PELAKSANAAN PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG MENDAPAT PENETAPAN PENGADILAN NEGERI DI KABUPATEN WONOGIRI

(1)

commit to user

PELAKSANAAN PENCATATAN PERKAWINAN BEDA

AGAMA YANG MENDAPAT PENETAPAN PENGADILAN

NEGERI DI KABUPATEN WONOGIRI

Penulisan Hukum (Skripsi)

Disusun dan diajukan untuk

Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh

ARIF PURWOKO

NIM : E. 1107010

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA


(2)

commit to user

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum (Skripsi)

PELAKSANAAN PENCATATAN PERKAWINAN BEDA

AGAMA YANG MENDAPAT PENETAPAN PENGADILAN

NEGERI DI KABUPATEN WONOGIRI

Disusun oleh :

ARIF PURWOKO NIM : E.1107010

Disetujui untuk dipertahankan dihadpan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Surakarta, 19 Juli 2011 Pembimbing

RAHAYU SUBEKTI, S.H., M.Hum


(3)

commit to user

PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

PELAKSANAAN PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG MENDAPAT PENETAPAN PENGADILAN NEGERI

DI KABUPATEN WONOGIRI

Disusun oleh : ARIF PURWOKO

NIM : E. 1107010

Telah diterima dan dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada :

Hari : Kamis

Tanggal : 28 Juli 2011

TIM PENGUJI

1. Pius Tri Wahyudi, S.H., M.Si. : ... NIP.195602121985031004

KETUA

2. Lego Kardjoko, S.H., M.H. : ... NIP.196106131986011011

SEKRETARIS

3. Rahayu Subekti, S.H., M.Hum. : ... NIP.196305191988031001

ANGGOTA

MENGETAHUI Dekan

Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum NIP. 1957023 198503 2 001


(4)

commit to user

MOTTO

“Sukses tidak diukur dari posisi yang dicapai seseorang dalam hidup,

tetapi dari kesulitan-kesulitan yang berhasil di atasi

ketika berusaha meraih sukses

.”

(Booker T Washington)

“Pengetahuan tidaklah cukup, maka kita harus mengamalkannya.

Niat tidaklah cukup, maka kita harus melakukannya. “

(

Johann Wolfgang von Goethe

)

“Untuk memahami hati dan pikiran seseorang,

jangan melihat apa yang dia raih,

lihatlah apa yang telah dia lakukan untuk menggapai cita-

citanya.”

(Kahlil Gibran)

“Berusahalah untuk tidak menjadi manusia

yang berhasil tapi berusahalah menjadi manusia yang berguna.”

( Einstein )

“Manusia merencanakan, namun Tuhan yang menentukan.”


(5)

commit to user

PERSEMBAHAN

Dengan segenap kerendahan hati, karya yang jauh dari kata sempurna ini, Penulis persembahkan kepada :

ALLAH SWT

Sebagai pelindung dan semangat dalam penyelesaian Penulisan Hukum ini.

Nabi Muhammad Saw

Sebagai Sang penyempurna Akhlak yang menjadi panutan Penulis dalam menjalani hidup.

Istri saya Tercinta Alvina Clarinta Novadia

Yang sudah mencintai penulis dan serta pengertiannya memberikan semangat Kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.

Anakku Sayang Rivana Safa Putri Purwaka

Seorang Putri yang sangat Cantik, dan sangat lucu

Kedua orangtua

H. Sumarno, SE & Sumarmi, SE

Yang selalu menyayangi dengan tulus, menjagaku,

memberikan motivasi semangat dan memberikan yang terbaik untukku. Semoga Allah SWT senantiasa mencurahkan kasih sayang dan perlindungan

kepada mereka berdua sepanjang segala masa, Amin.

Kedua Mertua Saya

dr.H. Pratikto Widodo, Sp.A & Dr.H. Rini Adiyani, SE, MM

Yang selalu memberikan semangat dan dorongan serta nasehat-nasehat yang bijak kepada saya.

Semoga Allah selalu memberikan barokah yang tiada henti kepada beliau.

Adik-Adik

Fajar Wisma Prihantoro & Alvano Febrianto

Sahabat-Sahabatku

Yang selalu ikhlas berbagi suka dan duka Thank for all

Segenap Civitas Akademika FH UNS VIVA JUSTISIA


(6)

commit to user

ABSTRAK

Arif Purwoko, 2011. PELAKSANAAN PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG MENDAPAT PENETAPAN PENGADILAN NEGERI DI KABUPATEN WONOGIRI. Fakultas Hukum UNS.

Masalah pokok dalam skripsi ini, menyangkut perkawinan beda agama. Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran sekaligus memahami pelaksanaannya dalam kehidupan masyarakat sehari-hari sebagai suatu kenyataan yang tidak bisa dihindari. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, timbul beberapa masalah dalam melaksanakan perkawinan beda agama antara perkawinan tersebut sah atau tidak sah menurut hukum nasional.

Penulis melakukan penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Data yang telah dikumpulkan dianalisis menggunakan teknik analisis data interaktif. Jenis penelitian yang digunakan penulis termasuk dalam jenis penelitian empiris.

Perkawinan beda agama tidak diatur secara tegas (expresis verbis) dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 sehingga dapat menimbulkan penafsiran, peraturan-peraturan lama sepanjang Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 belum mengatur maka masih dapat diberlakukan. Dari penelitian penulis diperoleh hasil pembahasan mengenai pelaksanaan fungsi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Wonogiri dalam perkawinan beda agama sebagai pencatat perkawinan beda agama yang telah mendapatkan Penetapan dari Pengadilan Negeri Wonogiri. Pencatatan perkawinan dilakukan oleh petugas pencatat sipil sebagai instansi pelaksana yang mencatat perkawinan pada register akta perkawinan dan menerbitkan kutipan akta perkawinan untuk diberikan kepada masing-masing suami istri.

Penelitian hukum ini, dapat diketahui bahwa dalam perkawinan beda agama adanya perbedaan penafsiran dari para pemimpin agama atau ulama, sarjana, hakim, pejabat petugas pencatat perkawinan dan warga masyarakat tentang boleh atau tidaknya perkawinan beda agama. Penelitian ini, hendaknya dapat menjadi bahan penyempurnaan dalam pelaksanaan perkawinan beda agama di lingkungan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Wonogiri khususnya, dan pada umumnya di Catatan Sipil seluruh Indonesia.


(7)

commit to user ABSTRACT

Arif Purwoko, 2011. LISTING OF DIFFERENT RELIGIOUS MARRIAGE THAT GETS IN THE DISTRICT COURT SETTING WONOGIRI. Faculty of Law UNS.

Central issue in this thesis, concerns the marriage of different religions. This study is intended to provide an overview as well as to understand its implementation in everyday community life as a reality that can not be avoided.With the enactment of Law Number 1 of 1974 on marriage, some problems arise in performing interfaith marriages between marriage is valid or invalid according to national law.

The author conducted a study using a qualitative approach.Data collected were analyzed using an interactive data analysis techniques.This type of research that used the author included in this type of empirical research.

Interfaith marriages are not set explicitly (expresis verbis) of the Marriage Law Number 1 of 1974 so that it can lead to interpretation, the old rules along the Marriage Law Number 1 of 1974 has not been set then it can still be applied.From the study authors obtained results of the discussion on the implementation of the functions the Department of Population and Civil Wonogiri in interfaith marriages as a marriage registrar of different religions that have earned the determination of the Court Wonogiri.Registration of marriages performed by civil registrar as the implementing agency that records marriages to register marriage certificate and marriage certificate issued citations to be given to each couple.

The study of this law, it is known that in the marriage of different religions there is a difference of interpretation of religious leaders or clerics, scholars, judges, officials and residents of the registrar of marriage allowed public about whether or not the marriage of different religions.This study, should be a material improvement in the implementation of interfaith marriages in the Department of Population and Civil Wonogiri in particular, and in general in the Civil throughout Indonesia.

Keywords: Marriage, Different Religions, Different Religions Marriages Implementation.


(8)

commit to user

KATA PENGANTAR

Segala puji dan Syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan limpahan rahmat, hidayah dan karunia-Nya, penulis dapat

menyelesaikanpenulisan hukum yang berjudul “PELAKSANAAN PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG MENDAPAT PENETAPAN PENGADILAN NEGERI DI KABUPATEN WONOGIRI”.

Penulisan hukum ini membahas Pelaksanaan Pencatatan Perkawinan Beda Agama Yang Mendapat Penetapan Pengadilan Negeri Di Kabupaten Wonogiri, ditinjau dari aspek hukum, yang membahas sebagai berikut :

1. Proses pelaksanaan pencatatan perkawinan beda agama di Kantor Catatan Sipil Wonogiri yang telah mendapat penetapan Pengadilan Negeri Wonogiri setelah berlakunya pasal 35 huruf a Undang-Undang nomor 23 tahun 2006

2. Keabsahan pencatatan akta perkawinan beda agama yang telah mendapat penetapan Pengadilan Negeri Wonogiri dan ditetapkan di Kantor Catatan Sipil Wonogiri

Saat ini belum banyak penulis atau peneliti yang mengungkapkan Pelaksanaan Pencatatan Perkawinan Beda Agama Yang Mendapat Penetapan Pengadilan Negeri Di Kabupaten Wonogiri. Hal ini karena terbatasnya informasi yang mengkaji pelaksanaan pencatatan perkawinan beda agama di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Wonogiri. Oleh karena itu, dalam penyusunan penulisan hukum ini, penulis berusaha untuk mengumpulkan berbagai informasi dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Wonogiri serta pelaku perkawinan beda agama. Sebagian besar masyarakat (kalangan akademisi, mahasiswa, dan masyarakat) juga banyak belum paham dan bahkan tidak mengenal atau mengetahui tentang pelaksanaan pencatatan perkawinan beda agama di Kantor Catatan Sipil Wonogiri dalam perkawinan beda agama. Walaupun dengan data dan informasi yang relatif terbatas, penulis tetap berusaha menyelesaikan penulisan hukum ini sebagian informasi awal tentang perkawinan beda agama.


(9)

commit to user

Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan, motivasi, dan bimbingan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

2. Bapak Hardjono, S.H., M.H. selaku Ketua Program Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

3. Ibu Rahayu Subekti, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang membimbing, mengarahkan, dan menerima kehadiran penulis untuk berkonsultasi dengan tangan terbuka hingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum ini.

4. Bapak Pius Triwahyudi, S.H., M.Si. selaku Kepala Bagian Hukum Administrasi Negara di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

5. Bapak Lego Karjoko, S.H., M.Hum. selaku Ketua Pengelola Penulisan Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan pengarahan kepada penulis dalam rangka penyelesaiam penulisan hukum ini.

6. Diana Tantri, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing Akademik yang selaku memberikan nasihat dan masukan akademis pada penulis.

7. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen beserta segenap karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

8. Bapak Drs Soemarjoto, MM selaku Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Wonogiri yang sudah mengijinkan penulis untuk melakukan penelitian.

9. Bapak Hariyanto,SE selaku Kepala Seksi Pencatatan Perkawinan dan Perceraian di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Wonogiri.

10.Bapak Bapak Danang, S.Sos selaku Kepala Bidang Pencatatan Sipil di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Wonogiri.


(10)

commit to user

11.Keluarga besar, Bapak Ibuku tercinta yang tidak pernah untuk memberikan doa, motivasi, kasih sayang, dan yang telah sudi membantu baik moril maupun meteriil.

12.Sahabat serta teman-teman Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret angkatan 2007 yang telah sudi dan ikhlas berbagi suka duka dan tukar pikiran.

13.Dan semua pihak yang tidak kami sebutkan satu demi satu, yang telah membantu dalam bentuk sekecil apapun demi kelancaran penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini masih jauh dari kesempurnaan, mengingat kemampuan Penulis yang masih sangat terbatas. Oleh karena itu, dengan besar hati penulis mengharap segala kritik dan saran yang bersifat membangun. Semoga Penulisan Hukum ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun para pembaca.

Surakarta, Juli 2011 Penulis,


(11)

commit to user

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

ABSTRAK... vi

ABSTRACT... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 5

E. Metode Penelitian ... 6

F. Sistematika Penulisan Hukum ... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 13

A. Kerangka Teori ... 13

1. Pengertian Perkawinan ... 13

2. Pengertian Perkawinan Beda Agama ... 21

3. Pengertian Penetapan... 29

B. Kerangka Pemikiran ... 37

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 40

A. Hasil Pembahasan………. 40

1. Deskripsi Dinas Kependudukn dan Catatan Sipil kabupatenWonogiri... 40

2. Proses Pencatatan perkawinan Beda Agama di Kantor Dinas Catatan Sipil yang telah mendapat penetapan Pengadilan Negeri di Kabupaten Wonogiri setelah berlakunya Pasal 35 huruf a Undang-Undang nomor 23 tahun 2006... 42


(12)

commit to user

3. Keabsahan Akta Perkawinan... 47

BAB IV PENUTUP ... 49

A. Kesimpulan ... 49

B. Saran ... 50


(13)

commit to user

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan adalah perilaku makhuk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan di alam dunia berkembang biak. Perkawinan bukan saja hanya terjadi dikalangan manusia, tetapi juga terjadi pada tanaman tumbuhan dan hewan. Oleh karena manusia adalah makhluk yang berakal, maka perkawinan merupakan salah satu budaya yang beraturan yang mengikuti perkembangan budaya manusia dalam kehidupan masyarakat. Dalam masyarakat sederhana budaya perkawinannya sederhana, sempit dan tertutup, dalam masyarakarat yang maju (modern) budaya perkawinannya maju, luas dan terbuka.

Budaya perkawinan dan aturannnya yang berlaku pada suatu masyarakat atau pada suatu bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan dimana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakatnya. Ia dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, kepercayaan dan keagamanan yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan. Seperti halnya aturan perkawinan bangsa Indonesia bukan saja dipengaruhi oleh adat budaya masyarakat setempat, tetapi juga dipengaruhi oleh ajaran agama Hindhu, Budha, Islam, Kristen, Katholik bahkan dipengaruhi oleh budaya perkawinan Barat. Walaupun bangsa Indonesia kini telah memiliki hukum perkawinan nasional sebagai aturan pokok, namun adalah kenyataan bahwa di kalangan masyarakat Indonesia masih tetap berlaku adat dan tata upacara yang berbeda-beda. Perbedaan dalam pelaksanan hukum perkawinan itu dapat mempengaruhi cara hidup kekeluargaan, kekerabatan, kekaryaan seseorang dalam kehidupan masyarakat.

Berbahagialah bangsa Indonesia yang telah memiliki Undang-Undang Perkawinan Nasional, yang sifatnya dikatakan telah menampung sendi-sendi dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan berlaku bagi berbagai golongan masyarakat Indonesia yang berbeda-beda. Jadi bangsa Indonesia telah memiliki hukum perkawinan yang


(14)

commit to user

telah berdasarkan pada Pancasila dan tetap berpijak pada Bhineka Tunggal Ika. Hal mana berarti walaupun pada pokoknya kita sudah mempunyai hukum perkawinan yang berlandaskan kesatuan namun kebinekaanya tetap masih berlaku. Mengapa demikian dikarenakan yang berbeda-beda itu masih kuat pengaruhnya. Oleh karenanya bila yang berbeda bertemu dalam ikatan perkawinan (campuran), sedangkan salah satu pihak masih tetap mempertahankan pegangannya, maka ada kalanya menimbulkan kesulitan dalam penyelesaiannya, bahkan dapat berakibat terganggunya kerukunan umat hidup berumah tangga.

Suatu perkawinan dianggap sah apabila telah mendapatkan pengakuan dari negara. Cara untuk mendapatkan pengakuan itu, selalu berbeda-beda diantara negara yang satu dengan negara yang lainnya. Mengenai hal ini, dapat dilihat dari rumusan pengertian perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 1 yang berbunyi sebagai berikut :

Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dengan diberlakukan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yang bersifat Nasional sejak tanggal 2 Januari 1974, maka sudah tercapailah cita-cita masyarakat dan bangsa Indonesia untuk mempunyai sebuah Undang-Undang yang mengatur tentang perkawinan, tetapi apabila diteliti Pasal demi Pasal dan penjelasan Undang-Undang tersebut serta peraturan pelaksanaannya. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, maka tidak ditemukan ketentuan yang mengatur secara tegas mengenai masalah perkawinan antara beda agama.

Sejak diberlakukan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, maka Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil tidak melaksanakan pencatatan Perkawinan terhadap mereka yang agamanya berbeda, dalam pengertian tidak melaksanakan perkawinan secara agama apapun. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil hanya mencatatkan dari mereka yang sudah


(15)

commit to user

melaksanakan perkawinan yang secara agama. Mengenai sahnya suatu perkawinan diatur secara tegas dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1

Tahun 1974 pada Pasal 2 Ayat 1 yang berbunyi :“Perkawinan adalah sah,

apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu”.

Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaann, sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.

Agama sebagai Wahyu Tuhan mengandung kebenaran mutlak, yang diyakini paling benar oleh para pemeluknya, sehingga agama dijadikan sebagai landasan, pegangan dan pedoman baik dalam melakukan hubungan dengan Tuhan maupun hubungan antar sesama manusia, termasuk didalamnya masalah perkawinan. Mengingat Negara Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa serta berbagai agama dan kepercayaan, maka tidak mengherankan apabila kita sering menjumpai atau mendengar adanya perkawinan beda agama.

Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil dapat melaksanakan pencatatan perkawinan yang berbeda agama melalui permohonan ke Pengadilan Negeri setempat untuk ijin menikah bagi calon suami dan calon istri dengan konsekuensi berbagai persyaratan Administrasi yang harus diajukan sebelum Pengadilan Negeri mengabulkan. Ketentuan ini diatur dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006 dalam

Pasal 35 yang berbunyi :“Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama”.

Pada kehidupan masyarakat di daerah khususnya perkawinan beda agama menjadi problematika yang sangat jarang terjadi. Karena orang awam berpandangan bahwa perkawinan beda agama di negara Indonesia ini merupakan suatu hal yang tidak mudah untuk mereka laksanakan. Sehingga


(16)

commit to user

kebanyakan nikah beda agama dilaksanakan para pihak diluar negeri. Akan tetapi mereka tidak akan mendapatkan perlindungan hukum di Indonesia.

Di lingkungan Kabupaten Wonogiri pelaksanaan nikah beda agama terjadi tidak hanya sekali terjadi. Hal ini terjadi karena keberanian dari majelis Hakim dalam mengadopsi Pasal demi Pasal yang digunakan guna memberikan penetapan terhadap perkawinan beda agama.

Guna memperoleh kepastian terhadap kedudukan hukum perkawinan beda agama, diperlukan adanya bukti yang autentik. Sifat bukti autentik tersebut tetap dan dapat mejadi pedoman untuk membuktikan tentang kedudukan hukum yang mendukung kepastian perkawinan beda agama dengan adanya akta yang dikeluarkan oleh satu lembaga. Lembaga yang berwenang mengeluarkan akta yang dimaksud, menurut Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1983 Pasal 5 Ayat 2 adalah Lembaga Kependudukan dan Catatan Sipil.

Dari latar belakang masalah yang telah penulis uraikan diatas, maka penulis mendapat insiprasi untuk menyusun penelitian hukum dengan judul :

PELAKSANAAN PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG MENDAPAT PENETAPAN PENGADILAN NEGERI DI KABUPATEN WONOGIRI

B. Perumusan Masalah

Agar pembahasan menjadi terarah dan mendalam sesuai dengan sasaran yang sudah ditentukan, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana Proses pencatatan perkawinan beda agama di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Wonogiri yang telah mendapat penetapan Pengadilan Negeri Wonogiri setelah berlakunya Pasal 35 huruf a Undang-Undang nomor 23 tahun 2006?

2. Bagaimana Keabsahan pencatatan akta perkawinan beda agama yang telah mendapat penetapan Pengadilan Negeri Wonogiri dan ditetapkan di Kantor Catatan Sipil Wonogiri?


(17)

commit to user

C. Tujuan Penelitian

Setiap penelitian tentu mempunyai tujuan yang jelas agar penelitian tersebut dapat dicapai. Adapun tujuan obyektif dan tujuan subyektif yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui Proses pencatatan perkawinan beda agama di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Wonogiri yang telah mendapat penetapan Pengadialan Negeri Wonogiri;

b. Untuk mengetahui Keabsahan pencatatan akta perkawinan beda agama yang telah mendapat penetapan Pengadilan Negeri Wonogiri dan ditetapkan di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Wonogiri.

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk memperoleh data yang lebih lengkap sebagai bahan utama dalam penyusunan penulisan hukum (skripsi) sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta;

b. Untuk mengobservasi kesesuaian antara teori yang diperoleh dengan fenomena dan permasalahan yang terjadi dalam praktek pencatatan perkawinan beda agama;

c. Untuk mengembangkan dan memperdalam pengetahuan penulis pada umumnya mengenai Hukum Administrasi Negara serta pada khususnya dalam pencatatan perkawinan beda agama.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam mengembangkan ilmu hukum pada umumnya dan Hukum Administrasi Negara pada khususnya yang berhubungan dengan pencatatan perkawinan beda agama:


(18)

commit to user

b. Untuk mengembangkan pengetahuan yang diperoleh selama di bangku perkuliahan dan membandingkan dengan kenyataan yang ada di lapangan;

c. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menambah wacana atau referensi di bidang karya ilmiah yang dapat mengembangkan ilmu hukum.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti;

b. Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh;

c. Dapat dipergunakan sebagai bahan masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan atau berkaitan langsung dengan perkawinan beda agama.

E. Metode Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah berdasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan mempelajari suatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya. Metode penelitian adalah suatu cara yang dipergunakan untuk memecahkan suatu permasalahan dan sebagai pedoman untuk memperoleh hasil penelitian yang

mencapai tingkat kecermatan dan ketelitian yang dapat

dipertanggungjawabkan. Metode penelitian juga merupakan pedoman untuk memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam dari suatu obyek yang diteliti dengan mengumpulkan, menyusun serta menginterprestasikan data-data yang diperoleh (Soerjono Soekanto, 2006:43).

Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa metode penelitian (Soerjono Soekanto, 2006:5) yaitu :

a. Suatu pemikiran yang digunakan dalam penelitian; b. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan; c. Cara tertentu untuk melakukan prosedur.


(19)

commit to user

Metode penelitian merupakan unsur yang sangat penting dalam kegiatan penelitian agar data yang diperoleh benar-benar akurat dan teruji keilmiahannya. Dalam penelitian hukum ini, metode penelitian yang akan digunakan adalah :

1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis berpedoman pada judul dan perumusan masalah yang sudah diuraikan, maka penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris. Penelitian hukum empiris selalu diarahkan kepada identifikasi (pengenalan) terhadap hukum nyata berlaku, yang implisit berlaku (sepenuhnya), bukan eksplisit (jelas, tegas) seperti diatur di dalam perundangan yang diuraikan dalam kepustakaan. Pendekatan empiris, dimaksudkan sebagai usaha untuk mengkaji hukum dalam realitas atau kenyataan dalam masyarakat.

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian yang bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang bertujuan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Maksudnya, terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu di dalam memperkuat teori teori-teori lama, atau di dalam rangka menyusun teoriteori baru (Soerjono Soekanto, 2006:10).

Didalam penelitian deskriptif, ada sifat-sifat tertentu yang dapat dipandang sebagai ciri, yaitu:

a. Memusatkan diri pada pemecahan masalah yang ada pada masa sekarang pada masa-masa yang aktual;

b. Data yang dikumpulkan mula-mula disusun kemudian dijelaskan dan akhirnya dianalisa.

Pada penelitian deskriptif ini, penulis berusaha untuk menggambarkan suatu keadaan, oleh karenanya penulis menggunakan metode ini agar dapat mengetahui Proses pencatatan perkawinan beda agama di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Wonogiri yang telah mendapat penetapan Pengadialan Negeri Wonogiri. Selain itu juga


(20)

commit to user

dengan menggunakan metode ini dapat mengetahui pelaksanaan yang sebenarnya dan dalam pembuktiannya mudah untuk mencari kebenarannya serta dapat mengetahui permasalahan yang bersifat aktual, yang ada pada masa sekarang.

3. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif merupakan tata cara penelitian oleh respoden baik secara tertulis maupun lisan dari prilaku nyata dengan meneliti dan mempelajari obyek penelitian secara utuh.

4. Lokasi Penelitian

Sesuai dengan judul, maka penelitian ini mengambil lokasi di PN Wonogiri dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Wonogiri. Penentuan lokasi ini berdasarkan pertimbangkan bahwa PN Wonogiri dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Wonogiri memungkinkan untuk memberikan kebutuhan akan data data dan informasi terkait permasalahan mengenai pencatatan perkawinan beda agama.

5. Jenis Data

Agar memperoleh data yang valid, penulis mengunakan jenis data : a. Data Primer

Data primer menurut merupakan data yang diperoleh secara langsung dari sumber pertama melalui penelitian. Dalam penelitian ini data yang diperoleh dari lapangan yang terdapat pada lokasi penelitian dengan cara wawancara langsung bersama Bapak Hariyanto,SE yang menjabat sebagai Kepala Seksi Pencatatan Perkawinan dan Perceraian, Bapak Danang, S.Sos selaku Kepala Bidang Pencatatan Sipil di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Wonogiri.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sejumlah fakta atau dari keterangan yang dapat digunakan untuk mendukung data primer. Dalam penelitian ini data diperoleh melalui beberapa dokumen


(21)

commit to user

resmi berupa Berkas Penetapan Pengadilan Negeri Wonogiri Nomor 125/Pdt.P/2011/PN.Wng, literatur, peraturan perundang-undangan, dan lain-lain yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti.

6. Sumber Data

Sumber data yang diambil dalam penelitian ini meliputi 3 (tiga) bagian yaitu:

a. Sumber Data Primer

Merupakan sumber data yang diperoleh langsung dari sejumlah keterangan atau fakta dari lapangan, dalam hal ini :

1) Narasumber penulis adalah Bapak Hariyanto yang menjabat sebagai Kepala Seksi Pencatatan Sipil, dan Bapak Danang selaku kepala bidang Perkawinan,Perceraian, dan Kematian, di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Wonogiri.

2) Para pihak (suami istri) yang terlibat langsung dalam perkawinan beda agama di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Wonogiri yaitu Nova Andriyanto dan Monika Sari

b. Sumber Data Sekunder

Merupakan data yang didapat dari :

1) Berkas Penetapan Pengadilan Negeri Wonogiri Nomor 125/Pdt.P/2011/PN.Wng

2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahn 1974;

4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan;

5) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 tahun 2010 tentang Pedoman Pencatatan Perkawinan dan Pelaporan Akta Yang Dierbitkan Oleh Negara Lain

6) Kompilasi Hukum Islam c. Data Tersier


(22)

commit to user 7. Teknik Pengumpulan Data

Dengan memperhatikan bagan diatas maka proses analisis data dapat digambarkan bahwa pada saat pengumpulan data, peneliti dapat membuat reduksi bagian deskripsi dan refleksi dari data yang ada.Pengumpulan data adalah tahap yang penting dalam melakukan penelitian. Alat pengumpul data (instrument) menentukan kualitas data, dan kualitas data menentukan kualitas penelitian. Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis adalah sebagai berikut :

a. Wawancara

Wawancara dilakukan dengan situasi formal maupun informal. Penulis melakukan wawancara dengan menggunakan teknik wawancara bebas terpimpin. Hal ini memungkinkan pengembangan pertanyaan dan perhatian kepada persoalan yang relevan berkaitan dengan permasalahan yang diteliti dan mungkin baru muncul di lapangan. Wawancara dilakukan dengan pihak terkait yaitu Bapak Hariyanto yang menjabat sebagai Kepala Seksi Pencatatan Sipil, dan Bapak Danang selaku kepala bidang Perkawinan,Perceraian, dan Kematian, di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Wonogiri.

b. Studi Pustaka

Dalam penelitian ini penulis melakukan studi pustaka dengan membaca, mempelajari bahan-bahan kepustakaan yang berkaitan dengan masalah yang sedang diteliti. Adapun pustaka yang menjadi acuan antara lain buku-buku literatur, Reduksi Data kamus, peraturan perundang-undangan, maupun dokumen-dokumen yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian hukum ini.

8. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik analisis data interaktif (interaktif model of analisis).


(23)

commit to user Gambar 1 :

Sumber : Heribertus Sutopo, 2002:96 Keterangan gambar :

a. Pengumpulan data adalah masa dimana penulis mencari data dan mencatat semua data yang masuk;

b. Reduksi data (data reduction) adalah proses pemikiran, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan di lapangan;

c. Penyajian data (data display) adalah sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan;

d. Penarikan kesimpulan (conclusion drawing) adalah menyimpulkan apa yang sudah diketahui pada awal.

F. Sistematika Penulisan Hukum

Untuk memberi gambaran yang jelas dan mempermudah pemahaman yang jelas mengenai seluruh isi penulisan hukum ini maka penulis sajikan susunan sistematika skripsi sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Penarikan Kesimpulan atau Verifikasi

Reduksi Data Penyajian Data

Pengumpulan Data


(24)

commit to user

Bab ini memaparkan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, sistematika penulisan hukum.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi tentang kerangka teori dan kerangka pemikiran.

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisi hasil penelitian yang diperoleh peneliti dari lapangan dan pembahasannya yang meliputi pelaksanaan fungsi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Wonogiri dalam pencatatan perkawinan beda agama, kendala dan solusinya dalam pelaksanaan fungsi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Wonogiri dalam pencatatan perkawinan beda agama. BAB IV SIMPULAN DAN SARAN

Dalam bab ini berisi kesimpulan dari jawaban permasalahan yang menjadi obyek penelitian dan saran-saran yang ditujukan pada pihak-pihak terkait dengan permasalahan pencatatan perkawinan beda agama.

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(25)

commit to user

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori

1. Pengertian Perkawinan

a. Menurut Para Sarjana

Dalam hal ini akan dikemukakan pengertian perkawinan dari para sarjana, yaitu :

1) Scholteen, mengemukakan perkawinan adalah :

Perkawinan adalah suatu hubungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui oleh Negara(Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, 1975:14).

2) R.Subekti, mengemukakan perkawinan adalah :

Perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama (Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, 1975:14).

b. Menurut Peraturan Perundangan

1) Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka Undang-Undang-Undang-Undang ini disatu pihak harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang 1945, sedangkan dilain pihak harus dapat pula menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat dewasa ini. Undang-Undang Perkawinan ini telah menampung didalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan Hukum Agama dan Kepercayaannya itu dari yang bersangkutan a) Pengertian Perkawinan

Perkawinan ialah ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami dan istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.


(26)

commit to user b) Syarat-syarat perkawinan

Menurut Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dikatakan bahwa perkawinan dianggap sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan para pihak. Dengan perumusan pada pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ini maka berarti tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu sesuai dengan UUD 1945. Hal ini, berlaku bagi golongan agama dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau ditentukan lain dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 (H Riduan Syahrani, 2004:63).

Tiap-tiap perkawinan yang dilaksanakan menurut ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku oleh lembaga yang berwenang yaitu Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama bagi pihak yang beragama Islam.

Penelitian dan Pengumuman Pegawai pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut undang-undang. Pemberitahuan tersebut dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai atau oleh orang tua atau wakilnya. Pemberitahuan itu, memuat nama, umur, agama atau kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin maka disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu (H Ridwan Syahrani, 2004:76).

Setelah dipenuhi syarat-syarat pemberitahuan serta tidak ada halangan perkawinan, pegawai pencatat


(27)

commit to user

menyelenggarakan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang telah ditetapkan oleh kantor pencatatan perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum (Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974). Pengumuman tersebut ditandatangani oleh pegawai pencatat dan memuat nama, umur, agama atau kepercayaan, tempat kediaman dari calon mempelai dan dari orang tua calon mempelai, apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin sebelumnya maka disebutkan nama istri atau suaminya terdahulu, hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan dilangsungkan. Pengumuman tersebut ialah untuk memberi kesempatan kepada umum supaya mengetahui dan mengajukan keberatan bagi pelaksanaan perkawinan apabila yang demikian itu diketahuinya bertentangan dengan hukum agama yang bersangkutan atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya( H Riduan Syahrani, 2004:77).

Dalam tenggang waktu sepuluh hari sejak pengumuman yang dilakukan oleh pegawai pencatat tidak ada keberatan dari pihak-pihak yang berkepentingan, maka pemberitahuan kehendak

melangsungkan perkawinan dianggap memenuhi syarat-syarat dan tidak ada halangan. Karena itu, pelaksanaan perkawinan segera dapat dilakukan (H Riduan Syahrani, 2004:78).

Menurut kententuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak


(28)

commit to user

perkawinan yang dilakukan oleh pegawai pencatat. Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agama. Perkawinan dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi (H Riduan Syahrani, 2004:79). c) Tujuan perkawinan

Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material (Sudikno Mertokusumo, 2001:62).

d) Sahnya perkawinan

Dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa sesuatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa penting dalam kehidupan seseorang misalnya : kelahiran, kematian, yang dinyatakan dalam surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan (Hilman Hadikusuma,2007:4).

e) Asas atau Prinsip dalam Perkawinan

Dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ditentukan tentang asas-asas mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Adapun asas-asas atau prinsip dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ini antara lain adalah sebagai berikut :

(1) Undang-undang ini menganut azas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum


(29)

commit to user

dan agama dari yang bersangkutan mengizinkan, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak- pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan.

(2) Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami istri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan diantara calon suami istri yang masih dibawah umur. Disamping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyatalah bahwa batas umur yang lobih rendah bagi seorang wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi. Berhubung dengan itu, maka undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita.

(3) Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka undang- undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan Sidang Pengadilan.

(4) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan


(30)

commit to user

demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami-istri.

Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri (Hilman Hadikusuma, 2007:6).

2) Menurut Kompilasi Hukum Islam a) Pengertian Perkawinan

Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah ( Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam ).

b) Tujuan Perkawinan

Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1)Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Untuk memenuhi ketentuan tersebut diatas, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum.

Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama. Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mnengenai hal-hal yang berkenaan dengan :


(31)

commit to user

(1) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian; (2) Hilangnya Akta Nikah;

(3) Adanya keragan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawian;

(4) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan;

(5) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974;

Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau istri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.

c) Rukun dan Syarat Perkawinan

(1) Rukun PerkawinanUntuk melaksanakan perkawinan harus ada :

(a) Calon Suami; (b) Calon Istri; (c) Wali nikah;

(d) Dua orang saksi dan; (e) Ijab dan Kabul. (2) Syarat Perkawinan

Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurangkurangnya berumur 16 tahun. Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapati izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2),(3),(4) dan (5) UU No.1 Tahun 1974.


(32)

commit to user

Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai. Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengantulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.

Sebelum berlangsungnya perkawinan Pegawai Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi nikah.Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan. Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti.

Bagi calon suami dan calon istri yang akan melangsungkan pernikahan tidak terdapat halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam bab VI.

3) Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

Pernikahan beda agama yang sudah dilegalkan oleh Pengadilan Negeri, tidak berarti pasangan itu menikah di Pengadilan Negeri. Wewenangnya hanya mengijinkan bukan menikahkan pasangan beda agama, karena kapasitas pengadilan bukan untuk keperluan tersebut. Bahwa faktor yang melegalkan pasangan beda agama diantaranya, mengacu pada Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Yang berbunyi, pencatatan perkawinan berlaku pula perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan. Dalam penjelasan pasal ini disebutkan bahwa perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antar umat yang berbeda agama. Di samping itu, juga dimuat dalam Pasal 10


(33)

commit to user

Ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 maupun Pasal 28 B Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 (http//hukumonline.com, 30 Maret 2011, 15:15).

Selama ini, sebelum keluarnya Undang-Undang Administrasi Kependudukan (Aminduk), pasangan beda agama biasanya menikah di luar negeri untuk menghindari Undang-Undang Perkawinan yang melarang pasangan beda agama menikah. Tapi ada juga yang memakai cara penundukan sementara pada salah satu hukum agama, yaitu pagi menikah sesuai agama laki-laki, siangnya menikah sesuai dengan agama perempuan.

2. Pengertian Perkawinan Beda Agama

Perkawinan beda agama terdapat beberapa pendapat dari para sarjana, yaitu :

a. Abdurrahman

Yang dimaksud dengan perkawinan antar agama adalah :

“Suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang yang memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda antara satu dengan yang

lainnya.” (Abdurrahman dan H Riduan Syahrani, 1978:20)

Dari definisi di atas sangat jelas bahwa perkawinan tersebut dapat dilakukan oleh orang-orang yang berbeda agama. Didalam Hukum Islam, terdapat dua pandangan mengenai perkawinan beda agama yaitu menyatakan bahwa perkawinan beda agama dengan golongan musyrik dilarang (haram). Pandangan kedua, dikenal adanya perkawinan beda agama (halal), hal ini didasarkan pada surat Al- Maidah ayat 5 yang menyatakan bahwa laki-laki Muslim boleh mengawini wanita non Muslim, tapi tidak berlaku untuk sebaliknya. b. R. Soetojo Prawirohamidjojo.

Mengemukakan mengenai perkawinan antar agama adalah : 1) Pandangan agama Kristen Katholik dalam hal Perkawinan beda


(34)

commit to user

adalah, bahwa gereja baik Katholik maupun Prostestan, tidak dapat mengakui perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang Kristen Katholik dengan akad nikah menurut Hukum Islam.

2) Pandangan agama Islam adalah bahwa seorang pria Islam boleh mengawini wanita-wanita ahlul kitab (selain Islam) akan tetapi tidak boleh sebaliknya, yaitu wanita Islam tidak boleh dikawini oleh pria yang bukan Islam (R. Soetojo Prawirohamidjojo, 1986:6). Dalam pandangan ini dikenal adanya perkawinan beda agama (halal), hal ini didasarkan pada surat Al- Maidah ayat 5 yang menyatakan bahwa laki-laki Muslim boleh mengawini wanita non Muslim, tapi tidak berlaku untuk sebaliknya.

Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur masalah perkawinan beda agama tetapi secara tegas tidak melarang pelaksanaan perkawinan bagi orang yang berbeda agama, karena Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur masalah perkawinan beda agama sehingga dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak ada definisi mengenai perkawinan beda agama. “But what we have seen are Muslims: good Muslims and bad Muslims; ugly Muslims and pretty Muslims; just Muslims and unjust Muslims; Muslims who are oppressors, racists, bigots, misogynists, and criminals as well as Muslims who are compassionate, liberators, seekers of an end to racism and sexism and those who aspire for global justice and equity.” ( Revd Dr John Azumah, Church & Society in Asia Today • Vol 13 No 2 • August 2010 )

Pada umumnya, dalam hukum perkawinan setiap negara disyaratkan adanya pencatatan perkawinan setelah perkawinan dilangsungkan. Keharusan pencatatan perkawinan merupakan syarat formil atau syarat administrasi di banyak negara.

Di Indonesia, berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan syarat sahnya perkawinan harus berdasarkan hukum agama dan harus dilakukan pendaftaran


(35)

commit to user

perkawinan di lembaga pencatatan perkawinan setempat. Sehingga perkawinan yang dilakukan warga negara Indonesia di luar negeri dapat diakui sebagai perkawinan yang sah apabila telah di daftarkan di lembaga pencatatan setempat dan mendapat surat bukti perkawinan.

Selain adanya syarat pencatatan di negara setempat, hukum perkawinan kita juga mensyaratkan setiap warga negara Indonesia yang melangsungkan perkawinan di luar negeri segera mendaftarkan perkawinannya di lembaga pemerintah sekembalinya ke Indonesia.

Bila kita lihat Pasal 56 (1) UU Perkawinan dinyatakan apabila terjadi perkawinan warga negara Indonesia atau antar-warga negara Indonesia dengan antar-warga negara asing di mana perkawinan tersebut dilangsungkan di luar negeri, maka perkawinan tersebut dinyatakan sah apabila telah dilakukan berdasarkan hukum perkawinan negara setempat sepanjang tidak bertentangan dengan hukum perkawinan Indonesia. Kemudian berdasakan Pasal 56 (2) UU Perkawinan menyatakan dalam waktu satu tahun setelah suami istri tersebut kembali ke Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.

Jadi, untuk dapat diakuinya suatu perkawinan warga negara Indonesia di luar negeri, maka berdasarkan hukum perkawinan harus memenuhi dua persyaratan terlebih dahulu yaitu;

1) perkawinan tersebut harus berdasarkan hukum perkawinan negara setempat dan perkawinan tersebut harus didaftarkan di lembaga pencatatan untuk mendapat surat bukti perkawinan;

2) surat bukti perkawinan tersebut harus didaftarkan ke Kantor Pencatatan Perkawinan setempat selambat-lambatnya satu tahun setelah suami istri tersebut kembali ke Indonesia.

Setelah kedua syarat tersebut dipenuhi maka perkawinan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia tersebut adalah sah dan sama kedudukannya dengan perkawinan yang dilakukan di wilayah Indonesia. Sebaliknya, apabila kedua syarat tersebut tidak dipenuhi,


(36)

commit to user

maka perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri tidak diakui oleh negara karena tidak sesuai dengan hukum perkawinan yang berlaku.

Dalam UU Perkawinan maupun peraturan pelaksanaannya tidak diatur secara jelas mengenai perkawinan beda agama. Perkawinan antara mereka yang berbeda agama, harus memperhatikan hukum agama masing-masing yang mengatur mungkin atau tidaknya perkawinan tersebut dilangsungkan. Oleh karena itu, pola pengaturan yang dilakukan oleh UU Perkawinan ialah menyerahkan kepada hukum agama untuk menegakkan larangan perkawinan atau menentukan kebolehan perkawinan tersebut, khususnya bagi mereka yang berbeda agama. UU Perkawinan dalam hal ini cenderung untuk menyerahkan pengaturannya pada hukum agama, bagaimana menyikapi perkawinan antara mereka yang berbeda agama tersebut.

Namun demikian, UU Perkawinan secara implisit mengaturnya, dan hal ini dapat terlihat dalam UU Perkawinan yang mengatur hal yang berkaitan dengan perkawinan antara pasangan yang berbeda agama, yaitu: Berdasarkan Penjelasan Pasal 2 UU Perkawinan yang menyatakan bahwa: "dengan perumusan pada pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945. Yang

dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini. Berdasarkan pasal 8 Undang-undang Perkawinan mengenai larangan perkawinan dimana dalam butir f pada pasal tersebut dinyatakan sebagai berikut: Perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin ( Grace Gunawan, 20 Juni 2011, 9:55 )

Adapun Syarat-Syarat melangsungkan perkawinan diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 6 sampai dengan Pasal 7. Didalam ketentuan tersebut ditentukan dua


(37)

commit to user

syarat untuk melangsungkan syarat-syarat Intern yaitu syarat yang menyangkut pihak yang akan melaksanakan perkawinan. Syarat-syarat Intern itu antara lain perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

1) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

2) Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

3) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya.

4) Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang dimaksud dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) dalam pasal ini.

5) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Oleh karena perkawinan mernpunyai rnaksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak azasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh


(38)

commit to user

kedua belah pihak yang melangsungkan Perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Ketentuan dalam pasal ini, tidak berarti mengurangi syarat-syarat perkawinan menurut ketentuan hukum perkawinan yang sekarang berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang ini.

Untuk menjaga kesehatan suami-istri dan keturunan, perlu ditetapkan batas-batas umur untuk perkawinan. Dengan berlakunya Undang-Undang no 1 tahun 1974, maka ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang pemberian dispensasi terhadap perkawinan yang dimaksud pada ayat (1) seperti diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (S. 1933 Nomor 74) dinyatakan tidak berlaku:

1) Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun.

2) Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.

3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6).

Syarat ekstern, yaitu syarat yang berkaitan dengan formalitas-formalitas dalam perlaksanaan perkawinan. Syarat-syarat itu meliputi : 1) Harus mengajukan laporan ke Pegawai Nikah, Talak dan Rujuk; 2) Pengumuman yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat, yang

memuat :

a) Nama, umur, agama atau kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai dan dari orang tua calon.


(39)

commit to user

Disamping itu, disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu;

b) Hari, tanggal, jam, dan tempat perkawinan dilangsungkan (Sudikno Mertokusumo, 2001:62).

Setelah berlakunya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 telah terjadi Unifikasi di lapangan hukum perkawinan. Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 66 menyatakan bahwa : Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-Undang ini, maka dengan berlakunya Undang-Undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk

Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk

Ordonantie Christen Indonesia 1933 Nomor 74), Peraturan

Perkawinan Campuran ( Regeling Op de Gemengde Huwelijken Staatsblad 1898 Nomor 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang ini, dinyatakan tidak berlaku.

Akan tetapi, Unifikasi ini tidak bertahan lama dikarenakan pada tahun 1991 dikeluarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, yang didalamnya terdapat ketentuan-ketentuan mengenai hukum perkawinan bagi masyarakat Indonesia yang beragama Islam.

Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak menutup kemungkinan bagi terjadinya perkawinan beda agama di kalangan penduduk negara Indonesia dan masalah perkawinan beda agama ini dapat dijumpai pengaturannnya dalam bagian ketiga Bab XII, Ketentuan-Ketentuan lain.

Dari perumusan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 57 telah dipersempit pengertian perkawinan beda agama dan membatasinya hanya pada perkawinan antara seorang warga negara Republik Indonesia dengan agama yang berbeda.


(40)

commit to user

Dalam rangka memperoleh atau mendapatkan kepastian terhadap kedudukan hukum perkawinan diperlukan adanya bukti-bukti autentik. Adapun bukti-bukti autentik perkawinan berupa Akta perkawinan yang berhak mengeluarkan adalah Lembaga Catatan Sipil menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. (Victor M.Situmorang & Cormentyna Sitanggang , 1991:9).

Munculnya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, walaupun tujuan undang-undang ini baik bagi semua warga negara mengenai sahnya suatu perkawinan menurut hukum Negara, memberikan perlindungan bagi semua Warga Negara Indonesia (WNI) memperoleh perlindungan melalui pencatatan perkawinannya sesuai dengan agama yang dipeluk masing-masing warga negara.

Pencatatan Sipil merupakan proses pencatatan peristiwa penting dalam kehidupan manusia. Proses tersebut dimulai dari dokumen kependudukan meliputi : ( Prosedur dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil, 2009 : 3 )

1) Biodata Penduduk 2) KK ( Kartu Keluarga )

3) KTP ( Kartu Tanda Penduduk ) 4) Surat keterangan kependudukan

a) Surat Keterangan Pindah

b) Surat Keterangan Pindah Keluar Negeri c) Surat Keterangan Datang dari Luar Negeri d) Surat Keterangan Tempat Tinggal

e) Surat KeteranganTinggal Sementara f) Surat Keterangan Kelahiran

g) Surat Keterangan Lahir Mati h) Surat Keterangan Kematian i) Surat Keterangan Perkawinan j) Surat Keterangan Perceraian


(41)

commit to user

k) Surat Keterangan Pengganti Tanpa Identitas l) Surat Keterangan Pencatatan Sipil

5) Akta Pencatanan Sipil

Dari segi Hukum Administrasi Negara bahwa pengeluaran akta-akta oleh catatan sipil adalah suatu perbuatan administrasi negara dari suatu lembaga yang berwenang atau berhak melakukan perbuatan administrasi negara yang berupa ketetapan yang berbentuk akta catatan sipil dari peristiwaperistiwa yang dilaporkan pada lembaga catatan sipil, yang pada prinsipnya memenuhi sifat kongkrit, individual, formal dan final (Victor M. Situmorang & Cormentyna Sitanggang, 1991:13)

3. Pengertian Penetapan

Ketetapan Tata Usaha Negara pertama kali diperkenalkan oleh seorang sarjana Jerman, Otto Meyer, dengan istilah verwaltungsakt.Istilah ini diperkenalkan di negeri Belanda dengan nama beschikking oleh Vollenhoven dan C.W. van der Pot, yang oleh beberapa penulis, seperti AM. Donner,H.D. van Wijk/Willemkonijnenbelt, dianggap sebagai “de

vader van het modern beschikkingsbegrip,”,(bapak dari konsep

beschikking modern ).( Ridwan, H.R. 2006: 150 )

Di Indonesia istilah Beshikking diperkenalkan pertama kali oleh WF. Prins. Ada yang menerjemahkan istilah beshikking ini dengan

“ketetapan”, seperti E.Utercht, Bagir Manan, Sjachran Basah, dan lain lain

, dan dengan “keputusan” seperti WF. Prins dan SF. Marbun, dan lain lain. Meskipun penggunaaan istilah keputusan dianggap lebih tepat, namun dalam buku Ridwan HR, akan digunakan istilah ketetapan dengan

pertimbangan untuk membedakan dengan penerjemahan “besluit”

(keputusan) yang sudah memiliki pengertian khusus, yaitu sebagai keputusan yang bersifat umum dan mengikat atau sebagai peraturan perundang-undangan.

a. Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN, Ketetapan yaitu: suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau


(42)

commit to user

pejabat Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang beraku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

b. Pasal 2 UU Administrasi Belanda (AwB) dan Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN jo UU No. 9 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN : Pernyataan kehendak tertulis secara sepihak dari organ pemerintahan pusat, pemerintah daerah, yang diberikan berdasarkan kewajiban atau kewenangan dari hukum tata Negara atau hukum administrasi, yang dimaksudkan untuk penentuan, penghapusan, atau pengakhiran hubungan hukum yang ada, atau menciptakan hubungan hukum baru, yang memuat penolakan sehingga terjadi penetapan, perubahan, penghapusan, atau penciptaan.

Berdasarkan pengertian ketetapan di atas, ketetapan hanya bisa di terbitkan oleh organ pemerintah berdasarkan pada kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang (asas legalitas). Tanpa dasar kewenangan tersebut, pemerintah atau tata usaha Negara tidak dapat membuat dan menerbitkan ketetapan atau ketetapan itu menjadi tidak sah. Organ pemerintah dapat memperoleh kewenangan untuk mebuat ketetapan tersebut melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi dan mandat.

Keputusan Administratif merupakan suatu pengertian yang sangat umum dan abstrak, yang dalam praktik tampak dalam bentuk keputusan-keputusan yang sangat berbeda. Namun demikian keputusan administratif juga mengandung ciri-ciri yang sama, karena akhirnya dalam

teori hanya ada satu pengertian “Keputusan Administratif”. Adalah

penting untuk mempunyai pengertian yang mendalam tentang pengertian keputusan administratif, karena perlu untuk dapat mengenal dalam praktek keputusan-keputusan/tindakan-tindakan tertentu sebagai keputusan administrative. Dan hal itu diperlukan, karena hukum positif mengikatkan akibat-akibat hukum tertentu pada keputusan-keputusan tersebut, misalnya


(43)

commit to user

suatu penyelesaian hukum melalui hakim tertentu. Sifat norma hukum keputusan adalah individual-konkrit. (Marbun,S.F. dan Moh.Mahfud MD, 1997:135 )

a) Definisi Ketetapan

Beberapa sarjana telah membuat definisi tentang ketetapan yang agak berlainan satu dengan yang lain :

1) Menurut W.F. Prins dan Kosim Adi Sapoetra adalah susatu tindak hukum sepihak di bidang pemerintahan dilakukan oleh alat penguasa berdasarkan kewenangan khusus.

2) E.Utrecht menyatakan ketetapan adalah

suatu perbuatan berdasrkan hukum public yang bersegi satu, ialah yang dilakukan oleh alat-alat pemerintahan berdasarkan sesuatu kekuasaan istimewa.

3) Van Vollenhoven berpendapat bahwa

penetapan/keputusan yang bersifat legislative yang mempunyai arti berlainan. (Utrecht E dan Moh. Saleh Djindang, 1990:94)

b) Unsur-Unsur Ketetapan

Ada beberapa unsur yang terdapat yang terdapat dalam beshikking menurut Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu:

1) Penetapan tersebut tertulis

2) Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.

3) Berisi tindakan hukum dalam bidang Tata Usaha Negara.

4) Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

5) Bersifat konkrit, individual dan final.

6) Menimbulkan akibat hukum

7) Bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU No.5 Tahun 1986, ketetapan memiliki definisi yang mengandung unsur-unsur dalam KTUN yaitu sebagai berikut:


(44)

commit to user 1) Penetapan Tertulis

Secara teoritis, hubungan hukum public senantiasa bersegi satu (tindakan hukum administrasi adalah tindakan hukum sepihak). Oleh karena itu, hubungan hukum publik berbeda halnya dengan hubungan hukum dalam bidang perdata yang selalu bersifat dua pihak karena dalam hukum perdata disamping ada kesamaan kedudukan juga ada asas otonomi berupa kebebasan pihak yang bersangkutan untuk mengadakan hubungan hukum atau tidak serta menentukan apa isi hubungan hukum itu. (Riduan Syahrani.1985:44)

Ketika pemerintah dihadapkan pada peristiwa konkret dan pemerintah memiliki motivasi dan keinginan untuk menyelesaikan peristiwa tersebut, pemerintah diberi wewenang untuk mengambil tindakan hokum sepihak dalam bentuk ketetapan yang merupakan hasil dari tindakan hukum yang dituangkan dalam bentuk tertulis.

2) Dikeluarkan oleh Pemerintah

Hampir semua organ kenegeraan dan pemerintahan berwenang untuk mengeluarkan ketetapan atau keputusan. Tetapi ketetapan yang dimaksudkan disini hanyalah ketetapan yang dikeluarkan oleh pemerintah selaku administrasi negara. Ketetapan yang dikeluarkan oleh organ-organ kenegaraan tidak termasuk dalam pengertiann beschikking berdasarkan hukum administrasi. (Ridwan, HR.2006:155)

3) Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan yang Berlaku

Pembuatan dan penetapan ketetapan harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku atau harus didasarkan pada wewenang pemerintahan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.


(45)

commit to user

(a) Ketetapan memiliki sifat norma hukum yang individual-konkrit dari rangkaian norma hukum yang bersifat umum-abstrak.

(b) KTUN bersifat Konkrit berarti objek yang diputuskan dalam KTUN itu tidak abstrak, tetapi berwujud,tertentu atau dapat ditentukan. Dalam hal apa dan kepada siapa keputusan itu dikeluarkan,harus secara jelas disebutkan dalam keputusan. Atau dalam rumusan lain,objek dan subjek dalam keputusan harus disebut secara tegas.

(c) KTUN bersifat individual artinya tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Kalau yang dituju lebih dari seorang,tiap-tiap nama orang yang terkena disebutkan. Tindakan Tata Usaha dalam menyatakan kehendaknya- dengan maksud terjadi perubahan pada lapangan hukum publik yang bersifat umum,seharusnya dituangkan dalam bentuk Peraturan (regeling).

(d) KTUN bersifat final berarti sudah definitif sehingga dapat menimbukan akibat hukum. Ketetapan yang masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain belum bersifat final sehingga belum dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban pada pihak yang bersangkutan. (Ridwan, HR.2006:159-160)

5) Menimbulkan Akibat Hukum

Ketetapan merupakan wujud konkrit dari tindakan hukum pemerintahan. Secara teoritis, tindakan hukum berarti tindakan-tindakan yang berdasarkan sifatnya dapat menimbulkan akibat hukum tertentu. Dengan demikian, tindakan hukum pemerintahan merupakan tindakan hukum yang dilakukan oleh organ pemerintahan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum tertentu khususnya dibidang pemerintahan atau administrasi negara. (Ridwan, HR.2006:160)


(46)

commit to user

6) Seseorang atau Badan Hukum Perdata

Subjek hukum terdiri dari manusia dan badan hukum. Berdasarkan hukum keperdataan, seseorang atau badan hukum yang dinyatakan tidak mampu seperti orang yang berada dalam pengampuan atau perusahaan yang dinyatakan pailit tidak dapat dikualifikasi sebagai subjek hukum. Ketetapan sebagai wujud dari tindakan hukum publik sepihak dari organ pemerintahan ditujukan pada subjek hukum yang berupa seseorang atau badan hukum perdata yang memiliki kecakapan untuk melakukan tindakan hukum. (Ridwan, HR.2006:162)

c. Macam-Macam Ketetapan

Dalam buku-buku hukum administrasi berbahasa Indonesia, dapat dibaca beberapa pengelompokan keputusan. E.Utrecht

menyebutnya “ketetapan”, sedangkan Prajudi Atmosudirjo menyebutnya “penetapan”. Pengelompokkan tersebut antara lain oleh:

E.Utrecht dan Prajudi Atmosudirjo.

Pertama-tama disini diketengahkan dulu pengelompkkan

E.Utrecht membedakan keputusan atas:

1) Ketetapan Deklaratur dan ketetapan konstitutif

Ketetapan deklaratur yaitu keterangan yang tidak mengubah hak dan kewajiban yang telah ada tetapi sekedar menyatakan hak dan kewajiban tersebut. Ketetapan konstitutif adalah membuat hukum. (Ridwan, HR.2006:163-164)

2) Ketetapan Enmalig (Kilat) dan Ketetapan yang Tetap (Permanen)

Menurut W F Prins, ada empat macam ketetapan kilat:

(a) ketetapan yang bermaksud mengubah redaksi ketetapan lama.

(b) Suatu ketetapan negatif.

(c) Penarikan atau pembatalan suatu ketetapan. (d) Suatu pernyataan pelaksanaan.


(47)

commit to user

Ketetapan positif menimbulkan hak atau kewajiban bagi yang dikenai ketetapan. Sedangkan ketetapan negatif tidak menimbulkan perubahan dalam keadaan hukum yang telah ada. Ketetapan negatif dapat berbentuk: pernyataan tidak berkuasa,pernyataan tidak diterima atau suatu penolakan. (Ridwan, HR.2006:167)

Penetapan positif terdiri atas lima golongan yaitu:

(a) Yang menciptakan keadaan hukum baru pada umumnya.

(b) Yang menciptakan keadaan hukum baru hanya terhadap suatu objek saja

(c) Yang membentuk atau membubarkan suatu badan hukum

(d) Yang memberikan beban (kewajiban)

(e) Yang memberikan keuntungan. Penetapan yang memberikan keuntungan adalah: dispensasi, izin, lisensi dan konsesi.

2) Ketetapan Deklaratur dan ketetapan konstitutif

Ketetapan deklaratur hanya menyatakan bahwa hukumnya demikian. Ketetapan konstitutif adalah membuat hukum.

4) Dispensasi, izin, Lisensi dan konsesi

Prof. van der Pot mengadakan pembagian dalam tiga pengertian : dispensasi-izin-konsesi. Yang dimaksud dengan

dispensasi” adalah keputusan administrasi negara yang

membebaskan suatu perbuatan dari kekuasaan peraturan yang menolak perbuatan itu.

Bilamana pembuat peraturan tidak umumnya melarang suatu perbuatan, tetapi masih juga memperkenankannya asalsaja diadakan secara yang ditentukan masing-masing hal konkrit maka keputusan administrasi negara yang memperkenankan perbuatan tersebut bersifat suatu izin (vergunning).

Kadang-kadang pembuat peraturan beranggapan bahwa suatu perbuatan yang penting bagi umum, sebaik-baiknya dapat


(48)

commit to user

diadakan oleh suatu subjek hukum partikelir, tetapi dengan turut campur dari pihak pemerintah. Suatu keputusan administrasi negara yang memperkenankan yang bersangkutan mengadakan perbuatan tersebut, membuat suatu konsensi ( concessive).

Sedangkan Prajudi Atmosudirdjo membedakan dua macam penetapan yaitu penetapan negatif (penolakan) dan penetapan positif (permintaan dikabulkan). Penetapan negatif hanya berlaku satu kali saja, sehingga permintaannya boleh diulangi lagi.

d. Syarat-Syarat Pembuatan Ketetapan

Syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam pembuatan ketetapan ini mencakup syarat-syarat material dan syarat formal. 1) Syarat Material terdiri dari:

(a) Organ Pemerintahan yang membuat ketetapan harus berwenang.

(b) Ketetapan tidak boleh mengandung kekurangan-kekurangan yuridis.

(c) Ketetapan harus berdasarkan suatu keadaan tetrtentu.

(d) Ketetapan harus dapat dilaksanakan dan tanpa melanggar peraturan lainnya, serta isi dan tujuannya harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasarnya.

2) Syarat Formil terdiri dari:

(a) Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan dibuatnya ketetapan dan berhubung dengan cara dibuatnya ketetapan harus dipenuhi.

(b) Ketetapan harus diberi bentuk yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya ketetapan itu.

(c) Syarat-syarat berhubung dengan pelaksanaan ketetapan itu harus dipenuhi.


(49)

commit to user

(d) Jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hal hal yang menyebabkan dibuatnya dan diumumkannya ketetapan itu harus diperhatikan. (Ridwan, HR.2006:169-170)

Keputusan dan ketetapan merupakan fenomena kenegaraan dan pemerintahan. Hampir semua organ pemerintahan berwenang untuk mengeluarkan ketetapan atau keputusan. Dalam praktik kita mengenal ketetapan atau keputusan yang di keluarkan oleh organ-organ kenegaraan seperti ketetapan atau keputusan MPR, keputusan Ketua DPR, keputusan presiden atau kepala Negara, keputusan hakim (rechtterlijke beschikking), dan sebagainya. Meskipun demikian, ketetapan atau keputusan yang dimaksud dalam tulisan ini hanyalah ketetapan yang dikeluarkan oleh pemerintah selaku administrasi Negara(wilayah eksekutif). Ketetapan oleh organ-organ kenegaraan tidak termasuk dalam pengertian ketetapan(beschikking) berdasarkan hukum administrasi.

Pembuatan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) atau ketetapan tata usaha Negara (KTUN) harus memperhatikan beberapa persyaratan agar keputusan tersebut menjadi sah menurut hukum(rechtgeldig) dan memiliki kekuatan hukum untuk dilaksanakan. Syarat-syarat yang harus dipenuhi tersebut ialah syarat materiil dan syarat formil. Ketetapan yang telah memenuhi syarat materil dan syarat formil, maka ketetapan itu telah sah menurut hukum dan dapat diterima sebagai suatu bagian dari tertib hukum.

B. Kerangka Pemikiran

Negara Republik Indonesia yang berbentuk kepulauan ini, menciptakan Bangsa Indonesia yang sangat heterogen dan terdiri dari berbagai suku, ras dan agama yang membutuhkan interaksi antara anggota masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya, sehingga dari interaksi tersebut bukanlah suatu hal yang mustahil bila terjadi perkawinan antar suku, antar ras dan bahkan perkawinan beda agama.


(50)

commit to user

Adanya kemajuan teknologi modern dalam abad informasi dewasa ini, telah mendorong banyaknya perubahan di berbagai bidang kehidupan dan membawa kesempatan yang lebih besar terjadinya interaksi antar anggota masyarakat dari luar golongannya. Hal tersebut, sedikit atau banyak ikut menjadi pendorong dan melatar belakangi terjadinya perkawinan beda agama. Negara Republik Indonesia merupakan Negara yang berlandaskan hukum, maka dalam hal ini perkawinan diatur dalam Pancasila dan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Di dalam Pancasila, dimana sila yang pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkaitan dianggap mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama atau kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mengandung unsur lahir atau jasmani, tetapi juga unsur batin atau rohani. Sedangkan, dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang berlaku nasional sejak tanggal 2 Januari 1974, apabila diteliti pasal demi pasal dan penjelasan Undang-Undang tersebut serta peraturan pelaksanaannya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 maka tidak ditemukan ketentuan yang mengatur secara tegas masalah perkawinan beda agama.

Kedudukan hukum perkawinan beda agama diatur menurut hokum agamanya masing-masing. Dalam hukum agama Islam perkawinan antar orang yang berbeda agama tidak dibolehkan. Dalam pelaksanaan perkawinan tersebut dilaksanakan menurut hukum agamanya masing-masing. Pelaksanaan perkawinan ini mengalami kendala-kendala yang tidak terlalu memberatkan apalagi sampai membatalkan pelaksanaan perkawinan tersebut.

Adapun kerangka pemikiran dari penulisan hukum (skripsi) ini dapat digambarkan sebagai berikut :

PP No 12 Th 2010 UU No. 1 Th. 1974 UU No.23 Th. 2006


(1)

commit to user

setelah adanya penetapan pengadilan”. Hal ini berarti dengan dikeluarkan Penetapan ijin menikah dari Pengadilan Negeri Wonogiri, maka Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil menindak lanjuti atas Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1983 Pasal 5 Ayat 2 bahwa Lembaga Kependudukan dan Catatan Sipil yang mempunyai kewenangan untuk menerbitkan Akta Perkawinan.


(2)

commit to user BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

Setelah menguraikan dan membahas beberapa hal pada bab-bab

sebelumnya, maka dalam bab IV ini penulis akan menyampaikan kesimpulan dan saran.

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa :

1. Pelaksanaan Pernikahan Beda Agama di Kabupaten Wonogiri ini harus

melalui tahap permohonan ijin ke Pengadilan Negeri Wonogiri yang nantinya akan dikeluarkan Penetapan, kemudian berkas penetapan di bawa ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Wonogiri untuk mencatat perkawinan beda agama tersebut. Pencatatan perkawinan dilakukan oleh petugas pencatat sipil sebagai instansi pelaksana atau UPTD instansi pelaksana yang mencatat pada register akta perkawinan dan menerbitkan kutipan akta perkawinan untuk diberikan kepada masing-masing suami istri tersebut. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil tidak boleh menolak untuk permohonan pencatatan perkawinan yang telah memenuhi syarat formil dan syarat materiil perkawinan. Dasar pertimbangannya, apabila calon mempelai berbeda agama maka petugas pencatat perkawinan akan mengeluarkan Rekes (surat keterangan), untuk selanjutnya agar mendapat Penetapan dari Pengadilan Negeri sesuai dengan ketentuan pasal 21 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan jucto pasal 35 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1974 tentang Administrasi Kependudukan.

2. Keabsahan atas akta perkawinan dalam Pasal 36 Undang-Undang Nomor

23 tahun 2006 bahwa dalam Pencatatan, perkawinan dilakukan setelah adanya penetapan Pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk menerbitkan Akta Perkawinan adalah Dinas Kependudukan dan catatan Sipil Kabupaten Wonogiri dan sah secara Hukum Nasional ( Negara Kesatuan Republik Indonesia ).Dalam penerapannya Undang-undang


(3)

commit to user

Nomor 1 Tahun 1974 pada pasal 2 ayat 1 disampaikan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Hal ini menunjukkan bahwa hukum agama merupakan landasan filosofis dan landasan hukum yang merupakan persyaratan mutlak dalam menentukan keabsahan perkawinan. Oleh karena dengan mendasarkan pada Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, tidak dimungkinkan adanya perkawinan beda agama, karena pada masing-masing agama telah ada ketentuan hukum yang mengikat kepada mereka dan mengandung perbedaan yang prinsip serta tidak mungkin untuk dipersatukan. Akibat yang ditimbulkan dari adanya perkawinan beda agama tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk menentukan keputusan dan penetapan baik dalam hal harta benda, anak yang dihasilkan dari perkawinan beda agama dan selanjutnya akan menyisakan permasalahan ketika ada sengketa dalam penentuan waris. Hal ini terjadi karena setiap menentukan dan atau menetapkan hal-hal yang berhubungan dengan akibat perkawinan selalu berhubungan dengan sah tidaknya perkawinan. Sedangkan perkawinan beda agama secara jelas tidak dapat dianggap sah karena tidak dapat memenuhi ketentuan-ketentuan yang dipersyaratkan dalam perkawinan.

B. Saran

1. Demi adanya kepastian hukum dan terciptanya keadilan dalam

masyarakat, pemerintah harus segera mengadakan penyempurnaan terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, agar masalah perkawinan berbeda agama dapat teratasi. Diperlukan pembentukan peraturan khusus yang mengatur tentang perkawinan beda agama. Perlu adanya petunjuk pelaksanaan dari instansi-instansi yang berwenang misalnya : Makamah Agung, Departemen Kehakiman, Departemen Agama, dan Departemen Dalam Negeri tentang perkawinan beda agama. Dengan adanya peraturan khusus atau petunjuk pelaksanaan, tidak akan timbul lagi perbedaan penafsiran yang pada gilirannya dapat


(4)

commit to user

menciptakan kepastian hukum tentang pelaksanaan perkawinan beda agama.

2. Secara psikologis perkawinan beda agama dapat menimbulkan

pertentangan batin antara suami, istri dan anak-anaknya dalam kehidupan rumah tangga dikemudian harinya, jadi sebelum, melakukan perkawinan beda agama sebaiknya dipertimbangkan kembali secara matang kemungkinan masalah-masalah yang akan ditimbulkan misalnya : masalah cara mendidik anak-anak kelak, masalah status hukum bagi anak, dan masalah pembagian harta warisan (hukum waris) serta perceraian.


(5)

commit to user DAFTAR PUSTAKA

Bambang Sunggono.1996. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada.

Grace Gunawan . Kapan Perkawinan Itu Dikatakan Sah. <http://hukum

online.co.id> ( 20 Juni 2011 pukul 09.55).

H. Hilman Hadikusuma. 2003. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut

Perundangan Hukum Agama. Bandung: Mandar Maju.

Heribertus Sutopo. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Universitas

Sebelas Maret Press.

J.C.T Simorangkir. 2000. Kamus Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

Marbun,S.F. dan Moh.Mahfud MD, 1997, Peradilan Administrasi dan Upaya

Administratif di Indonesia, Yogyakarta, , Liberty .

Laura Elizabeth Provencher. 2010. A Critical Analysis Of The Islamic Discourse

Of Interfaith Dialogue. Department Of Near Eastern Studies The University Of Arizona

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahn 1974 tentang perkawinan;

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 tahun 2010 tentang Pedoman Pencatatan Perkawinan dan Pelaporan Akta Yang Dierbitkan Oleh Negara Lain;

R. Soetojo Prawirohamijojo& Asis Safioedin. 1975. Hukum Orang dan Keluarga.

Bandung: Alumni.

R. Subekti & R. Tjitrosoedibjo. 1978. Kamus Hukum. Jakarta: Padnya Paramita.

Revd Dr John Azumah. 2010. Church & Society in Asia Today • Vol 13 No 2.

Ridwan H.R., 2006, Hukum Administrasi Negara, Jakarta, PT. Rafa Grafindo Persada.

Soejono Soekanto. 2006. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas

Indonesia Press.

Sudikno Mertokusumo. 2001. Pengantar Hukum Perdata Tertulis


(6)

commit to user

Susanto. Status Perkawinan Beda Agama. http://www.unair.ac.id. (21 Juni 2011 pukul 18.19).

Undang-Undang Dasar 1945, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan;

Utrecht ,E. dan Moh. Saleh Djindang, 1990, Pengantar Hukum Administrasi

Negara Indonesia, Jakarta, PT Ichtiar Baru,Anggota IKAPI.

_______ 1995. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Edisi Revisi). Jakarta:


Dokumen yang terkait

Studi tentang pertimbangan hakim Dalam menjatuhkan penetapan permohonan Perkawinan beda agama (studi kasus di pengadilan negeri surakarta)

1 12 83

TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN PERKAWINAN BEDA AGAMA (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA) Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Surakarta).

0 1 13

PENDAHULUAN Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Surakarta).

0 2 12

TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN PERKAWINAN BEDA AGAMA (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA) Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Surakarta).

0 1 23

SKRIPSI TINJAUAN YURIDIS PERKAWINAN BEDA AGAMA Tinjauan Yuridis Perkawinan Beda Agama (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta).

0 0 13

TINJAUAN YURIDIS PERKAWINAN BEDA AGAMA (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta) Tinjauan Yuridis Perkawinan Beda Agama (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta).

0 1 21

PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG MENDAPAT PENETAPAN PENGADILAN NEGERI MENURUT PASAL 35 HURUF A UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006 (TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN) DI DINAS KEPENDUDUKAN DAN CATATAN SIPILKOTA SURAKARTA SKRIPSI.

0 0 2

TINJAUAN TERHADAP PENETAPAN PENGADILAN NEGERI DALAM UPAYA PELAKSANAAN PERKAWINAN BEDA AGAMA (STUDI PENETAPAN NOMOR : 111/ PDT.P/ 2007/ PN.SKA).

0 1 14

ANALISIS PERKAWINAN BEDA AGAMA (STUDI TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI TERKAIT DENGAN IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA)

0 4 187

PELAKSANAAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF YURIDIS (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA)

0 0 10