtuanya atas perceraian yang terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pemaafan pada remaja yang orangtuanya bercerai. Untuk menjawab masalah ini, digunakan teori proses pemaafan dari Enright dan Coyle yang terdiri dari empat fase; fase membuka kembali, fase memutuskan, fase bekerja dalam pemaafan dan fase pendalaman, serta faktor-faktor yang mempengaruhi pemaafan dari McCullough, yaitu proses emosional dan kognitif, kualitas dari suatu hubungan dan faktor situasi (ada tidaknya apology).

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena dengan metode ini dapat dipahami gejala tingkah laku manusia menurut sudut pandang responden penelitian, selain itu, masing-masing individu keunikan tersendiri dalam melakukan proses pemaafan. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam dan observasi yang dilakukan selama wawancara berlangsung. Responden dalam penelitian ini adalah dua orang remaja akhir laki-laki (15-18 tahun) yang orangtuanya telah bercerai minimal dua tahun.

Hasil penelitian menunjukkan bawa secara umum kedua responden dapat memaafkan kedua orangtuanya atas perceraian yang terjadi, tetapi jika pemaafan itu ditujukan secara individu orang tua, maka kedua responden memiliki perbedaan. Kepada ibu, baik responden A dan B merasa tidak perlu melakukan proses pemaafan, sedangkan kepada ayah, responden A merasa dalam usaha pemaafan dan rseponden B sama sekali tidak dapat memaafkan ayahnya. Ketiga faktor yang mempengaruhi pemaafan ternyata cukup berkontribusi teradap pemaafan yang dilakukan remaja tersebut.

Saran dari penelitian ini bagi remaja yang orangtuanya bercerai adalah agar dapat memaafkan kedua orangtuanya dengan mengubah pola pikirnya tentang perceraian dan mengembangkan empati kepada kedua orangtuanya, karena empati adalah hal yang berperan dalam pemaafan. Bagi pihak orang tua yang bercerai agar lebih memperahatikan kepentingan dan kebutuhan anak. Perceraian hendaknya tidak merugikan anak yang ditinggalkan baik dalam hal status pengasuhan anak, ekonomi maupun pehatian yang diberikan.


(4)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah dan puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT, berkat rahmat dan kasih sayang-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pemaaafan pada Remaja yang Orangtuanya Bercerai”. Shalawat dan salam kepada Rasulullah SAW, kepada keluarga dan sahabatnya. Semoga kesabaran beliau dapat menjadi contoh teladan bagi penulis dalam hal perjalanan skripsi ini dan kerja-kerja selanjutnya.

Skripsi ini dapat penulis selesaikan karena bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Gontar A. Siregar, Sp.PD-KGEH selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak dr. Chairul Yoel, Sp. A(K) selaku Ketua Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3. Ayah tercinta H. Muchtar Ibrahim dan ibunda tersayang (Almh) Hj. Suratna Intan (semoga Allah SWT selalu membahagiakanmu di tempat yang mulia) terima kasih atas semangat dan kasih sayang yang sampai saat ini masih bisa ananda rasakan walaupun kita telah dipisahkan alam (ananda sangat bangga telah diberi kesempatan lahir dari rahimmu yang mulia dan semoga ALLAH SWT memuliakanmu disana) dan ayah (terima kasih banyak karena setelah kepergian bunda, engkaulah kini yang menjadi ayah sekaligus ibu buat ananda). Terima kasih juga karena telah


(5)

dengan sabar mendampingi serta mendengarkan keluh kesah anakmu ini selama menjalani masa perkuliahan, terutama saat menyelesaikan skripsi ini.

4. Kepada dua saudara ku tercinta; bang Ari dan Andi, adik sepupuku Dian, Salamah, kak Maya, kak Rani, Alfi (seluruh keluarga mak’e yang sudah kuanggap sebagai rumah keduaku) kak Nining, bang Icang, bang Ucok. Terima kasih atas semangat, perhatian dan kasih sayang yang telah diberikan selama ini, kepada ummi yang telah penulis anggap sebagai pengganti ibunda serta kepada seluruh keluarga besar H.Rajali dan Ibrahim Hutabarat.

5. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Irna Minauli, M.Si yang dengan sabar dan ditengah kesibukannya masih mau meluangkan waktu dan pikiran dalam memberikan ilmu, saran, arahan dan bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Terima kasih juga bu karena bersedia mendengar semua masalah yang ananda hadapi dan memberikan beberapa saran. Semoga ALLAH SWT membalasnya lebih baik lagi.

6. Kepada dosen penguji saya, Ibu Raras Sutatminingsih, M.Si dan Ibu Hasnida, M.Si yang telah bersedia menjadi penguji skripsi saya ini, terima kasih atas kesempatan dan waktunya, serta saran-saran yang sangat bermanfaat buat penulis dalam penyempurnaan skripsi ini. Semoga dengan keikhlasan ibu diberikan barakah-Nya.


(6)

7. Teman-temanku (Eka, Isra, Yeni, Dina, Onny, Zube, Venny, Momo, Joni, Ahmad dan teman seperjuangan Mimi serta Dara) yang selalu siap memberikan bantuannya. Semoga ukhuwah kita tetap terjalin dan semakin erat. Terima kasih atas persahabatan yang begitu indah penulis rasakan selama kebersamaan kita di kampus tercinta. Miss u coz Allah.

8. Para murabbi ku (K’Ayu, K’Lina, K’Neli, Mbak Nita dan K’Sri), ikhwafillah di seantero Binjai dan Medan. Terima kasih atas segalanya. Hanya ALLAH-lah yang akan membalasnya dengan sebaik-baik balasan. 9. Adik-adikku para mujahid-mujahidah 2004 (Debi, Syifa, Sukma, Maya,

Cici, Hanifa, Reny, Keke dan Hadi), adik-adikku 2005 (Rena, Dian, Izzah, Eno, Faqih, Afni dan Yefri), adik-adik mentoring 2006 (Nella, Putri, Fitri, Vira, Feny dan Suri) juga adik-adikku di AKBID/AKPER SEHAT, BUDI DAYA (Imu, Yumna, Fitri, Hera, Ili, Meri, Minar, dan Ita)yang telah memberikan semangat yang berarti.

10. Anak-anak FORMASI Al-Qalb terima kasih atas support dan pengertiannya. Tetap semangat ya untuk berbuat yang terbaik kepada banyak ummat Psikologi. Keep istiqomah!!

11. Takkan kulupa kepada Vivi dari Psikologi UI yang telah banyak membantu mendapatkan bahan-bahan seminarku, hanya Allah-lah yang akan membalasnya.

12. Buat saudaraku di negeri anbiya yang punya semangat luar biasa untuk menuntut ilmu. Syukron jiddan karena telah menularkan semangatnya kepada penulis. Semoga menjadi da’i sejati.


(7)

13. Seluruh bapak dan ibu staf pengajar Psikologi. Terima kasih banyak atas ilmunya yang sangat bermanfaat. Juga kepada seluruh staf administrasi di Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Hanya ALLAH-lah yang akan membalasnya dengan sebaik-baiknya balasan.

14. Terima kasih juga penulis ucapkan pada semua pihak yang telah memberikan dukungan moril dan manteril kepada penulis, walaupun tidak dapat disebutkan satu persatu, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam seminar ini. Oleh karenanya penulis mengharapkan masukan dan saran yang sifatnya membangun dari semua pihak guna menyempurnakan penelitian ini. Akhirnya kepada Allah jua penulis berserah diri. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.Amin

Medan, September 2007

Penulis Inanda


(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……… i

DAFTAR ISI ……… iii

BAB I. PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Masalah ……… 1

I.B. Perumusan Masalah………... 10

I.C. Tujuan Penelitian ……….. 10

I.D. Manfaat Penelitian………. 10

I.E. Sistematika Penulisan………. 11

BAB II. LANDASAN TEORI II.A. Pemaafan ………... 13

II.A.1. Definisi Pemaafan ……….... 13

II.A.2. Komponen-komponen Pemaafan………. 14

II.A.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemaafan………... 17

II.A.4. Proses dalam Pemaafan………... 18

II.B. Remaja ……… 20

II.B.1. Definisi Remaja ……….20

II.B.2. Ciri-ciri Masa Remaja ………21

II.C. Perceraian……….. 25

II.C.1. Definisi Perceraian ……… 25

II.C.2. Faktor-faktor Penyebab Perceraian……… 26


(9)

II.D. Pemaafan pada Remaja yang Orangtuanya Bercerai……….... 35

II.E. Kerangka Berpikir ……… 38

II.F. Paradigma Penelitian………... 40

BAB III. METODE PENELITIAN III.A. Pendekatan Kualitatif……….. 41

III.B. Metode Pengambilan Data ………. 42

III.B.1. Wawancara………43

III.C. Responden Penelitian……….. 46

III.C.1 Karaktersitik Responden………46

III.C.2. Jumlah Responden ………46

III.C.3. Prosedur Pengambilan Responden.……….. 47

III.D. Lokasi Penelitian ……… 47

III.E. Alat Bantu Pengumpulan Data……… 48

III.F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ……… 49

III.F.1. Tahap Persiapan Penelitian ……….. 49

III.F.2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ……….. 50

III.F.3. Tahap Pencatatan Data ………. 52

III.G. Teknik dan Prosedur Pengolahan Data………... 52

BAB IV. ANALISA DATA DAN INTERPRETASI IV.A. Responden A...54

IV.A.1. Deskripsi Data Responden A...54

IV.A.2. Data Observasi Selama Wawancara Responden A...56


(10)

IV.A.4. Interpretasi Responden A...70

IV.B. Responden B...79

IV.B.1. Deskripsi Data Responden B...79

IV.B.2. Data Observasi Selama Wawancara Responden B...81

IV.B.3. Data Wawancara Responden B...83

IV.B.4. Interpretasi Responden B...89

IV.C. Analisa Antar Responden...95

BAB V. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN V.A. Kesimpulan...101

V.B. Diskusi...106

V.C. Saran...107

V.C.1. Saran Praktis...107

V.C.2. Saran Penelitian Lanjutan...108


(11)

DAFTAR TABEL

Skema 1. Paradigma Penelitian...40

Tabel I. Proses Pemaafan...19

Tabel 2. Identitas Responden A...54

Tabel 3. Gambaran Umum Perceraian Orang Tua Responden A...56

Tabel 4. Waktu Wawancara Responden A...57

Tabel 5. Kesimpulan Hasil Wawancara Responden A...76

Tabel 6. Identitas Responden B...79

Tabel 7. Gambaran Umum Perceraian Orang Tua Responden B...80

Tabel 8. Waktu Wawancara Responden B...81

Tabel 9. Kesimpulan Hasil Wawancara Responden B………...92


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Pedoman Wawancara

2. Inform Concern (Lembar Pernyataan Pemberian Izin oleh Responden) 3. Verbatim Wawancara


(13)

ABSTRAK

Program Studi Psikologi

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, September 2007 Inanda

Pemaafan pada Remaja yang Orangtuanya Bercerai x + 108 halaman + 10 tabel + lampiran

Bibliografi 32 (1985-2006)

Perceraian merupakan peristiwa yang menyakitkan serta traumatis bagi pihak-pihak yang terlibat, terutama sekali anak. Percerian memberikan dampak yang buruk dalam berbagai aspek kehidupan anak. Secara emosional anak-anak yang orangtuanya bercerai akan menunjukkan berbagai reaksi, yaitu; penyangkalan (saat mereka tidak percaya akan apa yang diberitahukan kepada mereka), shock, konflik/pertentangan, kecemasan, ketidakpastian, kesepian, rasa bersalah, malu, kesengsaraan dan kemarahan (Charlish, 2003). Semua respon emosional tersebut akan mempengaruhi bagaimana mereka memaafkan kedua orangtuanya atas perceraian yang terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pemaafan pada remaja yang orangtuanya bercerai. Untuk menjawab masalah ini, digunakan teori proses pemaafan dari Enright dan Coyle yang terdiri dari empat fase; fase membuka kembali, fase memutuskan, fase bekerja dalam pemaafan dan fase pendalaman, serta faktor-faktor yang mempengaruhi pemaafan dari McCullough, yaitu proses emosional dan kognitif, kualitas dari suatu hubungan dan faktor situasi (ada tidaknya apology).

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena dengan metode ini dapat dipahami gejala tingkah laku manusia menurut sudut pandang responden penelitian, selain itu, masing-masing individu keunikan tersendiri dalam melakukan proses pemaafan. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam dan observasi yang dilakukan selama wawancara berlangsung. Responden dalam penelitian ini adalah dua orang remaja akhir laki-laki (15-18 tahun) yang orangtuanya telah bercerai minimal dua tahun.

Hasil penelitian menunjukkan bawa secara umum kedua responden dapat memaafkan kedua orangtuanya atas perceraian yang terjadi, tetapi jika pemaafan itu ditujukan secara individu orang tua, maka kedua responden memiliki perbedaan. Kepada ibu, baik responden A dan B merasa tidak perlu melakukan proses pemaafan, sedangkan kepada ayah, responden A merasa dalam usaha pemaafan dan rseponden B sama sekali tidak dapat memaafkan ayahnya. Ketiga faktor yang mempengaruhi pemaafan ternyata cukup berkontribusi teradap pemaafan yang dilakukan remaja tersebut.

Saran dari penelitian ini bagi remaja yang orangtuanya bercerai adalah agar dapat memaafkan kedua orangtuanya dengan mengubah pola pikirnya tentang perceraian dan mengembangkan empati kepada kedua orangtuanya, karena empati adalah hal yang berperan dalam pemaafan. Bagi pihak orang tua yang bercerai agar lebih memperahatikan kepentingan dan kebutuhan anak. Perceraian hendaknya tidak merugikan anak yang ditinggalkan baik dalam hal status pengasuhan anak, ekonomi maupun pehatian yang diberikan.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

I. A. Latar Belakang Masalah

Tiada perkawinan yang hendak diakhiri dengan perceraian. Setiap pasangan tentunya menginginkan kehidupan perkawinannya akan berlangsung lama bahkan lebih lama dari kehidupan mereka sendiri di dunia ini. Sebagaimana tujuan dari perkawinan itu sendiri adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Undang-Undang RI Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 1 dalam Fauzi, 2006). Kita semua berharap idealnya dapat menjadikan rumah sebagai tempat berteduh yang penuh kerukunan, dan tempat berlindung dari dunia luar. Ketika perkawinan telah berubah menjadi ajang pertikaian, rumah tidak lagi menjadi bersahabat. Beberapa individu akan meninggalkan perkawinan itu untuk mencari kedamaian, karenanya sangat penting mencari jalan untuk mengakhiri pertengkaran yang berkepanjangan, sebelum perkawinan menjadi begitu rapuh, sehingga tidak dapat diteruskan.

Ketika sebuah perkawinan harus menghadapi masa-masa sulit yang tanpa dapat dielakkan lagi, perceraian bisa menjadi pilihan terbaik yang cukup menyakitkan. Perceraian sendiri adalah sebuah proses yang tidak menyenangkan. Seringkali terjadi, pasangan menghindari proses ini kendati perkawinan mereka sudah berakhir, mereka mengabaikannya dan meneruskan hidup seolah tidak pernah terjadi masalah. Mereka berusaha untuk tetap mempertahankan perkawinannya sekalipun dalam perkawinan itu tidak ada kebahagiaan. Dengan


(15)

berbagai alasan mereka berusaha untuk menghindari perceraian. Apalagi jika kedua pasangan itu telah memiliki anak. Mereka sekuat mungkin berusaha mempertahankan perkawinan, walaupun pada dasarnya perkawinan mereka telah gagal untuk dipertahankan.

Kegagalan perkawinan adalah trauma besar bagi setiap orang. Kegagalan perkawinan adalah penyebab stres nomor dua setelah kematian bagi orang dewasa. Dalam skala yang diformulasikan oleh Thomas Holmes dan Richard Rahe (dalam Charlish, 2003) dikatakan bahwa kematian pasangan diberi nilai 100 unit, sedangkan perceraian 73 unit, dan pisah 65 unit. Proses perceraian biasanya diikuti oleh beberapa penyebab stres lain, misalnya pindah rumah, masalah dengan saudara ipar, perubahan kondisi hidup, atau perubahan sekolah anak.

Perceraian dalam keluarga itu biasanya berawal dari suatu konflik antara anggota keluarga. Bila konflik ini sampai pada titik kritis maka peristiwa perceraian berada di ambang pintu. Peristiwa ini selalu mendatangkan ketidaktenangan berpikir dan ketegangan ini memakan waktu lama. Konflik yang paling sering terjadi adalah pada pasangan orang tua dalam suatu keluarga. Konflik-konflik itu dapat disebabkan karena masalah ekonomi, perbedaan usia yang besar, dan persoalan prinsip hidup yang berbeda. Seringkali karena masalah-masalah tersebut pasangan orang tua itu bertengkar, baik itu di depan anak-anak mereka ataupun tanpa sepengetahuan anak-anaknya. Pertengkaran orang tua, apapun alasan dan bentuknya, akan membuat anak merasa takut. Anak tidak pernah suka melihat orang tua bertengkar, karena hal tersebut hanya membuatnya merasa takut, sedih dan bingung.


(16)

Berikut petikan wawancara personal dengan seorang remaja bernama Lena (bukan nama sebenarnya) yang berusia 15 tahun:

“Mama ama papa awak seringkali berantem kak…ga dikamar ..juga di ruang tamu….ga peduli kami dengar apa enggak…. Betekak mulut gitu kak…kadang juga ga ada masalah papa..tiba-tiba aja ribut lagi…Ya kalo uda kek gitu, awak sama abang cuma bisa diam. Takut rasanya kak….”

Kasus perceraian sering dianggap sebagai suatu peristiwa tersendiri dan menegangkan dalam kehidupan keluarga. Tetapi, peristiwa ini sudah menjadi bagian kehidupan dalam masyarakat. Peristiwa ini juga senantiasa membawa dampak yang mendalam karena dapat menimbulkan stres, tekanan, menimbulkan perubahan fisik, dan mental. Sejak tahun 1960-an menurut banyak penelitian menunjukkan bahwa pernikahan yang gagal telah cukup membuat anak-anak tertekan (Heteringhton, Bridgess, & Inabella, 1998 dalam Berry, 2000).

Menurut hasil penelitian, hampir 60% kasus perceraian di Amerika Serikat dan 75% di Inggris melibatkan anak-anak dalam proses perceraian (Dagun, 2002). Juwita (dalam Wilson, 1994) mengatakan bahwa tak bisa dipungkiri bahwa korban dari perceraian orang tua adalah anak-anak. Hetherington (dalam Dagun, 2002) menyatakan hasil penelitiannya terhadap anak-anak usia 4 tahun pada saat kedua orangtuanya bercerai, dapat disimpulkan bahwa kasus perceraian itu akan membawa trauma pada setiap tingkat usia anak, meski dengan kadar berbeda.

Lena (bukan nama sebenarnya) mengatakan bahwa saat kedua orangtuanya bercerai, dia dan dua saudara lainnya berbeda usia.

”Pas papa mama bercerai, awak kelas 5 SD, abang awak udah SMP dan adik awak masih kecil la kak. Mungkin umur-umur 2 tahunan gitu kak. Jadi..yang ngerti kalo papa mama sering berantem itu ya


(17)

awak dan abang awak. Si adek ya ngerti papa, namanya masih kecik. Ya mungkin yang lebih udah ngerti itu abang awak kak. Tapi dia gak bisa bilang papa untuk mencegah papa mama bertengkar..dia diam aja”.

Setiap anak menyesuaikan diri dengan situasi baru ini dengan memperlihatkan cara dan penyelesaian berbeda sesuai dengan tingkatan usianya. Kelompok anak yang belum berusia sekolah pada saat kasus ini terjadi, memiliki kecenderungan untuk mempersalahkan diri bila ia menghadapi masalah dalam hidupnya. Ia menangisi dirinya. Pada kelompok usia remaja, anak sudah mulai memahami seluk-beluk arti perceraian, mereka memahami apa akibat yang bakal terjadi dari peristiwa itu. Mereka juga menyadari masalah-masalah yang bakal muncul, baik itu soal ekonomi, sosial, dan masalah-masalah lainnya.

Wallerstein dan Kelly (dalam Dagun, 2002) menyatakan hasil penelitiannya terhadap 60 keluarga yang mengalami kasus perceraian di Kalifornia, hasilnya menunjukkan bahwa anak usia remaja mengalami trauma yang mendalam. Mereka membutuhkan media untuk menyembuhkan trauma yang mendalam itu. Ditambahkan lagi oleh Hetherington (dalam Dagun, 2002) bahwa jika perceraian dalam keluarga itu terjadi saat anak menginjak usia remaja, mereka akan mencari ketenangan, baik itu di tetangga, sahabat ataupun teman sekolah. Trauma yang terjadi sering menimbulkan perasaan terluka, marah, benci, dan dendam. Salah satu penelitian yang diterbitkan oleh Journal of Marriage and Family edisi Agustus tahun 2001 (dalam Wilson, 1994) menemukan bahwa perceraian orang tua membawa dampak negatif pada banyak anak.


(18)

Lena (bukan nama sebenarnya) juga mengatakan bahwa ada perubahan sikap dan perilaku yang dirasakannya setelah orangtuanya bercerai.

”Kek mana ya kak..rasanya kok ada yang berubah setelah papa dan mama pisah. Awak jadi mudah marah, mudah tersinggung…. Sama kawan pun..sikit-sikit awak tersinggung. Padahal dulu awak gak kek gitu. Mereka pernah juga bilang, kok kau berubah sih…ya awak cuma diem aja nanggapinya. Mereka kan gak ngerti perasaan awak kak. Coba mereka ngalami seperti yang awak alami. Pasti mereka pun kek gitu kak..ah gak tau la kak. Kadang pernah juga awak nangis, sedih rasanya kalo ngingat-ngingat dulu kami bahagia….bisa sama papa mama. Tapi sekarang kok semuanya berubah. Rasanya macem ga terima gitu kak…”

Masa ketika perceraian terjadi merupakan masa yang kritis buat anak, terutama menyangkut hubungan dengan orang tua yang tidak tinggal bersama. Berbagai perasaan berkecamuk di dalam bathin anak-anak. Perasaan tidak aman, tidak diinginkan atau ditolak oleh orangtuanya yang pergi, sedih dan kesepian, marah, kehilangan, merasa bersalah, menyalahkan diri sendiri sebagai penyebab orang tua bercerai. Perasaan-perasaan tersebut di atas oleh anak dapat termanifestasi dalam bentuk perilaku: suka mengamuk, menjadi kasar, dan tindakan agresif lainnya. Dikatakan juga bahwa tahun pertama perceraian merupakan masa krisis yang paling sulit. Orang tua tampaknya dari waktu ke waktu memperlihatkan sikap kasar kepada anaknya.

Kalter (dalam Charlish, 2003) dengan jelas menggarisbawahi permasalahan yang dihadapi anak setelah orang tua mereka berpisah. Permasalahan tersebut adalah; kehilangan sebagian/seluruh hubungan dengan nonresident parent, perubahan hubungan dengan resident parent, pertentangan antar orang tua, kesulitan ekonomi, tingkat penyesuaian resident parent terhadap


(19)

keadaan hidup yang berubah dan perkawinan baru salah satu orang tua. Menurut Kalter (dalam Charlish, 2003) resident parent adalah orang tua yang mendapatkan hak asuh anak, sedangkan nonresident parent adalah orang tua tanpa hak asuh anak. Keputusan akan pemberian hak asuh anak terhadap salah satu orang tua akan diputuskan oleh pihak pengadilan dengan melihat pertimbangan-pertimbangan yang ada.

Lena (bukan nama sebenarnya) juga mengatakan bahwa setelah orangtuanya bercerai, keadaan jadi lebih sulit. Dia hidup terpisah dari abangnya setelah perceraian orangtuanya.

” Setelah papa-mama pisah, abang awak pindah ke Medan SMU-nya. Sedangkan awak dan adek yang masih kecil tinggal dengan mama dan ino (panggilan untuk nenek)….Ya kak. Kan setelah tu papa nikah lagi. Kami pun gak tau kali. Abis papa mama bilang sama kami, kalo mereka bercerai. Dan abis tu papa pergi….gak lama setelah itu kami dengar berita kalo papa udah nikah lagi sama wanita lain…jauh sih kak tempat tinggal papa dari rumah kami yang sekarang. Ya diluar kota gitu. Tapi masih satu propinsi la kak. Sampai sekarang pun, mungkin kami cuma pernah ketemu dua kali…..abis tu gak tau lagi kabarnya.”

Hanya sedikit anak yang bisa menerima perceraian orangtuanya. Sebagian besar anak lebih suka melihat orang tua mereka bersatu meskipun situasinya sulit. Sedangkan pada beberapa tahun yang lalu kita mengira bahwa anak-anak lebih baik melihat orang tua yang tidak harmonis berpisah. Tetapi pandangan itu ternyata keliru, karena terbukti kini bahwa anak-anak menderita dan merasa tidak bahagia selama masa perceraian orangtuanya. Bertahun-tahun setelah itu, perceraian memberikan dampak yang buruk dalam berbagai aspek kehidupannya. Perceraian juga mempengaruhi anak-anak secara sosial, emosional, juga


(20)

mengganggu prestasi belajar dan situasi keuangan, bahkan kehidupannya kelak sebagai orang dewasa, keberhasilannya membina hubungan dengan orang lain, serta karir mereka. Lanjutnya lagi secara emosional anak-anak yang orangtuanya bercerai akan menunjukkan berbagai reaksi, yaitu; penyangkalan (saat mereka tidak percaya akan apa yang diberitahukan pada mereka), shock, konflik/pertentangan, kecemasan, ketidakpastian, kesepian, rasa bersalah, malu, kesengsaraan dan kemarahan (Charlish, 2003).

Perceraian sebagai gangguan hubungan pernikahan yang dialami oleh orang tua dapat mempengaruhi hubungan yang terjadi antara anak dan orang tua (Stinson, 1991). Perceraian memiliki dampak negatif bagi perkembangan anak. Anak dari keluarga bercerai menjadi sangat nakal karena mempunyai kemarahan, frustrasi, dan mau melampiaskannya dengan melakukan hal-hal yang berlawanan dengan peraturan. Selain itu, anak korban perceraian menjadi mudah marah karena mereka terlalu sering melihat orang tua bertengkar. Kemarahan juga bisa muncul karena anak korban perceraian harus hidup dalam ketegangan tetapi tidak suka hidup dalam ketegangan (http://www.telaga.org. Tanggal akses 22 April 2007).

Kemarahan, kecemasan dan reaksi emosional negatif lainnya yang dirasakan anak-anak yang orangtuanya bercerai tidak hanya muncul setelah perceraian terjadi. Melainkan juga pada beberapa kasus, reaksi emosional negatif tersebut telah muncul jauh sebelum terjadi perceraian, karena anak-anak itu sering melihat kedua orangtuanya bertengkar. Sebagaimana yang dialami oleh Lena (bukan nama sebenarnya), bahwa perasaan marah dan cemas yang dirasakannya


(21)

telah muncul sebelum kedua orangtuanya bercerai. Sebelum bercerai, kedua orangtuanya sering bertengkar didepan anak-anaknya, tidak peduli dimanapun tempatnya. Perasaan marah dan cemas tersebut semakin bertambah ketika akhirnya orangtuanya memilih untuk bercerai. Dan menurut Lena lagi (bukan nama sebenarnya) sangat sulit untuk bisa memaafkan kedua orangtuanya atas perceraian yang terjadi. Sebagaimana petikan wawancara berikut:

”..Sekalipun papa mama datang ke awak, untuk minta maaf, awak gak mau maafin mereka kak....”

Menurut Jampolsky (2001) pemaafan adalah merasakan penghayatan tentang apa yang dialami orang lain, merasakan kelembutan, kerentanan, dan kepedulian, dan semuanya itu selalu ada di dalam hati kita, tak peduli bagaimana keadaan dunia yang ada. Rela memaafkan adalah jalan menuju tempat kebahagiaan dan kedamaian, jalan menuju jiwa kita. Pemaafan juga berarti memutuskan untuk tidak menghukum atas ketidakadilan yang kita terima, yang kita tunjukkan dalam aksi nyata dan mengalami reaksi emosional yang hadir setelahnya (Affinito, 1999).

Enright dan kelompok studi Human Developmentnya (dalam Konstam, 2001) menyatakan bahwa pemaafan adalah berusaha untuk menghindari munculnya afeksi dan penilaian negatif yang ditujukan kepada orang yang telah menyakiti kita, bukannya dengan menolak diri kita sendiri sebagai pembenaran atas afeksi dan penilaian tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan berusaha keras untuk melihat orang yang telah menyakiti kita dengan kebaikannya, perasaan sayang, dan bahkan dengan cinta, ketika kita mengakui bahwa orang tersebut


(22)

kita, maka kita berusaha untuk menggantikan perasaan negatif (marah) dengan perasaan yang positif, yaitu dengan memaafkannya dan tidak menghukumnya. Hal ini dilakukan tanpa mengharapkan imbalan apapun kepada orang yang telah menyakiti kita.

Bagi seorang remaja yang sedang dalam masa perkembangan, penting untuk diperhatikan bagaimana peran kesehatan mentalnya. Kesehatan mental akan sangat mempengaruhi perkembangan seorang individu, terlebih lagi bagi remaja. Sebagaimana yang dikatakan MacGregor (2005) bahwa menjadi remaja saja sudah cukup menyulitkan karena pada masa ini cukup banyak penyesuaian yang harus dilakukan, apalagi ditambah dengan kenyataan akan perceraian orang tua.

Peran orang tua dalam tumbuh-kembangnya seorang remaja sangatlah penting. Komunikasi dan hubungan keduanya seharusnya dijalin sebaik mungkin. Namun ketika sebuah pilihan pahit harus diambil oleh orang tua, dalam hal ini bercerai, maka adalah menjadi tugas orang tua untuk tetap bisa berhubungan secara baik dan sehat dengan anak-anaknya. Hubungan yang baik dan sehat tidak akan dapat dicapai jika salah satu pihak, yaitu remaja, masih menyimpan kemarahan pada kedua orangtuanya atas keputusan bercerai yang diambil. Bila kemarahan dalam diri seorang remaja yang orangtuanya bercerai tidak bisa dihilangkan, maka ini dapat mempengaruhi perkembangan kesehatan mentalnya. Memaafkan adalah salah satu komponen terpenting dalam pertumbuhan seseorang (Hargrave & Selss dalam Konstam, 2001). Dengan memaafkan kesalahan orang lain, maka ini adalah cara yang efektif untuk mrngurangi peraasan marah, cemas dan takut (Cerney, dkk dalam Konstam, 2001).


(23)

Dari pemaparan di atas peneliti tertarik untuk meneliti pemaafan pada remaja yang orangtuanya bercerai.

I. B. Perumusan Masalah

Untuk memudahkan penelitian, maka perlu dirumuskan masalah apa yang menjadi fokus penelitian. Dalam hal ini peneliti mencoba merumuskan masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut yaitu bagaimana dinamika pemaafan pada remaja yang orangtuanya bercerai, yang mencakup:

1. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi pemaafan pada remaja yang orangtuanya bercerai?

2. Apa saja langkah-langkah yang dilalui dalam pemaafan pada remaja yang orangtuanya bercerai?

I. C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauhmana pemaafan pada remaja yang orangtuanya bercerai.

I. D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat baik secara teoritis maupun praktis. 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dalam memberikan informasi dan perluasan teori dibidang psikologi klinis, yaitu mengenai pemaafan pada remaja yang orangtuanya bercerai.

Selain itu juga, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya sumber kepustakaan penelitian mengenai psikologi klinis sehingga hasil penelitian


(24)

nantinya diharapkan dapat dijadikan sebagai penunjang untuk bahan penelitian lebih lanjut.

2. Manfaat Praktis

a. Peneliti berharap kepada setiap pembaca yang telah meluangkan waktunya dapat menyampaikan kepada rekan-rekannya bagaimana perceraian membawa dampak terhadap anak, tidak hanya setelah perceraian, melainkan sepanjang hidup mereka, dengan harapan sebagai pasangan yang saat ini sedang mengalami konflik perkawinan dapat berpikir lebih matang sebelum mengambil keputusan untuk bercerai.

b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pada remaja yang orangtuanya bercerai khususnya yang berkaitan dengan pemaafan.

c. Dapat memberikan masukan bagi para

peneliti lainnya yang berminat untuk meneliti lebih jauh mengenai perceraian dalam keluarga, dampaknya bagi anak dan bagaimana bisa meminimalisir dampak negatif.

I. E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan proposal penelitian ini adalah: BAB I: PENDAHULUAN

Berisi penjelasan mengenai latar belakang permasalahan, perumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.


(25)

Berisi teori yang digunakan sebagai landasan penelitian. BAB III: METODE PENELITIAN

Berisi penjelasan mengenai metode penelitian yang berisikan tentang metode penelitian kualitatif, metode pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data, responden penelitian, prosedur penelitian dan prosedur analisis data.

BAB IV: ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA

Berisi analisis dan interpretasi data dari hasil wawancara yang dilakukan, mencakup deskripsi data, data observasi selama wawancara, pengorganisasian (rekonstruksi) data, dan selanjutnya membahas data-data penelitian tersebut dengan teori yang relevan. BAB V: KESIMPULAN DAN DISKUSI

Berisi hasil dari penelitian yang telah dilaksanakan dan diskusi terhadap data-data yang tidak dapat dijelaskan dengan teori atau penelitian sebelumnya karena merupakan hal yang baru, serta saran-saran praktis sesuai hasil dan masalah-masalah penelitian, serta saran-saran metodologis untuk penyempurnaan penelitian lanjutan.


(26)

BAB II

LANDASAN TEORI

II. A. Pemaafan

II. A. 1. Definisi Pemaafan

Menurut Jampolsky (2001) pemaafan adalah merasakan penghayatan tentang apa yang dialami orang lain, merasakan kelembutan, kerentanan, dan kepedulian, dan semuanya itu selalu ada di dalam hati kita, tak peduli bagaimana keadaan dunia yang ada. Rela memaafkan adalah jalan menuju tempat kebahagiaan dan kedamaian, jalan menuju jiwa kita.

Jampolsky (2001) menyebut istilah pemaafan adalah sama dengan rela memaafkan. Dengan rela memaafkan berarti kita bersedia untuk menanggalkan masa lalu yang menyakitkan. Suatu keputusan untuk tidak lagi menderita, untuk menyembuhkan hati dan jiwa. Suatu pilihan untuk tidak lagi mencari-cari nilai dalam amarah dan kebencian. Dan ini berarti menepis keinginan untuk menyakiti orang lain atau diri kita sendiri atas suatu hal yang telah terjadi (Jampolsky, 2001). Memaafkan juga berarti memutuskan untuk tidak meghukum atas ketidakadilan yang kita terima, yang kita tunjukkan dalam aksi nyata dan mengalami reaksi emosional yang hadir setelahnya (Affinito, 1999).

Enright dan kelompok studi Human Developmentnya (dalam Konstam, 2001) merumuskan pemaafan sebagai menghindari munculnya afeksi dan penilaian negatif yang ditujukan kepada orang yang telah berbuat salah pada kita,


(27)

bukannya dengan menolak diri kita sendiri sebagai pembenaran atas afeksi dan penilaian tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan berusaha keras untuk melihat orang yang telah berbuat salah pada kita dengan kebaikannya, perasaan sayang, dan bahkan dengan cinta, ketika kita mengakui bahwa orang tersebut sebenarnya memang bersalah.

Studzinski (dalam Wilson, 1994) mendefinisikan pemaafan sebagai suatu proses yang penuh kemauan dimana orang yang disakiti lebih memilih untuk merespon orang yang telah berbuat salah pada kita dengan cara yang lebih baik, bahkan dengan cara mencintainya, daripada memusuhinya. Dengan memaafkan kesalahan orang lain, maka ini adalah cara yang efektif untuk mengurangi perasaan marah, cemas dan takut (Cerney, dkk dalam Konstam, 2001).

Berdasarkan beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemaafan adalah menghilangkan perasaan dan penilaian negatif yang muncul karena ketidakadilan yang kita terima, terhadap orang lain yang telah menyakiti kita dengan cara-cara yang baik dan tidak menghukumnya.

II. A. 2. Komponen-komponen Pemaafan

Menurut Affinito (1999) ada lima komponen dalam pemaafan, yaitu: a. Memutuskan

Memaafkan adalah masalah pilihan. Inidvidu akan diarahkan dengan pikirannya sendiri melalui proses ini, menggunakan kemampuan untuk berpikir dan menyelesaikan masalah sehingga dapat ditemukan solusi terbaik untuk mengurangi rasa sakit yang dialami. Individu membuat suatu keputusan


(28)

dan kemudian bertindak. Tapi bila kemudian iniduvidu memutuskan untuk mengubah pikirannya, mungkin karena tindakan tersebut telah mengubah situasi, atau mungkin inidvidu telah belajar suatu hal baru tentang orang yang telah menyakitinya. Inidvidu juga mungkin menemukan sesuatu yang baru tentang moralitas dan keadilan yang ada dalam diri individu itu sendiri. b. Menghukum

Individu akan dihadapkan pada pilihan akan menghukum atau tidak orang yang telah menyakiti kita. Hal ini akan lebih ditekankan pada bagaimana individu menghukum orang yang telah menyakitinya, bukan pada apakah orang yang telah menyakiti itu akan dihukum. Tugas inidvidu disini bukanlah memutuskan apa dan bagaimana orang yang telah menyakiti tersebut akan dihukum, melainkan individu harus memutuskan apa dan bagaimana individu secara personal akan menghukum. Individu harus menyelesaikan masalahnya. Individu juga perlu mempertimbangkan apa yang didapatkan dan apa yang akan hilang dengan menghukum orang yang telah menyakiti tersebut, dan bagaimana keputusan yang telah diambil akan berdampak pada masalah adil-tidak adil. Sekalipun individu memiliki kekuatan dan kekuasaan atas orang yang telah menyakiti itu, menghukum hanya bersifat sementara.

c. Menerima Ketidakadilan

Hal pertama yang harus dilakukan adalah apakah individu menyadari apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Kebanyakan orang ketika merasakan sakit atau melindungi dirinya dari pengalaman-pengalaman buruk yang dialaminya, individu sering menggunakan mekanisme pertahanan diri. Ketika merasa


(29)

sedih, marah atau terluka, maka semacam ada sense yang memperingatkan diri bahwa ada yang salah, mungkin akan membutuhkan waktu untuk melihat ketidakadilan apa yang sebenarnya terjadi.

d. Mengambil Tindakan

Setelah keputusan diambil, maka individu perlu bertindak, untuk diri individu sendiri dan juga situasinya. Inidvidu akan diarahkan dampak-dampak apa saja yang mungkin terjadi dari tindakan yang diambil dan apa yang dapat membantu individu untuk melakukan tindakan-tindakan yang dirasa perlu untuk diambil. Semua itu dilakukan tentu saja dalam konteks moralitas individu sendiri. Satu hal yang mungkin individu ingin hindari adalah membiarkan dirinya dalam posisi harus memaafkan dirinya atas tindakan yang mungkin bertentangan dengan standar moral yang selama ini dianutnya. Individu harus yakin dengan keputusan yang telah diambil dan bertindaklah. e. Menurunkan Emosi ke Kondisi Awal

Membuat keputusan untuk memaafkan atau tidak adalah seperti memilih untuk meminum obat sakit kepala untuk menghilangkan pusing. Sekali keputusan telah dibuat, inidvidu akan bertindak. Tentu saja dalam memaafkan juga diperlukan waktu. Pada beberapa orang proses ini bisa berlangsung cepat tapi ada juga yang membutuhkan waktu yang lama.

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa ada lima komponen dalam pemaafan yaitu; memutuskan, menerima ketidakadilan, mengambil tindakan dan menurunkan emosi ke kondisi awal.


(30)

II. A. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemaafan

Menurut McCullough (2000) ada beberapa faktor yang mempengaruhi pemaafan pada seseorang. Faktor-faktor tersebut dapat dilihat dalam tiga kategori, yaitu:

a. Proses emosional dan kognitif

Adapun hal yang termasuk dalam proses emosional dan kognitif adalah empati, perspektif saling menerima, ruminasi dan supresi. Empati dan perspektif saling menerima cukup berperan dalam kualitas prososial seseorang seperti keinginan untuk menolong orang lain, hal ini akan tampak jelas dalam memaafkan. Perasaan empati yang berdampak kepada orang yang telah menyakiti kita dan memahami perspektif kognitifnya mempunyai korelasi yang tinggi dalam pengukuran memaafkan yang dilakukan oleh McCullough secara umum. Ruminasi diartikan sebagai sulitnya untuk melupakan orang yang telah menyakiti. Karena pikiran, perasaan dan gambaran buruk tentangnya selalu muncul dan mengganggu diri individu. Hal-hal tersebut muncul karena peristiwa buruk yang pernah dialami karena kesalahan orang lain tersebut ditekan, dan dalam hal ini individu melakukan supresi.

b. Kualitas dari suatu hubungan

Faktor-faktor hubungan – seperti kedekatan, komitmen dan kepuasan—juga merupakan faktor yang menentukan dalam memaafkan. Orang-orang yang cenderung lebih bisa memaafkan dalam suatu hubungan dikarakteristikkan


(31)

dengan adanya kedekatan, komitmen dan kepuasan. Banyak penelitian yang dilakukan oleh para ahli. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan terhadap 100 pasangan, baik itu sebagai orang yang memaafkan maupun sebagai orang yang sudah menyakiti pasangannya. Kedua-duanya melaporkan adanya tingkatan kedekatan, komitmen maupun kepuasan yang dihubungkan dengan tingkatan memaafkan.

c. Faktor situasi

Variabel lainnya yang memiliki pengaruh terhadap memaafkan adalah keberadaan faktor apology. Faktor ini sering dihubungkan dengan negoisasi. Kemunculan apology ini dianggap sebagai faktor yang berpotensi bagi kontrol orang yang telah menyakiti individu dan bagaimana hubungan akan terus berlanjut ketika pemaafan sudah dilakukan.

Berdasarkan pemaparan tersebut dapat disimpulkan ada beberapa faktor yang mempengaruhi pemaafan pada seseorang yang dapat dilihat dalam tiga kategori yaitu; proses emosional dan kognitif (seperti empati, perspektif saling menerima, ruminasi dan supresi); kualitas dari suatu hubungan (seperti kedekatan, komitmen dan kepuasan); dan faktor situasi (yaitu apology).

II.A.4. Proses dalam Pemaafan

Enright dan Coyle (1998) mengembangkan suatu model proses dari pemaafan. Model tersebut meliputi aspek kognitif, afektif, dan perilaku yang terjadi dalam proses pemaafan. Proses tersebut dibagi kedalam empat fase yaitu: fase membuka kembali (uncovering phase), fase memutuskan (decision phase),


(32)

fase bekerja (work phase), dan fase pendalaman (deepening phase). Secara rinci Enright & Coyle (1998) menjelaskan dalam bentuk tabel:

Tabel 1. Proses Pemaafan

Unit Cognitive, Behavioral, and Affective Phases

1 2 3 4 5 6 7 8

Fase Membuka Kembali Memeriksa mekanisme pertahanan diri yang digunakan.

Konfrontasi dengan kemarahan: intinya adalah bukan menyembunyikan kemarahan, melainkan disalurkan.

Menerima rasa malu. Menyadari adanya katarsis.

Kesadaran bahwa orang diaskiti berulangkali memikirkan peristiwa yang menyakitkan.

Korban membandingkan dirinya dengan orang yang telah menyakitinya. Menyadari akan adanya perubahan yang menetap akibat peristiwa yang menyakitkan tersebut.

Individu yang disakiti menyadari bahwa pandangannya tentang keadilan telah berubah.

1

2 3

Fase Memutuskan

Perubahan dalam hati, adanya insight baru bahwa strategi yang lama untuk mengatasi masalahnya tidak membawa hasil yang diharapkan. Keinginan untuk mempertimbangkan pemaafan sebagai suatu pilihan. Komitmen untuk memaafkan orang yang telah menyakiti tersebut.

1

2 3 4

Fase Bekerja dalam Pemaafan

Reframing, mulai mengambil peran, dengan memaknai peristiwa menyakitkan yang dialami dengan cara memposisikan bila dirinya yang telah menyakiti.

Mengembangkan empati terhadap pelaku.

Penerimaan terhadap luka (peristiwa menyakitkan) yang dialami. Pemaafan sebagai hadiah moral bagi orang yang telah menyakiti.


(33)

1 2

3 4 5

Fase Pendalaman

Menemukan makna baru dalam diri dengan melakukan pemaafan. Menyadari bahwa dirinya memiliki kebutuhan untuk dimaafkan pada masa yang lalu.

Menyadari bahwa dirinya tidak sendiri.

Menemukan tujuan hidup yang baru karena peristiwa ini.

Kesadaran bahwa perasaan negatif yang dimiliki dugantikan dengan perasaan positif dan perasaan positif tersebut membebaskan serta menguntungkan bagi individu yang telah disakiti.

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam pemaafan terdapat empat fase yang dapat dilalui oleh individu yang telah disakiti, yaitu fase membuka kembali, fase memutuskan, fase bekerja dalam pemaafan, dan fase pendalaman. Empat fase yang dikemukakan oleh Enriht & Coyle (1998) tersebut akan menjadi acuan bagi peneliti dalam bentuk pedoman wawancara untuk melihat bagaimana dinamika pemaafan pada remaja yang orangtuanya bercerai.

II.B. Remaja

II.B.1. Definisi Remaja

Masa remaja merupakan masa transisi dalam rentang kehidupan manusia, menghubungkan masa kanak-kanak dan dewasa. Adolescence atau remaja berasal dari kata Latin adolescere yang berarti ”tumbuh” atau ” tumbuh menjadi dewasa”. Secara psikologis, masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua (Hurlock, 1990). Santrock (1998) mengatakan bahwa remaja


(34)

adalah periode perkembangan transisi dari anak-anak ke dewasa awal yang melibatkan perubahan biologis, kognitif, dan sosioemosional.

Gunarsa (1995) mengatakan bahwa pada umumnya permulaan masa remaja ditandai oleh perubahan-perubahan fisik yang mendahului kematangan seksual, kurang lebih bersamaan dengan perubahan fisik ini, juga akan melepaskan diri dari ikatan dengan orangtuanya, kemudian terlihat perubahan kepribadian yang berwujud dalam cara hidup untuk menyesuaikan diri dalam masyarakat.

Menurut Monks (1996) masa remaja berlangsung antara usia 12 dan 21 tahun terbagi dalam tiga fase, yaitu: remaja awal (12 hingga 15 tahun), remaja tengah/madya (15 hingga 18 tahun) dan remaja akhir (18 hingga 21 tahun). Sedangkan menurut Hurlock (1990) masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, dimulai saat anak matang secara seksual dan berakhir saat ia mencapai usia matang secara hukum.

Berdasarkan pendapat dari beberapa tokoh di atas dapat disimpulkan bahwa remaja adalah individu yang berusia 12-21 tahun yang sedang mengalami masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang, mencakup perubahan fisik, sosial, kognitif, dan mental.

II.B.2. Ciri-ciri Masa Remaja

Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1990) ciri-ciri masa remaja antara lain:


(35)

Pada masa remaja terjadi perkembangan fisik dan mental yang cepat dan penting dimana semua perkembangan itu menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan pembentukan sikap, nilai dan minat baru.

b. Masa remaja sebagai periode peralihan

Peralihan tidak berarti terputus dengan atau berubah dari apa yang telah terjadi sebelumnya. Tetapi peralihan merupakan perpindahan dari satu tahap perkembangan ke tahap perkembangan berikutnya. Dengan demikian dapat diartikan bahwa apa yang terjadi sebelumnya akan meninggalkan bekas pada apa yang telah terjadi sekarang dan yang akan datang, serta mempengaruhi pola perilaku dan sikap yang baru pada tahap berikutnya. Ketika seorang remaja yang dalam masa tumbuh-kembang harus menghadapi masalah perceraian orangtua, hal ini tentu saja akan membekas dalam dirinya dan mempengaruhi tahap perkembangan selanjutnya. Hetherington dan koleganya (dalam Dagun, 2002) mengadakan tes pada kelompok anak yang belum usia sekolah saat terjadinya perceraian. Penelitian ini dilakukan pada waktu anak bermain dan pada saat berinteraksi sosial dengan teman. Hetherington menemukan bahwa konflik keluarga itu menimbulkan pengaruh terhadap sikap bermain anak. Pengaruh yang lain adalah terganggunya pergaulan dengan teman sebaya. Akibat yang lebih jauh lagi dapat menjadi alasan penting terhambatnya perkembangan anak. Anak berkembang tidak stabil terutama ketika bergaul dengan teman-temannya. Pengaruh itu akan terus berlanjut sampai anak menginjak masa remaja dan interaksi sosial terganggu pada masa dewasa.


(36)

c. Masa remaja sebagai periode perubahan

Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Ketika perubahan fisik terjadi dengan pesat, perubahan perilaku dan sikap juga berlangsung pesat. Ketika perubahan fisik menurun, maka perubahan sikap dan perilaku juga menurun.

d. Masa remaja sebagai usia bermasalah

Setiap periode mempunyai masalahnya sendiri-sendiri, namun masalah masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak laki-laki maupun anak perempuan. Ada dua alasan bagi kesulitan ini, yaitu:

1) Sepanjang masa kanak-kanak, masalah anak-anak sebagian diselesaikan oleh orang tua dan guru-guru, sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah.

2) Karena para remaja merasa diri mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri, menolak bantuan orang tua dan guru-guru.

e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas

Pencarian identitas dimulai pada akhir masa kanak-kanak, penyesuaian diri dengan standar kelompok lebih penting daripada bersikap individualistis. Pada awal masa remaja, penyesuaian diri dengan kelompok masih tetap penting bagi anak laki-laki dan perempuan. Namun lambat laun mereka mulai mendambakan identitas diri dengan kata lain ingin menjadi pribadi yang berbeda dengan orang lain. Peran orang tua dalam hal pencarian identitas ini tentulah mempunyai peranan yang cukup penting. Sebagaimana yang


(37)

dikatakan oleh Hetherington (dalam Hughes & Noppe, 1985) bahwa ayah berpartisipasi dalam memelihara anak secara langsung dengan mendisplinkan anak, mengajar mereka dan menyediakan model dewasa. Anak laki-laki memiliki kebutuhan akan model pria yang kuat sebagai self-control seperti halnya orang tua dengan disiplin yang keras. Setelah perceraian anak laki-laki kehilangan model pria tersebut sehingga perceraian kemudian ditandai lebih besar pada anak laki-laki daripada anak perempuan (Hetherington dkk dalam Hughes & Noppe, 1985).

f. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan

Anggapan stereotype budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak rapih, yang tidak dapat dipercaya dan cenderung merusak dan berperilaku merusak, menyebabkan orang dewasa yang harus membimbing dan mengawasi kehidupan remaja muda takut bertanggung jawab dan bersikap tidak simpatik terhadap perilaku remaja yang normal.

g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistic

Pada masa ini, remaja melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana adanya, terlebih dalam hal cita-cita. Semakin tidak realistis cita-citanya ia semakin menjadi marah. Remaja akan sakit hati dan kecewa apabila orang lain mengecewakannya atau kalau ia tidak berhasil mencapai tujuan yang ditetapkannya sendiri. Bagi para remaja yang orangtuanya bercerai akan timbul perasaan bersalah bahwa mereklah yang menjadi penyebab perceraian orangtuanya. Tentu saja hal itu tidak benar. Sebagaimana yang dikatakan oleh MacGregor (2005) bahwa perceraian itu sesungguhnya bukanlah tentang anak


(38)

remaja, melainkan adalah tentang orangtuanya. Jadi bisa dikatakan ada semacam perasaan tidak realistik yang muncul pada diri seorang remaja. h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa

Dengan semakin mendekatnya usia kematangan, para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa, remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, yaitu merokok, minum minuman keras, menggunakan obat-obatan dan terlibat dalam perbuatan seks. Mereka menganggap bahwa perilaku ini akan memberi citra yang mereka inginkan.

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa ada tujuh hal yang menjadi ciri-ciri masa remaja yaitu; masa remaja sebagai periode yang penting, masa remaja sebagai periode peralihan, masa remaja sebagai periode perubahan, masa remaja sebagai usia bermasalah, masa remaja sebagai masa mencari identitas, masa remaja sebagai masa yang tidak realistic dan masa remaja sebagai ambang masa dewasa.

II.C. Perceraian

II.C.1. Definisi Perceraian

Menurut Biro Pusat Statitsik (2002), perceraian adalah berpisahnya suami-istri dan belum menikah lagi. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003) dinyatakan bahwa perceraian adalah perpisahan antara suami-istri selagi kedua-duanya masih hidup. Hurlock (1990) mengemukakan perceraian adalah kulminasi


(39)

dari penyesuaian perkawinaan yang buruk dan terjadi apabila antar suami dan istri sudah tidak mampu lagi mencari cara penyelesaian masalah yang dapat memuaskan bagi kedua belah pihak.

Berdasarkan definisi yang dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa perceraian adalah suatu keadaan terputusnya ikatan pernikahan antara suami-istri selagi kedua-duanya masih hidup.

II.C.2. Faktor-faktor Penyebab Perceraian

Menurut Fauzi (2006) ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya perceraian, yaitu:

a. Ketidakharmonisan dalam rumah tangga

Alasan tersebut adalah alasan yang paling kerap dikemukakan oleh pasangan suami-istri yang akan bercerai. Ketidakharmonisan bisa disebabkan oleh berbagai hal antara lain; ketidakcocokan pandangan, perbedaan pendapat yang sulit disatukan, krisis keuangan, krisis akhlak, adanya orang ketiga, bahkan tidak berjalannya kehidupan seksual sebagaimana mestinya.

b. Krisis moral dan akhlak

Selain ketidakharmonisan dalam rumah tangga, perceraian juga sering memperoleh landasan berupa krisis moral dan akhlak, yang dapat

dilalaikannya tanggung jawab baik oleh suami ataupun istri, poligami yang tidak sehat, penganiayaan (kerap juga disebut sebagai Kekerasan dalam Rumah Tangga/KDRT), pelecehan, dan keburukan perilaku lainnya yang


(40)

dilakukan baik oleh istri maupun suami, misalnya mabuk, berzina, terlibat tindak kriminal, bahkan hutang piutang.

c. Perzinahan

Masalah lain yang dapat mengakibatkan terjadinya perceraian adalah terjadinya perzinahan, yaitu hubungan seksual di luar nikah yang dilakukan baik oleh suami maupun istri. Sebagai umat beragama, sudah jelas adanya sanksi hukuman bagi mereka yang berzina. Di dalam hukum, perkawinan Indonesia, perzinahan dimasukkan ke dalam salah satu pasalnya sebagai yang dapat mengkibatkan berakhirnya sebuah perkawinan.

d. Pernikahan tanpa cinta

Alasan lainnya yang kerap dikemukakan baik oleh suami maupun istri untuk mengakhiri pernikahan adalah bahwa pernikahan mereka telah berlangsung tanpa dilandasi adnya cinta. Menjalani sebuah pernikahan tanpa cinta merupakan suatu keadaan yang sulit dan melelahkan, tapi itu tidak langsung dapat diartikan bahwa kita memerlukan sebuah perceraian.

e. Adanya masalah-masalah dalam perkawinan

Alasan perceraian tersebut kerap diajukan apabila kedua pasangan atau salah satunya merasakan ketimpangan dalam perkawinan yang sulit diatasi sehingga mendorong mereka untuk mempertimbangkan perceraian. Diantara masalah-masalah perkawinan itu adalah: kurangnya keintiman secara seksual; emosi yang meledak ketika terlibat perdebatan, menjadi terlalu terbawa emosi, dan membiarkan amarah menguasai diri; bersikap mementingkan diri sendiri; berlaku tidak jujur; menyindir secara keterlaluan; tidak menghargai pasangan;


(41)

tidak perhatian kepada pasangan atau tidak mendengarkannya; dan masalah-masalah lainnya.

Sedangkan menurut Newman & Newman (2006) dinyatakan ada empat hal yang berkontribusi terhadap terjadinya perceraian, yaitu:

a. Umur saat menikah

Kasus perceraian di Amerika Serikat tinggi pada pasangan yang menikah sebelum usia 18 tahun (sekitar 48%), dibandingkan dengan pasangan yang menikah di usia 25 tahun atau lebih (sekitar 24%). Untuk pasangan yang menikah muda ataupun usia yang lebih tua, ketidakpuasan terhadap penampilan peran adalah faktor yang cukup signifikan terhadap ketidakstabilan pernikahan. Untuk pasangan muda, ketidakpuasan ini biasanya lebih kepada masalah seksual dan kecemburuan. Untuk pasangan yang lebih tua, ketidakpuasan lebih disebabkan karena adanya konflik interpersonal, gaya dominasi daan melemahnya perasaan kebersamaan. Usia saat menikah biasanya juga dihubungkan dengan perbedaan kebutuhan perkembangan dan banyaknya ancaman terhadap ketidakstabilan pernikahan.

b. Tingkat sosial ekonomi

Konsep tingkat sosial ekonomi ini cukup kompleks, karena merupakan kombinasi dari faktor pendidikan, pekerjaan dan penghasilan. Laki-laki dan wanita dengan pekerjaan yang lebih tinggi memiliki angka rata-rata perceraian yang lebih rendah daripada mereka yang berpendidikan rendah. Dalam hal ini juga dikenal glick effect, yaitu laki-laki dan wanita yang dikeluarkan dari sekolah atau kampus memiliki angka rata-rata perceraian yang lebih tinggi


(42)

daripada mereka yang telah menyelesaikan pendidikan sekolahnya. Angka rata-rata perceraian dan perpisahan umumnya lebih tinggi pada pasangan dengan pendidikan dan pendapatan yang rendah. Pendapatan total keduanya memiliki hubungan yang erat dengan perceraian. Laki-laki dengan pendapatan yang lebih tinggi, angka rata-rata perceraiannya lebih rendah. Sedangkan bagi wanita yang menyumbang lebih besar terhadap total pendapatan keluarga dan merasa kurang bahagia dengan perkawinan akan cenderung untuk bercerai. c. Perkembangan sosioemosional dari masing-masing pasangan

Perkembangan sosioemosional dihubungkan dengan dimensi penerimaan diri, otonomi dan ekpsresi dari pasangan. Masalah-masalah dalam komunikasi dianggap sebagai penyebab utama perceraian, baik itu pada laki-laki maupun wanita. Secara umum wanita lebih cenderung untuk merasa stres dan memiliki masalah dalam penyesuaian perkawinan daripada laki-laki. Kestabilan identitas maskulin dari suami, tingkat pendidikan, status sosial dan kemampuan untuk menerima semua bentuk pengekspresian emosi berdampak terhadap kebahagiaan perkawinan. Kestabilan perkawinan juga tergantung pada bagaimana masing-masing pasangan mencapai perasaan dan identitas dirinya. Pencapaian ini akan membantu untuk membangun keseimbangan kekuatan dan saling menghormati yang menjadi pusat dari emosional dan keintiman intelektual.

d. Sejarah keluarga yang bercerai

Anak-anak dari orang tua yang bercerai lebih cenderung untuk mengalami perceraian pada pernikahan mereka nantinya kelak. Beberapa studi


(43)

menunjukkan bahwa orang tua yang bercerai akan meningkatkan kemungkinan pada pernikahan anak remaja berakhir dengan perceraian. Penjelasan lainnya adalah bahwa anak-anak dari orang tua tunggal dan keluarga yang orangtuanya menikah lagi biasanya cenderung untuk menikah pada usia muda daripada anak-anak dari keluarga pada umumnya, yang biasanya akan meningkatkan kemungkinan terjadinya perceraian.

Dengan demikian terdapat beberapa faktor penyebab perceraian, antara lain: ketidakharmonisan dalam rumah tangga, krisis moral dan akhlak, perzinahan, pernikahan tanpa cinta, adanya masalah-masalah dalam perkawinan, umur saat menikah, tingkat sosial ekonomi, perkembangan soisoemosional dari masing-masing pasangan, dan sejarah dari keluarga yang bercerai. Namun dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan teori penyebab perceraian yang dikemukakan oleh Fauzi (2006), yaitu ketidakharmonisan dalam rumah tangga, krisis moral dan akhlak, perzinahan, pernikahan tanpa cinta, dan adanya masalah-masalah dalam perkawinan. Teori ini dipilih dengan alasan bahwa faktor-faktor penyebab perceraian tersebut lebih cocok untuk budaya masyarakat Indonesia.

II.C.3. Dampak Perceraian pada Anak

Reaksi anak terhadap perceraian berbeda-beda, tergantung pada tingkat usia anak tersebut. Menyalahkan diri sendiri (self-blame) hilang setelah anak berusia 6 tahun, perasaan takut ditinggalkan berkurang setelah 8 tahun, perasaan bingung dan takut pada anak kecil digantikan anak yang lebih dewasa dengan malu dan marah (Kelly & Wallerstein dalam Hughes & Noppe, 1985). Anak juga


(44)

akan menunjukkan beberapa gejala emosional, seperti: penyangkalan (saat mereka tidak percaya akan apa yang diberitahukan pada mereka), shock, kemarahan, konflik/pertentangan, kecemasan, ketidakpastian, kesepian, rasa bersalah, malu dan kesengsaraan. Perasaan anak-anak biasanya terungkap dengan meningkatnya gaya hidup yang tidak beraturan, kurang memperhatikan tugas sekolah dan PR, tidur larut malam dan terlambat ke sekolah, serta berkembangnya penyakit-penyakit psikosomatik sehingga tidak masuk sekolah. Penyakit-penyakit-penyakit psikosomatik ini lebih disebabkan oleh keadaan emosional ketimbang penyakit fisik (Charlish, 2003).

Hetherington (dalam Sigelman & Rider, 2003) mengatakan bahwa anak-anak yang dibesarkan dalam situasi perceraian akan mengalami kemarahan, ketakutan, depresi, dan merasa bersalah. Mereka menyalahkan diri sendiri dan merasa bertanggung jawab atas apa yang terjadi, karena mereka menganggap bahwa merekalah yang menjadi penyebab perceraian kedua orang tua mereka. Selain itu anak merasa bahwa perginya salah satu orang tua meninggalkan mereka dikarenakan orang tua sudah tidak menyayangi mereka lagi. Sering pula mereka berkhayal akan rujuknya kembali kedua orang tua mereka.

Amato & Keith (dalam Kail & Cavanaugh, 2000) menemukan hal penting lain akibat dari perceraian pada anak, yaitu: Pertama, akibat perceraian sama pada anak laki-laki dan anak perempuan; Kedua, perceraian lebih berbahaya pada anak masa sekolah dan anak remaja dibandingkan pra-sekolah atau dibangku kuliah; Ketiga, prestasi sekolah, perilaku, penyesuaian masih dipengaruhi perceraian. Ketika anak yang berasal dari keluarga bercerai berada pada usia dewasa,


(45)

pengaruh perceraian tetap ada. Sebagai orang dewasa, anak tersebut melaporkan kurang puas dengan kehidupan dan kelihatannya menjadi depresi serta mengalami perceraian juga (Furstenberg & Teitler dalam Kail & Cavanaugh, 2000).

Kajian lain yang dilakukan Gluecks (dalam Ihromi, 1999) menyimpulkan bahwa perceraian memberikan kontribusi terhadap tingkat delikuensi di kalangan remaja. Kesimpulan ini didukung oleh Browning (dalam Ihromi, 1999) yang mengadakan penelitian di kalangan remaja delikuen dan non-delikuen di Los Angeles. Dikatakan bahwa temuannya mendukung hipotesis bahwa anak-anak delikuen cenderung berasal dari keluarga-keluarga yang tidak harmonis yang orangtuanya bercerai.

Pada anak-anak yang orangtuanya bercerai, ternyata perilaku bermasalah tidak hanya mereka munculkan dirumah tetapi juga hubungan dengan teman-temannya mulai menegang, masalah akademis dan kesulitan untuk menyesuaikan diri di sekolah (Amato, Hetherington et al, dalam Sigelman & Rider, 2003). Bumpass dan Rindfuss (dalam Ihromi, 1999) mengatakan bahwa dari beberapa studi diketahui, anak-anak dari orang tua bercerai cenderung mengalami pencapaian tingkat pendidikan dan kondisi ekonomi yang rendah serta mengalami ketidakstabilan dalam perkawinan mereka sendiri. Masalah kesulitan ekonomi ini khususnya dialami oleh anak-anak yang berada di bawah pengasuhan ibu yang berasal dari strata bawah.

Menurut Amato (dalam Sigelman & Rider, 2003) efek perceraian tidak akan selesai setelah fase krisis itu terlewati. Perceraian akan meninggalkan bekas yang berupa dampak negatif untuk beberapa tahun setelahnya. Anak perempuan


(46)

dan laki-laki yang mengalami perceraian, prestasi akademik mereka lebih rendah pada usia 16 tahun dibandingkan dengan teman-teman seusianya (Jonsson & Gahler dalam Sigelman & Rider, 2003).

Dampak lain terhadap perceraian yang terlihat oleh Landis (dalam Ihromi, 1999) adalah meningkatnya ”perasaan dekat” anak dengan ibu serta menurunnya jarak emosional terhadap ayah. Ini terjadi bila anak berada dalam asuhan dan perawatan ibu. Selain itu anak-anak yang orangtuanya bercerai merasa malu dengan perceraian tersebut. Mereka menjadi inferior terhadap anak-anak lain. Tidak jarang pula mereka berbohong dengan mengatakan bahwa orang tua mereka tidak bercerai atau bahkan menghindari pertanyaan-pertanyaan tentang perceraian orang tua mereka.

Dengan melihat begitu banyaknya dampak negatif akibat sebuah perceraian, maka perlu disampaikan beberapa hal yang dapat dilakukan orang tua kepada anak-anaknya untuik meminimalisir dampak perceraian itu. Menurut Subotnik & Harris (2005) panduan tersebut adalah :

a. Anak-anak seharusnya diberitahukan secara bersama-sama oleh kedua orang tua tanpa kekerasan dan perasaan marah.

b. Anak-anak seharusnya tidak berada di tengah konflik orang dewasa dengan mengatakan adanya perselingkuhan yang dilakukan oleh orang tua.

c. Anak-anak perlu tahu bahwa mereka bukanlah penyebab retaknya perkawinan. d. Sampaikan pada anak-anak bahwa keputusan bercerai adalah keputusan orang


(47)

e. Anak-anak perlu tahu bahwa meskipun keduanya berpisah, tetapi orang tua mereka akan selalu mencintai dan menyayangi mereka.

f. Anak-anak seharusnya diberikan informasi yang akurat bahwa hidup mereka akan berubah.

g. Bagi para orang tua, dengarkanlah anak-anak secara seksama dan cobalah untuk mengurangi masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan sehari-hari nantinya.

h. Anak-anak seharusnya tidak menjadi perantara dan pembawa pesan antara orang tua yang telah berpisah.

i. Anak-anak seharusnya diizinkan untuk mencintai dan menikmati hubungan dengan orang tua dan keluarga barunya. Cobalah untuk menemukan hal-hal yang positif tentang keluarga barunya itu untuk bisa disampaikan padanya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perceraian memberikan dampak yang buruk bagi anak, baik itu bagi perkembangan fisik, kognitif, maupun mental/.psikologisnya. Dan dengan beberapa saran yang sudah diberikan tadi diharapkan dapat menjadi panduan bagi para orang tua yang memutuskan untuk bercerai, agar dapat meminimalisir dampak-dampak buruk yang muncul akibat perceraian tersebut.


(48)

II.D. Pemaafan pada Remaja yang Orangtuanya Bercerai

Remaja yang orangtuanya bercerai akan mengalami masalah-masalah yang berkaitan dengan proses perkembangannya yang mereka munculkan dalam bentuk gangguan fisik, psikologis, dan emosional. Dari pemaparan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa komposisi terbesar akan dampak emosional yang muncul adalah kemarahan. Mereka menjadi marah karena terlalu sering melihat orangtua bertengkar. Kemarahan juga bisa muncul karena anak korban perceraian harus hidup dalam ketegangan tetapi tidak suka hidup dalam ketegangan (http://www.telaga.org. Tanggal akses 22 April 2007).

Hetherington (dalam Sigelman & Rider, 2003) mengatakan bahwa anak-anak yang dibesarkan dalam situasi perceraian akan mengalami kemarahan, ketakutan, depresi, dan merasa bersalah. Mereka menyalahkan diri sendiri dan merasa bertanggung jawab atas apa yang terjadi, karena menganggap bahwa merekalah yang menjadi penyebab perceraian kedua orang tua mereka. Selain itu anak merasa bahwa perginya salah satu orang tua meninggalkan mereka dikarenakan orang tua sudah tidak menyayangi mereka lagi. Pada beberapa kasus perceraian, tidak jarang anak akan menyalahkan kedua orang tua, atau salah satunya, atas perceraian yang terjadi. Butuh waktu untuk meredakan kemarahan dan agar bisa menerima kenyataan akan perpisahan kedua orangtuanya (Charlish, 2003).

Kendati demikian tentu saja dampak negatif ini harus segera diatasi agar tidak terbawa anak hingga tahapan perkembangan selanjutnya. Ketika kemarahan menjadi sesuatu yang sangat melekat, bisa saja ini mengubah kepribadian mereka


(49)

sebelumnya. Anak-anak yang pada awalnya memiliki kepribadian bersahabat, pemaaf, baik, ceria dan karakter-karakter kepribadian lainnya berubah drastis. Hal ini akan mempengaruhi hubungannya dengan orang tua setelah perceraian terjadi.

Penting bagi orang tua untuk mengingat bahwa inilah peran yang mereka miliki seumur hidup. Hubungan sebagai orang tua bukanlah sesuatu yang dapat dilepaskan di saat situasi secara pribadi tidak menyenangkan atau tidak memuaskan. Walaupun orang tua boleh memutuskan bahwa perkawinan tidak lagi dapat diteruskan, mereka perlu dibantu untuk memahami bahwa hubungan sebagai orang tua harus terus berlanjut seumur hidup (Charlish, 2003).

Hubungan antara orang tua dan anak tidak dapat terjalin dengan baik jika salah satu pihak masih merasakan kemarahan dan kepedihan atas perceraian yang terjadi. Dalam hal ini anak adalah korban yang sangat dirugikan. Hal ini semakin ditegaskan dengan beberapa penelitian yang dilakukan, seperti yang telah disebutkan sebelumnya.

Charlish (2003) mengatakan butuh waktu sekian tahun bagi anak untuk bisa menerima utuh dan memahami kehilangan salah satu orang tua setelah perceraian terjadi. Menurut Chase-Lansdale, dkk (dalam Berk, 2000) anak yang orangtuanya bercerai dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap perceraian tersebut selama 2 (dua) tahun perceraian terjadi. Pada beberapa anak yang orangtuanya bercerai akan mengalami kepedihan emosi, ketakutan dan kesepian selama 2 – 5 tahun, bahkan ada yang lebih dari 5 tahun (Charlish, 2003). Kemarahan dan ketakutan yang dirasakan anak-anak ini harus dicari upaya untuk meredakannya bahkan kalau bisa menghilangkannya.


(50)

Dari pemaparan di atas dapat dilihat bahwa perceraian orang tua membawa dampak bagi anak-anak, yang dalam hal ini anak adalah sebagai korban. Dampak bagi anak bisa bersifat positif maupun negatif. Bagi anak-anak yang sering melihat orangtuanya bertengkar, perceraian mungkin bisa dianggap membawa dampak positif. Karena dengan bercerai maka anak-anak tidak akan melihat pertengkaran orangtuanya lagi. Namun kiranya dalam hal ini dampak negatif akan lebih banyak muncul. Baik itu secara fisik (anak akan terpisah dari salah satu orang tua), secara kogniitif (anak akan mengira bahwa kedua orangtuanya tidak mencintainya lagi) dan dampak psikologis (anak akan merasa tertekan dengan situasi sulit yang dihadapi sehubungan dengan perceraian orangtuanya). Ketiga dampak ini ini, baik fisik, kognitif maupun psikologisnya akan sangat mempengaruhi baik-tidaknya tumbuh-kembang seorang anak nantinya.

Kemarahan yang dirasakan anak-anak akibat perceraian orangtuanya akan mempengaruhi kesehatan mentalnya kelak, dimana faktor kesehatan mental ini berperan dalam baik-tidaknya tumbuh-kembang seorang anak nantinya. Dengan demikian kemampuaan memaafkan menjadi sangat penting bagi anak. Dengan memaafkan orangtuanya atas situasi sulit yang dihadapi kiranya akan membantu anak-anak untuk bisa lebih baik nantinya, terutama dalam komunikasi dengan orang tua dan lingkungan. Juga lebih baik dalam tumbuh-kembangnya baik itu secara fisik, kognitif maupun psikologis.


(51)

II.D. Kerangka Berfikir

Setiap individu yang memasuki gerbang pernikahan tentunya memiliki tujuan untuk membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan sejahtera secara lahir-batin. Seiring berjalannya waktu setelah terbentuknya suatu keluarga tentu saja banyak hal yang akan merintangi jalannya, sehingga bagi keluarga yang bisa menghadapinya akan menjadi keluarga yang bahagia. Namun bagi yang tidak mampu menghadapinya, hal ini bisa menyebabkan ketidakbahagiaan suatu keluarga. Masalah-masalah yang bisa menyebabkan tidak bahagianya suatu keluarga, diantaranya: terjadinya KDRT, masalah anak maupun masalah sosial-ekonomi.

Pada beberapa kasus keluarga yang tidak bahagia itu ada juga yang masih berusaha untuk tetap mempertahankan keutuhan keluarganya dengan berbagai alasan, meskipun kehidupan keluarga tersebut tidak lagi harmonis dan bahagia. Dan pada kasus yang lain, keluarga tersebut memilih untuk bercerai, karena keluarga tersebut tidak lagi harmonis dan bahagia. Perceraian bisa terjadi dalam suatu keluarga disebabkan oleh faktor-faktor, yaitu; ketidakharmonisan dalam rumah tangga, krisis moral dan akhlak, perzinahan, pernikahan tanpa cinta dan adanya masalah-masalah dalam perkawinan.

Perceraian yang terjadi dalam suatu keluarga dapat memberikan dampak baik itu bagi pasangan suami-istri maupun anak-anak. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh para ahli dapat disimpulkan bahwa anak-anak adalah pihak yang paling dirugikan ketika perceraian terjadi. Khususnya bagi anak yang masih remaja, perceraian orang tua dapat menjadi masalah yang cukup besar, mengingat


(52)

dalam tahap perkembangan seorang remaja, segala sesuatunya masih bersifat tidak stabil baik itu ketidakstabilan emosi, sifat maupun karakter. Perlu juga diingat bahwa pembentukan karakter dan mental yang sehat sangat penting diperhatikan dalam tahap perkembangan remaja agar tidak mengganggu perkembangan tahap selanjutnya.

Anak remaja yang orangtuanya bercerai akan menunjukkan reaksi-reaksi emosional, seperti kemarahan, malu, rasa bersalah, kesepian, kesengsaraan, shock, ketidakpastian, kecemasan, konflik/pertentangan dan penyangkalan, atas situasi yang terjadi. Dari semua reaksi emosional yang ditunjukkan remaja, kemarahan merupakan salah satu reaksi yang lebih mudah untuk dilihat dan ditampilkan dibandingkan reaksi-reaksi emosional lainnya. Ketika kemarahan terus dirasakan seorang remaja yang orangtuanya bercerai, hal ini akan menyebabkan perkembangan mental yang tidak sehat. Karena itu diperlukan suatu cara yang mengarahkannya untuk bisa memaafkan orangtuanya atas perceraian yang terjadi. Pemaafan pada remaja yang orangtuanya bercerai dipengaruhi oleh faktor-faktor, seperti; proses emosional dan kognitif, kualitas dari suatu hubungan dan faktor situasi. Terdapat4 fase yang dalam pemaafan, yaitu fase membuka kembali, fase memutuskan, fase bekerja dalam pemaafan dan fase pendalaman. Dengan fase-fase dan faktor-faktor yang mempengaruhi pemaafan tersebut peneliti ingin mengetahui bagaimana dinamika pemaafan pada remaja yang orangtuanya bercerai.


(53)

PARADIGMA PENELITIAN DAPAT DILIHAT PADA LEMBAR LAMPIRAN


(54)

BAB III

METODE PENELITIAN

III.A. Pendekatan Kualitatif

Menurut Kirk dan Miller (dalam Moleong, 2005) istilah penelitian kualitatif pada mulanya bersumber pada pengamatan kualititatif yang dipertentangkan dengan pengamatan kuantitatif. Pengamatan kuantitatif melibatkan pengukuran tingkatan suatu ciri tertentu, sedangkan penelitian kualitatif tampaknya diartikan sebagai penelitian yang tidak mengadakan perhitungan.

Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2005), mengadakan pengkajian selanjutnya terhadap istilah penelitian kualitatif, yang mendefinisikan “metodologi kualitatif” sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurut mereka, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik. Jadi, dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesa tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan.

Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2005) mengatakan salah satu kekuatan dari pendekatan kualitatif adalah dapat memahami gejala sebagaimana subjek mengalaminya, sehingga dapat diperoleh gambaran yang sesuai dengan diri subjek dan bukan semata-mata penarikan kesimpulan sebab akibat yang dipaksakan. Pendekatan kualitatif dipandang lebih sesuai untuk mengetahui


(55)

gambaran pemaafan pada remaja yang orangtuanya bercerai. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Poerwandari (2001) bahwa pendekatan yang sesuai untuk penelitian yang tertarik dalam memahani manusia dengan segala kekompleksitasannya sebagai makhluk subjektif adalah pendekatan kualitatif. Apabila merujuk kembali pada masalah yang hendak dijawab dalam penelitian ini, pendekatan kualitatif dipandang lebih sesuai untuk mengetahui gambaran pemaafan pada remaja yang orangtuanya bercerai.

III.B. Metode Pengambilan Data

Sesuai dengan sifat penelitian kualitatif yang terbuka dan luas, metode pengambilan data kualitatif sangat beragam. Menurut Poerwandari (2001), metode pengambilana data dalam penelitian kualitatif sangat beragam, disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian serta sifat objek yang diteliti. Metode pengambilan data dalam penelitian kualitatif antara lain: wawancara, observasi, diskusi kelompok terfokus, analisa terhadap karya (tulis, film dan karya seni lain), analisa dokumen, analisa catatan pribadi, studi kasus, studi riwayat hidup dan sebagainya.

Lofland dan Lofland (dalam Moleong, 2005) menyatakan bahwa sumber data utama dalam penelitian kulitatif adalah kata-kata atau tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Namun dalam penelitian ini, metode pengumpulan data yang digunakan adalah observasi dan wawancara yang dilakukan selama proses wawancara berlangsung.


(56)

III.B.1. Wawancara

Wawancara menurut Moleong (2005) adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu, berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain. Selanjutnya wawancara juga diartikan sebagai interaksi bertujuan antara dua orang atau lebih yang berfokus pada individu yang satu mendapatkan informasi dari individu yang lain (Gay dan Airasin, 2003).

Maksud mengadakan wawancara menurut Lincoln dan Guba (dalam Moleong 2005), antara lain: mengkonstruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian, dan lain-lain kebulatan; merekonstruksi kebulatan-kebulatan demikian sebagai yang dialami di masa lalu; memproyeksikan kebulatan-kebulatan sebagai yang telah diharapkan untuk dialami pada masa yang akan datang; memverifikasi, mengubah, dan memperluas informasi yang diperoleh dari orang lain, baik manusia maupun bukan manusia (triangulasi); dan memverifikasi, mengubah, dan memperluas konstruksi yang dikembangkan oleh peneliti sebagai pengecekan anggota.

Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara semi-terstruktur yaitu wawancara yang pertanyaannya ditentukan terlebih dahulu dan berbentuk open-ended question (Gay dan Airasian, 2003). Dalam penelitian ini


(57)

peneliti dilengkapi dengan pedoman wawancara yang berfungsi semata-mata untuk memuat pokok-pokok pertanyaan yang akan diajukan yaitu open-ended question (pertanyaan-pertanyaan terbuka) yang bertujuan menjaga agar arah wawancara tetap sesuai dengan tujuan penelitian (Poerwandari, 2001). Aspek yang ingin diungkap melalui wawancara dalam penelitian ini adalah hal-hal yang berhubungan dengan pemaafan pada remaja yang orangtuanya bercerai yaitu bagaimana fase membuka kembali, fase memutuskan, fase bekerja dalama pemaafan dan fase pendalaman dapat dilalui remaja yang orangtuanya bercerai dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi terbentuknya pemaafan pada remaja yang orangtuanya bercerai.

Selama wawancara berlangsung akan dilakukan observasi yaitu pengamatan terhadap situasi dan kondisi serta perilaku yang muncul saat dilakukan wawancara pada remaja yang orangtuanya bercerai. Menurut Wilkinson (dalam Minauli, 2002) observasi adalah aspek penting bagi banyak ilmu pengetahuan dan telah memainkan peranan penting dalam perkembangan psikologi sebagai suatu disiplin ilmu. Kekuatan utama observasi adalah karena ia dapat diamati secara langsung dan tepat. Selain itu tidak ada penundaan antara munculnya responden dengan pertanyaan dan pencatatannya.

Observasi adalah pengamatan dan pencatatan sistematis terhadap gejala-gejala yang diteliti. Observasi menjadi alat bantu tambahan setelah wawancara dilakukan untuk mengumpulkan data apabila; (a.) sesuai dengan tujuan penelitian, (b.) direncanakan dan dicatat secara sistematis, (c.) dapat dikontrol validitas dan reliabilitasnya (Usman dan Akbar, 2003). Observasi merupakan proses yang


(58)

kompleks, yang tersusun dari proses biologis dan psikologis. Dalam penggunaan teknik observasi yang terpenting adalah mengandalkan pengamatan dan ingatan peneliti (Usman dan Akbar, 2003).

Keuntungan dari observasi adalah; (a.) sebagai alat langsung yang dapat meneliti gejala, (b.) observee yang selalu sibuk lebih senang diteliti melalui observasi daripada diberi angket atau mengadakan wawancara, (c.) memungkinkan pencatatan serempak terhadap berbagai gejala, karena dibantu oleh observer lain atau dibantu oleh alat lainnya, (d.) tidak tergantung pada self-report (Narbuko dan Achmad, 2002).

Dalam penelitian ini akan digunakan observasi non-partisipan, dimana peneliti tidak terlibat dalam keseluruhan aktivitas yang dilakukan observee. Alasan mengapa peneliti memilih jenis observasi ini adalah keterbatasan waktu peneliti untuk ikut secara langsung dalam keseluruhan aktivitas yang dilakukan observee.

Adapun Hal-hal yang akan diobservasi adalah lingkungan fisik tempat dilakukannya wawancara, kondisi fisik dan emosional responden saat menjawab setiap pertanyaan dalam wawancara, serta hal-hal yang menganggu jalannya wawancara.


(59)

III.C. Responden Penelitian III.C.1. Karakteristik Responden

Pemilihan responden penelitian didasarkan ciri-ciri tertentu. Dalam penelitian ini akan diambil 4 responden. Adapun ciri-ciri responden tersebut adalah:

a. Remaja akhir

Yaitu remaja yang berada pada usia 16-18 tahun. b. Orangtuanya bercerai minimal 2 tahun

Menurut Chase-Lansdale, dkk (dalam Berk, 2000) anak yang orangtuanya bercerai dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap perceraian tersebut setelah 2 (dua) tahun perceraian terjadi. Pada beberapa anak yang orangtuanya bercerai akan mengalami kepedihan emosi, ketakutan dan kesepian selama 2 – 5 tahun, bahkan ada yang lebih dari 5 tahun (Charlish, 2005).

III. C.2. Jumlah Responden

Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2001), desain kualitatif memiliki sifat yang luwes, oleh sebab itu tidak ada aturan yang pasti dalam jumlah sampel yang harus diambil untuk penelitian kualitatif. Jumlah sampel sangat tergantung pada apa yang dianggap bermanfaat dan dapat dilakukan dengan waktu dan sumber daya yang tersedia.


(60)

Jumlah responden dalam penelitian ini adalah dua orang remaja laki-laki yang akan diwawancarai yaitu remaja yang orangtuanya telah bercerai minimal 2 tahun. Alasan utama pengambilan jumlah sampel tersebut adalah adanya keterbatasan dari peneliti sendiri baik itu waktu, biaya maupun kemampuan peneliti.

III.C.3. Prosedur Pengambilan Responden

Prosedur pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah berdasarkan konstruk operasional (theory-based/operational construct sampling). Sampel dipilih dengan kriteria tertentu yaitu berdasarkan teori memaafkan pada remaja yang orangtuanya bercerai. Hal ini dilakukan agar sampel benar-benar bersifat representatif, yang berarti dapat mewakili fenomena yang dipelajari.

III.D. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Binjai yaitu di rumah remaja yang orangtuanya bercerai. Pengambilan daerah penelitian tersebut adalah dengan alasan kemudahan untuk mendapatkan sampel penelitian, karena rumah peneliti berada di daerah tersebut. Lokasi penelitian dapat berubah sewaktu-waktu dan disesuaikan dengan keinginan responden penelitian agar responden penelitian merasa nyaman.


(61)

III.E. Alat Bantu Pengumpulan Data

Pencatatan data selama penelitian penting sekali karena data dasar yang akan dianalisa berdasarkan atas ”kutipan” hasil wawancara dan observasi. Oleh karena itu, pencatatan data harus dilakukan dengan cara yang sebaik dan setepat mungkin. Kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif sangatlah penting dan cukup rumit, untuk itu diperlukan suatu instrumen atau alat penelitian agar dapat membantu peneliti dalam pengumpulan data (Moleong, 2005) Alat bantu yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Alat perekam (tape recorder)

Alat perekam digunakan untuk memudahkan peneliti untuk mengulang kembali hasil wawancara yang telah dilakukan. Dengan adanya hasil rekaman wawancara tersebut akan memudahkan peneliti apabila ada kemungkinan data yang kurang jelas sehingga peneliti dapat bertanya kembali kepada responden. Penggunaan alat perekam ini dilakukan setelah memperoleh persetujuan dari responden. Selain itu penggunaan alat perekam memungkinkan peneliti untuk lebih berkonsentrasi pada apa yang akan dikatakan oleh subjek, alat perekam dapat merekam nuansa suara dan bunyi aspek-aspek wawancara sseperti tertawa, desahan, sarkasme secara tajam (Padget, 1998).

2. Pedoman wawancara

Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek


(1)

(2)

PEDOMAN WAWANCARA 1. Fase-fase dalam Pemaafan

a. Fase Membuka Kembali

1. Bagaimana responden mengalihkan perhatian dari peristiwa menyakitkan yang dialaminya?

2. Bagaimana cara responden mengatasi kemarahan yang muncul karena perceraian orangtuanya?

3. Apakah responden takut untuk mengungkapkan perasaan malu yang dirasakannya?

4.Bagaimana repsonden melampiaskan kemarahan yang dirasakannya?

5. Apakah setelah orangtua bercerai, responden sering memikirkan peristiwa tersebut?

6. Pernahkan responden membandingkan situasi yang dialaminya dengan situasi kedua orangtuanya?

7. Apakah perceraian telah menyebabkan perubahan yang menetap dalam kehidupan responden?

8. Apakah perceraian telah mengubah pandangan individu akan ketidakadilan yang diterima atas perceraian orangtuanya?

9. Berapa lama perasaan marah yang dirasakan tersebut bisa diatasi (paling tidak dikurangi bila tidak bias dihilangkan)?

b. Fase Memutuskan

1. Pernahkah responden tersirat dalam hati nahwa percuma saja jika memendam kemarahan kepada kedua orang tua atas keputusan yang menyakitkan tersebut?


(3)

3. Apakah responden bersedia (berkomitmen) untuk memaafkan kedua orangtuanya yang telah bercerai? Mengapa demikian?

4. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk bisa sampai pada tahap bersedia memaafkan kedua orang tua?

c. Fase Bekerja dalam Pemaafan

1. Pernahkah responden berpikir bagaimana rasanya bila berada dalam posisi kedua orang tua (sehingga harus mengambil keputusan yang menyakitkan tersebut)?

2. Bagaimana responden berusaha untuk melakukan sesuatu untuk bisa merasakan seandainya ia berada dalam posisi orang tua yang bercerai tadi?

3.Apakah responden telah bisa menerima rasa sakit atas luka (peristiwa menyakitkan) yang dialaminya? Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk itu?

d. Fase Pendalaman

1. Apakah responen telah dapat menemukan sebuah makna baru setelah bisa memaafkan kedua orang tua?

2. Pernahkah responden mencoba untuk menemukan bahwa ia juga butuh dimaafkan pada masa yang lalu?

3. Apakah responden menyadari bahwasanya ia tidak sendiri setelah peristiwa menyakitkan tersebut terjadi?

4. Apakah responden berusaha untuk menemukan tujuan hidupnya?

5. Apakah responden menemukan kebebasan setelah memaafkan?Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk bisa sampai pada betapa leganya setelah bisa memaafkan kedua orang tua?


(4)

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Memaafkan a. Proses emosional dan kognitif

- Apa yang responden rasakan setelah orangtuanya bercerai? - Apa yang responden pikirkan setelah orangtuanya bercerai?

- Pernahkah responden memandang perceraian dari sisi kedua orangtuanya?

- Apakah responden berusaha untuk menekan perasaan marah yang muncul akibat perceraian orangtuanya?

- Bagaimana dampak (secara fisik dan psikologis) yang dirasakan responden setelah berusaha menekan perasaan marah tersebut?

- Apakah sulit untuk melupakan peristiwa perceraian tersebut? Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk melupakannya?

b. Kualitas dari suatu hubungan

- Bagaimana hubungan responden dengan kedua orang tua setelah perceraian terjadi?

- Apakah responden bersedia membangun hubungan yang lebih baik dengan kedua orangtuanya setelah perceraian terjadi? Mengapa demikian?

- Apa yang responden lakukan untuk bisa menjalin hubungan yang lebih baik lagi dengan kedua orangtuanya?

c. Faktor Situasi

- Bagaimana situasi di rumah setelah perceraian terjadi?

- Apakah situasi di rumah mempengaruhi kondisi prikologis individu (remaja) setelah orangtuanya bercerai? Bagaimana itu terjadi?


(5)

(6)

II.F. PARADIGMA PENELITIAN

Pernikahan

Keluarga

Bahagia Tidak bahagia

Utuh Tidak utuh

- KDRT

- Masalah anak - Sosial-ekonomi

Perceraian

Dampak

Pasangan suami-istri Anak (Remaja)

Reaksi emosional

Kemarahan Malu Rasa

bersalah

Kesepian Kesengsaraan Shock Ketidakpastian Kecemasan Konflik/per tentangan

Penyangkalan

Pemaafan Ya

Faktor-faktor penyebab:

- Ketidakharmonisan dalam rumah tangga. - Krisis moral dan akhlak.

Perzinahan.

- Pernikahan tanpa cinta.

- Adanya masalah-masalah dalam perkawinan.