Analisis Pemikiran Lian Hearn Tentang Samurai Dalam Novel “Across The Nightingale Floor” (“Across The Nightingale Floor” No Shosetsu Ni Okeru Samurai Ni Tsuite No Lian Hearn No Kangaekata No Bunseki)

(1)

ANALISIS PEMIKIRAN LIAN HEARN TENTANG SAMURAI

DALAM NOVEL “ACROSS THE NIGHTINGALE FLOOR”

“ACROSS THE NIGHTINGALE FLOOR” NO SHOSETSU NI

OKERU SAMURAI NI TSUITE NO LIAN HEARN NO

KANGAEKATA NO BUNSEKI

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana Bidang Ilmu

Sastra Jepang Oleh:

FRISKA SIHITE

NIM: 040708053

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

PROGRAM STUDI S-1 SASTRA JEPANG

MEDAN


(2)

ANALISIS PEMIKIRAN LIAN HEARN TENTANG SAMURAI

DALAM NOVEL “ACROSS THE NIGHTINGALE FLOOR”

“ACROSS THE NIGHTINGALE FLOOR” NO SHOSETSU NI

OKERU SAMURAI NI TSUITE NO LIAN HEARN NO

KANGAEKATA NO BUNSEKI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana Bidang Ilmu

Sastra Jepang Oleh:

FRISKA SIHITE

NIM: 040708053

Pembimbing I Pembimbing II

Adriana Hasibuan S.S, M.Hum

NIP. 131662152 NIP. 131763366

Drs. Nandi S.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

PROGRAM STUDI S-1 SASTRA JEPANG

MEDAN


(3)

Disetujui oleh:

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

Program Studi Sastra Jepang Ketua Program Studi

NIP.131422712

Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S, Ph.D


(4)

PENGESAHAN Diterima oleh,

Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu Ujian Sarjana dalam bidang Ilmu Sastra Jepang pada Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

Pada : Pukul 14:00 WIB Tanggal : 20 September 2008 Hari : Sabtu

Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara Dekan

NIP.132098531

Drs. Syaifuddin, M.A, Ph.D

Panitia Ujian

No. Nama Tanda Tangan

1. Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S, Ph.D ( )

2. Adriana Hasibuan, S.S, M.Hum ( )

3. Drs. Amin Sihombing ( )


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena

kasih karunia dan kuasa-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Skripsi yang berjudul Analisis Pemikiran Lian Hearn Tentang Samurai

Dalam Novel “Across The Nightingale Floor” (“Across The Nightingale Floor” No Shosetsu Ni Okeru Samurai Ni Tsuite No Lian Hearn No Kangaekata No Bunseki) ini diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam mencapai gelar

kesarjanaan pada Fakultas Sastra Program Studi Sastra Jepang Universitas Sumatera

Utara.

Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih, penghargaan,

serta penghormatan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang elah membantu

penulis menyelesaikan studi dan skripsi ini, antara lain kepada:

1. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas

Sumatera Utara.

2 Bapak Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S, Ph.D, selaku Ketua Program

Studi S-1 Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.

3 Ibu Adriana Hasibuan SS, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I, yang telah

menyediakan waktu di sela-sela kesibukannya untuk membimbing dan

mengarahkan penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

4. Bapak Drs. Nandi S., selaku Dosem Pembimbing II, yang telah memberikan


(6)

5. Dosen Penguji Ujian Skripsi, yang telah menyediakan waktu untuk membaca

dan menguji skipsi ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada semua

Dosen Pengajar Program Studi S-1 Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara,

yang telah memberikan banyak ilmu kepada penulis, sehingga penulis dapat

meyelesaikan perkuliahan dengan baik.

6. Ayahanda Anggiat Sihite, SE, yang senantiasa memberikan semangat dan

nasehat kepada penulis, juga kepada Ibunda M.R. Hutabarat Spd, yang dengan

setia merawat serta mengajarkan nilai-nilai yang baik terutama kepercayaan

yang dilimpahkan secara luar biasa kepada penulis.

7. Teman-teman penulis sesama mahasiswa Sastra Jepang Universitas Sumatera

Utara Stambuk 2004, yang dengan semangat tetap saling menguatkan dalam

meyelesaikan studi serta telah membagi begitu banyak hal selama menjalani

proses belajar di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

8. Teman-teman dekat penulis yang tergabung dalam Agatha Club: Grace, Lola,

Santy, Eva, Sery, Henny dan Lenny, semoga kita tetap dekat dimanapun

Tuhan akan menempatkan kita nantinya.

9. Teman dekat penulis lainnya yang tergabung dalam Gerobak Pasir

Bersaudara: Turi, Burung, Kolbus, Oneng, Eep Saefullah dan Gelem, semoga

tetap solid dalam menghadapi apapun masalah yang terjadi di esok hari.

10. Terutama buat Fitri Yani Panggabean, teman sekaligus mitra penulis, yang

dengan semangat mau membantu penyelesaiaan skripsi penulis ini.

11. Semua pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini, yang tidak


(7)

Penulis menyadari bahwa tidak ada yang sempurna dalam hidup ini, termasuk

juga dalam penulisan skripsi ini. Namun penulis tetap mencari kesempurnaan tersebut

dalam suatu nilai pekerjaan yang dilakukan secar maksimal. Maka dengan berangkat

dari prinsip itu jugalah, penulis berusaha merampungkan skripsi penulis tersebut.

Medan, September 2008

Penulis


(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI...iv

BAB I PENDAHULUAN...1

1.1.Latar Belakang Masalah...1

1.2. Perumusan Masalah...5

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan...7

1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori...8

1.4.1 Tinjauan Pustaka...8

1.4.2 Kerangka Teori...11

1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian...13

1.5.1 Tujuan...13

1.5.2 Manfaat Penelitian...13

1.6. Metodologi Penelitian...14

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KESETIAAN JEPANG, DEFINISI NOVEL DAN SETTING DALAM NOVEL “ACROSS THE NIGHTINGALE FLOOR” 2.1. Sejarah Samurai di Jepang...16

2.1.1 Sengoku Jidai...16

2.1.2 Jalan Samurai...18

2.1.3 Kehidupan Sehari-hari...21


(9)

2.2. Tinjauan Umum Terhadap Kesetiaan di Jepang...23

2.2.1 Kesetiaan...24

2.2.2 Kesetiaan Jepang...25

2.2.3 Samurai, Bushi dan Bushido...27

2.2.4 Kesetiaan Pengabdian Bushi Periode Awal...41

2.2.5 Kesetiaan Pengabdian Bushi Periode Akhir...47

2.3. Definisi Novel dan Seting...57

2.3.1 Definisi Novel...57

2.3.2 Setting Dalam Novel “Across The Nightingale Floor”...58

2.4. Biografi Pengarang...59

BAB III ANALISIS PEMIKIRAN LIAN HEARN TENTANG SAMURAI DALAM NOVEL “ACROSS THE NIGHTINGALE FLOOR”. 3.1. Sinopsis Cerita...61

3.2. Pemikiran Lian Hearn Tentang Samurai...63

3.2.1 Dari Unsur Kesetiaan samurai...63

3.2.2 Dari Latar Belakang Religi ………...73

3.2.3. Dari Latar Belakang Historis...77

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan...80


(10)

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN GAMBAR ABSTRAK


(11)

Abstrak

Secara etimologi sastra berasal dari bahasa latin, yakni littera yang berarti tulisan, dimana istilah sastra ini dapat dipakai untuk menunjukkan gejala budaya yang dapat dijumpai pada semua masyarakat meskipun secara sosial, ekonomi, dan keagamaan keberadaannya tidak merupakan keharusan (Soeratno dalam Pradopo, 2001:9).

Namun jika dilihat dari sisi hubungan antara seni dan tulisannya, maka sastra dapat dikategorikan sebagai kegiatan antara ekspresi dan penciptaan. Oleh karena alasan inilah maka sastra mengandung banyak unsur kemanusiaan, khususnya perasaan, semangat, kepercayaan dan keyakinan yang diungkapkan, sehingga mampu membangkitkan kekaguman. Ciri khas pengungkapan bentuk dalam sastra adalah bahasa. Bahasa bisa disampaikan dalam berbagai wujud, misalnya wujud warna, suara, bunyi dan gambar. Sastra menurut Jacob Sumardjo dan Saini K.M (1997:3) adalah sebagai berikut:

“ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, dan keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa”.

Hal yang sama juga diutarakan oleh Welleck dan Austin (1997:3), bahwa sastra merupakan kegiatan kreatif sebuah karya seni. Hal inilah yang mengharuskan sastra untuk mampu memunculkan suatu kreasi yang indah dan berusaha menyalurkan kebutuhan keindahan manusia dan tidak hanya merupakan media


(12)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Secara etimologi sastra berasal dari bahasa latin, yakni littera yang berarti

tulisan, dimana istilah sastra ini dapat dipakai untuk menunjukkan gejala budaya yang

dapat dijumpai pada semua masyarakat meskipun secara sosial, ekonomi, dan

keagamaan keberadaannya tidak merupakan keharusan (Soeratno dalam Pradopo,

2001:9).

Namun jika dilihat dari sisi hubungan antara seni dan tulisannya, maka sastra

dapat dikategorikan sebagai kegiatan antara ekspresi dan penciptaan. Oleh karena

alasan inilah maka sastra mengandung banyak unsur kemanusiaan, khususnya

perasaan, semangat, kepercayaan dan keyakinan yang diungkapkan, sehingga mampu

membangkitkan kekaguman. Ciri khas pengungkapan bentuk dalam sastra adalah

bahasa. Bahasa bisa disampaikan dalam berbagai wujud, misalnya wujud warna,

suara, bunyi dan gambar. Sastra menurut Jacob Sumardjo dan Saini K.M (1997:3)

adalah sebagai berikut:

“ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, dan keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa”.

Hal yang sama juga diutarakan oleh Welleck dan Austin (1997:3), bahwa sastra merupakan kegiatan kreatif sebuah karya seni. Hal inilah yang mengharuskan sastra untuk mampu memunculkan suatu kreasi yang indah dan berusaha menyalurkan kebutuhan keindahan manusia dan tidak hanya merupakan media atau


(13)

sarana untuk menyampaikan ide, pemikiran, dan hukum yang mutlak dari si pemilik karya sastra tersebut.

Sejalan dengan pernyataan tersebut, Boulton dalam Aminuddin (2000:37)

mengungkapkan, bahwa cipta sastra, selain menyajikan nilai-nilai keindahan dan

paparan peristiwa yang mampu memberikan kepuasan batin pembacanya, juga

mengandung pandangan yang berhubungan dengan renungan atau kontemplasi batin,

baik berhubungan dengan masalah keuangan kompleksitas kehidupan ini.

Karya sastra dalam kesusastraan dibedakan dalam berbagai jenis, dan

masing-masing jenis memiliki watak dan bentuk yang berbeda-beda. Setiap unsur memiliki

pola yang berbeda sehingga pada akhirnya membentuk tujuan yang berbeda-beda

pula. Karya sastra dapat dibedakan atas prosa, puisi, dan drama. Jenis prosa dalam

pengertian kesusastraan juga disebut sebagai fiksi. Istilah fiksi dalam pengertian ini

berarti cerita rekaan atau cerita khayalan. Hal ini disebabkan fiksi merupakan karya

naratif yang isinya tidak menyaran kepada kebenaran sejarah (Abrams dalam

Nurgiyantoro, 1993:2). Prosa kemudian terbagi lagi ke dalam jenis novel, cerita

pendek dan roman.

Secara khusus, novel menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (1998:9) berasal

dari bahasa Italia yaitu Novella, yang jika dilihat secara harafiah berarti “ sebuah

barang baru yang kecil” dan kemudian diartikan sebagai “cerita pendek dalam bentuk

prosa”. Menurut Nurgiyantoro (1998:4) novel sebagai sebuah karya fiksi

menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan,


(14)

plot, tokoh, (dan penokohan), latar, sudut pandang, dan lain-lain, yang kesemuanya

tentu saja bersifat imajinatif.

Berdasarkan pengertian di atas, novel merupakan cerita rekaan atau khayalan,

disebabkan novel itu tidak berdasarkan pada kebenaran sejarah. Dalam novel

menceritakan tentang berbagai masalah kehidupan manusia, yaitu bagaimana

interaksi dengan lingkungan dan sesama, interaksinya dengan diri sendiri, serta

interaksinya dengan Tuhan. Bila berbicara tentang kehidupan dan pengalaman

manusia, sebuah novel tidak terlalu asing dengan kehidupan sebagaimana yang kita

kenal atau kita alami. Namun dalam ceritanya, sebuah karya fiksi seperti novel tidak

sama betul dengan kehidupan, apa yang diceritakan dalam fiksi mungkin tidak pernah

terjadi dan tidak akan pernah terjadi (Semi, 1993:31)

Sedangkan menurut Jacob Sumardjo (1991:11-12), novel adalah genre sastra

yang berupa cerita, mudah dibaca dan dicerna, novel juga mengandung unsur pemikat

dalam alur ceritanya yang mudah menimbulkan sikap penasaran bagi pembacanya.

Jadi, dalam novel terdapat bahasa sastra yang berusaha mempengaruhi, membujuk

dan pada akhirnya mengubah sikap pembaca.

Di Jepang sendiri, sebagai salah satu negara yang memiliki karya-karya sastra

yang terkenal di dunia, juga mengenal novel sebagai salah satu genre sastranya.

Dalam bahasa Jepang novel disebut dengan shosetsu. Pengertian shosetsu menurut

Kawabara Takeo dalam Muhamad Pujiono (2002:3) adalah novel yang

menggambarkan kehidupan sehari-hari di dalam masyarakat yang lebih

menitikberatkan kepada tokoh manusia (peran) di dalam karangannya daripada


(15)

Salah satu hasil karya sastra yang berupa novel adalah novel yang berjudul

“Across The Nightingale Floor” yang ditulis oleh Lian Hearn. Novel ini

menceritakan tentang perebutan kekuasaan antar klan (suku atau kelompok samurai),

yaitu klan otori, kaum samurai yang berasal dari kaum atau klan otori yang

memperjuangkan tanah kekuasaannya di tengah-tengah perebutan kekuasaan yang

sedang terjadi antar klan pada awal abad 17 sampai akhir abad 18.

Novel ini secara rinci menceritakan tentang kehidupan seorang samurai,

mulai dari kehidupannya yang biasa-biasa saja, kemudian secara kebetulan

menemukan jati dirinya yang sebenarnya sampai dia menjadi penguasa Jepang pada

awal abad 17 sampai akhir abad 18.

Awal penceritaan kisah klan otori ini dimulai saat seorang pemuda yang

tinggal diantara kaum Heiden yang bernama Tomasu menemukan kehidupannya yang

tiba-tiba berubah pada suatu hari. Ketika Ia pergi ke hutan yang berada di sekeliling

desanya, saat itu sedang terjadi pembantaian yang dilakukan oleh Iida Sadamu.

Maklum saja, pada awal abad 17 sampai akhir abad 18 ini sedang terjadi pelebaran

daerah kekuasaan oleh kaum-kaum yang berkuasa walaupun dengan menempuh cara

memusnahkan kaum-kaum yang ada. Hal ini dilakukan agar nantinya tidak ada

sisa-sisa kaum yang dibantai yang mempunyai kesempatan untuk membalas dendam

terhadap kaum yang membantai. Pemuda yang beruntung lepas dari pembantaian

kaumnya itu bernama Tomasu. Saat bersembunyi dari kejauhan untuk melihat

koindisi desanya, Ia ditolong oleh Lord Otori Shigeru, yang di kemudian hari ia


(16)

Tomasu merupakan anak yang memiliki darah dari 3 klan yang berbeda.

Ayahnya berasal dari kaum Kikuta, ibunya dari kaum Heiden, sedangkan neneknya

berasal dari klan otori. Di kemudian hari melalui pencerahan yang diberikan guru dan

pamannya (Lord Otori Shigeru) dia akan menemukan banyak kelebihan yang

diwariskan oleh masing-masing darah yang mengalir dalam dirinya, dan bakat-bakat

atau kelebihan ini akan sangat membantunya dalam usaha menguasai Jepang. Wujud

fisik Tomasu amat mirip dengan adik Lord Otori Shigeru yang bernama Lord Otori

Takeshi yang sudah meninggal, oleh karena itu maka Lord Otori Shigeru mengangkat

Tomasu menjadi anak angkatnya dan diberi nama Lord Otori Takeo.

Meskipun tokoh-tokoh dalam kisah yang ada dalam novel ini adalah fiktif dan

merupakan cerita rekaan pengarang, namun fakta-fakta historis tentang kehidupan

dan perebutan kekuasaan antar penguasa yang terdapat di dalamnya adalah benar

adanya.

Uniknya walaupun bercerita tentang kehidupan dan kebudayaan masyarakat

Jepang, dalam hal ini samurai, namun sesungguhnya novel ini ditulis oleh seorang

penulis wanita berkebangsaan Inggris yang tinggal di Australia yang berbanama Lian

Hearn atau Gillian Rubinstein.

Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis merasa tertarik untuk meneliti novel

yang mengangkat pemikiran Lian Hearn terhadap dunia dan kehidupan samurai

melalui skripsi yang berjidul “Analisis Pemikiran Lian Hearn Tentang Samurai


(17)

1.2. Perumusan Masalah

Samurai adalah istilah untuk perwira militer kelas elit sebelum zaman

industrialisasi di Jepang. Kata “samurai” berasal dari kata kerja “samorau” asal

bahasa Jepang kuno, berubah menjadi “saburau” yang berarti “melayani”, dan

akhirnya menjadi “samurai” yang bekerja sebagai pelayan bagi sang majikan.

Istilah yang lebih tepat adalah bushi yang digunakan semasa zaman Edo.

Bagaimanapun, istilah samurai digunakan untuk prajurit elit dari kalangan

bangsawan, dan bukan ashigaru atau tentara berjalan kaki. Samurai yang tidak terikat

dengan klan atau bekerja untuk majikan (daimyo) disebut ronin. Samurai yang

bertugas di wilayah han disebut hanshi.

Samurai adalah orang yang sopan dan terpelajar, dan semasa Keshogunan Tokugawa berangsur-angsur kehilangan fungsi ketentaraan mereka. Pada akhir era Tokugawa, samurai secara umumnya adalah kaki tangan daimyo,dan pedang mereka

hanyalah digunakan untuk tujuan istiadat. Dengan maksud, bahwa pedang itu sendiri

menandakan jati diri seorang samurai. Kebiasaan membawa pedang bagi seorang

samurai merupakan suatu hal yang hakiki, sehingga kebiasaan ini sudah

dipersamakan seperti adat-istiadat bagi mereka. Kemudian terjadi Reformasi Meiji

pada akhir abad ke-19. Dengan Reformasi Meiji, samurai dihapuskan dan diganti

dengan tentara nasional menyerupai negara Barat. Bagaimanapun juga, sifat samurai

yang ketat yang dikenal sebagai bushido masih tetap ada dalam masyarakat Jepang

masa kini, sebagaimana aspek cara hidup mereka yang lain.

Pada era pemerintahan samurai, istilah awal yumitori (“pemanah”) juga


(18)

pemain pedang telah menjadi lebih penting. Pemanah Jepang (kyujutsu), masih

berkaitan erat dengan dewa perang Hachiman.

Perkataan samurai muncul sebelum zaman Heian di mana bila seseorang

disebut saburai, berarti dia adalah seorang suruhan atau pengikut. Hanya pada awal

zaman modern, khususnya pada era Azuchi-Momoyama dan awal periode/era Edo

pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 perkataan saburai diganti dengan

samurai. Berikut adalah beberapa istilah lain samurai.

Buke – Ahli bela diri

Kabukimono - Perkataan dari kabuku atau condong, ia merujuk

kepada gaya samurai berwarna-warni.

Mononofu - Istilah silam yang berarti panglima.

Musha - Bentuk ringkasan Bugeisha, harafiah pakar bela diri.

Si - Huruf

Tsuwamono - Istilah silam bagi tentara yang ditonjolkan oleh

Matsuo Basho dalam haiku terkemukanya. Arti harafiahnya

adalah orang kuat.

Novel “ Across The Nightingale Floor” yang merupakan karya cipta seorang

penulis wanita yang bernama Lian Hearn adalah novel yang berisikan kehidupan para

samurai yang berasal dari beberapa klan yang secara aktif pada awal abad 17 sampai

akhir abad 18 berjuang memperebutkan wilayah di Jepang. Pada awal abad 17 sampai

akhir abad 18 ini, wilayah Jepang dibagi ke dalam tiga kawasan besar atau disebut


(19)

novel ini. Konflik-konflik yang ada sangat menggambarkan Jepang terutama

kehidupan persaingan serta kesetiaan para samurai terhadap tuan dan klannya.

Penulis novel ini yang bernama Lian Hearn adalah seorang yang berkebangsaan

Inggris namun berdomisisli di Australia serta mempunyai latar belakang kehidupan

dan budaya barat yang sangat berbeda dengan kebudayaan Jepang atau budaya timur.

Berdasarkan uraian yang sudah disebutkan di atas, beberapa permasalahan

yang akan dibahas adalah sebagai berikut:

”Bagaimana pandangan atau pemikiran Lian Hearn dalam hal kehidupan para

samurai yang digambarkan dalam novel “ Across The Nightingale Floor “ .

1.3. Ruang LingkupPembahasan

Dalam penulisan ini, penulis akan membahas sekaligus menganalisis

kehidupan para samurai serta faktok-faktor yang mempengaruhi kehidupan para

samurai yang digambarkan melalui novel “Across The Nightingale Floor” ini

sehingga akan menuju satu konsep kesetiaan yang melatarbelakangi berbagai konflik

yang terjadi di dalam novel ini. Baik kesetiaan terhadap klannya ataupun kepada

tuannya. Sekaligus ingin memperlihatkan kehidupan spiritual yang sudah tampak di

dalam novel ini, yang pada akhirnya akan menjadi salah satu hal yan membawa

warna tersendiri di dalam kehidupan para samurai itu sendiri.

Untuk memperjelas pemikiran Lian Hearn mengenai kehidupan samurai

dalam novel “Across The Nightingale Floor” ini, maka penulis akan membahas

pemikiran Lian Hearn tentang samurai dilihat dari latar belakang historis, budaya,


(20)

awal abad 17 sampai akhir abad 18.Kemudian penulis akan turut membahas biografi

Lian Hearn, dimana latar belakang Lian Hearn itu sendiri akan memberi gambaran

pemikirannya yang tertuang dalam novel “Across The Nightingale Floor” ini.

1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.4.1 Tinjauan Pustaka

Sastra yang bermutu adalah jenis sastra yang dapat menggambarkan atau

menafsirkan kehidupan yang terjadi di antara manusia yang notabene adalah

subyek/pelaku kehidupan ke dalam bentuk karya cipta sastra. Sebuah karya cipta

sastra dihargai karena karya sastra itu dapat atau mampu menunjukkan segi-segi baru

dari kehidupan yang kita jalani sehari-hari. Kehidupan sehari-hari ditinjau oleh

pengarang dan dimaknai sehingga di kemudian hari pembacanya dapat menambah

wawasan atau wacananya akan kehidupan yang dapat ia lihat dari hasil pembacaan

karya sastra tersebut sehingga kelak nilai positif dari karya sastra tersebut dapat

diaplikasikan oleh pembaca di dalam kehidupannya. Karya sastra sejatinya

merupakan perpanjangan nilai-nilai ajaran baik yang ingin disebarkan pengarang

kepada pembaca karya sastra yang ia hasilkan. Karya sastra juga dapat dijadikan

sebagai sebuah cara yang tepat dalam pengembangan semua unsur kepribadian secara

terpadu. Efek inilah yang ingin ditularkan dari sebuah penciptaan karya sastra.

Menurut De Bonald dalam Welleck dan Austin (1995:110-113) mengatakan

bahwa sastra merupakan ungkapan perasaan masyarakat. Seorang sastrawan hidup


(21)

terhadap kondisi masyarakatnya. Sastra adalah sebuah pemikiran yang dituangkan ke

dalam bentuk karya cipta imajinasi.

Melalui karya sastra, seorang pengarang dapat menyampaikan penilaiannya

terhadap kenyataan sosial yang terjadi dan berlangsung di dalam masyarakat.

Nilai-nilai ideal yang dipegangnya dipertentangkan dengan Nilai-nilai-Nilai-nilai yang terjadi di

tengah-tengah masyarakat yang berinteraksi di sekelilingnya. Sehingga melalui

proses perbandingan ini seorang sastrawan dapat menggambarkan kenyataan sosial

dan gambaran ideal yang dipercayai pengarangnya sendiri.

Berdasarkan keterangan di atas maka dapat disimpulkan bahwa ada maksud

atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca sebagai

penikmat karya sastra tersebut. Tidak mungkin seorang pengarang merangkai sebuah

cerita yang dibuat tanpa arah maupun pesan yang hendak disampaikan melalui karya

sastra yang ia ciptakan tersebut. Pembaca pun sudah selayaknya mendapatkan nilai

atau pengetahuan yang selama ini belum ia ketahui atau ia sadari sebelum membaca

karya sastra tersebut.

Di pihak lain William Hudson dalam Hardjana (1994:10) menyimpulkan

bahwa sastra dapat diibaratkan sebagai ungkapan baku dari apa yang telah disaksikan

oleh seseorang di dalam kehidupannya, tentang apa yang telah dipermenungkan dan

dirasakan orang mengenai segi-segi kehidupan yang paling menarik minat secara

langsung juga kuat pada hakekatnya adalah suatu pengungkapan kehidupan lewat

bentuk bahasa. Sehingga yang mendorong lahirnya sastra adalah keinginan dasar

manusia untuk mengungkapkan diri, untuk menaruh minat pada sesama manusia,


(22)

angan-angan yang dikhayalkan sebagai dunia nyata dan keinginan dasar untuk mencintai

bentuk sebagai bentuk.

Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa karya sastra adalah segala tulisan

yang walaupun fiktif dan imajinatif, namun tetap merupakan bagian dari masyarakat

karena karya sastra tersebut lahir dari masyarakat itu sendiri dan diciptakan untuk

mengungkapkan keadaan masyarakat serta kehidupan sosial maupun budayanya.

Menurut Simanjuntak (1997:11), kata budaya atau kebudayaaan berasal dari

bahasa latin yakni colera, yang mengandung arti mengolah, mengerjakan,

menyuburkan dan mengembangkan tanah (bertani). Kemudian pengertian ini

berkembang dalam arti culture, yaitu sebagai segala daya dan aktivitas manusia untuk

mengolah dan mengubah alam.

Selain itu kebudayaan juga mempunyai sifat-sifat sebagai berikut: budaya

dimiliki bersama oleh suatu kelompok masyarakat (budaya sebagai isi dan

masyarakat sebagai wadahnya): budaya cenderung bertahan atau berubah sesuai

dengan situasi yang dialami masyarakat yang bersangkutan; budaya juga berfungsi

untuk membantu manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup (kebutuhan biologi,

sosial dan psikologis) sebagai hasil adaptasi dan upaya manusia memanfaatkan

lingkungan. Budaya juga diperoleh melalui proses belajar dalam masyarakat dan

lingkungan hidup manusia.

Ditilik dari hal yang telah diuraikan di atas, maka sama halnya dengan yang

digambarkan di dalam novel ini. Novel ini ditulis oleh seorang penulis yang

berkebangsaan asing atau di luar Jepang itu sendiri. Pengarang tidak lahir dan tumbuh


(23)

identifikasi data atau bahan yang ia kumpulkan dalam proses pembuatan novel ini,

maka ia mampu menggambarkan kondisi dan kehidupan masyarakat pada saat itu,

khususnya kehidupan para samurai yang sejatinya adalah bagian dari kebudayaan

Jepang itu sendiri.

1.4.2 Kerangka Teori

Untuk dapat menganalisis suatu karya sastra diperlukan satu atau lebih teori

pendekatan yang sesuai dengan objek dan tujuan penulisan. Dalam hal ini, penulis

menggunakan beberapa pendekatan, yakni pendekatan historis, pendekatan semiotika

dan pendekatan biografi. Sehingga melalui ketiga teori pendekatan ini maka hal-hal

yang menjadi tujuan penulisan dapat dengan mudah dipahami.

Pendekatan historis menurut Aminuddin (2000:46), adalah suatu

pendekatan yang menekankan pada pemahaman tentang biografi pengarang, latar

belakang peristiwa kesejarahan yang melatarbelakangi masa-masa terwujudnya karya

sastra yang dibaca, serta tentang bagaimana perkembangan kehidupan penciptaan

maupun kehidupan sastra itu sendiri pada umunya dari zaman ke zaman.

Beberapa masalah yang menjadi objek sasaran pendekatan historis,

diantaranya, sebagai berikut : 1) perubahan karya sastra dengan bahasanya sebagai

akibat proses penerbitan ulang; 2) fungsi dan tujuan karya sastra pada saat

diterbitkan; 3) kedudukan pengarang pada saat menulis; dan 4) karya sastra sebagai

wakil tradisi zamannya.

Penulis menggunakan teori pendekatan historis ini karena penulis ingin


(24)

The Nightingale Floor” yang dilatarbelakangi keadaan kondisi zaman di Jepang

pada awal abad 17-18. Sehingga kita dapat melihat lebih jauh kehidupan para samurai

yang terjadi pada masa-masa ini.

Selain pendekatan historis, penulis juga menggunakan pendekatan

semiotika. Menurut Paul Lobley dan Litza Tanz dalam Kutha Ratna (2004:7),

mengatakan bahwa secara definitif semiotika berasal dari kata seme yang dalam

bahasa Yunani berarti penafsir tanda. Ada juga yang menjelaskan bahwa semiotika

berasal dari kata semeion yang berarti tanda. Menurut Hoed dalam Nurgiyantoro

(1995:40), dalam pengertian yang lebih luas, sebagai teori, semiotika berarti studi

sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya dan apa

manfaatnya terhadap kehidupan manusia.

Sebagai pendekatan terakhir yang juga penulis gunakan dalam penelitian

ini adalah pendekatan biografis. Menurut Kutha ratna (2004:56), dalam pendekatan

biografis dapat dipelajari kehidupan pengarang termasuk keadaan moral, mental dan

intelektualnya, juga menerangkan dan menjelaskan proses penciptaan karya sastra

yang sebenarnya.

Dalam kaitannya dengan aktivitas kreatif dibedakan pengarang ke dalam

tiga bagian, yaitu : 1) pengarang yang mengarang berdasarkan pengalaman langsung,

2) pengarang yang mengarang berdasarkan keterampilan dalam penyusunan kembali

unsur-unsur penceritaan, dan 3) pengarang yang mengarang berdasarkan kekuatan

imajinasi. Dalam hal ini, penulis memasukkan jenis pengarang ini ke dalam jenis

yang kedua dan ketiga. Penulis dapat menyimpulkan hal ini dikarenakan dalam


(25)

zaman atau saat berlangsungnya kejadian seperti yang tergambar di dalam novel

tersebut, melainkan hasil dari pengumpulan bahan-bahan dan data-data yang konkrit

yang kemudian dituangkan ke dalam karya ciptaannya.

Dengan menggunakan pendekatan biografis ini maka penulis dapat

merasakan juga alur kehidupan dari pengarang novel ini yaitu Lian Hearn yang

mempunyai nama asli Gillian Rubinstein serta keadaan moral, mental dan

intelektualnya pada saat menulis novel “ Across The Nightingale Floor ”. Penulis

juga secara tidak langsung dapat mengetahui alasan, tujuan serta proses yang telah

ditempuh Lian hearn dalam penulisan novel ini.

1.5. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1.5.1 Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan penulisan penelitian ini adalah:

”Untuk mendeskripsikan dan menggambarkan pemikiran serta tanggapan Lian Hearn

tentang kehidupan samurai dalam novel hasil karyanya tersebut.”

1.5.2 Manfaat Penulisan

Adapun yang menjadi harapan penulis mengenai manfaat penulisan penelitian

ini adalah:

1.Menambah pengetahuan penulis dan pembaca penelitian ini tentang awal

kemunculan serta kondisi kehidupan samurai di zamannya.


(26)

3.Menambah pengetahuan penulis dan pembaca penelitian ini mengenai

tanggapan terhadap kehidupan para samurai yang digambarkan orang asing

( di luar Jepang) melalui karya ciptanya.

1.6. Metode Penulisan

Dalam penulisan skripsi maka diperlukan metode penelitian yang

memudahkan proses penelitian itu sendiri. Ada penulis yang menggunakan satu

metode saja, namun di lain pihak seorang penulis penelitian dapat menyertakan

beberapa metode penulisan dalam satu langkah pengerjaan penelitian. Dalam hal

penulisan penelitian ini saya meyertakan dua metode penelitian yang saya anggap

akan memudahkan saya dalam penulisan penelitian ini.

Dalam penulis penelitian ini, penulis meggunakan metode deskriptif. Metode

deskriptif ini digunakan untuk mengukur dengan cermat fenomena sosial tertentu

yang terjadi atau berlangsung di tengah-tengah masyarakat. Penelitian menggunakan

metode penghimpunan data dan fakta, tetapi tidak melakukan hipotesa

(Singarimbun,dkk;1989:4-5). Sedangkan di lain pihak Koentjaraningrat (1976;30),

mengatakan bahwa penelitian yang berdasarkan atau bersikap deskriptif dapat

memberikan gambaran secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan, gejala

atau kelompok tertentu. Metode deskriptif ini juga merupakan suatu metode yang

menggambarkan keadaan atau objek penelitian yang dilakukan pada saat sekarang

berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya dan dipakai untuk

memecahkan masalah dengan cara mengumpulkan, menyusun, mengklasifikasikan,


(27)

sebelumnya dalam proses penelitian tersebut. Dengan menempuh metode ini maka

penulis diharapkan mampu menjelaskan masalah-masalah yang menjadi latar

belakang penelitian tersebut.

Selain metode yang sudah disebutkan diatas, penulis juga menggunakan

metode penulisan studi dokumenter atau yang lazim kita dengar sebagai studi

kepustakaan. Studi kepustakaan merupakan suatu metode penulisan penelitian yang

mengumpulkan data dengan atau melalui peninggalan tertulis, terutama berupa

arsip-arsip, termasuk juga buku-buku tentang pendapat, teori, dalil (hukum) dan lain-lain

yang berhubungan dengan masalah pencarian dan pengumpulan data yang diperlukan

dalam proses penulisan penelitian tersebut (Nawawi 1991:133).

Penulis mengharapkan melalui metode-metode ini maka proses penelitian

yang saya lakukan akan semakin mudah dan lancar sehingga tujuan akhir dari


(28)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP KESETIAAN JEPANG, DEFINISI NOVEL DAN SETTING DALAM NOVEL “ACROSS THE NIGHTINGALE FLOOR”

2.1. Sejarah Samurai di Jepang 2.1.1 Sengoku Jidai

Samurai (dikenal juga sebagai bushi) adalah golongan bangsawan militer

Jepang, dan mereka mengalami masa kejayaan pada Zaman Pertempuran, atau

Periode Perang Antarnegeri (dalam bahasa Jepang disebut Sengoku Jidai). Periode

ini, yang sering dikatakan berlangsung pada kurun waktu 1550-1600, berkisar antara

runtuhnya Keshogunan Ashikaga dan terbentuknya Keshogunan Tokugawa.

Sampai paruh kedua Zaman Pertempuran, seseorang yang tak terlahir dalam

golongan samurai masih berpeluang menjadi samurai. Itu dapat terjadi bila ia

bergabung dalam bala tentara sebagai prajurit infanteri, lalu memperoleh perhatian

kepala marga atau para pembantunya, sehingga diberi tugas tetap.

Namun seperti kebanyakan orang, golongan samurai hanya dapat dimasuki

melalui kelahiran atau pengangkatan sebagai anak berdasarkan hukum. Meskipun

samurai berstatus sosial tinggi, secara internal golongan samurai terbagi lagi dalam

berbagai jenjang. Jenjang teratas ditempati oleh para Daimyo beserta keluarga

mereka, yang menikmati semua hak istimewa yang menyertai kedudukan itu. Pijakan

yang paling bawah pada tangga yang panjang itu menjadi tempat orang-orang


(29)

Kaum ashigaru (secara harafiah berarti ‘ kaki ringan’) adalah para serdadu

pejalan kaki, laskar garda depan, barisan orang-orang tanpa nama yang menjadi

bagian terbesar suatu pasukan. Walaupun tidak terlahir sebagai samurai, mereka

berkesempatan naik tingkat dan dianggap setara oleh orang-orang yang lebih tinggi

kedudukannya. Banyak jenderal dan tokoh tersohor lain pada Zaman Pertempuran

berasal dari golongan ashigaru. Garis pembatasnya amat kabur sehingga para pakar

masih mempertanyakan apakah golongan ashigaru dapat dianggap samurai.

Ketika Shogun Ashikaga terakhir dipaksa mundur pada 1573, seluruh negeri

sudah puluhan tahun dilanda pergolakan yang ditandai oleh ambruknya persekutuan

lama, pertikaian dalam keluarga dan perebutan kekuasan antar anggota marga.

Bagi beberapa marga yang kurang menonjol, seperti marga Oda dari Owari,

perang yang berlangsung nyaris tanpa jeda membuka peluang mendapatkan tanah dan

kekuasan. Bagi marga-marga yang lebih tua dan berdarah biru, seperti marga Takeda,

perang merupakan peluang untuk memperluas pengaruh, dan juga menjadi

kesempatan menyelesaikan pertikaian lama, suatu keadaan di mana mereka harus siap

siaga terhadap keluarga-keluarga yang kuat dan sedang mengincar tanah subur yang

secara turun-menurun dikuasai oleh marga lain.

Dengan latar belakang pengkhianatan dan pembelotan (sesekali juga tindakan

kesetiakawanan yang mencegangkan) seperti itulah pertempuran demi pertempuran

berdarah berlangsung sepanjang Sengoku Jidai. Ada pertempuran yang menjadi

masyhur lebih daripada sepatutnya (misalnya saja pertempuran Uesugi lawan Takeda


(30)

pertempuran lain, yang berpengaruh besar terhadap sejarah Jepang (seperti

Okehazana atau Mikataga Hara), nyaris tidak diketahui oleh dunia barat.

Inilah masa jaya golongan samurai, sebab ketika peperangan berakhir,

ibukota kekaisaran Kyoto hanya berperan sebagai boneka Shogun Tokugawa dan

pemerintahan militernya yang bermarkas di Edo.

2.1.2 Jalan Samurai

Status samurai lebih banyak ditentukan oleh kasta daripada oleh jenis

pekerjaan. Semua bushi – baik laki-laki maupun perempuan dengan sendirinya

termasuk golongan militer, tanpa memandang apakah mereka pernah mengangkat

pedang atau tidak.

Namun peran samurai tidak terbatas pada bidang militer semata-mata.

Beberapa samurai menjadi cendikiawan termasyur. Ada yang berkiprah sebagai

administrator sipil dan militer, seniman dan pakar estetika. Ada pula yang hanya

menjadi anggota keluarga. Namun semuanya dituntut akrab dengan peran mereka

dalam keadaan perang.

Kaum perempuan dilatih menggunakan belati kecil yang diselipkan pada kain

ikat pinggang. Senjata yang biasa terbungkus sarung brokat ini menjadi suatu

penanda posisi, sama halnya dengan pedang. Bagi kaum laki-laki. kaum perempuan

kelas atas bahkan dilatih menggunakan senjata khas tertentu yaitu naginata (sejenis

tombak) menjadi senjata perempuan, dan digunakan sebagai pertahanan terakhir. Para

penguasa feodal punya pasukan perempuan bersenjatakan naginata yang berlalu


(31)

Banyak biksu Buddha – setidaknya mereka yang berkedudukan – terlahir

sebagai samurai. Walupun biksu Buddha merupakan pekerjaan yang seharusnya tidak

memandang kedudukan seseorang (bagaimanapun, segala aspek duniawi seharusnya

ditanggalkan pada waktu seseorang menjadi biksu), dalam kenyataanya jarang

demikian yang terjadi. Beberapa pembesar yang kaya-raya dan berkuasa terus

memerintah wilayah kekuasaan mereka dan memimpin pasukan yang besar,

meskipun telah mengucapkan ikrar sebagi biksu. Takeda Shingen (terlahir Harunobu)

dan Uesugi Kenshin (terlahir Terutora) merupakan dua contoh terkenal.

Bagi sebagian besar ashigaru, kenyataan hidup sebagi prajurit rendahan

memastikan bahwa impian kejayaan tetap tinggal impian. Ironisnya, justru Toyotomi

Hideyoshi – anak petani yang menanjak dari pembawa sandal sampai menjadi

penguasa Jepang – yang membuat impian itu semakin sulit terwujudkan, yaitu ketika

ia mengeluarkan titah yang membatasi status samurai kepada mereka yang telahir

sebagai samurai.

Ironi lain adalah bahwa pasukan yang terdiri dari atas anggota marga dan

pengikut yang turun – temurun mengabdi pada junjungan mereka , semuanya, lebih

menjunjung tinggi kesetiaan dibandingkan para pembesar itu sendiri. Mengkhianati

calon sekutu dan daimyo adalah hal yang lumrah bagi seorang pembesar, dan itu

membuktikan bahwa sementara kaum anak buah dituntut untuk setia, para komandan

memberlakukan aturan yang berbeda untuk diri sendiri. Contoh klasik adalah Akechi

Mitsuhide, seorang jendral dalam pasukan Oda Nobunaga, yang membunuh sang


(32)

Struktur sosial kaku sebagaimana diperkenalkan oleh ajaran Konghucu tidak

memperoleh pengakuan resmi sampai pemerintahan Tokugawa, yang berkeinginan

kuat mendapatkan kendali atas masyarakat, mendukungnya secara resmi. Meskipun

demikian, terdapat arus bawah Konghucu yang kuat, suatu sikap hidup yang ditandai

oleh kepasrahan kepada nasib. Kebetulan, sikap itu sejalan dengan cara pandang

pasrah terhadap dunia yang diusung oleh umat Buddha.

Orang-orang sangat takut kehilangan junjungan, sementara struktur

masyarakat mendukung sifat saling tergantung antara hamba dan tuan. Ketika

menjadi tak bertuan – menjadi ronin (secara harfiah ‘manusia ombak’ atau ‘manusia

kelana’) seorang petarung kehilangan dukungan atau pelindung marga. Jika seorang

pembesar meninggal tanpa ahli waris, semua pengikutnya menjadi ronin. Seorang

pengikut juga dapat dibuang dari marganya karena melakukan kejahatan, misalnya

berkelahi atau melanggar peraturan.

Para ronin adalah jago pedang bayaran yang berkelana, dan seringkali

berpaling kedunia hitam. Ada pula yang tetap menjunjung tinggi kehormatan dan

tetap menjadi biksu, atau mendapatkan pekerjaan baru pada junjungan lain dan

bersumpah setia kepada marga yang baru. Pada zaman pertempuran, para mantan

samurai tak bertuan punya peluang meraih kembali kehormatan mereka.

Semua samurai punya tugas dan menerima upah, dan dari pendapatan ini

mereka harus membiayai rumah tangga (bagi yang memilikinya) dan membeli segala

perlengkapan yang tidak disediakan. Dasar perekonomian adalah beras, dan ukuran

kekayaan yang lazim adalah koku, yaitu satuan jumlah beras yang cukup bagi


(33)

berdasarkan berapa koku beras yang dapat dihasilkan. Satu koku antara 120 liter.

Samurai paling rendah menerima sedikit kurang daripada satu koku (dengan asumsi

jatah makannya ditanggung junjungannya).

Pembesar menengah dan komandan benteng dapat menerima upah sebesar

beberapa ratus koku, yang harus cukup untuk membayar semua samurai bawahannya,

menyediakan perbekalan bagi garnisunnya, membeli pakan kuda, mengupah para

pelayan, dsb. Demi kemudahan, pembayaran dilakukan dengan uang, tapi pada

dasarnya perekonomian ketika itu berlandaskan beras. Bahkan, marga Takeda dari

Kai, yang menguasai tambang emas paling berharga diseluruh negeri, tetap

memerlukan beras untuk memberi makan tentara mereka.

Beras demikian penting sehingga banyak petani tidak dapat menikmati hasil

panen padi yang mereka tanam untuk para samurai. Mereka terpaksa beralih

kebiji-bijian lain yang lebih murah, sementara padi dikirim ke benteng tuan mereka untuk

dihitung, lalu disimpan atau dibagikan.

Urusan keuangan diserahkan kepada kaum isteri karena dipandang rendah

oleh para laki-laki samurai. Kaum laki-laki yang mengurus uang hanyalah mereka

yang memang dituntut oleh tugas (pengawas dapur benteng, misalnya). Pada masa itu

pun, cuma kertas nota saja yang berpindah tangan untuk dibayarkan kemudian.

Berbagai tugas di dalam marga ditetapkan sebagai posisi resmi. Dalam

beberapa hal, pengaturan itu menyerupai angkatan bersenjata modern; setiap orang

adalah serdadu, tapi ada yang merangkap juru masak, juru tulis, pengurus angkutan,


(34)

Para samurai dalam satu garnisun akan berpindah-pindah dari satu posisi ke

posisi lain jika pekerjaan mereka dinilai cukup baik. Promosi tidak selalu terjadi

dalan satu bidang saja. Dengan cara ini, ketika seorang petarung mencapai pangkat

yang cukup tinggi, ia pun cukup menguasai semua rincian yang diperlukan untuk

menjalankan dan memelihara suatu pasukan, garnisun atau bahkan provinsi.

2.1.3 Kehidupan Sehari-hari

Ada samurai yang tinggal di bangunan serupa barak, namun ada pula yang

memiliki rumah sendiri. Penetapan tempat tinggal mereka di tentukan oleh beragam

faktor, antar lain pangkat, tugas, dan status perkawinan. Sebagian besar samurai

muda berpangkat rendah di suatu garnisun, misalnya, tinggal bersama di bangunan

besar seperti barak di dalan pekarangan benteng. Para samurai yang sudah menikah

mungkin memiliki rumah petak sendiri di kawasan khusus pasangan suami-isteri,

sedangkan mereka yang lebih senior dapat menempati rumah yang berdiri sendiri.

Ketika bersantai di rumah, seorang samurai mungkin duduk-duduk sambil

menyalakan pipa tembakaunya. Tembakau dibawa Jepang oleh orang-orang Eropa

dan hampir seketika menjadi popular dikalangan orang berpangkat, dan tidak lama

kemudian juga sudah merambah ke barak-barak. Kiseru, pipa tembakau Jepang,

hanya dapat menampung tembakau untuk beberapa isapan saja, namun tetap menjadi

bentuk relaksasi yang popular.

Sebagaimana umumnya kaum prajurit sepanjang sejarah, para samurai pun

gemar bermain judi. Meskipun ditantang oleh para pemimpin marga, permainan


(35)

uang maupun kesenangan, permaianan kartu, go, dan shogi merupakan pengisi waktu

luang yang disukai. Bahkan ada prajurit yang membawa buah shogi ke medan perang,

lalu menggambar papan di tanah waktu hendak bermain.

2.1.4 Ninja

Kemunculan ninja pada tahun 522 berhubungan erat dengan masuknya seni

nonuse ke Jepang. Seni nunose inilah yang membuka jalan lahirnya ninja. Seni nonuse atau yang biasa disebut seni bertindak diam-diam adalah suatu praktek

keagamaan yang dilakukan oleh para pendeta yang pada saat itu bertugas

memberikan info kepada orang-orang di pemerintahan. Sekitar tahun 645,

pendeta-pendeta tersebut menyempurnakan kemampuan bela diri dan mulai, menggunakan

pengetahuan mereka tentang nonuse untuk melindungi diri dari intimidasi pemerintah

pusat.

Pada tahun 794-1192, kehidupan masyarakat Jepang mulai berkembang dan

melahirkan kelas-kelas baru berdasarkan kekayaan. Keluarga kelas ini saling

bertarung satu sama lain dalam usahanya menggulingkan kekaisaran. Kebutuhan

keluarga akan pembunuh dan mata-mata semakin meningkat untuk memperebutkan

kekuasaan. Karena itu permintaan akan para praktisi nonuse semakin meningkat.

Inilah awal kelahiran ninja. Pada abad ke-16 ninja sudah dikenal dan eksis sebagai

suatu keluarga atau klan di kota Iga atau Koga. Ninja pada saat itu merupakan profesi

yang berhubungan erat dengan intelijen tingkat tinggi dalam pemerintah feodal para

raja di Jepang. Berdasarkan hal itu, masing-masing memiliki tradisi mengajarkan


(36)

dikenal dengan nama ninjutsu. Dalam ilmu yang diwariskan dari leluhur mereka dan

atas hasil penyempurnaan seni berperang selama lebih dari 4 abad. Ilmu itu meliputi

falsafah bushido, spionase, taktik perang komando, tenaga dalam, tenaga

supranatural, dan berbagai jenis bela diri lain yang tumbuh dan berkembang menurut

jaman.

Namun ada sebuah catatan sejarah yang mengatakan bahwa sekitar adab ke-9

terjadi eksodus dari cina ke jepang. Hal ini terjadi karena runtuhnya Dinasti Tang dan

adanya pergolakan politik. Sehingga banyak pengungsi yang mencari perlindungan

ke jepang. Sebagian dari mereka adalah jenderal besar, prajurit dan biksu. Mereka

menetap di provinsi Iga, di tengah pulau honsu. Jendral tersebut antara lain Cho

Gyokko, Ikai Cho Busho membawa pengetahuan mereka dan membaur dengan

kebudayaan setempat. Strategi militer, filsafat kepercayaan, konsep kebudayaan ,

ilmu pengobatan tradisional, dan falsafah tradisional. Semuanya menyatu dengan

kebiasaan setempat yang akhirnya membentuk ilmu yang bernama ninjutsu.

2.2 Tinjauan Umum Terhadap Kesetiaan di Jepang

Perubahan zaman sangat berpengaruh pada berkembang atau tidak

kebudayaan suatu daerah. Masyarakat yang menjalankan sebuah kebudayaan

tentunya akan berusaha mempertahankan kebudayaan aslinya dari pengaruh luar yang

mampu menghilangkan unsur-unsur di dalamnya. Namun tak luput pula, masyarakat

akan berusaha mengembangkan kebudayaan dan tradisi yang ada dengan yang baru,

sehingga muncul sebuah kebudayaan yang dapat diterima sesuai dengan zamannya


(37)

Seperti halnya di Indonesia, tradisi-tradisi pada suatu daerah akan terus

dipertahankan oleh masyarakat setempat tetapi tidak menutup kemungkinan tradisi itu

akan diintegrasi dengan budaya-budaya dari negara lain. Begitu juga pada bentuk

kesetiaan pengabdian seorang samurai di Jepang. Perkembangan bentuk kesetiaan

pengabdian diri seorang samurai mulai berubah dan berkembang sesuai dengan

perkembangan zaman di Jepang pada saat itu. Dengan berkembangnya zaman,

muncul pemikiran-pemikiran baru tentang bentuk kesetiaan samurai pada tuannya.

Ini nampak jelas pada munculnya bushido baru setelah sebelumnya bushido lama

dianut oleh samurai pada zaman feodal. Sampai saat ini pun, bushido masih tetap ada

dan dilaksanakan oleh masyarakat Jepang, namun tentunya tidak dilakukan seperti

halnya seorang samurai pada zaman Heian dan Edo.

2.2.1 Kesetiaan

Kesetiaan atau disebut juga dengan pengabdian diri dalam Situmorang

(2000:1) adalah kesediaan melaksanakan perintah atau keinginan orang lain dengan

mengorbankan kepentingan sendiri.

Dalam Situmorang (2000:1), kesetiaan secara umum dibagi menjadi tiga ,

unsur yaitu, setia karena situasi yang terdesak atau terpaksa, setia karena ajaran

(moral), dan karena untuk mendapat keuntungan (ekonomi). Setia karena situasi yang

terdesak atau terpaksa dapat dilihat pada sejarah peperangan diseluruh dunia.

Penduduk setempat mau tidak mau akan berkembang menjadi tentara musuh untuk


(38)

menjadi tentara musuh untuk melindungi dan mengabdi kepada tuannya. Namun pada

saat tertentu dia dapat menyerang dan menguasai tuannya.

Kesetiaan seorang anak kepada orangtuanya yang selama ini membesarkan

dan mengajarkan hal-hal yang baik demi kehidupannya, dapat dimasukkan kepada

setia berdasarkan ajaran (moral). Sang anak akan merasa ada tanggung jawab

baginya, untuk menjaga dan membalas budi kedua orangtuanya. Sama halnya seperti

seorang samurai yang hidup di dalam ie kizoku nya, akan selalu menjaga dan

mengabdi kepada tuannya yang telah mensejahterakan kehidupannya. Kesetiaan yang

ketiga yaitu setia karena untuk mendapatkan keuntungan misalnya seorang gadis

kecil yang selalu ikut dengan kakaknya, semata-mata mengharapkan jajanan dari

kakaknya. Setelah mendapatkan apa yang dia inginkan, dia akan pergi dari kakaknya

dan pergi bermain dengan teman-teman yang sebaya dengannya.

Rand (2003:75) mengatakan, kesetiaan lahir dari manusia yang memahami

tujuan dari hakekat hidup. Kesetiaan dilakukan tidak hanya karena ada rasa percaya,

tetap juga karena kebutuhan untuk kelangsungan hidup, juga karena terpaksa

melakukannya.

Dalam Loyalty of Life

adanya rasa santun antara sesama, tetapi dapat juga terjadi akibat kebutuhan ekonomi

dan politik seseorang.

2.2.2 Kesetiaan Jepang

Kesetiaan adalah kehormatan tertinggi samurai. Kehormatan seorang samurai


(39)

kizoku- nya lalu kepada keluarganya. Seorang samurai wajib untuk mengabdi kepada

tuannya, sekalipun tuannya adalah seorang jenderal militer, tuan tanah feodal, atau

kepala keluarga. Perintah seorang atasan tidak boleh ditanyakan. Mereka harus

mengikutinya dengan kemampuan terbaik seorang samurai sekalipun jika hal ini

membuat ketidakbahagiaan atau menyebabkan kematian. Hidup seorang pelayan

bergantung pada tuannya. Mereka harus mengorbankan apa pun yang diminta

tuannya.

Keadilan dalam diri seorang samurai tentunya juga dituntut dalam

melaksanakan pengabdiannya kepada tuan. Ketidakadilan bisa menjadikan samurai

rendah dan tidak manusiawi. Samurai menanamkan etika khusus dalam

kesehariannya menjakankan kesetiaan kepada tuan. Ketulusan dan kejujuran sama

berharganya dengan nyawa mereka. “Bushi no Ichi-gon” atau “ janji samurai",

melebihi janji akan harga diri. Samurai juga membutuhkan pengendalian diri dan

kesabaran agar benar-benar dihormati. Samurai tidak menunjukkan tanda dari

penderitaan dan kesenangan. Samurai memikul segalanya tanpa merintih, tanpa

menangis. Samurai berpegang teguh pada ketenangan dalam bersikap dan juga pada

ketenangan dalam berfikir yang bisa saja terpengaruh oleh segala bentuk keinginan.

Sehingga dapat dikatakan bahwa samurai merupakan ksatria sejati.

Dalam cerita Akouroshi dalam Situmorang (1996:3), dikatakan bahwa

kesetiaan mengorbankan jiwa raga terhadap tuannya tentunya didasarkan pada

cita-cita bushi tersebut. Watsuji dalam Situmorang (1996:3) mengatakan, bahwa cita-cita-cita-cita

bushi pada masa feodal Jepang adalah menjadi abdi tuan selama tujuh kali dalam


(40)

dianut para Bushi pada waktu itu. Karena itu dikatakan, bushi yang baik adalah bushi

yang setiap saat siap melakukan adauchi (mewujudkan balas dendam tuan) dan

melakukan junshi (bunuh diri mengikuti kematian tuan).

2.2.3 Samurai, Bushi dan Bushido

Di Jepang kelas ksatria dikenal dengan Samurai. Samurai merupakan, kaum

petarung yang mempunyai kemampuan dalam seni bela diri. Selain pedang, samurai

juga memiliki banyak kemampuan dan keahlian dalam menggunakan busur dan

panah. Mereka mampu menunggang kuda dengan handal dan membunuh lawan

dengan tangan kosong.

Nurhayati (1987:10) mengatakan, samurai adalah pasukan pengikut tuan

tanah/penguasa setempat yang disebut dengan Daimyo. Sedangkan samurai dalam

Benedict (1982:335) adalah prajurit yang berpedang dua. Seorang samurai

diharapkan menjalani pelatihan spiritual guna menaklukkan orang lain. Kekuatan

timbul dari kemenangan dalam disiplin diri. Justru kekuatan yang diperoleh dengan

cara inilah yang dapat menaklukkan sekaligus mengundang rasa hormat pihak-pihak

lain, sebagai kemantapan spiritual. Perilaku yang halus dianggap merupakan aspek

penting dalam mengungkapkan kekuatan spiritual.

Kumpulan samurai disebut juga dengan bushi. Situmorang (1995:11)

menjelaskan bahwa pada awalnya bushi adalah kelompok bersenjata yang mengabdi

pada tuannya kizoku, tetapi kemudian setelah mereka berhasil menjalankan perannya

yang besar dalam menjaga eksistensi dozoku tersebut, lama kelamaan mereka tidak


(41)

bushi sehingga kelompok bushi tersebut menjadi kelompok yang disegani, sama

dengan kizoku. Situmorang(1996: 7) juga mengatakan bahwa bushi lahir dari

fungsinya sebagai pengawas daerah pertanian. Pada mulanya mereka adalah petani

tetapi mereka dipersenjatai untuk menangkal kekuatan para perampok atau para

penyerang dari wilayah lain. Tetapi pada awalnya, mereka belum dinamai sakimori

kemudian Tsuwamono dan kemudian samurai. Pada zaman Edo (1600-1867) mereka

dinamai bushi adalah dalam pengertian kelas masyarakat. Untuk membedakannya

dari golongan petani dan golongan pedagang dan golongan tukang.

Pengertian lain tentang bushi, dalam Nio Joe Lan (1961:52) mengatakan

bahwa bushi adalah golongan orang peperangan yang sudah biasa dengan

kesukaran-kesukaran kehidupan sehinga mereka setia kepada pemimpinya.

Kelahiran bushi sangat berkaitan erat dengan lahirnya feodalisme di jepang.

Hal ini dikarenakan, dengan lahirnya feodalisme tersebut, kekuatan kekuasaan bushi

semakin meningkat.

Sebelum zaman foedal, system pemerintahan dikenal dengan system ritsuryo

yang berlangsung sampai zaman Heian (abad 7 sampai abad 12). Dalam system

ritsuryo, Tenno (kaisar) adalah penguasa administrasi pemerintahan tertinggi, dan

para kizoku (bangsawan), yang merupakan kerabat Tenno bertugas sebagi pelaksana

administrasi pemerintahan di pusat dan dan daerah.

Sistem pemilikan pada waktu itu dikenal dengan system kochi komin, yaitu

pemilikan tanah bersifat umum yang keseluruhannya dikuasai oleh pemerintah pusat.

Pada masa itu belum dikenal pemilikan tanah secara pribadi dan penguasaan atas


(42)

Kyodo Tai (kelompok kerja sama di daerah), yaitu kelompok-kelompok petani di

bawah pimpinan kizoku (keluarga bangsawan) yang bertugas di daerah. Pada waktu

itu kaum kizoku selain bertugas sebagai pekerja administrasi ritsuryo, juga ada yang

bertugas sebagai pemimpin kuil.

Administrasi kelompok sonraku kyodo tai tersebut terpisah dari pemerintahan

ritsuryo. Para petani kemudian banyak yang meninggalkan kewajiban kochi komin

dan masuk ke dalam kelompok pertanian kizoku karena di dalam pertanian kizoku

mereka mendapat keamanan dan perlindungan kizoku.

Selain itu mereka diberi kebebasan menguasai sendiri bagian lahan pertanian

yang disebut dengan kubunden sei (system pembagian lahan pertanian). Dan yang

paling menguntungkan lagi, para petani tersebut diakui sebagai anggota ie (keluarga)

kizoku tersebut.

Dalam hal ini ada juga petani yang melarikan diri dari system kochi komin dan

petani tak bertuan yang dengan ronin. Petani tersebut menjadikan dirinya sebagai

samurai tak bertuan yang mengembara ke seluruh Jepang tanpa tujuan. Seorang ronin

dapat melakukan apapun yang diinginkannya tanpa ada batas. Namun, menjadi ronin

tidaklah enak seperti apa yang dibayangkan. Ronin harus menemukan seorang tuan

dan masuk ke dalam ie. Kemampuan berperang mereka membuat setiap orang

berpikir dua kali untuk melawannya, terutama karena merekan tidak memiliki tuan.

Tetapi bagaimanapun, mereka kemudian dikumpulkan juga oleh kizoku, yang

tentunya dapat menambah kekuatan kizoku untuk memenuhi kebutuhan tenaga


(43)

Keluarga kizoku tersebut muncul sebagai jaringan kebersamaan antara

kewajiban dan materi. Setiap petani yang bergabung dalam suatu ie diharapkan dapat

saling membantu satu sama lainnya. Pertunangan, pernikahan, adopsi, kepemilikan

tanah, dan pertukaran anggota keluarga termuda untuk saling belajar, membuat ikatan

keluarga bertambah erat. Hubungan ini diharapkan terus semakin kuat, agar setiap

keluarga yang bergabung dalam kizoku memiliki kekuasaan yang semakin besar.

Anggota ie dapat mempergunakan hubungan ini untuk keuntungan sendiri. Sekalipun

demikian selalu ada timbal balik dari segala pelayanan dan kewajiban yang

dilakukan.

Keanggotaan ie bukan terbatas pada hubungan darah saja, tetapi mencakup

kepada seluruh petani yang mau ikut bergabung dan mengabdi kepada kizoku.

Mereka diberi hak yang sama, kewajiban dan tanggung jawab yang sama sesuai

dengan urutan jenjang kedudukan antara tuan dengan pengikut. Nakamura dalam

Situmorang (1995 : 11) mengatakan, kelompok ini diikat dengan pemujaan satu dewa

yang sama, memakan makana yang sama, minum sake yang sama. Kelompok ini

disebut dengan dozoku.

Dalam mempertahankan shoen (wilayah pertanian kizoku), akhirnya muncul

persaingan antara kelompok-kelompok dozoku yang mengakibatkan mereka saling

perang. Untuk itulah mereka membentuk serdadu militer, dan disinilah kemudian

bushi muncul. Bushi ditugaskan untuk menjaga eksistensi shoen tuannya dari

kelompok dozoku lain. Maka terbentuklah dimana-mana system pertahanan dengan


(44)

kekuasaan sendiri-sendiri yang berusaha memisahkan diri dari pemerintahan pusat.

Satu kizoku ingin memperluas shoennya dengan cara merebut shoen kizoku lainnya.

Begitulah sedikit seput ar sejarah lahirnya bushi yang pada awalnya hanyalah

seorang petani biasa, namun dengan mulai terbentuknya system feodal di Jepang,

nama bushi mulai menjadi sorotan masyarakat banyak. Menjadi seorang samurai

merupakan suatu kebanggaan yang tidak hanya dapat mengharumkan dirinya sendiri

tetapi juga keluarga dan kerabatnya.

Untuk seorang samurai, penghormatan adalah segalannya. Kehormatan yang

terbesar adalah kemampuannya melakukan bushido, yang apabila dilihat dari kanji

nya bermakna, “jalan hidup kesatria”. Ini merupakan kode etik dan jalan hidup bagi

seorang samurai di Jepang, yang sama halnya dengan kesatria Eropa pada abad yang

sarat dengan kode etik tersendiri dan penuh dengan kesopanan layaknya seorang

bangsawan. Bushido lebih ditekankan pada pelayanan diri sendiri, keadilan, rasa

malu, adab sopan santun, kemurnian, rendah hati, kesederhanaan, semangat

bertarung, kehormatan, kasih sayang, dan yang paling penting kesetiaan.

Benedict (1982 : 333) mengatakan bushido adalah tata cara samurai. Tata cara samurai merupakan sebuah istilah yang dimasyarakatkan selama abad feodalisme

untuk menunjukkan prilaku tradisional Jepang yang ideal. Nitobe dalam Benedict

(1982 : 333), memperinci bushido sebagai perpaduan antara konfusianisme dengan

etika feodal Jepang, dan dapat diartikan pula sebagai perpaduan antara keadilan,

keberanian, kebaikan hati, kesopanan, kesungguhan hati, kehormatan, kesetian, dan


(45)

Kesetian yang mereka tunjukkan kepada kaisar, daimyo, atau tuannya, sangat

luar biasa. Mereka orang yang dapat dipercaya dan jujur. Mereka hidup dalam

kesederhanaan tanpa tertarik pada kekayaan dan benda-benda berharga. Mereka

adalah orang-orang dengan keberanian sejati. Seorang samurai tidak mempunyai rasa

takut terhadap kematian. Mereka akan turut serta dalam peperangan tanpa

menghiraukan akibatnya. Bagi mereka, gugur dalam peperangan membawa

kehormatan hanya terhadap keluarga dan tuannya.

Hal ini juga diperjelas dalam Nie Joe Lan (1962 : 102 ), dalam bushido, sifat

utama dari seorang samurai adalah kesetiaan. Seorang samurai harus mengorbankan

jiwa, kebenaran dan juga keluarganya, apabila tuannya menginginkanya. Seorang

samurai juga harus memiliki sifat hemat, sederhana dan tidak menghiraukan harta

dunia. Seorang samurai harus dapat menahan rasa sakit tanpa merubah wajahnya.

Bushido menurut Tsunetomo dalan Situmorang (1995 : 24-25) adalah janji

untuk mengabdikan diri bagi tuannya. Menurutnya, para anak buah mempunyai satu

tujuan hidup yaitu mengabdi kepada tuan.

Hal ini mempunyai pengertian yaitu :

1. Secara absolut mengutamakan tuan, yaitu kesetiaan mengabdi satu

arah dengan mengabdikan jiwa raga terhadap tuan.

2. Menjadi anak buah yang betul dapat diandalkan, yaitu

betul-betul melaksanakan sumpah setia kepada tuan.

Menurut Tsunetomo, selain janji dengan tuan, anak buah tidak memperdulikan

apapun. Janji mengabdikan diri bagi tuan tidak ada duannya, tidak memperdulikan


(46)

Walaupun dapat hukuman dari dewa, tidak ada pilihan lain kecuali mengabdikan diri

pada tuan. Menurut Watsuji dalam Situmorang (1995 : 25), pikiran seperti ini tidak

memperdulikan benar atau salah, untung atau rugi, rasional atau tidak rasional. Inilah

inti dari pemikiran pengabdian diri dalam bushido.

Sagara dalam Situmorang (1995: 27) mengatakan bahwa bushido merupakan

jalan menuju kematian. Hal ini menandakan bahwa untuk mewujudkan bushido harus

dibayar dengan pengorbanan diri baik dalan pertempuran atau pun dalam ritual-ritual

khusus seperti seppuku. Prilaku seppuku yang dilakukan oleh bushi atau anak buah

merupakan salah satu perwujudan karakter atau watak bushido yang bermakna

sebagai penghormatan, tetapi dapat juga sebagai keharusan suatu hukuman

(Seward,1995 : 1).

Sayidiman (1982 : 49) juga mengatakan, dalam alam pikiran yang

berhubungan dengan bushido bagi seorang samurai, hidup dan mati bukanlah dua

keadaan yang berbeda secara fundamental. Hal ini diperkuat lagi oleh

keharusan-keharusan yang tercantum dalam bushido. Karena itu,kalau ia merasa tidak dapat

mencapai tujuannya dalam keadaan hidup, maka lebih baik ia memilih keadaan mati.

Apabila kehormatan seorang samurai merasa terpukul atau terganggu, ia tidak

ragu-ragu untuk bunuh diri atau melakukan seppuku. Bagi samurai. Seppuku bukanlah

peristiwa bunuh diri yang kosong, tetapi merupakan satu kelembagaan yang legal dan

seremonial.

Seppuku atau pengeluaran perut, dilakukan seorang samurai dengan cara


(47)

melakukan itu, samurai yang lain atau pun juga kerabatnya, akan memengal

kepalanya.

Seward (1995 : 5) mengatakan, seppuku merupakan kunci displin dalam kode

kesatriaan bangsa Jepang (bushido). Seppuku dapat dianggap sebagai puncak dari

perwujudan sikap bushido yang siap sedia untuk mati demi tuannya yang tubuh sejak

masa masyarakat feodal. Dalam Seward (1995 : 59 ) dikatakan bahwa kaum militer

atau bushi, kesetiaan tanpa kematian tidak ada artinya. Oleh karena itu didalamnya

terdapat seni walaupun seni dalam bentuk kesetiaan. “mati demi keberadaan kuda

sang tuan” adalah suatu kalimat yang paling dapat mengerakkan ambisi seorang

samurai sampai pada keturunannya. yang terus dihargai oleh tuanya dan merupakan

warisan dari tunannya, seandainya ia mati dalam peperangan.

Seppuku dapat terjadi karena perintah tuanya atau dipilih oleh individu karena

alasan tertentu. Samurai yang melakukan pelanggaran atau kriminalitas yang berat

wajib melakukan seppuku, demi menjaga nama baik tuannya. Ini merupakan hak

khusus tuannya untuk mengijinkan mereka melakukan seppuku daripada menghadapi

keadaan yang memalukan. Seppuku merupakan jalan keluar yang tepat untuk semua

masalah jika ada yang belum sempat dibalaskan dendamnya atau diberikan tugas

yang tidak mengenakkan. Seppuku diterima sebagai solusi untuk masalah

kehormatan, yaitu menghindari peneangkapan atau kematian yang memalukan

ditangan musuh di medan perang dan juga sabagai penebus dosa dan

kesalahana-kesalahan. Seorang samurai akan lebih memilih untuk melakukan seppuku daripada

membawa rasa malu dan mempermalukan nama keluarganya dan tuannya. Ini


(48)

Tsunetomo dalam Seward (1995:67) mengatakan, bahwa para anak buah harus

dapat memusatkan diri serta bermeditasi ke arah kematian. Sikap bushido akan

terpenuhi apabila seseorang telah berhasil membayangkan dirinya untuk mati, hal ini

dapat dilakukan dalam setiap pagi dan setiap malam. Maka dari itu, jika saatnya tiba,

ia akan mati dengan penuh kedamaian dan dapat melakukan pekerjaan tanpa

kesalahan seumur hidup.

Buku Hagakure dalam Bellah (11992:123) dijelaskan bahwa bushido berarti

keinginan kuat untuk mati. Di sana dikatakan,

” Setiap pagi bulatkanlah pikiranmu tentang bagaimana cara kamu mati. Setiap sore segarkanlah pikiranmu mengenai kematian. Dan biarkan itu terjadi tanpa akhir. Dengan demikian pikiranmu akan siap. Jika pikiranmu selalu terpaku pada kematian, jalanmu sepanjang kehidupan akan selalu lurus dan bersahaja. Kamu akan melaksanakan kewajibanmu; dan perisaimu akan tidak berkarat. Jika kamu bias melihat jalanmu dengan lurus, dengan mata terbuka dan terbebas dari pikiran-pikira yang menganggu, tidak akan ada kemungkinan kamu terpeleset membuat kesalahan. Keberhasilanmu melaksanakan kewajiban akan tanpa cela dan namamu akan tanpa noda. Saya telah sepenuhnya mantap: bushido, jalan para prajurit, berarti kematian.”

Berdasarkan pada konsep-konsep bushido tersebut maka Watsuji dalam

Situmorang (1995:21) mengatakan bahwa ada perbedan etos pengabdian diri bushi

sebelum zaman Edo adalah kesetiaan diri kepada tuan yang didasarkan pada ajaran

Budha Zen. Sedangkan pemerintahan Tokugawa pada zaman Edo berusaha

megubahnya dengan dasar tujuan Konfusinis.

Sayidiman (1982:48) menyebutkan, bushido adalah suatu kode etik kaum samurai yang tumbuh sejak terbentuknya samurai. Sumbernya adalah pelajaran

agama Budha, khususnya ajaran Zen dan Shinto, karena ajaran ini menimbulkan

harmoni dengan apa yang dikatakan orang Jepang “ kekuasaan yang absolute”.

Melalui meditasi kaum samurai berusaha mencapai tingkat berfikir yang lebih tinggi


(49)

Ajaran Buddha Zen pada dasarnya berasal dari cina. Ajaran tersebut dibawa

oleh pendeta Esai ( 1141-1251) dan pendeta Dogen (1200-1253) pada abad ke 13.

Dalam ajaran tersebut ada 4 aliran yang sampai sekarang masih mempunyai

pendukung yang kuat, yaitu aliran Zen, Jodo, Shincu, dan Nichiren (Hokke). Dalam

ajaran Buddha, bushido bisa dikatakan berkaitan erat dengan bahaya dan kematian.

Namun para samurai tidak takut terhadap kematian karena mereka percaya dengan

semua yang telah diajarkan oleh Buddha, yaitu apabila seseirang mati maka setelah

kematiannya itu ia akan bereinkarnasi dan bisa hidup kembali di kehidupan yang lain.

Para samurai akan menjadi ksatria semenjak ia menjadikan dirinya seorang samurai

sampai ia mati. Mereka tidak mempunyai rasa takut terhadap bahaya. Cleary (1994 :

13 ) mengatakan pada dasarnya Zen mengajarkan untuk memperoleh keselamatan

melalui meditasi dan penghayatan kekosongan. Dalam meditasinya, seorang samurai

diharapkan berkonsentrasi dalam mengenali dirinya dan tidak membatasi diri sendiri.

Meditasi ini sangat berguna untuk para samurai dalam mengendalikan rasa takut, rasa

tidak tenang, dan kesalahan-kesalahan yang dapat mengakibatkan mereka terbunuh.

Aliran ini memiliki banyak pengikut dan mendapat dukungan samurai dalam

pemerintahan shogun di zaman kamakura, bahkan aliran ini disebut sebagai agama

para samurai atau bushi. Menurut aliran ini setiap orang harus mempunyai disiplin

pribadi yang tinggi, baik rohani maupun jasmani. Prinsip inilah yang kemudian yang

berkembang dan bersatu dengan prinsip bushido.

Dalam ajaran Shinto, bushido dibekali dengan ajaran kesetian dan patriotisme.

Dalam sayidiman (1982 : 49) dikatakan, bahwa kepercayaan Shinto mengajarkan


(50)

seorang pejuang militer. Kepercayaan Shinto menekankan kesetiaan dan kecintaan

kepada Negara dan Tenno (kaisar). Ajaran Shinto menghargai seorang kaisar sebagai

orang yang mempunyai status agung yang setara dengan dewa. Sang kaisar

diibaratkan dengan penjelmaan surga dunia. Para samurai mengabdikan dirinya pada

Kaisar dan Daimyo (tuan tanah) sebagai samurai yang berkualitas. Ajaran shinto juga

rasa patriotisme terhadap Negara mereka yaitu Jepang. Para samurai percaya bahwa

Negara diciptakan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan mereka saja, tapi

merupakan kediaman suci milik para dewa, dan roh para nenek moyang. Negara

merupakan sesuatu yang harus dijaga, dilindungi, dan dipelihara melalui rasa

patriotisme yang luar bias, ( Inazo Nitobe, samurai ,www.mythus samurai.html.).

Ciri khas pengabdian dalam bushido lama adalah pengabdian yang mutlak

terhadap tuan,sehingga anak buah rela melakukan junshi ataupun adauchi. Berikut ini

akan dijelaskan tentang junshi dan adauchi bagi tuan.

a. Junshi (bunuh diri mengikuti kematian tuan)

Penyebab yang mendorong seorang samurai melakukan junshi adalah di

dalam ie telah terjalin hubungan yang sangat erat antara tuan dengan pengikut. Dilihat

dari kepentingan ie, kebiasaaan junshi sering menimbulkan kesulitan-kesulitan bagi

generasi penerus yang akan menjadi ahli waris kekuasaan. Biasanya usaha untuk

menghalang-halangi pengikut untuk melakukan junshi adalah suatu hal yang sia-sia,

karena anak buah yang dekat dengan tuan apabila tidak melakukan junshi akan

mendapat malu berupa ejekan dari masyarakat sekitar. Daripada menanggung malu,


(51)

Dalam pemerintahan Tokugawa, apabila seorang samurai melakukan junshi

akan mengakibatkan ie dihukum oleh bakufu. Maknanya bukan lagi sebagai

pengabdian tetapi sebaliknya ie mendapat hukuman. Dan apabila untuk menemani

tuan di dunia kematian, mungkin disana juga sudah banyak anak buah yang

melakukan junshi semenjak adanya ie kedaimyoan tersebut (Situmorang, 1995 : 57).

b. Adauchi (mewujudkan balas dendam tuan).

Dalam bushido lama, seorang samurai harus dapat segera melakukan balas

dendam. Tanpa menunggu waktu, memikirkan benar atau salah, seorang samurai

wajib membalaskan dendam tuan. Hal ini, selain untuk menjaga nama ie juga untuk

menjaga harga diri samurai tersebut. Cara berfikir seperti ini menurut watsuji dalam

Situmorang (1995 : 24) adalah suatu cara berfikir seperti ini samurai yang telah hidup

di masyarakat semenjak zaman Kamakura.

Kedua sikap inilah yang kemudian pada pemerintahan Tokugawa bakufu

dilarang dilaksanakan degan alasan dapat membahayakan pemerintahan Tokugawa.

Karena apabila samurai bersedia melakukan junshi atau adauchi demi tuanya dan

tidak mempunyai kesetiaan terhadap keshogunan, maka dapat saja para bushi tersebut

menyerang keshoguman. Sebagai pengganti dari prilaku junshi atau adauchi,

pemerintahan bakufu Tokugawa memperbolehkan tindakan seppuku sebagai

pengganti dari kedua prilaku tersebut.

Untuk mengantipasi hal-hal yang tidak diinginkan oleh Tokugawa,


(52)

pemerintahan Tokugawa mengadopsi pemikiran baru yang didasarkan pada ajaran

Konfusianisme.

Konfusianisme membekali bushido dengan rasa percaya pada menjalin

hubungan orang lain, lingkungan, keluarganya. Konfusianisme menuru Beasly ( 2003

: 217-218) adalah sebuah filsafat yang lebih condong pada dunia fana dan juga

berbicara tentang dimensi soal kehidupan manusia. Filsafat ini dikembangkan oleh

seorang cendikiawan dibawah dinasti Sung, yang bernama chu shi (11300-1200). Chi

Shi dalam Beasly (2003:218) mengatakan konfusianisme itu lebih menekankan pada

peran mengatur negara, artinya menciptakan dan memelihara sebuah masyarakat

yang tertib dalam sebuah struktur masyarakat.

Karena ajaran ini bersasal dari Cina, maka dalam de Bary (1958 ; 333)

dikatakan bahwa pemerintah Tokugawa menugaskan kangakusha ( para pemikir) di

pemerintahan untuk merumuskan dan mengajarkannya dikalangan samurai atau bushi

dan para daimyo. Pada tahun 1605 Tokugawa menunjuk Hayashi Razan sebagai

seorang pemikir pemerintahan untuk mengajarkan konfusianisme pada kalangan

samurai dan daimyo. Razan yang beraliran shushigaku yaitu aliran Konfusinisme

yang diajarkan sushi pada zaman dinasti Sung di Cina. De Bary ( 1958 : 358-387)

mengatakanpelajaran konfusianis pada zaman Edo berpusat pada pelajaran akan

kesadaran perbedaan status tuan dengan pengikut, ayah dengan anak, suami dengan

istri, dan hubungan atas bawah lainnya, sehingga tuan menjadi benar-benar tuan dan

pengikut benar-benar menjadi pengikut yang baik.

Watsuji dalam Situmorang (1995 : 45 ) mengatakan, pemikiran seperti di atas


(53)

pengabdian pengikut terhadap tuan,pengabdian anak terhadap ayah, pengabdian adik

laki-laki terhadap kakak laki-laki, pengabdian istri terhadap suami, dan hubungan

yang sederajat. Pada awalnya para, samurai tidak setuju dengan hal itu. Mereka

menyakini bahwa seorang pria tidak akan menjadi samurai apabila duduk dan

membaca buku seharian, atau menulis puisi. Tetapi sebaliknya, bushido menyakini

bahwa manusia dan alam semesta diciptakan untuk saling mengisi, sama halnya

dengan semangat dan etika. Untuk kepentingan penerapan pemikiran ini pula, maka

agama kristen dilarang, karena agama tersebut mengajarkan kesamaan kedudukan

manusia di hadapan Tuhan. Itu pulalah salah satu alasan diadakannya seklusi

(penutupan negeri bagi dunia luar) pada zaman Edo di Jepang. Pemikiran kesadaran

terhadap Gorin ini di rumuskan dalam shido (Situmorang, 1995 : 45).

Shido menurut Situmorang (1995 : 45) adalah jalan hidup bushi dalan struktur

masyarakat shi, ko, sho, yaitu, bushi ( militer), noumin ( petani), kou

(shoukuin/tukang), dan shounin ( pedagang). Bushi (shi) adalah golongan tertinggi

dalam masyarakat dan disebut juga sebagai guru masyarakat karena golongan ini

adalah golongan yang mejadi teladan di masyarakat. Oleh karena itu, para

kangakusha harus memikirkan mana shido ( jalan hidup bushi) yang cocok dengan

system Edo. Untuk keperluan tercapainya keamanan pada pemerintahan Tokugawa.

Karena prinsip gorin adalah ajaran konfusinis yang beraliran shushingku

menunjukkan perbedaan status berbagai kedudukan masyarakat, sehingga cocok

untuk memantapkan stratifikasi sosial shi, no, ko, sho. Maka menurut de Bary ( 1958


(54)

masyarakat sehingga pada gilirannya memantapkan sistem penghambatan mobilitas

golongan di dalam masyarakat, dan dirasa cocok sebagai landasan moral.

Namun walupun demikian, para kangakusha tidak berhasil menyusun suatu

konsep bushido baru (shido) yang didasarkan pada prinsip gorin tersebut. Karena itu

diatas desakan kebutuhan tersebut tampil seorang pemikir yang berasal dari kalangan

swasta yang bernama Yamaga Soko (Situmorang, 1995:45).

Yamaga Soko mengatakan, ketidakberhasilan para kangakusha adalah karena

mereka tidak memisahkan ajaran Buddha Zen dan konfusionisme, padahal kedua

ajaran tersebut menurutnya sangat kontradiktif. Pada akhirnya Yamaga Soko berhasil

menulis Shido (jalan hidup bushi) yang ditulis dalam sebagian bukunya yang berjudul

“Yamaga Gorui”, sehingga bukunya ini dijadikan sebagai sebuah buku pelajaran bagi

kaum bushi dan daimyo. Konsep shido yang ditulisnya sangat fungsional dalam

system Edo, maka namanya terangkat sebagai pemikir shido pada zaman Edo.

Di dalam konsep shido yang diajarkan leh Soko, titik beratnya adalah

penjelasan akan gorin dengan perhatian utama adalah penjelasan jalan hidup tuan dan

jalan hidup anak buah secara mendetail.

Konsep-konsep yang dikemukakan Yamaga Soko ini merupakan usaha

pemantapan feodalisme zaman Edo. Menurut Watsuji dalam Situmorang (1995:46)

konsep Yamaga Soko sesuai dengan pemikiran yang berhubungan dengan pandangan

negara dalam konsep Plato, rakyat akan hidup semangat di antara langit dan bumi

apabila rakyat menghormati pemerintahnya. Hubungan pemerintah dengan rakyat

adalah seperti hubungan jiwa dengan raga. Raga seperti kaki dan tangan disatukan


(55)

benda-benda ini adalah karena didasarkan pada fungsinya. Pemerintah menangung fungsi

hati dan fungsi raga ditanggung oleh rakyat.

Dalam pengoperasian sistem tersebut, untuk memenuhi pangan melahirkan

kewajiban pertanian, dan untuk keperluan peralatan pertanian, pakaian, dan rumah

melahirkan fungsi tukang, dan untuk melakukan pertukaran barang-barang khususnya

dari tempat yang jauh melahirkan fungsi pedang. Menurut Yamaga Soko, inilah

penyebab lainnya no, ko sho (ketiga golongan diluar bushi). Oleh karena itu supaya

golongan ini bekerja dengan baik, maka inilah yang merupakan tugas pemerinah yang

diemban oleh golongan bushi pada zaman Edo (Situmorang, 1995:46-47).

Pembagian golongan no, ko, sho menurut Soko bukanlah ranking, tetapi hanya

sebagai pembagian pekerjaan. Rakyat adalah sebagi dasar negara, oleh karena itu baik

buruknya ketiga golongan ini harus menjadi perhatian utama pemerintah. Pekerjaan

bushi menurut Soko, bukanlah pekerjaan mengolah, bukan bertukang, dan juga bukan

untuk berdagang, oleh karena itu pekerjaan bushi dalam sistem Edo yang tidak ada

lagi perang adalah sebagai “hati di dalam tubuh”. Menurut pemikiran ini, jikalau

bushi bekerja seperti yang dicita-citakan tersebut, maka no, ko, sho akan mengerjakan

pekerjaan masing-masing, dengan demikian negara akan aman. Inilah inti dari konsep

shido pada zaman Edo.

Watsuji dalam Situmorang (1995:57) mengatakan Soko juga mengajarkan,

seorang anak buah harus melewatkan seumur hidup mengabdi di atas tatami, sebagai

pengganti prilaku junshi. Maksudnya jika tuannya meninggalkan ie maka anak buah


(56)

unsur ideal bushi, yaitu adanya Chu (pengabdian kepada tuan), Gi (balas budi) dan Yu

(kepahlawanan/heroik).

Dalam ajaran shido yang diajarkan oleh Yamaga Soko, konsep giri yang

berarti pegabdian tanpa memikirkan benar atau salah, untung atau rugi, raisional atau

tdak rasional, yang tercakup dalam konsep bushido lama berubah menjadi giri, yang

berarti pengabdian yang memikirkan untung atau rugi, dan juga memikirkan

kerasionalan pengabdian diri anak buah dalam bertindak. Benedict (1982 : 70)

mengatakan bahwa ikatan-ikatan hubungan tuan dengan pengikut pada masa

Tokugawa menjadi bersifat ekonomis. Pengabdian seperti inilah yang cocok pada

zaman Edo yang damai.

2.2.4 Kesetian Pengabdian Bushi Periode Awal

Pada zaman Heian (793-1185) muncul kekuasaan yang disebut dengan Bushi.

Pada awalnya mereka hidup di daerah pertanian kemudian berubah menjadi

masyarakat kota. Berbeda dengan masyarakat Kizoku (bangsawan), pekerjaan

sehari-hari bushi adalah di bidang seni. Bushi bekerja sebagai ahli perang, dan berstatus

sebagai pengawas wilayah shoen kizoku (wilayah bangsawan). Dalam shoen, sering

terjadi masalah batas wilayah antara satu kizoku dengan kizoku lainnya. Selain itu,

juga sering terjadi perebutan air di daerah pertanian. Oleh karena itu, kizoku-kizoku

tersebut harus membuat system pertahanan sendiri, dengan mempersenjatai sebagian


(57)

Tetapi dalam perkembangan berikutnya, karena semakin dibutuhkan peranan

samurai tersebut, maka para samurai menjadi semakin kuat. Pada taraf berikutnya

para kizoku sendiri menjadi bergantung pada samurai.

Ada dua hal yang mempengaruhi kesetian pengabdian bushi periode awal ini,

yaitu :

1. Ikatan yang didasarkan pada perjanjian tuan dan pengikut

Ikatan ini berisikan pertukaran antara onko (pemberian) dan hoko (pelayanan).

Walaupun disebut pertukaran, derajat kedudukan antara tuan dan pengikut tetap tidak

sama, namun dengan adanya pertukaran ini tercipta kekuatan dalam kelompok

tersebut. Pemberi onko adalah tuan, dan pemberi hoko adalah pengikut. Onko

bermakna berkah, dan hoko adalah pengabdianyang bersifat tidak abadi. Pada masa

ini, di dalam pengabdian bushi, pelayanan terhadap tuan ditunjukkan sebagai

hubungan antara onko dan hoko.

a. Bentuk dan batas onko dan hoko

Ienaga dalam situmorang (2000 : 4) mengatakan tidak ada batas untuk

membalas onko. Untuk membalas onko harus mengorbankan diri melewati batas

hidup dan mati. Pengabdian bushi dalam berjuang hidup atau mati tersebut,

dilaksanakan dalam bentuk pengabdian kesatriaan, dan berusaha memberikan

kemenangan di medan perang kepada tuannya.

Ikatan antara tuan dan pengikut ini diawali dengan pemberian onko oleh tuan.

Tuan dengan sengaja menyediakan hadiah kepada pengikutnya dengan syarat


(1)

Keluarga Kikuta Kikuta Isamu : ayah kandung Takeo

Kikuta Kotaro : sepupu Isamu, Ketua Kikuta Gosaboru : adik Kotaro Kikuta Akio : keponakan Kikuta Hajime : pegulat Sadako : pelayan

Keluarga Kuroda Kuroda Shintaro : pembunuh bayaran terkenal Kondo Kiichi

Imai Kazuo Kudo Keiko

Tokoh-tokoh Lain Lord Fujiwara : bangsawan, diasingkan dari ibukota Mamoru : pelindung dan teman Fujiwara

Ono Rieko : sepupu Fujiwara Murita : pengawal

Dr. Ishida : tabib pribadi Fujiwara

Matsuda Shingen : Kepala Biara di Terayama Kubo Makoto : biksu, teman dekat Takeo Jin-emon : bandit


(2)

Jo-An : gelandangan

KUDA

Raku : abu-abu bersurai dan berekor hitam. Kuda pertama Takeo, diberikan kepada

Kaede.

Kyu : kuda hitam Shigeru, hilang di Inuyama Aoi : hitam, (saudara tiri Kyu)

Ki : coklat kemerah-merahan, milik Amano Shun : Kuda yang sangat pintar milik Takeo


(3)

Gambar 1

LIAN HEARN

Pengarang Novel Klan Otori

Gambar 2.


(4)

Gambar 3.

Lambang Klan Otori

Gambar 4.


(5)

Gambar 5.

Across the Nightingale Floor calligraphy

Gambar 6.


(6)

Dokumen yang terkait

Analisis Psikologi Tokoh Utama Dalam Novel Klan Otori: Across The Nightingale Floor Karya Lian Hearn

1 64 77

Shakaigakuteki Ni Yoru Inggrid J. Parker No Sakuhin No Rashomon Gate No Shousetsu Ni Okeru Shujinkou No Seikatsu No Bunseki

1 47 65

Analisis Ijime Dalam Komik Life Karya Keiko Suenobu.Keiko Suenobu No Sakuhin No “Life” Manga No Ijime No Bunseki Ni Tsuite

4 75 76

Analisis Konsep Zen dalam Novel “The Harsh Cry of The Heron” Karya Lian Hearn ( Lian Hearn no sakuhin no “The Harsh Cry of The Heron” No Shosetsu Ni Okeru Zen No Gainen No Bunseki).

0 50 73

Analisis Konsep Kazoku Dalam Novel “Kitchen” Karya Banana Yoshimoto (Banana Yoshimoto No Sakuhin Daidokoro No To Iu Shosetsu Ni Okeru Kazoku Ni Gainen No Bunseki)

7 71 54

5 CM No Shousetsu Ni Tsuite No Bunseki

0 18 24

Analisis Sosiologis Terhadap Novel Musashi Karya Eiji Yoshikawa = Eiji Yoshikawa No Sakuhin No “Musashi No Shousetsu” Ni Taishite No Shakai Gaku Teki No Bunseki Ni Tsuite

2 75 101

Analisis Aspek Sosiologis Tokoh Gals Dalam Komik “Gals!” Karya Mihona Fuji = Mihona Fuji No Sakuhin No “Gals!” To Iu Manga Ni Okeru Gyaru No Shujinkou No Shakaigakuteki No Bunseki Ni Tsuite

0 59 62

Analisis Peran Tokoh Ninja Dalam Komik Naruto Karya, Masashi Kishimoto Masashi Kishimoto No Sakuhin No “Naruto No Manga” Ni Okeru Ninja No Shujinkou No Yakusha No Bunseki Ni Tsuite

3 59 89

Shigeru`s motivation in adopting Takeo as seen in Lian Hearn`s Across the Nightingale Floor.

0 0 87