commit to user Ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 maupun Pasal
28 B Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945
httphukumonline.com , 30 Maret
2011, 15:15. Selama
ini, sebelum
keluarnya Undang-Undang
Administrasi Kependudukan Aminduk, pasangan beda agama biasanya menikah di luar negeri untuk menghindari Undang-
Undang Perkawinan yang melarang pasangan beda agama menikah. Tapi ada juga yang memakai cara penundukan sementara
pada salah satu hukum agama, yaitu pagi menikah sesuai agama laki-laki, siangnya menikah sesuai dengan agama perempuan.
2. Pengertian Perkawinan Beda Agama
Perkawinan beda agama terdapat beberapa pendapat dari para sarjana, yaitu :
a. Abdurrahman Yang dimaksud dengan perkawinan antar agama adalah :
“Suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang yang memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda antara satu dengan yang
lainnya.” Abdurrahman dan H Riduan Syahrani, 1978:20 Dari definisi di atas sangat jelas bahwa perkawinan tersebut
dapat dilakukan oleh orang-orang yang berbeda agama. Didalam Hukum Islam, terdapat dua pandangan mengenai perkawinan beda
agama yaitu menyatakan bahwa perkawinan beda agama dengan golongan musyrik dilarang haram. Pandangan kedua, dikenal adanya
perkawinan beda agama halal, hal ini didasarkan pada surat Al- Maidah ayat 5 yang menyatakan bahwa laki-laki Muslim boleh
mengawini wanita non Muslim, tapi tidak berlaku untuk sebaliknya.
b. R. Soetojo Prawirohamidjojo.
Mengemukakan mengenai perkawinan antar agama adalah : 1
Pandangan agama Kristen Katholik dalam hal Perkawinan beda agama antara penganut agama Islam dan penganut agama Kristen
commit to user adalah, bahwa gereja baik Katholik maupun Prostestan, tidak dapat
mengakui perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang Kristen Katholik dengan akad nikah menurut Hukum Islam.
2 Pandangan agama Islam adalah bahwa seorang pria Islam boleh
mengawini wanita-wanita ahlul kitab selain Islam akan tetapi tidak boleh sebaliknya, yaitu wanita Islam tidak boleh dikawini
oleh pria yang bukan Islam R. Soetojo Prawirohamidjojo, 1986:6. Dalam pandangan ini dikenal adanya perkawinan beda
agama halal, hal ini didasarkan pada surat Al- Maidah ayat 5 yang menyatakan bahwa laki-laki Muslim boleh mengawini wanita
non Muslim, tapi tidak berlaku untuk sebaliknya. Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak
mengatur masalah perkawinan beda agama tetapi secara tegas tidak melarang pelaksanaan perkawinan bagi orang yang berbeda agama,
karena Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur masalah perkawinan beda agama sehingga dalam Undang-
Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak ada definisi mengenai perkawinan beda agama.
“
But what we have seen are Muslims: good Muslims and bad Muslims; ugly Muslims and pretty Muslims; just Muslims and unjust
Muslims; Muslims who are oppressors, racists, bigots, misogynists, and criminals as well as Muslims who are compassionate, liberators, seekers of an end to racism and
sexism and those who aspire for global justice and equity. ”
Revd Dr John
Azumah,
Church Society in Asia Today • Vol 13 No 2 • August 2010
Pada umumnya, dalam hukum perkawinan setiap negara disyaratkan adanya pencatatan perkawinan setelah perkawinan
dilangsungkan. Keharusan pencatatan perkawinan merupakan syarat formil atau syarat administrasi di banyak negara.
Di Indonesia, berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan syarat sahnya perkawinan harus
berdasarkan hukum agama dan harus dilakukan pendaftaran
commit to user perkawinan di lembaga pencatatan perkawinan setempat. Sehingga
perkawinan yang dilakukan warga negara Indonesia di luar negeri dapat diakui sebagai perkawinan yang sah apabila telah di daftarkan di
lembaga pencatatan setempat dan mendapat surat bukti perkawinan. Selain adanya syarat pencatatan di negara setempat, hukum
perkawinan kita juga mensyaratkan setiap warga negara Indonesia yang melangsungkan perkawinan di luar negeri segera mendaftarkan
perkawinannya di lembaga pemerintah sekembalinya ke Indonesia. Bila kita lihat Pasal 56 1 UU Perkawinan dinyatakan
apabila terjadi perkawinan antar-warga negara Indonesia atau antar- warga negara Indonesia dengan warga negara asing di mana
perkawinan tersebut dilangsungkan di luar negeri, maka perkawinan tersebut dinyatakan sah apabila telah dilakukan berdasarkan hukum
perkawinan negara setempat sepanjang tidak bertentangan dengan hukum perkawinan Indonesia. Kemudian berdasakan Pasal 56 2 UU
Perkawinan menyatakan dalam waktu satu tahun setelah suami istri tersebut kembali ke Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus
didaftarkan di kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka. Jadi, untuk dapat diakuinya suatu perkawinan warga negara
Indonesia di luar negeri, maka berdasarkan hukum perkawinan harus memenuhi dua persyaratan terlebih dahulu yaitu;
1 perkawinan tersebut harus berdasarkan hukum perkawinan negara
setempat dan perkawinan tersebut harus didaftarkan di lembaga pencatatan untuk mendapat surat bukti perkawinan;
2 surat bukti perkawinan tersebut harus didaftarkan ke Kantor
Pencatatan Perkawinan setempat selambat-lambatnya satu tahun setelah suami istri tersebut kembali ke Indonesia.
Setelah kedua syarat tersebut dipenuhi maka perkawinan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia tersebut adalah sah dan
sama kedudukannya dengan perkawinan yang dilakukan di wilayah Indonesia. Sebaliknya, apabila kedua syarat tersebut tidak dipenuhi,
commit to user maka perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri tidak diakui oleh
negara karena tidak sesuai dengan hukum perkawinan yang berlaku. Dalam UU Perkawinan maupun peraturan pelaksanaannya
tidak diatur secara jelas mengenai perkawinan beda agama. Perkawinan antara mereka yang berbeda agama, harus memperhatikan
hukum agama masing-masing yang mengatur mungkin atau tidaknya perkawinan tersebut dilangsungkan. Oleh karena itu, pola pengaturan
yang dilakukan oleh UU Perkawinan ialah menyerahkan kepada hukum agama untuk menegakkan larangan perkawinan atau
menentukan kebolehan perkawinan tersebut, khususnya bagi mereka yang berbeda agama. UU Perkawinan dalam hal ini cenderung untuk
menyerahkan pengaturannya pada hukum agama, bagaimana menyikapi perkawinan antara mereka yang berbeda agama tersebut.
Namun demikian,
UU Perkawinan
secara implisit
mengaturnya, dan hal ini dapat terlihat dalam UU Perkawinan yang mengatur hal yang berkaitan dengan perkawinan antara pasangan yang
berbeda agama, yaitu: Berdasarkan Penjelasan Pasal 2 UU Perkawinan yang menyatakan bahwa: dengan perumusan pada pasal 2 ayat 1 ini,
tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945. Yang
dimaksud dengan
hukum masing-masing
agamanya dan
kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini.
Berdasarkan pasal 8 Undang-undang Perkawinan mengenai larangan perkawinan dimana dalam butir f pada pasal tersebut
dinyatakan sebagai berikut: Perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain
yang berlaku dilarang kawin Grace Gunawan, 20 Juni 2011, 9:55 Adapun Syarat-Syarat melangsungkan perkawinan diatur
dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 6 sampai dengan Pasal 7. Didalam ketentuan tersebut ditentukan dua
commit to user syarat untuk melangsungkan syarat-syarat Intern yaitu syarat yang
menyangkut pihak yang akan melaksanakan perkawinan. Syarat-syarat Intern itu antara lain perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua
calon mempelai. 1
Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 dua puluh satu tahun harus mendapat izin kedua orang
tua. 2
Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin
yang dimaksud ayat 2 pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan
kehendaknya. 3
Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin
diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas
selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya.
4 Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang dimaksud dalam
ayat 2, 3 dan 4 pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam
daerah tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin setelah lebih
dahulu mendengar orang-orang yang tersebut dalam ayat 2, 3 dan 4 dalam pasal ini.
5 Ketentuan tersebut ayat 1 sampai dengan ayat 5 pasal ini
berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Oleh karena perkawinan mernpunyai rnaksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai
pula dengan hak azasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh
commit to user kedua belah pihak yang melangsungkan Perkawinan tersebut, tanpa
ada paksaan dari pihak manapun. Ketentuan dalam pasal ini, tidak berarti mengurangi syarat-syarat perkawinan menurut ketentuan
hukum perkawinan yang sekarang berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-undang ini. Untuk menjaga kesehatan suami-istri dan keturunan, perlu
ditetapkan batas-batas umur untuk perkawinan. Dengan berlakunya Undang-Undang no 1 tahun 1974, maka ketentuan-ketentuan yang
mengatur tentang pemberian dispensasi terhadap perkawinan yang dimaksud pada ayat 1 seperti diatur dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata dan Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen S. 1933 Nomor 74 dinyatakan tidak berlaku:
1 Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19
sembilan belas tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 enam belas tahun.
2 Dalam hal penyimpangan dalam ayat 1 pasal ini dapat minta
dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.
3 Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua
orang tua tersebut pasal 6 ayat 3 dan 4 Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat 2
pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat 6.
Syarat ekstern, yaitu syarat yang berkaitan dengan formalitas- formalitas dalam perlaksanaan perkawinan. Syarat-syarat itu meliputi :
1 Harus mengajukan laporan ke Pegawai Nikah, Talak dan Rujuk;
2 Pengumuman yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat, yang
memuat : a
Nama, umur, agama atau kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai dan dari orang tua calon.
commit to user Disamping itu, disebutkan juga nama istri atau suami
terdahulu; b
Hari, tanggal, jam, dan tempat perkawinan dilangsungkan Sudikno Mertokusumo, 2001:62.
Setelah berlakunya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 telah terjadi Unifikasi di lapangan hukum perkawinan.
Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 66 menyatakan bahwa : Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-Undang ini, maka dengan berlakunya Undang-Undang ini ketentuan-ketentuan
yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Burgelijk Wetboek, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen Huwelijk
Ordonantie Christen Indonesia 1933 Nomor 74, Peraturan Perkawinan Campuran Regeling Op de Gemengde Huwelijken
Staatsblad 1898 Nomor 158, dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-
Undang ini, dinyatakan tidak berlaku. Akan tetapi, Unifikasi ini tidak bertahan lama dikarenakan
pada tahun 1991 dikeluarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, yang
didalamnya terdapat
ketentuan-ketentuan mengenai
hukum perkawinan bagi masyarakat Indonesia yang beragama Islam.
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak menutup kemungkinan bagi terjadinya perkawinan beda agama di
kalangan penduduk negara Indonesia dan masalah perkawinan beda agama ini dapat dijumpai pengaturannnya dalam bagian ketiga Bab
XII, Ketentuan-Ketentuan lain. Dari perumusan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974 Pasal 57 telah dipersempit pengertian perkawinan beda agama dan membatasinya hanya pada perkawinan antara seorang warga
negara Republik Indonesia dengan agama yang berbeda.
commit to user Dalam rangka memperoleh atau mendapatkan kepastian
terhadap kedudukan hukum perkawinan diperlukan adanya bukti-bukti autentik. Adapun bukti-bukti autentik perkawinan berupa Akta
perkawinan yang berhak mengeluarkan adalah Lembaga Catatan Sipil menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Victor M.Situmorang Cormentyna Sitanggang , 1991:9.
Munculnya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, walaupun tujuan undang-undang ini baik bagi semua warga
negara mengenai sahnya suatu perkawinan menurut hukum Negara, memberikan perlindungan bagi semua Warga Negara Indonesia WNI
memperoleh perlindungan melalui pencatatan perkawinannya sesuai dengan agama yang dipeluk masing-masing warga negara.
Pencatatan Sipil merupakan proses pencatatan peristiwa penting dalam kehidupan manusia. Proses tersebut dimulai dari
dokumen kependudukan meliputi : Prosedur dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil, 2009 : 3
1 Biodata Penduduk
2 KK Kartu Keluarga
3 KTP Kartu Tanda Penduduk
4 Surat keterangan kependudukan
a Surat Keterangan Pindah
b Surat Keterangan Pindah Keluar Negeri
c Surat Keterangan Datang dari Luar Negeri
d Surat Keterangan Tempat Tinggal
e Surat KeteranganTinggal Sementara
f Surat Keterangan Kelahiran
g Surat Keterangan Lahir Mati
h Surat Keterangan Kematian
i Surat Keterangan Perkawinan
j Surat Keterangan Perceraian
commit to user k
Surat Keterangan Pengganti Tanpa Identitas l
Surat Keterangan Pencatatan Sipil 5
Akta Pencatanan Sipil Dari segi Hukum Administrasi Negara bahwa pengeluaran
akta-akta oleh catatan sipil adalah suatu perbuatan administrasi negara dari suatu lembaga yang berwenang atau berhak melakukan perbuatan
administrasi negara yang berupa ketetapan yang berbentuk akta catatan sipil dari peristiwaperistiwa yang dilaporkan pada lembaga catatan
sipil, yang pada prinsipnya memenuhi sifat kongkrit, individual, formal dan final Victor M. Situmorang Cormentyna Sitanggang,
1991:13
3. Pengertian Penetapan