Salam terhadap non-muslim perspektif hadis

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)

Oleh

AI POPON FATIMAH 1110034000109

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

\

LEMBARPERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

Nama

NIM

Fakultas/Jurusan Judul Skripsi

: Ai Popon Fatimah : 11 10034000109

: Ushuluddin/ TafsirHadis

: Salam Terhadap Non-Muslim Perspektif Hadis

Dengan kesadaran dantanggung jawab penulis menyatakan bahwa:

yang besar terhadap pengembangan keihnuan,

:

l.

Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar stata 1 di Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Semua sumber yang saya gunakan dalarfi 'penelitian

ini

telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya, maka saya

bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayullah.


(3)

,-SALAM TERIIADAP NON-MUSLIM

PERSPEKTIF

HADIS

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Theologi Islam

Oleh

AI POPON FATIMAII

NIM: 1110034000109

Di Bawah Bimbingan

Muhammad Zuhdi Zaini. M. Ae NIP: 19650817 200003 1 001

JURUSAN TAFSIRHADIS FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(4)

PENGESAHAN

PANITIA UJIAN

Skripsi yang beg'udul SALAM TERHADAP NON-MUSLIM PERSPEKTIF IIADIS

telah diujikan di dalam sidang Munaqasyah, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 9 Oktober 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S1) pada Jurusan Tafsir Hadis.

Ketua Merangkap Anggota,

Jakarla, 9 Oktober 2014 Sekretaris Merangkap Anggota,

/'fr4'

Dr. Lilik Ummi Kaltsum. M. Ag NIP. 19711003 199903 2 C1l

M\_+,

Dr. Ativatul Ulva. M. Ae NIP. 19700112 199603 2 001

Anggota

Muhammad Zuhdi. M. Ae NIP. 19650817 200003 1 001

Jauhar Azizy. MA

NIP. 19820821 200801 1 012

Maulana. M. Ag NIP. 19650207 199903 1001


(5)

i

ṣ ḍ ṭ ẓ


(6)

ii Vowels and Diphthongs

ā ī

á


(7)

iii

Nya skripsi ini dapat tersekesaikan. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada nabi Muhammad Saw.

Terimakasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang ikut andil dalam penulisan skripsi ini. Ungkapan terimakasih ini khususnya penulis sampaikan kedapa: 1. Dekan fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, bapak Prof. Dr.

Masri Mansoer, MA beserta jajarannya

2. Ketua jurusan Tafsir Hadis, ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M. Ag, beserta jajarannya

3. Bapak Muhammad Zuhdi Zaini, M. Ag selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan koreksi dan saran-saran yang membangun

4. Seluruh dosen yang telah memberikan ilmunya, semoga ilmu yang Bapak/Ibu sampaikan bisa bermanfaat

5. Seluruh pegawai TU yang telah membantu penulis selama menjadi mahasiswa

6. Pimpinan dan staf perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah serta pimpinan dan staf perpustakaan fakultas Ushuluddin yang telah membantu penulis dalam pencarian sumber dan referensi

7. Kedua orang tua yang paling berjasa sepanjang hidup penulis, terimakasih atas segala do’a, dukungan dan pengorbanannya yang tidak bisa terbayar dengan apapun

8. Kakakku beserta suami yang selalu memberi motivasi dan dukungan, serta keponakan-keponakanku, semoga kalian menjadi orang yang sukses, berbakti, dan selalu jadi kebanggaan keluarga


(8)

iv

9. My roommate, Hani Hilyati Ubaidah, yang selalu memberi motivasi, ide-ide cemerlang, dan menjadi alarm yang selalu mengingatkan untuk mengerjakan skripsi dan tugas-tugas lainnya

10.Sahabat-sahabatku yang selalu memberi semangat, membagi ilmu dan pemikirannya, ‘cewek-cewek berbakat’ Hani Hilyati Ubaidah, Syarifatunnisa, Dede Rihana, Sa’adatul Jannah, Ina Nurjannah, Ai Nurfatwa, ‘para pencari dosen’ Annisa, Noviyanti, Nurlaely

11.Teman sekaligus guru, Nurul Hasanah Lc, Aceng Aum Umar Fahmi Lc, Muhammad Lailu Ramadhana, dan Dani Kamaluddin. Terima kasih sudah mau berbagi ilmu dengan kami

12.Keluarga besar Tafsir Hadis angkatan 2010, terutama teman-teman Tafsir Hadis D, Muhammad Gozali, M. Khoiri, Nurkholis, Danisi, dan semua teman yang tidak bisa disebutkan satu-persatu

13.Teman-teman KKN MENARA 2013, Ayu Safitri, Asih Lestari, Nida Alawiyah, Ahmad Karoamain, Eristia Mulyawan, Reza Zainuar Pahlevi, Muhammad Qalbi, dan yang lainnya

14.Keluarga besar Pesantren Luhur Sabilussalam, Guru besar, ustadz-ustadz, dan teman-teman seangkatan.

Ciputat, 29 September 2014-10-06


(9)

v

antar sesama Muslim, tapi juga toleransi dengan agama lain. Hal ini bertujuan untuk menciptakan perdamaian dalam kehidupan manusia. Diantara wujud perdamaian adalah dengan menebar salam. Salam merupakan ungkapan doʻ a dan pengharapan akan kedamaian dan keselamatan. Mengucapkan salam berarti mendoakan orang lain agar keselamatan senantiasa mengiringi setiap langkahnya. Dalam kajian sosiologi, non-Islam adalah mereka yang berada di luar agama Islam. Termasuk dalam kategori ini adalah mereka yang memeluk agama Katolik, Hindu, Budha,Yahudi, Konghucu, Sinto dan agama-agama lainnya.

Al-Quran maupun hadis, keduanya banyak menjelaskan tentang tata cara bergaul dengan orang lain, baik itu sesama Muslim ataupun non-Muslim. Contohnya adalah hadis-hadis mengenai salam terhadap non-Muslim. Hadis melarang Muslim untuk memulai salam kepada non-Muslim, namun membolehkan untuk menjawab salam darinya. Hadis juga membolehkan memberi salam dalam majlis yang di sana terdapat umat Muslim dan non-Muslim. Selain itu juga hadis menjelaskan bagaimana menulis surat untuk non-Muslim serta bagaimana membalas salam yang tertulis dalam surat yang diterima dari non-Muslim.

Mengenai hadis-hadis tentang salam terhadap non-Muslim, banyak sekali ditemukan hikmah, diantaranya adalah jangan terburu-buru melakukan tindakan untuk sesuatu yang masih bisa diusahakan dengan jalan yang lebih baik, saling berdamai dengan agama lain, serta lemah lembut dalam menghadapi musuh.


(10)

vi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

HALAMAN PENGESAHAN

PEDOMAN TRANSLITERASI ... i

KATA PENGANTAR ……… iii

ABSTRAK ……… v

DAFTAR ISI ……… vi

BAB I PENDAHULUAN ……… 1

A. Latar Belakang Masalah ……… 1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah…… 6

C. Metode Penelitian ……… 7

D. Tinjauan Pustaka ……… 9

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……… 10


(11)

vii

1. Definisi Salam ……… 12

2. Etika Salam ……… 15

3. Hikmah Salam ……… 18

B. Non-Muslim ……… 23

1. Definisi Non-muslim……… 23

2. Hubungan Nabi dengan Non-muslim ……… 28

BAB III HADIS-HADIS YANG BERKAITAN DENGAN SALAM TERHADAP NON-MUSLIM ...……… 31

A. Takhrij Hadis ... 31

B. Hadis-hadis yang Berkaitan dengan Salam Terhadap non-Muslim …………....……… 35

1. Bagaimana Menjawab Salam non-Muslim a. Menjawab salam dengan redaksi “wa‟alaikum” ... 35

b. Menjawab salam dengan redaksi “‟alaika” atau“wa ‟alaika” ... 36

c. Menjawab dengan “ „alaika mā qulta”... 38


(12)

viii

3. Larangan Memulai Salam kepada

non-Muslim ... 45

4. Memberi Salam dalam Majlis yang Berisi Kaum Muslim dan Musyrik ... 48

5. Bagaimana Menulis Surat Kepada non-Muslim ... 52

6. Mengucapkan Salam Kepada non-Muslim... 53

a. Tidak Perlu Menarik Ucapan Salam Kepada non-Muslim ……….. 53

b. Meminta Kembali Ucapan Salam ………….. 54

7. Tidak mengucapkan dan juga tidak menjawab salam atas orang yang berdosa ... 55

8. Larangan Membunuh non-Muslim yang Memberi Salam ... 56

BAB IV PENUTUP ……… 59

1. Kesimpulan ……… 59

2. Saran-saran ……… 60

DAFTAR PUSTAKA ……… 62


(13)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia adalah makhluk sosial yang tak dapat terlepas dari kehidupan bersama manusia lainnya. Dengan sendirinya, manusia individu itu memasyarakatkan dirinya melebur dalam kehidupan bersama. Maka apapun yang dibuatnya, dapat mempengaruhi dan akan mempunyai makna bagi masyarakat pada umumnya. Dan sebaliknya apapun yang terjadi di masyarakat akan dapat mempengaruhi terhadap perkembangan pribadi setiap individu yang ada di dalamnya.1

Sebagai ajaran universal yang kosmopolit, Islam tidak menafikan hubungan kemanusiaan dengan agama lain. Sebaliknya, Islam bukan saja menjastifikasi dengan tegas bentuk pemaksaan dalam rekrutmen menganut agama, tetapi lebih dari itu ajaran asasinya sangat menjunjung tinggi hak-hak non-Muslim yang ada di wilayah kekuasaan Islam. Karenanya, hubungan Muslim dan non-Muslim pada dasarnya adalah cinta damai, terkecuali saat munculnya pemaksaan dan pelanggaran yang dapat memicu konfrontasi pada kedua belah pihak.

1


(14)

2

Dalam konteks ini pendapat yang menyatakan bahwa hukum dasar hubungan Muslim dan non-Muslim adalah damai memiliki relevansi dan signifikansinya. Sebab, kebanyakan ayat-ayat qitāl (perang) dalam al-Quran menunjukan adanya pembatasan pada kondisi-kondisi tertentu, seperti demi membasmi kezaliman, menekan tersebarnya fitnah, menghalau serangan lawan, serta memelihara kelangsungan dakwah. Selama bukan dalam konteks seperti itu maka konfrontasi atau pertempuran dalam bentuk apapun tidak diperbolehkan oleh ajaran agama.

Dari penjabaran tersebut jelas bahwa Islam adalah agama damai dan dakwah yang sangat menjunjung tinggi kebebasan yang bertanggung jawab. Cerminan lain wujud toleransi adalah bahwa Islam mengayomi secara penuh hak-hak kaum dhimmi, yakni non-Muslim yang mengadakan perjanjian damai di wilayah kekuasaan umat Islam.2

Dalam masyarakat Muslim, toleransi keagamaan atau toleransi religio-politik barangkali merupakan isu utama, dibandingkan dengan toleransi politik secara umum. Toleransi keagamaan yang khusus ini secara historis disebut “toleration”, dan pertama kali ditelaah oleh Jhon Locke (1963) dalam konteks hubungan antara gereja dan negara di Inggris. Toleration di sini mengacu pada kesediaan untuk tidak mencampuri keyakinan, sikap, dan tindakan orang lain, meskipun mereka tidak

2


(15)

disukai. Negara tidak boleh terlibat dalam urusan agama, dan juga tidak boleh ditangani oleh kelompok agama tertentu.3

Toleransi merujuk pada sikap dan prilaku kaum Muslim terhadap non-Muslim, dan sebaliknya. Secara historis, toleransi khusus mengacu pada hubungan antara kaum Muslim dan para pengikut agama Semitis lainnya, yakni Yahudi dan Kristen. Hubungan antara kaum Muslim, Kristen dan Yahudi sangat rumit dan mengalami pasang surut dari abad ke abad. Bernard Lewis (1985) menulis bahwa sumber toleransi di tengah-tengah kaum Muslim terhadap non-Muslim seperti umat Kristen dan Yahudi tidak jelas. Sebagian berasal dari beberapa doktrin ajaran agama Islam sendiri, dan sebagiannya lagi berasal dari pengalaman sejarah dan sosial-politik yang panjang.4

Dalam kajian sosiologi, non-Islam adalah mereka yang berada di luar agama Islam. Termasuk dalam kategori ini adalah mereka yang memeluk agama Katolik, Hindu, Budha,Yahudi, Konghucu, Sinto dan agama-agama lainnya.5

Sedangkan dalam literatur Islam, secara bahasa kata kafir berasal dari kata kafara-yakfuru-kufran yang berarti menutup sesuatu,6 dan secara teminologis kafir adalah orang-orang yang menolak atau menentang agama Allah. Mereka disebut kafir karena akal dan hati mereka tertutup dari mengakui agama Allah atau secara

3

Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan partisipasi politik di Indonesia Pasca-Orde Baru, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, tt) h.159

4

Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan partisipasi politik di Indonesia Pasca-Orde Baru, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, tt) h.159

5

Makalah Nikah Beda Agama, h.4

6


(16)

4

singkatnya bisa berarti bahwa mereka yang berada di luar Islam (non-Muslim) disebut sebagai orang kafir. Kata mushrik berasal dari kata: ashraka yushriku ishrakan-shirkan yang berarti menyekutukan Allah dengan sesuatu baik dengan menyembah

benda-benda maupun menyembah Allah sambil tetap menyembah benda-benda.7

Di Indonesia yang masyarakatnya diberi kebebasan untuk memeluk agama, tentu saja dalam kehidupan sehari-hari kita juga berdampingan dengan non-Muslim. Maka tentu akan sulit bagi kita menghindari interaksi sosial dengan mereka yang non-Muslim. Selain itu, Islam merupakan agama yang sangat menjunjung tinggi etika dan toleransi. Namun, apakah Islam memberikan perlakuan yang sama perihal etika antar Muslim dan etika terhadap non-Muslim terutama dalam hal memberi dan menjawab salam.

Salam merupakan salah satu adab yang khas dalam Islam. Salam juga merupakan suatu tanda penghormatan dan sebagai doʻ a untuk keselamatan. Sesama umat Islam bila saling berpapasan hendaklah mengucapkan “Assalāmu ʻ alaikum”. Maka menjadi wajib hukumnya bagi orang yang menerima salam untuk menjawabnya dengan ucapan “Wa ʻ alaikum al-salām”. Hal inilah yang menjadi identitas Islam sebagai agama yang damai dan saling menghormati antar umatnya bahkan terhadap agama lain.

Lafaz salam merupakan sebuah kata yang sangat indah dan sarat makna yang dengannya kita menyampaikan doʻ a kebaikan dan keselamatan kepada lawan bicara

7


(17)

kita dan pada saat yang sama kita memberikan jaminan kepadanya bahwa ia tidak akan menjumpai bahaya dan kerugian dari sisi kita yang memberikan salam.

Yang menjadi pembahasan dalam konteks ini adalah bahwa ada hadis Nabi yang melarang umatnya untuk memulai salam kepada non-Muslim ketika bertemu, bahkan dalam hadis itu juga diperintahkan untuk mendesak mereka ke jalan yang sempit. Hadisnya ialah:

“Janganlah kalian mendahului orang-orang Yahudi dan Nasrani memberi salam. Apabila kalian berpapasan dengan salah seorang di antara mereka di jalan, maka desaklah dia ke jalan yang paling sempit.”8

Ada juga hadis Nabi yang menjelaskan bagaimana cara menjawab salam non-Muslim:

Nabi SAW bersabda: "Apabila Ahl al-Kitāb mengucapkan salam kepada kalian maka ucapkanlah: wa ʻ alaikum (Dan atas kalian)."9

Hadis ini menjelaskan perintah Nabi jika seorang Ahl al-Kitāb mengucapkan salam maka jawablah dengan kalimat “Waʻ alaikum”.

Selain kedua hadis di atas, masih banyak hadis yang berkaitan dengan salam terhadap non-Muslim yang menarik perhatian penulis.

8

ahih Muslim, Kitab : Salam, Bab : Larangan memulai Ahl al-Kitāb dalam memberikan salam, No. Hadis: 4030, (CD Lidwa Pustaka)

9

ahih al-Bukhari, Kitab : Meminta Izin, Bab : Bagaimana menjawab salam Ahl dhimmah, No. Hadis: 5788, (CD Lidwa Pustaka)


(18)

6

Dari latar belakang ini, maka penulis merasa perlu untuk membahas hal tersebut dengan menulis penelitian dengan judul “SALAM TERHADAP

NON-MUSLIM PERSPEKTIF HADIS”.

B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah

a. Identifikasi masalah

Identifikasi masalah dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Apa saja hadis yang menjelaskan tentang salam terhadap non-Muslim? 2. Bagaimana hadis mengatur salam terhadap non-Muslim?

3. Bagaimana menyikapi non-Muslim yang sangat toleran terhadap umat Islam?

b. Pembatasan masalah

Masalah yang dibahas dalam penelitian ini hanya terkait pengkajian hadis-hadis yang berkaitan dengan salam terhadap non-Muslim dari al-Kutūb al-Tis‘ah saja supaya penulisan skripsi lebih terfokus, sistematis dan tidak melebar.

c. Rumusan masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dipaparkan di atas, rumusan masalah yang penulis angkat dalam penelitian ini adalah “Bagaimana hadis mengatur tata cara salam terhadap non-Muslim baik dalam hal memulai atau menjawab salam secara langsung ataupun melalui surat?”


(19)

C. Metode Penelitian

Sumber utama penelitian ini adalah al-Kutub al-Tisʻ ah yang memuat hadis-hadis tersebut dengan sharḥ-nya. Untuk pelacakan dan penelusuran hadis tersebut dalam al-Kutub al-Tisʻ ah, penulis menggunakan metode takhrīj hadis dengan menggunakan kamus hadis melalui petunjuk lafal hadis dengan kitab al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfā al-adīth dan kata kunci (tema) hadis dengan kitab Miftāh Kunūz al-Sunnah. Di samping itu, digunakan juga jasa komputer dengan program CD Lidwa

yang mampu mengakses sembilan kitab sumber primer hadis. Sedangkan sumber penunjangnya adalah kitab-kitab dan buku-buku yang relevan dengan kajian ini.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode tematik (mauḍu‘i). Metode mauu‘i adalah mengumpulkan hadis-hadis yang terkait dengan satu topik atau satu tujuan kemudian disusun sesuai dengan asbāb al-wurūd dan pemahamannya yang disertai dengan penjelasan, pengungkapan dan penafsiran tentang masalah tertentu10.

Berdasarkan penjelasan di atas, metode mauu‘i harus memenuhi beberapa unsur, yaitu:

1. Menentukan topik atau judul yang akan dikaji

2. Mengumpulkan hadis-hadis yang terkait dengan topik yang telah ditentukan 3. Melakukan pensyarahan atau pengkajian sesuai dengan tema

10

Abd al-Hayy al-Farmāwī, al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Maudȗ’ī Dirāsah Manhajiah Maudȗ’iyah. diterj. Rosehan Anwar dan Maman Abd Jalil, Metode Tafsir Maudhui. (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 1423 H/2002 M), h. 44.


(20)

8

4. Memilih salah satu atau seluruh aspek ontologis, epistemologis dan aksiologis yang terkait dengan tema.11

Sedangkan langkah-langkah pengkajian hadis dengan metode mauu‘i antara lain dapat dilakukan dengan:

a. Menentukan tema atau masalah yang akan dibahas

b. Menghimpun atau mengumpulkan data hadis-hadis yang terkait dalam satu tema, baik secara lafaz maupun secara makna melalui kegiatan takhrij al-hadis

c. Melakukan kategorisasi berdasarkan kandungan hadis dengan memperhatikan kemungkinan perbedaan peristiwa wurudnya hadis (tanawwu’) dan perbedaan periwayatan hadis.

d. Melakukan kegiatan i’tibar12 dengan melengkapi seluruh sanad

e. Melakukan penelitian sanad yang meliputi penelitian kualitas pribadi perawi, kapasitas intelektualnya dan metode periwayatan yang digunakan.

11

Arifuddin Ahmad, Metode Tematik dalam Pengkajian Hadis, (Makassar: Rapat Senat Luar Biasa UIN Alauddin Makassar) h. 20-21

12I’tibar adalah suatu proses yang membandingkan antara beberapa riwayat untuk mengetahui

apakah perawinya itu sendiri meriwayatkan hadis tersebut ataukah ada perawi lain yang meriwayatkannya. Jika ada perawi/sanad yang lain, apakah kedua sanad itu sama di tingkat sahabat ataukah berbeda? Jika sama ditingkat sahabat akan tetapi berbeda ditingkat setelah disebut berarti hadis tersebut ada muta’bi’-nya, jika berbeda ditingkat sahabat maka hadis tersebut ada syahid-nya. Abd Haq ibn Saifuddin al-Dahlawī, Muqaddimah fī Ușȗl al-Hadīs (Cet. II; Bairut: Dār al-Basyāir al

-Islāmiyah, 1406 H/1989 M), h. 56-57. Bandingkan dengan Mahmud al-Ţahhān, Taisīr Musţalah al


(21)

f. Melakukan penelitian matan yan meliputi kemungkinan adanya ‘illat (cacat) dan syaẓ (kejanggalan).

g. Mempelajari term-term yang mengandung arti serupa h. Membandingkan berbagai syarah hadis

i. Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis atau ayat-ayat pendukung j. Menyusun hasil penelitian menurut kerangka besar konsep.13

D. Tinjauan Pustaka

Dalam melakukan sebuah penelitian, tentunya seorang penulis akan memerlukan beberapa referensi sebagai bahan untuk tulisan yang akan diteliti agar tidak terkesan mengarang ataupun tanpa landasan. Untuk menghindari terjadinya plagiarisme dan menegaskan perbedaan antara yang akan penulis bahas dengan tulisan yang telah ada sebelumnya, maka penulis akan mengulas tulisan lain yang dirasa memiliki judul ataupun pembahasan yang hampir serupa dengan apa yang akan penulis bahas.

Di antara tulisan tersebut adalah skripsi dengan judul: “Larangan Memulai Salam Kepada Ahli Kitab” yang ditulis oleh Indra Gunawan, mahasiswa jurusan Tafsir Hadis fakultas Ushuluddin tahun 2003.

13

Arifuddin Ahmad, Metode Tematik dalam Pengkajian Hadis, (Makassar: Rapat Senat Luar Biasa UIN Alauddin Makassar) h. 20-21


(22)

10

Pokok masalah dari skripsi ini adalah bahwa teks hadis tentang larangan memulai salam kepada Ahl al-Kitāb akan menimbulkan kerancuan penafsiran dikalangan umat Islam sendiri, khususnya bagi mereka yang awam.

Adapun rumusan masalah yang diangkat dalam skripsi ini adalah “Apakah hadis yang berkaitan dengan larangan memulai salam kepada Ahl al-Kitāb ini ahiḥ dari segi kualitas sanad, lalu bagaimana ulama menyikapi kandungan matan hadisnya, dan kebolehan hadis ini dijadikan hujjah?

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Setiap penelitian tentu memiliki tujuan dan manfaat. Begitu juga halnya penulisan skripsi ini memiliki tujuan sebagai berikut:

1. Mengklasifikasi hadis-hadis tentang salam terhadap non-Muslim

2. Membantu memberikan kontribusi serta pemahaman dalam dunia pendidikan dan sosial

3. Dalam rangka memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I) Fakultas Ushuluddin di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.


(23)

F. Sistematika Penulisan

BAB I berupa pendahuluan yang berisi latar belakang masalah penulisan skripsi, rumusan dan batasan masalah yang diangkat, serta metode penelitian yang penulis terapkan dalam penelitian ini. Selain itu, di bab ini juga dipaparkan tinjauan pustaka, tujuan penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II berupa tinjauan umum tentang definisi salam dan non-Muslim. Serta bagaimana Nabi berhubungan dengan non-Muslim.

BAB III berupa kajian tematik mengenai hadis-hadis yang berkaitan dengan salam terhadap non-Muslim serta penjabaran fiqh al-hadis dari hadis-hadis tersebut.

BAB IV berupa penutup, yang meliputi; Kesimpulan, yang berisi jawaban atas pertanyaan yang telah disebutkan dalam perumusan masalah, dan Saran, berisi saran-saran seputar isi serta esensi terhadap hasil penelitian yang ditulis.


(24)

12

BAB II

TINJAUAN UMUM

A. Salam

1. Definisi Salam

Islam adalah ajaran yang secara konsisten mengajarkan tentang pentingnya arti sebuah perdamaian dan kedeamaian. Konsistensi ini dapat dibuktikan oleh rangkaian kata s-l-m yang mempunyai arti mencari perdamaian, selamat, menyerah, pasrah, tunduk dan patuh, terhindar dari cacat dan aib. Al-Quran secara konsisten pula memakai kata ini sebagai al-Salam (nama bagi Allah Yang Maha Damai), Muslim (subjek yang melakukan pencarian jalan hidup damai), Silm (perdamaian itu

sendiri), Islam (nama bagi agama yang para Nabi diutus untuk meninggikan kalimat Allah), agar manusia hidup dalam kedamaian diri, keluarga, sosial masyarakat, alam kubur, sampai kepada masuknya mereka ke surga Dār al-Salam.1

Kata salam berasal dari bahasa Arab yang berarti damai, sejahtera. Dipakai terutama sebagai pernyataan penghormatan.2 Salam tidak hanya memberi pengertian

1

Ahmad Rifai, Konsep al-Quran tentang al-Salām, (TESIS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005) h. 25

2

Tom Jacob, Syalom, Salam, Selamat: Beberapa Refleksi Kritis mengenai Soteriologi,


(25)

selamat, tetapi mempunyai kandungan bebas dari segala ketergantungan dan tekanan, sehingga hidupnya terasa damai, tentram, dan selamat.

Secara etimologi kata al-Salam atau salam terambil dari kata kerja fi’il may (bentuk lampau) yang terdiri dari tiga huruf sin, lam dan mim

ملس

(salima) yang mempunyai arti terhindar dari mara bahaya, terbebas dari cacat, dan mencari perdamaian. Dari akar kata yang sama terambil pula kata

ملسا

(aslama) bentuk fiʻ il mai mazid bi harfin (tambahan satu huruf) dengan fiʻ il muari

ملسي

(yaslimu). Dari kata tersebut terambil kata Islam yang berarti tunduk dan patuh, serta khuḍ ʻ u, kata ini juga merupakan nama bagi agama yang dibawa Nabi Muhammad saw.3

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menerangkan kata damai sebagai padanan dari kata salam yang berarti tidak ada perang, tidak ada kerusuhan dengan suasana yang aman, tentram dan tenang, di mana tidak ada permusuhan antar warga masyarakat.4 Sehingga perdamaian dapat berarti penghentian permusuhan dan konflik yang dapat menyebabkan kondisi yang tidak harmonis dalam jiwa manusia. Karena sifat dasar manusia adalah ingin selalu hidup dalam kebaikan dan kedamaian.5

Untuk mewujudkan sifat saling berdamai ini, maka dibutuhkan satu hubungan praktis yang dapat mempertemukan semua manusia pada kondisi tenang

3 Abu al-Husain Ahmad Ibn Faris Ibn Zakariya, Mu‘jam Maqayis al

-Lughah, jilid 3, (Cairo: Maktab Ibn Mandhur, Lisan al-‘Arab, (Beirut: Dar al-Fikr) h.342-344

4

Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. I, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998) h.182-183

5

Ahmad Rifai, Konsep al-Quran tentang al-Salām, (TESIS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005) h. 26


(26)

14

dan damai. Sehingga perkataan salam menjadi sebuah ucapan doʻ a sekiranya manusia dianugerahkan keterhindaran dari segala bencana dan mara bahaya yang dapat menimpanya.6

Pakar tafsir Indonesia M. Quraish Shihab secara implisit mendefinisikan salam yang dikutip dari al-Biqa’i dalam kitab Namu al-ular dengan “batas antara keharmonisan (kedekatan) dan perpisahan, serta batas antara rahmat dan siksaan”.7

Kemudian pakar tafsir ini membagi salam atau damai menjadi dua, yakni damai pasif dan damai positif. Salam atau damai pasif adalah perkataan yang diucapkan apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, tetapi tidak mengakibatkan kekurangan atau kecelakaan. Adapun salam atau damai positif adalah ucapan selamat (congratulation) dari seseorang kepada orang lain yang mendapatkan kesuksesan dalam usahanya atau karirnya. Karena ucapan yang seperti ini tidak saja ia terhindar dari keburukan dan kesialan, bahkan lebih dari itu, ia mendapatkan kebajikan atau kesuksesan.8

6

Ahmad Rifai, Konsep al-Quran tentang al-Salām, (TESIS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005) h. 26

7

Muhammad Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi: Asma Husna dalam Perspektif al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati, 2001) cet.IV h. 46

8

Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran,


(27)

2. Etika Salam

Islam sebagai agama yang mengajarkan tentang pentingnya cara hidup yang Islami sesuai dengan garis ketetapan Ilahi, di samping mengajarkan tata cara beribadah kepada Allah swt. juga mengatur pola berinteraksi sosial antar sesama manusia.

Secara lebih praktis kita diajarkan untuk banyak mengucapkan salam kepada Allah (taḥiyyah), salam kepada Nabi Muhammad dan kepada semua Nabi dan Rasul (ṣ alawat) dan kepada semua umat Islam.

Dalam kehidupan sehari-hari, ucapan salam sebagai penghormatan serta tegur sapa kepada orang Mukmin dengan Mukmin lainnya agar selalu mendapat keselamatan dan kedamaian, tergambar dalam al-Quran surat al-Nur [24] ayat 61:

...









































Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah- rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat(Nya) bagimu, agar kamu memahaminya.

Ulama mutaqaddimīn berbeda pendapat tentang arti buyūtun jamak dari kata baitun pada ayat dia atas. Sebagian mereka, Ibrahim al-Nakhaʻ i dan Hasan mengartikan dengan masjid, sementara Ibn ‘Arabi mengartikan kata umum untuk semua rumah, tidak hanya untuk masjid. Ibn ‘Abbas menyatakan “jika seseorang memasuki mesjid atau masuk ke dalam rumah yang tidak dihuni, maka hendaknya


(28)

16

mengucapkan assalāmu ʻ alainā wa ‘alā ‘ibādillāhi al-ālihīn” yang artinya “kedamaian atau keselamatan atas kita dan atas hamba-hamba-Nya yang baik. Sedangkan Ibn ‘Umar mengatakan “jika masuk ke rumag kosong maka ucapkan

assalāmu ʻ alainā wa ‘alā ‘ibādillāhi al-ālihīn, jika ada penghuninya maka ucapkanlah assalāmu ʻ alaikun wa rahmatullāhi”.9

Salam juga diucapkan sebelum masuk ke rumah orang lain dan meminta izin untuk memasuki rumah tersebut kepada penghuninya, sebagaimana firman Allah QS al-Nur [24] ayat 27:







































Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat. Kalimat salam yang dicontohkan oleh Nabi adalah ucapan “assalāmu

‘alaikum wa rahmatullāhi wa barakātuh” yang berarti “semoga keselamatan, rahmat dan barakah Allah tercurahkan kepadamu”. Doa yang diajarkan didalamnya tidak hanya tentang keselamatan, keamanan dan kedamaian dalam hidup saja, melainkan juga rahmat atau kasih sayang dan barakah atau bertambahnya aneka kebajikan dalam hidup dari-Nya juga.10

9 Abu ‘Abd Allah Muhammad Ibn Ahmad al

-Anshari al-Qurthubi, al-Jami‘ li Aḥkam al-Quran, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), jilid 6 juz 11-12, h. 209

10

Ahmad Rifai, Konsep al-Quran tentang al-Salām, (TESIS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005) h. 138


(29)

Kata “semoga” dapat berarti “saya berharap” atau “harapan saya”. Satu ungkapan yang terlahir dari hati nurani yang tulus dan dalam agar seseorang mendapatkan kedamaian, keselamatan, rahmat dan barakah dari Allah Swt ketika seorang mulsim akan mengawali interaksinya dengan orang lain atau berpisah dengan mereka.11

Oleh karenanya, berdasarkan isi kandungan makna salam seseorang akan menjadi Muslim yang sejati ketika seorang Muslim yang lain mendapat ketenangan, keamanan dan kedamaian dari segala ucapan-ucapan yang dapat menyakitkan hati serta aman dari tingkah laku dan perbuatan yang dapat membuat perasaan tak aman, serta resah pada diri saudaranya. Sebagai mana Nabi saw telah bersabda:12

Dari ‘Abd Allah ibn; Amr RA. dari Nabi SAW. telah bersabda: “Muslim sejati adalah orang yang (apabila) orang Islam lainnya (merasa) aman dari gangguan lisan dan tangannya.”

Nabi SAW. juga mendidik adab seorang Muslim dalam mengucapkan salam dengan sabdanya:

11

Ahmad Rifai, Konsep al-Quran tentang al-Salām, (TESIS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005) h. 138

12

Al-Bukhari, Ṣai Bukhori, kitab al-Iman no indeks 9 ( indeks dalam program CD Lidwa)


(30)

18

Rasullah SAW. telah bersabda: “Orang yang berada di atas kendaraan memberi salam kepada orang yang berjalan kaki, orang yang berjalan memberi salam kepada orang yang sedang duduk, dan kelompok yang sedikit memberi salam kepada yang banyak”. Dalam riwayat lain dijelaskan orang yang lebih muda memberi salam kepada yang lebih tua”.

3. Hikmah Salam

Allah telah mengatur jalan-jalan kedamaian tersebut secara kaffah yang diwujudkan melalui pola hidup Islami. Dengan berpegang kepada kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya, mencari hidayah atau bimbingan Allah, selalu bertawakkal

kepada-Nya diawali dari berpikir Islami, berkata-kata sambil menyebarkan dan membudayakan salam kepada siapa saja agar tumbuh perasaan saling mencintai, kemudian bertindak mengambil langkah dan kebijakan yang tidak merugikan diri dan orang lain, seraya mengharap keridhaan-Nya.13

Suatu ketika Rasulullah SAW. pernah ditanya tentang amal perbuatan yang utama dalam Islam. “Perbuatan apakah yang lebih baik dalam Islam?”. Maka beliau menjawab: “Engkau memberi makan (kepada orang-orang yang lapar) dan mengucapkan salam kepada orang yang kalian kenal maupun tidak kau kenal.14

13

Ahmad Rifai, Konsep al-Quran tentang al-Salam, (Tesis UIN Syarif Hidayatullah, 2005) h. 189-190

14

Al-Bukhari, Ṣai Bukhari, kitab al-Iman no indeks 12 (Indeks dalam program CD Lidwa)


(31)

Abu Umamah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Siapa yang mengucapkan, ‘Assalāmu ‘alaikum,” maka di catat 10 kebajikan untuknya; siapa yang mengucapkan, ‘Assalāmu ‘alaikum wa rahmatullāh’, maka dicatat 20 kebajikan untuknya; dan siapa yang mengucapkan, ‘assalāmu ‘alaikum wa rahmatullāh wa barakātuh,’ maka dicatat 30 kebajikan untuknya.”15

Al-Quran, dengan hukum dan arahnya yang agung, meletakan pilar-pilar asasi untuk membangun masyarakat yang saling mencintai sesama sebagaimana mencintai diri sendiri. Rasa cinta demikian ini mungkin terwujud manakala hati mereka bersih dari sifat permusuhan dan dengki.16

Tidak diragukan lagi, seorang Muslim yang memulai salam kepada Muslim lainya yang kemudian menjawab dengan salam yang lebih baik, pada dasarnya sedang berusaha untuk saling mempererat ikatan cinta dan kasih sayang.17

Tidak sampai di situ, Allah tidak menjadikan kehidupan ini hanya berhenti di dunia saja, akan tetapi ada kehidupan akhirat yang kekal dan abadi. Fase interval antara hidup di dunia dan di akhirat disebut kehidupan alam kubur atau barzakh. Orang yang sudah wafat sekalipun masih mendapatkan ucapan salam dari mereka yang masih hidup. Ucapan salam untuk orang-orang yang sudah wafat adalah:

15

Ensiklopedi Tematis al-Quran, terj. Ahmad Fawaidz Syadzili, (Jakarta: PT Kharisma Ilmu, tt) jilid 3, h. 24

16

Ensiklopedi Tematis al-Quran, terj. Ahmad Fawaidz Syadzili, (Jakarta: PT Kharisma Ilmu, tt) jilid 3, h. 28

17

Ensiklopedi Tematis al-Quran, terj. Ahmad Fawaidz Syadzili, (Jakarta: PT Kharisma Ilmu, tt) jilid 3, h. 28


(32)

20

Telah menceritakan kepada kami Al Qa'nabi dari Malik dari Al 'Ala` bin Abdurrahman, dari ayahnya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam keluar menuju sebuah kuburan kemudian mengucapkan: “al-salāmu ‘alaikum dāra qaumin mukminīn, wa innā inshaa allāhu bikum lāhiquun” (Semoga keselamatan terlimpah kepada kalian wahai penghuni kampung kaum mukminin, sesungguhnya insya Allah kami akan menyusul kalian).” 18

Nabi SAW. Bersabda dalam sebuah hadis:

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Auf, telah menceritakan kepada kami Al Muqri`, telah menceritakan kepada kami Haiwah, dari Abu Shakhr Humaid bin Ziyad dari Yazid bin Abdullah bin Qusaiṭ dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW. berkata: “Tidaklah seseorang memberikan salam kepadaku melainkan Allah akan mengembalikan nyawaku hingga aku membalas salamnya.”19

Naṣ ini menunjukan bahwa orang yang sudah terbujur kaku di dalam kuburnya masih bisa mengetahui kedatangan dan menjawab salam orang yang masih

18

Abu Daud, Sunan Abu Daud, Kitab al-Janāiz, no indeks 2818 (Indeks dalam program CD Lidwa)

19

Abu Daud, Sunan Abu Daud, Kitab : Manasik, Bab : Ziarah kubur, No. Hadis : 1745 (Indeks dalam program CD Lidwa)


(33)

hidup. Dalam salah satu riwayat dijelaskan bahwa satu ketika Nabi saw. pernah memerintahkan para sahabat untuk mengumpulkan para korban perang Badr (musyrikin Quraisy) dan melemparkannya ke dalam lubang bekas sumur.20

Nabi SAW. bersabda:

Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Al Mundzir telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fulaih bin Sulaiman dari Musa bin ‘Uqbah dari Ibnu Syihab dia berkata, ‘Ini berkenaan dengan peperangan yang dialami Rasulullah, kemudian ia menyebutkan hadis. Setelah melemparkan mereka ke dalam sumur badar, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada mereka: “Apakah kalian mendapati apa yang dijanjikan Rabb kalian adalah benar?” Musa berkata, Nafi’ mengatakan, Abdullah berkata, “Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah engkau menyeru orang yang telah mati?” Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: “Tidaklah kalian lebih mendengar ucapanku daripada mereka.” Abu Abdullah mengatakan, “Kemudian orang-orang Quraisy yang

20


(34)

22

ikut serta dalam perang Badr dikumpulkan, dan yang diberi bagian harta rampasan perang berjumlah delapan puluh satu orang.” Urwah bin Az Zubair berkata, Az Zubair berkata, “Bagian (dari rampasan perang) mereka dibagi-bagi, dan mereka diberi seratus bagian. Wallahu a'lam.”21

Dari riwayat-riwayat di atas menunjukan bahwa orang yang sudah wafat pun mendengar ucapan salam. Salam sebagai doʻ a juga kiranya terlimpahkan secara langgeng dan mantap kepada mereka yang sudah berada di alam barzakh. Di sini seorang pengucap salam menaruh harapan agar si mayit mendapat ketenangan dan kedamaian hidup di alam barunya, serta terhindarnya si mayit dari siksa kubur.22

Salam perdamaian yang diinginkan dalam Islam adalah tidak hanya sekedar berdamai dengan sesama manusia ketika hidup di dunia. Tetapi perdamaian yang di maksud adalah sikap untuk selalu berdamai dan melakukan perbaikan dalam rangka menjaga keharmonisan hidup dan keseimbangan alam. Perdamaian yang diusahakan ini tidak hanya berlangsung di dunia melainkan akan terbawa sampai ke akhirat.

Fungsi salam dalam kehidupan adalah: pertama, menebarkan salam berarti mendoakan manusia supaya selamat dan sejahtera. Kedua, orang yang gemar mengucapkan salam adalah orang yang rendah hati dan orang yang rendah hati jauh dari kesombongan. Ketiga, salam dapat mempererat tali persaudaraan dan

21

ahih al-Bukhari, Kitab : Peperangan, Bab : Malaikat ikut menyaksikan perang Badar, No. Hadis : 3722

22

Ahmad Rifai, Konsep al-Quran tentang al-Salām, (TESIS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005) h. 142


(35)

menjauhkan dari rasa permusuhan dan pertikaian. Keempat, menebarkan salam berarti menebarkan kasih sayang diantara sesama manusia.23

B. Non-Muslim

1. Definisi Non-Muslim

Definisi non-Muslim dapat dilihat dari pengertian Muslim dengan mendapat kata imbuhan non yang berarti tidak atau bukan. Maka non-Muslim berarti orang yang tidak atau bukan beragama Islam.24 Dalam kajian sosiologi, non-Muslim adalah mereka yang berada di luar agama Islam. Termasuk dalam kategori ini adalah mereka yang memeluk agama Katolik, Hindu, Budha,Yahudi, Konghucu, Sinto dan agama-agama lainnya.25

Kelompok non-Muslim dapat dibedakan menjadi beberapa kelompok. Abdullah Nashih ‘Ulwan membaginya menjadi empat kelompok, yaitu: kelompok Ahl al-Kitāb, kelompok atheis dan murtad, kelompok paganis dan musyrik, dan kelompok orang-orang munafik.26

a. Kelompok Ahl al-Kitāb

23

Ahmad Kusaeri, Akidah Akhlak, (Bandung: Grafindo Media Pratama, 2008) h. 68

24

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994) h. 692

25

Makalah Nikah Beda Agama, h.4

26Abdullah Nashih ‘Ulwan,

Konsep Islam Terhadap Non-Muslim, Penerjemah: Kathur Suhardi, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996) h. 46


(36)

24

Yang dimaksud dengan kelompok Ahl al-Kitāb adalah orang-orang yang beragama berdasarkan salah satu kitab samawi dan mengikuti salah seorang Nabi. Ahl al-Kitāb merupakan sebutan bagi kelompok orang yang mempercayai dan berpegang teguh kepada agama yang memiliki kitab suci yang berasal dari Tuhan, selain al-Quran.27 Orang yang tetap berpegang teguh pada agama yang di bawa Nabinya sebelum kenabian Muhammad atau sesudah kedatangan beliau tapi dakwah Islam belum sampai kepadanya, maka dia adalah orang Mukmin. Sedangkan orang yang tetap pada agamanya, padahal ia mengetahui akan kerasulan Muhammad dan dakwah beliau, maka ia termasuk kelompok orang-orang kafir. Ahl al-Kitāb terdiri dari dua kelompok, yakni kelompok Yahudi yang berpegang teguh kepada syari‘at Nabi Musa yang menerima kitab Taurat, dan kelompok Nashrani yang berpegang teguh kepada syari‘at Nabi Isa yang menerima kitab Injil. b. Kelompok Atheis dan Murtad

Murtad artinya perbuatan orang Muslim yang meninggalkan agama yang telah diridhai Allah, lalu memeluk agama lain, atau meyakini suatu akidah dan ideologi tertentu yang bertentangan dengan tatanan Islam. Sedangkan atheis adalah pengingkaran terhadap dzat Illahi, menolak risalah samawi yang telah diturunkan Allah kepada Rasul-rasul-Nya. Atau dengan pengertian lain bahwa atheis merupakan pengingkaran tentang hal-hal gaib

27

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid I, ed, (Jakarta:Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 46


(37)

yang dibawa dan disampaikan lewat para rasul.28 Yang disebut atheis sebetulnya terdiri dari masing-masing ‘atheis praktis’, yaitu orang-orang yang tidak percaya Tuhan sebab tidak ada pewartaan tentang Tuhan kepadanya, dan ‘atheis teoritis’, yaitu orang-orang yang tidak percaya Tuhan sebab rasionya yang terbatas mencoba mewacanakan-Nya demikian di bawah kendali hatinya yang telah lebih dulu menyangkali-Nya.29

c. Kelompok Paganis dan Musyrik

Kelompok paganis adalah orang-orang yang membuat sesembahan selain Allah, atau mengambil tuhan di samping Allah. Yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah orang yang menyembah api, bintang, orang-orang majusi, penyembah patung, dan lain-lain. Kelompok paganis terbagi dua, yaitu kelompok orang musyrik Arab, dan kelompok selain yang berasal dai bangsa Arab, seperti orang-orang Majusi. 30

Sedangkan kata mushrik berasal dari kata: ashraka yushriku ishrakan-shirkan yang berarti menyekutukan Allah dengan sesuatu baik dengan

menyembah benda-benda maupun menyembah Allah sambil tetap menyembah benda-benda.31

d. Kelompok orang-orang Munafik

28Abdullah Nashih ‘Ulwan,

Konsep Islam Terhadap Non-Muslim, Penerjemah: Kathur Suhardi, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996) h. 62

29

Remi Sylado, Mimi Lan Mintuna: Trafiking Perempuan Indonesia, h. 128

30Abdullah Nashih ‘Ulwan, Konsep Islam Terhadap Non-Muslim,

Penerjemah: Kathur Suhardi, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996) h. 55

31


(38)

26

Kemunafikan adalah suatu sikap pada diri seseorang yang mengaku-ngaku Islam, tetapi jauh di lubuk hatinya menyimpan kekufuran dan tujuan-tujuan yang tidak baik. Sifat-sifat yang terdapat dalam diri orang munafik antara lain ialah: perkataannya selalu bohong, perbuatannya dipenuhi bahaya dan kerusakan, selalu memakai topeng yang berganti-ganti sesuai dengan kondisi yang dihadapinya. 32

Di samping pembagian tersebut, terdapat juga pembagian golongan non-Muslim menurut Endang Saefuddin Anshari, yaitu:33

a. Kafir, yaitu orang yang menolak kebenaran dari Allah. Dalam literatur Islam, secara bahasa kata kafir berasal dari kata kafara-yakfuru-kufran yang berarti menutup sesuatu,34 dan secara teminologis kafir adalah orang-orang yang menolak atau menentang agama Allah. Mereka disebut kafir karena akal dan hati mereka tertutup dari mengakui agama Allah atau secara singkatnya bisa berarti bahwa mereka yang berada di luar Islam (non-Muslim) disebut sebagai orang kafir.

b. Musyrik, yaitu orang-orang yang menyekutukan Allah. Ciri-cirinya: menganggap adanya tuhan lain selain Allah, menganggap Allah beranak dan diperanakkan, menjadikan selain Allah sebagai tujuan terakhir pengabdian hidupnya.

32Abdullah Nashih ‘Ulwan,

Konsep Islam Terhadap Non-Muslim, Penerjemah: Kathur Suhardi, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996) h. 94

33

Endang Saefuddin Anshari, Wawasan Islam Pokok-Pokok Fikiran tentang Islam dan Umatnya, (Jakarta: Rajawali, 1986) h. 64-65

34


(39)

c. Munafik, yaitu orang-orang yang bermuka dua.

d. Fasiq, yaitu orang-orang yang dengan sadar melanggar batas ketentuan Allah.

e. Ẓalim, yaitu orang-orang yang aniaya termasuk pada diri sendiri, orang yang tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya, orang yang menghukum tidak berdasarkan hukum yang adil.

f. Mutraf, yaitu orang yang tidak mau mensyukuri nikmat, orang yang diberi kekayaan dan kekuasaan akan tetapi menggunakannya untuk maksiat kepada Allah.35

Sementara Yusuf Qardhawi membagi pemeluk non-Muslim menjadi dua kelompok, yaitu:36

a. Pemeluk agama wathaniyah (berhala) atau agama budaya, seperti kaum musyrikin penyembah berhala, kaum majusi penyembah api, dan kaum ṣ abiah penyembah bintang-bintang.

b. Pemeluk agama samawi atau kitabiyah, yaitu mereka yang mempunyai agama samawi pada asalnya dan mempunyai kitab yang diturunkan dari sisi Allah, seperti Yahudi dan Nasrani, yang oleh al-Quran disebut

35

Endang Saefuddin Anshari, Wawasan Islam Pokok-Pokok Fikiran tentang Islam dan Umatnya, (Jakarta: Rajawali, 1986) h. 64-65

36

Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer,Penerjemah: As‘ad Yasin, (Jakarta: Gema


(40)

28

dengan Ahl al-Kitāb sebagai sikap lemah lembut kepada mereka dan untuk menyenangkan mereka.37

2. Hubungan Nabi dengan Non-Muslim

Dalam sejarah dunia, Muslim dikenal sebagai umat yang toleran. Ketika Islam berjaya di India dan Andalusia (Spanyol), umat non-Muslim dapat hidup dengan damai dan aman untuk beribadah secara leluasa. Begitu juga dalam sejarah Nabi Muhammad SAW yang menjunjung tinggi toleransi seperti yang terkandung dalam isi Piagam Madinah, Nabi Muhammad SAW mencanangkan pola hubungan dengan non-Muslim, dimana dinyatakan bahwa non-Muslim yang hidup dalam wilayah Islam (Dār al-Islam) merupakan orang-orang yang dilindungi oleh hukum. Selama mereka tidak membuat keonaran atau melakukan agresi dan konspirasi, maka mereka mendapatkan hak perlindungan dan peribadatan.38

Pada masa-masa keemasan Islam, antara abad ke-10 sampai 13, tidak ada kasus mencolok tentang konflik antara umat Islam dan non-Muslim. Sebaliknya, hubungan mereka justru sangat harmonis dan saling mendukung. Banyak sarjana Muslim yang belajar kepada orang-orang Kristen, seperti halnya al-Farabi, dan

37

Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer,Penerjemah: As‘ad Yasin, (Jakarta: Gema

Insani Press, 1995) h. 965

38


(41)

banyak pula ulama yang memiliki murid non-Islam seperti Yahudi, Nasrani, Zoroastrian, dan sebagainya.39

Pada tahun 622, Nabi Muhammad dan kaum Muslim Mekah berhijrah ke Madinah untuk mencari kebebasan melakukan praktik ibadah dan kebebasan hambatan menjalankan agama. Dengan kedatangan Nabi di Madinah, negara Islam pertama pun lahir. Dalam tahapan kehidupannya ini, Nabi Muhammad bukan hanya seorang pembawa pesan Tuhan, tetapi juga merupakan seorang kepala negara. Salah satu tindakan pertamanya sebagai pemimpin negara adalah mengeluarkan Perjanjian Madinah (Saḥifat al-Madinah), yang merinci hubungan-hubungan antara Muslim yang berhijrah ke Madinah, orang Muslim yang merupakan warga asli Madinah, para penyembah berhala (kaum pagan) warga asli Madinah, dan orang-orang Yahudi warga asli Madinah.40

Perjanjian Madinah secara spesifik menetapkan bahwa orang Yahudi di Madinah merupakan satu komunitas dengan kaum Muslim yang beriman, bahwa mereka bebas untuk menganut dan mempraktikkan agama mereka sendiri, dan bahwa mereka mendapatkan semua hak yang berkaitan dengan Muslim yang beriman. Perjanjian Madinah mengikat orang-orang Yahudi dan Arab untuk bersatu dalam sebuah negara Islam yang masih baru ini melalui sebuah fakta pertahanan yang sama.

39

Mulayadi Kartanegara, Islam: Buat yang Pengen Tahu, (Erlangga, 2007) h.82-84

40

Jerald F. Dirks, Abrahamic Faiths: Titik Temu dan Titik Seteru antara Islam, Kristen dan Yahudi, terj. Santi Indra Astuti (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006) h. 189


(42)

30

Ringkasnya, semua orang terlepas dari identitas keagamaan dan etnisnya, harus diperlakukan setara di bawah sistem hukum, keadilan, dan moralitas yang universal.41

Walau sudah berusia 1400 tahun, Perjanjian Madinah Nabi masih tetap merupakan model toleransi dan pluralisme keagamaan yang ideal. Kendati demikian, Perjanjian Madinah sulit dikatakan sebagai satu-satunya contoh perlakuan Nabi Muhammad berkaitan dengan hubungan-hubungan antara Muslim dan non-Muslim. Ucapan-ucapan Nabi Muhammad berikut ini juga relevan bagi diskusi tersebut.

Al-‘Irbad ibn Sariyat al-Sulami mengatakan Nabi mengatakan: “Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla tidak menghalalkan bagi kalian untuk memasuki rumah-rumah Ahl al-Kitāb kecuali dengan izin, dan tidak halal memukul wanita mereka, serta makan buah mereka apabila mereka telah memberikan kepada kalian apa yang menjadi kewajiban atas mereka.”42

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Minhal telah menceritakan kepada kami Yazid bin Zuraʻ i telah menceritakan kepada kami Umar bin Muhammad dari Ayahnya dari Ibnu Umar RA. dia berkata; Rasulullah SAW. bersabda: “Jibril senantiasa mewasiatkanku untuk berbuat baik

41

Jerald F. Dirks, Abrahamic Faiths: Titik Temu dan Titik Seteru antara Islam, Kristen dan Yahudi, terj. Santi Indra Astuti (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006) h. 190

42

Sunan Abu Daud, Kitab : Pajak, Kepemimpinan dan Fai, Bab : Mengambil pajak dari ahli dzimmah jika mereka menyelisihi dalam jual beli, No. Hadis : 2652 (CD Lidwa Pustaka)


(43)

terhadap tetangga sehingga aku mengira tetangga juga akan mendapatkan harta waris.”43

Seperti diilustrasikan di atas, Nabi Muhammad secara spesifik melarang orang-orang Islam melakukan tindakan-tindakan yang tidak adil pada para Ahl

al-Kitāb. Beliau mengajarkan bahwa seorang Muslim hendaknya selalu memperlakukan tetangga-tetangganya, apakah Muslim ataupun non-Muslim, dengan perilaku teladan.44

43

ai al-Bukhari, Kitab : Adab, Bab : Wasiat jibril kepada tetangga, No. Hadis : 5556

44

Jerald F. Dirks, Abrahamic Faiths: Titik Temu dan Titik Seteru antara Islam, Kristen dan Yahudi, terj. Santi Indra Astuti (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006) h. 191


(44)

31 BAB III

HADIS-HADIS YANG BERKAITAN DENGAN SALAM AHL AL-KITAB

A. Takhrij Hadis

Pada bab ini, penulis menguraikan mengenai hadis-hadis yang berkaitan dengan salam Ahl al-Kitāb. Langkah pertama, penulis melacak hadis melalui metode takhrij al-adith bi al-lafẓ dengan menggunakan kitab al-Mu’jam al-Mufahras. Data yang disajikan dari penelusuran kata ملس adalah sebagai berikut:1

ݘ݂ف ۹۸تكل۷ لهأ ݌كي݊ع ݌݊س ۷ܕإ

)݌كي݊عݗ( ۷ݘل

خ

۶تس۷ ن۷ܖ نيܔتܘݍ ، ،،

݋

݋اس ۹ ، ۷۸ ،،

ط

݋اس ،،

ݙد

ن۷ܖ۶تس۷ ۸ ،،

݌ح

، ۰۰۹ ، ، ۹۹

Dari data di atas ditemukan 8 riwayat, masing-masing terletak dalam kitab-kitab berikut:

1.ai al-Al-Bukhari, kitab Isti’dzhān no.22, kitab Murtadain no.4 2.ai Muslim, kitab Salam no.9 dan 87

3. Muwaṭ ṭ a Malik, kitab Salam no.3 4. Sunan al-Darimī, kitab Isti’dhān no.7

5. Musnad Amad bin Hambal, jilid 2 halaman 900 dan jilid 3 halaman 99

1

Wensinck, Arnold John. Mu‘jam Al-Mufaras Li Alfā al-Hadith al-Nabawī. Jilid 5. Leiden: Maktabah Barbal 1936.


(45)

Kemudian penulis menelusuri hadis melalui metode awal matan dengan menggunakan kitab Mausuah al-Aṭ raf, dan data yang disajikan oleh kitab ini adalah sebagai berikut:2

۹۸تكل۷ لهأ نݍ ܔحأ ݌كي݊ع ݌݊س ۷ܕإ

ت

۰٣

ه

٩۹۸

زنك

۵ ۹۸

ܗݘثنݍ

٩۸

:

٣۷۷

ܟ

۷

:

Jumlah riwayat berdasarkan kitab ini ada 4 riwayat, yaitu: 1. Sunan al-Tirmidhy, nomor hadis 3301

2. Sunan Ibn Majah, nomor hadis 3697 3. Al-Suyui, bab 67 nomor hadis 188 4. Ibn Abi Shaibah, bab 8 nomor hadis 442

Dalam kitab ini juga diinformasikan bahwa hadis ini juga dapat dilacak dalam kitab Kanz al-‘Umal nomor 25297.

Kemudian penulis juga menelusuri hadis melalui metode tematik dengan menggunakan kitab Kanz al-‘Umal, dan data yang disajikan oleh kitab ini adalah sebagai berikut:3

۵ ۹۸

ܕإ

ݘ݂ف ۹۸تكل۷ لهأ نݍ ܔحأ ݌كي݊ع ݌݊س۷

݌كي݊ع ݗ : ۷ݘل

( ق ݌ح(

٣

ت )

ه

)سنأ نع

2

Abu Hajar Muhammad al-Sa‘id bin Basyuni,Mausu‘ah al-Araf al-adith al-Sharif,

jilid.1, h.332

3

Al-Muttaqi al-Syadzaily al-Madiny, Kanz al-‘Umal fi Sunan al-Aqwal wa al-Af‘al, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1409 H) h.123


(46)

33

Dari penelusuran dengan metode ini, didapatkan informasi bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad Ibn Hanbal, muttafaq ‘alaih (Bukhari dan Muslim), al -Tirmidzi, dan Ibn Majah.

Selain dari metode-metode di atas, penulis juga menelusuri hadis melalui metode tematik dengan menggunakan kitab Miftāh Kunūz al-Sunah, dan data yang disajikan oleh kitab ini adalah sebagai berikut:4

ݍ

ت

ݚ

ݙܗ۸صَنل۷ݗ دݘݖيل۷ ݚ݊ع ݌݊ܞي فيكݗ

خب

݃

۸۹

۹

۰

ݗ

سݍ

݃

۹

ح

٩

۸ق

٣۰

٣

ܔب

݃

۰

۹

٣ ۸

ܘت

݃

٣۹

۹

٣

݃ ،

۰

۹

٣

خس

݃

۹

٣

ݚݍ

݃

٣۹

۹

۸

ܔع

ق

ص

۸٣

݌ح

ص ن۸ث

٩٩

ݗ

٩

ݗ

۵

ݗ

۵۹

،

ص ثل۸ث

۹۹

ݗ

٣٣

ݗ

٣٣۵

ݗ

۰

ݗ

٣

ݗ

٣

ݗ

ݗ

۸

ݗ

۸۸

ݗ

۹۰

،

ص عب۷ܗ

٣

ݗ

ݗ

۹۷

ط

ح

٣۹۸٣

ݗ

۰٩۹

ݗ

4Muhammad Fu’ad ‘abdul baqi, Miftāh Kunū

z al-Sunah, (Lahore: Isaroh Tarjamanu al-Sunah,1931) h.242


(47)

Dari hasil penelusuran di atas, ditemukan sebelas hadis yang berkaitan dengan salam terhadap non-Muslim Hadis-hadis tersebut diklasifikasikan ke dalam poin-poin sebagai berikut:

1. Bagaimana Menjawab Salam non-Muslim 2. Menjawab Salam non-Muslim dalam Surat 3. Larangan Memulai Salam kepada non-Muslim

4. Memberi Salam dalam Majlis yang Berisi Kaum Muslim dan Musyrik 5. Bagaimana Menulis Surat Untuk non-Muslim

6. Mengucapan Salam Kepada non-Muslim

7. Tidak mengucapkan dan juga tidak menjawab salam atas orang yang berdosa

8. Larangan Membunuh non-Muslim yang Memberi Salam

Untuk tema yang pertama, yaitu bagaimana menjawab salam non-Muslim terdapat tiga hadis yang berkaitan. Pertama, Menjawab dengan “wa ‘alaikum”. Kedua, Menjawab dengan “’alaika” atau “wa ‘alaika”. Ketiga Menjawab dengan “

‘alaika mā qulta”.

Tema ke-enam, yaitu mengucapkan salam kepada non-Muslim terdapat dua hadis yang berkaitan. Pertama, tidak perlu menarik ucapan salam kepada non-Muslim. Kedua, meminta kembali ucapan salam. Sementara untuk tema-tema yang lainnya, masing-masing hanya terdapat satu hadis saja.


(48)

35

B. Hadis-hadis yang Berkaitan dengan Salam Terhadap non-Muslim

1. Bagaimana Menjawab Salam non-Muslim

Tema yang pertama membahas mengenai hadis-hadis tentang bagaimana Nabi menjawab salam non-Muslim, terdapat tiga hadis yang termasuk dalam tema ini, yaitu Nabi menjawab salam dengan ucapan “wa ‘alaikum”, Nabi menjawab dengan ucapan“’alaika” atau “wa ‘alaika”, serta Nabi memerintahkan untuk menjawab dengan “ ‘alaika mā qulta”.

a. Menjawab dengan “wa ‘alaikum”

Telah bercerita kepada kami Sulaiman bin Harb telah bercerita kepada kami Hammad dari Ayyub dari Ibnu Abi Mulaikah dari ‘Aisyah RA. bahwa orang-orang Yahudi datang menemui Nabi SAW. lalu mereka mengucapkan “

al-sāmu ‘alaika” (Kecelakaan atau racun buatmu), maka ‘Aisyah melaknat mereka. Beliau bertanya: “Kenapa kamu berbuat begitu”. Aku jawab: “Apakah Tuan tidak mendengar apa yang mereka ucapkan?” Beliau menjawab: “Apakah kamu tidak mendengar apa yang aku katakan?” (Aku kepada mereka): “Wa ‘alaikum (namun juga buat kalian)”.5

Hadis ini menggambarkan tentang kelembutan Nabi bahkan saat menghadapi musuhnya yang secara terang-terangan menghinanya dengan mengucapkan perkataan

5

ahih al-Bukhari, Kitab : Jihad dan penjelajahan, Bab : Mendoakan orang-orang musyrik agar mendapatkan kekalahan dan kehancuran, No. Hadis : 2718, (CD Lidwa Pustaka)


(49)

yang kasar padanya. ‘Aisyah menerangkan, bahwa beberapa orang Yahudi masuk ke tempat Nabi lalu mengatakan “al-sāmu ‘alaikum” dengan cara memberi pengertian, bahwa mereka mnegucapkan “al-salāmu‘alaika”.

Melihat peristiwa itu, ‘Aisyah mengucapkan “wa ‘alaikum al-sāmu wa al

-la‘nat” kepada para tamu Yahudi yang tidak sopan itu. Nabi menegur ‘Aisyah dengan mengatakan “Perlahan-lahan, hai ‘Aisyah. Sesungguhnya Allah menyukai keramahan dalam semua urusan.” Maka ‘Aisyah bertanya kepada beliau, “Ya Rasulullah, apa engkau tidak mendengar yang mereka ucapkan?”. Rasulullah menjawab “Aku telah mengucapkan ‘wa ‘alaikum’.”6

Hadis ini ṣ aiḥ karena diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari. Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukahri dan Imam Muslim telah disepakati ke-ṣ aiḥ -annya oleh para ulama.

b. Menjawab dengan “’alaika” atau “wa ‘alaika”

6

Tim penulis Paramadina, Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta: Paramadina, 2004) h. 69


(50)

37

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya, Yahya bin Ayyub, Qutaibah dan Ibnu Hujr lafazh ini miliknya Yahya bin Yahya. berkata Yahya bin Yahya; Telah mengabarkan kepada kami. Dan yang lainya berkata; Telah menceritakan kepada kami Isma‘il yaitu Ibnu Ja‘far dari ‘Abdullah bin Dinar bahwa ia mendengar Ibnu 'Umar berkata; Rasulullah SAW. bersabda: “ Orang-orang Yahudi, bila mereka memberi salam kepadamu, maka salah seOrang-orang di antara mereka ada yang mengucapkan: Al-sāmu ‘alaikum (semoga kematian bagi kalian). Maka jawablah: ‘Alaika!” Dan telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb; Telah menceritakan kepada kami ‘Abdur Rahman dari Sufyan dari ‘Abdullah bin Dinar dari Ibnu ‘Umar dari Nabi SAW. dengan redaksi yang serupa. Hanya saja dia berkata; ‘Maka ucapkanlah oleh kalian;

‘Wa ‘alaika’.7

Para ulama berbeda pendapat tentang menyebutkan atau tidak menyebutkan huruf wawu dalam menjawab ucapan salam non-Muslim, karena perbedaan pandangan mereka mengenai riwayat yang lebih kuat diantara kedua riwayatnya.

Ibn ‘Abd al-Barr menyebutkan dari Ibn Habib, bahwa pengucapannya tanpa huruf wawu adalah karena jika diucapkan dengan huruf wawu berarti menyertakan kita didalamnya. Ia memaparkan, bahwa huruf wawu dalam redaksi seprti ini mengandung arti mengakui redaksi pertama dan mengaitkan redaksi kedua dengan yang pertama, seperti ucapan “Zaidun Kātibun, faqultu: washāriʻ un” artinya: Zaid adalah penulis, lalu aku mengatakan dan juga penyair. Ini berarti menetapkan kedua sifat itu pada diri Zaid.

7

ahih Muslim, Kitab : Salam, Bab : Larangan memulai Ahl al-Kitāb dalam memberikan salam, No. Hadis : 4026, (CD Lidwa Pustaka)


(51)

Ibn Baṭ al menukil dari al-Khatabi menyerupai apa yang dikatakan oleh Ibn Habib, dia berkata, “riwayat orang yang meriwayatkannya dengan redaksi “’alaikum” tanpa huruf wawu adalah lebih baik daripada riwayat yang menyebutkan huruf wawu, karena maknanya adalah “aku mengembalikan apa yang kalian katakana itu kepada diri kalian”. Sebab, dengan menyertakan huruf wawu, maka maknanya menjadi “ʻ alaiya wa ‘alaikum” (atasku dan atas kalian), karena huruf wawu adalah partikel penggabung yang berfungsi menyertakan.”8

Sama halnya dengan hadis pertama, hadis ini berderajat ṣ aiḥ, karena diriwayatkan oleh Imam Muslim.

c. Menjawab dengan “ ‘alaika mā qulta”

Telah menceritakan kepada kami Abdu bin Humaid telah menceritakan kepada kami Yunus dari Syaiban dari Qatadah telah menceritakan kepada kami Anas bin Malik bahwa seorang Yahudi datang kepada Nabi SAW. serta

8

Al-Nawawi, Sharah al-Nawawi ‘ala Muslim, (CD al-Maktabah al-Syamilah, Global Islamic Software, 1991-1997)


(52)

39

para sahabatnya kemudian mengatakan; Al-sāmu 'alaikum. Kemudian orang-orang menjawab. Lalu Nabi SAW. bertanya: “Tahukah kalian apa yang ia katakan ini?” Mereka berkata; Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui wahai Nabi Allah. Beliau berkata: “Tidak, akan tetapi ia mengatakan demikian dan demikian, tolong ringkuslah Yahudi itu kepadaku.” Kemudian mereka pun meringkus Yahudi dan diseret ke hadapan Rasulullah Saw. Beliau menginterogasinya dengan bertanya: “Apakah engkau mengatakan; Al-sāmu

‘alaikum?” (kematian untuk kalian)? Ia berkata; ‘ya’. Nabi saw. berkata di saat itu: “Apabila salah seorang dari ahli kitab mengucapkan salam kepada kalian maka katakan; ‘alaika maa qulta.” (bahkan untuk mu yang kau ucapkan itu) Beliau membaca ayat: “Dan apabila mereka datang kepadamu, mereka mengucapkan salam kepadamu dengan memberi salam yang bukan ditentukan Allah untukmu.” (QS. Almujadilah 8), Abu Isa berkata; hadis ini adalah hadis hasan ṣ ahih.9

Anas bin Malik berkata “Datang orang Yahudi kepada Nabi dan para sahabat Nabi, mereka mengucapkan “al-sāmu ‘alaikum” yang artinya kematian atas kalian, maka para sahabat menjawabnya, mereka mengira bahwa yang diucapakan Yahudi adalah “al-salāmu ‘alaikum”. Nabi bertanya “Apakah kalian tahu apa yang Yahudi itu katakan?” sahabat menjawab “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui akan hal itu.” Nabi berkata “Tidak, sesungguhnya dia mengatakan

al-sāmu ‘alaikum’, bawalah Yahudi itu kepadaku!” kemudian Nabi bertanya kepada Yahudi itu “Apakah kamu mengtakan ‘al-sāmu ‘alaikum’? dia menjawab “ya”. Nabi berkata menganai hal ini “Apabila salah seorang Ahl al-Kitāb mengucapkan salam kepadamu, maka jawablah “atasmu apa yang engkau katakan”. Kemudian Nabi membacakan ayat “Dan apabila mereka (Yahudi) datang kepadamu, mereka mengucapkan salam kepadamu dengan memberi salam yang bukan ditentukan Allah untukmu", yaitu ucapa ‘al-sāmu ‘alaikum’. Al-Qurthubi berkata “Yahudi mendatangi

9

Sunan al-Tirmidzi, Kitab : Tafsir al Qur`an, Bab : Diantara surat al-Mujādilah, No. Hadis : 3223, (CD Lidwa Pustaka)


(53)

Nabi mengatakan ‘al-sāmu ‘alaikum’, secara ẓ ahir dia mengatakan ‘al-salāmu

‘alaikum’, tetapi dalam hatinya ia mendo‘akan kematian, maka nabi menjawab

‘alaikum’ dalam riwayat lain mengatakan ‘wa ‘alaikum’.”10

Hadis ini merupakan asbāb al-wurūd dari al-Quran surat al-Mujadilah ayat 8:







































































































Apakah tidak kamu perhatikan orang-orang yang telah dilarang mengadakan pembicaraan rahasia, kemudian mereka kembali (mengerjakan) larangan itu dan mereka mengadakan pembicaraan rahasia untuk berbuat dosa, permusuhan dan durhaka kepada Rasul. dan apabila mereka datang kepadamu, mereka mengucapkan salam kepadamu dengan memberi salam yang bukan sebagai yang ditentukan Allah untukmu. dan mereka mengatakan kepada diri mereka sendiri: “Mengapa Allah tidak menyiksa kita disebabkan apa yang kita katakan itu?” cukuplah bagi mereka Jahannam yang akan mereka masuki. dan neraka itu adalah seburuk-buruk tempat kembali. (Qs. Al-Mujadilah: 8)

Pada ayat ke 7 surat al-Mujadilah telah dijelaskan bahwa segala bisikan, desas-desus dan pertemuan rahasia pasti Allah mengetahuinya. Maka orang yang beriman akan berhati-hati akan hal itu. Tetapi bagi orang-orang yang bersifat munafik, meskipun mereka telah diperingati supaya bergaul dengan jujur dan dilarang

10

Imam al-Hafiẓ Abi al-‘ula Muhammad ‘Abdurrahman Ibn ‘Abdurrahim al-Mubarakfuriy,

Tuhfat al-Ahwadhi bi Sharh Jāmi‘ al-Tirmidhi, (Beirut: Daar al-Kutb al-‘Alamiyah, 1410 H-1990 M) h. 136


(54)

41

melakukan pembicaraan rahasia, namun mereka tetap melakukannya. Mereka selalu mencari berbagai jalan supaya kewibawaan Rasul dapat dirusak.

Yang menjadi bisikan rahasia mereka ada tiga hal, 1) dosa, yaitu memfitnah, mengada-ada, membalas dendam, 2) permusuhan, diantaranya mengatur siasat untuk mengalahkan lawan. 3) menentang Rasul.

Hasil dari pembicaraan rahasia mereka adalah mereka sengaja menemui Rasul bukan dengan maksud yang baik, melainkan karena hendak mempertontonkan kebenciannya dengan mengucapkan kata-kata yang pada lahirnya seperti memberi hormat, tetapi dalam batinnya berisi penghinaan dan kutukan. Yaitu dengan mengucapkan “al-sāmu’alaikum” seperti dalam hadis di atas.11

Mereka melakukan hal itu semata-mata untuk membuktikan kenabian Muhammad. Merka berkata dalam hati, “Mengapa Allah tidak menyiksa kita disebabkan apa yang kita katakan itu?” artinya mereka berkata ‘jika benar Muhammad itu nabi, tentu kehormatannya dijaga oleh Tuhan, maka atas ucapan seperti itu pastilah Allah tidak akan menangguhkan azab-Nya. Tetapi Allah tidak mengazab kami.” Dikatakan bahwa orang-orang Yahudi itu mengucapkan ‘dan kematian tas kalian’ jika Muhammad benar seorang nabi, maka ucapannya atas kami akan langsung dikabulkan oleh Allah, dan mereka pasti akan segera mati. Di sinilah letak keheranan mereka, padahal mereka Ahl al-Kitāb, semestinya mereka tahu bahwa para nabi memang terkadang murka, tetapi kemurkaan mereka bukan berarti

11


(55)

langsung diiringi azab Allah kepada orang-orang yang membuat para nabi murka. Selain itu juga mereka tidak mengerti bahwa Allah mempunyai sifat Maha Pemurah, Dia tidak menyegerakan azab kepada mereka karena mencela-Nya, apalagi hanya karena mereka mencela nabi-Nya. Maka di akhir ayat ini Allah berfirman, “Cukuplah bagi mereka Jahannam.” Balasan bagi mereka adalah neraka Jahannam yang merupakan seburuk-buruknya tempat kembali.12

Di akhir hadis ini dikemukakan pendapat dari Abu Isa bahwa hadis ini berkualitas ḥasan aiḥ.

Dari tema di atas, bisa disimpulkan bahwa di kalangan ulama ada perbedaan pendapat tentang hukum menjawab salam dari non-Muslim. Diantaranya adalah:

Menurut Imam Malik, sperti yang diriwayatkan oleh Asyhab dan Ibn Wahab darinya, ia berpendapat bahwa menjawab salam kepada Ahl al-Kitāb bukanlah suatu kewajiban, jika mereka mengucapkan salam kepadamu, maka jawablah: ‘alaika.

Sementara Ibn Ṭawus memilih jawaban dalam menjawab salam mereka adalah dengan mengucapkan ‘alāka al-salām, yakni salam tersebut terangkat darimu. Ada pula yang memilih jawaban “al-silam” dengan menkasrahkan huruf sin yang berarti batu.13

12

Syaikh Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, juz 18. Penerjemah; Dudi Rasyadi, dkk. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009) h. 165

13

Syaikh Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, juz 18. Penerjemah; Dudi Rasyadi, dkk. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009) h. 164


(56)

43

Menurut madzhab al-Shafiʻ i, memberi salam kepada mereka, haram hukumnya, tetapi menjawabnya adalah wajib dengan perkataan “wa ‘alaikum” saja. Kebanyakan ulama salaf membolehkan kita memberi salam kepada orang kafir.14

Dalam kitab Sharah Ṣai Muslim, Imam Nawawi mengatakan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang menjawab salam Ahl al-Kitāb dan memulai salam kepada mereka. Imam Nawawi dan para ulama sepakat mengharamkan memulai salam atas Ahl al-Kitāb dan mewajibkan menjawab salam mereka dengan ucapan

“wa ‘alaikum” atau ʻ alaikum” saja. Al-Mawardi berpendapat boleh menjawab salam Ahl al-Kitāb dengan ucapan “wa ‘alaikum salam” tanpa “warahmatullah”, apabila mereka mengucapkan salam yang benar yaitu “al-salāmu’alaikum”.15

Ibn Qayyim berkata: jumhur ulama berpendapat wajib menjawab salam Ahl al-Kitāb, dan menurutnya inilah pendapat yang benar. Sebagian ulama berpendapat tidak wajib menjawab salam mereka sebagaimana tidak wajib menjawab salam kepada ahli bid’ah. Beliau berkata: “Jika orang yang mendengar yakin bahwa yang diucapkan Ahl al-Dhimmi adalah “salāmun ‘alaikum” dan ia tidak ragu akan hal itu, maka wajib menjawab “wa ‘alaika salam” dan sungguh ini termasuk balasan yang adil.

Hal ini tidak meniadakan sedikitpun kandungan hadis, karena Nabi hanya memerintahkan untuk menjawab salam secara ringkas dengan mengucapkan “wa

14

Hasbi As Shidiqie, Mutiara Hadis, jilid VII, h. 228

15

Al-Nawawi, Shar al-Nawawi ‘alā Muslim, kitab salam no. 4024, CD Maktabah al-Syamilah, Global Islamic Software, 1991-1997


(57)

‘alaikum”, Karena ada sebab yang telah disebutkan bahwa yang diucapkan mereka adalah umpatan “al-sāmu ‘alaikum”.16

Tentang hal ini, penulis setuju dengan pendapat al-Mawardi yang menyatakan boleh menjawab salam non-Muslim dengan ucapan “wa ‘alaikum

salam” tanpa “warahmatullāh”, apabila mereka mengucapkan salam yang benar yaitu “al-salāmu’alaikum”.

2. Menjawab Salam non-Muslim dalam Surat

Tema kedua yaitu membahas tentang bagaimana membalas surat dari non-Muslim yang disertakan dengan salam. Hadisnya yaitu:

7

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Basyir ia berkata: “Telah mengabarkan kepada kami al-Hakim bin al-Mubarak ia berkata: “Telah mengabarkan kepada kami ‘Ibad (yakni Ibn ‘Ibad) dari ‘Ᾱ ṣ im al-Ahwal dari Abī ‘Uthman al-Nahdi ia berkata: “Abu Musa menulis surat kepada Dihqan, ia memberi salam dalam suratnya. Dikatakan kepadanya: “apakah aku harus memberi salam sedangkan ia orang kafir?” dia berkata: “sesungguhnya dia memberi salam dalam suratnya, maka aku menjawabnya.”18

16

Ibn Qayyim, Ahkamu Ahl al-Dhimmah, CD al-Maktabah al-Syamilah, Global Islamic Software, 1991-1997

17

Al-Imam al-Hafiẓ Muhammad bin Isma‘il al-Bukhari, al-Ada al-Mufrad, (Beirut: Dār al -Kitab al-‘Ilmiah, 1990 M/ 1410 H) h. 322

18


(58)

45

Nabi memberi contoh, apabila ada seorang non-Muslim yang mengucapkan salam, beliau menjawab salam non-Muslim tersebut sesuai dengan yang mereka ucapkan. Maka demikian pula halnya apabila menerima surat dari non-Muslim yang disertakan dengan salam, maka kita dianjurkan untuk membalas ucapan salamnya.

3. Larangan Memulai Salam kepada non-Muslim

Hadis tentang larangan memulai salam kepada non-Muslim disertakan dengan perintah untuk mendesaknya ke jalan yang sempit. Terdapat satu hadis yang termasuk ke dalam tema ini, yaitu:

9

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa‘id; Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul ‘Aziz yaitu al-Darāwardi dari Suhail dari Bapaknya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW. bersabda: “Janganlah kalian mendahului

19

ahih Muslim, Kitab : Salam, Bab : Larangan memulai Ahl al-Kitāb dalam memberikan salam, No. Hadis : 4030, (CD Lidwa Pustaka)


(59)

orang-orang Yahudi dan Nasrani memberi salam. Apabila kalian berpapasan dengan salah seorang di antara mereka di jalan, maka desaklah dia ke jalan yang paling sempit.” Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna; Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far; Telah menceritakan kepada kami Syu’bah; Demikian juga diriwayatkan dari jalur yang lain; Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dan Abu Kuraib keduanya berkata; Telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Sufyan; Demikian juga diriwayatkan dari jalur yang lain; Dan telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb; Telah menceritakan kepada kami Jarir seluruhnya dari Suhail melalui sanad ini. Dan di dalam Hadis Waki' disebutkan; ‘Apabila kalian bertemu dengan orang Yahudi.’ Sedangkan dalam Hadis Ibnu Ja'far dari Syu’bah dia berkata mengenai Ahl al-Kitāb juga di dalam Hadis Jarir dengan lafazh; ‘Apabila kalian bertemu dengan mereka.’ (tanpa menyebutkan salah seorang di antara mereka).20

Abu Umamah berkata, “Sesungguhnya Allah SWT. menjadikan salam sebagai penghormatan bagi umat kami dan perlindungan bagi Ahl al-Dhimmi di tengah kami. Ibn Abi Syaibah meriwayatkan hadis melalui ‘Aun bin Abdul Aziz tentang memberi salam lebih dulu kepada Ahl al-Dhimmi. Ia menjawab, “Kami hanya menjawab salam mereka, tidak memberi salam lebih dulu kepada mereka.” ‘Aun berkata, “Saya bertanya kepadanya, ‘Bagaimana pendapatmu?’ menurut saya, tidak apa-apa memberi salam lebih dulu kepada mereka.”21

Larangan yang sangat jelas dari Nabi dalam hadis ini, juga dalam riwayat lain yaitu yang diriwayatkan oleh Muslim dan al-Bukhari dari jalur Abu Hurairah secara

marfu’, “Janganlah kalian memulai salam kepada orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani, dan pepetkanlah mereka ke jalan yang paling sempit. Dalam riwayat Imam al-Bukhari dan al-Nasai dari hadis Abu Basrah al-Ghifari bahwa Nabi SAW.

20

Hadis ini merupakan hadis ṣ aiḥ karena diriwayatkan oleh Imam Muslim.

21

Yusuf Qardhawi, Fiqh al-Jihad: Dirasah Muqaranah li Akamihi wa Falsafah fi Dhaʻ u al-Quran wa al-Sunnah, penerjemah: Irfan Maulana Hakim, dkk (Bandung: Mizan Pustaka, 2010) h. 783


(1)

68

4. Bagaimana Menulis Surat Kepada non-Muslim

a. Sumber : Ṣaḥiḥ Muslim, Kitab : Jihad dan ekspedisi, Bab : Surat Nabi SAW kepada Hiraclius, No. Hadis : 3322


(2)

(3)

(4)

71

b. Sumber : Tirmidhi, Kitab : Meminta izin dan Adab, Bab : Bagaimana menulis untuk pelaku kesyirikan, No. Hadis : 2641

c. Sumber : Sunan Abu Daud, Kitab : Adab, Bab : Bagaimana menulis surat kepada Ahl al-Dhimmah, No. Hadis : 4470


(5)

72

5. Tidak boleh memberi dan menjawab salam kepada orang yang berdosa

a. Sumber : Ṣaḥiḥ al-Bukhari, Kitab : Hukum-hukum, Bab : Bolehkah imam berhak mencegah orang berdosa dan pelaku kemaksiatan dari bicara?, No. Hadis : 6684

b. Sumber : Sunan Abu Daud, Kitab : Sunnah, Bab : Menjauhi dan benci terhadap ahli ahwa` (pengikut hawa nafsu), No. Hadis : 3984


(6)

73

6. Larangan Membunuh non-Muslim yang memberi Salam