Analisis Konsep Zen dalam Novel “The Harsh Cry of The Heron” Karya Lian Hearn ( Lian Hearn no sakuhin no “The Harsh Cry of The Heron” No Shosetsu Ni Okeru Zen No Gainen No Bunseki).

(1)

ANALISIS KONSEP ZEN DALAM NOVEL

“THE HARSH CRY OF THE HERON”

KARYA LIAN HEARN

LIAN HEARN NO SAKUHIN NO “THE HARSH CRY OF THE HERON”

NO SHOUSETSU NI OKERU ZEN NO

GAINEN NO BUNSEKI

050708024

ELLYS PARINDURI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana

Bidang ilmu sastra jepang

Pembimbing I Pembimbing II

Adriana Hasibuan,SS M.Hum Prof.Drs. Hamzon Situmorang, M.S.Ph.D

NIP. 19620727 198703 0 205 NIP. 19580704 198412 1 001

Program Studi Bahasa Jepang ketua program studi

NIP. 19580704 198412 1 001


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat ALLAH SWT yang Maha Sempurna, karena atas Rahmat dan Ridho –Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi yang berjudul Analisis Konsep Zen dalam Novel “The Harsh Cry of The Heron” Karya Lian Hearn ( Lian Hearn no sakuhin no “The Harsh Cry of The Heron” No Shosetsu Ni Okeru Zen No Gainen No Bunseki) ini diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam mencapai gelar kesarjanaan pada Fakultas Sastra Program Studi Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih, penghargaan, serta penghormatan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan studi dan skripsi ini, antara lain kepada:

1. Bapak Prof. Drs. Syaifuddin M.A, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra Univeritas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Drs. Hamzon Situmorang M.S, Ph.D, selaku Ketua Program Studi S-1 Sastra Jepang Sumatera Utara sekaligus dosen pembimbing II penulis, yang telah menyediakan waktu disela –sela kesibukannya dan jadwalnya yang padat untuk membimbing dan memberi nasehat kepada penulis intuk menyelesaikan skripsi ini.

3. Ibu Adriana Hasibuan SS, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I, yang telah menyediakan waktu disela-sela kesibukannya untuk membimbing dan


(3)

tak terbalaskan, dan hanya Allah yang dapat membalasnya dengan yang terbaik. Amin ya Rabb.

4. Dosen Penguji Ujian Skripsi, yang telah menyediakan waktu untuk membaca dan menguji skripsi ini. Terima Kasih juga penulis ucapkan kepada semua Dosen Pengajar Program Studi S-1 Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan banyak ilmu kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dengan baik. Terima Kasih juga penulis ucapkan untuk Bang Amran dan Bang Mistam yang juga telah banyak membantu penulis.

5. Ayahanda Alm.Amrin Parinduri yang telah tiada namun kenangan tentangnya yang menyemangatkan penulis untuk segera menyelesaikan Skripsi ini, juga Ibunda ku Tersayang yang telah banyak membantu penulis yang dengan setia merawat dan mengajarkan nilai-nilai yang baik kepada penulis, sehingga penulis selalu bersemangat dan percaya diri.

6. Suamiku Tercinta, H. Muhammad Irfandi, ST yang dengan setia menemani penulis hingga larut malam ketika penulis mengerjakan Skripsi ini. Dan juga selalu menyemangati penulis ketika penulis harus menunggu dosen berjam-jam lamanya. Semoga cinta kita selalu di Ridhoi ALLAH SWT, Amin.. 7. Abangdaku yang nun jauh di Semarang, Terima kasih atas doanya kepada

adiknya ini sehingga dapat menyelesaikan Skripsi ini, Terima Kasih juga buat Kakakku yang Ndut dan Bang Irfa yang Kibo yang tetap memberikan

dukungan moril kepada penulis sehingga penulis tetap semangat mengerjakan Skripsi ini.


(4)

8. Teman-teman penulis sesama mahasiswa Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara Stambuk 2005, yang selalu gokil dan tetap semangat juga menguatkan satu sama lain dalam menyelesaikan studi serta telah membagi begitu banyak hal selama menjalani proses belajar di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

9. Semua pihak yang telah membantu menyelesaikan Skripsi ini, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa tidak ada yang sempurna dalam hidup ini, termasuk juga dalam penulisan skripsi ini. Namun penulis tetap mencari kesempurnaan tersebut dalam suatu nilai pekerjaan yang dilakukan secara maksimal. Maka dengan berangkat dari prinsip itu jugalah, penulis berusaha merampungkan skripsi penulis tersebut.

Medan, Oktober 2009 Penulis


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………..i

DAFTAR ISI……….iv

BAB I PENDAHULUAN………...1

1.1.Latar Belakang Masalah………..1

1.2.Perumusan Masalah……….6

1.3.Ruang Lingkup Pembahasan………...7

1.4.Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori………8

1.4.1 Tinjauan Pustaka………8

1.4.2 Kerangka teori………...10

1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian……….13

1.5.1 Tujuan………...13

1.5.2 Manfaat Penelitian………13

1.6. Metodologi Penelitian………..14

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP ZEN DI JEPANG DAN NOVEL “THE HARSH CRY OF THE HERON” 2.1 Sejarah Perkembangan Zen………15

2.1.1 Sejarah Munculnya Zen………..15

2.1.2 Perkembangan Zen di Jepang……….17

2.2 Konsep umum Zen dalam Bushido...19

2.3 Definisi Novel dan Setting Novel The Harsh Cry of The Heron…23 2.3.1 Definisi Novel……….23


(6)

2.3.2 Setting dalam Novel “The Harsh Cry of The Heron”……25 2.3.2.1 Setting Tempat, Waktu dan Sosial………25

2.3.3 Pendekatan Semiotik, Sosiologi, Historis pada Novel The Harsh Cry of The Heron………..26

2.4 Biografi Pengarang………31 BAB III ANALISIS KONSEP ZEN DALAM NOVEL

THE HARSHOFTHE HERON

3.1 Sinopsis Cerita………..33

3.2 Analisis Konsep Zen Mengenai Kesetiaan dan Kesederhanaan para tokoh Utama dalam novel the Harsh Cry of The Heron……….36

3.2.1 Analisis Tokoh Takeo……….36 3.2.2 Analisis Tokoh Shigeru………..51 3.2.3 Analisis Tokoh Shizuka………..55 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan……….. 4.2. saran………. DAFTAR PUSTAKA


(7)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul Analisis konsep Zen dalam novel The Harsh Cry of The Heron karya lian hearn. Skripsi ini menggunakan pendekatan sosiologi, histories, dan semiotic dalam penulisannya. Pendekatan sosiologi diperlukan dalam penelitian ini karena karya sastra lahir dari msyarakat dan erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat. Pendekatan histories diperlukan dalam penelitian ini karena melalui pendekatan histiris, penulis akan menganalisis tentang perkembangan Zen dalam masyarakat Jepang yang tergambar dalam novel The Harsh Cry of The Heron, bagaimana situasi zaman pada masa itu (awal zaman Edo), dan bagaimana sejarah muncul dan berkembangnya ajaran Zen di Jepang. Sedangkan Semiotika diperlukan untuk menjelaskan dan memperlihatkan tanda-tanda secara

mendalam dalam novel the Harsh Cry of The Heron.

Karya sastra adalah sarana bagi seseorang untuk menyampaikan pemikiran, pandangan dan kreatifitasnya dengan tujuan untuk menghibur, memberitahu atau mempengaruhi pembacanya tentang suatu hal. Novel merupakan sebuah karya fiksi yang menawarkan sebuah dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan dan bersifat imajiner.

Novel The Harsh Cry of The Heron karya lian hearn ini ini mengandung konsep kesetiaan yang diwujudkan dalam sikap untuk membalaskan dendam tuan (adauchi) dan bukannya ikut mati dalam kesia-siaan mengikuti kematian sang tuan. Dalam novel ini juga ditemui kemiripan samurai dan ninja. Dalam novel ini ada ditampilkan sosok seorang samurai yang memiliki kemampuan yang dimiliki oleh ninja, yaitu dari kalangan Tribe, salah satu contohnya adalah Takeo yang memiliki kemampuan menghilangkan diri, menggandakan diri, dapat berjalan diatas air dan telinganya yang sangat peka terhada p


(8)

suara-suara di sekelilingnya. Novel ini juga memaparkan ajaran Zen dalam kehidupan takeo dan Shigeru.

Ajaran zen bagi kelas samurai dijadikan pedoman moral dan pelatihan mental dalam menghadapi kehidupan mereka yang keras dan penuh tekanan, karena ajaran Zen merupakan doktrin pembersihan jiwa yang yang keras, menekankan disiplin mental dan hidup yang keras. Tapi hal itu sesuai dengan kehidupan samurai.

Ajaran Zen tidak dapat dipahami secara rasional atau intelektual tetapi pemahaman secara intuitif atau pengalaman langsung.

konsep Zen dalam novel The Harsh Cry of The Heron terlihat melalui tokoh-tokohnya, yaitu:

• Pada tokoh Takeo, Diantara para tokoh yang ada dalam novel The Harsh Cry of The Heron ini tokoh Takeo lah yang dominant paling banyak menganut konsep Zen dalam kehidupan sehari-harinya. Misalnya dari cara bertindak dalam mengambil keputusan, Takeo selalu berpikir secara tenang dan matang dan jauh dari keputusan akan kekerasan dan pembantaian. Sehingga Tiga Negara yang dipimpinnya pun aman dan damai. Selain itu Takeo selalu berpikir positif kepada semua orang, Takeo tidak pernah membeda-bedakan status orang karena Takeo berpikir tidak secara dualisme sebagimana yang telah diajarkan dalam konsep Zen. Dalam kehidupan religiusnya Takeo tidak menentang ajaran asing masuk dalam negaranya, hanya saja Takeo tidak percaya kepada agama yang membunuh orang lain itu merupakan hal yang biasa, sangat bertolak belakang dalam pemikirannya dan dalam konsep Zen yang dianutnya. Pada akhirnya Takeo mengabdikan hidupnya di biara untuk


(9)

belajar melukis agar mendapatkan ketenangan jiwa tanpa harus memikirkan lagi masalah duniawi.

• Pada tokoh shigeru, Konsep zen juga turut mempengaruhi dalam cara berpikir dan bertindak Shigeru dalam kehidupan sehari-harinya, misalnya ketenangan jiwanya dalam setiap menghadapi masalah. Selain itu konsep Zen turut mempengaruhi shigeru dalam pembuatan Taman yang dilakukannya sendiri. Taman itu adalah salah satu konsep estetika yang berpengaruh terhadap Zen. • Pada tokoh Shizuka, Konsep Zen turut mempengaruhi cara berpikir Shizuka

tentang kesetiaannya kepada pemimpinnya Lord Takeo. Bahkan untuk menunjukkan kesetiaannya ishizuka menyarankan untuk membunuh anak kandungnya sendiri yang telah berani berkhianat kepada Takeo. Namun pada akhirnya Shizuka memutuskan untuk tinggal di biara dan mengabdikan hidupnya disana untuk lebih mendalami Zen.


(10)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul Analisis konsep Zen dalam novel The Harsh Cry of The Heron karya lian hearn. Skripsi ini menggunakan pendekatan sosiologi, histories, dan semiotic dalam penulisannya. Pendekatan sosiologi diperlukan dalam penelitian ini karena karya sastra lahir dari msyarakat dan erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat. Pendekatan histories diperlukan dalam penelitian ini karena melalui pendekatan histiris, penulis akan menganalisis tentang perkembangan Zen dalam masyarakat Jepang yang tergambar dalam novel The Harsh Cry of The Heron, bagaimana situasi zaman pada masa itu (awal zaman Edo), dan bagaimana sejarah muncul dan berkembangnya ajaran Zen di Jepang. Sedangkan Semiotika diperlukan untuk menjelaskan dan memperlihatkan tanda-tanda secara

mendalam dalam novel the Harsh Cry of The Heron.

Karya sastra adalah sarana bagi seseorang untuk menyampaikan pemikiran, pandangan dan kreatifitasnya dengan tujuan untuk menghibur, memberitahu atau mempengaruhi pembacanya tentang suatu hal. Novel merupakan sebuah karya fiksi yang menawarkan sebuah dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan dan bersifat imajiner.

Novel The Harsh Cry of The Heron karya lian hearn ini ini mengandung konsep kesetiaan yang diwujudkan dalam sikap untuk membalaskan dendam tuan (adauchi) dan bukannya ikut mati dalam kesia-siaan mengikuti kematian sang tuan. Dalam novel ini juga ditemui kemiripan samurai dan ninja. Dalam novel ini ada ditampilkan sosok seorang samurai yang memiliki kemampuan yang dimiliki oleh ninja, yaitu dari kalangan Tribe, salah satu contohnya adalah Takeo yang memiliki kemampuan menghilangkan diri, menggandakan diri, dapat berjalan diatas air dan telinganya yang sangat peka terhada p


(11)

suara-suara di sekelilingnya. Novel ini juga memaparkan ajaran Zen dalam kehidupan takeo dan Shigeru.

Ajaran zen bagi kelas samurai dijadikan pedoman moral dan pelatihan mental dalam menghadapi kehidupan mereka yang keras dan penuh tekanan, karena ajaran Zen merupakan doktrin pembersihan jiwa yang yang keras, menekankan disiplin mental dan hidup yang keras. Tapi hal itu sesuai dengan kehidupan samurai.

Ajaran Zen tidak dapat dipahami secara rasional atau intelektual tetapi pemahaman secara intuitif atau pengalaman langsung.

konsep Zen dalam novel The Harsh Cry of The Heron terlihat melalui tokoh-tokohnya, yaitu:

• Pada tokoh Takeo, Diantara para tokoh yang ada dalam novel The Harsh Cry of The Heron ini tokoh Takeo lah yang dominant paling banyak menganut konsep Zen dalam kehidupan sehari-harinya. Misalnya dari cara bertindak dalam mengambil keputusan, Takeo selalu berpikir secara tenang dan matang dan jauh dari keputusan akan kekerasan dan pembantaian. Sehingga Tiga Negara yang dipimpinnya pun aman dan damai. Selain itu Takeo selalu berpikir positif kepada semua orang, Takeo tidak pernah membeda-bedakan status orang karena Takeo berpikir tidak secara dualisme sebagimana yang telah diajarkan dalam konsep Zen. Dalam kehidupan religiusnya Takeo tidak menentang ajaran asing masuk dalam negaranya, hanya saja Takeo tidak percaya kepada agama yang membunuh orang lain itu merupakan hal yang biasa, sangat bertolak belakang dalam pemikirannya dan dalam konsep Zen yang dianutnya. Pada akhirnya Takeo mengabdikan hidupnya di biara untuk


(12)

belajar melukis agar mendapatkan ketenangan jiwa tanpa harus memikirkan lagi masalah duniawi.

• Pada tokoh shigeru, Konsep zen juga turut mempengaruhi dalam cara berpikir dan bertindak Shigeru dalam kehidupan sehari-harinya, misalnya ketenangan jiwanya dalam setiap menghadapi masalah. Selain itu konsep Zen turut mempengaruhi shigeru dalam pembuatan Taman yang dilakukannya sendiri. Taman itu adalah salah satu konsep estetika yang berpengaruh terhadap Zen. • Pada tokoh Shizuka, Konsep Zen turut mempengaruhi cara berpikir Shizuka

tentang kesetiaannya kepada pemimpinnya Lord Takeo. Bahkan untuk menunjukkan kesetiaannya ishizuka menyarankan untuk membunuh anak kandungnya sendiri yang telah berani berkhianat kepada Takeo. Namun pada akhirnya Shizuka memutuskan untuk tinggal di biara dan mengabdikan hidupnya disana untuk lebih mendalami Zen.


(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Istilah “sastra” dipakai untuk menyebut gejala budaya yang dapat dijumpai pada semua masyarakat meskipun secara sosial, ekonomi, dan keagamaan keberadaannya tidak merupakan keharusan, (Soeratno dalam Pradopo 2001 : 9). Ini berarti sastra dapat masuk dalam bidang kehidupan manusia atau sastra itu merupakan gejala yang universal. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Boulton dalam Aminuddin (2000 : 37) mengungkapkan, bahwa cipta sastra, selain menyajikan nilai-nilai keindahan dan paparan peristiwa yang mampu memberikan kepuasan batin pembacanya, juga mengandung pandangan yang berhubungan dengan renungan atau kontemplasi batin, baik berhubungan dengan masalah keagamaan, filsafat, politik, maupun berbagai macam problema yang berhubungan dengan kompleksitas hidup ini.

Sastra memiliki beberapa jenis (genre) dan ragam. Jenis-jenis (genre) sastra meliputi puisi, prosa, dan drama. Sastra prosa mempunyai ragam yaitu, cerpen, novel dan roman. Novel menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (1998 : 9) berasal dari bahasa Itali novella, secara harafiah novella berarti ‘sebuah barang baru yang kecil’, dan kemudian diartikan sebagai ‘cerita pendek dalam bentuk prosa’. Menurut Nurgiyantoro (1998 : 4) novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif, yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh, dan penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain, yang kesemuanya tentu saja bersifat imajinatif.


(14)

Berdasarkan pengertian di atas novel itu merupakan cerita rekaan atau cerita khayalan, disebabkan novel itu tidak berdasarkan pada kebenaran sejarah. Dalam novel, menceritakan tentang berbagai masalah kehidupan manusia, yaitu bagaimana interaksi dengan lingkungan dan sesama, interaksinya dengan diri sendiri, serta interaksinya dengan Tuhan. Bila bicara tentang kehidupan dan pengalaman manusia, sebuah novel tidak terlalu asing dengan kehidupan sebagaimana yang kita kenal atau kita alami. Namun dalam ceritanya, sebuah karya fiksi seperti novel tidak sama betul dengan kehidupan, apa yang diceritakan dalam fiksi mungkin tidak pernah terjadi dan tidak akan pernah terjadi (Semi, 1993 : 31).

Sastra terdiri dari unsur-unsur yang membangun suatu karya sastra, yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik. Demikian halnya juga dalam sebuah novel, terdapat unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang turut serta membangun cerita pada peristiwa, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa, gaya bahasa, dan sebagainya.

Unsur ekstrinsik yaitu unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra (Burhan, 1998 : 23). Unsur-unsur ekstrinsik menurut Wellek dan Warren dalam Nurgiyantoro (1998 : 24) antara lain, keadaan subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinn, dan pandangan hidup yang kesemuanya itu akan mempengaruhi karya sastra yang ditulisnya. Pendek kata, meliputi unsur biografi pengarang, psikologi, keadaan lingkungan pengarang seperti ekonomi, politik, dan sosial, pandangan hidup suatu bangsa, berbagai karya seni, dan sebagainya.


(15)

Di Jepang sendiri, sebagai salah satu negara yang memiliki karya-karya sastra yang terkenal di dunia, juga mengenal novel sebagai salah satu genre sastranya. Dalam bahasa Jepang novel disebut dengan shosetsu. Pengertian shosetsu menurut Kawabara Takeo dalam Muhammad Pujiono (2002 : 3) adalah novel yang menggambarkan kehidupan sehari-hari di dalam masyarakat yang lebih menitikberatkan kepada tokoh manusia (peran) di dalam karangannya daripada kejadiannya.

Salah satu hasil karya sastra yang berupa novel adalah novel yang berjudul “The Harsh Cry of the Heron” yang ditulis oleh Lian Hearn. Novel ini menceritakan tentang perebutan kekuasaan antar klan (suku atau kelompok samurai), yaitu klan otori, kaum samurai yang berasal dari kaum atau klan otori yang memperjuangkan tanah kekuasaannya di tengah-tengah perebutan kekuasaan yang sedang terjadi antar klan pada awal abad 17 sampai akhir abad 18.

Awal penceritaan kisah klan otori ini dimulai saat seorang pemuda yang tinggal di antara kaum Heiden yang bernama Tomasu menemukan kehidupannya yang tiba-tiba berubah pada suatu hari. Ketika ia pergi ke hutan yang berada di sekeliling desanya, saat itu sedang terjadi pembantaian yang dilakukan oleh Iida Sadamu. Maklum saja, pada awal abad 17 sampai akhir abad 18 ini sedang terjadi pelebaran daerah kekuasaan oleh kaum-kaum yang berkuasa walaupun dengan menempuh cara memusnahkan kaum-kaum yang ada. Hal ini dilakukan agar nantinya tidak ada sisa-sisa kaum yang dibantai yang mempunyai kesempatan untuk membalas dendam terhadap kaum yang membantai. Pemuda yang beruntung lepas dari pembantaian kaumnya itu bernama Tomasu. Saat bersembunyi dari kejauhan untuk melihat kondisi desanya, ia ditolong oleh Lord Otori Shigeru, yang di kemudian hari ia ketahui sebagai pamannya.


(16)

Tomasu merupakan anak yang memiliki darah dari 3 klan yang berbeda. Ayahnya berasal dari kaum Kikuta, ibunya dari kaum Heiden, sedangkan neneknya berasal dari klan otori. Di kemudian hari melalui pencerahan yang diberikan guru dan pamannya (Lord Otori Shigeru) dia akan menemukan banyak kelebihan yang diwariskan oleh masing-masing darah yang mengalir dalam dirinya, dan bakat-bakat atau kelebihan ini akan sangat membantunya dalam usaha menguasai Jepang. Wujud fisik Tomasu amat mirip dengan adik Lord Otori Shigeru yang bernama Lord Otori Takeshi yang sudah meninggal, oleh karena itu maka Lord Otori Shigeru mengangkat Tomasu menjadi anak angkatnya dan diberi nama Lord Otori Takeo.

Meskipun tokoh-tokoh dalam kisah yang ada dalam novel ini adalah fiktif dan merupakan cerita rekaan pengarang, namun fakta-fakta historis tentang kehidupan dan perebutan kekuasaan antar penguasa yang terdapat di dalamnya adalah benar.

Uniknya novel ini bercerita tentang samurai dalam kehidupan dan kebudayaan Jepang, tetapi ditulis oleh seorang penulis wanita berkebangsaan Inggris yang tinggal di Australia yang bernama Lian Hearn atau Gillian Rubinstein.

Ajaran Zen merupakan dasar dari tindakan dan cara berpikir para samurai (prajurit). Dalam novel The Harsh Cry of the Heron banyak bercerita tentang kehidupaan samurai dan pertikaian-pertikaian yang sering terjadi di antara mereka untuk mempertahankan kehormatan diri mereka. Para samurai dalam mengambil tindakan dan berfikir selalu menggunakan pola fikir menurut ajaran zen, sehingga ajaran Zen sudah pasti banyak diungkapkan dan dijelaskan dalam novel tersebut.

Zen yang merupakan salah satu sekte Budha yang terkenal, masuk ke Jepang dari Cina abad ke-12. Namun ajaran Zen dapat dikenal luas di Jepang setelah dua orang


(17)

pendeta Zen yang terkenal, yaitu Eisei (1141-1215) dan Dogen (1200-1253) menyebarkannya ke Jepang. Mereka berdua adalah pelopor berkembangnya Zen di Jepang. Ajaran Zen dikatakan sangat diminati oleh kalangan militer atau bushi (samurai), terutama pada periode Kamakura dan Muromachi. Hal ini disebabkan pada masa itu sering terjadi peperangan untuk memperebutkan kekuasaan di antara para penguasa militer, sehingga para prajurit atau samurai sangat membutuhkan suatu agama yang kuat, yang meneguhkan mental dan memuaskan aspirasi spiritual mereka di masa-masa penuh pergolakan. Agama yang sesuai dengan keinginan mereka (samurai) tersebut adalah agama Budha aliran Zen. Ajaran Zen tersebut mengajarkan suatu doktrin pembersihan jiwa yang keras dan disiplin diri yang tegas, namun doktrin ini cocok dengan hati para samurai. Keberadaan Zen tetap bertahan dan diminati oleh semua kalangan masyarakat Jepang pada saat itu hingga masuk zaman Edo.

Ajaran atau konsep Zen yang digambarkan melalui tokoh-tokohnya dalam novel tersebut, menarik bagi saya untuk diteliti lebih lanjut. Bagaimana ajaran atau konsep Zen dalam novel The Harsh Cry of the Heron, dan saya akan mencoba membahasnya lebih luas lagi dalam skripsi dengan judul “ANALISIS KONSEP ZEN DALAM NOVEL THE HARSH CRY OF THE HERON”. Konsep Zen disini mengenai kesetiaan dan pengabdian diri yaitu dari bawahan ke atasan, anak ke orang tua, istri ke suami, dan seorang suami ke istri, suami ke keluarganya dalam novel “The Harsh Cry of The Heron”.


(18)

1.2 Perumusan Masalah

Agama Budha aliran Zen memang berasal dari Cina, tetapi lebih berkembang di Jepang. Bahkan ajaran Zen tetap dipertahankan hingga sekarang dan memberikan sumbangan yang berarti terhadap mental dan moral masyarakat Jepang sekarang ini. dalam novel “The Harsh Cry of the Heron” menceritakan ajaran-ajaran Zen serta hubungannya dengan tokoh-tokoh yang terdapat dalam novel tersebut.

Seperti apa konsep-konsep Zen yang terealisasikan oleh para tokoh cerita yang terdapat dalam novel “The Harsh Cry of the Heron” ? hal inilah yang menjadi pokok permasalahannya, yaitu :

“Bagaimana konsep Zen pada kehidupan para tokoh utamanya dalam novel “The Harsh Cry of the Heron”.

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis akan membahas dan menganalisis konsep-konsep Zen yang terdapat dalam novel “The Harsh Cry of the Heron”. Hal ini tentu masih pokok permasalahan secara umum, penulis akan membaginya ke dalam beberapa pertanyaan. Seperti yang telah diuraikan di atas, akan dianalisis seperti apa konsep Zen itu berperan dalam kehidupan seorang samurai. Selain ajaran itu dalam pembentukan jalan seorang samurai, ajaran Zen juga berpengaruh besar dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat secara umum. Dalam novel tersebut yang paling jelas terlihat berpengaruh yaitu pada bidang seni yang tidak terlepas dari budaya. Penulis lebih memfokuskan analisis pada konsep-konsep Zen mengenai kesetiaan, pengabdian diri, dan kesederhanaan yang direalisasikan oleh para tokoh cerita dalam novel “The Harsh Cry of the Heron” tersebut.


(19)

Sebelum membahas pokok permasalahannya, tentu saja penulis akan menjelaskan sejarah Zen, apa itu ajaran Zen secara umum, perkembangan ajaran tersebut di Jepang pada umumnya, dan dijelaskan juga seperti apa kondisi sosial masyarakat pada periode awal zaman Edo yang menjadi latar belakang cerita novel “The Harsh Cry of the Heron”, agar tidak terjadi kesalahan dan kebingungan dalam memahami tentang ajaran Zen secara utuh. Selanjutnya akan dipaparkan mengenai pengertian novel secara umum.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori Tinjauan Pustaka

Bangsa Jepang adalah suatu bangsa yang mengenal beberapa agama, yaitu agama Budha, Shinto, Konfusianisme, dan lainnya. Agama Budha mempunyai beberapa sekte antara lain, sekte Tendai, Shingon, Jodo, Hokke (Nichiren), dan Zen. Dalam penelitian ini yang akan dibahas lebih lanjut adalah mengenai sekte Zen.

Sekte Zen berasal dari Cina, dan merupakan pertemuan antara Budha dan pemikiran Tao. Zen secara harafiah berarti meditasi, berasal dari kata Cina yaitu “ch’an” (Sutrisno, 2002 : 47). Pengertian Zen menurut Anesaki (1997 : 208) adalah sebuah metode pelatihan spiritual yang berdasarkan intuisi, tujuannya yang terdiri dalam pencapaian keutamaan yang agung melampaui kesusahan duniawi. Ajaran Zen diperkenalkan ke Jepang pada akhir abad ke -12, tetapi baru dikenal luas oleh masyarakat setelah dua orang pendeta Zen, yaitu Eisai dan Dogen, menyebarkannya ke Jepang. Eisai kemudian mendirikan sekte Rinzai Zen, dan Dogen mendirikan sekte Sootoo. Mereka berdua belajar mengenai Zen di Cina, meskipun pelajaran dan metode merek berbeda-beda, tetapi mereka menetapkan sebuah aturan utama untuk meditasi sebagai dasar latihan spiritual mereka. Menurut Saburo dkk (1987 : 64) munculnya Zen dengan ajaran bahwa hanya dengan melepaskan segala nafsu


(20)

dan keduniaan dan mengkonsentrasikan semua usaha pada zazen atau meditasi, orang akan dapat mencapai pencerahan spiritual, dan ternyata ajaran ini mempunyai arti yang amat penting dalam periode-periode selanjutnya.

Ajaran Zen sangat mendominasi dan berpengaruh besar terhadap budaya Jepang baik dahulu maupun sekarang. Ajaran ini bahkan memberikan kontribusi yang besar bagi pengembangan budaya prajurit selama periode Kamakura hingga zaman Edo. Golongan prajurit selaku golongan penguasa pada saat itu (Kamakura-Edo) memberi perlindungan yang kuat kepada Budhisme Zen. Menurut Suprayogo (2001 : 16-17) dari pola pemahaman agama, muncul skripturalisme, fundamentalis, modernisme, dan tradisionalisme, dan perilaku sosial sebgai manifestasi keyakinan doktrin agama, muncul perilaku politik, ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya.

Pengaruh agama, berdasarkan keterangan di atas, terhadap pembentukan dan perkembangan suatu kebudayaan sangat besar. Agama atau dikenal juga dengan istilah religi adalah suatu sistem kepercayaan dan upacara-upacaranya yang terdapat dalam setiap kebudayaan manusia, jadi religi itu bersifat universal (Salim, 1978 : 175).

Agama dan kebudayaan saling berkaitan erat. Hal ini dikarenakan kebudayaan menurut Suparlan dalam Ali (2002 : 75) adalah pedoman bagi kehidupan masyarakat yang diyakini kebenarannyaa. Sedangkan agama itu sendiri juga sebagai pedoman bagi kehidupan masyarakat, dan pada saat nilai-nilai budaya suatu kebudayaan itu berintikan atau berasaskan keyakinan agama, ia bersifat sakral dan suci. Menurut Suparlan dalam Ali (2002 : 77) dalam hubungan antar agama dan kebudayaan setempat, agama berfungsi sebagai pedoman moral dan etika yang terwujud dalam nilai-nilai budaya. Jadi, apabila


(21)

dilihat sebagai kebudayaan, agama merupakan pedoman yang diyakini kebenarannya oleh warga masyarakat yang bersangkutan.

Pengaruh ajaran ini tidak hanya terbatas pada pembentukan kebudayaan prajurit, tetapi juga berpengaruh dalam bidang seni dan budaya Jepang yang lainnya. Menurut Anesaki (1997 : 212) pencapaian spiritual dalam pelatihan Zen juga dijalankan untuk membantu perkembangan rasa yang khas dari persamaan jiwa manusia dengan alam, bukan keaktifannya dan aspek yang digerakkan tetapi kemurnian dan ketenangan yang meliputi alam semesta dan terserap ke dalam hati kaum Zen. Kemurnian, ketenangan, dan kenikmatan estetis inilah yang mendasari upacara minum teh, merangkai bunga, seni pertamanan, lukisan tinta, drama NO, dan kesusasteraan. Dalam novel “The Harsh Cry of the Heron” lebih banyak menceritakan hubungan ajaran Zen dengan golongan samurai, dan penguasa (shogun dan daimyo), tetapi juga diceritakan bagaimana pengaruh ajaran Zen terhadap masyarakat umum. Misalnya, bagi seniman, pedagang, pendeta, dan sebagainya dengan bidang-bidang kehidupan seperti yang diklasifikasikan di atas. Kebiasaan-kebiasaan yang ditimbulkan dari ajaran Zen masih terlihat dalam kehidupan masyarakat Jepang dewasa ini, terutama pada disiplin hidup bagi bangsa Jepang.

Kerangka Teori

Meneliti suatu karya sastra berarti harus menggunakan salah satu teori sastra atau dapat juga dikatakan pendekatan sastra. Dalam hal ini, pendekatan yang sesuai dengan pokok permasalahan yang akan dianalisis adalah pendekatan sosiologis. Karya sastra memiliki kaitan yang erat dengan kehidupan masyarakat, karena karya sastra lahir dari


(22)

masyarakat. Dengan kata lain, karya sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat, di mana sastra mencerminkan dan mengekspresikan hidup yang sebagian besar adalah kenyataan hidup dalam masyarakat. Novel, sebagai salah satu genre sastra, yang dianggap paling dominan dalam menampilkan unsur-unsur sosial (Nyoman, 2004 : 335).

Menurut Nyoman (2004 : 59) pendekatan sosiologis menganalisis manusia dalam masyarakat, dengan proses pemahaman mulai dari masyarakat ke individu. Penulis, melalui pendekatan sosiologis ini akan menganalisis bagaimana perilaku individu-individu dalam novel “The Harsh Cry of the Heron” yang berkaitan dengan agama yang dianutnya (dalam hal ini agama Zen). Agama yang dianut melahirkan berbagai perilaku sosial, yakni perilaku yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah kehidupan bersama (Ali, 2002 : 100). Dalam novel The Harsh Cry of the Heron, banyak dipaparkan mengenai perubahan-perubahan sosial dan konflik yang sering terjadi sebagai akibat dari perubahan sosial tersebut. Pendekatan sosiologis dalam meneliti suatu agama di masyarakat melalui novel, sangat diperlukan.

Karya sastra yang diteliti melalui pendekatan sosiologis, berarti berusaha untuk memaparkan kehidupan masyarakat di suatu masa atau zaman tertentu dari sejarah manusia. Hakekat imajinasi karya sastra adalah wakil zamannya dan dengan demikian merupakan refleksi zamannya (Nyoman, 2004 : 66). Hal ini berarti penelitian karya sastra tidak terlepas dari pendekatan secara historis/ sejarah. Pendekatan historis mengasumsikan bahwa realitas sosial yang terjadi sekarang ini sebenarnya merupakan hasil proses sejarah yang terjadi sejak beberapa tahun, ratusan tahun, atau bahkan ribuan tahun yang lalu (Ali, 2002 : 117).


(23)

Peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan Zen yang terdapat dalam novel The Harsh Cry of the Heron, merupakan kejadian yang terjadi dengan latar belakang abad ke-17. Penulis melalui pendekatan historis, akan membahas bagaimana sebenarnya perkembangan Zen dalam diri masyarakat Jepang yang tergambar dalam novel The Harsh Cry of the Heron pada masa itu. Melalui pendekatan historis ini, dapat diketahui signifikasi waktu dan menemukan kebenaran tentang bagaimana dan mengapa peristiwa-peristia penting terjadi, dan individualitas serta perkembangan. Karena dalam novel The Harsh Cry of the Heron di latar belakangi abad ke-17 sampai dengan abad ke-18, maka penulis menggunakan pendekatan historis.

Agar kita dapat memahami ajaran Zen dalam novel The Harsh Cry of the Heron secara utuh, berarti harus mengetahui situasi zaman pada masa itu (awal zaman Edo), untuk menelitinya dapat dilakukan melalui pendekatan historis selain pendekatan sosiologis. Analisis sejarah tidak terlepas dari analisis sebab akibat, subjektif dan objektif. Dalam hal ini, perlu diketahui bagaimana sejarah zaman Edo yang berpengaruh besar terhadap perkembangan Jepang dewasa ini, dan tentu saja tidak ketinggalan tentang bagaimana sejarah muncul dan berkembangnya agama Zen di Jepang.

Pendekatan terakhir yang akan digunakan adalah pendekatan semiotika. Semiotika (semiotik) adalah ilmu tentang tanda-tanda, ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi, yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti (Pradopo dkk, 2002 : 71). Karya sastra itu sendiri merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna, tetapi bila kita tidak memahami sistem tanda-tanda dan maknanya, dan konvensi tanda-tanda, kita tidak akan mengerti karya sastra itu secara


(24)

optimal. Dalam penelitian ini, penulis akan menerapkan teori semiotika untuk memperlihatkan dan menjelaskan tanda-tanda yang terdapat dalam novel The Harsh Cry of the Heron secara lebih mendalam. Tanda-tanda yang dimaksud adalah berupa pengalaman dan pemikiran dari tokoh-tokohnya yang mewakili adanya peran ajaran Zen dalam pembentukan sikap mereka dalam masyarakat. Tanda-tanda yang lainnya adalah terdapat kebenaran tentang perkembangan agama Zen yang tergambar dari tokoh-tokohnya.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian a. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

“Untuk mendeskripsikan dan menggambarkan konsep Zen pada kehidupan para tokoh utama dalam novel “The Harsh Cry of the Heron”.

b. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah :

1. Memberikan pengetahuan yang mendalam mengenai sekte Budha yang terkenl yaitu Zen.

2. Mengetahui dan menambah wawasan tentang peranan ajaran Zen dalam kehidupan samurai dan masyarakat umum.

1.6 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penulisan proposal skripsi ini yaitu metode deskriptif. Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan / melukiskan keadaan subjek / objek penelitian


(25)

(seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya (Hadari, 1991 : 63). Fakta-fakta yang tampak tentu saja tidak sekedar digambarkan, tetapi juga dihubungkan satu dengan yang lainnya di dalam aspek-aspek yang diselidiki.

Penelitian ini juga mencakup penelitian secara kualitatif, yaitu datanya dinyatakan secara verbal dan kualifikasinya bersifat teoritis. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan data tertulis atau tulisan, yang dinyatakan dalam bentuk kalimat / uraian. Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan semiotik, sosiologis dan historis, yang diperlukan untuk memperlihatkan ajaran Zen dalam kehidupan masyarakat Jepang serta asal mulanya seperti yang terdapat pada novel “The Harsh Cry of the Heron”. Teknik penelitiannya yaitu menggunakan studi dokumenter atau studi kepustakaan. Menurut Hadari (1991 : 133) studi kepustakaan yaitu mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis, terutama berupa arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku tentang pendapat, teori, dalil / hukum-hukum dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah penyelidikan. Khususnya buku-buku yang menyangkut tentang novel, ajaran Zen, sosiologi, agama, dan sejarah. Penulis mengumpulkan, menyusun, mengklasifikasikan, mengkaji, dan akhirnya menginterpretasikan data.


(26)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP ZEN DI JEPANG DAN NOVEL THE HARSH CRY OF THE HERON

2.1. Sejarah Perkembangan Zen 2.1.1. Sejarah Munculnya Zen

Agama Budha memiliki tiga aliran utama, yaitu : Mahayana, Hinayana, dan

Vajrana. Zen Buddhism merupakan salah satu aliran utama dalam Buddhisme Mahayana.

Mahayana sendiri memiliki dua pandangan tentang bagaimana mencapai keselamatan, yaitu Jiriki (upaya sendiri) dan Tariki (upaya dari ‘yang lain’). Zen menganut pandangan pertama yaitu Jiriki, bahwa keselamatan hanya bisa diperoleh dengan usaha dan upaya sendiri. Kata ‘Zen’ itu sendiri setidaknya mempunyai tiga arti berbeda, tetapi saling berkaitan. Menurut Christmas Humpreys dalam Wong Kiew Kit (2004:4), ketiga arti kata Zen tersebut berarti meditasi, pemahaman dan kenyataan kosmis tertinggi yang merupakan panduan terbaik.

Zen Buddhism yang berkembang di Jepang tidak terjadi begitu saja, tetapi mempunyai hubungan yang erat dengan Zen yang ada di Cina. Orang yang paling berjasa memperkenalkan ajaran Zen di Cina adalah Bodhidharma (440-528), seorang biarawan India yang nantinya disebut Patriarki Pertama dalam penyebaran ajaran Zen di Cina. Disebutkan bahwa ketika Bodhidharma tiba di Cina itulah saat lahirnya aliran Zen yang dalam bahasa Cina disebut Chan.. Bodhidarma tiba di Cina tahun 520 kemudian dia diundang kaisar Liang Wu Di, kaisar yang berkuasa di Cina pada saat itu, mereka terlibat dialog tentang ajaran Zen. Pengajaran Bodhidharma tentang Zen adalah bahwa perbuatan


(27)

baik saja tidak cukup tetapi melalui perbuatan baik akan mendorong kemurnian moral, suatu syarat mutlak bagi pencerahan. Pada tingkatan pencerahan tertinggi, tidak ada pemikiran dualistis (Wong Kiew Kit, 2004:103-104). Kaisar Liang Wu Di tidak siap menerima ajaran Bodhidharma karena itu dia melewatkan kesempatan untuk memperoleh pencerahan atau kesadaran.

Bodhidharma pergi ke kuil Shaolin dan tiba tahun 527 untuk mengajar Zen. Di kuil tersebut Bodhidharma mengajarkan kepada para rahib tentang pentingnya menjaga kebugaran tubuh, emosi, dan mental untuk pengembangan spiritual. Oleh karena itu, dia mengajarkan dua bentuk latihan, yaitu Delapan belas Tangan Lohan dan Metamorfosis Otot, yang akhirnya berkembang menjadi Kungfu Shaolin dan Chi kung Shaolin. Bodhidharma menemukan penggantinya sebagai Patriarki kedua di kuil tersebut. Orang itu bernama Ji Guang (487-583) atau Hui Ke, dan Eka dalam bahasa Jepang. Bodhidharma mengajarkan kepada Hui Ke tentang arti penting bermeditasi, dia sendiri pernah bermeditasi selama sembilan tahun di sebuah gua, yang disebut Gua Bodhidharma. Ajaran Zen tidak bergantung pada kitab-kitab, dokumen-dokumen ataupun teori-teori keagamaan dalam penyebarannya, tetapi disampaikan dari hati ke hati. Demikian jugalah yang dilakukan Hui Ke untuk mencari penerusnya sebagai Patriarki Ketiga. Seng Can yang diangkat sebagai penerus Hui Ke juga berasal dari kuil Shaolin dan mendapat pencerahan setelah berdialog dengan Hui Ke.

Seng Can kemudian membimbing muridnya Dao Xin (580-651) di kuil Shaolin

selama sembilan tahun, dan menggantikannya sebagai Patriarki Keempat. Dao Xin kemudian digantikan muridnya Hong Jen sebagai Patriarki Kelima. Tetapi dalam mencari Patriarki Keenam, terjadi perpecahan diantara murid Dao Xin. Seorang muridnya yang buta


(28)

huruf, Hui Neng, dianggap lebih layak untuk menggantikannya, tetapi murid seniornya Shen Xiu tidak mengakuinya. Sejak itu, pengajaran Zen di Cina terpecah dua, yang satu disebut aliran Utara (Shen Xiu) dan yang lainnya disebut aliran Selatan (Hui Neng). Dalam perkembangannya, aliran Utara tidak dapat bertahan lama, akhirnya lenyap.

2.1.2. Perkembangan Zen Di Jepang

Aliran Zen telah memasuki Jepang dari Cina sebelum masa Kamakura. Pendeta Jepang telah pergi ke Cina untuk belajar Zen Buddhism ditahun 654, demikian juga biarawan Cina pergi ke Jepang untuk mengajarkan Zen, tepatnya di daerah Nara. Beberapa guru Zen dari Cina tersebut telah memasuki Jepang dan menyebarkan ajaran Zen, tetapi Zen baru benar-benar mengakar di Jepang setelah ajarannya disebarkan dua guru asli Jepang, Eisai (1141-1215) mendirikan sekte Rinzai dan Dogen mendirikan sekte Soto.

Eisai pertama kali mengajarkan Zen di Kamakura, dia didukung oleh Shogun dan membuat Zen sangat populer di antara para samurai. Dia juga membangun banyak kui Zen di Jepang yang disebut sistem Gozan. Diantarnya adalah kuil Rinjai di Shofukuji Hakata pada tahun 1195 (sekarang perfektur Fukuoka), kemudian menjadi kepala biara pertama di kuil Jufukuji Kamakura, kemudian di kuil Kenninji Kyoto. Para pendeta Zen dari sistem Gozan tersebut seringkali bertindak sebagai penasehat politik Keshogunan Muromachi. Peran para pendeta Zen tersebut bukan hanya dalam bidang politik, urusan luar negeri dan perdagangan, tetapi juga memainkan peran utama di bidang seni dan ilmu pengetahuan juga kesusatraan.

Dogen sebagai pendiri sekte Soto berbeda sama sekali dengan Eisai. Dogen berasal dari keluarga bangsawan, belajar Zen ke Cina tahun 1223 kemudian mendirikan sekte Soto


(29)

di Jepang. Dogen tidak seperti Eisai yang sangat dekat dengan penguasa militer, sebaliknya dia berusaha menghindari pengaruh penguasa dalam ajaran Zen yang dianutnya. Karena itu ia memilih tinggal di propinsi EchiZen tempat ia membangun kuil Eiheiji daripada tingagl di Kyoto. Dogen hanya ingin mengajarkan Zen secara murni, meninggalkan nafsu duniawi dan menjalankan meditasi. Menurut Wong Kiew Kit (2004:197) perbedaan yang paling penting antara ajaran Dogen dan Eisai mengenai Zen adalah pendekatan mereka mengenai pencerahan. Ajaran Eisai, yang berkarakteristik Rinzai Zen, menekankan penggunaan koan/cerita sementara ajaran Dogen, yang berkarakteristik Soto Zen, menekankan pada zaZen atau meditasi duduk. Meskipun demikian ajaran Soto tidak menolak koan dalam pencapaian pencerahan demikian juga sebaliknya.

Pengaruh Zen mencapai level yang paling tinggi terjadi selama periode Muromachi (1333-1568). Pada masa itu Zen memperlihatkan kekuatannya yang luar biasa dan menyebarluas terutama dikalangan prajurit/bushi yang merupakan penguasa Jepang saat itu. Ajaran Zen turut memberikan sumbangan bagi pengembangan kebudayaan prajurit, menjadi dasar moral dan filosofi utama bagi banyak prajurit Jepang hingga masuk zaman modern. Bahkan sebelum berperang, banyak anggota militer memasuki biara Zen untuk mendisiplinkan diri untuk menghadapi musuh. Mikiso Hane (1991:80) mengatakan, “Tendai untuk keluarga kerajaan, Shingon untuk bangsawan, Zen untuk kelas prajurit, dan Jodo untuk masyarakat”. Sepanjang periode Muromachi, Zen menggunakan pengaruhnya yang berkembang pada lukisan tinta, drama NO, upacara minum teh, merangkai bunga, seni pertamanan, dan seni lukis. Jadi ajaran Zen bukan hanya sekedar teori keagamaan saja, tetapi juga turu mengembangkan seni dan budaya Jepang hingga sekarang.


(30)

Periode Edo (1600-1868) menghasilkan perdamaian dan mendukung berkembangnya ajaran Zen. Para biawaran yang terkenal pada zaman Edo adalah Takuan Soho (1573-1645), Bankei Yotaku (1622-1693), dan Hakuin (1686-1769) mereka berasal dari Rinzai Zen, Takuan mengajar afinitas antara Zen dan manusia pedang, dia juga dikenal sebagai guru spiritual Miyamoto Musashi (seorang pemain pedang legendaris Jepang). Bankei bertanggungjawab untuk membuat Zen dapat diperoleh kedalam bentuk tidak tertulis yang paling sederhana.

Memasuki zaman Meiji (1868), pemerintah lebih mendukung Shinto ketimbang agama Budha. Meskipun demikian Zen tetap berkembang dan Imakiya Kosen diangkat menjadi kepala biara di kuil Engakuji, Kamakura (1875). Penggantinya Shaku Soen yang dikenal sebagai guru Daiset T. Suzuki, orang yang mengembangkan prinsip Zen di Barat.

2.2. Konsep Umum Zen Dalam Bushido

Seperti yang telah dituliskan sebelumnya, Zen diajarkan dari hati ke hati tidak bergantung pada buku-buku. Bodhidharma menekankan bahwa dalam pembinaan spiritual, intinya adalah pada pengalaman langsung, bukan melalui belajar dari buku (Wong Kiew Kit, 2004:262). Pengajaran Zen tidak dapat dipahami sepenuhnya jika diungkapkan melalui kata atau bahasa, tetapi Zen harus dialami secara pribadi. Meskipun demikian, belajar melalui buku tidak dapat disalahkan, karena melalui buku seseorang dapat dipersiapkan untuk memperoleh pencerahan.

Sasaran Zen seperti yang diungkapkan Suzuki (2004:212) : Zen pada dasarnya adalah seni melihat hakekat kebenaran seseorang, dan menunjukkan jalan dari perbudakan ke kebebasan, Zen dapat membebaskan semua energi yang tersimpan secara alamiah untuk


(31)

beraktivitas. Berarti Zen itu adalah seni untuk melihat kodrat diri dan mempergunakan secara maksimal kekuatan-kekuatan yang terdapat dalam diri manusia. Energi atau kekuatan yang terdapat secara alami dalam tubuh manusia dibebaskan tanpa halangan atau dimaksimalkan. Hal seperti ini dalam permainan pedang sering disebut alam Bawah-Sadar. Dalam Suzuki (2004:43) dikatakan bahwa seorang pemain pedang yang terlatih tidak lagi memiliki kesadaran-relatif umum ketika berhadapan dengan musuh, tetapi yang bekerja adalah bawah-sadarnya yang terbangunkan ketika ia mencapai suatu keadaan tiada diri, tiada pikiran. Dalam keadaan bawah-sadar tersebut, pemain pedang biasanya tidak lagi memikirkan dirinya, gerakan pedang musuhnya, dan ketika menyerang bukan dia lagi tetapi pedang di tangan bawah-sadarlah yang menyerang. Tentu saja dibutuhkan disiplin dan latihan bertahun-tahun untuk memaksimalkan kekuatan bawah-sadarnya. Sesuai dengan pernyataan Wong Kiew Kit (2004:263), doktrin Zen yaitu langsung menunjuk pada pikiran, menekankan latihan langsung dan praktis untuk memunirkan pikiran sehingga mencapai pencerahan dan kesadaran.


(32)

Ajaran zen memiliki pengaruh yang besar terhadap konsep Bushido. Bushido adalah Jalan prajurit, yang merupakan dasar moral dan filosofi utama bagi banyak prajurit Jepang pada masa lampau hingga zaman modern. Bushido lahir di zaman Kamakura dan Muromachi, kemudian berkembang hingga zaman Edo.

Dalam Situmorang (1995:21), bushido mempunyai ciri khas yaitu pengabdian diri yang mutlak terhadap tuannya, sehingga mereka (para bawahan) rela melakukan junshi (bunuh diri mengikuti kematian tuannya) dan adauchi (mewujudkan balas dendam tuannya). Pengabdian diri berarti berkaitan erat dengan kesetiaan, salah satu hal yang ditekankan dalam dunia samurai. Menurut Bellah (1992:126-127), seorang samurai harus bersikap hormat atau kesopanan.

Kewajiban tertinggi dari kaum samurai adalah kesetiaan mutlak terhadap tuannya bahkan diatas kepentingannya sendiri. Oleh karena itu mereka dituntut untuk hidup sederhana, mampu untuk menahan diri dari segala keinginan-keinginan mereka dan ugahari (hidup hemat). Kutipan dari Hagakure dalam Bellah dituliskan:

Hematlah dengan kata-kata. Jika kamu memerlukan sepuluh kata, gunakanlah satu kata saja.

Jika kamu meninggalkan tempat pesta ria,pergilah ketika kamu masih ingin tinggal. Jika kamu merasa kamu sudah puas, kamu sudah mendapatkan lebih dari cukup. Cukup itu berlebihan. Jangan menyenangkan diri serndiri.

Kehidupan sederhana dan tidak berpikir tentang keuntungan dalam mengabdi kepada tuannya, membuat mereka (kaum samurai) bersedia melakukan apa saja demi tuannya, termasuk bunuh diri. Menurut Hagakure dalam Bellah, bushido, jalan prajurit,berarti kematian. Alasan para samurai bersedia melakukan bunuh diri demi tuannya


(33)

(junshi) menurut Watsuji (Situmorang, 1995:21) adalah karena di dalam Ie terjalin hubungan yang erat antara tuan dan pengikut yang berlangsung dari generasi ke generasi. Segala sesuatu yang diterimanya (pengikut) selama hidup merupakan on (budi) dari tuan, yang harus dibayar dengan chu (penghormatan terhadap tuan), yang diwujudkan dengan giri (balas budi).

Ajaran Zen turut mempengaruhi pandangan-pandangan tentang kematian tersebut. Dikatakan dalam ajaran Zen, bahwa perjalanan di dunia kematian adalah gelap, oleh karena itu para anak buah harus rela mati untuk menemani perjalanan kematian tuan menuju raise (dunia setelah mati), Situmorang (1995:21-22). Hal ini berarti para samurai semasa hidupnya harus dapat membiasakan diri dengan kematian,sehingga pada saat kematian itu tiba tidak menyakitkan dan mengerikan bagi mereka. Dengan bersikapdemikian, keangkuhan mereka dihilanggkan. Ini sesuai dengan ajaran Zen, yang tidak mementingkan diri sendiri tetapi memperhatikan kehidupan orang lain.

Konsep Bushido yaitu mengenai kesetiaan, taat, sederhana, dan kematian yang semuanya itu dilakukan demi tuannya. Selain itu etika Samurai juga menyangkut penghargaan yang sangat tinggi terhadap pencarian ilmu. Menurut Bellah (1992:131), hampir semua samurai terpelajar dan membaca buku. Tujuannya, bukan untuk sekedar menguasai pengetahuan, tatapi untuk dapat memimpin tingkah lakunya, menguasai orang lain dan mengembangkan diri. Pengetahuan dan tindakan bernilai sama, penerapan dan hasilnya bukan dua hal tetapi satu.


(34)

Ajaran Zen tidak hanya berbicara tentang kerohanian saja, tetapi juga berbicara tentang penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Dua hal yang terpenting dalam ajaran Buddhisme Mahayana yaitu : welas asih dan bijaksana (Wong Kiew Kit, 2004:351). Para rahib Zen dikatakan selalu berdoa untuk orang lain dan makhluk hidup lain, tidak pernah untuk dirinya sendiri. Kalaupun pernah, hanya berupa penyesalan bukan meminta pertolongan. Mereka tidak hanya mengajarkan tentang kasih dan kebijaksanaan namun mereka juga menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari. Para pengikut Zen berusaha untuk hidup dalam disiplin yang ketat untuk membina dan menumbuhkan keutamaan, ketaatan, kesehajaan, kerendahan hati serta keutamaan yang khas (Sutrisno, 2002:62).

Menurut Baizhang dalam Tsai (2004:65) mengatakan :

“pentingnya bekerja dalam masyarakat sangat relevan bagi kemanusiaan. Untuk menjadi mandiri dan tidak bergantung, kita menentukan nasih ditangan kita sendiri”.

Pengikut Zen bukan hanya dituntut untuk hidup sederhana, disiplin, menolong orang yang kesusahan, tetapi juga harus bekerja keras untuk hidup tidak bergantung pada belaskasihan orang lain seperti yang sering dilakukan para pendeta Budha.

2.3. Defenisi, Novel dan Setting Novel The Harsh Cry of The Heron 2.3.1. Defenisi Novel

Dunia kesusastraan mengenal beberapa genre yaitu prosa, puisi, drama. Prosa dapat terbagi lagi dalam beberapa ragam yaitu cerpen, novel, dan roman. Prosa dalam pengertian kesastraan juga disebut fiksi, teks naratif atau wacana naratif, istilah fiksi dalam pengertian ini berarti cerita rekaan atau khayalan (Nurgiyantoro, 1998:2). Hal ini berarti karya fiksi


(35)

tidak berdasarkan kebenaran sejarah, tetapi berdasarkan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, dan tidak terjadi dalam dunia kenyataan.

Sesuai dengan pernyataan diatas, pengertian prosa fiksi menurut Aminuddin (2000:66) adalah :

“Kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu dengan pemeran, latar serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita”.

Menurut pengertian di atas, kebenaran yang terdapat dalam sebuah karya fiksi tidak harus sama dan tak perlu disamakan dengan kebenaran yang berlaku di dunia nyata. Baik itu para pelakunya (pemerannya), tempat terjadinya dan rangkaian ceritanya, semuanya bersifat fiksi sesuai dengan imajinasi pengarangnya. Hal ini disebabkan dunia fiksi dan dunia nyata memiliki sistem atau aturan tersendiri.

Pengertian prosa fiksi di atas juga berlaku untuk pengertian novel. Sesuai dengan pernyataan Abrams dalam Nurgiyantoro (1998:4), yaitu dalam perkembangannya karya fiksi sering dianggap bersinonim dengan novel. Kata novel dalam bahasa Inggris (juga dipakai dalam bahasa Indonesia) berasal dari bahasa Italia yaitu Novella (dalam bahasa Jerman Novelle). Secara harafiah novella berarti ‘sebuah barang baru yang kecil’, dan kemudian diartikan sebagai ‘cerita pendek dalam bentuk prosa’ (Abrams dalam Nurgiyantoro, 1998:9).

Menurut Jassin dalam Nurgiyantoro (1998:16) :

“Novel, dipihak lain dibatasi dengan pengertian: suatu cerita yang bermain dalam dunia manusia dan benda yang ada di sekitar kita, tidak mendalam, lebih banyak melukiskan satu saat dari kehidupan seseorang, dan lebih mengenai suatu episode”. Berdasarkan pengertian di atas, novel menceritakan satu periode dalam kehidupan seseorang tetapi novel juga dapat menceritakan kehidupan manusia dari dia lahir sampai


(36)

meninggal. Berarti sebuah novel pada umumnya memaparkan tentang kehidupan manusia dan segala permasalahannya, lingkungan dan kondisi sosial yang terdapat di sekitar pengarang.

2.3.2. Setting Dalam Novel The Harsh Cry of The Heron 2.3.2.1.Setting tempat, waktu dan Sosial

Setting dan latar yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiyantoro, 1995:216).

Unsur-unsur latar dapat dibedakan ke dalam unsur pokok yaitu : 1. Latar tempat

Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat0tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas.

2. Latar Waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah kapan tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah.


(37)

Sama halnya juga dalam Novel “The Harsh Cry of The Heron” terdapat ruang lingkup tempat dan waktu sebagai wahana para tokohnya mengalami berbagai pengalaman dalam hidupnya. Peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam novel “The Harsh Cry of The Heron” ini seluruhnya terjadi di Jepang dan berlangsung pada awal abad 17 sampai akhir abad 18.

Pada awal abad 17-18 akhir, di Jepang sedang terjadi perebutan kekuasaan antar klan atau kaum samurai. Klan terkuat akan berusaha menguasai klan yang lain. Sama halnya yang dilakukan oleh lida Sadamu yang tega membantai kaum heiden (kaum dimana Takeo tinggal sampai masa remajanya). Novel ini secara keseluruhan menggambarkan perjalanan hidup seorang samurai bernama Takeo dari awal hidupnya terpisah dengan keluarganya, sampai kepada keputusannya meneruskan perjuangan Otori Shigeru dalam menguasai tiga wilayah besar di Jepang yang dikenal pada saat ini dengan sebutan wilayah Tiga Negara. Meskipun banyak cobaan hidup yang dialami oleh Takeo, seperti pengkhianatan yang dilakukan oleh orang yang dipercayainya, bahkan istrinya pun ikut memusuhi dan membencinya. Namun setelah beberapa waktu ia bermeditasi di kuil, ia mengalami pencerahan dan perbedaan pada dirinya. Akhirnya Takeo dapat melalui cobaan hidupnya dengan tenang.

2.3.3. Pendekatan Semiotik, Sosiologi, Historis pada Novel

Seperti yang telah dijelaskan dalam bab pendahuluan, meneliti suatu karya sastra harus menggunakan salah satu teori sastra atau pendekatan sastra. Dalam penelitian ini. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosiologi, historis, dan semiotik. Pendekatan sosiologi diperlukan dalam penelitian ini karena karya sastra lahir dari masyarakat dan erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat. Novel, sebagai salah satu


(38)

genre sastra, yang dianggap paling dominan dalam menampilkan unsur-unsur sosial (Nyoman, 2004:335). Novel Musashi yang menjadi objek penelitian, banyak menceritakan tentang kehidupan masyarakat Jepang pada awal abad ke-17.

Menurut Nyoman (2004:60), dasar filosofis pendekatan sosiologis adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat. Hubungan-hubungan yang dimaksudkan disebabkan oleh : a) karya sastra dihasilkan oleh pengarang, b) pengarang itu sendiri adalah anggota masyarakat, dan c) pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat, dan d) hasil karya sastra itu dimanfaatkan kembali oleh masyarakat. Aspek utama karya sastra adalah estetika, tetapi karya sastra juga mengandung estetika, filsafat, logika, bahkan juga ilmu pengetahuan. Melalui karya sastra diharapkan mampu mempengaruhi tingkah laku manusia, karena karya sastra dapat memasukkan hampir seluruh aspek kehidupan manusia dan menjadikannya dekat dengan aspirasi masyarakat. Pendekatan sosiologis menganalisis manusia dalam masyarakat, dengan proses pemahaman mulai dari masyarakat ke individu (Nyoman, 2004:59).

Demikian halnya dengan novel, sebagai salah satu genre sastra, yang dianggap paling dominan dalam menampilkan unsur-unsur sosial (Nyoman 2004:335). Hal ini disebabkan novel menyajikan masalah-masalah kemasyarakatan secara luas, memiliki media yang luas, unsur-unsur ceritanya lengkap, bahasa yang digunakan dalam novel adalah bahasa sehari-hari dan yang paling umum digunakan dalam masyarakat. Novel The Harsh Cry of The Heron yang menjadi objek penelitian, banyak menceritakan tentang kehidupan masyarakat Jepang pada awal abad ke-17. Dalam novel tersebut dipaparkan bagaimana sistem pemerintahannya, keadaan masyarakat mulai dari kelas atas sampai kelas


(39)

bawah, kehidupan beragama, kebudayaan, perubahan-perubahan sosial, dan konflik karena masa itu adalah masa transisi dari penguasa sebelumnya kepenguasa yang baru.

Melalui pendekatan sosiologis ini, penulis juga akan menganalisis bagaimana peran agama (dalam hal ini agama Zen) dalam mempengaruhi kehidupan tokoh-tokoh yang terdapat dalam novel The Harsh Cry of The Heron. Menurut Ali (2002:100), agama yang dianut melahirkan berbagai perilaku sosial, yakni perilaku yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan bersama. Agama mampu mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial. Menurut Suprayogo (2001:24), gejala-gejala sosial-agama dapat berupa tindakan-tindakan, ucapan-ucapan/ungkapan-ungkapan, sikap-sikap, simbol-simbol yang dihargai, cita-cita, emosi-emosi dan pikiran-pikiran yang oleh pelakunya dianggap memiliki keterkaitan dengan hidup keberagamannya atau merupakan perwujudan dari ajaran atau doktrin agama yang diyakini.

Pendekatan kedua yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan historis (sejarah). Hakiat imajinasi karya sastra adalah wakil zamannya dan dengan demikian merupakan refleksi zamannya (Nyoman, 2004:66). Novel The Harsh Cry of The Heron adalah novel yang banyak mengandung cerita sejarah bangsa Jepang pada masa lampau yaitu abad ke-17 atau dikenal dengan zaman Edo, dimana semangat zaman tersebut mempengaruhi masyarakat Jepang hingga sekarang. Pendekatan historis mengkonsumsikan bahwa realitas sosial yang terjadi sekarang ini sebenarnya merupakan hasil proses sejarah yang terjadi sejak beberapa tahun, ratusan tahun, atau bahkan ribuan tahun yang lalu (Ali, 2002:117).

Menurut Nyoman (2004:65), pendekatan historis mempertimbangkan historis karya sastra yang diteliti, yang dibedakan dengan sejarah sastra sebgai perkembangan sastra sejak


(40)

awal hingga sekarang, sastra sejarah sebagai karya sastra yang mengandung unsur-unsur sejarah, dan novel sejarah, novel dengan unsur-unsur sejarah. Pendekatan sejarah paling tepat digunakan untuk meneliti sastra sejarah dan novel sejarah. Dapat dikatakan penelitian suatu karya sastra tidak terlepas dari pendekatan secara historis/sejarah, karena karya sastra dapat mewakili ciri-ciri zamanya.

Suprayogo (2001:67) berpendapat melalui analisis sejarah, baru dapat dilacak asal mula situasi yang melahirkan suatu ide dari seorang tokoh. Melalui analisis sejarah pula, dapat diketahui bahwa seorang tokoh dalam berbuat atau berpikir sesungguhnya dipaksa oleh keinginan-keinginan dan tekanan-tekanan yang muncul dari dirinya sendiri. Hal ini berarti, kondisi ataupun peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam suatu karya sastra tidak muncul begitu saja, ada sebab-sebab yang melatarbelakanginya. Melalui pendekatan historis itu, penulis akan menganalisis tentang perkembangan Zen dalam masyarakat Jepang yang tergambar dalam novel The Harsh Cry of The Heron, bagaimana situasi zaman pada masa itu (awal zaman Edo), dan bagaimana sejarah muncul dan berkembangnya agama Zen di Jepang, agar dapat memahami ajaran Zen secara utuh dalam novel The Harsh Cry of The Heron.

Pendekatan terakhir yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan semiotik. Semiotik (semiotika) dalam ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi, yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti (Pradopo, 2007:71). Mengapa harus menggunakan teori semiotik? Hal ini dikarenakan karya sastra itu sendiri merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna, tetapi bila kita tidak memahami sistem tanda, tanda dan maknanya, dan


(41)

konvensi tanda, kita tidak akan mengerti karya sastra itu secara optimal. Menurut Nurgiyantoro (1998:40) tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan lain-lain. Jadi yang dapat menjadi tanda sebenarnya bukan hanya bahasa saja, melainkan berbagai hal yang melingkupi kehidupan ini. Makna tanda itu sendiri berasal dari konteks dimana ia diciptakan dan sebuah tanda memiliki banyak arti atau sama sekali tidak berarti. Tanda tidak berfungsi dalam dirinya sendiri.

Peletak dasar teori semiotik ada dua orang, yaitu Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Peirce. Saussure dikenal sebagai bapak ilmu bahasa modern dan mempergunakan istilah semiopologi, sedangkan Peirce seorang ahli filsafat dan memakai istilah semiotik. Dalam Nurgiyantoro (1998:40) dituliskan, Peirce memusatkan perhatian pada berfungsinya tanda pada umumnya dengan menempatkan tanda-tanda linguistik pada tempat yang penting, namun bukan yang utama. Hal yang berlaku bagi tanda pada umumnya, berlaku pula bagi linguistik, namun tidak sebaliknya. Saussure, di pihak lain, mengembangkan dasar-dasar teori linguistik umum. Kekhasan teorinya terletak pada kenyataan bahwa ia menganggap bahasa sebagai sebuah sistem tanda.

Peirce juga membedakan hubungan antara tanda dengan acuannya ke dalam tiga jenis hubungan, 1) ikon, jika ia berupa hubungan kemiripan, 2) indeks, jika ia berupa hubungan kedekatan eksistensi, dan 3) simbol, jika ia berupa hubungan yang sudah terbentuk secara konvensi. Sedangkan menurut Saussure (Nurgiyantoro, 1998:43), bahasa sebagai sebuah sistem tanda, memiliki dua unsur yang tak terpisahkan:signifer dan signified, signifiant dan signifie, atau penanda dan petanda.


(42)

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori semiotika untuk menjelaskan dan memperlihatkan tanda-tanda secara mendalam dalam novel The Harsh Cry of The Heron. Tanda-tanda tersebut dapat berupa pemikiran tokoh-tokohnya yang mewakili adanya ajaran Zen dalam pembentukan sikap mereka dalam masyarakat, dan juga terdapatnya kebenaran tentang perkembangan ajaran Zen dalam novel The Harsh Cry of The Heron.

2.4. Biografi Pengarang

Lian Hearn adalah seorang penulis yang lahir dan besar di Inggris. Namun semenjak tahun 1993, dia hijrah ke Australia dan menetap disana. Nama asli Lian Hearn adalah Gillian Rubenstein. Namun karena ingin membawa dirinya masuk ke dalam kehidupan Jepang, maka ia mengganti namanya menjadi Lian Hearn. Jadi bisa dibilang bahwa Lian Hearn adalah nama samaran Gillian Rubenstein dalam karya sastra Jepang.

Nama Lian sendiri diambil dari namanya Gillian. Sedangkan nama Hearn diambil dari nama seorang penulis kenamaan Jepang, sekaligus merupakan lambang dari Klan Otori (klan yang menjadi sentral penceritaan dalam karya novelnya), yang berarti bangau.

Pada awalnya Lian Hearn adalah seorang penulis cerita anak-anak. Namun pada tahun 1999, dia mendapat beasiswa Asialink Foundation. Selama tiga bulan ia mendapat kesempatan untuk tinggal di Jepang. Selama di Jepang dia tinggal di Australia Council-Departemen Luar Negeri dan Perdagangan, Kedutaan Besar Australia di Tokyo dan ArtSa, The South Australian Government Arts Department. Saat di Jepang ia disponsori oleh Yamaguchi Prefecture’s Akiyoshi Internasional Arts Village dengan para stafnya yang membantunya mempelajari alam dan sejarah Western Honshu.


(43)

Selama tiga bulan ia berada di Jepang, ia menghabiskan waktu di Jepang dengan dua perusahaan teater yang telah memberinya kesempatan untuk melakukan riset penuh demi mengumpulkan data yang diperlukan untuk melengkapi data demi penulisan novel pertamanya.

Karakter utama Takeo dan Kaede muncul ketika kunjungan pertama Lian Hearn di Jepang pada tahun 1993. Novel ini diisi dengan konflik dan perebutan kekuasaan antar klan yang terjadi sekitar abad 17 awal sampai abad 18 akhir. Peran Takeo adalah sebagai tokoh yang berupaya menyatukan Wilayah Tiga Negara di bawah kekuasaan Klan Otori kemudian Takeo mendapatkan pencerahan sehingga terjadi perubahan pada diri Takeo. Wilayah Tiga Negara ini dikenal menjadi tiga pulau terbesar di Jepang saat ini.


(44)

BAB III

ANALISIS KONSEP ZEN DALAM NOVEL THE HARSH CRY OF THE HERON

3.1 Sinopsis cerita

Tokoh utama dalam novel “The Harsh Cry of The Heron” adalah seorang samurai yang bernama Takeo, yang kemudian diberi gelar kebangsaan menjadi Lord Takeo. Dalam novel ini dia berperan sebagai tokoh utama yamng menjadi tokoh sentral penceritaan. Novel “The Harsh Cry of the Heron” ini mengisahkan tentang bagian penting perjalanan hidup Takeo, yakni sedikit kisah tentang masa remajanya ditengah-tengah kaum

Heiden (kaum ibunya),kisah tentang masa pencarian jati dirinya ditengah-tengah perang

antar Klan, sampai kepada masa kepemimipinannya dalam mempersatukan Wilayah Tiga Negara yang berada di Jepang pada m,asa ini.

Perjalanan seorang samurai yang bernama Takeo ini, bermula dari pembantaian kaum Heiden yang dilakukan oleh Lord Iida Sadamu. Pada masa ini, Iida Sadamu merupakan seorang pemimpin klan yang terkuat. Untuk menambah daerah kekuasaannya Iida Sadamu membantai kaum atau klan lain.

Pada saat Iida Sadamu membantai kaum Heiden, Takeo sedang berada dihutan, sehingga ia selamat dari pembantaian itu. Ketika kembali kedesanya Takeo mendapati kekacauan yang terjadi didesanya. Namun pada saat anak buah Iida Sadamu yang bernama Ando hendak membunuh Takeo, maka ia diselamatkan oleh Lord Shigeru yang berasal dari Klan Otori. Akhirnya sejak saat itu, Takeo ikut bersama Otori Shigeru.


(45)

Pada awalnya Takeo merasa amat sedih karena menemukan dirinya telah menjadi sebatang kara dan harus terpisah dengan keluarga untuk selamanya. Dia menyesali dirinya karena pada saat pembantaian itu terjadi dia berada di tempat lain. Namun setelah beberapa minggu hidup bersama Otori Shigeru, dia sadar bahwa dia harus menerima kenyataan yang ada dan harus melanjutkanhidupnya. Otori Shigeru mengajarkan banyak hal pada Takeo layaknya pendidikan yang dirasakan oleh para bangsawan pada masa itu.

Seiring waktu berlalu, Takeo sudah dapat melupakan masa lalunya. Bahkan dia mendapati sisi yang lain dari dirinya yang tidak ia ketahui selama ini. Takeo menyadari ada bakat lain dalam dirinya yang tidak dimiliki oleh orang lain. Bakat ini seperti menidurkan orang, menghipnotis, berjalan tanpa menimbulkan suara, menggandakan diri, dan menghilang. Kemampuan ini berasal dari bakat kaum Tribe yang diturunkan oleh neneknya. Namun hal ini bertentangan dengan sifatnya yang cepat kasihan dengan orang lain, lebih mementingkan orang lain daripada diri sendiri dan tak tega membunuh orang lain. Perasaan Takeo yang welas asih ini ia peroleh dari pamannya yang menganut ajaran Zen.

Namun lambat laun Takeo menjadi pribadi yang tidak lagi merasa bersalah jika harus membunuh orang lain dikarenakan oleh kenangannya akan pembantaian yang terjadi pada kaumnya. Karena Otori Shigeru tidak menikah, maka ia mengangkat Takeo menjadi anak angkatnya, sekaligus penerus klan otori . Namun ada hal yang lebih besar yang diketahui oleh Takeo mengenai dirinya yaitu, bahwa ia dan Otori Shigeru bersaudara. Otori Shigeru merupakan paman kandung Takeo, dimana Otori Shigeru merupakan adik dari ayah kandung Takeo.


(46)

Tiga darah klan yang mengalir dalam diri Takeo membuat dia harus memutuskan pilihan kepada siapa kesetiaannya harus diberikan. Apakah kepada klan Otori-klan dimana Takeo telah dititipkan wasiat untuk meneruskannya, atau kepada klan tribe-klan yang telah memberikan Takeo banyak kemampuan yang jarang dimiliki oleh orang lain.

Namun karena dia lebih memihak pada klan Otori, maka setelah kematian Otori

Shigeru, dan membunuh Iida Sadamu, Takeo pun membulatkan hatinya untuk memimpin

klan Otori dalam meneruskan cita-cita Otori Shigeru untuk menguasai tiga wilayah yang pada abad 17-an awal disebut sebagai wilayah Tiga Negara, dan saat ini dikenal sebagai pulau terbesar dijepang. Kemudian Takeo menikahi pewaris klan Seisshu yaitu Kaede dan memiliki 3 orang putri dua diantaranya kembar, yang sulung bernama Shigeko dan si kembar bernama Miki dan Maya. Nasib si kembar sungguh malang karena harus dibenci masyarakat, dan yang paling menyedihkan dibenci oleh ibunya sendiri. Kepercayaan masyarakat pada zaman itu melahirkan anak kembar merupakan hal yang memalukan dan membawa bencana bagi orang disekitarnya, sehingga salah satu dari anak itu harus dibunuh, namun bagi Takeo itu adalah kepercayaan bodoh karena sangat tidak mungkin ia membunuh anak kandungnya sendiri, ia sangat menyayangi putri kembarnya karena didarah mereka juga terdapat darah tribe seperti dirinya. Dan diakhir perjuangannya melawan pengkhianatan dalam Tiga Negara akhirnya Takeo memutuskan mengabdikan hidupnya dikuil untuk lebih mempelajari Zen lebih dalam. Takeo memutuskan dengan bersumpah untuk tidak membunuh lagi dan mengabdikan hidupnya untuk melukis hingga akhir ajalnya.


(47)

3.2. Analisis konsep Zen mengenai kesetiaan dan kesederhanaan pada kehidupan para tokoh utama dalam novel “The Harsh Cry of The Heron”

3.2.1 Analisis tokoh takeo

“Kau melakukannya dengan sangat baik,” ujar Kaede. “Aku bangga.” Nada suaranya terdengar penuh kasih saying dan kekaguman, seperti biasa hanya tertuju pada putri sulungnya.

Cuplikan 1 (hal 13)

Si kembar saling bertukar pandang.

Mereka iri, pikir Takeo. Mereka tahu ibunya tidak memiliki kasih sayang yang sama kuatnya pada mereka. Dan dirasakannya debaran perasaan ingin melindungi yang tak asing lagi atas kedua putri kembarnya. Sepertinya ia selalu berusaha menjauhkan mereka dari segala yang bahaya-sejak mereka lahir, ketika chiyo ingin menyingkirkan bayi kedua, Miki, lalu membiarkannya mati. Ini tindakan yang biasa dilakukan pada anak kembar karena anak kembar dianggap tidak wajar bagi manusia, membuat mereka kelihatan lebih mirip hewan, kucing, atau anjing.

“Mungkin tampak kejam bagi Anda Lord Takeo,” Chiyo memperingatkannya. “Tapi lebih baik bertindak sekarang daripada menaggung malu dan sial, sebagai ayah dari anak kembar, rakyat akan percaya kalau Anda menjadi sasarannya.”

“Bagaimana mereka mereka bias berhenti percaya pada takhayul dan kekejaman semacam itu bila bukan kita yang memberi contoh?” sahutnya dengan gusar karena bagi orang yang terlahir dikalangan kaum Zen, ia sangat menghargai nyawa manusia lebih dari apapun, dan takpercaya kalau mempertahankan nyawa anak akan mendatangkan hinaan atau nasib buruk.


(48)

Ajaran Zen mengajarkan untuk menerima hidup ini sebagaimana adanya dan Zen melestarikan kehidupan sebagai kehidupan. Dengan kata lain, Zen menghargai hidup dan juga menghargai hidup orang lain. Berdasarkan kutipan diatas Takeo tidak percaya terhdap takhayul yang menganggap anak kembar itu sebagai bencana sebagaimana yang dipikirkan orang-orang, Namun Takeo menganggap anak itu adalah pemberian Tuhan yang harus dijaga baik-baik, baik itu anak kembar atupun tidak. Hal ini sangat bertolak belakang dengan sifatnya yang welas asih, terlebih lagi ini adalah anak kandungnya sendiri. Meskipun Takeo harus bertentangan pendapat dengan istrinya sendiri namun ia tetap tidak percaya terhadap takhayul untuk membunuh anak kembar, karena baginya kehidupan seseorang itu tidak ditentukan oleh orang lain maupun dari peraturan-peraturan yang dibuat manusia, tetapi hidup dan mati seseorang itu ditentukan oleh tuhannya.

Analisis

Cuplikan 2 (hal. 27

“Taku tersenyum saat menjawab. “tidak. Mereka menolak bicara. Aku hanya terkejut mereka masih hidup;kau tahu kalau kikuta bunuh diri dengan menggigit lidah mereka sendiri! Tentu saja, aku belum berusaha sebegitu kerasnya untuk membujuk mereka.”

)

“Aku tidak harus memperingatkanmu kalau kekerasan dilarang di Tiga Negara.” “Tentu saja tidak. Tapi apakah peraturan itu juga berlaku bahkan untuk kikuta?” “Peraturan itu berlaku bagi semua orang,” sahut Takeo ringan. “Mereka bersalah atas percobaan pembunuhan dan akan dieksekusi atas kesalahan itu pada akhirnya nanti. Untuk saat ini mereka tidak boleh diperlakukan dengan kasar. Akan kita lihat seberapa kuat keinginan ayah mereka agar anak-anaknya bias kembali.”


(49)

Cara berpikir dualisme yaitu membeda-bedakan antara baik-buruk, tinggi-rendah dan lain-lain. Dalam Zen, cara berpikir tersebut harus dihilangkan, karena antara hidup-mati, miskin-kaya, baik-buruk seperti tidak ada bedanya, semua itu hanya ilusi. Ajaran Zen menganggap semuanya itu adalah kesatuan, bukan dua hal yang berbeda. Inilah maksud Takeo tidak ingin ada kekerasan diwilayah pemerintahannya, tidak terkecuali musuh besarnya yaitu klan kikuta. Padahal mereka ingin membunuh istri Takeo yaitu Kaede, namun rencana mereka gagal dan akhirnya ditawan oleh Takeo. Walau begitu Takeo tetap tak ingin menyakiti mereka, bukan berarti Takeo lemah, ia akan tetap menghukum mereka sesuai dengan kesalahannya yaitu percobaan pembunuhan. Karena menurut ajaran Zen yang ia ketahui bahwa seorang samurai itu harus menghargai hidupnya dan orang lain seperti permata. Karena itulah ia sangat menghargai nyawa manusia sekalipun itu musuh besarnya sendiri.

Analisis

Cuplikan

Takeo menaikkan pandangannya kearah kenji melalui pinggiran cangkir. 3 (hal. 35)

“Baiklah, baiklah, lupakan saja aku pernah mengatakannya,” gerutu laki-laki tua itu. Tapi kau bodoh bila tidak menggunakan cara sama seperti yang digunakan musuh- usuhmu.” Digelengkan kepalanya. “Aku berani bertaruh kalau kau masih juga

enyelamatkan laron dari lilin. Kelembutan itu tidak pernah hilang.”

Takeo tersenyum tipis tapi tidak membantahnya. Sulit rasanya untuk keluar dari apa yang pernah diajarkan padanya sewaktu ia diberikan pencerahan tentang ajaran Zen. Hasil didikan telah membuatnya teramat sangat enggan untuk mencabut nyawa manusia. Namun sejak berusia enam belas tahun nasib membimbingnya kejalan hidup ksatria: menjadi


(50)

pewaris sebuah klan besar dan sekarang menjadi pemimipin Tiga Negara; ia harus belajar menjalani hidup dengan ajaran pedang. Lebih jauh lagi, Tribe, Kenji sendiri, mengajarkan padanya berbagai cara untuk membunuh dan pernah berusaha memadamkan sifat welas asih dalam dirinya.

Seperti yang telah diketahui ajaran zen telah membuat Takeo enggan mencabut nyawa orang lain. Karena baginya masih ada cara lain menyelesaikan masalah tanpa harus membunuh, inilah kelembutan hatinya yang ditentang Tribe. Karena sebagai seorang samurai Takeo harus bersikap tegas termasuk membunuh nyawa orang lain. Itulah yang dilakukan Takeo pada saat berjuang mewujudkan balas dendam terhadap kematian ayah angkat sekaligus pamannya Shigeru, ia melakukan begitu banyak tindak kekerasan, banyak diantaranya amat disesalinya, sebelum belajar cara menyeimbangkan antara kekerasan dan welas asih, sebelum kemakmuran dan stabilitas Negara serta peraturan hukum memberikan pilihan dengan cara yang diinginkan pada konflik kekuasaan yang buta antar klan.

Analisis

Kepercayaan orang-orang asing, pikir takeo, berasal dari sumber yang sama dari ajaran zen namun ditambah dengan takhayul dan perubahan bentuk selama berabad-abad. Ia sendiri dibesarkan dalam tradisi Hidden namun telah mengabaikan semua ajaran masa kecilnya setelah mengalami pencerahan dalam ajaran Zen.

Cuplikan 4 (hal. 74)

Satu ajaran yang paling menyita pikirannya – yaitu dilarang untuk membunuh – tampaknya tidak menjadi bagian dalam kepercayaan orang asing, pikir Takeo. Karena mereka datang bersenjata lengkap dengan pedang tipis panjang, belati, pedang pendek, dan tentu saja senjata api. Ketika kecil, Takeo diajarkan bahwa membunuh adalah dosa, bahkan


(51)

untuk mempertahankan diri, namun, didasarkan pada pertarungan untuk menaklukkan dan diawasi dengan kekuatan. Ia tidak bias menghitung lagi sudah berapa banyak nyawa melayang ditangannya maupun yang dieksekusi atas perintahnya. Tiga Negara dalam keadaan damai saat ini: pembantaian selama perang bertahun-tahun sudah menjadi sejarah. Takeo dan Kaede turun tangan untuk mengurus semua karena kekerasan diperlukan untuk pertahanan atau hukuman bagi pelaku tindakan criminal: mereka mengawasi ketat para ksatria dan memberi jalan keluar bagi ambisi dan agresi. Serta banyak ksatria yang mengikuti bimbingan Makoto, menyingkirkan panah dan pedang, bersumpah tidak akan membunuh lagi.

Kelak aku akan melakukan hal yang sama, pikir Takeo. Tapi bukan sekarang. Belum saatnya.

Dialihkan lagi perhatiannya pada pertemuan, mengamati Zenko. Hana dan bersama anak-anak mereka, dan ia bersumpah dalam hati untuk memecahkan semua persoalan tanpa pertumpahan darah.

Bagi Takeo kepercayaan orang asing yang masuk di negaranya lebih banyak omong kosongnya, karena terlalu banyak percaya takhayul dan perubahan bentuk selama berabad-abad. Jadi tidak tetap seperti ajaran Zen yang welas asih, lebih mengutamakan kedamaian daripada pertumpahan darah harus terjadi. Takeo berpikir, mengapa membunuh merupakan hal yang wajar bagi agama asing tersebut? Padahal membunuh nyawa orang lain sangat berdosa, jadi Takeo menganggap Zenlah agama yang welas asih dan mendukung terciptanya perdamaian dimuka bumi. Banyak klas prajurit yang turut mempelajari Zen seperti halnya Takeo, ajaran Zen ini menambah semangat para prajurit untuk berperang dan


(52)

lebih disiplin dalam kesehariannya.Makanya Takeo bersumpah tidak akan membunuh lagi, namun bukan sekarang saatnya maksudnya bahwa Takeo tetap harus menjadi samurai yang sejati terhadap Negara yang dipimpinnya. Dan hal itu menuntut Takeo sesekali harus membunuh jika keadaan terdesak. Satu hal yang sangat dibencinya namun harus dilakukannya jika tidak ada cara perdamaian yang dapat itempuh.

Takeo berjuang untuk mengendalikan amarahnya yang timbul akibat penghinaan semacam ini, sadar kalau Jun hanya berada tiga langkah darinya. Hanya tinggal mengeluarkan satu perintah lagi, dan mereka semua akan mati: Kono, Zenko, Hana dan anak-anaknya…darah mereka akan menyapu rasa malu yang bias dirasakan menorah tulangnya, mengikis organ-organ tubuhnya. Lalu ia akan menyerang Kaisar serta Jendralnya sebelum musim panas berakhir, mendesak mereka kembali ke Miyako, memporakporandakan ibukota. Hanya dengan cara inilah kemarahannya bias reda.

Cuplikan 5 (hal. 88)

Dipejamkannya matanya, melihat motif gambar dikertas kasa terukur di kelopak matanya, lalu menghela napas panjang, mengenang bangdawan lain yang telah membunuh untuk menyapu habis penghinaan dan akhirnya mencabut nyawa orang lain demi kesenangannya sendiri, membayangkan betapa mudahnya mengambil jalan keluar seperti itu dan menjadi seperti Iida Sadamu.

Dengan penuh kesadaran, disingkirkannya rasa terhina dan tikaman rasa malu jauh-jauh, seraya berkata pada dirinya sendiri kalau pemerintahannya memang ditakdirkan dan direstui surga :ia melihat restu ini dengan kehadiran burung Houou, dengan kebahagiaan rakyatnya. Pada akhirnya kembali lagi pada keputusan untuk menghindari pertumpahan


(53)

darah dan perang sebisa mungkin, dan tidak melakukan apapun tanpa berkonsultasi dengan Kaede dan penasehat lainnya.

Takeo dapat mengendalikan amarah dalam dirinya, tidak ingin melukai orang lain apalagi jika harus membunuh, ia selalu memandang segala sesuatu dengan cara yang baru. Dengan kata lain, tidak berlaku seperti binatang yang tak memiliki hati nurani dan tidak berakal budi. Sesuai dengan makna Satori dalam Zen, yaitu seni melihat inti diri melalui pengalaman langsung bukan melalui perkataan orang lain dan konsep-konsep tentang diri.

Analisis

Sebagai seorang pemimpin klan Takeo merasa sangat terhina atas penghinaan oleh utusan Kaisar terhadapnya, bahkan sempat terpikir untuk membunuh mereka semua para pengkhianat. Namun akhirnya ia tersadar bahwa cara itu salah. Pasti masih ada cara tanpa harus ada kekerasan, akhirnya berkat pengaruh Zen yang telah meresap dalam dirinya ia dapat mengendalikan dirinya dari amarah untuk membunuh.

Takeo mengamati wajah adik iparnya lekat-lekat ia bicara. Zenko tidak berani menatapnya. Bola matanya sedikit berputar dan bicara terlalu cepat untuk memberi tanggapan.

Cuplikan 6 (hal. 91)

“Lord Takeo harus tahu kalau aku betul-betul setia. Apa yang telah kono katakan hingga anda beranggapan seperti ini? Apakah dia bicara tentang masalah-masalah di wilayah Timur?”

Jangan pura-pura tidak tahu! Takeo tergoda ingin langsung menentangnya, tapi memutuskan kalau saatnya belum tiba. “Kita abaikan saja apa yang telah dikatakannya: itu


(54)

tidak penting. Sekarang, dihadapan semua saksi disini, ucapkan sumpah setiamu kepadaku.”

Zenko melakukannya dengan membungkuk dalam-dalam, tapi Takeo ingat bagaimana ayahnya, Arai Daiichi, telah bersumpah setia hanya untuk mengkhianatinya, dan disaat yang paling genting lebih memilih kekuasaan melebihi dari nyawa kedua putranya.

Putranya pun akan bersikap sama, pikirnya. Seharusnya kuperintahkan dia mencabut nyawanya sekarang juga. Namun tak kuasa bertindak seperti itu, Karena pada akhirnya semua kesedihan hanya akan menimpa keluarganya sendiri. Lebih baik tetap mencoba menjinakkannya, ketimbang membunuhnya. Tapi betapa lebih mudahnya kalau dia mati.

Disingkirkannya pikiran itu seraya berjanji pada dirinya sendiri sekali lagi untuk berpegang pada jalan yang lebih rumit dan sulit, jauh dari kemudahan yang menipu dari pembunuhan atau bunuh diri.

Takeo ingin sekali membongkar pengkhianatan adik iparnya Zenko, namun saat ini belum tepat. Tapi yang pasti Takeo masih ingin memberikan kesempatan kepada Zenko untuk berubah, berbalik mendukung pemerintahannya bukan malah berkomplot dengan musuh menghancurkannya. Takeo tetap berpikiran positif terhadap segala hal, tidak ingin langsung memvonis kesalahan seseorang. Padahal ia memiliki kekuasaan yang mutlak terhadap nyawa adik iparnya, bisa saja diperintahkannya agar Zenko adik iparnya tersebut mencabut nyawanya sendiri, tapi Takeo sangat menghargai nyawa manusia, baginya hidup mati seseorang bukan tergantung peraturan yang dibuat manusia itu sendiri, meskipun dalam konsep Bushido seorang atasan bisa saja memerintahkan kepada anak buahnya agar mencabut nyawanya sendiri, dan hal ini merupakan hal yang wajar dilakukan seorang


(1)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Karya sastra adalah sarana bagi seseorang untuk menyampaikan pemikiran, pandangan dan kreatifitasnya dengan tujuan untuk menghibur, memberitahu atau mempengaruhi pembacanya tentang suatu hal. Novel merupakan sebuah karya fiksi yang menawarkan sebuah dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan dan bersifat imajiner.

2. Novel The Harsh Cry of The Heron karya lian hearn ini ini mengandung konsep kesetiaan yang diwujudkan dalam sikap untuk membalaskan dendam tuan (adauchi) dan bukannya ikut mati dalam kesia-siaan mengikuti kematian sang tuan. Dalam novel ini juga ditemui kemiripan samurai dan ninja. Dalam novel ini ada ditampilkan sosok seorang samurai yang memiliki kemampuan yang dimiliki oleh ninja, yaitu dari kalangan Tribe, salah satu contohnya adalah Takeo yang memiliki kemampuan menghilangkan diri, menggandakan diri, dapat berjalan diatas air dan telinganya yang sangat peka terhada p suara-suara di sekelilingnya. Novel ini juga memaparkan ajaran Zen dalam kehidupan takeo dan Shigeru. 3. Ajaran zen bagi kelas samurai dijadikan pedoman moral dan pelatihan mental

dalam menghadapi kehidupan mereka yang keras dan penuh tekanan, karena ajaran Zen merupakan doktrin pembersihan jiwa yang yang keras, menekankan disiplin mental dan hidup yang keras. Tapi hal itu sesuai dengan kehidupan samurai.


(2)

5. Konsep Zen dalam novel The Harsh Cry of The Heron terlihat melalui tokoh-tokohnya, yaitu:

• Pada tokoh Takeo, Diantara para tokoh yang ada dalam novel The Harsh Cry of The Heron ini tokoh Takeo lah yang dominant paling banyak menganut konsep Zen dalam kehidupan sehari-harinya. Misalnya dari cara bertindak dalam mengambil keputusan, Takeo selalu berpikir secara tenang dan matang dan jauh dari keputusan akan kekerasan dan pembantaian. Sehingga Tiga Negara yang dipimpinnya pun aman dan damai. Selain itu Takeo selalu berpikir positif kepada semua orang, Takeo tidak pernah membeda-bedakan status orang karena Takeo berpikir tidak secara dualisme sebagimana yang telah diajarkan dalam konsep Zen. Dalam kehidupan religiusnya Takeo tidak menentang ajaran asing masuk dalam negaranya, hanya saja Takeo tidak percaya kepada agama yang membunuh orang lain itu merupakan hal yang biasa, sangat bertolak belakang dalam pemikirannya dan dalam konsep Zen yang dianutnya. Pada akhirnya Takeo mengabdikan hidupnya di biara untuk belajar melukis agar mendapatkan ketenangan jiwa tanpa harus memikirkan lagi masalah duniawi.

• Pada tokoh shigeru, Konsep zen juga turut mempengaruhi dalam cara berpikir dan bertindak Shigeru dalam kehidupan sehari-harinya, misalnya ketenangan jiwanya dalam setiap menghadapi masalah. Selain itu konsep Zen turut mempengaruhi shigeru dalam pembuatan Taman yang dilakukannya sendiri. Taman itu adalah salah satu konsep estetika yang berpengaruh terhadap Zen.


(3)

• Pada tokoh Shizuka, Konsep Zen turut mempengaruhi cara berpikir Shizuka tentang kesetiaannya kepada pemimpinnya Lord Takeo. Bahkan untuk menunjukkan kesetiaannya ishizuka menyarankan untuk membunuh anak kandungnya sendiri yang telah berani berkhianat kepada Takeo. Namun pada akhirnya Shizuka memutuskan untuk tinggal di biara dan mengabdikan hidupnya disana untuk lebih mendalami Zen.

4.2.Saran

1. Zen adalah ajaran yang menekankan bahwa keselamatan hanya bisa diraih dengan usaha sendiri dan tidak bergantung pad pertolongan dari dewa maupun Tuhan. Menurut penulis hal ini tidak sesuai dengan kenyataan hidup, dimana manusia suatu saat akan membutuhkan orang lain dan pertolongan tuhan. Betapapun seseorang itu mampu memaksimalkan kekuatan alamiah mereka untuk mengatasi masalah hidup, tidak selamanya manusia tetap bisa mengandalkan diri sendiri.

2. Konsep Bushido membenarkan seorang samurai balas dendam dan mati demi tuannya karena kesetiaan mereka yang tanpa kompromi terhadap atasannya. Konsep

Bushido tentang kematian ini sesuai dengan ajaran Zen yang tidak mempunyai pikiran dualistis, dan penekanannya pada pelampauan batas antara hidup dan mati, dan konsep inilah yang diambil oleh para samurai masa itu untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Praktek bunuh diri ini menurut penulis tidak baik dan tidak sesuai dengan prinsip kebebasan. Hidup dan mati seseorang tidak ditentukan oleh manusia ataupun peraturan yang dibuatnya, tetapi ditentukan oleh Tuhan. Menurut


(4)

penulis, praktek bunuh diri dan balas dendam tidak lagi sesuai dengan zaman sekarang yang menjunjung tinggi hak-hak manusia.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Sayuthi. 2002. Metode Penelitian Agama : Pendekatan Teori dan Praktek. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Aminuddin. 2000. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung PT. Sinar Baru Algensindo. Anesaki, Masaharu. 1997. History of Japanese Religion. Tokyo: Charles E. Tutle

Company.

Bellah, Robert N. 1992. Religi Tokugawa, Akar-akar Budaya Jepang. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Fromm, Erich, D.T. Suzuki. Dkk. 2004. Zen dan Psikoanalisis. Yogyakarta: Suwung. Hane, Mikiso. 1991. Premodern Japan, A Historical Survey. U.S: Westview press. Hartoko, Dick. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia

Hearn, Lian. 2006. The The Harsh Cry of the Heron. Jakarta: Penerbit Matahati.

Matsubara, Saburo. Dkk. 1987. Sejarah KebudaJepang sebuah persepektif. Kementrian luar negri Jepang.

Nawawi, Hadari. 1991. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakartsa: Gadjah Mada University Press.

Nio Joe Lan. 1962. Jepang Sepanjang Masa. Jakarta: PT. Kinta.

Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Nyoman, Kutha Ratna. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


(6)

Pradopo, Rahmat Djoko. Dkk. 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: PT. Hanindita Graha Widia.

Pujiono, Muhammad. 2002. Skripsi: Analisis nilai-nilai religius dalam Cerpen Karya Miyazawa Kenji. Medan: STIBA Swadaya.

Semi, Atar. 1993. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya.

Simpkins, c. Alexander. Dkk. 2004. Manfaat dan Penerapan Meditasi dalam Kehidupan Sehari-hari. Semarang: Dahara Prize.

Situmorang, Hamzon. 1995. Perubahan Kesetiaan Bushi dari tuan Kepada Shogun dalam Zaman Edo (1603-1868) di Jepang. Medan: USU Press.

Sumardjo, Jacob. 1979. Novel Indonesia Mutakhir Sebuah Kritik. Jakarta: yuslitia.

Suprayogo, Imam. 2001. Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Sutrisno, Mudji. 1993. Buddhisme, Pengaruhnya dalam Abad Modern. Yogyakarta: Kanasius.

Takagi, Taku. 1980. Nihon no Rekishi. Tokyo: Yomiura Shinbunsha. Toda, Dami N. 1981. Novel baru Iwan Simatupang. Jakarta: Gramedia.

Tsai, Chih Chung. 2004. Asal Mula Zen, Berkembangnya Zen di Cina. Jakarta: Gramedia. Wellek, rene dan Austin, Warren. 1995. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia. Pustaka

Utama.


Dokumen yang terkait

Analisis Psikologis Tokoh Utama Suguro Dalam Novel Skandal karya Shusaku Endo Endo Shusaku No Sakuhin No “Sukyandaru” No Shousetsu Ni Okeru Shujinkou No Shinrinteki No Bunseki

2 79 64

Analisis Kesetiaan Tokoh Kaze Dalam Novel “Pembunuhan Sang Shogun” Karya Dale Furutani Dale Furutani No Sakuhin No Shougun No Satsugai No Shousetsu Ni Okeru Kaze To Iu Shujinko No Chujitsu No Bunseki

5 50 66

Analisis Ijime Dalam Komik Life Karya Keiko Suenobu.Keiko Suenobu No Sakuhin No “Life” Manga No Ijime No Bunseki Ni Tsuite

4 75 76

Analisis Konsep Kazoku Dalam Novel “Kitchen” Karya Banana Yoshimoto (Banana Yoshimoto No Sakuhin Daidokoro No To Iu Shosetsu Ni Okeru Kazoku Ni Gainen No Bunseki)

7 71 54

Analisis Psikologis Tokoh Utama Dalam Novel “1 Liter Of Tears” Karya Aya Kito Aya Kito No Sakuhin No “1 Rittoru Namida” To Iu Shosetsu Ni Okeru Shujinko No Shinrigakutekina Bunseki

4 68 81

Hirotada Ototake No Sakuhin No ”No One’s Perfect” Ni Okeru Kyokunteki Kyokumen No Bunseki

2 49 68

Analisis Pemikiran Lian Hearn Tentang Samurai Dalam Novel “Across The Nightingale Floor” (“Across The Nightingale Floor” No Shosetsu Ni Okeru Samurai Ni Tsuite No Lian Hearn No Kangaekata No Bunseki)

0 16 113

Analisis Sosiologis Terhadap Novel Musashi Karya Eiji Yoshikawa = Eiji Yoshikawa No Sakuhin No “Musashi No Shousetsu” Ni Taishite No Shakai Gaku Teki No Bunseki Ni Tsuite

2 75 101

Analisis Aspek Sosiologis Tokoh Gals Dalam Komik “Gals!” Karya Mihona Fuji = Mihona Fuji No Sakuhin No “Gals!” To Iu Manga Ni Okeru Gyaru No Shujinkou No Shakaigakuteki No Bunseki Ni Tsuite

0 59 62

Analisis Peran Tokoh Ninja Dalam Komik Naruto Karya, Masashi Kishimoto Masashi Kishimoto No Sakuhin No “Naruto No Manga” Ni Okeru Ninja No Shujinkou No Yakusha No Bunseki Ni Tsuite

3 59 89