commit to user
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan adalah perilaku makhuk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan di alam dunia berkembang biak. Perkawinan bukan saja hanya
terjadi dikalangan manusia, tetapi juga terjadi pada tanaman tumbuhan dan hewan. Oleh karena manusia adalah makhluk yang berakal, maka perkawinan
merupakan salah satu budaya yang beraturan yang mengikuti perkembangan budaya manusia dalam kehidupan masyarakat. Dalam masyarakat sederhana
budaya perkawinannya sederhana, sempit dan tertutup, dalam masyarakarat yang maju modern budaya perkawinannya maju, luas dan terbuka.
Budaya perkawinan dan aturannnya yang berlaku pada suatu masyarakat atau pada suatu bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan
lingkungan dimana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakatnya. Ia dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, kepercayaan dan keagamanan
yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan. Seperti halnya aturan perkawinan bangsa Indonesia bukan saja dipengaruhi oleh adat budaya
masyarakat setempat, tetapi juga dipengaruhi oleh ajaran agama Hindhu, Budha, Islam, Kristen, Katholik bahkan dipengaruhi oleh budaya perkawinan
Barat. Walaupun bangsa Indonesia kini telah memiliki hukum perkawinan nasional sebagai aturan pokok, namun adalah kenyataan bahwa di kalangan
masyarakat Indonesia masih tetap berlaku adat dan tata upacara yang berbeda- beda. Perbedaan dalam pelaksanan hukum perkawinan itu dapat
mempengaruhi cara hidup kekeluargaan, kekerabatan, kekaryaan seseorang dalam kehidupan masyarakat.
Berbahagialah bangsa Indonesia yang telah memiliki Undang-Undang Perkawinan Nasional, yang sifatnya dikatakan telah menampung sendi-sendi
dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan berlaku bagi berbagai golongan masyarakat Indonesia yang
berbeda-beda. Jadi bangsa Indonesia telah memiliki hukum perkawinan yang
commit to user telah berdasarkan pada Pancasila dan tetap berpijak pada Bhineka Tunggal
Ika. Hal mana berarti walaupun pada pokoknya kita sudah mempunyai hukum perkawinan yang berlandaskan kesatuan namun kebinekaanya tetap masih
berlaku. Mengapa demikian dikarenakan yang berbeda-beda itu masih kuat pengaruhnya. Oleh karenanya bila yang berbeda bertemu dalam ikatan
perkawinan campuran, sedangkan salah satu pihak masih tetap mempertahankan pegangannya, maka ada kalanya menimbulkan kesulitan
dalam penyelesaiannya, bahkan dapat berakibat terganggunya kerukunan umat hidup berumah tangga.
Suatu perkawinan dianggap sah apabila telah mendapatkan pengakuan dari negara. Cara untuk mendapatkan pengakuan itu, selalu berbeda-beda
diantara negara yang satu dengan negara yang lainnya. Mengenai hal ini, dapat dilihat dari rumusan pengertian perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974, Pasal 1 yang berbunyi sebagai berikut : Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dengan diberlakukan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yang bersifat Nasional sejak tanggal 2 Januari 1974, maka sudah
tercapailah cita-cita masyarakat dan bangsa Indonesia untuk mempunyai sebuah Undang-Undang yang mengatur tentang perkawinan, tetapi apabila
diteliti Pasal demi Pasal dan penjelasan Undang-Undang tersebut serta peraturan pelaksanaannya. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, maka tidak ditemukan ketentuan yang mengatur secara tegas mengenai masalah
perkawinan antara beda agama. Sejak diberlakukan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974, maka Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil tidak melaksanakan pencatatan Perkawinan terhadap mereka yang agamanya berbeda, dalam
pengertian tidak melaksanakan perkawinan secara agama apapun. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil hanya mencatatkan dari mereka yang sudah
commit to user melaksanakan perkawinan yang secara agama. Mengenai sahnya suatu
perkawinan diatur secara tegas dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pada Pasal 2 Ayat 1 yang berbunyi :“Perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan
menurut hukum
masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu”.
Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi
golongan agamanya dan kepercayaann, sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974. Agama sebagai Wahyu Tuhan mengandung kebenaran mutlak, yang
diyakini paling benar oleh para pemeluknya, sehingga agama dijadikan sebagai landasan, pegangan dan pedoman baik dalam melakukan hubungan
dengan Tuhan maupun hubungan antar sesama manusia, termasuk didalamnya masalah perkawinan. Mengingat Negara Indonesia terdiri dari berbagai suku
bangsa serta berbagai agama dan kepercayaan, maka tidak mengherankan apabila kita sering menjumpai atau mendengar adanya perkawinan beda
agama. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil dapat melaksanakan
pencatatan perkawinan yang berbeda agama melalui permohonan ke Pengadilan Negeri setempat untuk ijin menikah bagi calon suami dan calon
istri dengan konsekuensi berbagai persyaratan Administrasi yang harus diajukan sebelum Pengadilan Negeri mengabulkan. Ketentuan ini diatur dalam
Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006 dalam Pasal 35 yang berbunyi :“Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan adalah
perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama”.
Pada kehidupan masyarakat di daerah khususnya perkawinan beda agama menjadi problematika yang sangat jarang terjadi. Karena orang awam
berpandangan bahwa perkawinan beda agama di negara Indonesia ini merupakan suatu hal yang tidak mudah untuk mereka laksanakan. Sehingga
commit to user kebanyakan nikah beda agama dilaksanakan para pihak diluar negeri. Akan
tetapi mereka tidak akan mendapatkan perlindungan hukum di Indonesia. Di lingkungan Kabupaten Wonogiri pelaksanaan nikah beda agama
terjadi tidak hanya sekali terjadi. Hal ini terjadi karena keberanian dari majelis Hakim dalam mengadopsi Pasal demi Pasal yang digunakan guna memberikan
penetapan terhadap perkawinan beda agama. Guna memperoleh kepastian terhadap kedudukan hukum perkawinan
beda agama, diperlukan adanya bukti yang autentik. Sifat bukti autentik tersebut tetap dan dapat mejadi pedoman untuk membuktikan tentang
kedudukan hukum yang mendukung kepastian perkawinan beda agama dengan adanya akta yang dikeluarkan oleh satu lembaga. Lembaga yang
berwenang mengeluarkan akta yang dimaksud, menurut Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1983 Pasal 5 Ayat 2 adalah Lembaga
Kependudukan dan Catatan Sipil. Dari latar belakang masalah yang telah penulis uraikan diatas, maka
penulis mendapat insiprasi untuk menyusun penelitian hukum dengan judul :
PELAKSANAAN PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG MENDAPAT PENETAPAN PENGADILAN NEGERI DI
KABUPATEN WONOGIRI
B. Perumusan Masalah