Perjanjian Pelaksanaan Pengadaan Tenaga Kerja Office Boy Antara Pt.Pertamina (Persero) Dengan Pt.Rajawali Karya Mandiri
PERJANJIAN PELAKSANAAN PENGADAAN TENAGA KERJA OFFICE BOY ANTARA PT.PERTAMINA (PERSERO) DENGAN PT.RAJAWALI
KARYA MANDIRI
DiajukanuntukMelengkapiTugas - Tugasdan MemenuhiSyarat – SyaratUntukMemperoleh
GelarSarjanaHukum
Oleh :
DHABITAH AMALINA U.TANJUNG 100200337
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
PERJANJIAN PELAKSANAAN PENGADAAN TENAGA KERJA OFFICE BOY ANTARA PT.PERTAMINA (PERSERO) DENGAN PT.RAJAWALI
KARYA MANDIRI
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh
100200337
DHABITAH AMALINA U.TANJUNG
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW
Disetejui Oleh
Ketua Departemen Hukum Keperdataan
NIP.196603031985081001 Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Syamsul Rizal,SH, M.Hum
NIP.196402161989111001 NIP.196101181988031010 ZulkifliSembiring, SH, MH
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(3)
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam senantiasa penulis panjatkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah membimbing umat manusia dari masa kegelapan ke masa yang terang benderang.
Penulisan skripsi ini adalah sebagai suatu persyaratan untuk kelak memperoleh gelar Sarjana Hukum Jurusan Keperdataan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
Oleh karena itu, guna memenuhi persyaratan tersebut, penulis mencoba membuat skripsi dengan judul : PERJANJIAN PELAKSANAAN PENGADAAN TENAGA OFFICE BOY ANTARA PT.PERTAMINA (PERSERO) DENGAN PT.RAJAWALI KARYA MANDIRI
Disini penulis juga menyadari terhadap penulisan dan pembahasan skripsi ini masih banyak dijumpai berbagai kekurangan baik dalam segi penguasaan susunan bahasa ataupun substansi isi dari penulisan skripsi ini. Oleh sebab itu, dengan segala kerendahan hati penulis sangat mengharapkan adanya kritikan dan saran yang dapat mendukung terwujudnya kesempurnaan tulisan ini.
Dalam penyelesaian skripsi ini penulis telah banyak mendapatkan bantuan-bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahrial Pasaribu, DTM&H, Msc (CTM), Sp. A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, yang telah membina dan
(4)
memberikan pandangannya dalam pendidikan di dalam kampus maupun di luar kampus.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,
3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan IFakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, M.Hum, DMF selaku Pembantu Dekan IIFakultasHukumUniversitas Sumatera Utara.
5. Bapak Dr.OK.Saidin, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan IIIFakultasHukumUniversitas Sumatera Utara.
6. Bapak Dr. Hasim Purba, SH, M.Hum selaku Dosen dan Ketua Departemen Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
7. Bapak Syamsul Rizal, SH, M.Hum dan juga selaku Dosen Pembimbing I danBapakZulkifliSembiring, SH, MH selaku Dosen Pembimbing II yang telah Dosen Pembimbing yang telah sabar memberikan bimbingan selama proses penyusunan skripsi ini, terima kasih untuk segala nasehat dan saran-saran yang diberikan untuk penulis.
8. Bapak dan Ibu para Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah mendidik dan membimbing penulis sampai tingkat Sarjana Hukum,
9. Seluruh staf Biro Pendidikan, yang telah banyak memberikan bantuan dalam penyusunan skripsi ini.
10. Keluarga penulis , Ayahanda Muhammad Bustami Tanjung dan Ibunda Ummi Salamah Lubis, Dan juga kepada kakakku tercinta Namira Listya
(5)
Utami Tanjung , sertaadik- adikku yang bernama Muhammad Raja’a Fawwaz Tanjung dan Muhammad Raffiuddin Tanjung yang terus mendoakan, mendukung, memberi semangat bagi, dan menjadi inspirasi bagi Penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini
11.Bapak Syarifuddin Rangkuti selaku Direktur Utama di PT.Rajawali Karya Mandiri tempat Penulis melakukan penelitian skripsi ini, yang sangat membantu Penulis dalam memperoleh data dan keterangan demi kepentingan penulisan skripsi ini.
12.Terima kasih jugauntuk Ricky Syahputra yang selalu memberikan bantuan, semangat, motivasi yang tiada hentinya.
13.Sahabat-sahabatku Fitri Hidayanti , Indah Pradini Naska, Hanny Luvika,Nopita Khairani, Halima Tu’sadiah yang telah memberikan semangat, bantuan, dan motivasi dalam penyelesaian skripsi ini.
14.Dan kepada teman-teman Mahasiswa baik teman satu angkatan dan junior seluruhnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu namanya serta senior yang banyak memberikan arahan-arahan serta bimbingan kepada penulis.
15.Kepada pegawai di Fakultas Hukum yang telah membantu selama pengurusan akademik penulis selama di Fakultas Hukum USU.
Terakhir sebagai penutup kata, penulis mengharapkan agar tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis sendiri di dalam menambah wawasan ilmu hukumterutamatentangkontrakatauperjanjian. Dan penulis juga
(6)
berdoa semoga ilmu yang telah penulis dapatkan dapat dipergunakan untuk kepentingan agama, nusa, maupun bangsa.
Medan, April 2014 Hormat Penulis
(7)
ABSTRAK
*DhabitahAmalinaU.Tanjung **Syamsul Rizal, SH, Hum ***ZulkifliSembiring, SH, MH
Dalam persaingan usaha yang makin ketat, perusahaan berusaha untuk melakukan efisiensi biaya produksi . Salah satu solusinya adalah dengan sistem outsourcing, dimana dengan sistem ini perusahaan dapat menghemat pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia (SDM) yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan. Outsourcing diartikan sebagai pemindahan atau pendelegasian beberapa proses bisnis kepada suatu badan penyedia jasa, dimana badan penyedia jasa tersebut melakukan proses administrasi dan manajemen berdasarkan definisi serta kriteria yang telah disepakati oleh para pihak. Outsourcing dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia diartikan sebagai pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa tenaga kerja. Banyak perusahaan yang bergerak di bidang penyediaan tenaga kerja menawarkan ke perusahaan-perusahaan pemberi kerja maka perusahaan yang memerlukan tenaga tidak perlu susah-susah mencari, melakukan seleksi dan melatih tenaga kerja yang dibutuhkan .
Sehingga yang menjadipermasalahandalamskripsiiniyaitu
,bagaimanajenisperjanjian , hakdankewajibanparapihakdanpenyelesaikansengketaparapihak .
Metodepenulisan yang penulisgunakandalampenulisanskripsiini, merupakangabungandarimetodenormatifdandeskriptif, Teknikpengumpulan data meliputi :studidokumenyaitupenelitian yang
dilakukandenganmembacabuku-buku, catatan-catatankuliah, danmakalah-makalah yang adakaitannyadenganjudulskripsiini,
danPenelitianLapanganyaituuntukmemperoleh data-data yang objektifsehubungandenganjudulskripsiini,
termasukmelakukanwawancaradenganpihak-pihak yang dianggapperlu.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, penulis menyimpulkan bahwa:Dalam perjanjian pelaksanaan pengadaan tenaga office boy antara PT. Pertamina (persero) dengan PT. Rajawali karya mandiri , jenis perjanjian pengadaan barang dan jasa ini pembiayaannya tidak menggunakan dana langsung dari APBN/APBD melainkandanadarianggaran BUMN sendiri. Dan bentuk perjanjian ini adalah tertulis sesuai dengan perjanjian pada umumnya, hakdankewajibannyasudahsesuaidenganketentuanundang – undang yang berlakudanpenyelesaikan sengketa para pihakdi tempuh dengan cara musyawarah(kekeluargaan) danpengadilan (litigasi)
*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
**Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ***Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
(8)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……… i
ABSTRAK ……….. v
DAFTAR ISI ……….. vi
Halaman BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ……… 1
B. Rumusan Masalah ………. 3
C. Tujuan Penulisan………. 3
D. Manfaat Penulisan ………..……… 4
E. Metode Penulisan ………..………. 4
F. Keaslian Penulis ……….. 6
G. Sistematika Penulisan ……….. 7
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian ………..……… 9
B. Jenis – jenis Perjanjian ……… 15
C. Asas Perjanjian ……… 19
D. Syarat Sah Perjanjian ……….. 25
E. Wanprestasi ………..………. 38
F. Penghentian dan Pemutusan Kontrak ………... 41
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PENGADAAN BARANG ATAU JASA
(9)
A. Pengertian Pengadaan Barang atau Jasa ……….. 43
B. Dasar Hukum Pengadaan Barang atau Jasa ………. 45
C. Persyaratan Umum Pengadaan Barang atau Jasa ………. 48
D. Subjek Pengadaan Barang atau Jasa ……… 57
E. Hak dan Kewajiban Pengadaan Barang atau Jasa ……… 64
BAB IV PERJANJIAN PELAKSANAAN PENGADAAN TENAGA KERJA OFFICE BOY ANTARA PT.PERTAMINA (PERSERO) DENGAN PT.RAJAWALI KARYA MANDIRI A. Selintas tentang PT.Pertamina (Persero) dan PT.Rajawali Karya Mandiri ………... 68
B. Hak dan Kewajiban Para Pihak ……….…. 72
C. Pengaturan Tentang Waktu Kerja ……….. 75
D. Pengaturan Tentang Pengupahan ………... 78
E. Pengaturan Tentang Denda atau Sanksi ………. 82
F. Penyelesaian Sengketa dalam Perjanjian ……….. 84
BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN ………..……….………….. 87
B. SARAN……… 88
DAFTAR PUSAKA LAMPIRAN
(10)
ABSTRAK
*DhabitahAmalinaU.Tanjung **Syamsul Rizal, SH, Hum ***ZulkifliSembiring, SH, MH
Dalam persaingan usaha yang makin ketat, perusahaan berusaha untuk melakukan efisiensi biaya produksi . Salah satu solusinya adalah dengan sistem outsourcing, dimana dengan sistem ini perusahaan dapat menghemat pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia (SDM) yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan. Outsourcing diartikan sebagai pemindahan atau pendelegasian beberapa proses bisnis kepada suatu badan penyedia jasa, dimana badan penyedia jasa tersebut melakukan proses administrasi dan manajemen berdasarkan definisi serta kriteria yang telah disepakati oleh para pihak. Outsourcing dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia diartikan sebagai pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa tenaga kerja. Banyak perusahaan yang bergerak di bidang penyediaan tenaga kerja menawarkan ke perusahaan-perusahaan pemberi kerja maka perusahaan yang memerlukan tenaga tidak perlu susah-susah mencari, melakukan seleksi dan melatih tenaga kerja yang dibutuhkan .
Sehingga yang menjadipermasalahandalamskripsiiniyaitu
,bagaimanajenisperjanjian , hakdankewajibanparapihakdanpenyelesaikansengketaparapihak .
Metodepenulisan yang penulisgunakandalampenulisanskripsiini, merupakangabungandarimetodenormatifdandeskriptif, Teknikpengumpulan data meliputi :studidokumenyaitupenelitian yang
dilakukandenganmembacabuku-buku, catatan-catatankuliah, danmakalah-makalah yang adakaitannyadenganjudulskripsiini,
danPenelitianLapanganyaituuntukmemperoleh data-data yang objektifsehubungandenganjudulskripsiini,
termasukmelakukanwawancaradenganpihak-pihak yang dianggapperlu.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, penulis menyimpulkan bahwa:Dalam perjanjian pelaksanaan pengadaan tenaga office boy antara PT. Pertamina (persero) dengan PT. Rajawali karya mandiri , jenis perjanjian pengadaan barang dan jasa ini pembiayaannya tidak menggunakan dana langsung dari APBN/APBD melainkandanadarianggaran BUMN sendiri. Dan bentuk perjanjian ini adalah tertulis sesuai dengan perjanjian pada umumnya, hakdankewajibannyasudahsesuaidenganketentuanundang – undang yang berlakudanpenyelesaikan sengketa para pihakdi tempuh dengan cara musyawarah(kekeluargaan) danpengadilan (litigasi)
*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
**Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ***Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
(11)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum Perdata merupakan sekumpulan aturan yang memuat ketentuan bagaimana seseorang bertingkah laku baik di keluarga maupun di masyarakat sekitar.Salah satu aspek dari hukum perdata yang dapat mengatur tingkah laku manusia adalah perjanjian dan pada suatu perjanjian tentu diberlakukan asas pacta sunt servanda.Artinya, perjanjian yang lahir akan mengikat para pihak layaknya suatu undang-undang baik perjanjian yang berasal dari kesepakatan bersama maupun yang berasal dari kesepakatan salah satu pihak dalam perjanjian.
1
Dalam suatu perjanjian ada banyak jenis dan bentuk perjanjian .Salah satu bentuk perjanjian itu adalah perjanjian/ kontrak pengadaan barang dan jasa.Perjanjian pengadaan barang dan jasa termasuk dalam perjanjianpemborongan yang terdapat dalam Pasal 1601 , 1601b , 1604 – 1616 KUH Perdata bahwa agar pengadaan barang dan jasa pemerintah dapat dilaksanakan dengan efektif, efisien, dengan prinsip persaingan sehat,
Pengertian perjanjian tersebut ternyata mempunyai arti yang luas dan umum sekali, tanpa menyebutkan untuk tujuan apa suatu perjanjian dibuat, hanya menyebutkan tentang pihak yang satu atau lebih, mengikatkan dirinya pada pihak lainnya. Karena itu suatu perjanjian akan lebih tegas artinya, jika pengertian perjanjian diartikan sebagai suatu persetujuan dimana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam bidang harta kekayaan.
1
Mohd. Syaufii Syamsuddin .,Perjanjian-Perjanjian dalam Hubungan Industrial (Jakarta: Sarana Bakti Persada, 2005) , hlm.3
(12)
transparan,terbuka dan kompetitif dapat memberikan pelayanan publik yang lebih baik .
Dalam persaingan usaha yang makin ketat, perusahaan berusaha untuk melakukan efisiensi biaya produksi . Salah satu solusinya adalah dengan sistem outsourcing, dimana dengan sistem ini perusahaan dapat menghemat pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia (SDM) yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan.Outsourcing diartikan sebagai pemindahan atau pendelegasian beberapa proses bisnis kepada suatu badan penyedia jasa, dimana badan penyedia jasa tersebut melakukan proses administrasi dan manajemen berdasarkan definisi serta kriteria yang telah disepakati oleh para pihak. Outsourcing dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia diartikan sebagai pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa tenaga kerja.pengaturan hukum outsourcing di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaaan .
Mempekerjakan karyawan dalam ikatan kerja outsourcing nampaknya sedang menjadi trend atau model bagi pemilik, atau pemimpin perusahaan, baik itu perusahaan milik negara maupun perusahaan milik swasta. Banyak perusahaan outsourcing yakni perusahaan yang bergerak di bidang penyediaan tenaga kerja menawarkan ke perusahaan-perusahaan pemberi kerja maka perusahaan yang memerlukan tenaga tidak perlu susah-susah mencari, melakukan seleksi dan melatih tenaga kerja yang dibutuhkan .Sehingga banyak perusahan – perusahan yang memakai jasa outsourcing. Outsourcing itu sendiri sangat membantu agar tidak langsung mengangkat tenaga kerja menjadi pegawai tetap selain itu juga menekan pengeluaran tunjangan dan tidak ada uang pesangon bila mereka berhenti atau diberhentikan . Selain itu tidak susah mencari tenaga kerja ,
(13)
perusahan hanya perlu melampirkan persyaratan yang dibutuhkan kepada jasa outsourcing.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan menuangkannya dalam bentuk skripsi yang berjudul:
“PERJANJIAN PELAKSANAAN PENGADAAN TENAGA KERJA
OFFICE BOY ANTARA PT.PERTAMINA ( PERSERO) DENGAN PT.RAJAWALI KARYA MANDIRI
B.Rumusan Permasalahan
Dari latar belakang di atas ada pun rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah jenis perjanjian pelaksanaan pengadaan tenaga kerja office boy antara PT.Pertamina (Persero) dengan PT.Rajawali Karya Mandiri ?
2. Apakah pengaturan hak dan kewajiban para pihak sesuai dengan ketentuan yang berlaku ?
3. Bagaimanakah penyelesaian sengketa para pihak ? C.Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penulisan skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui jenis perjanjian yang ada dalam perjanjian pelaksanaan pengadaan tenaga kerja office boy antara PT.Pertamina (Persero) dengan PT.Rajawali Karya Mandiri
(14)
3. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa yang terjadi dalam perjanjian dengan para pihak.
D.Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penulisan skripsi ini dapat dilihat dari dua sisi yaitu :
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi dunia pendidikan dan akademisKhususnya.Untuk menambah literatur dalam bidang hukum perdata pada umumnya dan perjanjian pengadaan tenaga kerja sehingga dapat lebih mengembangkan khasanah ilmu pengetahuan.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dan masukan bagi pembaca, dan pemahaman hukum mengenai perjanjian pengadaan bagi pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian pengadaan tenaga kerja.
E.Metode Penelitian
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya.Kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas pemasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala yang bersangkutan.2
2
SoerjoNoSoekanto ., Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1986) , hlm. 43
(15)
Untuk memperoleh bahan-bahan atau data yang diperlukan dalam skripsi ini, penulis melakukan penelitian hukum dengan menggunakan cara-cara atau metode-metode tertentu sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif.normatif maksudnya penelitian yang dilakukan berdasarkan norma atau kaidah yang berlaku. Adapun sifat dari penulisan skripsi ini adalah deskriptif yaitu menggambarkan secara sistematis dan jelas dimana kita melakukan penelitian termasuk survey ke lapangan untuk memperoleh data.
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data sekunder yaitu data yang bersumber dari penelitian kepustakaan yang diperoleh dari:
a. Bahan hukum primer yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang yakni berupa Undang- Undang, Peraturan Pemerintah, dan lain-lain.
b. Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan dari buku hukum yang memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti hasil penelitian dan pendapat dari pakar hukum. Termasuk juga semua dokumen yang merupakan informasi atau merupakan kajian berbagai media seperti koran, majalah, artikel-artikel yang dimuat di berbagai website di internet.
(16)
c. Bahan Hukum Tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk, maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara:
a. Penelitian Kepustakaan (library Research) yaitu meneliti sumber-sumber bacaan yang berhubungan dengan permasalahan dalam skripsi ini, seperti buku-buku hukum, majalah hukum, artikel-artikel, peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, pendapat sarjana dan bahan-bahan lainnya.
b. Penelitian Lapangan (Field Research) yaitu penelitian yang dilakukan pada dalam bentuk studi kasus. Penulis melakukan studi kasus terhadap permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan, untuk melengkapi bahan yang diperoleh dalam penelitian kepustakaan di atas.
F.Keaslian penulisan
Berdasarkan penelusuran yang dilakukan penulis, diketahui bahwa skripsi dengan judul “ PerjanjianPelaksanaan Pengadaaan Tenaga Kerja Office boy Antara PT.Pertamina (Persero) dengan PT.Rajawali Karya Mandiri “ belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Sumatera Utara. Maka penulis bertanggungjawab penuh untuk menyelesaikan skripsi dengan tidak ada judul yang serupa dengan skripsi yang pernah ada di Fakultas Hukum. Dan bila di
(17)
kemudian hari ditemukan skripsi dengan judul yang sama yang telah ada sebelumnya, maka hal tersebut menjadi tanggung jawab penulis.
G.Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penulisan skripsi ini maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang terbagi dalam 5 bab dengan bab yang lain yang saling berkaitan satu sama lain. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah :
BAB I PENDAHULUAN
Menjelaskan secara umum mengenai latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, metode penelitian, keaslian penulisan, yang kemudian diakhiri dengan sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN
Bab ini menjelaskan mengenai tinjauan umum mengenai perjanjian pengadaan tenaga kerja yang terdiri dari 6 sub bab, yaitu Pengertian Perjanjian, jenis – jenis perjanjian , asas perjanjian , syarat sah perjanjian , wanprestasi dan pengehentian dan pemutusan perjanjian.
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGADAAN BARANG ATAU JASA
Bab ini menjelaskan mengenai segi pembuatan dari perjanjian pengadaan barang atau jasa terdiri atas 5 sub bab, yaitu: Pengertian pengadaan barang atau
(18)
jasa , dasar hukum pengadaan barang atau jasa , persyaratan umum pengadaan barang atau jasa , subjek pengadaan barang atau jasa dan hak dan kewajiban pihak dalam pengadaan barang atau jasa .
BAB IV PERJANJIAN PELAKSANAAN PENGADAAN TENAGA KERJA OFFICE BOY ANTARA PT.PERTAMINA (PERSERO) DENGAN PT.RAJAWALI KARYA MANDIRI
Bab ini membahas mengenai perjanjian pengadaan tenaga kerja , terdiri atas 6 sub bab, yaitu: Selintas tentang PT.Pertamina dan PT.Rajawali Karya Mandiri , hak dan kewajiban para pihak , pengaturan tentang waktu kerja , pengaturan tentang pengupahan , pengaturan tentang denda atau sanksi dan penyelesaian sengketa dalam perjanjian.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisi kesimpulan dan saran terhadap hasil analisis yang dilakukan.Kesimpulan merupakan intisari dari pembahasan terhadap permasalahan yang diajukan dalam skripsi ini, sedangkan saran yang ada diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi para pembaca dan dapat berguna bagi pihak-pihak yang terlibat dalam Perjanjian Pengadaan Tenaga Kerja.
(19)
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN
A. Pengertian Perjanjian
Para Sarjana Hukum di Indonesia memakai istilah yang berbeda - beda untuk perjanjian. Menurut Munir Fuady, istilah perjanjian merupakan kesepadanan dari istilah overeenkomst dalam bahasa Belanda atau agreement dalam bahasa Inggris.3Achmad Ichsan memakai istilahverbintenis untuk perjanjian, sedangkan Utrecht dalam bukunya Pengantar dalam Hukum Indonesia memakai istilah overeenkomst untuk perjanjian.4
KUH Perdata memberi keleluasaan bagi para pihak yang mengadakan perjanjian untuk membentuk kesepakatan di dalam maupun di luar KUH Perdata itu sendiri.Peraturan ini berlaku untuk semua pihak yang mengadakan kesepakatan, yang tidak bertentangan dengan undang-undang, norma-normakesusilaan yang berlaku. Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, harus dapat Hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya selalu terwujud dalam pergaulan sehari-hari.Hal ini disebabkan adanya tujuan dan kepentingan yang sangat beraneka ragam.Dalam hal adanya tujuan dan kepentingan yang ingin dicapai maka untuk mewujudkan kebutuhan para pihak tersebut, terlebih dahulu harus dipertemukan kehendak yang mereka inginkan.Hal inilah yang menjadi dasar utama untuk terjadinya suatu perjanjian.
3
Munir Fuady., Hukum Kontrak “Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis”, ( Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 2
4
Titik Triwulan Tutik., Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: kencana, 2008), hlm.197
(20)
menumbuhkan kepercayaan di antara para pihak bahwa satu sama lain akan memenuhi prestasinya dikemudian hari. Dengan adanya kepercayaan ini, kedua pihak mengikatkan dirinya kepada perjanjian yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.5
Definisi perjanjian yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata adalah tidak lengkap dan terlalu luas, tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan - perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin yang merupakan perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku III, perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku III kriterianya dapat dinilai secara materil, dengan kata lain dinilai dengan uang.
Pengertian perjanjian diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang - Undang Hukum Perdata, yang selanjutnya disebut KUH Perdata dinyatakan bahwa : “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”
Ada beberapa kelemahan dari pengertian perjanjian yang diatur dalam ketentuan di atas, seperti yang dinyatakan oleh Mariam Darus Badrulzaman (et.all) dalam bukunya Kompilasi Hukum Perikatan bahwa:
6
Abdul Kadir Muhammad Menyatakan kelemahan Pasal tersebut adalah sebagai berikut:7
1. Hanya menyangkut sepihak saja.
Hal tersebut dapat diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya pada satu orang atau lebih”.Kata “mengikatkan
5
Mariam Darus Badrulzaman (1).,Aneka Hukum Bisnis,(Bandung : Alumni, 1994), Hlm.42
6
Mariam Darus Badrulzaman, et.all.,Kompilasi Hukum Perikatan, (Jakarta : Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 65
7
Abdul Kadir Muhammad., Hukum Perikatan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1990), hlm.78
(21)
diri”sifatnya hanya datang dari satu pihak saja,tidak dari kedua belah pihak seharusnya dirumuskan saling mengikatkan diri, jadi ada consensus antara pihak-pihak.
2. Kata “perbuatan”mencakup juga tanpa consensus.
Pengertian perbuatan termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa, tindakan melawan hukum yang tidak mengandung consensus, seharusnya digunakan kata persetujuan.
3. Pengertian perjanjian terlalu luas.
Pengertian perjanjian dalam Pasal tersebut terlalu luas karena mencakup juga pelangsungan perkawinan, yaitu janji kawin yang diatur dalam lapangan hukum keluarga.Padahal yang dimaksudkan adalah hubungan antara kreditur dengan debitor dalam lapangan harta kekayaan saja.Perjanjian yang dikehendaki oleh buku III KUH Perdata sebenarnya adalah perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan perjanjian yang bersifat personal.
4. Tanpa menyebutkan tujuan mangadakan perjanjian.
Tanpa menyebut tujuan mangadakan perjanjian sehingga pihak - pihak yang mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa. Perjanjian memiliki definisi yang berbeda-beda menurut pendapat para ahli yang satu dengan yang lain. Secara umum, perjanjian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah persetujuan (baik lisan maupun tulisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing berjanji akan mentaati apa yang disebut dalam persetujuan itu.
(22)
Menurut Sri Soedewi Masychon Sofwan, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana seorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih.8
Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian adalah :9
Subekti mengatakan bahwa, “Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana 2 (dua) orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.
Suatu persetujuan dengan dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.Dalam defenisi tersebut, secara jelas terdapat consensus antara para pihak, yaitu persetujuan antara pihak satu dengan pihak lainnya.Selain itu juga, perjanjian yang dilaksanakan terletak pada lapangan harta kekayaan.
10
Menurut M. Yahya Harahap,
Dari perjanjian tersebut maka timbul perikatan. Perikatan menurut Subekti merupakan suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi kewajiban itu.
11
8
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan., Hukum Perjanjian, (Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada ,1982), hlm. 8
9
Abdul Kadir Muhammad, Op.cit., hlm.4 10
R. Subekti.,Hukum Perjanjian. (Jakarta :Pembimbing Masa, 1980), hlm 1. 11
M. Yahya Harahap., Segi-segi Hukum Perjanjian. (Bandung :Alumni, 1986) , hlm 6 perjanjian atau verbintenis adalah suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak yang lain untuk menunaikan prestasi. Unsur dari wujud pengertian perjanjian tersebut di atas adalah hubungan hukum yang menyangkut hukum harta kekayaan antara dua orang (person) atau lebih, yang memberikan hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi.
(23)
Menurut Setiawan , perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.12
Menurut Wirjono Prodjodikoro, perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai benda antara dua pihak dalam mana salah satu pihak berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.13
Menurut Syahmin AK, dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji - janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.14
a. Adanya pihak - pihak yang sekurang-kurangnya dua orang.
Dari beberapa pengertian di atas, tergambar adanya beberapa unsur perjanjian, antara lain:
Pihak - pihak yang dimaksudkan di sini adalah subyek perjanjian yang dapat berupa badan hukum dan manusia yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum menurut undang - undang. Dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor). Masing - masing pihak tersebut dapat terdiri dari satu orang atau lebih orang,
12
Setiawan.,Pokok- Pokok Hukum Perikatan, (Bandung : Alumni, 1979), hlm. 4 13
Wirjono Prodjodikoro (1).,Hukum Perdata tentang Persetujuan - Persetujuan Tertentu,
(Jakarta : Sumur Bandung, 1981), hlm. 11 14
Syahmin AK., Hukum Kontrak Internasional, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006),hlm .140
(24)
bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut juga dapat terdiri dari satu atau lebih badan hukum.15
b. Adanya persetujuan atau kata sepakat.
Persetujuan atau kata sepakat yang dimaksudkan adalah consensus antara para pihak terhadap syarat - syarat dan obyek yang diperjanjikan.
c. Adanya tujuan yang ingin dicapai.16
Tujuan yang ingin dicapai dimaksudkan di sini sebagai kepentingan para pihak yang akan diwujudkan melalui perjanjian.
d. Adanya prestasi atau kewajiban yang akan dilaksanakan.
Dengan membuat perjanjian, pihak yang mengadakan perjanjian, secara “sukarela” mengikatkan diri untuk menyerahkan sesuatu, berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu guna kepentingan dan keuntungandari pihak terhadap siapa ia telah berjanji atau mengikatkan diri, dengan jaminan atau tanggungan berupa harta kekayaan yang dimiliki dan akan dimiliki oleh pihak yang membuat perjanjian atau yang telah mengikatkan diri tersebut. Dengan sifat sukarela, perjanjian harus lahir dari kehendak dan harus dilaksanakan sesuai dengan maksud dari pihak yang membuat perjanjian.Prestasi yang dimaksud adalah sebagai kewajiban bagi pihak - pihak untuk melaksanakannya sesuai dengan apa yang disepakati. Perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya dari suatu perjanjian lahirlah
15
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja.,Seri Hukum Perikatan “Perikatan yang Lahir dari Perjanjian” ,(Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 92
16
Wirjono Prodjodikoro (2).,Asas - asas Hukum Perjanjian, (Jakarta : Sumur Bandung, 1979),hlm. 84
(25)
kewajiban atau prestasi dari satu orang atau lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya yang berhak atas prestasi tersebut.17
e. Adanya bentuk tertentu.
Bentuk tertentu yang dimaksudkan adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak harus jelas bentuknya agar dapat menjadi alat pembuktian yang sah bagi pihak - pihak yang mengadakan perjanjian.Untuk beberapa perjanjian tertentu, undang - undang menentukan suatu bentuk tertentu, yaitu bentuk tertulis sehingga apabila bentuk itu tidak dituruti maka perjanjian itu tidak sah.Dengan demikian, bentuk tertulis tidaklah hanya semata - mata hanya merupakan pembuktian saja, tetapi juga syarat untuk adanya perjanjian itu.18 f. Adanya syarat - syarat tertentu.
Syarat - syarat tertentu yang dimaksud adalah substansi perjanjian sebagaimana yang telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian.19
B. Jenis – Jenis Perjanjian
Ada beberapa jenis-jenis perjanjian menurut Mariam Darus adalah sebagai berikut :20
1. Perjanjian Timbal Balik
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak.Misalnya perjanjian jual beli.
2. Perjanjian Cuma-Cuma dan Perjanjian atas Beban
17
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja., Op.cit., hlm. 2 18
Mariam Darus Badrulzaman et.all.,Op.cit., hlm 66 19
Wirjono Prodjodikoro (2)., op.cit., hlm 84 20
(26)
Perjanjian dengan Cuma-Cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja.Misalnya hibah. Sedangkan perjanjian atas beban adalah perjanjian terhadap prestasi dari pihak yang satu dan selalu terdapat kontrak prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungan hukum.
3. Perjanjian Bernama (benoemd, specified) dan Perjanjian Tidak Bernama(onvenoemd, unspecified).
Perjanjian bernama (Khusus) merupakan perjanjian yang mempunyai namasendiri. Maksudnya ialah perjanjian-perjanjian tersebut di atur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian bernama terdapat dalam Bab V sampai dengan XVIII KUH Perdata.Di luar perjanjian bernama tumbuh perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian yang tidak diatur dalam KUH Perdata, tetapi terdapat pada masyarakat.Pada dasarnya jumlah perjanjian ini tidak terbatas. 4. Perjanjian campuran
Perjanjian campuran merupakan perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian, misalnya pemilik hotel yang menyewakan kamar (sewa menyewa), tetapi juga menyajikan makanan (jual beli) dan juga memberikan pelayanan lainnya.Terhadap perjanjian campuran ini terdapat berbagai paham, yaitu :
a. Paham pertama mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian Khusus diterapkan secara analogis sehingga setiap unsur dari perjanjian Khusus tetap ada .
(27)
b. Paham kedua mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan yang dipakai adalah ketentuan-ketentuan dari perjanjian-perjanjian yang paling menentukan (teori absorbsi).
c. Paham ketiga mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan undang-undang yang diterapkan terhadap perjanjian campuran itu adalah ketentuan undang-undang yang berlaku untuk itu (teori kombinasi).
5. Perjanjian Obligatoir
Perjanjian obligatoir adalah perjanjian antara pihak-pihak yang mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain. Dapat dikatakan bahwa perjanjian itu merupakan perjanjian yang menimbulkan perikatan misalnya perjanjian jual beli benda bergerak. Menurut KUH Perdata, perjanjian jual beli saja belum mengakibatkan beralihnya hak milik dari penjual kepada pembeli. Untuk beralihnya hak milik jual beli seperti itu dinamakan perjanjian obligatoir karena membebankan kewajiban (obligatoir) kepada para pihak untuk melakukan penyerahan. Penyerahan sendiri merupakan perjanjian kebendaan.
6. Perjanjian Kebendaan
Perjanjian kebendaan merupakan perjanjian hak atas benda dialihkan atau diserahkan kepada pihak lain.
7. Perjanjian Konsensual dan Perjanjian Riil
Perjanjian Konsensual adalah perjanjian di antara kedua belah pihak yang telah tercapainya suatu persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan. Menurut KUH Perdata, perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 KUH Perdata),
(28)
Perjanjian pinjam pakai (Pasal 1740 KUH Perdata). Perjanjian yang terakhir ini dinamakan juga sebagai perjanjian riil.
8. Perjanjian-perjanjian yang Istimewa sifatnya Jenis perjanjian yang istimewa sifatnya adalah :
a. Perjanjian liberatoir, yaitu perjanjian para pihak yang membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan hutang (kwijschelding) pada Pasal 1438 KUH Perdata.
b. Perjanjian pembuktian, yaitu perjanjian antara para pihak untuk menentukan pembuktian apakah yang berlaku di antara mereka.
c. Perjanjian untung-untungan, misalnya perjanjian asuransi, Pasal 1774 KUH Perdata.
d. Perjanjian Publik, yaitu perjanjian yang sebagaian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik karena salah satu pihak bertindak sebagai penguasa (pemerintah). Misalnya perjanjian ikatan dinas dan perjanjian pengadaan barang pemerintah.
Anser berpendapat bahwa : “Setiap perjanjian mempunyai bagian inti dan bagian yang bukan inti”.21
Bagian inti disebut essensialia dan bagian yang bukan inti terdiri dari naturaliadan aksidentalia. Essensialia adalah bagian-bagian yang harus ada dalam suatu perjanjian karena bagian ini menentukan atau menyebabkan perjanjian itu tercipta. Seperti persetujuan antara pihak dan objek perjanjian diam-diam melekat pada perjanjian, akan tetapi hal ini dapat diperjanjikan secara tegas untuk dihapuskan. Misalnya menjamin tidak ada cacat dalam benda yang
21
Mariam Darus Badrulzaman (2)., KUH Perdata Buku II Hukum Perikatan dengan Penjelasannya,(Bandung :Alumni, 1993), Hlm. 24
(29)
dijual.Aksidentalia merupakan sifat yang melekat pada perjanjian yaitu secara tegas diperjanjikan oleh para pihak seperti ketentuan mengenai domisili para pihak.
C. Asas – Asas Perjanjian
Ada beberapa asas yang terdapat dalam hukum perjanjian, yaitu :
1. Asas Kebebasan Mengadakan Perjanjian (Asas Kebebasan Berkontrak)
Kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak yang bebas pancaran hak asasi manusia . Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata disebutkan bahwa:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.Secara langsung telah tampak pengertian bahwa orang bebas untuk membuat perjanjian.Janji mana justru berlaku sebagai undang-undang bagi mereka.
Mariam Darus berpendapat bahwa :
“Di dalam Hukum Perjanjian Nasional, asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab dan mampu memelihara keseimbangan antara pengguna hak asasi dengan kewajiban asasi ini perlu tetap dipertahankan yaitu dengan cara pengembangan kepribadian untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan hidup lahir dan batin yang serasi, selaras, dan seimbang dengan kepentingan masyarakat”.22
Dapat dikatakan bahwa hukum perjanjian menganut sistem terbuka,yang berarti bahwa setiap orang bebas untuk menyatakan keinginan dan mengadakan perjanjian-perjanjian dengan bentuk tertentu dan bebas memilih undang-undang mana yang dipakainya untuk perjanjian itu. Berarti bahwa setiap orang bebas
22
(30)
untuk menentukan keinginan yang dituangkan dan diatur sebagai isi perjanjian. Lebih jauh berarti bahwa karena berlaku sebagai undang-undang maka wajib dilaksanakan dan bila perlu menggunakan alat paksa kepentingan umum. Asas ini berkaitan erat dengan asas konsensualisme.
2. Asas Konsensualisme
Asas ini berkenaan dengan adanya persesuaian kehendak dari para pihak yang mengadakan perjanjian sehingga dicapai suatu kesepakatan membuat perjanjian. Pesan yang terkandung dalam asas ini adalah bahwa setiap orang yang sepakat berjanji tentang suatu hal, berkewajiban untuk memenuhinya.Secara
implisit asas ini lebih menekankan pada moral para pelaku.Pada
perkembangannya asas ini dijelmakan dalam klausa perjanjian yang berisi tentang hak dan kewajiban para pihak yang berjanji.Apabila salah satu pihak ingkar maka pihak yang diingkari dapat memohon kepada hakim agar klausa tersebut mengikat dan dapat dipaksanakan berlakunya.Selain berkaitan erat dengan asas kebebasan berkontrak, asas ini juga berkaitan dengan asas kepercayaan, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1334 KUH Perdata, yang mengatur bahwa barang yang baru ada pada waktu yang akan datang, dapat menjadi pokok suatu persetujuan. Dalam hal ini, subjek hukum diberikan kesempatan menyatakan keinginannya yang dianggap baik untuk mengadakan perjanjian. Maka ia harus memegang teguh kesepakatan yang diberikan kepadanya.
(31)
Seorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menumbuh kembangkan kepercayaan di antara kedua belah pihak, yang menunjukkan bahwa satu sama lain akan memegang janjinya. Dengan kata lain, akan memenuhi prestasinya di belakang hari. Tanpa adanya kepercayaan itu maka perjanjian tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak.
Asas kepercayaan dinyatakan dalam Pasal 1338 jo 1334 KUH Perdata. Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, harus dapat menumbuhkan kepercayaan di antara para pihak bahwa satu sama lain akan memenuhi prestasinya di kemudian hari. Dengan adanya kepercayaan ini, kedua pihak mengikatkan dirinya kepada perjanjian yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.23
4. Asas Perjanjian Mengikat (Pacta Sunt Servanda)
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.Artinya bahwa kedua belah pihak wajib mentaati dan melaksanakan perjanjian yang telah disepakati sebagaimana mentaati undang-undang. Oleh karena itu, akibat dari asas pacta sunt servanda adalah perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan dari pihak lain. Hal ini disebutkan dalam Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata yaitu suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau alasan oleh undang – undang yang dinyatakan cukup untuk itu .
5. Asas Persamaan Hak
23
(32)
Asas ini terdapat dalam Pasal 1341 KUH Perdata. Dalam asas ini, para pihak diletakkan pada posisi yang sama. Dalam perjanjian sudah selayaknya tidak ada pihak yang bersifat dominan dan tidak ada pihak yang tertekan sehingga tidak terpaksa untuk menyetujui syarat yang diajukan karena tidak ada pilihan lain. Mereka melakukannya walaupun secara formal hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai paksaan.Dalam perjanjian, para pihak harus menghormati pihak lainnya.Jika prinsip sama-sama menang tidak dapat diwujudkan secara murni, namun harus diupayakan agar mendekati perimbangan di mana segala sesuatu yang merupakan hak para pihak tidaklah dikesampingkan begitu saja.
6. Asas Keseimbangan
Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian, asas ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan, kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian dengan itikad baik, dapat dilihat bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.
7. Asas Kepentingan Umum
Asas ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari ketentuan Pasal 1337 KUH Perdata.Ditegaskan agar dalam menyusun dan melaksanakan suatu perjanjian kedua belah pihak, baik kreditur maupun debitur memperhatikan kepentingan umum. Asas ini juga mencakup suatu pesan bahwa walaupun subjek hukum diberikan kebebasan berkontrak, akan tetapi mereka harus berbuat bahwa apa yang mereka lakukan tidak mengganggu kepentingan umum.
(33)
8. Asas Kepatutan
Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUH Perdata.Dalam hal ini, asas kepatutan berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian.Akan tetapi dalam prakteknya, asas kepatutan ini selalu dibandingkan dengan kesadaran hukum masyarakat itu sendiri.Mariam Darus mengatakan bahwa :
“Asas kepatutan ini harus dipertahankan, karena melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat”.24
9. Asas Moral
Dapat dikatakan bahwa ukuran kepatutan dalam masyarakat, pedoman utamanya adalah rasa keadilan dalam masyarakat.Asas ini terlihat dalam perikatan biasa, artinya bahwa suatu perbuatan suka rela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontrak prestasi dari debitur. Hal ini terlihat juga di dalam zaakwaarneming, dimana seseorang yang melakukan suatu perbuatan sukarela (moral) maka yang bersangkutan mempunyai kewajiban (hukum) untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya.
Asas ini terdapat di dalam Pasal 1339 KUH Perdata.Faktor-faktor yang memberi motivasi pada orang yang bersangkutan untuk melakukan perbuatan hukum adalah berdasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan hati nuraninya.
10. Asas Kebiasaan
Asas ini terdapat dalam Pasal 1339 jo 1347 KUH Perdata yang dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang diatur secara tegas dalam perjanjian tersebut, akan tetapi juga pada hal-hal yang
24
(34)
dalam kebiasaan diikuti. Pada Pasal 1347 KUH Perdata dinyatakan pula bahwa hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan dianggap secara diam-diam dimasukkan di dalam perjanjian meskipun dengan tegas dinyatakan.
Kebiasaan yang dimaksud oleh Pasal 1339 KUH Perdata menurut Mariam Darus Badrulzaman ialah kebiasaan pada umumnya (gewonte) dan kebiasaan yang diatur oleh Pasal 1347 KUH Perdata ialah kebiasaan setempat (Khusus) atau kebiasaan yang lazim berlaku di dalam golongan tertentu .25
11. Asas Sistem Terbuka
Asas ini penting diperhatikan dalam suatu perjanjian.Sitem perjanjian yang bersifat terbuka berarti dapat dipertanggungjawabkan dan dipertahankan terhadap pihak ketiga.Pihak ketiga dapat menuntut bila perjanjian tersebut dianggap merugikan kepentingannya.
12. Asas Kepastian Hukum
Perjanjian sebagai suatu hukum harus mengandung kepastian hukum.Kepastian hukum ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu sebagai undang – undang para pihak.
D. Syarat Sah Perjanjian
Syarat sahnya perjanjian dapat dikaji berdasarkan hukum perjanjian yang terdapat didalam KUH Perdata.Dalam Pasal 1320 pembuat undang-undang memberikan suatu patokan umum tentang suatu perjanjian itu lahir. Disana ditentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus dilakukan oleh orang, agar para pihak dapat secara sah melahirkan hak-hak dan kewajiban bagi mereka atau pihak ketiga.
25
(35)
Syarat-syarat tersebut diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan seterusnya, dalam Bab II Bagian Kedua Buku III KUH Perdata.Karena perjanjian merupakan tindakan hukum, maka tindakan para pihak menutup perjanjian ditujukan kepada lahirnya akibat hukum yang ada pada suatu perjanjian semacam yang mereka adakan.26
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
Untuk sahnya perjanjian dalam Pasal 1320KUH Perdata dinyatakan ada empat syarat sahnya perjanjian, yaitu:
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal;
Perjanjian dapat dikatakan sah jika telah memenuhi semua ketentuan yang telah diatur di dalam Pasal 1320 KUH Perdata tersebut.Pernyataan sepakat mereka yang mengikat diri dan kecakapan untuk membuat suatu perjanjian digolongkan ke dalam syarat subjektif atau syarat mengenai orang yang melakukan perjanjian, sedangkan tentang suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal digolongkan ke dalam syarat objektif atau benda yang dijadikan objek perjanjian.Hal-hal tersebut merupakan unsur-unsur penting dalam mengadakan perjanjian. Keempat syarat tersebut dapat di jelaskan lebih lanjut adalah :
a. Kata sepakat mereka yang mengikatkan diri
Pengertian “kata sepakat” secara harfiah adalah persetujuan dari pihak-pihak yang mengadakan perjanjian tersebut.Sehingga secara langsung dapat juga berarti bahwa persetujuan itu sendiri lahir karena para pihak merasa dapat menarik manfaatnya atau memperoleh nilai tambah.
26
(36)
Pengertian dari sisi yuridisnya adalah kebebasan dari para pihak untuk memberikan persetujuan.Secara mendalam dapat dikatakan walaupun secara formal telah dapat dibuktikan bahwa perjanjian tersebut dibuat dengan terlebih dahulu adanya kata sepakat. Akan tetapi apabila dalam pelaksanaan suatu perjanjian berdasarkan gugatan salah satu pihak yang ada dalam perjanjian tersebut atau pun pihak lain yang merasa berkepentingan dengan adanya perjanjian tersebut, ternyata setelah diadakan penelitian dapat diketahui bahwa kata sepakat itu lahir karena adanya penipuan atau adanya berbagai cara yang terselubung maupun merupakan hasil dari bentuk kekerasan atau paksaan, yang direkayasa sehingga tidak berbentuk nyata. Dengan kata lain, jika hanya dilihat secara formal, hal tersebut tidak akan kelihatan. Dengan adanya alasan ini, hakim dapat membatalkan suatu perjanjian, karena pada hakekatnya dalam perjanjian tersebut tidak ada unsur sepakat dari perjanjian yang diadakan.Apabila dalam perjanjian tidak ada kata sepakat, berarti ada pihak yang dirugikan serta tidak memenuhi salah satu syarat subjektif dalam Pasal 1320 KUH Perdata.Dengan dilakukan kata sepakat mengadakan perjanjian, berarti kedua belah pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak, di mana harus dipertemukan kemauan yang dikehendaki terhadap hal-hal pokok dari perjanjian tersebut.Apa yang dikehendaki pihak yang satu juga dikehendaki pihak yang lain. Dapat dikatakan bahwa perjanjian lahir pada saat tercapainya kata sepakat para pihak sehingga perjanjian itu sudah sah dan mempuyai kekuatan yang mengikat.Akan tetapi ada pengecualian oleh undang-undang yang menentukan formalitas tertentu terhadap beberapa perjanjian, misalnya perjanjian penghibahan, peralihan hak atas tanah yang harus dilakukan melalui PPAT ataupun Notaris.Demikian juga halnya
(37)
apabila ternyata dalam perjanjian yang dibuat ternyata terdapat suatu kekhilafan, walaupun perjanjian tersebut telah dibuat dan secara formal kelihatan sempurna, perjanjian itu masih dapat dibatalkan oleh hakim sebagai suatu perjanjian yang tidak sempurna yang tidak mengandung unsur kata sepakat.Dalam hal ini A. Qirom S. Meilala berpendapat bahwa, “Kata sepakat mungkin pula diberikan karena penipuan, paksaan atau kekerasan.Dalam keadaan ini pun mungkin diadakan pembatalan oleh pengadilan atau tuntutan dari orang- orang yang berkepentingan”.27
27
A. Qirom S. Meliala., Pokok-pokok Hukum Perjanjian beserta Perkembangannya,(Yogyakarta : Liberty ,1985 ), Hlm. 10
Bila ada kepincangan kata sepakat dalam suatu perjanjian maka perjanjian itu dapat dimintakan pembatalannya melalui hakim pengadilan.Selama pembatalan itu tidak diminta oleh pihak yang bersangkutan, perjanjian tetap berlaku. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 1449 KUH Perdatabahwa :“Perjanjian-perjanjian yang dibuat dengan paksaan, kesilapan atau penipuan, menerbitkan hak tuntutan untuk membatalkannya”.
Sehubungan dengan kekhilafan atau salah pengertian yang terjadi dalam suatu perjanjian terdapat pengaturan Khusus dalam KUH Perdata. Pada Pasal 1321 KUH Perdata disebutkan bahwa kekhilafan diletakkan sama posisinya dengan paksaan dan penipuan. Akan tetapi dalam Pasal 1322 KUH Perdata memberikan pengaturan secara Khusus dengan dinyatakan bahwa :“Kekhilafan tidak menyebabkan batalnya suatu persetujuan selain apabila kekhilafan itu terjadi mengenai barang yang menjadi pokok persetujuan kekhilafan tidak menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai dirinya orang yang siapa seseorang bermaksud membuat suatu persetujuan, kecuali jika persetujuan itu telah dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut”.
(38)
Berkenaan dengan indikasi adanya paksaan dalam suatu perjanjian.Mengenai paksaan dinyatakan dalam Pasal1323 KUH Perdata yaitu: “Paksaan yang dilakukan terhadap yang membuat suatu persetujuan merupakan alasan untuk batalnya persetujuan, jika apabila paksaaan itu dilakukan oleh seorang pihak ketiga untuk kepentingan siapa persetujuan tersebut telah dibuat”.
Mengenai penipuan dinyatakan dalam Pasal 1328 KUH Perdata, yaitu :“Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan persetujuan apabila tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut. Penipuan itu dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan”.
Jika diteliti ketentuan Pasal 1328 KUH Perdata tersebut, dapat diketahui bahwa Pasal tersebut mengandung pesan untuk dapat mengatakan telah dilakukan suatu penipuan tidaklah hanya reka-reka atau diduga saja, akan tetapi haruslah dibuktikan. Dari ketentuan tersebut juga dapat ditarik pengertian bahwa hukum tetap ingin berperilaku seimbang dengan tetap melindungi itikad baik dan menghalangi semua itikad buruk. Dengan demikian pengertian bebas itu sendiri dapat berarti sebagai suatu keadaan sedemikian rupa di mana para pihak memberikan persetujuan dalam keadaan yang benar-benar sadar dan wajar terhadap hal-hal yang mendasar bagi dibuatnya satu perjanjian. Setidaknya terdapat kesadaran terdapat hal-hal yang akan saling dipertukarkan. Pada saat kata sepakat lahir adalah merupakan klimaks dari lahirnya persetujuan kehendak para pihak yang berjanji.Secara mendasar, dinyatakan dalam Pasal 1454 KUH Perdata
(39)
bahwa perjanjian dianggap lahir pada saat dicapainya kata sepakat di antara para pihak.
b. Kecakapan dari Para Pihak
Yang dimaksud dengan cakap untuk membuat suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1329 KUH Perdata adalah: “Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan – perikatan , jika ia oleh undang - undang tidak dinyatakan tak cakap”. Menurut Abdul Kadir Muhammad, pada dasarnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum.28
1) Orang- orang yang belum dewasa;
Sedangkan yang dimaksud dengan tidak cakap untuk membuat satu perjanjian berdasarkan Pasal 1330 KUH Perdata adalah: “Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah:
2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
3) Perempuan – perempuan bersuami , dalam hal - hal yang ditetapkan oleh undang - undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang - undang telah melarang membuat perjanjian - perjanjian tertentu”.
Orang- orang yang tidak cakap membuat perjanjian berdasarkan ketentuan tersebut adalah:
a) Orang - orang yang belum dewasa
Kriteria dari orang - orang yang belum dewasa diatur di dalam Pasal 330 KUH Perdata dimana ditentukan: “Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin”. Apabila
28
(40)
perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.29
(1) Dalam hal melakukan kontrak (transaksi) sehari - hari seperti berbelanja di pasar.
Dengan keluarnya Undang - Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, maka ketentuan umur dewasa diubah sehingga menjadi 18 tahun (sudah pernah kawin) dan sebagai suatu undang - undang, maka ketentuan ini berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia. Umur dewasa 18 tahun ini juga telah dikuatkan oleh Mahkamah Agung dalam putusannya No. 477 K/Sip/1976 tanggal 13 Oktober 1976. Di samping itu, banyak pula perkecualian terhadap umur dewasa ini karena dalam hal tertentu, seseorang sudah dianggap berwenang untuk melakukan perbuatan tertentu sungguhpun dia belum dewasa, misalnya:
(2) Terhadap hal tertentu yang diatur dengan undang - undang tersendiri, misalnya:
(a) Untuk memilih dalam pemilihan umum yang diatur dalam undang - undang tentang Pemilihan Umum;
(b) Untuk membuat perjanjian kawin (asal dia sudah cukup usia kawin) terdapat dalam Pasal 151 KUH Perdata;
(c) Untuk membuat kontrak perburuhan sepanjang dikuasakan oleh wakilnya (Pasal 1601KUH Perdata).30
(d) Untuk menghadapnotaris yang diatur dalam undang - undang tentang jabatan notaris.
b) Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan
29
Mariam Darus Badrulzaman (2) ., Op.cit , hlm. 103 30
(41)
Salah satu golongan orang - yang dianggap tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah orang - orang yang ditaruh di bawah pengampuan. Menurut Pasal 437KUH Perdata, orang - orang yang diletakkan di bawah pengampuan adalah: “Setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaandungu, sakit otak atau mata gelap, dan boros”. Dalam hal ini, pembentuk undang- undang memandang bahwa yang bersangkutan tidak mampu menyadari tanggung jawabnya dan karena itu tidak cakap bertindak untuk mengadakan perjanjian.Apabila seseorang yang belum dewasa dan mereka yang diletakkan di bawah pengampuan itu mengadakan perjanjian, maka yang mewakilinya masing - masing adalah orang tua dan pengampunya.31
c) Perempuan - perempuan bersuami
KUH Perdata juga menempatkan perempuan - perempuan bersuami sebagai orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian. Hal yang menunjukkan perempuan - perempuan bersuami tidak cakap bertindak dalam hukum, misalnya Pasal 108 ayat (2) KUH Perdatadinyatakan :
“Seorang istri, biar ia telah dikuasakan oleh suaminya, untuk membuat suatu akta, atau untuk mengangkat sesuatu perjanjian sekalipun, namun tidaklah ia karena itu berhak, menerima sesuatu pembayaran, atau member perlunasan atas itu, tanpa izin yang tegas dari suaminya”.
Pasal 108 KUH Perdata dinyatakan istri harus memperoleh izin yang tegas dari suami untuk membuat suatu akta. Demikian pula Pasal 110 KUH Perdata yang dinyatakan :
31
(42)
“Seorang istri, biar ia kawin diluar persatuan harta kekayaan, atau telah berpisahan dalam hal itu, biar ia melakukan sesuatu mata pencaharian atas usaha sendiri sekalipun, namun tak bolehlah ia menghadap di muka Hakim tanpa bantuan suaminya”.
Pasal 110 KUH Perdata dinyatakan bahwa istri tidak boleh menghadap di muka pengadilan tanpa bantuan suami.
Dalam perkembangannya, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963 kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia ternyata, Mahkamah Agung menganggap Pasal 108 dan 110 KUH Perdata tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di depan pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya, sudah tidak berlaku lagi. Demikian juga dengan Undang - undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 31 ayat (1) dinyatakan hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dengan masyarakat. Pasal 31 ayat (2) Undang - undang Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.32
d) Orang yang dilarang oleh undang - undang untuk melakukan perbuatan tertentu
Ada juga orang - orang tertentu yang oleh undang - undang tertentu dianggap tidak berwewenang membuat kontrak tertentu dengan cara tertentu atau dengan pihak tertentu (Pasal 1330 ayat (3) KUH Perdata). Sebagai contoh dalam kontrak
32
(43)
jual - beli, ada pihak tertentu yang dilarang oleh undang - undang untuk mengadakan perjanjian, antara lain:
(1) Pada prinsipnya antara suami dan istri tidak boleh melakukan kontrak jual - beli (Pasal 1467 KUH Perdata).
(2) Hakim, jaksa, panitera, advokat, pengacara, jurusita, dan notaris tidak boleh menerima penyerahan untuk menjadi pemilik untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain atas hak dan tuntutan yang menjadi pokok perkara. (3) Pegawai dalam suatu jabatan umum dilarang membeli untuk dirinya sendiri atau untuk perantara atas barang - barang yang dijual oleh atau di hadapan mereka
c. Suatu Hal Tertentu
Suatu hal tertentu dalam syarat membuat suatu perjanjian mengarah pada objek tertentu dalam suatu perikatan. Karena para pihak yang telah membuat perjanjian akan memikul hak dan kewajiban maka diperlukan adanya ketentuan yang mengatur tentang jenis barang yang menjadi objek dalam perjanjian itu. Perjanjian baru dianggap ada apabila para pihak yang telah mengetahui dan menentukan apa yang menjadi objek dibuatnya suatu perjanjian. Batasan yang dapat ditarik adalah para pihak telah mengetahui setidak-tidaknya macam atau jenis apa yang menjadi objek perjanjian. Contohnya perjanjian jual beli beras , seharusnya menjelaskan berapa beratnya, jenisnya atau bila mungkin menyebutkan warnanya. Hal yang tidak semakin mempertegas syarat-syarat seperti yang telah disebutkan sebelumnya sehingga perjanjian yang dibuat memang merupakan sesuatu yang diinginkan terjadi oleh para pihak. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah
(44)
walaupun bentuk fisik objek perjanjian tidak kelihatan secara langsung, namun para pihak disyaratkan telah mengetahui apa yang menjadi standarnya. Apabila perjanjian mengenai barang maka barang tersebut haruslah barang-barang yang ada di dalam perdagangan.
Dalam ukuran yang ada dalam dunia perdagangan sekarang ini telah berkembang sedemikian rupa dan sangat bergantung pada kalangan yang memperdagangkannya. Dengan kata lain bahwa suatu perjanjian haruslah mempunyai objek tertentu sekurang-kurangnya dapat ditentukan bahwa objek tertentu itu dapat berupa benda yang sekarang ada dan nanti akan ada. Dengan demikian batasannya juga telah berubah yaitu asal saja bukan sesuatu yang secara nyata dilarang dalam undang-undang, kepatuhan atau pun kebiasaan untuk diperdagangkan.
d. Suatu sebab yang halal
Undang- undang tidak memberikan pengertian mengenai sebab (causa), tetapi menurut Yurisprudensi yang ditafsirkan dengan causa adalah isi atau maksud dari perjanjian. Dalam Pasal 1335 KUH Perdata, dinyatakan bahwa: “Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan”.
Pembentuk undang - undang mempunyai pandangan bahwa perjanjian mungkin juga diadakan tanpa sebab atau dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang. Yang dimaksud dengan sebab yang terlarang dalam Pasal 1337 KUH Perdata adalah: “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang -
(45)
undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”. Perjanjian yang dibuat dengan sebab yang demikian tidak mempunyai kekuatan.33 Keempat syarat di atas merupakan syarat pokok bagi setiap perjanjian, artinya setiap perjanjian harus memenuhi keempat syarat ini bila ingin menjadi perjanjian yang sah.Keempat syarat pokok ini dapat dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu kelompok syarat subjektif dan kelompok syarat objektif.34
objektif).
Dalam penjelasan sebelumnya telah di bahas tentang syarat subjektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari pihak yang berjanji dan kecakapan dari pihak yang melaksanakan perjanjian, sedangkan syarat objektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan dan causa dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan menurut hukum, tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat syarat tersebut mengakibatkan cacat dalam perjanjian dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap syarat subjektif) maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya syarat
35
Sehubungan dengan pembedaan syarat - syarat sahnya perjanjian oleh banyak ahli hukum dalam dua kelompok di atas, Hardijan Rusli berpendapat bahwa: 36
“Pasal 1320 KUH Perdata secara jelas menyatakan untuk sahnya perjanjian - perjanjian diperlukan empat syarat sah. Jadi, secara analogi dapat dikatakan bahwa dalam hal tidak terpenuhinya salah satu dari empat
33
Mariam Darus Badrulzaman (2), Op.cit., hlm. 78 34
Hardijan Rusli.,Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1993), hlm. 44
35
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.cit.,hlm. 93 36
(46)
syarat yang ada dalam Pasal 1320 itu, maka perjanjian menjadi tidak sah atau batal demi hukum bukannya dapat dimintakan pembatalannya . Sedangkan syarat sah yang Khusus perjanjian antara lain menurut Munir Fuady adalah:
1) Syarat tertulis untuk perjanjian - perjanjian tertentu
Secara umum dapat dikatakan bahwa undang - undang tidak mensyaratkan suatu perjanjian tertulis untuk sahnya suatu perjanjian, tetapi untuk perjanjian tertentu diperlukan syarat Khusus agar perjanjian itu dapat mulai berlaku/mengikat, misalnya perjanjian perdamaian yang memerlukan syarat Khusus berupa bentuk tertulis. Menurut hukum yang berlaku, kedudukan syarat tertulis bagi suatu perjanjian adalah:
a) Ketentuan umum tidak mempersyaratkan.
b) Dipersyaratkan untuk perjanjian - perjanjian tertentu.
c) Dipersyaratkan untuk perjanjian atas barang-barang tertentu. d) Dipersyaratkan karena kebutuhan praktek.
2) Syarat pembuatan perjanjian di hadapan pejabat tertentu
Selain dari syarat tertulis terhadap perjanjian - perjanjian tertentu, untuk Perjanjian - perjanjian tertentu dipersyaratkan pula bahwa perjanjian tertulis tersebut harus dibuat oleh/di hadapan pejabat tertentu (dengan ancaman batal), misalnya :
a) Perjanjian hibah yang harus dibuat di hadapan notaris (Pasal 1682 KUH Perdata), untuk perjanjian hibah bagi benda tetap memerlukan syarat tambahan berupa bentuk akta otentik, sedangkan bagi benda bergerak berwujud memerlukan syarat tambahan berupa penyerahan langsung bendanya.
(47)
b) Perjanjian jual beli tanah yang harus dibuat oleh PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) sesuai dengan ketentuan dalam perundang - undangan bidang pertanahan.
3) Syarat mendapatkan izin dari pejabat yang berwenang
Pada prinsipnya suatu perjanjian hanyalah urusan para pihak semata - mata, artinya terserah dari para pihak apa yang mau dianutnya dalam kontrak tersebut, sehingga campur tangan pihak ketiga pada prinsipnya tidak diperlukan. Akan tetapi terhadap kontrak tertentu, campur tangan pihak ketiga diperlukan dalam bentuk keharusan mendapatkan izin, misalnya:
a) Perjanjian peralihan objek tertentu, seperti perjanjian peralihan hak guna usaha atau perjanjian peralihan hak penguasaan hutan, dalam hal ini diperlukan izin dari pihak yang berwenang untuk itu.
b) Perjanjian penitipan barang yang sejati yang memerlukan syarat tambahan berupa penyerahan barangnya secara sungguh - sungguh atau secara dipersangkakan.37
E.Wanprestasi
Menurut Kamus Hukum, wanprestasi berarti kelalaian, cidera janji, tidak menepati kewajibannya dalam perjanjian.38
37
Munir Fuady, Op.cit., hlm. 84 - 85
38
Subekti dan Tjitrosoedibyo., Kamus Hukum, (Jakarta : Pradnya Paramita , 1996), hlm.10
Dengan demikian, wanprestasimerupakan suatu keadaan dimana pihak debitur tidak melaksanakan prestasinya, sebagai mana telah ditetapkan sebelumnya dalam perjanjian.Jika ada pihak yang tidak melakukan isi Perjanjian pihak itu dikatakan melakukan wanprestasi . Perkataan ini dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk
(48)
(bandingkan: wanbeheer yang berarti pengurusan buruk,.wandaad perbuatan buruk). Wanprestasiadalah tidak memenuhi atau lalai melaksankan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur. Wanprestasi atau tidak dipenuhinya janji dapat terjadi baik karena sengaja maupun tidak sengaja .39 Pihak yang tidak sengaja wanprestasiini dapat terjadi memang tidak mampu untuk memenuhi prestasi tersebut atau juga karena terpaksa untuk tidak melakukan prestasi tersebut. Wanprestasi dapat berupa empat macam yaitu :40
1. Sama sekali tidak memenuhi prestasi 2. Prestasi yang dilakukan tidak sempurna 3. Terlambat memenuhi prestasi
4. Melakukan apa yang dalam perjanjian dilarang untuk dilakukan.
Terjadinya wanprestasi mengakibatkan pihak lain (lawan dari pihak yang wanprestasi) dirugikan, apalagi kalau pihak lain tersebut adalah pedagang maka bisa kehilangan keuntungan yang diharapakan. Oleh karena pihak lain dirugikan akibat prestasi tersebut pihak wanprestasi harus menanggung akibat dan tuntutan pihak lawan yang dapat berupa tuntutan yaitu : pembatalan kontrak (disertai atau tidak disertai ganti rugi) dan pemenuhan kontrak (diserati atau tidak disertai ganti rugi).
Dengan demikian, ada dua kemungkinan pokok yang dapat dituntut oleh pihak yang dirugikan, yaitu pembatalan atau pemenuhan kontrak. Namun jika dua
39
Salim H.S., Hukum kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika ,2010), hlm . 98
40
Ahmadi Miru.,HukumKontrak & Perancangan kontrak, (Jakarta: RajaGrafindo Persada , 2011), hlm. 74
(49)
kemungkinan pokok tersebut diuraikan Iebih lanjut, kemungkinan tersebut dapat dibagi menjadi empat, yaitu:41
a. Pembatalan Kontrak saja
b. Pembatalan kontrak disertai tuntutan ganti rugi; c. Pemenuhan kontrak saja;
d. Pemenuhan kontrak disertai tuntutan ganti rugi.
Pembagian atas empat kemungkinan tuntutan tersebut di atas sekaligus merupakan pernyataan ketidak setujuan penulis atas pendapat yang membagi atas lima kemungkinan, yaitu pendapat yang masih menambahkan satu kemungkinan lagi, “penuntutan ganti rugi saja” karena tidak mungkin seseorang menuntut ganti rugi saja yang lepas dan kemungkinan dipenuhinya kontrak atau batalnya kontrak karena dibatalkan atau dipenuhinya kontrak merupakan dua kemungkinan yang harus dihadapi para pihak dan tidak ada pilihan lain sehingga tidak mungkin ada tuntutan ganti rugi yang berdiri sendiri sebagai akibat dan suatu wanprestasi. Tuntutan apa yang harus ditanggung oleh pihak yang wanprestasi tersebut tergantung pada jenis tuntutan yang dipilih oleh pihak yang dirugikan. Bahkan apabila tuntutan itu dilakukan dalam bentuk gugatan di pengadilan , pihak yang wanprestasi tersebut juga dibebani biaya perkara.
Pada prakteknya suatu wanprestasibaru terjadi jika salah satu pihak dinyatakan telah lalai untuk memenuhi prestasinya dan akibat dari kelalaiannya tersebut menimbulkan kerugian pada pihak lainnya atau dengan kata lain, wanprestasiada kalau pihak yang tidak melaksanakan prestasi tersebut itu tidak dapat membuktikan, bahwa ia telah melakukan wanprestasidi luar kesalahannya
41
(50)
sehingga menimbulkan kerugian bagi pihak lainnya.Tidak terpenuhinya prestasi itu kadangkala disebabkan karena adanya suatu peristiwa yang tidak dapat diduga sebelumnya oleh para pihak, sehingga hal tersebut mengakibatkan salah satu pihak tidak dapat memenuhi prestasinya
F.Penghentian dan Pemutusan Perjanjian 1. Penghentian
Penghentian kontrak dilakukan bilamana terjadi hal-hal di luar kekuasaan para pihak untuk rnelaksanakan kewajiban yang ditentukan dalam kontrak, yang disebabkan oleh timbulnya perang, pemberontakan perang saudara, sepanjang kejadian-kejadian tersebut berkaitan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia, kekacauan serta bencana alam yang dinyatakan resmi oleh pemerintah, atau keadaan yang ditetapkan dalam kontrak.42
2. Pemutusan
Pemutusan kontrak dapat terjadi oleh karena :
a. Pemutusan kontrak dapat dilakukan bilamana para pihak yang berjanji tidak memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya sebagaimana diatur dalam kontrak.
b. Pemutusan kontrak yang disebabkan oleh kelalaian penyedia barang atau jasa dikenakan sanksi sesuai yang ditetapkan dalam kontrak berupa:
1) Jaminan pelaksanaan menjadi milik negara;
2) Sisa uang muka harus dilunasi oleh penyedia barang/jasa.
42
Herry Kamaroesid ., “ Tata Cara Penyusunan Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, (Jakarta:Mitra Wacana Media,2009), hlm.5-6
(51)
3) Membayar denda dan ganti rugi kepada negara; 4) Pengenaan daftar hitam untuk jangka waktu tertentu.
c. Pengguna barang atau jasa dapat memutuskan kontrak secara sepihak apabila denda keterlambatan.
d. Pelaksanaanpekerjaan akibat kesalahan penyedia barang atau jasa sudah melampaui besarnya jaminan pelaksanaan
e. Pemutusan kontrak yang disebabkan oleh kesalahan pengguna barang atau jasa, dikenakan sanksi berupa kewajiban kerugian yang menimpa penyedia barang atau jasa sesuai yang ditetapkan dalam kontrak dan ketentuan peraturan perundang - undangan yang berlaku.
f. Kontrak batal demi hukum apabila isi kontrak melanggar ketentuan perundang – undangan yang berlaku.
Kontrak dibatalkan apabila para pihak terbukti melakukan KKN, kekurangan, dan pemalsuan dalam proses pengadaan maupun pelaksanaan kontrak.
(52)
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG PENGADAAN BARANG ATAU JASA
A. Pengertian Pengadaan Barang atau jasa
Proses pengadaan barang atau jasa dalam instasi pemerintah tidak semudah pengadaan di institusi swasta . Seluruh pengadaan barang yang pembiayaan melalui APBN/APBD , baik sebagaian atau keseluruhan, harus mengacu kepada aturan yang berlaku.43
Ada beberapa istilah yang di gunakan dalam proses pengadaan ini , diantaranya :44
1. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) adalah pejabat yang di angkat oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Penggunaan Anggaran sebagai pemilik pekerjaan yang bertanggung jawab atas pelaksanaan Pengadaan barang/jasa
2. Penyediaan barang/jasa adalah badan usaha satu perseorangan yang menyediakan barang/jasa
3. Barang, adalah berbagai bentuk dan uraian yang meliputi bahan baku, bahan setengah jadi, barang jadi atau peralatan, yang spesifikasinya ditetapkan oleh pengguna barang.
43
Keppres No.80 tahun 2003 tentangPedoman Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 120 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4330
44
Kiki Fitri M.Manurung “ Analisis Hukum Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Sumatera Utara. Skrispi , Fakultas Hukum Universitas Sumtera Utara , Medan 2010 , hlm 54
(53)
4. Sedangkan jasa adalah layanan pekerjaanpelaksanaan kegiatan sesuai keahlian profesional dalam berbagai bidang untuk mencapai sasaran tertentu yang keluarnya telah disusun secara sistematis berdasarkan kerangka acuan kerja yang telah ditetapkan, misalnya kontruksi, pengawasan dan lain – lain .
Pengadaan Barang atau Jasa Pemerintah adalah kegiatan pengadaan barang atau jasa yang di biayai dengan dana yang di kasih dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), baik yang dilaksanakan secara swakelola maupun oleh penyedia barang atau jasa. Menurut pengertian tersebut ada 2 (dua) unsur penting yang terlibat dalam kegiatan pengadaan barang atau jasa pemerintah , baik perorangan maupun lembaga yaitu : pengguna anggaran dan penyedia barang atau jasa .
Undang – undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Pasal 1angka 12 dinyatakan, pengguna anggaran adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran kementrian Negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah. Kemudian dalam Pasal 4 undang – undang tersebut dinyatakan bahwa dipimpinnya dan dapat menunjuk Kuasa Penggunaan Anggaran di kementrian/lembaga yang dipimpinnya.
Penyedia barang atau jasa merupakan badan usaha atau orang perseorangan yang kegiatan usahanya menyediakan barang atau jasa dan layanan jasa. Dalam pengadaan barang atau jasa pemerintah, Penggunaan Anggaransebagaimana disebutkan di atas, mengangkat Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang bertanggung jawab dalam melaksanakan proses pengadaan barang atau jasa .
(54)
Pengadaan barang/jasa adalah kegiatan untuk memperoleh barang/jasa kementrian/lembaga/satuan kerja PerangkatDaerah/ Institusi yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh barang/jasa.
B. Dasar Hukum Pengadaan Barang atau jasa
Peraturan Perundang – undangan tentang pengadaan Barang atau Jasa pemerintah. Dasar hukum pengadaan Barang atau jasa adalah sebagai berikut
1. Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman PelaksanaanPengadaan Barang/Jasa Pemerintah
2. Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
3. Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Adapun penjelasan dari keempat dasar hukum pengadaan barang atau jasa adalah sebagai berikut :
a. Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Dari pengertian pengadaan barang dan jasa di atas bahwa Pengadaan barang dan jasa pemerintah adalah kegiatan pengadaan barang dan jasa yang dibiayai dengan APBN/APBD, baik yang dilaksanakan secara swakelola ataupun yang dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa yang diatur dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan
(55)
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah ini telah beberapa kali diubah dan terakhir dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 95 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketujuh Atas Keppres No 80 Tahun 2003.45
b. Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Perpres No. 54 tahun 2010 merupakan penyempurnaan dari Kepres No. 80 tahun 2003. Menurut Perpres No.54 tahun 2010, pengadaan barang dan jasa pemerintah adalah kegiatan untuk memperoleh barang/jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Prangkat Daerah/Institusi lainnya, yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh barang/jasa. Baik dalam Kepres No. 80 tahun 2003 maupun Perpres No. 54 tahun 2010, tujuan diberlakukan peraturan tentang pengadaan barang dan jasa agar pelaksanaan pengadaan barang dan jasa yang sebagian atau seluruhnya dibiayai APBN/APBD dilakukan secara efisien, efektif, terbuka dan bersaing, transparan, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel. Jika tujuan tercapai, maka Pemerintah akan diuntungkan dari sisi pengguna anggaran.46
c. Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2012
Peraturan Presiden Nomor 70 tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
45
http://elvandary.wordpress.com/2009/05/23/kebijakan-umum-pengadaan-barangjasa-pemerintah
(56)
Pemerintah telah ditandatangani oleh Presiden. Dalam Perpres No. 70/2012 ini mencakup berbagai perubahan kebijakan yang secara signifikan berpengaruh terhadap pengadaan barang/jasa pemerintah (PB/JP), penyerapan anggaran negara, dan pencegahan korupsi dalam PB/JP.Sebelumnya tercatat Perubahan Pertama atas Perpres No. 54 Tahun 2010 telah dilakukan tahun lalu dengan diterbitkannya Perpres No. 35 Tahun 2011 yang mencakup penambahan kriteria Penunjukan Langsung (PL) untuk pekerjaan jasa konsultan hukum (advokat) dan arbiter yang mendesak dan tidak bisa direncanakan terlebih dahulu.47
Adanya perbedaan anggarandana antara Pengadaan barang dan jasa pemerintah dengan pengadaan barang dan jasa Badan Usaha Milik Negara. Perbedaan mendasar mengenai aturan pengadaan barang dan jasa dari Keppres No. 80 Tahun 2003 dengan Permen BUMN No. 05 Tahun 2008 adalah Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 dan perubahannya mengatur mengenai pengadaan barang dan/atau jasa yang dibiayai oleh dana APBN, termasuk pengadaan barang dan jasa yang dilakukan oleh BUMN dan dibiayai oleh dana APBN. Sedangkan, Peraturan Menteri BUMN No. 5 Tahun 2008 mengatur mengenai pengadaan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh BUMN dengan pendanaan di luar APBN, termasuk pinjaman/hibah dari luar negeri (PHLN), baik yang dijamin maupun tidak dijamin oleh Pemerintah. Perbedaan mendasarnya adalah bahwa Keppres No. 80 Tahun 2003 menentukan bahwa pada prinsipnya pelaksanaantender harus dilakukan secara terbuka dan bersaing serta transparan dalam hal tata cara dan peserta tender. Sedangkan, Peraturan Menteri BUMN No. 5 Tahun 2008 mengatur
(1)
masalah yang harus di hindari. Sebagai peluang bisnis yang dapat di manfaatkan sudah selayaknya para pelaku bisnis mengenal seluk beluk penyelesaian sengketa bisnis.
Sengketa terjadi apabila ada salah satu pihak menghendaki pihak lain untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu tetapi pihak lain menolaknya. Maka cara penyelesaian sengketa yang terdapat dalam perjanjian antara PT. Pertamina (Persero) dengan PT. Rajawali Karya Mandiri dapat di lakukan dengan cara yang telah di atur dalam Pasal 19 dinyatakan bahwa:
1. Apabila ada perselisihan atau perbedaan pendapat yang timbul dari atau sehubungan dengan perjanjian ini , atau karena sesuatu pelanggaran . para pihak akan menyelesaikan perselisihan tersebut dengan cara musyawarah. 2. Jika dalam waktu 30 hari kalender para pihak gagal menyelesaikan
perselisihan secara musyawarah dalam waktu yang layak , perselisihan atau perbedaan pendapat tersebut akan diselesaikan melalui Pengadilan Negeri Medan.
Apabila dalam perjanjian ini terjadi sengketa atau perselisihan maka langkah awal yang di tempuh adalah dengan jalan musyawarah atau kekeluargaan, apabila menemui kata sepakat maka para pihak akan melakukan addendum(perubahan) terhadap isi dari perjanjian sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak . Apabila tidak menemui kesepakatan maka akan di tempuh penyelesaian melalui
(2)
sama lainnya .Penyelesaian sengketa melalui pengadilan dianggap tidak efisien karena memerlukan waktu yang lama dan biaya yang mahalRendahnya kesadaran hukum juga mempengaruhi, dimana para pihak yang perkara bukan untuk mencari keadilan melainkan untuk memenangkan perkara. Faktor lain yang mengakibatkan adalah rumitnya proses pemeriksaan perkara di pengadilan, sehingga lambatnya pengambilan keputusan . Dengan kata lain penyelesaian sengketa melalui litigasi atau pengadilan merupakan hanya sebagai jalan terakhir setelah altenatif lain tidak berhasil.
Banyak masalah yang akan terjadi dalam suatu perjanjian bila tidak tersusun dengan baik , rapi dan jelas . Permasalahan tersebut akan semakin mengikuti pihak yang lemah kedudukan dalam perjanjian tersebut bila terjadi perselisihan atau sengketa dan terpaksa memasuki jalur litigasi atau pengadilan. Oleh karena itu , harus diperhatikan dengan seksama efek atau akibat perjanjian sebelum menandatanganinya . Sehingga para pihak mengetahui kedudukan yang seimbang atau tidak .Dan harus sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku.
(3)
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian tersebut maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Dalam perjanjian pelaksanaan pengadaan tenaga office boy antara PT. Pertamina (persero) dengan PT. Rajawali karya mandiri , jenis perjanjian pengadaan barang dan jasa ini pembiayaannya tidak menggunakan dana langsung dari APBN/APBD melainkan dana dari anggaran BUMN sendiri. Dan bentuk perjanjian ini adalah tertulis sesuai dengan perjanjian pada umumnya.
2. Berdasarkan kerangka dan isi perjanjian serta melihat dokumen – dokumen atas perjanjian pelaksanaan pengadaan tenaga office boy antara PT. Pertamina (persero) dengan PT. Rajawali karya mandiri sudah sesuai dengan undang – undang yang berlaku . Dapat di simpulkan Pengaturan tentang hak dan kewajiban sebagai berikut :
a. PT.Pertamina (Persero)
Hak adalah menerima pengadaan jasa tenaga kerja office boy.Sedangkan kewajibannya adalah membayar harga borongan.
(4)
3. Menyelesaikan sengketa para pihak maka langkah awal yang di tempuh dengan cara musyawarah( kekeluargaan) , apabila ada kata sepakat maka para pihak akan melakukan addendum (perubahan) terhadap isi dari perjanjian sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak . Apabila tidak menemui kesepakatan maka akan di tempuh penyelesaiansengketa dengan cara melalui pengadilan (litigasi).
B. SARAN
Berdasarkan kesimpulan yang ada di atas maka penulis dapat memberikan saran dalam hal – hal sebagai berikut :
1. Bagi para pihak harus melihat isi dari perjanjian terlebih dahulu untuk mengetahui jenis kontrak yang terdapat dalam perjanjian tersebut.
2. Bagi para pihak disarankan harus membaca dan mengerti akan perjanjian yang akan ditandatanganinya sehingga jelas hak dan kewajiban kedua belah pihak yang mengikatkan dirinya dalam perjanjian tersebut.
3. Bagi para pihak yang akan membuat atau mengadakan suatu perjanjian hendaklah memperhatikan terlebih dahulu memahami dan mengerti mengenai dasar – dasar suatu perjanjian yang berlaku dalam perjanjian tersebut sebelum menandatangani perjanjian sehingga terhindar dari peselisihan atau sengketa.
(5)
DAFTAR PUSTAKA
BUKU :
Ali, Chidir .Badan Hukum .Bandung : Alumni,2005
Apeldoom.L.J .Pengantar Ilmu Hukum . Jakarta: Noor Komala,1982
Badrulzaman, Mariam Darus .KUH Perdata Buku II Hukum Perikatan dan Penjelasan .Bandung : Alumni, 1993
Badrulzaman, Mariam Darus .Aneka Hukum Bisnis .Bandung : Alumni,1994 Badrulzaman, Mariam Darus, et.all. Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung : PT.
Citra Aditya Bakti, 2001
Fuady ,Munir . Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis . Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001
Hadson , Philipus.M. Pengantar Hukum Adminitrasi Indonesia .Yogyakarta : Gadjamada, 2002
HS, Salim, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan, Cetakan ketiga, Jakarta: Sinar Grafika, 2006
Muhammad, Abdul Kadir .Hukum Perikatan .Bandung : Citra Aditya Bakti, 1990 Komaroesid, Herry.Tata Cara Penyusunan Kontrak Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah .Jakarta : Mitra wacana Media , 2009
Meilala, A. Qirom Syamsudin. Pokok-pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya. Yogyakarta: Liberty, 1985
Miru, Ahmadi .Hukum Kontrak Perancangan kontrak . Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008
Muljadi Kartini dan Gunawan Widjaja .Seri Hukum Perikatan ( Perikatan yang Lahir dari Perjanjian) . Jakarta :Raja Grafindo Persada, 2003
(6)
Rusli Hardijan .Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law .Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1993
Satrio, J. Hukum Perikatan yang Lahir dari Undang-undang. Buku I , 1995 Setiawan .Pokok- Pokok Hukum Perikatan , Bandung : Alumni, 1979
Sofwan, Sri Masjchoen Soedewi.Hukum Perjanjian .Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada ,1982
Soekanto, Soejono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas Indonesia , 1986
Sogar , Yogar. Simamora .Pembentukan danPelaksanaan Kontrak Pengadaan , Seminar Naisonal Kontrak Pengadaan Barang dan jasa oleh Pemerintah . Jakarta : Airlangga , 2006
Subekti.R .Hukum Perjanjian.Jakarta : Pembimbing Masa, 1980
Suhendi , Andrian. Aspek Hukum Pengadaan Barang/jasa dan Berbagai Permasalahan .Jakarta : Sinar Grafika, 2012
Syahmin .Hukum Kontrak Internasional .Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006 Syaufii ,Mohd Syamsuddin.Perjanjian-Perjanjian dalam Hubungan Industrial
.Jakarta: Sarana Bakti Persada, 2005
Triwulan ,Titik Tutik.Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional.Jakarta: kencana , 2008
Tjitrosoedibyo dan Subekti .Kamus Hukum .Jakarta :Pradnya Paramita, 1996 Yahya, M. Harahap. Segi-segi Hukum Perjanjian.Bandung : Alumni,1986
PERUNDANG - UNDANGAN Kitab Undang – undang Perdata
Lihat SEMA No.3 Tahun 1963 joPasal 31 UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah