Analisis Kesetiaan Tokoh Kaze Dalam Novel “Pembunuhan Sang Shogun” Karya Dale Furutani Dale Furutani No Sakuhin No Shougun No Satsugai No Shousetsu Ni Okeru Kaze To Iu Shujinko No Chujitsu No Bunseki

(1)

ANALISIS KESETIAAN TOKOH KAZE DALAM NOVEL

“PEMBUNUHAN SANG SHOGUN” KARYA DALE FURUTANI

DALE FURUTANI NO SAKUHIN NO SHOUGUN NO

SATSUGAI NO SHOUSETSU NI OKERU KAZE TO IU

SHUJINKO NO CHUJITSU NO BUNSEKI

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Program Studi Sastra Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat

ujian sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh:

FERDIAN PARDEDE 060708037

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA

PROGRAM STUDI S-1 SASTRA JEPANG MEDAN


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur yang sebesar-besarnya penulis panjatkan kepada Yuhan Yesus, atas berkat dan kasihNya kepada penulis, sehingga penulis diberi hikmat dan kekuatan untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “ Analisis Kesetiaan Tokoh Kaze Dalam Novel Pembunuhan Sang Shogun Karya Dale Furutani” dengan baik dan tepat pada waktunya.

Skripsi ini disusun sebagai tugas akhir penyelesaian studi Program Sarjana Sastra Jepang Faklutas Sastra Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan ini penulis mendapat bantuan baik moral maupun materi. Oleh sebab itu pada kesempatan ini penulis dengan tulus ikhlas ingin mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

Untuk itu penulis menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan setinggi-tingginya kepada :

1. Bapak Dr Syahron Lubis M.A. selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum. selaku Ketua Jurusan Program Sarjana Sastra Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. Nandi S. selaku Dosen Pembimbing pertama yang dengan segala kesabarannya telah membimbing, mengarahkan, memberikan begitu banyak masukan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.


(3)

4. Bapak Prof. Drs. Hamzon Situmorang M.S.,Ph.D. selaku Dosen Pembimbing kedua yang telah banyak membimbing dan mengarahkan serta memberikan banyak masukan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

5. Seluruh Staf Pengajar Civitas Akademika pada Program Studi Sastra Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. Atas didikan Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu dosen sekalian sehingga penulis mampu menyelesaikan pendidikan Sastra Jepang.

6. Kepada kedua orangtua-ku yang sangat kucintai dan kukasihi. Papa, L. Pardede dan Mama, B. br. Siahaan, penulis mempersembahkan skripsi ini sebagai penghargaan buat cinta kasih, ketulusan, kesabaran, materi, dukungan, semangat serta doa yang diberikan kepada penulis, buat kedua kakak ku Febrina dan adikku Agnes, yang juga menjadi dorongan dan dukungan dan banyak memberikan doa.

7. Kepada Julyana Silaen yang selalu memberikan banyak dukungan dan semangat kepada penulis.

8. Sahabat-sahabatku yang cantik dan tampan Friska, Asti, Nana, Dewi, Ria, Randy, Frey, Nova, Viktor, Andar, Andi, Hyantes, yang memberikan dukungan dan meluangkan waktu untuk mempermudah proses penulisan skripsi sehingga penulis dapat menyelesaikan tepat waktu.

9. Kepada semua teman-teman satu kelas Sastra Jepang Stambuk 2006, Frida, Siska, Jessi, Febri, Teddy, Fadiah, Harry, Musfa, Suci, Wulan, Surya Ningrum, Farah, Zulvi, Okky, Wilma, Irwan, Mahera, Ivana,


(4)

Elicabeth, Sari, Hartati, Rizal, Hadi penulis berterimakasih buat dukungan dan kebersamaan yang telah diberi selama ini.

10.Teman-temanku yang seru Reinhart, Tumpal, Bangun, Putra, Hansen, Asenk, dan Pakcik yang memberikan dukungan dan semangat.

Harapan penulis semoga Tuhan Yesus Kristus melimpahkan kasih dan karuniaNya kepada semua pihak yang telah disebutkan di atas.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, 21 Mei 2011 Penulis

Ferdian Pardede Nim. 060708037


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Perumusan Masalah... 4

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan... 6

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori... 7

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian... 11

1.6 Metode Penelitian... 11

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONDISI

SOSIAL ZAMAN EDO DAN KESETIAAN

SAMURAI

2.1 Kondisi Sosial Zaman Edo... 13

2.2 Kesetiaan Samurai ... 19

2.2.1 Moral Pengabdian Diri Bushi Periode Awal... 23

2.2.2 Moral Pengabdian Diri Bushi Periode Akhir... 26

2.3 Setting Novel “Pembunuhan Sang Shogun”... 29

2.3.1 Latar Waktu... 29


(6)

2.3.3 Latar Sosial... 30 2.4 Biografi Pengarang Novel “Pembunuhan Sang Shogun” ... 31

BAB III ANALISIS KESETIAAN TOKOH KAZE

DALAM NOVEL “PEMBUNUHAN SANG

SHOGUN” KARYA DALE FURUTANI

3.1 Sinopsis Cerita ... 33 3.2 Kesetiaan Kaze Dalam Novel “Pembunuhan Sang Shogun”

Karya Dale Futani... 36

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan... 53 4.2. Saran... 54

DAFTAR PUSTAKA

ABSTRAK


(7)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kelebihan manusia dibandingkan dengan mahluk hidup lainnya adalah berpikir. Manusia berpikir untuk meneruskan peradabannya dengan berkarya ataupun berdaya cipta. Salah satu hasil pemikiran manusia adalah kebudayaan. Koentjaraningrat (1980:193,218) Mengartikan kebudayaan dalam ilmu antropologi adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Dalam kehidupan umat manusia, kita tidak terlepas dari unsur-unsur kebudayaan, yaitu: Bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi dan kesenian.

Salah satu unsur kebudayaan yaitu bahasa. Bahasa selalu ada dalam kehidupan manusia. Hasil pemikiran manusia dalam berbahasa dan berbudaya adalah karya sastra. Suatu hasil karya sastra dapat dikatakan memiliki nilai sastra apabila di dalamnya terdapat kesepadanan antara bentuk dan isinya. Bentuk bahasanya baik dan indah, dan susunannya beserta isinya dapat menimbulkan perasaan haru dan kagum di hati pembacanya.

Menurut Luxemburg (1992:23,25) sastra dapat di pandang sebagai suatu gejala sosial, sastra yang ditulis pada suatu kurun waktu tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat pada zaman itu. Berarti sastra


(8)

dapat diartikan sebagai tulisan yang memiliki arti keindahan yang dapat mencerminkan kehidupan.

Menurut Wellek dan Austin dalam Melani Budianto (1997:83) sastra adalah suatu kegiatan kreatif dari karya seni. Dalam seni banyak unsur kemanusiaan yang masuk di dalamnya, khsusunya perasaan, semangat, keyakinan, kesedihan, serta kepercayaan. Dalam sastra juga memiliki jenis-jenis sastra (gender) dan ragam-ragam. Ragam umum yang dikenal adalah puisi, prosa, dan jenis drama sastra prosa mempunyai ragam cerpen, novel, dan roman atau ragam utama. Sastra memiliki dua macam sifat yaitu sastra yang bersifat imajinasi (fiksi) dan non imajinasi (non fiksi). Salah satu hasil karya sastra yang bersifat imajinasi (fiksi)berupa prosa adalah novel.

Menurut Wikipedia Bahasa Indonesia dalam http://defenisi-pengertian .blogpot.com/2010/11/pengertian-novel.html bahwa novel merupakan sebuah karya fiksi prosa yang tertulis dan naratif, biasanya dalam bentuk cerita. Novel lebih panjang (setidaknya 40.000 kata) dan lebih kompleks dari cerpen, dan tidak dibatasi keterbatasan struktural dan metrikal sandiwara atau sajak. Umumnya sebuah novel bercerita tentang tokoh-tokoh dan pelakuan mereka dalam kehidupan sehari-hari, dan menitik beratkan pada sisi-sisi yang menonjol dari naratif tersebut.

Seperti yang sudah dijelaskan di atas, penulis meneliti salah satu novel Jepang yang berjudul Pembunuhan Sang Shogun karya Dale Furutani, seorang generasi ketiga Jepang-Amerika atau Sansei..

Dale Furutani lahir pada 1 Desember 1946, keluarganya berasal dari Pulau Oshima, Selatan Hiroshima. Dale Furutani mengambil latar cerita pada kota yang


(9)

paling disukainya yaitu Tokyo di Jepang. Edo adalah nama kota ini sebelumnya. Maka Dale Furutani menulis cerita yang berlatarkan kota Edo di zaman Edo.

Novel Pembunuhan Sang Shogun ini menceritakan kondisi sosial tokoh utama yang bernama Kaze, seorang ronin atau samurai tak bertuan yang dituduh sebagai orang yang menembakkan bedil saat shogun Tokugawa Ieyasu melakukan peninjauan ke kastil Edo, pastinya mencoba membunuh shogun. Kastil itu dibangun sesuai keinginan sang shogun, yang akan dibuat sebagai tembok pertahanan pada masa pemerintahan Tokugawa Ieyasu di zaman Edo. Tokoh kaze mencoba keluar dari fitnah seluruh kota Edo. Sebutan buronan pun sudah melekat pada dirinya karena gambar wajahnya sudah dipajang di seluruh penjuru kota. Berbagai macam permasalahan hidup yang hampir merenggut nyawanya juga dihadapi. Tuduhan yang diarahkan pada Kaze ini memaksanya untuk bertahan dibalik penyamaran. Hingga akhirnya bisa membuktikan bahwa ia tidak bersalah kepada Shogun Tokugawa Ieyasu. Lalu menjalankan misi utama sebelumnya untuk mencari putri tuannya yang diculik. Semua upaya ini dilakukan untuk menujukkan kesetiaan Kaze terhadapan tuannya. Salah satu bentuk kesetian seorang samurai terhadap tuannya. Kaze menunjukkan bentuk kesetiaannya itu dengan cara yang tidak seharusnya dilakukan seorang samurai. Golongannya sebagai seorang samuraipun rela diturunkannya dengan menjadi seorang seniman jalanan, diolok-olok, disoraki banyak orang dan tentunya hidup tidak menentu seperti halnya dulu saat tinggal bersama daimyo, sang tuan yang sangat dihormatinya.

Media analisis penelitian ini adalah karya sastra yaitu novel. Secara spesifik ilmu yang menganalisis aspek sosiologi dalam karya sastra adalah


(10)

sosiologi sastra. Ratna (2003:2) menyatakan bahwa sosiologi sastra adalah pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek-aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya.

Kondisi sosial yang menyangkut kesetiaan tercermin melalui tokoh Kaze yang ada di dalam novel “Pembunuhan Sang Shogun” karya Dale Furutani secara khusus dan mendalam akan di bahas melalui skripsi yang berjudul

“ANALISIS SOSIOLOGIS TOKOH KAZE DALAM NOVEL

“PEMBUNUHAN SANG SHOGUN” KARYA DALE FURUTANI.

1.2Perumusan Masalah

Sesuai dengan judul proposal ini, yaitu “Analisis Sosiologis Tokoh Kaze dalam Novel ‘Pembunuhan Sang Shogun’ Karya Dale Furutani”, maka proposal ini akan membahas mengenai kondisi sosial tokoh Kaze dalam kehidupan sehari-harinya.

Tokoh dalam novel “Pembunuhan Sang Shogun” adalah Matsuyama Kaze berarti Desiran Angin di Pegunungan Cemara, seorang samurai yang semasa kecilnya sudah dilatih oleh seorang sensei sebagai ahli pedang. Bertahun tahun ia menjalani latihan itu bersama senseinya di pegunungan sunyi yang tenang, banyak pepohonan hijau, jauh dari perkotaan dan minim akan godaan. Latihan yang dijalani Kaze begitu keras. Hampir semua kesenian Jepang diajarkan oleh para ahli kepada muridnya, mulai dari melukis hingga menari sampai menjadi pemain pedang. Kaze dilatih untuk melakukan gerakan-gerakan fisik yang pada akhirnya berubah menjadi pelajaran mental dan spiritual. Dengan keahlian pedangnya telah mengabdi pada seorang tuan atau salah seorang daimyo


(11)

Kehidupan masyarakat Jepang pada zaman Edo tak lepas dari pembagian kelas masyarakat yang terdiri dari shi-nō-kō-shō ( 士農工商 ) yaitu Shi : bushi – 武士 (samurai), Nō : nōmin – 農民 (petani), Kō : kōsakunin – 工作人 (pengrajin),

Shō : shōnin – 商 人 (pedagang)

(dalam(:http://nurrohim.wordpress.com/2010/05/18/zaman-edo-edo-jidai/)

Namun orang kota dan petani dimasukkan dalam satu kelompok besar yang disebut heimin yang secara harafiah berarti rakyat biasa. Namun ada orang-orang yang tidak termasuk dalam satu golongan pun. Mereka disebut Eta.

Kaze termasuk kedalam golongan samurai, prajurit yang menjadi pengikut setia para daimyo dan shogun. Sebagai tanda kesamuraiannya, para samurai ini selalu membawa dua bilah pedang. Dalam novel ini, Kaze sudah tidak lagi mempunyai tuan karena telah mati dibantai dalam perang Sekigahara. Samurai yang tidak bertuan disebut Ronin. Sebagai prajurit yang setia, seorang samurai harus ikut mati seperti tuannya juga, namun Kaze belum menyelesaikan tugasnya yang terakhir untuk menemukan putri dari tuannya yang diculik. Hal ini Kaze lakukan dengan mengembara sendiri yang sampai rela menurunkan kelasnya pada saat itu menjadi seniman jalanan. Orang-orang kota Edo melempar uang recehannya setelah terhibur oleh permainan pedang di kerumunan orang. Begitulah Kaze dalam menjalani hidupnya sebelum menemukan putri tuannya. Hal tersebut dilakukan untuk menunjukkan kesetiaan terhadap tuannya dengan cara mencari putri tuannya yang diculik.

Kondisi sosial Kaze yang pelik dan terjepit di tengah-tengah permasalahan ini memaksanya untuk tetap bertahan. Sikap samurai membuat dirinya menjadi


(12)

pribadi yang sabar, disiplin, sikap kewaspadaan yang tinggi, memperhatikan hal-hal kecil yang akan memberikan petunjuk bagi pembelajaran hidupnya nanti.

Untuk memudahkan arah sasaran yang ingin dikaji, maka masalah penelitian ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :

1. Bagaimana kesetiaan Kaze yang tercermin dalam kondisi sosial yang terungkap dalam novel “Pembunuhan Sang Shogun”?

2. Bagaimana kondisi sosial zaman Edo yang dijadikan setting pada novel ini?

1.3Ruang Lingkup Pembahasan

Dari permasalahan-permasalahan yang ada, maka penulis menganggap perlu adanya pembatasan ruang lingkup dalam pembahasan. Hal ini dimaksudkan agar masalah penelitian tidak terlalu luas dan berkembang jauh, sehingga penulisan dapat lebih terarah dan terfokus.

Dalam analisis ini, penulis hanya akan membatasi ruang lingkup pembahasan yang difokuskan pada cerita yang menggambarkan bentuk kesetiaan tokoh Kaze pada tuannya dan sebagai pendukung akan dipaparkan bagaimana kehidupan sosial dan interaksi masyarakat Jepang pada zaman Edo terutama di kota Edo yang tergambar dalam novel Pembunuhan Sang Shogun karya Dale Furutani.


(13)

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.4.1 Tinjauan Pustaka

Novel adalah sastra kisahan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang yang disekelilingnya dengan menonjolkan watak dari setiap pelaku (Kamus Besar Berbahasa Indonesia, 2001).

Sosiologi sastra menurut Ratna (2003:2) yaitu pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek-aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya. Sosiologi sastra mewakili keseimbangan antara kedua komponen, yaitu sastra dan masyarakat. Oleh karenanya, analisis sosiologis memberikan perhatian yang besar terhadap fungsi-fungsi sastra, karya sastra sebagai produk masyarakat tertentu.

Laurenson dalam Fananie (2001:133) berpendapat bahwa terdapat tiga perspektif yang berkaitan dengan sosiologi sastra, yaitu :

1. Perspektif yang memandang sastra sebagai dokumen sastra dan sebagai dokumen sosial yang didalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan.

2. Prespektif yang mencerminkan situasi sosial penulisnya.

3. Model yang dipakai karya tersebut sebagai manifestasi dari kondisi sosial budaya atau peristiwa sejarah.

Unsur-unsur penunjang terciptanya sebuah karya sastra, khususnya prosa yaitu tema, plot, setting, dan lain sebagainya. Tokoh dan penokohan merupakan unsur yang penting dalam karya naratif. Penikmat sastra secara bebas menafsirkan watak, perwatakan, dan karakter yang merujuk pada sifat dan sikap para tokoh.


(14)

Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang ingin disampaikan kepada pembaca. Tokoh cerita menurut Abrams dalam Nugriantoro (1995:165), adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang telah diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Dari kutipan tersebut dapat diketahui bahwa antara seorang tokoh dengan kualitas pribadinya erat berkaitan dengan penerimaan pembaca.

Tokoh cerita dalam suatu karya sastra fiksi naratif merupakan karya pengarang yang murni berasal dari alam pikirannya. Boulton dalam Aminuddin (2000:79) mengungkapkan, bahwa cara pengarang menggambarkan atau memunculkan tokohnya itu dapat berbagai macam. Mungkin pengarang memunculkan tokoh sebagai pelaku yang hanya hidup di dalam mimpi, pelaku yang hanya memiliki semangat perjuangan, pelaku memiliki cara sesuai dengan kehidupan manusia.

Boulton dalam Aminuddin (2000:37) juga mengungkapkan, bahwa cipta sastra selain menyajikan nilai-nilai keindahan serta paparan peristiwa yang mampu memberikan kepuasan batin pembacanya juga mengandung pandangan yang berhubungan dengan masalah keagamaan, filsafat, politik maupun berbagai problema yang berhubungan dengan kompleksitas kehidupan manusia. Karya sastra adalah karya seni seperti seni suara, seni lukis, seni pahat, dan lain-lain. Namun, hal yang membedakan dengan seni adalah bahwa sastra memiliki aspek bahasa.


(15)

Disamping itu bahasa itu sendiri adalah suatu sistem komunikasi yang syarat dengan pesan kebudayaan. Kehidupan manusia tidak dari kebudayaan yang atas dasar bahasa, sedangkan bahasa itu sendiri adalah sistem tanda (Ratna, 2003:111).

1.4.2 Kerangka Teori

Untuk menganalisis suatu karya sastra diperlukan pendekatan yang berfungsi sebagai acuan penulis dalam menganalisis karya sastra tersebut. Dalam menganalisis novel ini penulis menggunakan pendekatan sosiologis sastra dan semiotik.

Untuk melihat gambar kehidupan sosial suatu individu secara khusus dalam masyarakat dalam suatu karya sastra adalah dengan menggunakan disiplin ilmu Sosiologis Sastra dalam kaitan ini menurut Saini dalam Endaswara (2003:83) memberikan tiga kedudukan sastra terhadap kehidupan masyarakat. Yakni sebagai pemekatan, penentangan, dan olok-olok. Ketiga ini sebenarnya terkait dengan fungsi sastra sebagai kehidupan sosial.

Pendekatan sosiologis akan digunakan dalam menganalisis permasalahan sosial yang dihadapi tokoh Kaze, karena pendekatan ini dapat menunjukkan bagaimana tokoh Kaze berinteraksi dalam lingkungan sosialnya. Menurut Selo Sumardjan dan Soelaeman Soemardi dalam Soekanto (1990:21) sosiologis adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial. Sedangkan menurut Bruce dalam Wiyarti (2008:1) sosiologis adalah suatu sistem tata nilai yang ditujukan kepada masyarakat tentang bagaimana seharusnya mereka berkelakuan dan mengatur diri mereka.


(16)

Dengan menggunakan teori sosiologis ini, penulis dapat menganlisis kondisi sosial Kaze dalam novel Pembunuhan Sang Shogun yang menyebabkan masalah-masalah dalam berinteraksi sosial. Contohnya adalah pada saat Kaze dalam proses penyamaran dirinya sebagai pemain kabuki untuk menghindari kejaran anak buah Tokugawa sampai Kaze membuktikan dirinya bahwa dia tidak bersalah.

Semiotika adalah ilmu tanda dan istilah ini berasal dari kata Yunani Semion yang berarti tanda Panuti Sudjiman (1992:15).

Menurut Pradopo (2001:270) Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda, ilmu ini menganggap bahwa sosial masyarakat dan kebudayaan itu mempelajari system-sistem, aturan-aturan dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.

Penulis menggunakan pendekatan Semiotik karena mengetahui adanya persoalan-persoalan yang dialami tokoh Kaze dalam menjalani kehidupannya sebagai seorang Ronin.

Berdasarkan teori diatas, maka penulis menginterpretasikan sikap dan kondisi tokoh utama dengan pendekatan sosiologis dan pendekatan semiotika dalam novel. Akan terlihat di bagian mana yang terdapat pergolakan kehidupan dan kondisi sosial Kaze di dalam lingkungan masyarakat serta faktor-faktor apa saja yang mendukung dan tidak mendukung kehidupan tokoh untuk mewujudkan keinginannya sebagai seorang shogun berkuasa pada masa itu. Hal ini dapat dilihat dari tanda-tanda berupa tingkah laku, ucapan-ucapan dan pikiran-pikiran tokoh utama dalam cerita ini.


(17)

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.5.1 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mendeskripsikan kondisi sosial yang menyangkut kesetiaan tokoh Kaze yang terungkap dalam novel “Pembunuhan Sang Shogun”.

2. Untuk mendeskripsikan kondisi sosial pada zaman Edo yang menjadi latar belakang sosial tokoh utama dalam novel ini.

1.5.2 Manfaat Penelitian

Hendaknya sebuah karya sastra itu ditujukan untuk bermanfaat bagi banyak orang. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

- Bagi peneliti dan masyarakat umum diharapkan dapat menambah informasi dan pengetahuan mengenai sosiologis sastra dalam karya fiksi khususnya dalam novel “Pembunuhan Sang Shogun”.

- Bagi peneliti dan masyarakat umum diharapkan menambah informasi tentang bagaimana keadaan sosial pada zaman Edo.

- Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi mahasiswa Departemen Sastra Jepang sebagai referensi tentang analisis novel.

1.6 Metode Penelitian

Dalam melakukan sebuah penelitian pasti menggunakan metode sebagai penunjang dalam mencapai tujuan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Koentjaraningrat (1980:30) mengatakan bahwa


(18)

penelitian yang bersifat deskriptif yaitu memberikan gambaran secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan, atau kelompok tertentu.

Penulis menggunakan metode studi kepustakaan (Library Research) dengan membaca buku-buku yang berhubungan dengan karya sastra, kritik sastra, dan buku-buku panduan analisis sosiologis dalam karya sastra serta tambahan literature tambahan lainnya.

Menurut Hadari Nawawi (1991:133) studi kepustakaan adalah mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis yang dilakukan dengan cara mengumpulkan buku-buku atau referensi yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Kemudian membaca novel dan menganalisis masalah-masalah yang ada dengan teori yan berhubungan dengan penulisan ini. Data yang diperoleh tersebut kemudian dianalisis untuk mendapatkan kesimpulan dan saran, selain itu penulis memanfaatkan berbagai fasilitas yang tersedia di perpustakaan umum Universitas Sumatera Utara dan juga memanfaatkan buku-buku pribadi penulis.

Selain memanfaatkan literature yang berupa buku, penulis juga memanfaatkan teknologi internet, mengumpulkan data dari berbagai website yang berhubungan dengan materi penelitian ini.


(19)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG KONDISI SOSIAL ZAMAN EDO DAN KESETIAAN SAMURAI

2.1 Kondisi Sosial Zaman Edo

Zaman ini berlangsung dari tahun 1603-1868. Tokugawa Iemitsu adalah daimyo dari Mikawa, sebuah daimyo kecil, kemudian mampu mengalahkan Hideyoshi pada perang Sekigahara di tahun 1600. Kemudian menjadi seiitaishogun pada tahun 1603 dengan pusat pemerintahan Bakufu di Edo. Selama zaman pemerintahan Tokugawa di Edo berlangsung kira-kira 260 tahun ini disebut zaman Edo (Situmorang 2006:17)

Sistim pemerintahannya disebut sistim bakuhantaisei yaitu sistem pemerintahan bakufu dan han. Bakufu adalah pemerintahan pusat dan memiliki pusat pemerintahan sendiri. Sedangkan wilayah Han adalah wilayah yang diperintah oleh Daimyo, dan untuk urusan kedalam bebas tanpa campur tangan Shogun. Namun demikian banyak sekali peraturan Keshogunan untuk memperlemah kedaimyoan atau wilayah Han. Bakufu menguasai kira-kira seperempat wilayah jepang secara langsung. Selain itu kota-kota besar seperti Kyoto, Osaka, Nagasaki juga dikuasai secara langsung.

Daimyo yang merupakan keluarga Shogun disebut dengan Shinpan, dibuat menjadi penguasa wilayah Han dekat dengan Edo. Sedangkan Daimyo yang membantu Tokugawa dalam perang Sekigahara disebut dengan Fudai, yaitu daimyo yang menjadi penguasa Han mengantarai Daimyo yang musuh Tokugawa dalam perang sekigahara. Kemudian Daimyo yang menjadi musuh Tokugawa


(20)

dalam perang sekigahara disebut Tozama Daimyo yang ditempatkan jauh disebelah barat daya atau juga di sebelah utara Jepang.

Untuk mempertahankan kekuasaan Tokugawa membuat berbagai kebijaksanaan. Diantaranya, Sankinkoutai yaitu peraturan bahwa setiap Daimyo harus membuat tempat tinggal keluarganya di Edo. Oleh karena itu, para daimyo shimpan dan fudai wajib tinggal selang 6 bulan di Edo dan 6 bulan lagi tinggal di wilayah kedaimyoannya. Sedangkan bagi daimyo Tozama, wajib tinggal selang 1 tahun di Edo dang 1 tahun tinggal di wilayah kedaimyoannya. Kemudian ada kebijaksanaan Tokoku, yaitu kebijaksanaan menutup diri dari luar negri. Oleh karena itu pada zaman Edo ini dianggap sebagai zaman pembentukan kebudayaan Jepang secara Universal. Kemudian ada peraturan Kugeshohatto dan Bukeshohatto. Kugeshohatto adalah larangan berkomunikasi dengan keluarga kaisar, sedangkan Bukeshohatto adalah larangan sesama daimyo membentuk ikatan, maupun perkawinan. Untuk menjaga supaya tidak ada usaha destruktif dari para petani, maka diadakan juga peraturan Katanagari yaitu larangan memiliki senjata atau pedang bagi para petani. Oleh karena berbagai peraturan ini dilaksanakan dengan sangat ketat. Maka pada zaman Edo ini dalam negri Jepang sangatlah tenang dan stabil. Keamanan daerah kekuasaan sangat lah terjamin. Itu yang diharapkan Tokugawa untuk para pengikut klannya agar Jepang yang diperintah nya saat itu menjadi negara yang kuat.

Kondisi sosial di zaman edo dapat dilihat dari awal munculnya Feodalisme di Jepang dengan pembagian kekuasaan antara Tennou yang hanya memegang kekuasaan simbolik semata dan kekuasaan Shogun yang memegang keuasaan praktis. Selama hampir 700 tahun feodalisme di Jepang berkembang sampai ke


(21)

ranah masyarakat yaitu pembentukan strata masyarakat yang sangat tegas dan kaku.

Karena peraturan dan kebijaksanaan Shogun tersebut maka pada zaman Edo adalah zaman yang aman, tetapi rakyat sangatlah menderita dalam kemiskinan. Untuk membiayai keluarga Daimyo yang berada di Edo, dan untuk perjalanan para samurai ke Edo memakan biaya yang cukup besar. Sedangkan penghasilan yang dapat diharapkan pada zaman itu adalah terutama dari hasil padi. Oleh karena itu pada zaman Edo, pajak pertanian hingga mencapai 60% dari hasil panen. Petani hanya mendapat 40% dari hasil panennya.

Diperkirakan pada zaman Edo jumlah kaum samurai kurang lebih 10% dari jumlah penduduk Jepang saat itu. Namun, dalam jumlah yang kecil ini kaum samurai harus mampu memerintah dan menguasai penduduk. Untuk itu Tokugawa memberlakukan sebuah sistem hirarki sosial yang didasarkan Konfusianisme yang dikenal dengan shi---shō ( 士農工商 ), sehingga struktur masyarakat pada zaman ini terbagi menjadi dua, yaitu yang memerintah dan diperintah. Dari istilah tersebut dapat dilihat kelas mana yang memiliki kedudukan tinggi dan mana yang memiliki kedudukan rendah. Urutannya adalah sebagai berikut :

1. Shi : bushi – 武士 (samurai) 2. Nō : nōmin – 農民 (petani) 3. Kō : kōsakunin – 工作人 (pengrajin) 4. Shō : shōnin – 商人 (pedagang)

Pembagian serta susunan kelas ini berdasarkan fungsi dari setiap kelas di dalam masyarakat. Bushi sebagai penguasa negara dengan sendirinya berada di tingkatan paling atas, kemudian kaum petani (nōmin) dianggap sebagai kelas yang


(22)

produktif yang merupakan tiang atau sumber ekonomi negara dan menghasilkan bahan makanan, yaitu padi-padian dan hasil ladang lainnya. Pengrajin (kōsakunin) merupakan kelas masyarakat yang memproduksi alat-alat kebutuhan sehari-hari. Sedangkan kelas pedagang (shōnin) dianggap memiliki status rendah, karena mereka hanya dapat memperoleh keuntungan dari hasil yang telah diproduksi orang lain.

Pembagian hirarki sosial ini tergantung pada pertimbangan kelahiran dan status keturunan. Salah satu pemikiran konfusius yang diterapkan pemerintahan Tokugawa adalah pemahaman terhadap hakekat takdir yang mengatakan,”manusia harus menerima takdir semenjak lahir. Tidak dapat

menggugat takdir”. Dengan adanya pemikiran ini, rakyat secara tidak langsung

dipaksakan untuk menerima keadaan serta status yang dimilikinya dan tidak dapat mengusahakan kenaikan atau perbaikan statusnya ke tingkat yang lebih tinggi. Pada kekuasaan shogun ke-3, Tokugawa Iemitsu, sistem hirarki sosial ini semakin ketat dan diskriminasi antar kelas semakin jelas. Hirarki sosial ini ditetapkan dengan tujuan tertentu, agar kelas penguasa tetap dapat mempertahankan kedudukannya dan memiliki kekuatan untuk menekan kelas yang berada di bawahnya. Susunan resmi yang ditetapkan Tokugawa mengenai hirarki ini diperkuat dengan perbedaan penampilan pakaian, tutur bahasa, etika, dan tata rambut serta pemakaian jenis pedang bagi kelas samurai.

Selain kelas yang terdapat dalam sistem hirarki shi-nō-kō-shō, di dalam masyarakat feodal zaman Edo terdapat pula kelas masyarakat terendah yang disebut Eta – Hinin. Kelas ini dianggap sebagai masyarakat yang berasal dari keturunan orang-orang buangan.


(23)

Pembagian kelas yang secara vertikal ini telah disusun secara ketat dan kaku oleh pemerintah, namun sesungguhnya dalam setiap lapisan kelas itu sendiri masih ada tingkatan-tingkatannya lagi. Tingkatan tersebut dipengaruhi oleh jabatan, wewenang, kekuasaan, atau peranannya di dalam masyarakat tersebut. Dengan demikian timbul hubungan antara atasan dan bawahan yang di pengaruhi oleh ajaran Konfusianisme. Pada mulanya hubungan ini hanya terdapat di dalam kelas samurai saja, tetapi kemudian hubungan “atasan dan bawahan” tersebut merata pula ke dalam masyarakat umum.

Golongan masyarakat pada zaman Edo diterapkan sangat ketat. Setiap kelas / golongan tidak diperbolehkan pindah kegolongan masyarakat lainnya. Pada zaman Edo jumlah golongan bushi (militer) sebanyak 9,8%, petani sebanyak 7,6% dan sisanya adalah golongan pendeta, pedagang dan tukang.

Alasan populer pemerintah Jepang menerapkan pembagian kelas masyarakat dari mulai kelas yang paling suci sampai kelas yang paling bawah, salah satunya adalah antisipasi pemberontakan kelas bawah. Namun, pemantapan posisi bakufu dan pengkerdilan kekuasaan kaisar juga mungkin bisa dijadikan alasan. Fakta – fakta menunjukkan bahwa hal tersebut mungkin terjadi. Tennou dan bangsawan – bangsawan kaisar yang digaji oleh bakufu, Tennou yang hanya boleh setahun sekali mengunjungi rakyatnya, sampai pengangkatan pejabat kaisar yang harus dengan persetujuan bakufu adalah bukti nyata bahwa bakufu berusaha mendominasi pada saat itu.

Kelas – kelas sosial pada masa Edo juga membuat masyarakat terkotak – kotak. Hal ini secara tidak langsung juga akan menjauhkan masyarakat dari kaisar. Masyarakat yang berada di kelas bawah telah terdoktrin bahwa dirinya


(24)

tidak pantas menemui kaisar, dan kaisar yang berada di kelas paling atas mungkin juga akan merasa tercemar jika menemui rakyatnya. Hal ini secara alami akan mengurangi peran kaisar dalam proses kehidupan sosial masyarakat dan penentuan kebijakan. Bisa dikatakan pada saat itu, memang benar bahwa kaisar tidak dapat diganggu gugat tetapi, pada saat itu pula kaisar hampir seperti tidak punya keuasaan.

Dalam kondisi masyarakat yang terkotak – kotak seperti itu pula pemerintah dalam hal ini bakufu lebih leluasa melakukan apa saja kepada rakyatnya. Kasus yang terjadi pada saat itu orang – orang dari kelas samurai dapat membunuh seseorang yang kelasnya lebih rendah, walaupun hanya karena alasa sepele.

Kondisi pemerintahan dan masyarakat yang bisa dikatakan tidak sehat ini akhirnya menemui keruntuhannya. Tidak adanya perang membuat peranan para samurai mulai dipertanyakan. Samurai – samurai yang saat itu menganggur mulai banyak yang terlilit hutang. Hal ini secara tidak langsung merusak respect masyarakat kepada kaum samurai. Selain masalah tersebut juga terjadi pemberontakan yang justru tidak muncul dari rakyat jelata, tetapi dilakukan oleh kaum samurai sendiri. Konflik horisontal yang terjadi di kalangan samurai ini semakin membuat situasi kacau dan melemahkan bakufu.

Akhirnya kekacauan – kekacauan yang terjadi tersebut membawa bakufu ke titik kulminasi.Yaitu ketika kaisar sebagai kepala negara sudah tidak percaya lagi kepada bakufu dan meminta keuasaan pemerintahan kembali diampu oleh istana.


(25)

2.2 Kesetiaan Samurai (Bushi)

Istilah “samurai” pada awalnya mengacu kepada “seseorang yang mengabdi kepada bangsawan”. Pada zaman Nara (710 – 784), istilah ini semula disebut saburau dan kemudian menjadi saburai. Selain itu terdapat pula istilah lain yang mengacu kepada samurai yakni bushi. Istilah “bushi” yang berarti “orang yang dipersenjatai/kaum militer”, pertama kali muncul di dalam Shoku Nihongi, pada bagian catatan itu tertulis “secara umum, rakyat dan pejuang (bushi) adalah harta negara”. Kemudian berikutnya istilah samurai dan bushi menjadi sinonim pada akhir abad ke-12 (zaman Kamakura). Pada zaman Azuchi-Momoyama (1573 – 1600) dan awal zaman Edo (1603), istilah saburai berubah menjadi samurai yang kemudian berubah pengertian menjadi “orang yang mengabdi”. Bagaimanapun, istilah samurai digunakan untuk prajurit elit dari kalangan bangsawan. Samurai yang tidak terikat dengan klan atau tidak bekerja bekerja untuk majikan/ (daimyo) disebut ronin (secara harafiah: "orang ombak").

Golongan samurai hanya dapat dimasuki melalui kelahiran atau pengangkatan sebagai anak berdasarkan hukum. Meskipun samurai berstatus social tinggi, namun secara internal golongan samurai terbagi lagi dalam berbagai jenjang. Jenjang teratas ditempati oleh para daimyo beserta keluarga mereka, yang menikmati semua hak istimewa yang menyertai kedudukan itu. Sedangkan jenjang terendah ditempati oleh kaum Ashigaru. Kaum Ashigaru (secara harfiah: “kaki ringan”) adalah para serdadu pejalan kaki, laskar garda depan, pasukan bertombak, pembawa panji / bendera yang bertuliskan simbol klan. Mereka adalah prajurit rekrutan dari rakyat biasa yang biasanya golongan petani atau biasa disebut juga dengan sebutan samurai dadakan atau samurai tanpa nama.


(26)

Bushi yang pada awalnya adalah kelompok bersenjata yang mengabdi pada tuannya, tetapi kemudian setelah mereka berhasil menjalankan perannya yang besar dalam menjaga eksistensi tuannya tersebut. Namun lama kelamaan mereka tidak bergantung lagi pada tuan yang golongan bangsawan. Malah sebaliknya, tuan yang bergantung pada bushi sehingga bushi tersebut menjadi kelompok yang disegani. Salah satu contoh pada zaman Heian (abad 8-12), bermunculan pemimpin-pemimpin dikalangan bushi yang mempersatukan kekuatan bushi sehingga menjadi suatu kekuatan yang besar yang disebut bushi no toryo (tulang punggung bushi/penanggung jawab bushi) yang dipimpin oleh keluarga bangsawan (kizoku) yang tinggal di daerah. Seorang samurai yang setia tuannya dalam batas hidup dan mati. Yang paling terkenal diantaranya adalah keluarga Taira dan keluarga Minamoto (Situmorang 1995:12).

Sebagai abdi dari seorang yang berkuasa di suatu daerah kekuasaan yang disebut daimyo harus menuntut sesuatu sikap moral yang disebut setia. Kesetiaan samurai disini memiliki sifat-sifat yang berbeda dibandingkan abdi di daerah lain ataupun di negara lain. Keistimewaan dan keunikan dari kesetiaan samurai disini terlihat dalam pengabdian terhadap tuannya yang sangat menakjubkan. Menurut Ienaga dalam Situmorang (2006 : 88) mengatakan bahwa seorang samurai harus siap mengorbankan diri melewati batas hidup dan mati yang dilaksanakan dalam bentuk kesatriaan dan berusaha mempersembahkan kemenangan di medan perang kepada tuan.

Menurut Watsuji dalam Situmorang (Situmorang 1995:21) mengatakan bahwa adanya kesetiaan bushi yang berbeda di Jepang selama adanya samurai atau selama adanya hubungan antara tuan dan anak buah. Ada perbedaan etos


(27)

pengabdian bushi sebelum zaman Edo dengan etos pengabdian diri zaman Edo. Etos pengabdian diri bushi sebelum zaman Edo adalah kesetiaan pengabdian kepada tuan yang didasarkan pada ajaran Budha Zen. Sedangkan pemerintahan Tokugawa pada zaman Edo berusaha mengubahnya dengan dasar ajaran Konfusionis yang disebut dengan shido.

Menurut Situmorang (1995 : 49) salah satu sikap yang harus dimiliki oleh seorang bushi dalam mewujudkan moral pengabdiannya adalah kejujuran. Yaitu tidak mengubah kepatuhan terhadap pengabdiannya. Tidak dipengaruhi oleh keakraban, memperbaharui apa yang harus diperbaharui, membenarkan apa yang harus dibenarkan. Tidak boleh mengambil muka, dan tidak boleh mengikuti perasaan duniawi. Bushi juga harus memperhatikan etiket dalam berbicara. Bahasa adalah pengutaraan langsung secara subjektif isi pikiran terhadap pihak lain dengan mengucapkan sesuatu. Ada yang harus dikatakan pada waktunya, untuk mengatakan ini, mempertimbangkan kesempatan yang baik. Kemudian cara mengucapkannya, menekan perasaan, tidak boleh mengucapkan dengan cepat-cepat dan kasar, tidak boleh bernada suara tinggi, harus mengucapkan dengan tenang.

Bushido (jalan hidup bushi) yang ada di Jepang sebelum dipengaruhi oleh ajaran shido dari Tokugawa. Telah ada semenjak adanya bushi di Jepang yang disebut dengan bushido lama. Ciri khas bushido lama ini berbeda-beda di setiap daerah, tetapi umumnya berupa moral pengabdian diri yang bersifat zettai teki (mutlak) pada masing-masing tuannya di daerah. Adanya ketidakseragaman konsep pengabdian diri pada masing-masing bushido lama ini adalah karena terpencarnya kekuasaan permerintahan di Jepang sebelumnya. Bushido lama yang


(28)

ditandai dengan pengabdian diri yang mutlak dari anak buah terhadap tuannya ini, gejala yang paling jelas dapat dilihat pada perilaku junshi (bunuh diri mengikuti kematian tuan) dan perilaku adauchi (mewujudkan balas dendam kepada musuh dari tuan) yang sering dilakukan anak buah sebagai tanda pengabdian kepada tuannya.

Salah satu contoh, seorang samurai Yamamoto Tsunetomo yang telah berjanji mengorbankan diri bagi tuan, merasa telah tiba saatnya untuk melakukan junshi. Tetapi karena pada zaman Edo junshi sudah dilarang oleh pemerintahan shogun. Maka Tsunetomo melakukan sukke atau mengucilkan diri. Dia mengikut ajaran Budha dan menjadi penulis kitab tentang konsep Bushido yang menjadi pelajaran para bushi kemudian. Menurut Tsunetomo, bushido adalah janji untuk mengabdikan diri bagi tuan. Dia berkata bahwa para anak buahnya hanya mempunyai satu tujuan hidup yaitu untuk mengabdi pada tuan. Menurutnya hal ini mempunyai dua pengertian, yaitu:

1. Secara absolut (mutlak) mengutamakan tuan, yaitu kesetiaan mengabdi satu arah dengan mengabdikan jiwa raga bagi tuan.

2. Menjadi anak buah yang betul-betul dapat diandalkan, yaitu betul-betul dapat melaksanakan sumpah setia kepada tuan (Watsuji dalam Situmorang, 1995:25).

Sehingga moral pengabdian diri bushi atau samurai disini dibagi atas dua jenis, yaitu; moral pengabdian diri bushi periode awal zaman feodal dan moral pengabdian diri bushi pada periode akhir feodalisme di Jepang, dan diantaranya ada proses perubaha tersebut.


(29)

2.2.1 Moral Pengabdian Diri Bushi Periode Awal

Menurut Ienaga Saburo dalam Situmorang (2006:87) dikatakan pada zaman Heian (793-1185) di daerah pertanian muncul penguasa baru yang disebut dengan bushi. Pada awalnya untuk membedakan arti dengan petani. Pada awalnya mereka hidup di daerah pertanian kemudian berubah menjadi masyarakat Kota. Berbeda dengan masyarakat Kizoku (bangsawan) pekerjaan sehari-hari mereka adalah menbidangi seni. Tetapi Bushi berprofesi sebagai ahli perang, dan mereka bekerja sebagai abdi pada Kizoku tersebut.

Pada zaman berikutnya, zaman Kamakura dan Muromachi belum dikenal nama bushido, yang dikenal adalah “tsuwamono no michi”, hal ini mempunyai arti yang lebih sempit daripada bushido. Hal tersebut berisi makna “bujo”, yaitu keterampilan menggunakan alat dan pandangan meremehkan jiwa, hal ini berbeda dengan pemikiran bushi zaman Edo.

Ada dua hal yang mempengaruhi kesetiaan bushi periode awal ini, yaitu : a. Ikatan yang didasarkan pada perjanjian tuan dan pengikut.

b. Ikatan yang didasarkan pada hubungan darah/keluarga dan wilayah (Ie). Ikatan yang didasarkan pada perjanjian tuan dan pengikut.

Hal ini berisikan pertukaran antara “onko” (pemberian) dengan “hoko” (pelayanan) di pihak lain. Pertukaran antara kedua hal ini melahirkan kekuatan kelompok. Tetapi walaupun dikatakan pertukaran, derajat kedudukan mereka tidak sama, kedudukan mereka berbentuk atas bawah atau bukan merupakan kelas yang sama. Pemberi “onko” sebagai tuan dan pemberi “hoko” sebagai pengikut. Pengertian “onko” mengandung muatan makna sebagai berkah, dan di dalam


(30)

“hoko” mengandung muatan makna pengabdian yang mempunyai warna “mujoken” (tidak abadi).

Pada masa itu, di dalam kesadaran bushi pelayanan ditujukan sebagai hubungan pertukaran antara “hoko” dan “onsho”.

Bentuk dan batas “onsho” dan “hoko”

Dalam kumpulan cerita Konjaku (Konjaku Monogatarishu) dikatakan tidak ada batas untuk membalas “onsho”, untuk membalas onsho harus siap mengorbankan diri melewati batas hidup dan mati. Pelayanan bushi melewati batas hidup dan mati tersebut dilaksanakan dalam bentuk “gunchu” (pengabdian dalam bentuk kesatrian), berusaha mempersembahkan kemenangan di medan perang kepada tuan.

Ikatan hubungan tuan dan pengikut diawali dengan pemberian hadiah oleh tuan, dan jikalau ada perang tuan harus menyediakan hadiah. Kadang-kadang janji pemberian hadiah ini dilaksanakan. Iklanan seperti ini ada pada tahun 3 tensho, berisi bahwa Odanobunaga menyediakan 23 wilayah Echizen bagi orang yang membantu perang. Sebelum berangkat ke medan perang, terlebih dahulu diberi hadiah dan pujian, hal ini membuat bushi malu jikalau tidak bertempur sebaik-baiknya di medan perang. Dalam hal seperti ini dipentingkan bukti melakukan keberhasilan, sehingga dalam hal seperti ini menjadi diperlukan saksi diperlukan saksi di medan perang. Dikatakan jikalau pergi ke medan perang sendirian dan apabila mati tidak dilihat orang sebagai saksi maka hal seperti ini disebut “Inijini” (mati konyol). Sebaliknya jikalau mati pada waktu dalam barisan kawan, maka nama sendiri menjadi terkenal dan anak cucu mendapat hadiah. Jadi


(31)

untuk melakukan “chu” (pengabdian/penghormatan anak buah kepada tuan), yang dipentingkan adalah harus mengetahui tempat dan waktu untuk mengabdi yang tepat. Karna yang penting adalah bukti pengorbanan (chu) tersebut.

Dalam pemikiran seperti di atas, ada kalanya tuan tidak mampu menyediakan hadiah yang banyak, hal ini mengakibatkan kesetiaan bushi berkurang. Oleh karena itulah dalam hal ini tuan perlu menambah suatu elemen lain, yaitu elemen rasa kasih sayang. Elemen ini muncul karena adanya hubungan tuan dengan pengikut yang sudah lama, yaitu dari generasi ke generasi. Oleh karena itu hubungan Tuan dan Pengikut menjadi hubungan keluarga (Ie).

Sedangkan pemikiran dunia kematian, pada saat itu bushi di Jepang menganut agama Budha Zen. Dalam agama Budha Zen dijelaskan adanya reinkarnasi antara hidup dan mati.

Pemikiran ini juga dijelaskan dalam Watsuji Tetsuro (1976) dalam Situmorang (2006:89) yang mengatakan, bahwa pandangan bushi akan adanya reinkarnasi mengakibatkan bushi mempunyai cita-cita menjadi abdi tuannya selama tujuh kali dalam reinkarnasi tersebut. Hal inilah yang melahirkan pengabdian yang mutlak dari anak buah terhadap tuan. Dijelaskan pula bahwa wujud daripada pengabdian yang mutlak ini adalah, keberanian mengorbankan jiwa raganya bagi tuan

Tetapi kemudian diseluruh daerah Jepang sangat dipuji keluarga bushi yang berani mengabdikan jiwa raga terhadap tuannya. Jadi bushi yang disegani bukan hanya bushi yang hebat di medan tempur tetapi adalah juga bushi yang setia terhadap tuannya.Kesetiaan tersebut adalah kesetiaan mengabdikan jiwa raga termasuk juga kesetiaan untuk melakukan bunuh diri karena kematian


(32)

tuannya. Apabila tuan meninggal tetapi anak buah tidak ada yang beranin mengikuti kematian tuannnya, maka bushi daerah tersebut disebut dengan bushi pengecut. Hal ini biasanya menimbulkan rasa malu bagi keturunan bushi tersebut. Oleh karena itu para bushi akan memilih bunuh diri. Bunuh diri mengikuti kematian dalam masyarakat bushi disebut dengan Junshi.

2.2.2 Moral Pengabdian Diri Bushi Periode Akhir (Zaman Edo)

Pembagian kelas masyarakat di Jepang berakhir pada Meijii restorasi (1868). Dalam dekrit Meijii ditetapkan bahwa seluruh masyarakat Jepang mempunyai hak yang sama dalam memilih pekerjaan yang sesuai baginya. Dengan demikian bushi, kelas petani, kelas pedagang dan kelas tukang yang dibuat pada zaman feodal dihapuskan.

Sebelum restorasi Meiji pemerintahan keshogunan berada di tangan keluarga Tokugawa (1603-1867). Dalam masa ini Tokugawa memantapkan ide pengabdian diri berdasarkan ajaran Konfusionis. Yaitu mengajarkan pengabdian bertingkat yang akhirnya seluruh masyarakat Jepang pada waktu pengabdiannya bertumpu di tangan Shogun.

Pemerintah Tokugawa melarang adanya pengabdian yang tidak rasional dari anak buah terhadap tuannya di daerah. Seperti melakukan Junshi (bunuh diri mengikuti kematian tuannya ) dan juga melakukan Adauchi (melaksanakan balasa dendam terhadap musuh tuannya). Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi kesetiaan anak buah terhadap tuan, dan supaya tuan (daimyo) tidak menjadi kuat sehingga mampu melakukan perlawanan bagi Shogun. Dengan peraturan Shogun Tokugawa ini membuat kesan bahwa melakukan Junshi adalah perbuatan Inujini


(33)

(mati konyol). Sehingga dengan demikian dapat dilihat sangat kontras perbedaan pengabdian diri bushi pada periode awal feodalisme dengan pengabdian diri ajaran keshogunan Tokugawa. Sehingga pada zaman Edo lahirlah pengabdian diri bushi yang khas yang merupakan perpaduan dari kesetiaan pengabdian diri bushi keshogunan Tokugawa.

Dengan demikian dapat dilihat unsur-unsur pengabdian diri bushido lama dan unsur-unsur pengabdian diri bushido baru ( bushido Tokugawa), (Watsuji dalam Situmorang, 2006:91).

Samurai dianggap sebagai golongan ksatria/ militer yang terpelajar dan memiliki derajat yang tinggi di masyarakat, namun semasa Keshogunan Tokugawa berangsur-angsur samurai kehilangan fungsi ketentaraan mereka. Pada akhir era Tokugawa, samurai secara umumnya adalah kakitangan umum bagi daimyo, dengan pedang mereka hanya untuk tujuan istiadat.

Samurai di zaman Edo menjalankan kewajiban melayani tuan tanah feodal masing-masing dengan dua cara, yaitu menjalankan tugas keprajuritan pada masa damai, yakni menjaga benteng daimyō, mengawal daimyō ketika ia pergi ke Edo dan pulang dari Edo16, dan menyediakan pasukan yang dapat digunakan daimyo untuk menjaga tanahnya.

Namun, setelah Tokugawa berhasil mewujudkan ketertiban di Jepang pada abad ke-17, para samurai ini kebanyakan menjalankan tugas administrasi, dalam hal ini adalah administrasi keuangan seperti menghimpun pendapatan dalam bentuk beras atau uang tunai untuk membayar tunjangan, merawat rumah resmi di Edo, dan membayar biaya perjalanan ke Edo setiap tahunnya.


(34)

Karena para samurai tidak dapat lagi diandalkan untuk bertempur, shogun dan daimyō tidak ingin menghilangkan nilai kesetiaan dan keberanian samurai, tetapi perkelahian dan balas dendam turun temurun, sering terjadi dan merupakan bagian dari kehidupan samurai yang tidak sesuai dalam masyarakat aman dan damai yang sedang mereka bangun. Bakufu kemudian menindak tegas pelaku perkelahian dan melarang balas dendam. Untuk mendorong agar para samurai mau menerima perubahan, maka disediakan imbalan. Pada abad ke-18, pejabat mendapat tunjangan tambahan untuk menambah gaji. Pekerjaan yang baik menjadi salah satu pertimbangan untuk naik pangkat, yang membuka kemungkinan untuk naik jabatan.

Selain itu pendidikan moral, etika, dan pengetahuan umum mulai dikenalkan. Sampai saat itu sebagian besar samurai terutama samurai berpangkat tinggi mendapat pendidikan secara individual. Pendidikan tersebut antara lain pengetahuan mengenai etika selain keahlian menggunakan senjata, berikut pengetahuan membaca dan menulis. Peran birokrasi dalam kehidupan telah menjadi norma, para atasan menginginkan nilai-nilai lebih dari seorang samurai. Seperti kaum bangsawan di zaman Nara dan Heian, mereka harus memiliki sikap moral yang “benar” jika mereka ingin mendapat peranan dalam pemerintahan. Terutama harus memahami ajaran-ajaran klasik Konfusius, oleh karena itu bakufu dan para daimyō mulai mendirikan tempat-tempat pendidikan dimana hal-hal tersebut dapat dipelajari. Terdapat lima belas tempat-tempat pendidikan yang didirikan pada tahun 1700.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa adanya pergeseran sasaran kesetiaan bushi dari tuan kepada keshogunan dalam zaman Edo


(35)

(1603-1868) di Jepang. Shido sebagai etos pengabdian diri yang didasarkan pada prinsip gorin (etika Konfusionis yang berisikan lima macam hubungan antar pribadi) telah bekerja dalam lembaga moralitas giri dan chu. Konsep chu membawa pengertian balas budi kepada shogun dalam loyalitas bertingkat, dan konsep giri berubah makna menjadi giri yang membalas kebaikan kepada tuan setulus hati yang memperhitungkan untung dan ruginya. Dengan demikian rasa berhutang anak buah terhadap atasan tertumpu pada puncak birokrasi yaitu kesogunan. Hal inilah yang mengakibatkan perubahan kesetiaan kesetiaan anak buah kepada tuan menjadi kepada keshogunan (Situmorang, 1995:83).

2.3 Setting Novel “Pembunuhan Sang Shogun”

Abrams dalam Nurgiyantoro (1995:216) mengatakan bahwa latar atau setting yang disebut juga landasan tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.

Nurgiyantoro (1995:227) mengungkapkan bahwa unsur latar dapat dibedakan kedalam tiga unsur pokok yaitu tempat, waktu dan sosial. Ketiga unsur itu walau masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan sendiri, pada kenyataannya salaing berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya.

2.3.1 Latar Waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut


(36)

biasanya dihubungkan dengan waktu yang faktual. Latar waktu juga harus dikaitkan dengan latar tempat dan latar sosial sebab pada kenyataannya memang saling berkaitan. Latar waktu dalam novel ini adalah pada awal zaman Edo yang terjadi sekitar tahun 1603. Novel yang diterbitkan dalam cetakan pertama di tahun 2010 ini membawa kita kembali pada cerminan masyarakat pada zaman itu.

2.3.2 Latar Tempat

Latar tempat mengindikasikan terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama yang jelas. Penggunaan latar tempat dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan, atau tidak bertentangan dengan sifat dan keaadaan geografis tempat yang bersangkutan. Deskripsi tempat secara teliti dan realistis ini penting untuk mengesani pembaca seolah-olah hal yang diceritakan itu sungguh-sungguh ada terjadi yaitu di tempat dan waktu seperti yang diceritakan itu. Latar tempat pada novel “Pembunuhan Sang Shogun” ini tepatnya adalah di kota Edo, pusat pemerintahan Tokugawa Ieyasu pada masa itu. Kota Edo adalah tempat dimana masyarakat kota benar-benar bertindak sebagaimana orang kota yang feodal, individual, materialistis. Di kota ini juga lah Tokugawa membangun kastil sebagai kantor pemerintahannya.

2.3.3 Latar Sosial

Latar sosial adalah hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat disusatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara


(37)

kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks, dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir dan bersikap dan lain-lain. Disamping itu, latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah atau atas. Di dalam novel “Pembunuhan Sang Shogun” ini tercermin jelas adanya diskriminasi akibat dari pengelompokan masyarakat menurut kelas sosial itu sendiri.

2.4 Biografi Pengarang Novel “Pembunuhan Sang Shogun”

Biografi pengarang adalah salah satu unsur ekstrinsik dalam suatu karya sastra. Pengarang merupakan unsur ekstrinsik yang paling berpengaruh akan bangun cerita dari sebuah karya fiksi. Walaupun unsur ekstrinsik bukan merupakan unsur yang membangun cerita dari dalam karya sastra itu sendiri tetapi keberadaan unsur ekstrinsik dalam hal ini pengarang secara tidak langsung dapat mempengaruhi hasil dari karya sastra fiksi tersebut.

Pengarang novel “Pembunuhan Sang Shogun” ini adalah Dale Furutani. Ia lahir di Hilo, Hawaii, Pada 1 Desember 1946. Dale Furutani adalah generasi ketiga Jepang-Amerika, atau disebut juga sansei. Keluarganya berasal dari Pulau Oshima, selatan Hiroshima. Kakek dan neneknya datang dari Hawaii pada 1896 sebagai pekerja di sebuah pabrik gula, tetapi kakeknya memutuskan kontrak karena bisnis ikan yang digelutinya lebih berhasil.

Ketika berusia enam tahun, Dale kecil diadopsi oleh John Flanagan, dan mereka pindah ke California. Laki-laki yang mengadopsinya ini tidak diberkahi


(38)

kecerdasan intelektual. Dale masih ingat saat John mengatakan kepadanya dengan penuh rasa malu kalau IQ-nya hanya 75. Bahkan sebagai seorang anak kecil, Dale tahu rasa malunya akan angka itu sangat tidak adil dan tidak diharapkan.

John bekerja di perkapan. Saat itu tidak banyak yang bisa dikerjakan di laut kecuali membaca. Ia tumbuh menjadi seseorang yang suka membaca meski itu bukan perkara mudah baginya. Dale masih ingat saat John duduk di meja dapur di rumah pada suatu sore, dengan buku atau majalah di hadapannya dan sebuah kamus untuk anak SMP. Dengan begitu, John bisa mengartikan kata yang tidak dipahaminya.

Karena John berusaha begitu keras, Dale paham kalau membaca dan juga menulis adalah sesuatu yang sangat penting. Buku-buku yang ditulisnya adalah hasil dari wujud kecintaannya membaca yang kemudian membuat Dale mencintai menulis.

Di california, pengalaman buruknya adalah memdapata perlakuan rasialis dari teman-teman sekelasnya karena dia satu-satunya orang Asia di sekolahnya. Hal itu tidak menghalangi Dale muda untuk melambungkan imajinasinya.

Dia mendapat gelar akademis di bidang penulisan kreatif dari California State Universit, Long Beach, dan gelar MBA di bidang pemasaran dan sistim informasi dari UCLA. Pada tahun 1993, novel pertamanya, Death in Litle Tokyo, meraih Anthoni Award dan Macavity Award untuk Novel Misteri Debutan terbaik.


(39)

BAB III

KESETIAAN TOKOH KAZE DALAM NOVEL “PEMBUNUHAN SANG

SHOGUN” KARYA DALE FURUTANI

3.1 Sinopsis Cerita

Cerita novel ini terjadi pada awal zaman Edo. Kota Edo yang baru memasuki tahap perkembangannya menuju kota pusat dari pemerintahan Tokugawa, Shogun pada masa itu. Kaze, seorang samurai yang tidak bertuan yang sedang melaksanakan kesetian terakhirnya kepada tuannya dengan mencari putri tuannya yang diculik. Kaze dituduh sebagai orang yang menembakkan bedil saat shogun Tokugawa Ieyasu melakukan tinjauan ke kastil Edo yang sedang dibangun. Pastinya dituduh mencoba membunuh Shogun. Kastil itu akan dibangun sesuai keinginan sang shogun, yang akan dibuat sebagai tembok pertahanan pada masa pemerintahannya di Edo. Selain menjadi kastil pemerintahan, tembok kastil ini juga yang akan melindungi shogun beserta keluarganya dari sifat kesetiaan para samurai(bushi) dari daimyo. Demikian pemikiran sang shogun, jikalau bushi anak buah setia melewati batas hidup dan mati tuannya, maka diragukan bahwa tuan wilayah akan tetap kuat. Sehingga kemungkinan suatu saat para daimyo yang tidak suka dengan pemerintahannya atau yang sebelumnya menjadi musuhnya pasti akan menyerangnya.

Kaze dituduh sebagai orang yang mencoba membunuh shogun karena Kaze berada pada tempat yang salah pada saat peristiwa penembakan tersebut. Kejadian itu membuat salah satu samurai shogun yang bernama Nakamura terbunuh karena tembakan itu meleset dan mengenainya. Begitulah perkiraan


(40)

semua pihak akan pelaku percobaan pembunuhan itu. Pada saat kejadian penembakan itu Kaze memang berada disana dan sedang mencari penghidupan sebagai seorang seniman jalanan. Itulah yang membuat anggapan semua pihak untuk Kaze sebagai orang yang paling memungkinkan untuk melakukan percobaan pembunuhan itu. Sama halnya dengan dugaan para pengawal shogun.

Mulai saat itu, Kaze adalah orang yang paling dicari di seluruh Edo, ibukota Jepang pada saat itu. Dari gambar wajahnya yang disebar di seluruh Edo hingga penyergapan yang beberapa kali didapatinya yang hampir merenggut nyawanya menandakan bahwa Kaze adalah buronan shogun. Sungguh menderitanya Kaze pada saat itu. Namun sebagai seorang samurai, Kaze menghadapinya dengan tegar dan sabar. Hal ini dicampur aduk dengan misi utamanya mencari putri dari tuannya yang dibawa ke Edo oleh musuh saat klan Kaze kalah dalam perang Sekigahara.

Dalam penyamarannya sebagai pemain kabuki, Kaze menghindari kejaran para samurai sang Shogun. Ia juga harus berjuang membuktikan dirinya bukanlah pembunuh, menunggu waktu yang tepat untuk menyelesaikannya. Sekaligus menyelamatkan sang putri, Kiku-chan.

Dengan petunjuk yang Kaze dapatkan dari beberapa interaksinya di kota Edo, Kaze mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menemukan tuan putri, sembari menyamar dari kejaran pihak shogun. Pertarungan pedang sebagai seorang samurai yang ahli pedang pun sering dihadapinya. Bukti kesetiaannya kepada tuannya ditunjukkan dengan melakukan apa saja, diantaranya dengan menurunkan kelasnya sebagai seniman jalanan, sebagai pemain kabuki, sebagai gelandangan, hingga sebagai seorang hidung belang yang pergi ke rumah bordil


(41)

demi mencari Kiku-chan. Kesetiaan samurai untuk menjaga keutuhan keluarga apabila salah seorang anggota keluarga tuannya yang masih hidup ditawan, ataupun diculik. Setelah dengan perjuangan berat, ia pun berhasil menemukan tuan putrinya di rumah bordil di kota Edo. Ia mendapati Kiku-chan dipekerjakan sebagai pelacur yang menemani Kaze pada saat penyamarannya itu. Sungguh pertemuan yang sangat memilukan. Kaze menenangkan tuan putrinya, membawanya pulang, yang sebelumnya Kaze rela dipukuli tanpa perlawanan oleh pengawal rumah bordil tersebut asalkan kesepakatan dengan pemilik usaha bejat itu berujung pada pulangnya Kiku-chan.

Setelah selesai dengan misinya yang utama, Kaze pun harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah kepada Shogun. Dengan kata lain, Kaze harus menunggu saat yang tepat untuk bertemu kepada shogun. Tentu bukanlah hal yang mudah bertemu dengan orang nomor satu di Jepang itu. Dengan melalui pengamatan, pengintaian, hingga pada saat memata-matai shogun, Kaze pun berada pada percobaan pembunuhan kedua, dimanan Kaze lah yang melumpuhkan penembak yang bersiap membidik ke arah Shogun. Pada saat itu pula, Kaze berada dihadapan orang yang mecarinya selama ini, yaitu Tokugawa. Keterkejutan shogun dan para pengawal saat menemukan hal baru ini, menuju pada suatu kesimpulan bahwa salah satu pengawal shogun yang bernama Yoshida lah dalang dari semua ini.

Setelah semuanya terbukti, Tokugawa Ieyasu menghapus nama Kaze dari daftar pencariannya. Nama Kaze pun bersih di Edo dan ia kembali pada kehidupannya seperti layaknya seorang samurai yang mungkin nantinya akan mengambil jalan terhormat dengan merobek perutnya di depan kuil makam


(42)

tuannya sebagai kehormatan baginya. Mati sebagai samurai dengan tercapainya tugas terakhirnya yang merupakan wujud kesetiannya kepada tuannya.

3.2 Kesetiaan Kaze dalam Novel “Pembunuhan Sang Shogun” Karya Dale Furutani

Pada bagian ini akan diungkapkan analisis kesetiaan tokoh Kaze pada novel “Pembunuhan Sang Shogun” karya Dale Furutani terlebih di dalam masyarakat kota Edo. Dalam novel ini banyak membahas pola interaksi atasan dan bawahan ataupun sebaliknya dalam proses pembentukan karakteristik tokoh Kaze terhadap lingkungannya serta menunjukkan bagaimana peranan kondisi sosial suatu masyarakat di dalam pembentukan karakteristik seseorang.

Dalam novel ini terungkap beberapa contoh pola interaksi yang sangat kompleks baik itu secara keseluruhan cerita maupun dalam beberapa tindakan atau perilaku.

Cuplikan 1, Bab 2 (Kejutan Saat Kunjungan)

“ Wajah lelaki (Kaze) ini seperti wajah seorang ronin. Tapi, tidak mudah bagi sang kapten untuk membayangkan seorang samurai sejati akan turun derajatnya dan menjadi seorang seniman jalanan...entah apakah yang ada ronin ini mengalami peristiwa kemunduran yang sangat tragis dari posisinya yang terdahulu...

Para penonton bertepuk tangan dengan meriah dan panjang dan beberapa orang melemparkan kepingan uang di atas sehelai kain yang dibentangkan di kaki lelaki itu. Lelaki itu menundukan kepalanya sebagai bentuk terima kasihnya dan atas


(43)

tepuk tangan. Kemudian ia menatap sang kapten patroli kota Edo dan tersenyum...”

Analisis

Pada cuplikan cerita di atas, terlihat bahwa seorang Kapten yag menjadi samurai salah satu daimyo melihat di hadapannya seorang yang dulunya samurai yang rela menurunkan kelasnya menjadi seorang seniman jalanan. Sang kapten tidak bisa membayangkan seorang samurai sejati akan turun derajatnya menjadi seorang yang jauh dibawahnya. Seorang seniman jalanan yang bermain pedang dengan gasing di kerumunan banyak orang di kota Edo. Setelah dia melakukan atraksinya, orang-orang akan melempar uang recehan kepadanya.

Hal itu terjawab dengan satu alasan yang ada dalam benak kaze yang dianggapnya sebagai tugas suci. Tugas terakhir yang harus dilaksanakannya dengan mencari putri tuannya yang diculik dan dibawa ke Edo. Dalam melaksanakan misinya itu Kaze tentunya perlu penghidupan dengan caranya yang hina di mata samurai seperti ini. Sebenarnya Kaze pun tidak ingin hidup lagi di dunia yang tidak dihuni oleh Tuannya ini. seharusnya ia mengambil jalan terhormat dengan mengakhiri hidupnya mengikuti kematian tuannya. Namun Kaze harus menemukan putri tuannya terlebih dahulu.

Dalam cuplikan cerita diatas, terlihat bentuk kesetiaan Kaze terhadap tuannya dalam interaksinya dengan masyarakat Edo yang tidak perduli dengan status sosilnya saat itu. Dimana dalam Situmorang (1995:62) bahwa kelompok masyarakat selalu didasarkan pada Ie, pemikiran seperti ini dimulai pada kelompok bushi, yang diikuti oleh kelompok lainnya. Untuk memantapkan


(44)

kedudukan dan golongan kelompok diwujudkan dalam cara berbahasa maupun cara berpakaian. Oleh karena itu zaman Edo disebut juga sebagai zaman dimana masyarakat benar-benar menyadari golongan.

Cuplikan 2, Bab 5 (Tiba di Edo)

“Sebagai seorang yang lebih senang menutup diri, Kaze merasakan bahwa dirinya sebenarnya menikmati kesibukan kota ini untuk beberapa alasan. Ada sesuatu yang menular dari energi, rasa ingin tahu, serta optimisme Edokko yang tidak pernah ia sadari sebelumnya bahwa itu dibutuhkannya dan menjadi angin segar baginya. Itu karena selama beberapa tahun ini ia menghabiskan waktu kesendirian menyelesaikan tugas yang sulit.

Hampir selama tiga tahun, Kaze mencari putri tuannya. anak itu sekarang usianya sembilan tahun dan Kaze tahu kalau anak itu dikirim ke Edo dari Kamakura. Kaze bahkan tahu ke mana bocah itu dikirim. Edo Yakusa Kobanaya, “Rumah Bordil Bunga Kecil Edo”....

Analisis

Dari cuplikan cerita novel di atas terlihat keunikan dari tokoh Kaze. Dimana ajaran kesetiaan bushi yang dikombinasikannya dengan kesebaran diri dalam wataknya. Dia menunggu waktu yang tepat untuk melakukan tugas yang diperintahkan tuannya, namun tidak berpikir untung atau rugi terhadapnya. Satu pikiran yang ada dalam benaknya yaitu mencari putri tuannya. Boleh dikatakan bahwa setiap langkah dalam perjalanan hidupnya selama tiga tahun pencariannya hanya telintas dan terngiang di pikirannya untuk melaksanakan tugas itu. Suatu


(45)

bentuk kesetiaan yang terakhir dilakukannya terhadap tuannya. Sungguh kesetiaan yang unik dan luar biasa.

Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Sagara dalam Situmorang (2006:103) kesetiaan bushi dalam melaksanakan pengabdian dirinya kepada tuannya tidak boleh menunggu waktu. Maksudnya adalah apabila menunggu waktu akan disebut dengan bushi pengecut. Kemudian apabila menunggu sampai bertahun-tahun, berarti sudah sempat memikirkan untung rugi jikalau melakukan perintah tuannya.

Cuplikan 3, Bab 7 (Benih Kebencian di Masa Lalu)

(Di masa hidup Tuan/Daimyo yang menjadi atasan Kaze, terjadi pecakapan antara Kaze dengan Tuannya untuk menanyakan alasan Kaze memukuli tamu tuannya, anak seorang daimyo lain yang bernama Okubo)

Tuan : Okubo Muda mengeluh karena kau memukulinya Kaze : memang saya yang memukulinya tuan

Tuan : kenapa kau memukulinya?

Kaze : Tuan Okubo muda mengikat seekor anjing di panci panas berisi air berniat untuk merebusnya hidup-hidup

Tuan : jadi, menyiksa anjing mu? Kaze : itu bukan anjing saya, Tuan Tuan : itu bukan anjing mu?

Kaze : Bukan, Tuan. Saya kira mungkin itu anjing liar.

Tuan : Kalau begitu kenapa kau bersemangat untuk melindunginya? Apa kau tahu kalau beberapa daimyo berburu anjing, menembaknya dari


(46)

punggung kudadengan busur dan anak panah? Kaze : Ya, Tuan

Tuan : Lalu, kenapa kau memukuli anak daimyo itu kalau dia melakukannya? Kaze : Mungkin tidak, Tuan.

Tuan : Kenapa tidak?

Kaze : karena itu bukan kekejaman yang dilakukan yang dilakukan atas dasarkekejaman semata. Saya diajarkan bahwa semua mahluk hidup akan mati, termasuk manusia. Kematian itu tidak bisa dihindarkan oleh apapun. Cara untuk mati itulah yang penting. Direbus hidup-hidup untuk memberikan kesengan pada pihak lain bukanlah cara mati yang baik, bahkan untuk seekor anjing sekalipun. Klan kita tidak pernah memperlihatkan kekejaman seperti itu. Tuan Muda Okubo adalah daimyo di masa datang, tapi dia juga tamu klan kita. Dia seharusnya tunduk pada kebiasaan klan kita. Itu termasuk tidak menyakiti untuk alasan yang tidak penting, bahkan pada seokor anjing.

Tuan : Tak diragukan lagi di Klan Okubo memiliki kebiasaan sendiri. Kau pikir kenapa Okubo mengeluh kepadaku tentang kau yang memukulinya? Kaze : Supaya saya berada dalam masalah karena dia kalah...

Tuan : Sampaikan semua yang ada dalam kepalamu!

Kaze : Baik, Tuan. Saya yakin Tuan Okubo mengadu pada Tuan karena dia belum dilatih bushido, jalan hidup seorang kesatria. Seorang kesatria


(47)

Analisis

Sebagai seorang samurai yang menjujung tinggi nilai-nilai bushido, harus pasrah menerima takdirnya sebagai anak buah. Dia harus menerima keputusan apapun dari tuannya atas kesalahan maupun pengabdiannya.

Disituasi ini, terbersit rasa malu yang terlihat di wajah Kaze karena memukuli anak daimyo lain yang menjadi tamu tuannya pada saat itu. Namun sebagai seorang samurai di klan tuannya, Kaze setia dan tunduk kepada kebiasaan Klan tuannya tersebut.

Pada cuplikan dari cerita novel di atas, terlihat pada kasus seperti ini seharusnya Kaze dihukum. Itu merupakan tanggung jawab karena telah melakukan kesalahan yang membuat malu Tuan, bahkan seluruh klannya pada akhirnya. Namun Kaze tidak jadi dihukum karena dia melakukan itu untuk menunjukkan kalau saju kebiasaan dan sikap dari klannya tidak dipatuhi orang lain, bahkan anak daimyo sekali pun. Kaze pun tahu tuannya punya kuasa atas hidup dan mati Kaze,keluarga Kaze dan semua orang di daerah kekuasaan tuannya. karena itulah bentuk kesetiaan Samurai terhadap Tuannya. Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam Situmorang (1995), dikatakan bahwa salah satu sikap yang harus dimiliki oleh bushi didalam mewujudkan moral pengabdian diri adalah kejujuran. Yaitu tidak mengubah kepatuhan terhadap pengabdiannya. Tidak dipengaruhi oleh keakraban, memperbaharui apa yang harus diperbaharui, membenarkan apa yang harus dibenarkan. Tidak boleh mengambil muka, dan tidak boleh mengikuti perasaan duniawi.


(48)

Cuplikan 4, Bab 17 (Pengakuan Seorang Gadis)

Terjadi percakapan antara Kaze dengan seorang gadis bernama Momoko. Momoko adalah gadis yang bekerja untuk teman lama Kaze tempat Kaze tinggal sementara di Edo.

Momoko : Aku akan pergi denganmu

Kaze : Tidak, kau tetap disini saja. Aku akan kembali lagi karena harus menyelesaikan urusanku di Edo. Itu adalah sumpah suci dan aku harus memenuhinya. Tapi, sebelum melakukan itu aku harus berpikir dan harus sendirian untuk sementara waktu...sudah menjadi karmamu untuk tinggal disini, bukan berkelana dengan ku

Momoko : Tapi...

Kaze : aku akan kembali dalam beberapa hari....

Analisis

Dari cuplikan di atas dapat dilihat bahwa ada seorang wanita yaitu Momoko yang menaruh hati kepada Kaze. Momoko berharap bisa mendampinginya dalam segala perkaranya.

Kaze menolak permintaan Momoko dengan halus untuk tidak melukai hati seorang wanita yang perhatian kepadanya. Tidak bisa dipungkiri, seorang ronin adalah manusia biasa yang tidak menutup kemungkinan untuk berhubungan dengan lawan jenisnya. Menjalin asmara, menikah dan berketurunan merupakan hal yang harus dialami setiap samurai. Namun kaze telah memilih jalan hidupnya dengan berkelana sendiri menjalankan tugas yang diperintahkan tuannya. Jalan


(49)

untuk menjalankan kesetiaan terhadap tuannya lebih penting dibandingkan membangun lembaran baru dengan seorang gadis.

Cuplikan 5, Bab 19 (Teman Baru)

Terjadi percakapan antara Kaze dengan Bos Nobu, seorang tangan kanan bandar judi di kota Edo.

Nobu : kau memang iblis, Matsuyama san...(berkata sambil tersenyum kagum) tidak sehat berpikir seperti itu, bawahan yang berpikir akan melawan atasan itu artinya tidak setia.

Kaze : (kaze membuat perbandingan untuk dipertimbangkan Nobu)Nobunaga menyingkirkan Imagawa. Ieyasu, sekutu Imigawa, bergabung dengannya untuk meraih kepentingan mereka. Akechi, sekutu Nobunaga, membunuhnya. Hideyosi mengatakan ia membalaskan dendam kematian Nobunaga. Tapi akhirnya dia digantikan kedudukannya oleh anak lelaki Nobunaga sebagai penguasa Klan mereka dan penguasa Jepang. Ieyasu adalah daimyo utama Hideyoshi, tapi dia melawan anak lelaki Hideyoshi dan sekarang memerintah sebagai Shogun.

Nobu : Lalu bagaimana denganmu? Apa kau setia pada tuanmu?

Kaze : Ya, Tapi aku agak kuno. Itu hanya diriku saja. Tidak berarti kalau kau harus seperti itu.

Nobu : Kau memang iblis (sambil tersenyum karena kekagumannya) Kaze : Mungkin, tapi mungkin juga iblis yang masuk akal, Bos Nobu....


(50)

Analisis

Dalam cuplikan percakapan di atas, seorang tangan kanan bandar judi di Edo yang kagum akan kesetiaan samurai ini. Kaze telah dianggapnya sebagai orang yang istimewa, bekas samurai yang setia menjalankan tugas dari tuannya yang sudah meninggal.

Dalam cuplikan ini terlihat, Kaze memberikan pengajaran kepada rekannya ini tentang kesetiaan yang diterapkan oleh orang-orang besar hanya untuk unsur kepentingan. Mereka mengabdi ataupun bergabung satu sama lain dengan tujuan mendapatkan kedudukan dengan strategi yang mengatasnamakan pengabdian. Tidak halnya dengan Kaze yang memberikan seluruhnya kesetiaan mutlak kepada tuannya meskipun dianggap kuno pada masa itu.

Cuplikan 6, Bab 20 ( Membebaskan si Gadis Kecil)

Terjadi percakapan di rumah bordil Bunga Kecil dengan seorang mucikari yang disebut Jitotenno dimana transaksi yang blak-blakan dengan para hidung belang lainnya, layaknya lelang pelacur.

Kaze : Kudengar kalian melayani, eh, selera khusus di tempat ini. Selera segar. Muda

Jitotenno : Yah benar, Tuan. Tapi, Anda harus tahu kalau hiburan macam itu mahal tarifnya. Saya yakin tamu-tamu terhormat kami sangat mampu. Tapi karena anda belum pernah datang kesini sebelumnya, saya ingin menyarankan Anda untuk menonton hiburan malam hari yang menyenangkan...


(51)

Jitotenno : untung sekali Tuan datang sekarang, kami akan memperlihatkan pertunjukan.

Kaze : pertunjukan...?

(kaze melihat putrinya meniup seruling dalam pertunjukan yan mempertontonkan anak-anak untuk dijadikan pemuas nafsu para hidung belang)

Jitotenno : Kuharap Anda telah menemukan orang yang membuat anda senang tinggal di tempat kami

Lelaki 1 : Aku pilih peniup seruling mu, aku akan ambil dia....

Kaze : Aku bayar dua kali lipat (mengeluarkan uang dalam kantong serta menguncang-guncangnya )

Lelaki 1 : Kalau kau mengijinkanku berutang , aku akan tambah lagi

Analisis

Kaze adalah samurai dari Klan yang terhormat dan juga memiliki kebiasaan yang terhormat pula. Dengan kebiasaan yang terhormat ini Kaze tentu sangat menghargai kedudukan seorang wanita yang telah melahirkannya. Terlebih lagi yang tidak memungkinkan baginya mengukur harga diri seorang wanita itu dengan uang. Bagi Kaze, mengeluarkan kantung uangnya dan mengguncang-guncangnya adalah kebiasaan yang tidak pernah dibayangkan untuk sesuatu yang dianggapanya sangat kasar dan hina ini. Tapi, Kaze merasa di tempat yang seperti ini hal semacam itu pantas dilakukan.

Dalam cuplikan cerita novel di atas ditunjukkan bahwa kesetiaan Kaze diuji dengan membawakan dirinya dalam lingkungan yang penuh dengan


(52)

kebejatan, kegilaan dengan menganggap perempuan yang berusia tidak pantas untuk menjadi pelacur. Ia rela menjadi orang yang dianggap hina di mata masyarakat dengan pergi kerumah bordil layaknya hidung belang yang sakit jiwa membiarkan anak-anak memuaskan nafsunya. Kaze tidak perduli dan bahkan ada kelegaan dalam hatinya yang telah tercapai menemukan putri tuannya meskipun hatinya hancur. Tidak hanya karena membayangkan barisan anak baru yang datang ke rumah bordil ini, tetapi juga membayangkan jikalau posisinya digantika oleh tuannya yang berada di tempat itu.

Kesetiaan Kaze telah dibuktikan dengan menemukan putri tuannya. kesetiaan yang sedikit membanggakan baginya namun sebuah kebanggaan bagi tuannya di alam sana.

Cuplikan 7, Bab 20 (Membebaskan si Gadis Cilik)

Terjadi percakapan antara Jitotenno dengan Kaze saat ingin menyelesaikan urusana pembayaran atas pelayanan yang diberikan Kiku-chan, putri dari tuannya Kaze.

Jitotenno : Sumimasen! Ohayou gozaimasu! Selamat pagi. Boleh kami masuk? Kaze : Masuklah

Jitotenno : Semoga Anda mengalami malam yang menyenangkan. Kaze : Sangat memuaskan

Jitotenno : Bagus. Pelayan akan melayani sarapan pagi Anda. Saya akan mengajak Kiku-chan pergi dan kembali lagi saat Anda sudah selesai sarapan.


(53)

Jitotenno : Sekarang mungkin Tuan ingin menyelesaikan urusan pembayarannya.. Kaze : Tentu saja (sambil menyerahkan sebuah kantung kain berisi kepingan

uang)

Jitotenno : Pasti ada kesalahan, Sebagian besar uang di kantung ini adalah uang tembaga. Hanya tiga keping uang emas. Anda bilang akan membayar dua kali lipat dari tarif Kiku-chan. Uang di kantung ini bahkan tidak sanggup membayar tarif biasanya.

Kaze : Maafkan aku, hanya ini uang yang aku miliki.

Jitotenno : Masuk, (dua orang penjaga yang bertubuh besar, berotot dan bertampang sangar langsung masuk ke dalam kamar) ....Hajar anjing ini...! Kalau kalian selesai menghajarnya, buang ia ke jalan. Kalau ia berani kembali kesini, bunuh dia.

(Para pengawal pun menyeretnya ke jalanan. Setelah menyarangkan beberapa tinju dan tendangan ke tubuh Kaze yang tanpa perlawanan, salah seorang pengawal berkata pada beberapa pedagang dan pejalan kaki yang berhenti untuk menonton.)

Pengawal : Lelaki ini tidak punya uang untuk membayar tagihannya.

(Kaze berjalan mendekati seorang lelaki tinggi besar yang berdiri di pintu sebuah toko. Ialah Nobu, pengawal Bandar Judi)

Kaze : Anak itu disana. Namanya Kiku-chan.

Analisis

Dari cuplikan cerita novel di atas menunjukkan bahwa rencana Kaze untuk menyelamatkan Kiku-chan sesuai dengan yang diharapkan. Kaze membiarkan


(1)

2. Melalui skripsi ini diharapkan agar novel tidak hanya dijadikan bahan bacaan seadanya ataupun sebagai alternative kesenangan, tetapi juga menjadi sumber pengetahuan. Kita sebagai pembaca layaknya berusaha untuk memahami makna serta nilai positif yang terkandung didalamnya dan dapat diterapkan dalam kehidupan nyata.

3. Skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan, mulai dari pemahaman konsep, penulisan, analisa maupun yang lain. Disarankan bagi pembaca dan mahasiswa yang ingin mengetahui atau meneliti budaya-budaya Jepang lainnya agar benar-benar memahami konsep budaya tersebut dengan baik dan benar dan didukung oleh data yang akurat.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 2000. Pengantar Apresiasi Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo. Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Media

Pressindo.

Fananie, Zainuddin. 2001. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiah University Press

Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta.

Fukutake, Tadashi. 1989. Masyarakat Pedesaan di Jepang. Jakarta: Gramedia. Furutani, Dale. 2010. Pembunuhan Sang Shogun. Bandung: Qanita.

Hartono, Dick. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia.

Koentjaraningrat. 1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. Luxemburg, Jan Van 1992. Pengantar Ilmu Sastra .Jakarta : PT. Gramedia

Pustaka Utama

Nawawi, Hadari. 1991. Metode Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadja Mada. Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadja Mada

University Press.

Pradopo, Rahmat Djoko. 2001. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Gajah Mada

Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Situmorang, Hamzon. 2006. Ilmu Kejepangan 1. Medan: USU Press.

Situmorang, Hamzon. 1995. Perubahan Kesetiaan Bushi dari Tuan Kepada Keshogunan dalam Zaman Edo (1603-1868) di Jepang . Medan: USU Press.


(3)

Wallek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia.

Zen, Yala Awlya Perkasa. 2005. Skripsi Analisis Psikologis Tokoh dalam Cerpen Hana Karya Akutagawa Ryunosuke. Medan: Departemen Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.

http://id.wikipedia.org/wiki/Sastra

http://skripsi-konsultasi.blogspot.com/2009/07/pendekatan-sosiologi-sastra-sebagai.html

http://nurrohim.wordpress.com/2010/05/18/zaman-edo-edo-jidai/


(4)

要旨

よ う し

DALE FURUTANIの作品

さくひん

の“将 軍

しょうぐん

の殺害さつがい

の小 説

しょうせつ

におけるカゼという主人公しゅじんこう の 忠 実

ちゅうじつ

の分析ぶんせき 文化

ぶ ん か の要素よ う そ

の一ひと

つは言語げ ん ご

である。言語げ ん ご

はいつも人間にんげん の生活せいかつ

にあるものである。 文学

ぶんがく

の作品さくひん は言語げ ん ご

または文化ぶ ん か

にある人間の考かんが

えたことである。ある文学ぶんがく の作品さくひん

はもし、 形

かたち と中身な か み

が適合てきごう

する場合ば あ い

、それは文学ぶんがく の価値かち

があると言い

える。また、言語構造げんごこうぞう

がよくて、 話

はなし

の順 番じゅんばん や中身な か み

は読者達どくしゃたち

には、呆あき

れて、感激かんげき

させることができる。 ある文学ぶんがく

の作品さくひん

にある主人公しゅじんこう

の忠 実ちゅうじつ

について話はな

していると、その文学ぶんがく の作品さくひん の外要素がいようそ

について話はな

しているわけである。文学ぶんがく の作品さくひん

では、その文学ぶんがく の作品さくひん

にない要素よ う そ はとにかく、話はなし

の構造こうぞう に対たい

して、影 響えいきょう を与あた

えている。このようなフィクションの文学ぶんがく の作品さくひん

にある主人公しゅじんこう

の忠 実ちゅうじつ

は社会学的しゃかいがくてき な視点し て ん

とセミオティックの視点し て ん から見み たものである。だから、作家さ っ か

によって書か

かれた話はなし

の順 番じゅんばん

と主人公しゅじんこう は互たが

いに適合てきごう している。それに対たい

して、この小 説しょうせつ

では、主人公しゅじんこう

の忠 実ちゅうじつ

がキャラクターから見み

られる。 社会学的

しゃかいがくてき な視点し て ん

から見み

ると、文学ぶんがく

は基本的きほんてき に社会しゃかい

の描 写びょうしゃ

である。文学ぶんがく とは、メッセージに伝達でんたつ

された言語げ ん ご の 美うつく

しさを含ふく

んでいる人間にんげん の気持きも

ちまたは考かんが えたことで表 現ひょうげん

された芸 術げいじゅつ

である。作品さくひん

によって、ある作家さ っ か

は読者達どくしゃたち

に主人公しゅじんこう が感かん じたりしたりしたことを伝達でんたつ

するだけではなく、作家さ っ か

が読者達どくしゃたち

にもどのような道徳的どうとくてき な


(5)

メッセめっ せ ージじ

を伝達でんたつ

するのかも呼よ び掛か

けている。それに関かん

して、文学ぶんがく の作品さくひん

は一般的いっぱんてき に、フィクションとノンフィクションと分わ

けられている。フィクションの例れい は例たと

えば、 小 説

しょうせつ

や短編たんぺん

やロマンスやエッセイや民話み ん わ

である。また、ノンフィクションの例れい は例たと

えば、 詩し

やドラマや歌うた

である。 ある文学ぶんがく

の作品さくひん

を建設けんせつ

するために、二ふた

つの影 響 力えいきょうりょく

のある要素よ う そ

がある。それは、 内要素

ないようそ

と外要素がいようそ

である。内要素ないようそ

とは、 内うち の 方ほう

から 文学ぶんがく

の 作品さくひん

を 建設けんせつ

する要素よ う そ である。また、ある小 説しょうせつ

の内要素ないようそ

とは、直 接ちょくせつ に 話はなし

を建設けんせつ

する要素よ う そ

である。例たと えば、 事件

じ け ん や 話はなし

や 話はなし

の順 番じゅんばん

やテーマや場所ば し ょ や 話はなし

の視点し て ん

や言葉遣ことばづか

いなどである。だが、外要素がいようそ とは、外そと

の方かた

から文学ぶんがく

の作品さくひん

を建設けんせつ

する要素よ う そ

である。例たと

えば、社会学的しゃかいがくてき な要素よ う そ

や 心理学的

しんりがくてき な要素よ う そ

などである。

将 軍

しょうぐん

の殺害さつがい”

という小 説

しょうせつ

は2000年ねん

にDale Furutaniによって書か かれた。 Dale Furutaniさんは1946ねん年

12月つき 01日にち

にHilo, Hawaii で生う

まれた。彼かれ は、日本に ほ ん

アメリカの第だい

3の世代せ だ い

である。あるいは、三世さんせい と言い

われている。家族か ぞ く は広島ひろしま

の 南 側

みなみがわ の小島こ じ ま

から来き

た。おじいさんとおばあさんは1896年ねん

に砂糖工場さとうこうじょう

での 働はたら く人ひと として Hawaiiから来た。だが、おじいさんはけいやく契約

を取と り消け

して、魚さかな を飼か

うビジネスに励はげ むことはもっと成功せいこう


(6)

この小 説しょうせつ

はカゼという主人しゅじん

のいない 侍さむらい

の生活せいかつ

について話はな

している。カゼは 主人

しゅじん に対たい

して、たいへん忠 実ちゅうじつ な 侍さむらい

である。それに対たい

して、主人しゅじん が亡な

くなってから、お 姫様

ひめさま を捜さが

しに行い

くことで忠 実ちゅうじつ な気持きも

ちを 表あらわ して続つづ

けている。彼かれ

は、指示しじ

のとおりに 江戸えど

(日本に ほ ん の新都し ん と

)に行い

った。運うん が悪わる

くて、合あ

っていない時じ 間 かん

と間違ま ち が

った場所ば し ょ にいたばかりに、将 軍しょうぐん

を殺ころ

してみたことで非難ひ な ん

されて、おたづねものになった。歌舞伎かぶき の 出 演 者

しゅつえんしゃ

として変装へんそう

することで、カゼは将 軍しょうぐん

の 侍 達さむらいたち

の追跡ついせき を逃のが

れた。彼かれ

は殺害者さつがいしゃ じゃないことを証 明しょうめい

しなければならなくて、お姫様ひめさま を危険き け ん

から脱 出だっしゅつ させ方かた

を捜さが

して 考かんが えている。カゼは本当ほんとう

に困難こんなん

な状 勢じょうせい

にある。この話はなし で、関せき

が原はら の戦争せんそう

のせいで、 徳川

とくがわ

の兵員へいいん

によって、主人しゅじん

がなくなった。主人しゅじん に対たい

して、武士ぶし

の自分奉仕じ ぶ ん ほ う し

と道徳的どうとくてき な 学 習

がくしゅう から学まな

んだ忠 実ちゅうじつ

である。それは例たと

えば、自分じ ぶ ん を奉仕ほ う し

したり、主人しゅじん が亡な くなったことで自殺じ さ つ

をしたり、主人しゅじん の敵てき

に遺恨い こ ん を晴は

らしたりする忠 実ちゅうじつ

である。 侍さむらい として、カゼが絶対ぜったい

しなければならない。また、主人しゅじん に対たい

して、最後さ い ご

の忠 実ちゅうじつ な気持きも

ちを 表

あらわ

すために、せめて強奪ごうだつ

されたお姫様ひめさま を捜さが

しに行い

くことで主人しゅじん の家族か ぞ く

の完全かんぜん を維持いじ した。それで、忠 実ちゅうじつ

な気持きも

ちを 表あらわ

すために、彼かれ は困難こんなん

な社会状態しゃかいじょうたい

でも、いくら苦くる しくてもずっとファイトした。

この小 説しょうせつ

は社会的しゃかいてき

なメッセージを伝達でんたつ

した。特とく

に、日本に ほ ん

にいる 侍さむらい

の忠 実ちゅうじつ であって、主人公しゅじんこう


Dokumen yang terkait

Analisis Psikologis Tokoh Utama Suguro Dalam Novel Skandal karya Shusaku Endo Endo Shusaku No Sakuhin No “Sukyandaru” No Shousetsu Ni Okeru Shujinkou No Shinrinteki No Bunseki

2 79 64

Analisis Konsep Kazoku Dalam Novel “Kitchen” Karya Banana Yoshimoto (Banana Yoshimoto No Sakuhin Daidokoro No To Iu Shosetsu Ni Okeru Kazoku Ni Gainen No Bunseki)

7 71 54

Analisis Psikologis Tokoh Utama Dalam Novel “1 Liter Of Tears” Karya Aya Kito Aya Kito No Sakuhin No “1 Rittoru Namida” To Iu Shosetsu Ni Okeru Shujinko No Shinrigakutekina Bunseki

4 68 81

Analisis Kesetiaan Samurai Dalam Novel Kaze Karya Dale Furutani

0 62 67

Analisis Nilai Pragmatik Dalam Novel “Norwegian Wood” Karya Haruki Murakami Haruki Murakami No Sakuhin “Noruwei No Mori” To Iu Shousetsu Ni Okeru Puragumatikku Kachi No Bunseki

0 1 8

Analisis Nilai Pragmatik Dalam Novel “Norwegian Wood” Karya Haruki Murakami Haruki Murakami No Sakuhin “Noruwei No Mori” To Iu Shousetsu Ni Okeru Puragumatikku Kachi No Bunseki

0 0 1

Analisis Nilai Pragmatik Dalam Novel “Norwegian Wood” Karya Haruki Murakami Haruki Murakami No Sakuhin “Noruwei No Mori” To Iu Shousetsu Ni Okeru Puragumatikku Kachi No Bunseki

0 7 8

Analisis Nilai Pragmatik Dalam Novel “Norwegian Wood” Karya Haruki Murakami Haruki Murakami No Sakuhin “Noruwei No Mori” To Iu Shousetsu Ni Okeru Puragumatikku Kachi No Bunseki

0 0 15

Analisis Nilai Pragmatik Dalam Novel “Norwegian Wood” Karya Haruki Murakami Haruki Murakami No Sakuhin “Noruwei No Mori” To Iu Shousetsu Ni Okeru Puragumatikku Kachi No Bunseki

0 0 2

Analisis Nilai Pragmatik Dalam Novel “Norwegian Wood” Karya Haruki Murakami Haruki Murakami No Sakuhin “Noruwei No Mori” To Iu Shousetsu Ni Okeru Puragumatikku Kachi No Bunseki

0 0 5