Sistematika Penulisan PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA OLEH DEBT COLLECTOR YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM MENAGIH KREDIT BERMASALAH

II.TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur Unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran yang merugikan orang lain atau merugikan kepentingan umum. Beberapa sarjana hukum di Indonesia menggunakan istilah yang berbeda-beda untuk menyebutkan kata tindak pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum pidana dan oleh karena itu memahami tindak pidana adalah sangat penting. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan kejahatan yang bisa diartikan secara yuridis ataupun kriminologis. Istilah tindak pidana adalah terjemahan dari bahasa belanda yaitu “strafbaarfeit” atau “delict”. 11 Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana dan pelakunya ini dapat dikatakan merupakan subjek tindak pidana. 12 Simons merumuskan tindak pidana sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakan yang dapat dihukum. 13 11 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008 12 Ibid, hlm. 45 13 P.A.F lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm. 185 Pengertian Tindak Pidana menurut istilah adalah terjemahan paling umum untuk istilah strafbaarfeit dalam bahasa Belanda walaupun secara resmi tidak ada terjemahan resmi strafbaarfeit. Pendapat beberapa ahli tentang Pengertian Tindak Pidana, yaitu : 1. Pengertian Tindak Pidana menurut Simons ialah suatu tindakan atau perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang hukum pidana, bertentangan dengan hukum pidana dan dilakukan dengan kesalahan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. 2. Menurut Pompe, Pengertian Tindak Pidana adalah Suatu pelanggaran norma gangguan terhadap tata tertib hukum yang dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman trhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan hukum. 3. Menurut Simons, Pengertian Tindak Pidana merupakan tindakan melanggar hukum pidana yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang hukum pidana telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. 4. Menurut E.Utrecht, Pengertian Tindak Pidana dengan isilah peristiwa pidana yang sering juga ia sebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen atau doen positif atau suatu melalaikan natalen-negatif, maupun akibatnya keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu. 5. Sementara itu, Moeljatno meyatakan bahwa Pengertian Tindak Pidana berarti perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, terhadap siapa saja yg melanggar larangan tersebut. Perbuatan tersebut harus juga dirasakan oleh masyarakat sebagai suatu hambatan tata pergaulan yang dicita-citakan oleh masyarakat. 6. Van Hmamel juga sependapat dengan rumusan tindak pidana dari simons, tetapi menambahkan adanya “sifat perbuatan yang mempunyai sifat dapat dihukum”. Jadi, pengertian tindak pidana menurut Van Hamael meliputi lima unsur, sebagai berikut : a. Diancam dengan pidana oleh hukum, b. Bertentangan dengan hukum, c. Dilakukan oleh seseorang dengan kesalahan schuld, d. Seseorang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya, e. Sifat perbuatan yang mempunyai sifat dapat dihukum. Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpukan bahwa Pengertian tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilakukan manusia yang dapat bertanggung jawab yang mana perbuatan tersebut dilarang atau diperintahkan atau dibolehkan oleh undang-undang hukum pidana yang diberi sanksi berupa sanksi pidana. Untuk membedakan suatu perbuatan sebagai tindak pidana atau bukan tindak pidana ialah apakah perbuatan tersebut diberi sanksi pidana atau tidak diberi sanksi pidana. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dari pada itu diingat bahwa larangan ditunjukan kepada perbuatan yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidananya ditunjukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. 14 Menurut sifatnya perbuatan-perbuatan pidana ini adalah pebuatan melawan hukum. perbuatan ini juga merugikan masyarakat dalam arti bertentangan dengan akan terlaksananya tata dalam pergulan, dapat dikatan bahwa perbuatan pidana ini adalah perbuatan yang anti sosial. Masyarakat pada umumnya menyatakan bahwa tindak pidana adalah yang dinilai jahat, karena bertentangan dengan perbuatan baik, yang seharusnya berlaku dalam kehidupan masyarakat, selain itu tindak pidana juga dapat merugikan orang lain dan dianggap melanggar etika yang seharusnya dijunjung tinggi dalam masyarakat.tetapi tidak semua perbuatan yang melawan hukum itu disebut perbuatan pidana dan diberi sanksi pidana. Mengenai perbuatan pidana ini suatu perbuatan diancam dengan pidana oleh Undang-Undang, maka dalam hukum pidana dikenal dengan asas legalitas, yaitu: “suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang- undangan pidana yang telah ada”, yang tercantum dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP. Asas ini dalam bahasa latin dikenal sebagai nullum delictum nula poena sine praevia lege poenale. Suatu ketentuan pidana harus lebih dahulu dari perbuatan itu, dengan perkataan itu, ketentuan pidana itu harus sudah berlaku ketika perbuatan dilakukan. Oleh kerena itu ketentuan tersebut tidak berlaku surut, baik mengenai ketetapan dapat 14 Moeljatno, Op. Cit, hlm. 59 dipidana maupun sanksinya. Namun dalam Pasal 1 ayat 2 KUHP menyatakan : “ bilamana ada perubahan dalam perundang-undagan sesudah perbuatan dilakukan maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling m enguntungkan”. Hal ini merupakan pengecualian dari larangan berlaku surut dalam hukum pidana, sepanjang mengenai hal, bahwa hukum yang ada, yaitu apabila seorang pelanggar hukum pidana belum diputus perkaranya oleh hakim dalam putusan terakhir. Pengecualian ini diperlukan upaya ada kepastian hukum. Unsur-unsur Tindak Pidana yaitu : a. Unsur formal meliputi : 1. Perbuatan manusia, yaitu perbuatan dalam arti luas, artinya tidak berbuat yang termasuk perbuatan dan dilakukan oleh manusia. 2. Melanggar peraturan pidana. dalam artian bahwa sesuatu akan dihukum apabila sudah ada peraturan pidana sebelumnya yang telah mengatur perbuatan tersebut, jadi hakim tidak dapat menuduh suatu kejahatan yang telah dilakukan dengan suatu peraturan pidana, maka tidak ada tindak pidana. 3. Diancam dengan hukuman, hal ini bermaksud bahwa KUHP mengatur tentang hukuman yang berbeda berdasarkan tindak pidana yang telah dilakukan. 4. Dilakukan oleh orang yang bersalah, dimana unsur-unsur kesalahan yaitu harus ada kehendak, keinginan atau kemauan dari orang yang melakukan tindak pidana serta Orang tersebut berbuat sesuatu dengan sengaja, mengetahui dan sadar sebelumnya terhadap akibat perbuatannya. Kesalahan dalam arti sempit dapat diartikan kesalahan yang disebabkan karena si pembuat kurang memperhatikan akibat yang tidak dikehendaki oleh undang- undang. 5. Pertanggungjawaban yang menentukan bahwa orang yang tidak sehat ingatannya tidak dapat diminta pertanggungjawabannya. Dasar dari pertanggungjawaban seseorang terletak dalam keadaan jiwanya. 6. Unsur material dari tindak pidana bersifat bertentangan dengan hukum, yaitu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sehingga perbuatan yang tidak patut dilakukan. Jadi meskipun perbuatan itu memenuhi rumusan undang- undang, tetapi apabila tidak bersifat melawan hukum, maka perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana. Unsur-unsur tindak pidana dalam ilmu hukum pidana dibedakan dalam dua macam, yaitu unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif adalah unsur yang terdapat di luar diri pelaku tindak pidana. Unsur ini meliputi : 7. Perbuatan atau kelakuan manusia, dimana perbuatan atau kelakuan manusia itu ada yang aktif berbuat sesuatu, misal membunuh Pasal 338 KUHP, menganiaya Pasal 351 KUHP. 8. Akibat yang menjadi syarat mutlak dari delik. Hal ini terdapat dalam delik material atau delik yang dirumuskan secara material, misalnya pembunuhan Pasal 338 KUHP, penganiayaan Pasal 351 KUHP, dan lain-lain. 9. Ada unsur melawan hukum. Setiap perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh peraturan perundang-undangan hukum pidana itu harus bersifat melawan hukum, meskipun unsur ini tidak dinyatakan dengan tegas dalam perumusan. b. Unsur lain yang menentukan sifat tindak pidana Ada beberapa tindak pidana yang untuk mendapat sifat tindak pidanya itu memerlukan hal-hal objektif yang menyertainya, seperti penghasutan Pasal 160 KUHP, melanggar kesusilaan Pasal 281 KUHP, pengemisan Pasal 504 KUHP, mabuk Pasal 561 KUHP. Tindak pidana tersebut harus dilakukan di muka umum. 1. Unsur yang memberatkan tindak pidana. Hal ini terdapat dalam delik-delik yang dikualifikasikan oleh akibatnya, yaitu karena timbulnya akibat tertentu, maka ancaman pidana diperberat, contohnya merampas kemerdekaan seseorang Pasal 333 KUHP diancam dengan pidana penjara paling lama 8 delapan tahun, jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat ancaman pidana diperberat lagi menjadi pidana penjara paling lama 12 dua belas tahun. 2. Unsur tambahan yang menentukan tindak pidana. Misalnya dengan sukarela masuk tentara asing, padahal negara itu akan berperang dengan Indonesia, pelakunya hanya dapat dipidana jika terjadi pecah perang Pasal 123 KUHP. Tindak pidana juga mengenal adanya unsur subjektif, unsur ini meliputi : 1. Kesengajaan dolus, dimana hal ini terdapat di dalam pelanggaran kesusilaan Pasal 281 KUHP, perampasan kemerdekaan Pasal 333 KUHP, pembunuhan Pasal 338. 2. Kealpaan culpa, dimana hal ini terdapat di dalam perampasan kemerdekaan Pasal 334 KUHP, dan menyebabkan kematian Pasal 359 KUHP, dan lain-lain. 3. Niat voornemen, dimana hal ini terdapat di dalam percobaan atau poging Pasal 53 KUHP 4. Maksud oogmerk, dimana hal ini terdapat dalam pencurian Pasal 362 KUHP, pemerasan Pasal 368 KUHP, penipuan Pasal 378 KUHP, dan lain-lain 5. Dengan rencana lebih dahulu met voorbedachte rade, dimana hal ini terdapat dalam membuang anak sendiri Pasal 308 KUHP, membunuh anak sendiri Pasal 341 KUHP, membunuh anak sendiri dengan rencana Pasal 342 KUHP.

B. Pertanggungjawaban Pidana

a. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Dasar dari adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana kalau tidak mempunyai kesalahan. Seseorang yang melakukan perbuatan pidana dapat dipidana apabila dia mempunyai kesalahan, dan kapankah seseorang dapat dikatakan mempunyai kesalahan. Hal inilah yang akan dibicarakan dalam masalah pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana merupakan pertanggungjawaban oleh orang terhadap perbuatan pidana yang telah dilakukannya. “Pada hakikatnya pertanggung jawaban pidana merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi atas kesepakatan menolak suatu perbuatan tertentu.” 15 Kesepakatan menolak tersebut dapat berupa aturan tertulis maupun aturan tidak tertulis yang 15 Chairul huda, 2011, Dari „Tiada Pidana Tanpa Kesalahan‟ menuju kepada „Tiada Pertanggung Jawaban Pidana Tanpa Kesalahan‟,Kencana, Jakarta, halaman 71. lahir dan berkembang dalam masyarakat. Masalah pertanggung jawaban pidana berkaitan erat dengan dengan unsur kesalahan. Dalam Undang-Undang No 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman Pasal 6 ayat 2 disebutkan: “tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana kecuali pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan, bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.” Dilihat dari ketentuan Pasal tersebut dapat jelas bahwa unsur kesalahan sangat menentukan akibat dari perbuatan seseorang ,yaitu berupa penjatuhan pidana. Walaupun unsur kesalahan telah diterima sebagai unsur yang menentukan sebuah pertanggungjawaban dari pembuat tindak pidana, tetapi dalam hal mendefinisikan kesalahan oleh para ahli masih terdapat perbedaan pendapat , “Pengertian tentang kesalahan dengan sendirinya menentukan ruang lingkup pertanggungjawaban pembuat tindak pidana” Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ”tanggung jawab” adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu kalau terjadi apa-apa, boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya. Pidana adalah kejahatan tentang pembunuhan, perampokan,dsb. 16 Hal pertama yang perlu diketahui mengenai pertanggungjawaban pidana adalah bahwa pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindakan pidana. 16 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, 1991, hlm. 1006 Moeljatno mengatakan, orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dijatuhi pidana kalau tidak melakukan perbuatan pidana. 17 Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana pertama-tama tergantung pada dilakukannya tindak pidana. Pertanggungjawaban atau yang di kenal dengan konsep “liability” dalam segi falsafah hukum, seorang filosof besar abad ke 20, Roscoe Pound menyatakan bahwa : I…Use simple word “liability” for the situation whereby one may exact legally and other is legally subjeced to the exaction .” 18 Pertangungjawaban pidana diartikan Pound adalah sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan di terima pelaku dari seseorang yang telah dirugikan, 19 menurutnya juga bahwa pertanggungjawaban yang dilakukan tersebut tidak hanya menyangkut masalah hukum semata akan tetapi menyangkut pula masalah nilai-nilai moral ataupun kesusilaan yang ada dalam suatu masyarakat. Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing disebut sebagai “toereken- baarheid ,” “criminal reponsibilty,” “criminal liability,” pertanggungjawaban pidana disini dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersebut dapat dipertanggungjawabkan atau tidak terhadap tindakan yang dilakukannya itu. 20 Dalam konsep KUHP tahun 1982-1983, pada Pasal 27 menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif ada pada tindak pidana berdasarkan hukum yang berlaku, secara objektif kepada pembuat 17 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1993, hlm. 155 18 Roscoe Pound. “ introduction to the phlisophy of law” dalam Romli Atmasasmita,Perbandingan Hukum Pidana.Cet.II, Bandung: Mandar Maju, 2000, hlm.65 19 Loc., Cit. 20 S.R Sianturi .Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapanya, Cet IV, Jakarta: Alumni Ahaem Peteheam,1996, hlm. 245