Mahar dalam perspektif hadis

(1)

MAHAR DALAM PERSPEKTIF HADIS

Skripsi ini Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Salah Satu Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)

Oleh :

Nur Azizah

107034002303

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

MAHAR DALAM PERSPEKTIF HADIS

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)

Oleh : Nur Azizah 107034002303

Di Bawah Bimbingan

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1432 H/2011 M.


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul MAHAR DALAM PERSPEKTIF HADIS telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 19 Desember 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I) pada Program Studi Tafsir-Hadis.


(4)

ABSTRAK

Mahar atau maskawin juga dapat disebut shadaqah adalah merupakan kewajiban suami terhadap istri sebagai pembuka faraj bagi suami dan juga sebagai pemberian yang dapat menyenangkan istri. Syarat minimal maskawin adalah sebuah cincin besi. Pendapat lain kadar mahar dikiaskan maskawin boleh berupa hafalan ayat-ayat Al-Qur‟an yang diberikan kepada isteri sesudah menikah sehingga mahar tersebut boleh hutang, maksudnya mahar tidak terbilang sesuai kemampuan dan sebaliknya maskawin itu harus disegerakan.

Mengenai hukum mahar adalah wajib bagi suami bahkan ada yang menyatakan sebagai rukun perkawinan. Secara tekstual bahwa semua yang disebutkan dalam matan hadis dapat dijadikan sebagai mahar bahkan sesuatu yang tidak berbentuk materi berupa keahlian menghapal Al-Qur‟an boleh dijadikan mahar.


(5)

KATA PENGANTAR

ميحرلا نمحرلا ها مسب

Alhamdulillâh, segala puja dan puji syukur penulis haturkan ke hadirat Allah SWT. Tuhan semesta alam, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dengan ridho dan kekuatan-Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Mahar Dalam Perspektif Hadis. Semoga salawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Nabi akhir zaman.

Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan, rintangan dan hambatan yang dialami oleh penulis. Namun, dengan niat, keteguhan hati dan motivasi yang membumbung tinggi serta dorongan dan bantuan dari berbagai pihak maka kesulitan tersebut serasa lenyap dibakar semangat, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan, baik itu dalam bentuk tulisan maupun dalam bentuk pemahaman yang tertuang didalamnya, karena keterbasan ilmu yang dimiliki penulis. Bila dibandingkan dengan skripsi yang lain, skripsi ini hanyalah sebuah lilin dari sekian banyak kilauan lampu yang bercahaya. Walaupun demikian, setidaknya dapat memberikan cahaya bagi yang ada disekitarnya. Bila dibandingkan dengan ilmu Allah maka skripsi bagaikan setitik debu dari seluruh debu yang ada di alam semesta.

Dengan rasa syukur dan dengan kerendahan hati, penulis haturkan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian penulisan skripsi ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan segala rasa hormat, penulis ucapkan terima kepada :


(6)

1. Prof. DR. Komaruddin Hidayat, MA, selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Prof. Dr. Zainun Kamaluddin, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat.

3. Dr. Bustamin, M. Si, selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis sekaligus sebagai pembimbing penulis. Terima kasih atas bimbingan dan arahan yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Untuk Bapak Muslim terima kasih atas jasa-jasanya. Semoga Allah SWT memberikan balasan, rahmat, dan maghfirah-Nya

5. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan kepada penulis, semoga ilmu yang telah diberikan dapat bermanfaat.

6. Kedua orangtuaku, ibunda Asni dan ayahanda Yusuf Talen. Amat, yang telah merawat dan membesarkan penulis dengan kasih dan sayangnya. Ucapan terima kasih penulis kepada keduanya tak kunjung henti-hentinya terucap atas segala doa dan harapan baiknya, selalu memotivasi penulis untuk maju

7. Nita Zahra., kakakku bersama keluarga yang sudi membangunkanku dari lena kemalasan

8. Pegawai perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Perpustakaan Utama UIN, dan Perpustakaan Iman Jama, yang telah sudi kiranya melayani dan membantu penulis dalam melengkapi buku-buku rujukan yang dibutuhkan.


(7)

9. Teman-teman angkatan 2007, khususnya untuk mahasiswa kelas TH A, Rizza Kurniatillah (Acil) ,Sofia Rosdanila, Dian Kusnadi, dan lainnya yang tak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan kenangan manis yang tak dapat untuk dilupakan bagi penulis. Semoga kita dapat menjadi orang-orang yang sukses dan beruntung, baik di dunia maupun di akherat kelak. Amien.

10.Kepada Hadi Yono (Buy) yang telah banyak membantu dan memberikan dorongan, khususnya sport sampai akhir mengikuti tahap demi tahap dalam proses penyelesaian skripsi ini

11.Serta kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah memberikan balasan yang setimpal atas segala bantuannya.

Tentunya masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk kita semua. Amin.

Jakarta, 11 Januari 2012


(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

TRANSLITERASI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Kajian Pustaka ... 7

E. Metodologi Penelitian ... 9

F. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II MAHAR DAN PERMASALAHANNYA ... 11

A. Pengertian Mahar ... 11

B. Dasar Hukum Mahar ... 14

1. Al- Qur‟an ... 15

2. As-Sunnah ... 19

C. Syarat Sahnya Mahar ... 22

D. Mahar Adalah Hak si Perempuan Bukan Hak Walinya ... 25

E. Pelaksanaan Pemberian Mahar ... 26


(9)

BAB III HADIS- HADIS MENGENAI MAHAR ... 32

A. Teks Hadis dan Terjemahannya ... 32

B. Asbabul Wurud ... 37

C. Bentuk Mahar ... 38

D. Macam-Macam Mahar dalam Hadis ... 40

BAB IV ANALISA KANDUNGAN HADIS-HADIS MAHAR ... 43

A. Mahar Menurut Ulama Secara Umum ... 43

B. Analisa ... 52

BAB V PENUTUP ... 61

A. Kesimpulan ... 61

B. Saran-Saran ... 61


(10)

PEDOMAN TRANSLITERASI

A. Padanan Aksara

Berikut ini adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ا tidak dilambangkan

b be

t te

ث ts te dan es

ج j je

h h dengan garis dibawah

خ kh k dan h

د d de

dz de dan zet

r er

z zet

s es

sy es dan ye

ص s es dengan garis di bawah

d de dengan garis di bawah

t te dengan garis di bawah z zet dengan garis di bawah

„ koma terbalik di atas hadap kanan

gh ge dan ha

ف f ef

q ki

k ka

ل l el

m em

n en

w we

ﻫ h ha

ء ` apostrof


(11)

Vokal Panjang : â : û : î Vokal Tunggal

Fathah : a Kasrah : i

Dammah : u

B. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong, dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ﹷ a fathah

ﹻ i kasrah

ﹹ u dammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ai a dan i

ﺃ au a dan u

C. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:


(12)

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ﺃ ﺃ â a dengan topi di atas

ﺇ î I dengan topi di atas

ْ û u dengan topi di atas

Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara bahasa Arab dilambangkan dengan لا, dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-dîwân.

Syaddah (Tasydîd)

Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda ( ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata ة لاtidak dituliskan ad-darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.

Ta Marbûtah

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 dibawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na‟t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3). Contoh:


(13)

Nomor Kata Arab Alih Aksara

1 ط tarîqah

2 ماسإا م لا al-jâmi'ah al-islâmiyyah

3 د ج لاة ح wahdat al-wujûd

Huruf Kapital

Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, namun dalam alih aksara huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi).

Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku ditulis dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya, demikian seterusnya.

Berhubungan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari dunia nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan, meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad

al-Palimbani, tidak „Abd al-Samad Palimbânî. Nuruddin Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî.

Cara Penulisan Kata

Setiap kata, baik kata kerja (fi‟l), kata benda (ism), maupun huruf (harf) ditulis secara terpisah.


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hadis adalah referensi kedua dalam ajaran Islam setelah al-Qur‟an. Hadis yang dijadikan sebagai sumber kedua dalam Islam sering kali dipergunakan untuk memecahkan persoalan yang muncul dalam berbagai aspek kehidupan, oleh karena itu Hadis Nabi SAW memiliki fungsi penting dalam kaitannya dengan Al-Qur‟an, yaitu sebagai penjelas dan penjabar

Al-Qur‟an dalam segala masalah termasuk pernikahan.1

Pernikahan merupakan salah satu dari sunah Rasul, ia diartikan sebagai sebuah ikatan dan perjanjian antara suami isteri yang mengharuskan masing-masing pihak mentaati semua kewajibannya, demi memenuhi hak pihak lain. Ketika Allah SWT mewajibkan suami menyerahkan mahar kepada isteri, agar suami menghayati kemuliaan dan kehormatan isteri, maka Allah SWT memerintahkannya agar mahar diberikan sebagai pemberian atau hibah yang bersifat suka rela.2

Pernikahan memerlukan materi, namun itu bukanlah segala-galanya, karena agungnya pernikahan tidak bisa dibandingkan dengan materi. Janganlah hanya karena materi, menjadi penghalang bagi saudara kita untuk meraih kebaikan dengan menikah. Yang jelas ia adalah seorang calon suami yang taat beragama, dan mampu menghidupi keluarganya kelak. Sebab

1

Hasbi As-Siddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1998), Cet. Ke-8, h. 179

2

M. Ali al-Syabuni, Al-Jawadj al-Islami al-Mubakkir, Penerjemah: M. Nurdin, Kawinlah

Selagi Muda: Cara Sehat Menjaga Kesucian Diri, ( Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2000), Cet.


(15)

pernikahan bertujuan menyelamatkan manusia dari prilaku yang keji (zina), dan mengembangkan keturunan yang menegangakan tauhid di atas muka bumi ini.

Pernikahan merupakan suatu kontrak sosial antar seseorang laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama tanpa di batasi oleh waktu tertentu. Dalam Islam, pemberian maskawin merupakan kewajiban yang harus dibayar oleh seorang laki-laki yang menyatakan kesediaannya untuk menjadi suami dari seorang perempuan.

Mahar merupakan hak murni perempuan yang disyariat‟kan untuk

memberikan kepada perempuan sebagai ungkapan keinginan pria terhadap perempuan tersebut, dan sebagai salah satu tanda kecintaan dan kasih sayang calon suami kepada calon istri, dan suatu pemberian wajib sebagai bentuk penghargaan calon suami kepada calon istri yang dilamar, serta sebagai simbol untuk memuliakan, menghormati dan membahagiakan perempuan yang akan menjadi istrinya3 Sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur‟an surah an-Nisa‟ (4) ayat 4:

                       Artinya:

“Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.4

Ayat di atas menjelaskan, bahwa hendaklah kalian memberikan mahar kepada wanita yang akan kalian nikahi sebagai satu pemberian yang bersifat

3

Syeikh Shalih bin Ghanim, al-Sadlan, Seputar Pernikahan, (Jakarta: Darul Haq, 2002), cet. I, h. 27

4

Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya,(Semarang: Toha Putra,1989), h. 115


(16)

suka rela. Dan kalau mereka memberikan kembali sebagian dari maharnya kepadamu, maka kalian boleh mengembilnya, tanpa kalian menanggung dosa karenannya. Jadi, mahar disini harus ada dalam suatu pernikahan. Tujuan pemberiannya adalah untuk melanggengkan dan memperkuat ikatan tali cinta kasih pasangan suami istri serta membantu meringankan biaya penyelenggaraan pernikahan.5

Dalam Ensiklopedi Islam Al-Kamil, mahar merupakan hak bagi perempuan dan kewajiaban suami untuk membayarnya, sebagai penghalal atas kehormatannya. Dan menjadikan menjadikan mahar sebagai kewajiban bagi suami untuk menghormati perempuan dengan memberikan mahar tersebut. Sebagai perintah atas eksitensi perempuan, syiar bagi kedudukannya dan sebagai ganti atas sksual dengannya. Serta untuk menyenangkan hatinya dan kerelaan atas tanggung jawab laki-laki (suami) kepadanya.6

Sebagian pendapat ulama mengatakan bahwa mahar dalam perkawinan tidak termasuk dalam rukum dan bukan syarat sahnya aqad nikah karena menghilangkan mahar dengan sengaja tidak mempengaruhi batalnya perkawinan.7 Pendapat Islam sebagai agama yang sempurna telah mengatur penganutnya dengan berbagai aturan di semua aspek, termasuk aspek mahar dalam perkawinan. Ketika membicarakan masalah perkawinan, banyak hal yang harus diperhatikan antara lain adalah mahar, karena salah satu hubungan Islam yang timbul dari sebab perkawinan adalah kewajiabn calon suami untuk mengeluarkan sejumlah kekayaan kepada isterinya yang disebut mahar.

5

M. Ali al-Syabuni, Al- Jawadj al-Islami al-Mubakkir, h. 87-88

6

Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tawaijiri, Ensiklopedia Al-Kamil, penyunting, team Darus Sunnah, Cet. 4, Jakarta, 2008, h. 1005-1006

7

Yusuf Hamid Al-Amin, Muqashid Al-A‟mmah Al-Syari‟ah Al-Islami, Khurtum: Dar Al-Sudaniyah, t.t, h. 427


(17)

Jadi, mahar yang dimaksud ialah merupakan syariat Islam yang diwajibkan bagi pemuda yang hendak menikahi seorang wanita, Sebagai pernyataan kasih sayang dan tanggung jawab suami atas kesejahteraan keluarganya.8 Mahar juga berfungsi sebagai tanda ketulusan niat dari calon suami untuk membina suatu kehidupan berumah tangga bersama calon istrinya.9

Pada kenyataannya, terutama pada kalangan masyarakat awam sebagian masih banyak yang belum mengerti hakikat dari pemberian maskawin. Mereka beranggapan maskawin atau mahar hanyalah pelengkap sebuah ritual akad nikah semata, kendati mereka menganggap hal ini wajib atau harus diadakan.

Dengan demikian, tak sedikit orang membedakan antara maskawin atau mahar dengan bawaan (gawan, istilah jawa). Jika maskawin diberikan oleh seorang laki-laki kepada seorang perempuan yang akan di nikahinya, maka gawan juga diberikan sebagaimana halnya maskawin, tetapi sudah menjadi kebiasaan atau tradisi bahwa gawan bisa kembali atau selayaknya, jika dikemudian hari terpaksa harus berpisah atau bercerai.

Dari dua jenis pemberian ini menjadikan mahar seolah tidak begitu penting, karena mahar ini menjadi hak penuh istri, yang tidak ada harapan untuk diambil kembali oleh laki-laki yang menikahinya. Sehingga dengan adanya pemahaman seperti ini, tak jarang mahar diberikan hanya bentuk dan rupa sedikit saja dari harta yang ia punya, sebagai kebiasaan yang perlu

8

Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-negara Islam, (Jakarta: Bulan Bintang), cet Ke-I, h. 219

9

Syamsuddin Muhammad bin Abi Abbas, Nihyah Al-Muhtaj, (Mesir: Musthafa Al-Baby Al-Halaby, 1938), Juz 6 h. 238


(18)

dikritisi, mayoritas mereka menjadikan seperangkat peralatan shalat bagi perempuan untuk menjadi mahar, semestinya untuk gawan, ia lebih besar dari mahar, misalnya emas 10 gram.

Hal ini yang harus diluruskan untuk lebih bisa menjadikan arti sebuah pernikahan yang bertanggungjawab bisa tercapai, jadi bukan sekedar kontrak sosial tanpa makna, karena hakikat pernikahan adalah untuk bisa hidup bersama sebagai satu kesatuan yang utuh, yang di dalamnya harus saling melengkapi, saling memberi dan menerima.

Mahar disini sangatlah penting, karena mahar bisa menjadikan keluarga berceraiberainya sebuah pernikahan. Memberikan mahar juga harus adil, agar keluarga tidak hancur berantakan, sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw dalam hadisnya:

Artinya:

“Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim telah mengabarkan kepada kami Abdul Aziz bin Muhammad telah menceritakan kepadaku Yazid bin Abdullah bin Usamah bin Mahdi. Dan diriwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Abi Umar Al-Makki sedangkan lafazhnyadari dia, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz Abdurrahman

bahwa dia berkata; Saya pernah bertanya kepada „Aisyah, shallallahu „alaihi

wasallam; Berapakah maskawin Rasulallah shallallahu „alaihi wasalam? Dia

menjawab; mahar beliau terhadap para istrinya adalah dua belas uqiyah dan satu nasy.Tahukah kamu, berapakah satu nasy itu?Abu Salamah berkata; Saya

menjawab; Tidak. „Aisyah berkata ; setengah uqiyah, jumlahnya sama dengan lima ratus dirham. Demikianlah maskawin Rasulallah shallallahu „alaihi


(19)

wasallam untuk masing-masing istri beliau.10

Persoalan maskawin atau mahar jauh berbeda dengan keadaan atau tradisi yang berlaku di luar ajaran Islam.Mahar dalam Islam merupakan pemberian dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan dalam perkawinan.Kemudian mahar menjadi milik mempelai itu sendiri, bukan milik siapa pun selain istri. Islam telah mengangkat derajat perempuan, karena mahar itu diberikan sebagai tanda penghormatan kepada kaum hawa.11

Keadaan dan kondisi tersebut menurut hemat penulis sangatlah menarik untuk diangkat kepermukaan dalam bentuk tulisan atas pertimbangan dan alasan diatas mengilhami penulis untuk menyusun skripsi ini dengan judul:“Mahar Dalam Perspektif Hadis”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini penulis menjelaskan penelitian terhadap kajian tentang tinjauan hukum Islam tentang mahar.

2. Perumusan Masalah

Bagaimana pemahaman masyarakat tentang pelaksanaan mahar yang disyariatkan agama Muslim?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Subjek aktivitas yang ditulis oleh seseorang pasti memiliki tujuan tersendiri, demikian juga halnya dalam pembahasan judul ini di mana penulis mempunyai tujuan yang tertentu pula. Berdasarkan uraian di atas, penulisan

10

Muslim ibn al-Hajaj Abu al-Husain al- Naisyabūri al-Qusyairi, Shahih Muslim, Tahqiq:

Muhammad Fuad‟ Abd al-Bâqi, (Birut: Dar Ihya al-Turast al-„Arabi, tth.), hadis no. 2555.

11

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Terj. Moh. Thalib), Jilid 7, (Bandung: Al-Ma‟arif, 1996), Cet 12, h. 52.


(20)

ini bertujuan untuk:

1. Memotret dan mengkaji permasalahan yang timbul dalam kehidupan masyarakat.

2. Untuk memperoleh pemahaman pribadi yang lebih mendalam tentang mahar dalam hadis.

3. Dapat memiliki kegunaan yang bersifat teoritis dan praktis.

4. Menciptakan kehidupan harmonis dalam rumah tangga, di samping itu juga dapat menambah khazanah kepustakaan, khususnya hadis mengenai mahar.

5. Akhirnya yang tak kalah pentingnya, penelitian ini juga memiliki tujuan formal, yaitu untuk memenuhi sebagian persyaratan guna meraih gelar kesarjanaan SI dalam bidang Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Kajian Pustaka

Dalam penelusuran pustaka, penulis menemukan adanya kajian sebagai berikut:

1. Transformasi Pemahaman Masyarakat Tentang Mahar dalam Adat Jambi. Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.Oleh: Al- Faroby NIM 106044201455.Skripsi ini memaparkan tentang pemahaman masyarakat Jambi terhadap perubahan bentuk mahar dalam tradisinya. Transformasi yang terjadi di masyarakat Jambi dilakukan dengan pendekatan adat mereka. Akan tetapi, skripsi ini tidak menjelaskan secara detail mengapa sebagian besar masyarakat Jambi masih enggan mempraktekkan mahar sesuai dengan anjuran hadis Nabi Muhammad SAW.


(21)

2. Mahar Suami Meninggal Qobla Al-Dukhul (Analisis Terhadap Perbedaan Mazhab & Kompilasi Hukum Islam di Indonesia). Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010. Oleh: Surina Mohammad Napiah. NIM 107044103853. Skripsi ini memaparkan tentang pandangan para ulama fiqh dengan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Akan tetapi, pada skripsi ini lebih banyak mengupas maharnya suami yang meninggal sebelum bersetubuh bukan fokus pada hadis Nabi Muhammad saw yang memberikan pedoman tentang mahar tersebut secara luas.

3. Kadar Suami Meninggal Sebelum Dukhul (Analisis Terhadap Pemikiran Mazhab Maliki). Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010. Oleh: Juwariyah. NIM 107044103855. Skripsi ini memaparkan tentang kadarnya suami meninggal sebelum dukhulatas pandangan ulama mazhab Maliki saja. Akan tetapi, pada skripsi ini fokus mengupas pendapat ulama Maliki tentang kadar maharnya suami yang meninggal sebelum bersetubuh bukan fokus pada hadis Nabi Muhammad saw yang memberikan pedoman tentang mahar tersebut secara luas.

4. Telaah Atas Hadis Anjuran Memberi Kemudahan dalam Memberi Mahar. Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003 Oleh:Iin Rif’aini. NIM 199034016676. Skripsi ini memaparkan tentang anjuran dalam memberikan kemudahan mahar. Skripsi ini fokus pada hadis yang membahas memberi kemudahan tentang mahar tersebut. Akan tetapi, pada skripsi ini fokus mengupas pendapat ulama Maliki


(22)

tentang kadar maharnya suami yang meninggal sebelum bersetubuh bukan fokus pada hadis Nabi Muhammad saw yang memberikan pedoman tentang mahar tersebut secara luas.

Dari keempat skripsi di atas, penulis masih menemukan ruang untuk membahas tentang mahar dalam perspektif hadis yang banyak memberikan alternatif tentang mahar yang akan diberikan suami kepada calon istrinya.

E. Metodologi Penelitian

Dalam pengumpulan data, sering digunakan dua macam penelitian, yaitu penelitian kepustakaan (Library research) dan penelitian lapangan (Field Research). Untuk permasalah tersebut di atas, metode yang penulis gunakan adalah metode penelitian kepustakaan (Library Research), artinya data-data berasal dari sumber-sumber kepustakaan baik berupa buku-buku, jurnal, ensklopedia dan sebagainya, yang termasuk dalam data primer, seperti kitab-kitab hadis, kitab-kitab rijal al-Hadis maupun skunder, seperti buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan yang di kaji dalam skripsi ini. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan informasi secara lengkap serta untuk menentukan kesimpulan yang akan diambil sebagai langkah penting.

F. Sistematika Penulisan

Dengan melihat tujuan untuk membuat dan mempertahankan karya ilmiah yang sistematis serta memudahkan dan enak untuk dibaca, kajian ini disusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut:


(23)

Bab I, Pendahuluan. Didalamnya bab ini berisi uraian tentang Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, Kajian Pustaka, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan

Bab II, Mahar dan Permasalahannya.Berisi pemahaman tentang pengertian mahar, macam dan syarat-syaratnya, Eksistensi Mahar Dalam Perkawinan yang mengupas tentang Pengertian Mahar dan Dasar Hukumnya, Syarat Sah Mahar, Pelaksanaan Pemberian Mahar, dan Hikmah Mahar

Bab III, Hadis- hadis mengenai mahar yang berkenaan dengan mahar, diikuti teks dan terjemahannya, asbabul wurud, Bentuk Mahar, Macam-macam Mahar dalam Hadis

Bab IV , Pembahasan ini penulis mengupas tentang Mahar Menurut Ulama Secara Umum disertai Analis

Bab V, Penutup. Berisi kesimpulan, usul dan saran. Kesimpulan merupakan poin-poin penting hasil penelitian yang sekaligus merupakan jawaban terhadap masalah.


(24)

BAB II

MAHAR DAN PERMASALAHANNYA

A. Pengertian Mahar

Secara etimologi mahar adalah masdar dari kata م - - م yang berarti maskawin.12Mahar yang dalam bahasa Indonesia lebih dikenal dengan sebutan maskawin, dalam Al-Qur‟an disebut dengan beberapa istilah, yaitu: 1. Ujr, jamak dari kata ajrum, yang artinya ganjaran atau hadiah, terdapat

dalam Al-Qur‟an

                                                                   Artinya:

Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian(yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

                                        12

Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1989), Cet. Ke-I, h. 431

13


(25)

                                Artinya:

Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik.makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan, diantara wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi.

2. Saduqat, jamak dari kata Saduqah,yang artinya pemberian yang tulis, terdapat dalam Al-Qur‟an surat an-Nisa: 4

                       Artinya:

Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.

Dan sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nabi SAW yang selalu membeikan mahar kepada istri-istri beliau saat menikah15

3. Faridah, yang artinya sesuatu yang di wajibkan atau suatu bagian yang ditetapkan, terdapat dalam al-Qur‟an surat al-baqarah: 236.16

14

Qs. Al- Maidah: 5

15

Saleh al-Fauzan, Al-Mulakhkhasul Fiqhi, (Jakarta: Gema Insani, 2006), Cet ke-I, h. 672

16

Humaidi Tatapangarsa, Hak dan Kewajiab Suami Istri Menurut Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1993), Cet ke-I, h. 12


(26)

                                       Artinya:

Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya.dan hendaklah kamu berikan suatu pemberian kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.

Berdasarkan keterangan yang terdapat dalam Al-Qur‟an, dapat dirumuskan bahwa mahar itu ialah suatu pemberian wajib dari suami kepada istri sebagai hadiah yang tulus berkenaan dengan pernikahan antar keduanya, yang sudah ditetapkan melalui al-Qur‟an, as-Sunah dan I‟jma,17 diberlakukan dalam praktik dan suadah dikenal di kalangan khusus maupun umum dari putra-putra muslim, sehingga mahar termasuk sesuatu yang sudah diketahui pasti sebagai ajaran agama.

Pemberian mahar adalah salah satu yang disyariatkan oleh ajaran agama Islam. Sebagaimana lamaran, maka mahar pun diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan, pihak laki-lakilah yang datang ke wanita untuk meminangnya dan mengungkapkan rasa cintanya, serta untuk menegaskan ketulusan, dan menarik perhatiannya, maka laki-laki perlu memberikan sesuatu sebagai bukti ketulusan hati, inilah yang dikenal dengan sebutan mahar.

17


(27)

Nihlah yang berasal dari rumpun kata an-Nahl mempunyai arti yang sama dengan mahar, dalam Tafsir Al-Azhar dimaknai sebagai lebah. Lebah diibaratkan sebagai seorang laki-laki yang mencari harta yang halal, laksana seekor lebah mencari kembang, yang kelak akan menjadi madu (manisan lebah),‟ dari hasil jerih payah itulah, yang nantinya akan di berikan kepada calon istri sebagi pertanda ketulusan.18

Mahar bukan hanya sejumlah uang, harta dan barang-barang lainnya, sebagaimana lahirnya, tetapi mahar adalah suatu pertanda kebenaran dan kesungguhan cinta seorang laki-laki, kerena itulah mahar juga dinamakan dengan shidaq (kebenaran). Wanita tidak menjual dirinya dengan mahar, tetapi dengan sarana ini ia dapat mengetahui ketulusan hati seorang laki-laki, yang mampu menciptakan sebuah sarana yang sesuai bagi wanita agara wanita tersebut dapat melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Inilah salah satu falsafah mahar.19

Jadi makna mahar dalam sebuah pernikahan, lebih dekat kepada syariat agama dalam rangka menjaga kemuliaan peristiwa nan suci, pemberian mahar merupakan ungkapan tanggung jawab kepada Allah SWT sebagai Asy-Syari‟(pembuat aturan), dan kepada wanita yang akan dinikahi, sebagai teman hidup dalam meniti kehidupan rumah tangga.20

B. Dasar Hukum Mahar

18

Hamka, Tafsir sl-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas. 1982), Cet. Ke I, Juz III, h 260

19

Ibrahim Amini, kiat Memilih Jodoh: Menurut al-Qur‟an dan Sunnah, Penerjemah: Muhammad Taqi, (Jakarta: Lentera, 1994), Cet. Ke-I, h. 157

20

M. Fandzil Adhim, Kupinang Kau dengan Hamdallah, (Yogyakarta ,Mitra Pustaka, 1998), Cet. Ke-4, h. 195


(28)

Para ulama Fiqh‟ telah menyepakati bahwa hukum memberi mahar atau maskawin itu adalah wajib. Hal ini berdasarkan pada dalil-dalil sebagai berikut:

1. Al-Qur’an

Dalam surat An-Nisa‟ ayat 4 di sebutkan:

                       Artinya:

“Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang

sedap lagi baik akibatnya”.21

Dilihat dilalah dari ayat di atas bahwa Allah Swt telah memerintahkan, pada suami-suami untuk membayar mahar pada istrinya. Kerena perintah tersebut tidak disertai dengan qarinah yang menunjukkan kepada hukum sunat atau mubah, maka ia menghendaki kepada makna wajib. Jadi mahar wajib bagi suami untuk dberikan kepada istrinya, karena tidak ada qarniah yang menyimpang dari makna wajib kepada makna yang lain.

Dari segi lain, nihlah dalam ayat di atas juga bermakna Al-Faridhah Al-Wajibah (ketentuan yang wajib). Dengan begitu, makna ayat

adalah: “Dan berikanlah kepada wanita (istri-mu) mahar sebagai sebuah ketentuan yang wajib”.

Pemberian tersebut juga sebagai tanda eratnya hubungan dan cinta yang mendalam, disamping jalinan yang seharusnya menaungi rumah

21


(29)

tangga yang mereka bina. Namun demikian, seandainya istri merasa suka atau rela memberikan kepada suaminya sesuatu dari maharnya tanpa merasa dirugikan dan tanpa unsur paksaan atau tipuan, maka suami boleh mengambil atau meggunakan pemberian itu dengan senang hati dan tidak ada dosa bagi suami untuk mengambil serta menerimannya.

Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa Islam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan seorang wanita dengan memberikan hak kepadanya, di antaranya kedudukan seorang wanita dengan memberikan hak kepadanya, di antaranya yaitu hak untuk menerima maskawin. Mahar hanya diberikan oleh calon suami kepada calon istri, bukan kepada wanita lainnya atau siapa saja, meskipun sangat dekat hubung dengannya. Orang lain tidak boleh menjamah apalagi menggunakannya, bahkan oleh suaminya sendiri, kecuali dengan ridha dan kerelaan istri sendiri.

Di kalangan masyarakat, telah menjadi suatu tradisi yang dijalankan secara turun menurun yaitu, bahwa mereka tidak cukup hanya dengan pemberian makhar saja tetapi diberengi pula dengan anekaragam hantaran (hadiah) lainnya, baik berupa makanan, pakaian, peralatan rumah tangga dan lain-lain sebagai penghargaan dari calon suami kepada calon istri tercinta yang bakal mendampingi hidupnya.

Allah SWT berfirman dalam Surat An-Nisa‟ ayat 20:                          


(30)

“Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain22, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata.

Firman-Nya lagi dalam surat An-Nisa ayat 21

              .

“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat.

Dalam ayat di atas disebutkan, bahwa mahar ini wajib diberikan

kepada istri sebagaimana dinyatakan sendiri oleh kata “mahar”.Ia

merupakan jalan yang menjadikan istri senang hatinya dan ridha menerima kekuasaan suaminya kepada dirinya, seperti firman Allah SWT seperti berikut:                                                                     22

Maksudnya Ialah: menceraikan isteri yang tidak disenangi dan kawin dengan isteri yang baru. Sekalipun ia menceraikan isteri yang lama itu bukan tujuan untuk kawin, Namun meminta kembali pemberian-pemberian itu tidak dibolehkan.


(31)

“Artinya

Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki23 (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu.dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian24(yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu25. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Al-istimta‟ dalam ayat di atas artinya bersenang-senang dan Al-ita‟ mencangkup pengertian memberikan dan mengharuskan. Sedang Al-ujur bisa diartikan dengan mahar26

Mahar dinamakan dengan ajr (upah), karena ia merupakan upah atau imbalan dari kesediaan berenang-senang. Manfaat dan kesenangan yang diperoleh seorang laki-laki dari seorang wanita (istrinya) ketika melakukan hubungan suami istri yang disahkan melalui jalur pernikahan dan memberikannya dalam bentuk mahar.

Jihad dilalah dari ayat ini sangat jelas, yaitu ketika Allah SWT berfirman:Perintah di sini cukup tegas menunjukkan kepada hukum wajib, sebab tidak ada sekali qarinah yang memalingkan kepada makna lain seperti mubah atau sunat

23

Maksudnya: budak-budak yang dimiliki yang suaminya tidak ikut tertawan bersama-samanya.

24

Ialah: Selain dari macam-macam wanita yang tersebut dalam surat An Nisaa' ayat 23 dan 24.

25

Ialah: menambah, mengurangi atau tidak membayar sama sekali maskawin yang telah ditetapkan

26

Syamsuddin Muhammad bin Abi Abbas, Nihayah Al-Muhtaj,(Mesir: Mushthafa Al-Baby Al-Halaby, 1938), Juz 6 h. 238.


(32)

Dari ayat tersebut, jelaslah bahwa Allah SWT mengatakan, wanita maupun di antara wanita-wanita yang dihalalkan bagi kalian (kaum laki-laki) untuk kalian nikahi, maka berikanlah imbalannya, yaitu maskawin yang telah kalian wajibkan sebagai imbalan dari kenikmatan yang kalian rasakan itu.

Hikmah yang terkandung di dalamnya adalah, bahwa ketika Allah SWT memberikan kepada kaum laki-laki hak untuk mengatur wanita, hak untuk memimpin rumah yang mereka tempati, dan hak menggauli istrinya. Sebagai konsekuensinya, Allah SWT mewajibkan kepada laki-laki untuk memberikan hak istrinya sebagai bentuk balasan atau penghargaan yang akan menyenangkan dirinya dan menjamin terwujudnya keadilan antara istri dan suami.

Mahar itu wajib dibayar suami kepada istrinya. Namun setelah pasti ketentuan pembayarannya, tidak tertutup kemungkinan bagi pasangan suami istri yang saling cinta-mencintai, ridha-meridhai menjadi patri mesra dalam sebuah rumah tangga untuk meghadiahkan kembali mahar itu kepada suaminya, demi kepentingan dan kesenangan bersama karena harta telah menjadi harta istri.27

Hal ini dapat kita melihat contoh yang diberikan oleh Khadijah selama masa perkawinannya dengan Nabi Muhammad SAW lima belas tahun sebelum ia menjadi Rasulallah SAW. Mahar Khadijah dibayar penuh oleh Nabi Muhammad SAW. setelah maskawin tersebut menjadi

27


(33)

miliknya dan telah bergabung dengan harta yang lain, demi cinta kepada Rasulallah SAW dan untuk membantu perjuangannya, bukan hanya jiwa dan raganya saja yang diserahkan kepada suaminya, bahkan hartanya pun turut diserahkan semua. Sehingga pembelanjaan Rasulallah SAW dalam melakukan penyebaran Islam di zaman perjuangan pertama tersebut, sebagian besar adalah harta Khadijah. Demikianlah suri telada yang patut diikuti dari kehidupan perkawinan Khadijah dengan Rasulallah SAW dari sisi mahar.

2. As-Sunnah

Terdapat banyak hadis Rasulallah SAW sebagai dalil yang menyatakan bahwa mahar adalah suatu kewajiban yang harus dipikul setiap calon suami yang akan menikahi calon isterinya. Di antaranya ialah:


(34)

Artinya:

“Dari Sahl bin Sa‟idi, sesungguhnya Rasulallah SAW kedatangan tamu

seorang wanita yang mengatakan: “Ya Rasulallah, sesungguhnya aku serahkan diriku kepadamu”. Lalu wanita itu berdiri cukup lama sekali.

Kemudian tampil seorang laki-laki dan berkata: “Ya Rasulallah SAW nikahlah aku dengannya jika memang engkau tidak ada minat kepadanya”. Rasulallah SAW lalu bertanya: Apakah kamu mempunyai sesuatu yang

bisa diberikan sebagai maskawin kepadanya?” Lali-laki itu menjawab:

“Saya tidak membpuyai apa-apa kecuali kain sarung yang saya pakai ini”.

Nabi berkata lagi: “Jika sarung tersebut engkau berikan kepdanya, maka

engkau akan duduk dengan tidak mengenakan kain sarung lagi. Kerena itu

carilah yang lain”. Lalu ia mencari tidak mendapatkan sesuatu. Nabi bersabda lagi kepadanya: “Carilah meskipun hanya sebentuk cincin dari

besi”. Lelaki itu pun mencoba menyarinya namun tidak mendapatkan apa

-apa. Lalu rasulallah SAW bertanya lagi kepada laki-laki tadi: “Apakah kamu hafal sedikit saja dari ayat-ayat Al-Qur‟an”, Lelaki tadi menjawab:

“Tentu saja, aku hafal surah ini dan surah ini”. Ada beberapa surat yang ia sebutkan. lalu Rasulallah SAW bersabda kepadanya: “Kalau begitu aku

nikahkan kamu dengannya dengan maskawin surat Al-Qur‟an yang kamu

hafal”. (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi).

Wajah dilalah dari hadis ini adalah perintah Rasulalah SAW sendiri pada laki-laki tersebut untuk mencari seuatu yang dapat dijadikan mahar. Perintah itu menunjukkan kepada wajib Nabi SAW tetap menyuruhnya untuk mencari sampai beberapa kali, sampai beliau mengatakan: Meskipun

sebentuk cincin dari besi”. Dalam hadis tersebut, pertama Nabi SAW

menyuruh mencari sesuatau untuk dijadikan mahar.Kata “sesuatu” pada dasarnya mencangkup segala sesuatu yang baik bernilai atau yang tidak bernilai. Namun ketika Rasulallah SAW mengatakan “meskipun sebentar

cincin dari besi” dapatlah dipahami bahwa yang di maksud dengan

28

Abu Isa Muhammad, Sunan At-Tirmidzi, (Muhammad Jamil Al-A‟thar), (Beirut-Lebanon: Dar Al-Fikr) Juz2, h. 360-361.


(35)

sesuatu” sebagai mahar dalam hadis di atad adalah sesuatu yang bernilai. Maka tidak bisa dijadikan mahar yang tidak bernilai seperti sebiji padi.29

Berdasarkan hadis di atas dan juga hadis-hadis yang lain, jelaslah bahwa mahar adalah seuatu kewajiban yang harus ditunaikan oleh calon suami yang akan menikahi calon istrinya. Oleh karena itu tidak mungkin diadakan persetujuan untuk meniadakannya. Namun masih perlu dikaji apakah mahar merupakn salah satu rukun atau syarat sahnya nikah.Jumhur ulama tetap berpendirian bahwa mahar tidak bisa dikatakan sebagi rukun nikah atau syarat sahnya nikah, tetapi hanya sebagai konsekuensi logis dari

pelaksanaan „aqad nikah.

Jelaslah mahar adalah wajib, ia boleh berupa barang (harta kekayaan) dan boleh juga berupa jasa atau manfaat. Jika berupa barang, disyaratkan haruslah barang tersebut berupa sesuatu yang berupa sesuatu yang mempunyai nilai atau harga, halal lagi suci. Sedangkan kalau berupa jasa atau mahar haruslah berupa jasa atau manfaat dalam arti yang baik.30

3. Ijma’

Para Ulama sepakat (ijma‟) bahwa mahar itu wajib hukumnya dalam pernikahan dan mahar juga merupakan bagian dari syarat-syaratnya nikah, yang harus dipikul oleh setiap calon suami terhadap calon istrinya.31

C. Syarat Sahnya Mahar

Mahar yang diberikan oleh seorang laki-laki (suami) terdapat seorang

29

Abu Isa Muhammad, Sunan At-Tirmidzi,., h. 362

30

Abu Isa Muhammad, Sunan At-Tirmidzi, h. 363

31


(36)

calon istri adalah suatu kewajiban yang tidak dapat ditinggalkan atau di hilangkan, bahkan tidak dapat pula kurang dari syarat-syarat yang telah ditentukannnya. Para fuqaha dalam hal ini menetapkan bahwa syarat-syarat mahar tersebut adalah:

1. Benda halal yang suci

Suatu benda yang akan dijadikan mahar harus terhindar dari unsur-unsur haram, karena itu mahar harus boleh dimiliki atau diperjual belikan atau dimanfaatkan. Dalam kitab Al-Fiqhu „ala Mazahib Al-Arba‟ah disebutkan:

Artinya:

Bahwa keadaan suci, sah dimanfaatkan dengannya, maka tidak sah mahar dengan minuman keras, babi, darah dan bangkai karena yang demikian itu tidak ada harganya menurut pendapat syariat Islam.

Tidak dibenarkan benda-benda yang disebut di atas seperti minuman keras, babi, darah dan bangkai sesuai menurut penjelasan Al-Qur‟an surat Al-Maidah ayat 3, yang berbunyi:









  

  

 Artinya:

“Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah daging babi, dan sesuatu (binatang) yang disembelih atas nama selain Allah SWT

Dari pengertian ayat di atas dan hubungannya dengan kutipan yang mengharamkannya mahar dengan benda yang tidak bermanfaat dalam Islam, Maka dapat diambil perhatian bahwa segala benda yang haram

32

Abdurrahman Al-Jaziriy, Al-Fiqh „ala Mazahib Al-Arba‟ah, (Mesir: Al-Tijiriya, 1996), Jilid 4, h. 97.


(37)

untuk dipergunakan atau dimanfaatkan haram pula dijadikan mahar.

2. Benda Yang Berharga

Disamping tidak bolehkannya mahar beda-benda yang telah diharamkan dalam Islam, mahar juga tidak dibenarkan dengan benda-benda atau sesuatau yang tidak ada harganya, seumpama sampah, biji buah-buahan, buah-buahan yang busuk dan sebagainya. Hal ini dijelaskan dalam kitab Al-Fiqhu „ala Mazahib Al-Arba‟ah sebagai berikut :

Artinya:

Mahar adalah sesuatu harta benda yang mempunyai harga, maka tidak sah mahar dengan harganya murah yang tidak mempunyaiharga seperti biji gandum.

Dari kutipan diatas dapat dipahami bahwasannya mahar tidak dibenarkan dengan sesuatu benda yang tidak ada harga atau nilai, meskipun benda tersebut halal. Karena dengan demikian itu terlalu mempermudah, seharusnya mahar tersebut hendaklah yang dipandang baik, sebagaimana menurut pemahaman yang dapat diambil dari surat Al-Baqarah ayat 267 yang berbunyi:



     

 Artinya:

Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah SWT) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik”

33

Abdurrahman Al-Jaziriy, Al-Fiqh „ala Mazahib Al-Arba‟ah., h. 98.

34


(38)

Hal ini juga dapat dilihat hadis Nabi SAW:

Artinya:

Dari Abi Salamah bin Abdurrahman berkata: Saya bertanya kepada Aisyah Istri Rasulallah SAW, berapa mas kawin Rasulallah SAW ? Aisyah Menjawab: mas kawin kepada istri-istrinya adalah dua belas uqiyah dan nash. Aisyah bertanya: tahukah engkau akan nash itu? Saya menjawab : tidak tahu. Aisyah berkata: setengah uqiyah, maka yang demikian itu lima ratus dirham . Inilah maskawin Rasulallah bagi istri-istrinya (H.R. Muslim)

Hadis di atas menunjukan benda yang berharga seperti mata uang, karena itu (mata uang) dapat dijadikan mahar. Hal seperti ini terdapat dalam masyarakat sekarang, di mana pihak pengantin pria menyerahkan

sejumlah uang kepada pihak pengantin wanita pada saat „aqad nikah

sebagai maskawin.

3. Benda Yang di Miliki

Disamping mahar tersebut sesuatu (benda) yang halal dan berharga, mahar juga harus benda yang dimiliki oleh seseorang dan dapat diserah kepada pengantin perempuan tersebut, dengan demikian mahar tidak boleh seperti

35

Imam Nawawy, Shahih Muslim Bi Syarhi Al-Nawawy, (Mesir Al-Mathba‟ah Al -Misriyah Wa Maktabuha), Juz 3, h.585


(39)

burung yang terbang di udara atau ikan yang di laut yang belum dimiliki. Hal ini juga di jelaskan dalam kitab Al-Fiqhu IslamiyWa Adillatuhu sebagai berikut:

Artinya:

“Bahwa benar mahar itu terhindar dari tipuan, maka tidak boleh mahar itu

seorang hamba sahaya yang lari (hamba sahaya tersebut tidak ada di depan mata) unta yang sesat (unta yang tidak ada di depan mata) atau sesuatu yang serupa keduanya.

Kutipan diatas menunjukkan tidak sah dijadikan mahar benda yang bukan miliknya, seperti barang titipan orang kepadanya dan tidak sah juga menjadikan mahar kalau tidak sanggup menyerahkannya, seperti miliknya yang telah dirampas orang dan tidak sangup mengambilnya kembali.

D. Mahar Adalah Hak Si Perempuan Bukan Hak Walinya

Mahar atau mas kawin dalam ajaran Islam merupakan hak calon mempelai wanita dan bukan hak wali. Oleh karena itu, besar kecilnya mahar ditentukan oleh wanita bukan oleh walinya. Namun, tidak mengapa apabila si wanita tersebut berunding dengan walinya untuk menentukan berapa besarnya mas kawin. Meski demikian, keputusan terakhir tetap di tangan si wanita. Apabila si wanita menentukan jumlah mahar terntentu kemudian si wali juga menentukan jumlah tertentu, maka yang diambil adalah ucapan si wanita. Oleh karena mahar adalah hak si wanita, maka si wali ataupun yang lainnya

36

Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqih Islamiy Wa Adillatuhu, (Beirut-Lebanon: Dar Al-Fikr), Juz 7, h. 259


(40)

tidak boleh mengambil seluruh atau sebagian jumlah mahar tersebut tanpa ada izin dari si wanita. Oleh karena itu, ulama Syafi'iyyah dan Hambali berpendapat bahwa seorang suami tidak boleh membayar mahar kecuali kepada isterinya atau kepada orang yang diwakilkan oleh isterinya. 37

E. Pelaksanaan Pemberian Mahar

Berikut ini ada beberapa kondisi di mana apabila kondisi ini terjadi, maka si suami boleh tidak membayar sisa maharnya atau semua maharnya, bahkan boleh meminta sebagian atau seluruh mahar yang telah diberikannya. Kondisi-kondisi dimaksud adalah:

1. Apabila si isteri meminta untuk bercerai dari si suaminya sebelum keduanya melakukanhubungan badan.

Misalnya, apabila si isteri masuk Islam sementara suaminya masih non muslim dan keduanya belum melakukan hubungan badan, maka menurut Syafi'iyyah dan Hanabilah, si suami boleh tidak membayar mahar. Atau si isteri meminta dicerai lantaran suaminya impotent atau ada penyakit menular yang tidak bisa disembuhkan, atau karena si suaminya ternyata adalah saudara sesusu wanita tersebut dan keduanya belum melakukan hubungan badan, maka si suami tidak mesti membayar mahar kepada si wanita tadi. Bahkan menurut ulama Malikiyyah dan Hanafiyyah, mereka tidak mengkhususkan perceraian itu harus datang dari pihak isteri. Menurut mereka baik permintaan cerai itu datangnya dari pihak suami ataupun isteri selama belum hubungan badan, maka hal demikian tidak mengharuskan membayar Mahar Musamma atau Mahar Mitsil. Namun,

37


(41)

hemat penulis, yang lebih rajih adalah pendapat Syafi'iyyah dan Hanabilah yang mensyaratkan bahwa perceraian tersebut datang dari pihak isteri bukan dari pihak suami.

2. Apabila terjadi khulu' baik si isteri tersebut telah disetubuhi ataupun belum.

Khulu' adalah permintaan cerai dari pihak isteri. Khulu berbeda dengan talak. Apabila talak berupa permohonan cerai dari pihak laki-laki, maka Khulu' perceraian akan tetapi datangnya daripihak isteri. Misalnya, apabila si suaminya sangat kikir, atau impotent atau tidak pernah shalat wajib, suka berjudi, mabuk dan lainnya, maka si isteri boleh meminta agar si suami menceraikannya dengan catatan si isteri harus membayar 'iwad, berupa sejumlah uang yang kira-kira cukup untuk dijadikan maskawin baik besar maupun kecil untuk pembahasan lebih lanjut seputar Khulu' ini, akan dibahas dalam makalah khusus.'Iwad atau uang ganti dalam Khulu' tidak mesti sama dengan jumlah mas kawin yangditerimanya. Ia boleh membayar berapa saja selama hal itu layak dijadikan mas kawin. Dalam prakteknya Khulu' ini terjadi seperti ini: Si wanita meminta suaminya agar menceraikannya karenasi isteri merasa tidak kuat dengan kelakuan si suaminya yang sering mabuk-mabuk dan tidakpernah shalat. Lalu si suaminya setuju. Kedua suami isteri tersebut lalu pergi ke pengadilan, dan didepan pengadilan si suami mengatakan: "Saya telah mengkhulu' kamu dengan uang ganti sebesar500 ribu rupiah, misalnya". Setelah itu, si isteri memberikan uang sebesar 500 ribu rupiah sebagai iwad dari khulu tersebut. Apabila shigat khulu telah diucapkan, maka ia dipandang telah


(42)

bercerai.

Dalam peraturan perkawinan yang berlaku untuk ummat Islam di Indonesia, yaitu Kompilasi Hukum Islam, khulu ini diistilahkan dengan Cerai Gugat. Cerai gugat adalah perceraian atas permohonan si isteri dengan syarat si isteri harus membayarkan ganti rugi ('iwad) baik dengan mengembalikan mas kawin yang pernah diterimanya dahulu maupun berapa saja jumlahnya menurut kesepakatan dengan suaminya. Sedangkan perceraian atas keinginan si suami disebut dengan Cerai Talak.

Apabila, si isteri meminta khulu kepada suaminya, baik si isteri tersebut telah disetubuhi maupun belum, maka si suami tidak berkewajiban membayar mas kawin. Sisa mas kawin yang belum dibayarnya dapat dijadikan iwad khulu oleh si isteri sehingga dengan demikian hutang sisa maskawin si laki-laki tersebut menjadi lunas, gugur dan jatuh. Apabila mahar dari si suaminya sudah dibayar penuh, lalu si isteri berkehendak untuk khulu, maka sebaiknya ia mengembalikan mas kawin suaminya itu. Apabila si isteri tidak mempunyai cukup uang untuk mengembalikan maskawin yang dahulu diterimanya, maka ia boleh dengan jumlah yang lebih kecil, selama ada kerelaan dan keridhaan antara kedua belah pihak.

3. Ibra' (tanazul) dari semua mahar baik sebelum dukhul maupun

setelah dukhul.


(43)

istilah, Ibra' mempunyai beberapa bentuk dan istilah. Di antaranya, Ibra' terjadi apabila seorang bapak berkata kepadasuami anak perempuannya: "Talaklah anak saya dan kamubebas dari mahar kamu yang belumkamu bayar", lalu si suami mentalaknya, maka ia bebas (bari') dari mas kawin tersebut. Praktek seperti ini disebut dengan Ibra'. Oleh karena itu, apabila seorang isteri atau walinya meminta sisuami untuk mentalaknya atau mengkhulu'nya dengan catatan apabila ia melakukannya makamaharnya akan gugur dan tidak mesti dibayar, lalu si suami tersebut melakukannya (menceraikannya), baik ia telah mendukhulnya maupun belum, maka mahar si suami jatuh dan tidak mesti dibayar.

4. Si isteri menghibahkan atau membebaskan si suami dari pembayaran mahar.

Apabila seorang laki-laki menikah dengan seorang wanita dengan mahar dibayar setengahnya dan setengahnya lagi di bayar setelah menikah, atau maharnya belum dibayar samasekali (hutang), lalu setelah menikah si isteri menghadiahkan atau menghibahkan atau membebaskan maskawin tersebut karena, misalnya, merasa kasihan kepada suaminya, dan si suaminya menerima pembebasan mahar tersebut, maka kewajiban mahar bagi si suami menjadi gugur. Si suami tidak harus membayar mahar. Dengan catatan si isteri menghibahkannya itu dalam keadaan normal, sehat, dewasa, tidak dipaksa dan betul-betul berdasarkan keinginannya sendiri.

F. Hikmah Mahar

Salah satu usaha islam ialah memperhatikan dan menghargai kedudukan wanita, yang memberinya hak untuk memegang urusannya, seperti


(44)

hak menerima hak mahar mengurusnya. Suami wajib memberi mahar kepada istrinya bukan kepada ayahnya

Pensyari‟atan mahar dalam perkawinan mengandung arti yang sangat

mendalam, antara lain: sebagai penghormatan terhadap yang dicintai, mengikat jalinan kasih sayang kepada istri serta mempererat hubungan antara keduannya, bukan pula dianggap pemberian atau ganti rugi. Pemberian mahar merupakan salah satu jalan yang dapat menjadikan istri berhati senang dan ridha menerima kekuasaan suami tehadap dirinya.

Pemberian mahar itu kepada istri bukanlah harga dari wanita itu, dan bukan pula sebagai pembelian wanita itu dari orang tuannya, akan tetapi

pensyari‟atan mahar tersebut merupakan salah satu syarat yang dapat

menghalalkan hubungan suami istri antara keduanya, yaitu hubungan timbal balik dengan senang hati dan penuh kasih sayang dengan melakukan status kepimpinan dalam rumah tangga secara tepat lagi ialah bertanggung jawab.

Dengan adanya kewajiban memberi mahar kepada istri terentanglah tanggng jawab yang besar dari suami untuk memberikan mahar di dalam kehidupan rumah tangga secara layak.

Adapun hikmah mahar menurut penulis adalah sebagai berikut: 1. Sebagai suatu motivasi dan tanggung jawab moral bagi setiap laki-laki

yang ingin melangsung perkawinan.

2. Sebagai suatu kebebasan dari larangan hukum yang mutlaq kepada yang membenarkan di dalam perkawinan.


(45)

istri, sehingga terwujud rasa kebersamaan dengan pengertian yang sangat luas.

4. Terjalinnya hubungan kasih sayang yang pantas dikenang oleh kedua belah pihak (suami-istri)

5. Sebagai penetapan status dan martabat wanita yang sudah dijunjung tinggi.

Demikianlah hikmah disyariatkannya mahar sehingga wanita tidak dizalimi serta mendorong terciptanya keluarga-keluarga Islami dengan mematuhi syariat agama.


(46)

BAB III

HADIS-HADIS MENGENAI MAHAR

A. Teks Hadis dan Terjemahannya

Dalam bab ini hadis-hadis mengenai mahar akan dibahas. Seluruh hadis dari kitab-kitab asli yang memeuat hadis-hadis sahih, seperti al-jami‟ al-sahih al-Bukhari, al-jami‟ al-sahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan Nasa‟I Sunan Ibnu Majah, Musnad Imam Ahmad dan lain- lain. Di antara hadis-hadis tersebut adalah:

Artinya:

Dari Ibnu „Abbas, dia berkata: Ketika „Ali ra menikah dengan Fatimah ra putri dari Rasulallah SAW, beliau berkata kepada „Ali ra, “Berilah sesuatu (sebagai

mahar) kepadanya.” Dia menjawab, “saya tidak punya apa-apa. “ Beliau

bertanya. “Mana baju besi hutamiyahmu? “ Dia menjawab, “Dia ada padaku.

Beliau bersabda, “Berikanlah dia padanya.”

38(HR. Nasa‟i )

Lihat, Abu Abdullah al-Rahman Ibn Syu‟aib al-Nasa‟I, Sunan

an-Nasa‟I, Kitab an-Nikah, , (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), Cet. ke-I, Jilid III, h. 123


(47)

Artinya:

Dari Abu Salamah Ibn „Abdur Rahman ra sesungguhnya dia berkata: “Saya

bertanya kepada „Aisyah istri Nabi SAW: Berapa banyak maskawin yang diberikan Rasulallah SAW? „Aisyah menjawab: Maskawin yang beliau

berikan kepada istri-istrinya ialah dua belas setengah uqiyah”. Ketika dianya

oleh „Aisyah berapa itu kira-kira, aku menjawab lima ratus dirham. Inilah maskawin yang diberikan oleh Rasulallah SAW kepada istri-istrinya”.

Artinya:

Dari Sabit dari anas ra berkata: Ketika Abu Talhah melamar Ummu Sulaim,

maka jawab Ummu Sulaim: “Demi Allah, wahai Abu Talhah tidaklah pantas

jika lamarmu ditolak, akan tetapi kamu seorang kafir sedangkan aku wanita muslim, maka tidak dihalalkan bagiku menikah denganmu, tetapi jika kamu bersedia masuk Islam, maka itulah maskawinku dan aku tidak meminta yang

lain darimu.” Oleh sebab itu Abu Talhah masuk Islam dan Islamnya itulah

sebagai maskawinnya untuk Ummu Sulaim. Kata Sabit: Sama sekali aku benlum pernah mendengar wanita yang maskawinnya lebih mulia dari pada maskawin Ummu Sulaim, yaitu masuk Islam. Maka Talhah menikah dengannya dan ia sempat memberi anak baginya.

39

(HR. Muslim), Abu Husain Muslim Ibn Hajjaj al-Qusyairi, Al-Jami‟ al-Sahih

Muslim Kitab an-Nikah, هج ت ب ل ةﺃ لا هج لﺇ لا ب, (Beirut: Dar al- Fikr,

1993), Cet. Ke-I, Juz V, h. 229. Juga terdapat di Sunan Abu Daud, Kitab an-Nikah, ا لا ب, Juz III, hadis no. 2105, h. 199, dan Sunan Ibnu Majah, Kitab an-Nikah, ء لا ا س ب, Juz I, hadis no. 1886, h. 592

40(HR. Nasa‟i),


(48)

Artinya:

Dari „Urwah dari Ummu Habibah, sesungguhnya Rasulallah SAW telah mengawininya sedang ia berada di Habasyah yang dinikahkan oleh Najasyi (Raja Habasyah), dan ia memberi mahar empat ribu dirham serta memberi perbekalan dari dirinya, ia mengirimnya bersama Syurahbil Ibn Hasanah dan Rasulullah SAW tidak mengirim apapun kepadanya, sedang mahar untuk istri-istrinya (yang lain) adalah empat ratus dirham

Artinya:

Dari „Aisyah bahwa Nabi SAW bersabda SAW bersabda: “Sesungguhnya

perkawinan yang paling besar berkahnya adalah yang paling murah

mahar-nya”

41(HR. Nasa‟i)

, Lihat, Ibid., h. 118. Juga terdapat pada Musnad Imam Ahmad Ibn

Hanbal, Kitab an-Nikah, Jilid VI, h. 467, dan Sunan Abu Daud, kitab an-Nikah, ,

Jilid II, hadis no. 2107, 2108, h. 200

42

(HR. Ahmad Ibn Hanbal), Abu Abdullah Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Imam Ahmad Ibn Hanbal, Kitab an-Nikah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), Cet, ke-I, jilid III, h. 39


(49)

Artinya:

Dari Abi „Ajfa ia berkata: Aku pernah mendengar „Umar Berkata: Janganlah

kamu berlebih-lebihan dalam memberi mahar kepada wanita, karena wanita apabila ia seorang yang mulia di dunia atau orang yang terpelihara di akhirat, maka orang yang paling utama (dalam menghormati wanita) di antara kamu adalah Rasulallah SAW. Padahal berapakah Rasulallah SAW memberikan mahar kepada istri-istrinya, tidaklah seorangpun istrinya yang memberi mahar lebih dari 12 uqiyah

43(HR. Nasa‟i),

Lihat, Ibid., 117/118. Juga terdapat pada Sunan Ibnu Majah, Kitab


(50)

Artinya:

Dari Sahl Sa‟ad as-Sa‟idi, dia berkata Seorang perempuan suatu hari datang

kepada Rasulallah SAW dan berkata: “Ya Rasulallah SAW, aku datang untuk menyerahkan diriku kepada Anda.” Sejenak Rasulallah SAW memperhatikan

perempuan itu dengan teliti. Kemudian Beliau mengangguk-nganggukan keplanya. Lama sekali Rasulallah SAW tidak memutuskan apa-apa terhadapnya, perempuan itu lalu duduk. Sesaat kemudian datang salah seorang

sahabat beliau dan berkata: “Ya Rasulallah SAW, seandainya Anda tidak berkenan padanya, kawinkan saja aku padanya.” Rasulallah SAW bertanya “Apakah kamu punya sesuatu?” Sahabat itu menjawab:”Tidak ya Rasulallah SAW.” Beliau bersabda: Kalau begitu pulanglah kamu kepada keluargamu.

Lihat apakah kamu nanti akan bisa menemukan sesuatu. Maka pulanglah sahabat itu, kemudian kembali lagi dan berkata: “Tidak, aku tidak menemukan apa-apa.” Raulallah SAW masih mensaknya: “Kamu pulanglah lagi kepada

keluargamu, carilah sesuatu walaupun itu hanya berupa cincin dari besi.” Untuk kedua kalinya sahabat itu pulang, lalu kembali lagi lalu bekata:” Tidak

ya Rasulallah SAW, aku tidak menemukan sesuatu pun sekalipun itu hanya cincin dari besi. Cuma aku punya kain sarung ini. Aku akan berikan

seprohnya.” Rasulallah SAW bertanya: Lantas apa yang bisa kamu lakukan

terhadap kain sarungmu ini? Jika kamu memakainya, maka wanita itu tidak bisa berbuat apa-apa. Demikaianlah juga bila ia dipakai olehnya, maka kamu juga tidak bisa berbuat apa-apa. Sejenak sahabat itu hanya duduk cukup lama sekali. Setelah itu dia bangkit berdiri. Tiba-tiba saja pandangan matanya tertunduk pada Rasulallah SAW yang memandang sedang memperhatikannya. Dia lalu pergi. Namun sasaat kemudian Rasulallah SAW bertanya: Apakah kamu tahu tentang al-Qur‟an ? Sahabat itu menjawab: Ya. Ada beberapa surat. Rasulallah SAW bertanya: Kamu dapat membacanya di luar kepala? Sahabat itu menjawab: Ya Rasulallah SAW bersabda: Jika begitu pergilah. Wanita itu menjadi istrinya dengan maskawin hapalan al-Qur‟an yang kamu punyai.

B. Asbabul Wurud

Dalam kitab Al-Bayan-Ta‟rif Fi Asbabul Wurud al-Hadis asy-Syarif, mengatakan bahwa sebab turunnya hadis tersebut, sebagaimana yang

44

(HR. Bukhari), Lihat, Abu „Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim al-Bukhari, Al-Jami‟ al-Sahih al-Bukhari, Kitab an-Nikah,. ج :..ص لا ل ل . ل لا ب

آ لا م م ب

. , (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), Cet. ke-I, jilid III, H. 164. Juga terdapat pada

Sahih Muslim, Kitab an-Nikah, هج ت ب ل ةﺃ لا هج لﺇ لا ب, Juz V, hadis no.


(51)

tercantum dalam bab sebelumnya adalah mengenai kisah tentang mahar, yang hadisnya berbunyi:

“Maskawin yang lebih baik ialah yang paling mudah”

Periwayat:

Al-Baihaqi dari „Uqbah Ibn „Amr, menurut al-Hakim hadis ini sahih memenuhi persyaratan Bukhari dan Muslim diakui oleh adz-Zahabi.

Diriwayatkan dari „Uqbah, bahwa Rasulallah SAW telah bertanya

kepada seorang laki-laki, “apakah kau rela menikahi si dia? Jawabnya: Ya, kemudian Rasulallah SAW bertanya kepada si wanita: apa kau suka? Ya, Akhirnya menikahlah mereka tanpa mahar, Lalu orang tersebut ikut serta dalam perang khaibar dan ia memesankan pada saat menjelang kematiannya antara wanita yang di kawininya mengambil anak panahnya sebagi pemberian (mahar). Lalu wanita tersebut mengambilnya dan menjualnya seharga seratus dirham, kemudian Rasulallah SAW bersabda: Maskawin yang lebih baik ialah yang paling mudah, sedangkan maskawin paling sedikit dapat memberikan kesaksian dan diharapkan berkahnya, oleh sebab itu „Umar Ibn Khatab telah melarang maskawin yang berlebih-lebihan, lalu katanya: Rasulallah SAW dan juga putri-putrinya menikah dengan maskawin yang tidak lebih dari 12 uqiyah.45

C. Bentuk Mahar

Pada umumnya mahar dalam bentuk uang atau barang berharga

45

Ibnu Hamzah al-Husaini al-Hanafi ad-Damsyiqi, Asbabul Wurud: Latar Belakang Histaris Tibulnya Hadis-hadis Rasul,(Jakarta: Kalam Mulia, 1997), Cet. ke-2, Jilid II, h. 337


(52)

lainnya, namun Islam memungkinkan mahar itu dalam bentuk jasa melakukan sesuatu. Mahar dalam bentuk jasa ini ada landasannya dalam al-Qur‟an dan demikian hadis Nabi SAW.46

Contoh dalam hadis Nabi adalah menjadikan mengajarkan al-Qur‟an

sebagai mahar sebagaiman terdapat dalam hadis dari Sahl bin Sa‟adi‟ dalam

bentuk munttafaq „alaih, ujung dari hadis panjang yang dikutip di atas:

Artinya:

Nabi berkata: “Apakah kamu memiliki hafalan ayat-ayat al-Qur‟an?” ia

menjawab: “ya. Surat ini, sambil menghitungnya?”. Nabi berkata: “Kamu hafal

surat-surat itu di luar kepala? “dia menjawab: “ya”. Nabi berkata: “pergilah, saya kawinkan engkau dengan perempuan itu dengan mahar mengajarkan

al-Qur‟an

Contoh lain adalah Nabi sendiri waktu menikahi Sofiyah yang waktu itu masih berstatus hamba dengan maharnya memerdekakan Sofiya tersebut.

Kemudian ia menjadi Ummu al-Mukminin. Hal ini terdapat dalam hadis dari Anas ra. Yang muttafaq‟ alaih ucapan Anas:

Artinya:

Qutaibah bin Said dari Hamad dari Sabiq dan Syu‟eb Bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad SAW. telah memerdekakan Sofiyah dan menjadikan kemerdekaan itu sebagai maharnya (waktu kemudian mengawininya)

46

Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 100

47

Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Mukhtashar Sahih Muslim, (Jakarta:Pustaka Azzam, 2003), Cet. Ke-I h. 572

48

Maktabah Syamila, Al-Bukhari: Sahih Bukhari, (Mesir, Al-Misykat), h. 1956, Maktabh Syamila, Al-Muslim: Sahih Muslim, Mesir,Al-Misykat), h.146


(53)

Mengenai besar mahar, para fuqaha telah sepakat bahwa bagi mahar itu tidak batas tertinggi. Kemudian mereka berselisih pendapat tentang batas

terendahnya. Imam Sayafi‟I, Ishaq, Abu Tsaur dan fuqaha Madinah dari kalangan tabi‟in berendapat bahwa bagi mahar tidak ada batas terendahnya.

Segala sesuatu yang dapat menjadikan harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan mahar. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ibnu Wahab dari kalangan pengikut Imam Malik. Sebagian Fuqaha yang lain berpendapat bahwa mahar itu ada batas terendahnya. Imam Malik dan para pengikutnya mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit seperempat dinar emas murni, atau perak seberat tiga dirham, atau bisa dengan barang yang sebanding berat emas dan perak.49

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu adalah sepuluh dirham. Riwayat lain ada yang mengatakan lima dirham, ada lagi yang mengetakan empat puluh dirham.

Pangkal silang pendapat ini, kata Ibnu Rusyd, ada dua hal, yaitu:

1. Ketidakjelasan akad nikah itu sendiri antara kedudukannya sebagai salah satu jenis pertukaran, karena yang dijadikan adalah kerelaan menerima ganti, baik sedikit maupun banyak, seperti halnya dan jual-beli dan kedudukannya sebagai ibdah yang sudah ada ketentuannya. Demikian itu karena ditinjau dari segi bahwa dengan mahar itu laki-laki dapat memiliki jasa wanita untuk selamanya. Maka perkawinan itu mirip dengan pertukaran. Tetapi ditinjau dari segi adanya larangan mengedakan persetujuan untuk meniadakan mahar, maka mahar itu mirip dengan

49

Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid Fi Nihayah al-Muqtashid, (Beirut, Dar al-Fikr), Juz 2, h. 386


(1)

Shalih Ibn Ghanim yang mengutip ungkapan Ibnu al-Qayyim berpendapat bahwa bermahal-mahalan dalam perakara mahar dalam suatu pernikahan adalah makruh hukumnya, sebab dengan mahalnya mahar membuktikan bahwa mahar itu sedikit berkahnya dan menyulitkan.90

Dalam memberikan mahar tidak harus senilai dengan mahar yang

diberikan Nabi SAW untuk istri dan putrinya, hendaklah dalam memberikan mahar disesuaikan dengan kondisi dan lingkungan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Hadis-hadis ini hanyalah sebagai gambaran mengenai kesederhanaan dalam memberikan mahar, karena berkebih-lebihan dalam memberikan mahar adalah makruh,91 jika hal ini memberatkan pihak laki-laki

Penulis kemudian menyimpulkan bahwa yang menjadi tolek ukur mahar adalah besarnya nilai dan manfaat yang tinggi serta kondisi yang ada pada saat itu, bukan besar kecilnya materi yang di berikan, sehingga dalam waktu pelaksanaannya dapat berjalan lancar dan mendapatkan kemudahan, karena kemudahan seringkali mendatangkan kebaikan, dan setiap kebaikan sering kali mendatangkan manfaatan dan keberkahan.

90

Shalih bin Ahmad al-Ghazali, Ensklopedia Pengantin, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2001), Cet. ke-I, h. 85


(2)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Sebagai bab terakhir dalam pembahasan skripsi ini, penulis akan memberikan Kesimpulan dari hasil analisa di bawah sebagai berikut:

Mahar adalah masalah yang dilematis, dimana diperlukan pemahaman antara dua keluarga yang hendak menikahkan putra dan putrinya, oleh karena itu dengan adanya pemahaman mengenai hadis-hadis tentang mahar dapat membantu terbentuknya sebuah masyarakat yang lebih Islami.

Mahar adalah suatu pemberian wajib bagi calon suami Kepada calon istri yang telah disyariatkan dalam ajaran Islam. Berkaitan dengan hal itu Rasulullah SAW mengajarkan untuk meringankan dan memudahkan dalam urusan mahar, serta tidak berlomba-lomba dalam hal mahar. Setiap Ketidak wajaran dan berlebihan dalam mahar adalah makhruh hukumnya, berlebih-lebihan dalam mahar akan menyebabkan sedikitnya pernikahan yang terjadi dan menimbulkan permusuhan, sedangkan mahar yang terlalu sedikit akan menyebabkan wanita tidak mempunyai harga diri dan bias disalahgunakan oleh sebagian laki-laki, oleh karena itu sebaik-baik jalan adalah bersikap imbang dan memperhatikan keadaan ekonomi keluarga serta status sosialnya

B. Saran-saran


(3)

janganlah ukuran mahar dijadikan sebagai patokan dalam sebuah pernikahan.

2. Hendaklah hadis-hadis mengenai mahar lebih disosialisasikan Kepada umat muslim, sehingga sendi-sendi pernikahan secara Islami terbangun. 3. Hendaklah bagi orang tua dalam menikahkan putrinya tidak memandang

dari segi materi, pangkat dan jabatan saja, tetapi hendaklah melihat dari segi akhlaknya.

4. Bagipara orang tua yang hendak menikahkan putrinya, sebaiknya memberikan Kelonggaran dan Kemudahan dalam hal yang berkaitan dengan urusan mahar.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Barakat, Ad-DardirSyarhushShaqir „alaAqrabilMusalik Lid Dardir, Jilid II

(Mesir: DarulMa‟rifah, 1992)

Abi Abbas, bin Syamsuddin Muhammad Nihyah Muhtaj (Mesir: Musthafa Al-Baby Al-Halaby, 1938) Juz 6

Abu Abdillah, Muhammad bin Idris al-Syafi‟I (Beirut: Dar al-Ma‟rifah) Cet. II Adhim, M. FandzilKupinangKaudenganHamdallah, (Yogyakarta ,MitraPustaka,

1998), Cet. Ke-4

……., KupinangkaudenganHamdallah, (Yogyakarta: MitraPustaka, 1998)

Ahmad IbnHanbal, Abu Abdullah Musnad Imam Ahmad IbnHanbal, Kitab an-Nikah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), Cet, ke-I

Albani, Muhammad NashiruddinMukhtasharSahih Muslim, (Jakarta:PustakaAzzam, 2003), Cet. Ke-I

Alhamdani, Risalah al-Nikah, (Pekalongan: Raja Murah, 1980)

Amin, Yusuf Hamid, Muqashid Al-A‟mmah Al-Syari‟ah Al-Islami, Khurtum(Dar Al-Sudaniyah, t.t)

Amini, Ibrahim kiatMemilihJodoh: Menurut al-Qur‟an danSunnah, (Jakarta: Lentera, 1994), Cet. Ke-I

Ayyub, SyekhHasanFiqihKeluarga, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), Cet. ke-I Baghdadiy, Ali bin Umar Abu al-Hasan al-DaraqutniySunan

al-Daraquthniy(Beirut: Dar al-Ma‟rifah, 1966) Juz III

Baihaqiy, Ahmad bin al-Husain bin „Ali Musa Abu Sunan Baihaqiy al-Kubray(Mekkah al-Mukarramah: Maktabah Dar al-Baz, 1994) Juz 3 Bukhari, Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim, ,Al-Jami‟ al-Sahih

al-Bukhari, Kitab an-Nikah (Beirut: Dar al-Fikr, 1993) Cet. ke-I

……., ,Al-Jami‟ al-Sahih al-Bukhari, Kitab an-Nikah., Beirut: Dar al-Ma‟rifah.

Daly, PeunohHukumPerkawinan Islam,

suatuStudiPerbandingandalamKalanganAhlus-Sunnahdan Negara-negara Islam, Jakarta: BulanBintang), CetKe-I

Damsyiqi, IbnuHamzah al-Husaini al- AsbabulWurud: LatarBelakangHistarisTibulnyaHadis-hadisRasul,(Jakarta: KalamMulia, 1997), Cet. ke-2

Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya,1989.

Faiz, Ahmad Citra Keluarga Islam (Jakarta: SerambiIlmuSemesta, 1992), Cet. ke-IV

Fauzan, SalehAl-MulakhkhasulFiqhi, (Jakarta: GemaInsani, 2006), CetKe-I

Ghazali, Shalih bin Ahmad EnsklopediaPengantin, (Jakarta: PustakaAzzam, 2001), Cet. ke-I


(5)

(MesirMathabil al-Halabi, 1938)

Hanafi, Al-KalwadzaniAl- Hidayah bi SyarhBidayatilMubtadiJilid II. Cet. ke-I Jashshash, Abu BakarAhkamul Qur‟an (Mesir: SyirkahMathba‟ahwaMaktabah

Abdurrahman Muhammad) Jilid III

Jauziyyah, SyamsuddinAby „Abdillah Muhammad bin AbyBakar al

-Ma‟rufbiibniQayyim, I‟laam al-Muwaqq‟in „an al‟-Alamiin, Beirut:

al-Maktabat al-„Ashriyyat, 1987)

Jaziriy, Abdurrahman ,Al-Fiqh „alaMazahib Al-Arba‟ah, (Mesir: Al-Tijiriya, 1996), Jilid 4

Kakhiya, Thariq Ismail Perkawinandalam Islam:

PetunjukPraktisMembinaKeluarga Muslim, (Jakarta: Yasabuna, 1989),

Cet. ke-I

Mahalli, A. mudjabKadoUntukPasanganMuda, (Yogyakarta: MitraPustaka, 2001), Cet. ke-I

Muhammad, Abu Isa, (Muhammad Jamil Al-A‟thar), (Beirut-Lebanon: Dar Al-Fikr) Juz2

Maliki, IbnuRusydiAl-Muqaddimat al-Mumahhidat, Jilid II (Mesir: Dar

as-Sa‟adah)

Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2001), Cet- Ke 1

Muhammad , bin Abi Abbas Syamsuddin,( Mesir: Mushthafa Al-Baby Al-Halaby, 1938), Juz 6

Naisyabūri, Muslim ibn al-Hajaj Abu Husain Qusyairi (Birut: Dar Ihya

al-Turast al-„Arabi, tth.), hadis no. 2555

Nasa‟i, Abu Abdullah al-RahmanIbnSyu‟aib,Sunan an-Nasa‟IKitab

an-Nikah(Beirut: Dar al-Fikr, 1995), Cet. ke-I

Nasa‟i, Ahmad bin Syua‟ib Abu AbdirrahmanSunan al-Nasa‟I, Halb: Maktabah

al-Mathbu‟at al-Islamiyah, 1986) Cet-Ke 2

Nawawi, MahyiddinSyarifuddinAl-Majmu‟ Syarth al-Mubazzab(Kairo: al-Ashimah) Jilid. Xv (Kairo: al-al-Ashimah), h. 428

Nawawi Imam, Shahih Muslim Bi Syarhi Al-Nawawy, (Mesir Al-Mathba‟ah Al -MisriyahWaMaktabuha), Juz 3

QardhawiYusuf Fatwa-fatwa Kontemporer, (Jakarta: GemaInsani Press, 2001), Cet. Ke-I

Qusyairi, Abu Husain Muslim IbnHajjajAl-Jami‟ al-Sahih Muslim Kitab an-Nikah(Beirut: Dar al- Fikr, 1993), Cet. Ke-I, Juz V

Rusyd, IbnuBidayah al-Mujtahid Fi Nihayah al-Muqtashid, (Beirut, Dar al-Fikr), Juz 2


(6)

Sadlan, SayikhShalih bin GahanimSeputarPernikahan(Jakarta: BulanBintang 1983) Cetke- I

SiddiqiHasbiSejarahdanPengantarImuHadis, (Jakarta: BulanBintang, 1998), Cet Ke-8

Syabuni As-, Muhammad Ali, Al-Jawadj al-Islami al-Mubakkir,Penerjemah: M. Nurdin, KawinlahSelagiMuda: Cara SehatMenjagaKesucianDiri, ( Jakarta: SerambiIlmuSemesta, 2000), CetKe-1

Syarifuddin, Amir HukumPerkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta, Prenada Media, 2007), Cet. Ke-2

……., Garis-GarisBesarFiqh, (Jakarta: Kencana, 2003)

Tawaijiri Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah, Ensiklopedia Al-Kamil(Jakarta: Darus- Sunnah, 2008

Tatapangarsa, HumaidiHakdanKewajiabSuamiIstriMenurut Islam, (Jakarta: KalamMulia, 1993), CetKe-I

Thalib, Muhammad 40 PetunjukMenujuPerkawinanIslami, (Bandung: IrsyadBaitus Salam, 1995), Cet. Ke-I

Ulwan, Abdullah NasikhRintangan-rintanganPernikahandanPemecahannya, Penerjemah: Moh. Nurhakim, (Jakarta: Studio Press, 1997), Cetke-I

Ummi, MajalahWanitaMerawatCintadalamNuansaIbadah, no-12/XIII, (Jakarta: April-Juni, 2002)

Utsman, Ahmad Atsar „AqdizZawajfisy-Syari‟ah al-Islamiyyah(Universitas

al-Imam, IdaratutThiba‟ah wan Nusyr, 1981) Jilid I

Yunus, Mahmud Kamus Arab Indonesia (Jakarta: HidakaryaAgung, 1989), Cet. Ke-I

Zahiri, IbnuHazmAl- MuhallahSyarh al-Muhalla, (Mesir: Dar al-Ittihad al-„Arabi. 1387H) Jilid XI.

Zauj, Ibrahim Amini, IkhtiarKiatMemilihJodoh: Menurut al-Qur‟an danSunnah, (Jkt: Lentera, 1994), Cet. ke-I

ZuhailyWahbah, Al-FiqihIslamiyWaAdillatuhu, (Beirut-Lebanon: Dar Al-Fikr), Juz 7