Latar Belakang Masalah : PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah :

Menurut Pembukaan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 tersirat suatu makna, bahwa Negara Republik Indonesia yang berdiri pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah Negara yang berdasar atas hukum Rechsstaat dalam arti negara pengurus Verzogingsstaat 1 . Hal ini tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 selanjutnya disebut UUDNRI 1945 Alinea ke 4 yang menyatakan sebagai berikut : ‘Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Indonesia….. ” Selain dari isi alinea tersebut, Indonesia merupakan Negara hukum juga tercantum dalam Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Sejalan dengan ketentuan tersebut selain membentuk kekuasaan kehakiman yang tertulis dalam Pasal 24 Ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang selanjutnya disebut UUD NRI 1945 dimana kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dalam rangka penegakan hukum di Indonesia dan menjaga pertahanan serta keamanan Negara. UUDNRI 1945 juga melahirkan lembaga – lembaga sebagai alat Negara 1 Maria Farida Indrati Soeprapto, ilmu Perundang-undangan - Jenis, Fungsi, dan Materi, Muatan, Daerah Istimewa Yogyakarta:PT Kanisius, 2007, hal 1. yang bertugas untuk menegakkan hukum. Dari ketentuan Pasal 30 Ayat 2 UUD NRI 1945 yang menyatakan “ Usaha pertahanan dan keamanan Negara dilaksanakan melalui system pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat sebagai kekuatan pendukung” serta Pasal 30 Ayat 4 UUD NRI 1945 yang berbunyi “Kepolisian Negara Republik sebagai alat Negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakan hukum. Demi mewujudkan penegakan hukum yang adil, dan beradab berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945, maka diundangkanlah Undang-Undang Repubik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disebut dengan UU No. 2 Tahun 2002 oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia, hal ini secara jelas terdapat dalam dasar pemikiran Pembentukan UU No. 2 Tahun 2002 yang tertuang dalam konsideran menimbang huruf a dan b, yaitu a. Bahwa keamanan dalam negeri merupakan syarat utama mendukung terwujudnya masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradab bedasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 b. Bahwa Pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat Negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggu hak asasi manusia. Setelah diundangkannya UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia yg selanjutnya disebut POLRI diberikan wewenang-wewenang untuk mengakkan hukum , hal ini mengacu pada ketentuan Pasal 13 UU No. 2 Tahun 2002 tentang POLRI. Dalam melaksakan tugas pokoknya selaku penegak hukum, POLRI diberikan wewenang untuk menyelidiki dan menyidik setiap tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya sesuai dengan yang diatur dalam ketentuan Pasal 14 Huruf g UU No. 2 Tahun 2002 tentang POLRI contohnya Tindak Pidana Korupsi. Suatu fenomena sosial yang dinamakan korupsi merupakan realitas perilaku manusia dalam interaksi social yang dianggap menyimpang 2 . Oleh karena itu perilaku tersebut dengan segala bentuk dicela dalam masyarakat. Pencelaan masyarakat terhadap korupsi menurut konsepsi yuridis dimanifestasikan dalam rumusan hukumsebagai suatu bentuk tindak pidana 3 . Dewasa ini di Indonesia tindak pidana korupsi dirasa sangat merugikan negara khususnya di dalam perekonomian negara yg berdampak pada terhambatnya pembangunan nasional hal ini tercantum dalam konsideran menimbang dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yg selanjutnya disebut dengan UU No. 31 Tahun 1999 huruf a, dan b yaitu a. Bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 b. Bahwa akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan Negara atau pereoknomian Negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi 2 Elwi Danil, Korupsi, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya, Ed. 1, Cet. 3, Jakarta,PT. Rajagrafindo Persada, hal. 1 3 Ibid. Hal itulah yang menjadi dasar pemikiran pembentukan UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan melalui UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Peberantasan Tindak Pidana Korupsi ini adalah sebuah bentuk usaha negara yang benar – benar ingin memerangi tindak pidana korupsi. Namun seiring bekembangnya sistem ketatanegaraan dan semakin banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh Bangsa Indonesia, maka dibentuklah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kemudian disebut Komisi Pemberantasan Korupsi dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi selanjutnya disebut UU No. 30 Tahun 2002 yang memberi tugas kepada KPK untuk menangani kasus – kasus korupsi yang terjadi di Indonesia. Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi selanjutnya disingkat KPK dikarenakan pemberantasan tindak pidana korupsi sebelum diundangkannya UU No. 30 Tahun 2002 belum dapat dilaksanakan secara optimal. Hal ini secara jelas terdapat dalam dasar pemikiran pembentukan UU No. 30 Tahun 2002 yang tertuang dalam konsideran menimbang huruf a dan b, yaitu: a. Bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara professional, intensif dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan Negara, perekonomian Negara dan menghambat pembangunan nasional; b. Bahwa lembaga pemerintahan yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi; Dalam konsideran menimbang huruf a dan b sangat jelas diuraikan bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh lembaga kepolisian atau oleh lembaga kejaksaan belum secara efektif sehingga pemerintah mengambil jalan untuk membentuk suatu lembaga yang bersifat independen dalam melaksanakan tugasnya, yakni dengan membentuk KPK Hubungan antara KPK dengan POLRI adalah merupakan hubungan fungsional, yakni dalam melakukan fungsinya sebagai lembaga Negara yang menegakkan hukum, keadilan, dan mengayomi serta memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dengan adanya Lembaga KPK yang menjadi mitra bagi POLRI merupakan suatu sistem yang ideal bagi penegakkan hukum dan keadilan di Indonesia. Kehadiran KPK memberikan semangat baru bagi penegakkan hukum dan keadilan di Indonesia khususnya terhadap tindak pidana korupsi. Hadirnya KPK juga mengembalikan kepercayaan rakyat kepada pemerintah dalam hal keseriusannya memberantas tindak pidana korupsi dimana selama ini sebelum adanya KPK pemberantasan tindak pidana korupsi belumlah efektif. Mengenai hubungan kewenangan dan hubungan fungsional antara KPK dengan POLRI tercantum jelas pada Pasal 6 UU No. 30 Tahun 2002 dalam pasal tersebut menyebutkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan koordinasi dan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, kemudian Komisi Pemberantasan Korupsi juga berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi. Sedangkan bagi kepolisian, ketentuan mengenai hubungan fungsional dan kerja sama dengan KPK tertuang dengan jelas dalam ketentuan Pasal 42 Ayat 1 UU No. 2 Tahun 2002 tentang POLRI bahwa hubungan dan kerja sama POLRI dengan badan, lembaga, serta instansi di dalam dan luar negeri didasarkan atas sendi-sendi hubungan fungsional, saling menghormati, saling membantu, mengutamakan kepentingan umum, serta memperhatikan hierarki, sedangkan pada Pasal 42 Ayat 2 UU No. 2 Tahun 2002 tentang POLRI disebutkan bahwa hubungan dan kerja sama di dalam negeri dilakukan terutama dengan unsur-unsur pemerintah daerah, penegak hukum, badan lembaga, instansi lain, serta masyarakat dengan mengembangkan asas partisipasi dan subsidaritas. Memang dalam ketentuan Pasal 42 Ayat 1 dan 2 UU No. 2 Tahun 2002 tentang POLRI tidak ada secara jelas menyebutkan tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, dan hanya menyebutkan mengenai badan, lembaga instansi lain, serta masyarakat. Akan tetapi kembali kita melihat kedudukan dan fungsi dari KPK yang merupakan lembagainstansi yang berkedudukan di dalam negeri dan sebagai lembaga yang mengemban tugas menegakkan hukum dan keadilan di Indonesia. Jadi atas dasar itu Komisi Pemberantasan Korupsi sudah memenuhi unsur yang terdapat dalam ketentuan Pasal 42 Ayat 1 dan 2 UU No. 2 Tahun 2002 tentang POLRI sebagai lembaga yang berkedudukan di dalam negeri serta sebagai lembaga yang menegakkan hukum dan keadilan. Hubungan fungsional antara KPK dan POLRI bersifat timbal balik, hal ini dengan adanya ketentuan yang menjelaskan kedua lembaga Negara tersebut dapat melakukan kerja sama dengan lembaga Negara lain yang berfungsi menegakkan hukum, keadilan, mengayomi dan memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk Komisi Pemberantasan Korupsi hal ini jelas diatur dalam ketentuan Pasal 6 Huruf a dan b UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK yakni Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki kewenangan untuk melakukan koordinasi dan supervisi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia danatau dengan Kejaksaan Negara Republik Indonesia. Sedangkan Ketentuan mengenai lembaga POLRI dapat melakukan kerjasama dengan lembaga atau instansi lain yang berfungsi memberantas korupsi yaitu terdapat dalam ketentuan Pasal 42 Ayat 1 dan 2 UU No.2 tahun 2002 tentang POLRI yang seara rinci di tegaskan bahwa kepolisian dalam menjalankan tugasnya dapat melakukan hubungan dan kerja sama dengan badan, lembaga serta instansi di dalam negeri dan di luar negeri yang berfungsi memberantas tindak pidana korupsi. Dengan adanya pengaturan mengenai hubungan dalam melakukan kerjasama dalam pemberantasan tindak pidana korupsi antara KPK dengan POLRI secara teori memberikan semangat baru bagi penegakkan hukum dan keadilan di Indonesia, khususnya dalam memberantas tindak pidana korupsi. Idealnya jika ada 2 institusi yang berperan sebagai instrument Negara dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dengan kewenangan yang dilandasi hubungan fungsional pasti pegakkan hukum dan keadilannya semakin efektif dan efisien. Namun keadaan dewasa ini KPK dan POLRI menjadi sorotan, hal ini dikarenakan telah terjadinya gesekan-gesekan diantara kedua institusi penegak hukum ini, perseteruan antara KPK dengan POLRI bahkan sudah terjadi beberapa kali, dimulai dari tindak pidana korupsi hingga sengketa kewenangan dari kedua institusi, pada perseteruan jilid 1 kasus “cicak vs buaya” berawal dari tindakan penyidikan penyadapan KPK terhadap Kabareskrim POLRI saat tahun 2008, Komisaris Jenderal Susno Duadji, yang diduga menerima gratifikasi dari nasabah Bank Century, Boedi Sampoerna, karena berhasil memaksa Bank Century mencairkan dana nasabah itu sebelum bank itu ditutup. 4 Dalam wawancara Tempo dengan Susno Duadji yang dimuat di Majalah Tempo edisi 6- 12 Juli 2009, Susno merendahkan KPK yang dinilainya bodoh karena berani dengan Polri, khususnya dengan Kabareskrim dia sendiri. Padahal, menurutnya dia tidak bersalah. Dari sinilah muncul istilah Susno, “cicak” melawan “buaya,” yang kemudian sangat populer itu. “Kalau orang berprasangka, saya tidak boleh marah, karena kedudukan ini Kabareskrim memang strategis. Tetapi saya menyesal, kok masih ada orang yang goblok. Gimana tidak goblok, sesuatu yang tidak mungkin bisa ia kerjakan kok dicari-cari. Jika dibandingkan, ibaratnya, di sini buaya di situ cicak. Cicak kok melawan buaya. Apakah buaya marah? Enggak, cuma menyesal. Cicaknya masih bodoh saja. Kita itu yang memintarkan, tapi kok sekian tahun nggak pinter-pinter. Dikasih kekuasaan kok malah mencari sesuatu yang nggak akan dapat apa-apa.” Perseteruan cicak versus buaya belum berhenti sampai disitu, dilanjutkan dengan cicak versus buaya jilid dua yang kembali melibatkan kedua institusi penegak hukum. Pada Juli 2012, perseteruan KPK vs Polri kembali terbuka, setelah KPK menetapkan mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Irjen Djoko Susilo sebagai tersangka kasus korupsi di proyek simulator ujian SIM. 5 . Padahal sebelumnya, Mabes Polri telah menyatakan, setelah melakukan investigasi penyidikan internal, tak ditemukan unsur korupsi di proyek tersebut, yang 4 Reza Gunanda, 2014, Pertikaian KPK versus Polri Berlanjut, Pos Kupang http:kupang.tribunnews.com20150124pertikaian-kpk-versus-polri-berlanjut?page=2 diakses tanggal 9 Februari 2015 5 Icha Rastika, 2012, KPK Resmi Tetapkan Djoko Susilo Tersangka, KOMPAS.com, http:nasional.kompas.comread2012073108321417KPK.Resmi.Tetapkan.Djoko.Susilo.Tersa ngka diakses tanggal 9 Februari 2015 melibatkan Djoko Susilo. Sampai yang terhangat sekarang kasus Calon Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu Komisaris Jendral Polisi Budi Gunawan yg dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi di awal tahun 2015 karena terindikasi kasus tindak pidana korupsi 6 Dari perseteruan yang terus menerus terjadi antara lembaga KPK dan POLRI maka menarik untuk diteliti. Apakah memang ada konflik ketentuan hukum yang melahirkan sengketa kewenangan antara lembaga KPK dan POLRI ? Hal ini lah yang melatar belakangi untuk melakukan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul “Sengketa Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi Dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Kasus Korupsi”

1.2 Rumusan Masalah

Dokumen yang terkait

Sinergi Antara Kepolisian, Kejaksaan Dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

3 82 190

Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang

0 4 87

Penerapan Tersangka Miranda S.Goeltom Dalam Tindak Pidana Korupsi

0 7 78

SKRIPSI KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI UNTUK MENGANGKAT PENYELIDIK DAN PENYIDIK DALAM UPAYA OPTIMALISASI PEMBERANTASAN KORUPSI.

0 2 11

PENDAHULUAN KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI UNTUK MENGANGKAT PENYELIDIK DAN PENYIDIK DALAM UPAYA OPTIMALISASI PEMBERANTASAN KORUPSI.

0 3 22

PENUTUP KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI UNTUK MENGANGKAT PENYELIDIK DAN PENYIDIK DALAM UPAYA OPTIMALISASI PEMBERANTASAN KORUPSI.

0 3 5

TINJAUAN NORMATIF TERHADAP KEWENANGAN PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH KOMISI Tinjauan Normatif Terhadap Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian Republik Indonesi

0 2 17

TINJAUAN NORMATIF TERHADAP KEWENANGAN PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH KOMISI Tinjauan Normatif Terhadap Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian Republik Indonesi

0 2 12

PENDAHULUAN Tinjauan Normatif Terhadap Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian Republik Indonesia.

0 2 11

Nota Kesepahaman Antara Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia Dengan Kejaksaan Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia

0 0 18