TINJAUAN UMUM TENTANG PEMERINTAHAN TOKUGAWA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMERINTAHAN TOKUGAWA

PADA MASA EDO DAN NOVEL THE LAST SHOGUN Kehidupan Masyarakat Jepang Pada Masa Tokugawa di Zaman Edo Sebelum Tokugawa Yoshinobu dan Kebijakannya Pembukaan zaman Edo diawali dengan diangkatnya Tokugawa Ieyasu sebagai Sei-Tai shogun oleh kaisar. Tokugawa Ieyasu diangkat setelah ia memenangkan peperangan Sakigahara di Chubu tahun 1600. Di dalam peperangan tersebut, Ieyasu berhasil mengalahkan Ishida Mitsunari yang ingin menggantikan kedudukan Hideyoshi. Ishida Mitsunari adalah pendukung Toyotomi Hideyoshi Putra Toyotomi Hidoyoshi. Dengan meninggalnya Toyotomi Hideyoshi 1598, timbul pertentangan untuk memperebutkan kedudukan Hidoyoshi. Sesungguhnya yang berhak menggantikan kedudukan Toyotomi Hidoyoshi adalah Toyotomi Hideyori. Tetapi kenyataan tidaklah demikian kekuasaan tersebut diambil alih oleh keluarga Tokugawa. Pemerintahan Tokugawa berlangsung selama kira-kira 264 tahun lebih. Zaman ini juga disebut sebagai zaman yang damai bagi Jepang karena tidak adanya serangan dari para daimyo lain terhadap bakufu atau tidak adanya keributan disebabkan perang antar daimyo. Totman dalam Situmorang 1990:28 membagi periode pemerintahan Tokugawa berdasarkan kemantapannya atas tiga periode yaitu : 1. Peride pertama tahun 1603-1632 2. Periode kedua tahun 1633-1854 3. Periode ketiga tahun 1885-867 Periode pertama adalah masa shogun Ieyasu 1603-1605 sampai masa shogun Hidedata 1605-1632. Pada masa kedua shogun ini, diadopsi sistem administrasi Toyotomi Hideyosi untuk menjalankan pemerintahannya, dan mulai memerintah kepada Kangakusha bagian pemikir pemerintahan untuk mengajarkan konfusionis di kalangan bushi. Ajaran ini dianggap cocok untuk diterapkan bagi kalangan masyarakat Jepang terutama kalangan bushi karena ajarannya berpusat kepada pelajaran akan kesadaran perbedaan status tuan dan pengikut, ayah dan anak, suami dan istri, dan hubungan atas bawah lainnya sehingga tuan benar-benar menjadi tuan dan pengikut menjadi pengikut Okada dalam Situmorang, 1995:44. Periode kedua adalah masa kemantapan keshogunan Tokugawa yang diperintah oleh sepuluh generasi Tokugawa dari Iemitsu 1633-1651 sampai shogun Ieyoshi 1837-1853. Periode ketiga adalah masa kehancuran keshogunan Tokugawa hingga menyerahkan kekuasaan kepada kekaisaran 1853-1867 di perintah oleh tiga generasi Tokugawa yaitu shogun Iesada sampai Yoshinobu. Untuk mencapai tujuannya yaitu mempertahankan kekuasaan selama mungkin, pemerintah Tokugawa memantapkan sarana dalam budaya Tokugawa. Tokugawa Ieyasu menata dan mengategorikan daimyo di seluruh Jepang pada masa itu menjadi tiga jenis yaitu, a Daimyo Shinpan, yaitu daimyo yang masih merupakan keturunan Tokugawa atau daimyo yang ada hubungan kekeluargaan dengan Tokugawa. Para daimyo jenis ini lebih dipercaya oleh keshogunan. Mereka ditempatkan di sekitar Edo atau dekat dengan Edo. b Daimyo Fudai, yaitu daimyo yang menjadi pendukung Tokugawa dalam perang Sekigahara. Para daimyo ditempatkan mengantarai para daimyo Shinpan dengan daimyo Tozama. c Daimyo Tozama, yaitu para daimyo yang menjadi musuh Tokugawa dalam perang Sekigahara yang membantu keluarga Toyotomi dalam perang tersebut. Daimyo ini ditempatkan jauh dari Edo. Kebijakan lain yang dibuat oleh Tokugawa adalah rakyat Jepang dibagi- bagi menurut sistem kelas berdasarkan pembagian kelas yang diciptakan Toyotomi Hideyoshi. Kelas samurai berada di hirarki paling atas, diikuti petani, pengrajin dan pedagang. hhtp: secure.wikimedia.orgwikipediaidwikiKeshogunan_Tokugawa. Sistem politik feodal Jepang di zaman Edo disebut Bakuhan Taise. baku dalam bakuhan berarti tenda yang merupakan singkatan dari bakufu pemerintah militer atau keshogunan. Dalam sistem Bakuhan taisei, daimyo menguasai daerah-daerah yang disebut han dan membagi-bagikan tanah kepada pengikutnya. Sebagai imbalannya, pengikut daimyo berjanji untuk setia dan mendukung daimyo secara militer. Kekuasaan pemerintah pusat berada di tangan shogun di Edo dan daimyo di tunjuk sebagai kepala pemerintahan di daerah. Daimyo memimpin provinsi sebagai wilayah berdaulat dan berhak menentukan sendiri sistem pemerintahan, sistem perpajakan, dan kebijakan dalam negeri. Sebagai imbalannya, daimyo wajib setia kepada shogun yang memegang kendali hubungan internasional dan keamanan dalam negeri. Shogun juga memiliki banyak provinsi dan berperan sebagai daimyo di provinsi yang dikuasainya. Keturunan keluarga Tokugawa disebar sebagai daimyo di seluruh pelosok Jepang untuk mengawasi daimyo lain agar tetap setia dan tidak bersekongkol melawan shogun Kekuasaan pemerintah pusat berada di tangan shogun di Edo dan daimyo ditunjuk sebagai kepala pemerintahan di daerah. Daimyo memimpin provinsi sebagai wilayah berdaulat dan berhak menentukan sendiri sistem pemerintahan, sistem perpajakan, dan kebijakan dalam negeri. Sebagai imbalannya, daimyo wajib setia kepada shogun yang memegang kendali hubungan internasional dan keamanan dalam negeri. Shogun juga memiliki banyak provinsi dan berperan sebagai daimyo di provinsi yang dikuasainya. Keturunan keluarga Tokugawa disebar sebagai daimyo di seluruh pelosok Jepang untuk mengawasi daimyo lain agar tetap setia dan tidak bersekongkol melawan shogun. Keshogunan Tokogawa berhak menyita atau memindahtangankan wilayah di antara para daimyo. Sistem Sankin Kotai mewajibkan daimyo bertugas secara bergiliran mendampingi shogun menjalankan fungsi pemerintahan di Edo. Daimyo harus memiliki rumah kediaman sebagai tempat tinggal kedua sewaktu bertugas di Edo. Anggota keluarga daimyo harus tetap tinggal di Edo sebagai penjaga rumah sewaktu daimyo sedang pulang ke daerah, sekaligus sebagai sandera kalau daimyo bertindak di luar keinginan shogun. Kebijakan lain yang dibuat oleh Tokugawa adalah dengan mengawinkan sanak saudara dari klan Tokugawa dengan klan Tozama Daimyo Satsuma, Choshu, Tosa, dan Hizen. Dalam pemerintahan Tokugawa masyarakat Jepang juga diajarkan bahwa baik bakufu maupun daerah han daerah daimyo ada penguasaan administrasi feodal. Walaupun bakufu tidak menerima pajak secara langsung dari para daimyo yang berupa beras tetapi untuk penanggulangan keperluan umum dibebankan pada kedaimyoan. Bakufu juga mempunyai pengertian sebagai sebuah keluarga dimana hubungan bukufu dan han itu diibaratkan sebgai hubungan orang tua dan anak dengan pemikiran anak harus mengerjakan pekerjaan yang ditetapkan oleh orang tua dan harus taat pada peraturan orang tua Okada dalam Sirumurang,1995:58. Keadaan yang stabil ini juga mebuat mereka mulai memikirkan untuk menyempurnakan warisan kebudayaan sendiri yang kaya. Perdamaian dan stabilitas inipun merupakan lompatan permulaan yang besar dalam bidang produksi di perekonomian Jepang pada saat itu. Kedaan ini memaksa rakyat Jepang untuk mencari pasaran di kota-kota di daerah lainnya supaya mereka dapat menjual hasil produksinya secara bebas. Kondisi yang demikian juga menyebabkan timbulnya kota-kota besar sebagai pusat perdagangan. Dan kerena pasaran yang ada dalam negeri tidak memadai, maka Jepang mulai mengadakan hubungan dagang dengan negara-negara luar. Hubungan dagang ini berkembang dengan pesat dan menjadi maju. Timbulnya Sakoku Jauh sebelum zaman Edo bangsa Jepang telah melakukan hubungan dengan bangsa lain terutama Cina, Mongol dan Korea, dan hubungan yang paling berpengaruh adalah dengan bangsa Cina. Pengaruh-pengaruh tersebut terutama dalam bidang pemerintahan yang banyak meniru system pemerintahan dan budaya Cina. Hubungan Jepang juga bukan hanya dengan bangsa Asia saja, namun juga dengan bangsa Eropa. Kedatangan bangsa Eropa yaitu bangsa Portugis yang awalnya secara tidak sengaja tiba di Jepang mengawali hubungan dengan bangsa Eropa. Orang Portugis tersebut memperkenalkan senjata api yang pada masa itu belum ada di Jepang. Minat bangsa Jepang begitu tinggi terhadap senjata api, sehingga hal tersebut telah membuat kedatangan bangsa-bangsa asing tersebut, yang pada awalnya untuk berdagang, disambut dengan ramah oleh orang Jepang bahkan oleh penguasa feodal masa itu. Kemudian tak lama setelah itu, kedatangan bangsa Portugis tersebut diikuti dengan para misionaris yang menyebarkan agama Kristen. Seperti halnya senjata,, agama Kristen juga merupakan sesuatu yang baru di Jepang. Karena keingintahuan yang besar akan agama baru tersebut, semakin banyak orang yang tertarik dan bahkan menjadi penganut agama ini Reischauer, 1981:87. Satu hal yang dikhawatirkan oleh bakufu pada awalnya adalah adanya pengaruh dari ide-ide asing yang dapat mencemari kebiasaan negara. Agama Kristen dianggap berbahaya dan dapat mengganggu kestabilan pemerintah keshogunan, karena agama ini mengajarkan tentang persamaan manusia di hadapan Tuhan, berbeda dengan ajaran Konfusius yang menyatakan bahwa masyarakat rendah harus menghormati masyarakat atas dan dengan demikian juga membahayakan kelangsungan feodalisme yang melarang adanya perpindahan antar status golongan atau kelas di masyarakat. Maka akhirnya agama Kristen dilarang dan keshogunan Tokugawa melarang masuk semua orang asing kecuali beberapa pedagang Belanda yang dibatasi di pulau kecil Dejima di teluk Nagasaki. Selama lebih dari dua setengah abad hanya dengan orang-orang inilah hubungan Jepang dengan dunia luar dilakukan Internastional Society for Education Information, 1989:10. Kisah pemberontakan yang terjadi di Shimabara Shimabara No Ran atau yang disebut dengan pemberontakan Kristen tahun 1637 merupakan awal Jepang menutup atau menghentikan hubungan dengan dunia luar. Yawato 1953:134 menulis bahwa pada saat itu yaitu tahun 1635 di daerah Shimabara Kyushu dan Amakusa yang merupakan daerah yang banyak penganut Kristen, daimyo memberlakukan pajak tanah tahunan yang tinggi serta melakukan penyiksaan terhadap penganut agama Kristen. Saat inilah orang Kristen disuruh menginjak gambar-gambar suci agama Kristen kemudian dibuat peraturan ketat untuk pemeriksaan agama yaitu untuk mengetahui suatu keluarga terdaftar di kelenteng Budha mana sehingga dengan demikian juga secara tak langsung dapat mengetahui siapa saja yang merupakan pengikut Kristen. Situmorang 1995:60 menyatakan Iemitsu mengeluarkan peraturan untuk menutup diri dari dunia asing secara total pada tahun 1637 yaitu melarang kapal dari luar masuk ke Jepang dan melarang orang jepang pergi ke luar dengan alasan mencegah masuknya ideologi asing. Ada beberapa tahap perintah yang dikeluarkan berkaitan dengan sakoku yaitu : a Perintah ini dikeluarkan pada tahun 1633 yang berisi 17 pasal yang mengintruksikan menutup kedatangan dan kepergian orang Jepang ke luar negeri, pencarian para misionaris dan orang-orang yang menjadi Kristen, juga peraturan perdagangan luar negeri. Semua kapal-kapal Jepang dan orang Jepang dilarang meninggalkan Jepang dan pergi ke luar negeri tanpa izin, seluruh orang Jepang yang masih hidup di luar negeri akan dihukum mati jika mereka mencoba kembali ke Jepang, kecuali orang yang tinggal di luar negeri kurang dari lima tahun dan yang tak dapat dielakkan dan telah ditahan. Polisi-polisi Nagasaki juga memeriksa semua orang yang dicurigai menjadi Kristen, dan imbalan ditawarkan bagi informasi yang memberitahukan lokasi pendeta asing. Ketika kapal asing tiba, dikawal ketika melapor ke Edo. Orang Jepang yang menolong seorang pendeta asing yang melanggar dipenjarakan di Omura., dan akhirnya pencarian dengan seksama dilakukan untuk mencari pendeta asing di semua kapal yang memasuki Jepang. b Perintah kedua adalah tahun 1634 dan ketiga tahun 1635 yang isinya sama dengan perintah yang pertama, tetapi tahun 1635 perintah larangannya lebih tegas. Pengiriman kapal ke luar negeri benar-benar dilarang. Lebih dari itu, jika seorang Jepang ketahuan berusaha untuk meninggalkan atau kembali ke Jepang akan dihukum mati dan baik kapal dan kaptennya juga dituntut dan ditawan. c Perintah keempat yaitu tagun 1639 yang berisi 19 artikel, diantaranya menyatakan keturunan dari “orang barbar selatan” yaitu orang Portugis dan Spanyol tidak diizinkan tinggal menetap di Jepang dan diancam dengan hukuman mati dan orang Jepang yang mengadopsi keturunan mereka, bersama dengan anak tersebut akan didepotasi ke Portugis. Imbalan untuk informasi mengenai pendeta asing Bateren dinaikkan dan peraturan perdagangan luar negeri dijelaskan dengan lebih rinci dengan kesempatan yang dibuat untuk mengetahui kapan dan bagaimana sutra alami dapat dijual d Perintah sakoku yang terakhir tahun 1639 adalah sebagai akibat buruk Pemberontakan Simabara yang terjadi tahun 1637. Pemberontakan Shimabara terjadi karena usaha penganut Kristen untuk mempertahankan keberadaan mereka. Perintah ini menyatakan bahwa kapal-kapal Portugis tidak boleh lama-lama memasuki pelabuhan Jepang. Setiap kapal yang melanggar perintah ini, maka kapal tersebut akan dihancurkan dan kru beserta penumpangnya akan dihukum mati. Pada tahun 1640, keshogunan menahan 74 orang yang berlayar dari Macao ke Nagasaki untuk membuka kembali hubungan dengan Jepang. Sebanyak 61 orang dihukum mati dan sisanya sebanyak 13 anggota kru orang Cina diizinkan kembali ke Macao. Dengan kebijaksanaan yang dibuat ini membuat pemerintahan keshogunan Tokugawa semakin kuat, karena apa yang dulunya merupakan ancaman telah disingkirkan. Masa ini disebut sebagai masa damai karena tidak adanya kerusuhan-kerusuhan yang terjadi, juga tidak ada pemberontakan kalangan bawah terhadap kalangan atas. Sakoku menurut Sudjianto 2002:88 dalam kamus istilah masyarakat dan kebudayaan Jepang adalah politik isolasi yang melarang orang Jepang melakukan perjalanan ke luar negeri dan melarang kapal asing memasuki wilayah Jepang. Kehidupan Masyarakat Jepang pada Masa Kepemimpinan Tokugawa Yoshinobu dan Kebijakannya Pada masa kepemimpinan Tokugawa Yoshinobu keadaan Jepang pada saat itu sedang parah. Mulai dari rakyat biasa sampai para pemerintah shogun, semua kelas tenggelam dalam utang kepada pengriba atau pera pedagang. Pengeluaran resmi yang lazim sudah begitu besar sehingga tidak dapat ditunjang lagi. Para daimyo juga tidak dapat lagi membayar jatah masing-masing samurai pengikutnya. Mereka mencoba bertahan dengan meningkatkan pajak yang sudah tinggi atas petani dengan menarik pajak sebelum waktunya. Dan hal ini tentu saja membuat petani menderita kemiskinan hebat. Keshogunan juga mengalami kebangkrutan dan hampir tidak berdaya untuk mempertahankan status quo. Keadaan ini sangat parah ketika Komodor Perry dari AS datang dengan kapal-kapal perangnya pada tahun 1853 dan mendarat di Teluk Edo untuk memaksa Jepang mengizinkan kapal-kapal Amerika memasuki pelabuhan-pelabuhan mereka. Dengan keadaan kapal-kapal dilengkapi dengan meriam yang lebih modern yang lebih bisa menghancurkan Edo dan bahkan dengan mudah memotong pangadaan pangan yang utama dengan memblokade jalan masuk ke teluk Edo membuat keshogunan tidak dapat berbuat apa-apa selain menerimanya. Pada tahun 1854 ditandatanganilah persetujuan yang pertama diantara AS dengan Jepang. Sekalipun isi persetujuan ini masih terbatas, namun memungkinkan AS menempatkan seorang konsul jendral di Yokohama. Townsend Harris sebagai konsul jendral AS, berhasil memaksa Jepang untuk menandatangani persetujuan berikut pada tahun 1858 yang isinya kurang lebih menggambarkan keangkuhan bangsa-bangsa Barat terhadap Cina dan Jepang seperti adanya permusuhan bahwa kedudukan-kedudukan mereka dapat dilindungi oleh pasukan militer sendiri dan hak ekstrateritorial dalam bidang hukum yang menentukan bahwa orang-orang negara Barat itu diadili oleh hakim mereka dan berdasarkan undang-undang mereka sendiri. Keadaan ini amat tidak disukai oleh rakyat Jepang pada umumnya dan para samurai khususnya. Lingkungan Tenno Heika yang berada di Kyoto tidak setuju dengan perkembangan demikian. Sebab ini adalah pertama kalinya dalam sejarah Jepang bahwa bangsa asing dapat menunjukkan kekuasaannya di bumi Jepang. Mereka khawatir bahwa langkah demi langkah Jepang akan mengalami nasib yang sama seperti Cina atau bangsa- bangsa lain di Asia yang menurut pendengaran mereka dikuasai oleh bangsa- bangsa Eropa. Keshogunan Tokugawa dalam menghadapi tuntutan-tuntutan Perry, mencar dukungan dari seluruh wilayah bermusyawarah dengan daimyo. Dengan semboyan politik adalah sonno joi yang arinya “hormati kaisar,dan usir orang- orang biadab” telah mengobarkan semangat di hati samurai-samurai muda untuk membunuh pejabat-pejabat shogun dan bahkan diplomat dan pedagang Barat, sehingga terjadilah saling bunuh. Ketika samurai Satsuma membunuh seorang Inggris dekat Yokohama yang kemudian dibalas dengan penghancuran Kagoshima, ibukotanya tahun 1863 oleh armada Inggris. Juga pada saat Choshu menembaki kapal-kapal Barat yang melalui selat Shimonoseki,suatu armada gabungan pada tahun 1864 meratakan benteng-benteng Choshu. Dengan demikian konsep baru yaitu fukoku kyohei, artinya “Negara kaya, militer kuat” makin terwujud dalam kenyataan. Sejak peristiwa tahun 1853, pemerintah Tokugawa mulai kehilangan kekuatannya. Beberapa daerah bersaing untuk mendapatkan pengaruh atas istana Kyoto dan Choshu secara terang-terangan menolak otoritas Edo. Akhirnya dengan koalisi Satsuma, Choshu dan beberapa daerah di bawah kekuasaan daimyo Tozoma merebut kekuasaan dengan menguasai istana kaisar dan atas nama kaisar mengumumkan berlakunya kembali pemerintahan kaisar sejak 3 Januari 1868. Dengan demikian mengakhiri pemerintah Tokugawa yang berlangsung lebih dari dua setengah abad. Ini merupakan awal dari restorasi dan kemudian dibentuklah suatu pemerintahan dimana kaisar menangani masalah-masalah politik. Setting Novel The Last Shogun Setting atau latar merupakan unsur pembangun karya sastra yang menunjukkan kapan dan dimana peristiwa dalam cerita tersebut berlangsung. Latar dalam cerita sastra mempengaruhi pembentukan tingkah laku dan cara berfikir tokoh. Menurut Abrams dalam Zainuddin 2001:99, secara garis besar latar dapat dikategorikan ke dalam tiga bagian yaitu latar tempat, latar waktu dan latar sosial. Latar tempat menyangkut deskripsi mengenai tempat terjadinya suatu peristiwa. Dalam hal ini lokasi tempat berlangsungnya dalam novel the Last Shogun adalah Edo. Disebutkan bahwa perjalanan yang dilakukan Yoshinobu dari kediaman Mito di Komagome ke Edo untuk diangkat menjadi anak oleh keluarga Hitotsubashi menghabiskan waktu tiga hari. Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa- peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah ‘kapan’ tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu yang faktual. Latar waktu harus juga dikaitkan dengan latar tempat dan latar sosial sebab pada kenyataannya memang saling berkaitan. Latar waktu dalam novel ini dapat dilihat dari awal novel yaitu 1837 sampai 1913 di akhir zaman Edo. Latar sosial merupakan gambaran status tokoh yang menunjukkan kedudukannya dalam masyarakat. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks, dapat berupa kebiasaan hidup, adapt istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir dan bersikap, dan lain sebagainya. Dalam novel The Last Shogun ini mencakup tentang pandangan hidup, cara berfikir dan bersikap tokoh cerita Yoshinobu yang berbeda dengan para pemimpin Jepang lainnya sebelum dia. Biografi Pengarang Ryotaro Shiba adalah salah satu penulis yang paling dihormati di Jepang. Dia lahir di Osaka pada tahun 1923. Shiba merupakan lulusan Universitas Osaka jurusan studi luar negeri tempat dia mempelajari bahasa Mongolia. Shiba bergabung dalam Tentara Imperalis Jepang selama Perang Dunia II. Pada masa akhir peperangan, keterkejutannya atas arah Jepang yang terfokus dengan adanya perubahan pada perintah komandannya yang tidak memperdulikan nyawa penduduk sipil. Setelah perang, Shiba mulai melakukan eksplorasi panjang akan orang- orang-orang dan kejadian-kejadian dalam sejarah Jepang. Ia mencoba untuk memahami bagian rangkaian sebuah bangsa itu tertata. Shiba bekerja sebagai reporter surat kabar dan dari sinilah ia mulai menulis novel-novel sejarah dan pada tahun 1959, ia menerima anugrah Naoki untuk bukunya yang berjudul Fukuro no Shiro Kastil Burung Hantu. Banyak karya Shiba yang seringkali memberikan interpretasi baru akan masa-masa yang penuh naik dan turun seperti Restorasi Meiji yang meraih sukses di kalangan pembaca Jepang. Shiba menjadi anggota Akademi Kesenian Jepang pada tahun 1981 dan dia diakui sebagai orang yang berjasa dalam bidang kebudayaan pada tahun 1991 dan menerima anugrah Order of Culture pada tahun1993. Pada tahun 1996 tepatnya di bulan Februari Shiba meninggal dan ia meninggalkan seorang istri yang bernama Midori.

BAB III PEMIKIRAN TOKUGAWA YOSHINOBU DALAM

Dokumen yang terkait

Hirofumi Sawada No Sakuhin No “Shanaou Yoshitsune” To Iu Manga Ni Okeru Heian Jidai Matsu No Rekishitekina Bunseki

2 36 105

Higuchi Tachibana No Sakuhin No “M To N No Shouzou”To Iu Manga Ni Okeru Shujinkouno Shinrigakutekina Bunseki

2 47 67

Pemerintahan Rezim Shogun Tokugawa Yang Terakhir Saigo No Tokugawa Shougun No Seitai Seifu

0 57 43

Analisis Kesetiaan Tokoh Kaze Dalam Novel “Pembunuhan Sang Shogun” Karya Dale Furutani Dale Furutani No Sakuhin No Shougun No Satsugai No Shousetsu Ni Okeru Kaze To Iu Shujinko No Chujitsu No Bunseki

5 50 66

Analisis Konsep Zen dalam Novel “The Harsh Cry of The Heron” Karya Lian Hearn ( Lian Hearn no sakuhin no “The Harsh Cry of The Heron” No Shosetsu Ni Okeru Zen No Gainen No Bunseki).

0 50 73

Analisis Konsep Kazoku Dalam Novel “Kitchen” Karya Banana Yoshimoto (Banana Yoshimoto No Sakuhin Daidokoro No To Iu Shosetsu Ni Okeru Kazoku Ni Gainen No Bunseki)

7 71 54

Analisis Psikologis Tokoh Utama Dalam Novel “1 Liter Of Tears” Karya Aya Kito Aya Kito No Sakuhin No “1 Rittoru Namida” To Iu Shosetsu Ni Okeru Shujinko No Shinrigakutekina Bunseki

4 68 81

Analisis Pemikiran Lian Hearn Tentang Samurai Dalam Novel “Across The Nightingale Floor” (“Across The Nightingale Floor” No Shosetsu Ni Okeru Samurai Ni Tsuite No Lian Hearn No Kangaekata No Bunseki)

0 16 113

Analisis Aspek Sosiologis Tokoh Gals Dalam Komik “Gals!” Karya Mihona Fuji = Mihona Fuji No Sakuhin No “Gals!” To Iu Manga Ni Okeru Gyaru No Shujinkou No Shakaigakuteki No Bunseki Ni Tsuite

0 59 62

Etika Bushido Dalam Novel Shiosai Karya Yukio Mishima (Yukio Mishima No Sakuhin No “Shiosai” No Shosetsu Ni Okeru Bushido No Doutoku)

3 36 58