Latar Belakang Masalah Salam terhadap non-muslim perspektif hadis

singkatnya bisa berarti bahwa mereka yang berada di luar Islam non-Muslim disebut sebagai orang kafir. Kata mushrik berasal dari kata: ashraka yushriku ishrakan- shirkan yang berarti menyekutukan Allah dengan sesuatu baik dengan menyembah benda-benda maupun menyembah Allah sambil tetap menyembah benda-benda. 7 Di Indonesia yang masyarakatnya diberi kebebasan untuk memeluk agama, tentu saja dalam kehidupan sehari-hari kita juga berdampingan dengan non-Muslim. Maka tentu akan sulit bagi kita menghindari interaksi sosial dengan mereka yang non-Muslim. Selain itu, Islam merupakan agama yang sangat menjunjung tinggi etika dan toleransi. Namun, apakah Islam memberikan perlakuan yang sama perihal etika antar Muslim dan etika terhadap non-Muslim terutama dalam hal memberi dan menjawab salam. Salam merupakan salah satu adab yang khas dalam Islam. Salam juga merupakan suatu tanda penghormatan dan sebagai do ʻ a untuk keselamatan. Sesama umat Islam bila saling berpapasan hendaklah mengucapkan “Assalāmu ʻ alaikum”. Maka menjadi wajib hukumnya bagi orang yang menerima salam untuk menjawabnya dengan ucapan “Wa ʻ alaikum al-salām”. Hal inilah yang menjadi identitas Islam sebagai agama yang damai dan saling menghormati antar umatnya bahkan terhadap agama lain. Lafaz salam merupakan sebuah kata yang sangat indah dan sarat makna yang dengannya kita menyampaikan do ʻ a kebaikan dan keselamatan kepada lawan bicara 7 Warson Munawir,al-Munawir, cet ke 14 Surabaya: Pustaka Progressif, 1997 h:13 kita dan pada saat yang sama kita memberikan jaminan kepadanya bahwa ia tidak akan menjumpai bahaya dan kerugian dari sisi kita yang memberikan salam. Yang menjadi pembahasan dalam konteks ini adalah bahwa ada hadis Nabi yang melarang umatnya untuk memulai salam kepada non-Muslim ketika bertemu, bahkan dalam hadis itu juga diperintahkan untuk mendesak mereka ke jalan yang sempit. Hadisnya ialah: “Janganlah kalian mendahului orang-orang Yahudi dan Nasrani memberi salam. Apabila kalian berpapasan dengan salah seorang di antara mereka di jalan, maka desaklah dia ke j alan yang paling sempit.” 8 Ada juga hadis Nabi yang menjelaskan bagaimana cara menjawab salam non- Muslim: Nabi SAW bersabda: Apabila Ahl al-Kit ā b mengucapkan salam kepada kalian maka ucapkanlah: wa ʻ alaikum Dan atas kalian. 9 Hadis ini menjelaskan perintah Nabi jika seorang Ahl al- Kitāb mengucapkan salam maka jawablah dengan kalimat “Wa ʻ alaikum”. Selain kedua hadis di atas, masih banyak hadis yang berkaitan dengan salam terhadap non-Muslim yang menarik perhatian penulis. 8 Ṣ ahih Muslim, Kitab : Salam, Bab : Larangan memulai Ahl al- Kitāb dalam memberikan salam, No. Hadis: 4030, CD Lidwa Pustaka 9 Ṣ ahih al-Bukhari, Kitab : Meminta Izin, Bab : Bagaimana menjawab salam Ahl dhimmah, No. Hadis: 5788, CD Lidwa Pustaka Dari latar belakang ini, maka penulis merasa perlu untuk membahas hal tersebut dengan menulis penelitian dengan judul “SALAM TERHADAP NON- MUSLIM PERSPEKTIF HADIS ”.

B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah

a. Identifikasi masalah Identifikasi masalah dari penulisan skripsi ini adalah: 1. Apa saja hadis yang menjelaskan tentang salam terhadap non-Muslim? 2. Bagaimana hadis mengatur salam terhadap non-Muslim? 3. Bagaimana menyikapi non-Muslim yang sangat toleran terhadap umat Islam? b. Pembatasan masalah Masalah yang dibahas dalam penelitian ini hanya terkait pengkajian hadis- hadis yang berkaitan dengan salam terhadap non-Muslim dari al- Kutūb al-Tis‘ah saja supaya penulisan skripsi lebih terfokus, sistematis dan tidak melebar. c. Rumusan masalah Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dipaparkan di atas, rumusan masalah yang penulis angkat dalam penelitian ini adalah “Bagaimana hadis mengatur tata cara salam terhadap non-Muslim baik dalam hal memulai atau menjawab salam secara langsung ataupun melalui surat ?”

C. Metode Penelitian

Sumber utama penelitian ini adalah al-Kutub al-Tis ʻ ah yang memuat hadis- hadis tersebut dengan shar ḥ -nya. Untuk pelacakan dan penelusuran hadis tersebut dalam al-Kutub al-Tis ʻ ah, penulis menggunakan metode takhrīj hadis dengan menggunakan kamus hadis melalui petunjuk lafal hadis dengan kitab al-Mu ‘jam al- Mufahras li Alfāẓ al-Ḥadīth dan kata kunci tema hadis dengan kitab Miftāh Kunūz al-Sunnah. Di samping itu, digunakan juga jasa komputer dengan program CD Lidwa yang mampu mengakses sembilan kitab sumber primer hadis. Sedangkan sumber penunjangnya adalah kitab-kitab dan buku-buku yang relevan dengan kajian ini. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode tematik mau ḍ u‘i. Metode mau ḍ u‘i adalah mengumpulkan hadis-hadis yang terkait dengan satu topik atau satu tujuan kemudian disusun sesuai dengan asb āb al-wurūd dan pemahamannya yang disertai dengan penjelasan, pengungkapan dan penafsiran tentang masalah tertentu 10 . Berdasarkan penjelasan di atas, metode mau ḍ u‘i harus memenuhi beberapa unsur, yaitu: 1. Menentukan topik atau judul yang akan dikaji 2. Mengumpulkan hadis-hadis yang terkait dengan topik yang telah ditentukan 3. Melakukan pensyarahan atau pengkajian sesuai dengan tema 10 Abd al-Hayy al- Farmāwī, al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Maud ȗ ’ī Dirāsah Manhajiah Maud ȗ ’iyah. diterj. Rosehan Anwar dan Maman Abd Jalil, Metode Tafsir Maudhui. Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 1423 H2002 M, h. 44. 4. Memilih salah satu atau seluruh aspek ontologis, epistemologis dan aksiologis yang terkait dengan tema. 11 Sedangkan langkah-langkah pengkajian hadis dengan metode mau ḍ u‘i antara lain dapat dilakukan dengan: a. Menentukan tema atau masalah yang akan dibahas b. Menghimpun atau mengumpulkan data hadis-hadis yang terkait dalam satu tema, baik secara lafaz maupun secara makna melalui kegiatan takhrij al-hadis c. Melakukan kategorisasi berdasarkan kandungan hadis dengan memperhatikan kemungkinan perbedaan peristiwa wurudnya hadis tanawwu’ dan perbedaan periwayatan hadis. d. Melakukan kegiatan i’tibar 12 dengan melengkapi seluruh sanad e. Melakukan penelitian sanad yang meliputi penelitian kualitas pribadi perawi, kapasitas intelektualnya dan metode periwayatan yang digunakan. 11 Arifuddin Ahmad, Metode Tematik dalam Pengkajian Hadis, Makassar: Rapat Senat Luar Biasa UIN Alauddin Makassar h. 20-21 12 I’tibar adalah suatu proses yang membandingkan antara beberapa riwayat untuk mengetahui apakah perawinya itu sendiri meriwayatkan hadis tersebut ataukah ada perawi lain yang meriwayatkannya. Jika ada perawisanad yang lain, apakah kedua sanad itu sama di tingkat sahabat ataukah berbeda? Jika sama ditingkat sahabat akan tetapi berbeda ditingkat setelah disebut berarti hadis tersebut ada muta’bi’-nya, jika berbeda ditingkat sahabat maka hadis tersebut ada syahid-nya. Abd Haq ibn Saifuddin al- Dahlawī, Muqaddimah fī Uș ȗ l al- Hadīs Cet. II; Bairut: Dār al-Basyāir al- Islāmiyah, 1406 H1989 M, h. 56-57. Bandingkan dengan Mahmud al-Ţahhān, Taisīr Musţalah al- Hadīs, Cet.II; al-Riyādh: Maktabah al-Ma’ārif, 1407 H1987 M, h. 142. f. Melakukan penelitian matan yan meliputi kemungkinan adanya ‘illat cacat dan sya ẓ kejanggalan. g. Mempelajari term-term yang mengandung arti serupa h. Membandingkan berbagai syarah hadis i. Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis atau ayat-ayat pendukung j. Menyusun hasil penelitian menurut kerangka besar konsep. 13

D. Tinjauan Pustaka

Dalam melakukan sebuah penelitian, tentunya seorang penulis akan memerlukan beberapa referensi sebagai bahan untuk tulisan yang akan diteliti agar tidak terkesan mengarang ataupun tanpa landasan. Untuk menghindari terjadinya plagiarisme dan menegaskan perbedaan antara yang akan penulis bahas dengan tulisan yang telah ada sebelumnya, maka penulis akan mengulas tulisan lain yang dirasa memiliki judul ataupun pembahasan yang hampir serupa dengan apa yang akan penulis bahas. Di antara tulisan tersebut adalah skripsi dengan judul: “Larangan Memulai Salam Kepada Ahli Kitab” yang ditulis oleh Indra Gunawan, mahasiswa jurusan Tafsir Hadis fakultas Ushuluddin tahun 2003. 13 Arifuddin Ahmad, Metode Tematik dalam Pengkajian Hadis, Makassar: Rapat Senat Luar Biasa UIN Alauddin Makassar h. 20-21