TanggungJawab Hukum Rumah Sakit Terhadap Kelalaian Medis Yang Dilakukan Tenaga Kesehatan

(1)

Liability of Negligence Hospital Medical Health Workers Forum by

Indrasari Aulia

Research on "Liability for Negligence Hospital Medical Health Workers Forum", aimed at first, to understand the legal liability aspects of the hospital against medical personnel. Second, to understand the responsibility of the hospital against medical negligence committed by health workers. Type of this research is a normative, regulatory approach (statute approach), conceptual approach and empirical approach to support. Statute approach is done by reviewing all legislation related to the discussion. The main data on this research is secondary data obtained from variety of relevant literature. As a supporter of secondary data, this study is supported a wide range of information from informants who are competent in the field of hospital services, which consist of 4 (four) peoples.

The results showed that the legal liability aspects of the hospital includes aspects of civil, criminal and administrative state. Based on the civil aspects the hospital can be held accountable for health care workers negligence doctrine of vicarious liability based or hospital liability, which is implicitly contained in the provisions of Article 58 of Law No. 36 of 2009, Article 46 of Law No. 44 of 2009, and Section 1365, 1366, 1367 KUHPerdata. Criminal aspect, explicitly stated on Article 190 of Law No. 36 of 2009 and Article 62 and Article 63 of Law No. 44 Year 2009. Criminal consequences can be imposed if the hospital violates the provisions of the criminal articles and the consequence is a comulative consequences : imprisonment and fines. Even the hospitals as a corporation can get an additional form: a revocation of business license and revocation of legal entity status. From the aspect of the country administration, if the hospital violates the provisions related to administrative, the consequences are a written warning, responsibility of omissions by health workers is an indemnity. The Compensation is a specitif amount of money which is provided on Article 1365, 1366, 1367 KUHPerdata, which includes economic losses such as the cost of treatment in

hospital, injury or disability of the victim’s body, the presence of physical pain,

mental illness, such a stress, anxiety and other mental disturbances. In this context it is also known a form of actual damages and compensation related to mental stress (immaterial).


(2)

Dilakukan Tenaga Kesehatan Oleh

Indrasari Aulia

Penelitian tentang “Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit terhadap Kelalaian Medis yang Dilakukan Tenaga Kesehatan”, bertujuan pertama, untuk memahami aspek pertanggungjawaban hukum rumah sakit terhadap tenaga kesehatan. Kedua, untuk memahami tentang bentuk tanggung jawab rumah sakit terhadap kelalaian medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. Jenis penelitian ini adalah penelitian normatif, melalui pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conseptual approach), dan pendekatan empiris sebagai penunjang. Dalam pendekatan secara perundang-undangan

(statute approach) dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan berhubungan dengan pembahasan. Data utama dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber dari kepustakaan dan berbagai leteratur yang relevan. Sebagai pendukung terhadap data sekunder, penelitian ini ditunjang berbagai informasi dari para informan yang kompeten dalam bidang pelayanan rumah sakit, yang terdiri dari 4 (empat) orang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa aspek pertanggungjawaban hukum rumah sakit meliputi aspek perdata, pidana dan administrasi negara. Berdasarkan aspek perdata rumah sakit dapat dimintai pertanggungjawaban atas kelalaian tenaga kesehatannya berdasarkan doktrin vicarious liability atau hospital liability, yang secara implisit tertuang dalam ketentuan Pasal 58 UU No. 36 Tahun 2009, Pasal 46 UU No. 44 Tahun 2009, dan Pasal 1365, 1366, 1367 KUHPerdata. Aspek pidana, secara eksplisit tertuang dalam ketentuan Pasal 190 UU No. 36 Tahun 2009 dan Pasal 62 dan Pasal 63 UU No. 44 Tahun 2009. Sanksi pidana dapat dijatuhkan jika rumah sakit melanggar terhadap ketentuan pasal-pasal tersebut dengan sanksi pidana yang cukup berat berupa sanksi komulatif yaitu pidana penjara dan denda. Bahkan rumah sakit sebagai korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa: pencabutan izin usaha dan/atau pencabutan status badan hukum. Dari aspek administrasi negara, apabila rumah sakit melanggar ketentuan yang berkaitan dengan administrasi maka sanksi yang dijatuhkan berupa peringatan tertulis, tidak diberikan izin mendirikan, dan dicabut atau tidak diperpanjang izin operasional rumah sakit. Bentuk tanggung jawab rumah sakit terhadap kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan adalah dalam bentuk pemberian ganti rugi. Ganti rugi yang dimaksud adalah ganti rugi dengan sejumlah uang yang bersifat khusus sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365, 1366, 1367 KUHPerdata, yang meliputi kerugian ekonomis berupa biaya pengobatan di rumah sakit, luka atau cacat terhadap tubuh korban, adanya rasa sakit secara fisik, sakit secara mental, seperti stress, cemas dan berbagai gangguan mental lainnya. Dalam konteks ini juga dikenal bentuk ganti rugi aktual dan ganti rugi yang berhubungan dengan tekanan mental (immateriil).


(3)

TANGGUNG JAWAB HUKUM RUMAH SAKIT TERHADAP KELALAIAN MEDIS YANG DILAKUKAN

TENAGA KESEHATAN

Oleh

INDRASARI AULIA

PROGRAM STUDI PASCASARJANA MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG

2015 Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar MAGISTER HUKUM

Pada

Program Sarjana Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung


(4)

DAFTAR ISI

Hal LEMBAR PERNYATAAN

ABSTRAK

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN MAJELIS PENGUJI RIWAYAT HIDUP

PERSEMBAHAN KATA PENGANTAR

BAB I. PENDAHULUAN ……… 1

A. LatarBelakang….……… 1

B. PerumusanMasalah…….……… 9

C. TujuandanKegunaanPenelitian ………... 10

D. KerangkaTeoretisdanKonseptual……….. 11

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA……….. 22

A. TinjauanUmumTentangRumahSakit……… 22

B. Asas-AsasHukumdalamPelayananKesehatan diRumahSakit……….. 27

C. BentukPerikatandalamPelayananKesehatan Di RumahSakit………. 34

D. HubunganHukumRumahSakit, PasiendanTenaga Kesehatan……….. 39

BAB III. METODE PENELITIAN………. 47

A. JenisdanSifatPenelitian……….. 47

B. PendekatanMasalah………. 48

C. Data danSumber Data………. 48

D. ProsedurPengumpulan Data……… 51

E. Analisis Data………. 51

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……… 52 A. AspekPertanggungjawabanHukumRumahSakit


(5)

HukumPerdata………. 52

2. AspekPertanggungjawabanRumahSakitMenurut HukumPidana………. 69

3. AspekPertanggungjawabanRumahSakitMenurut HukumAdministrasi……… 76

B. BentukTanggungJawabRumahSakitTerhadap Kelalaian yang DilakukanOlehTenagaKesehatan……….. 78

BAB V. PENUTUP……… 94

A. Kesimpulan ………. 94

B. Saran……… 96


(6)

As s alammu' al ai hum lFrW b,

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karuniaNya jualah sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas akhir berupa tesis yang berjudul "Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit Terhadap Kelalaian Medis Yang Dilakukan Tenaga Kesehatan". Tesis ini merupakan salah satu syarat guna memperoleh gelar Magister Hukum, k'ogram Pasca Sarjana, Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, masih banyak kekurangan dan kekhilafan. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan. Semoga tesis

ini

dapat berguna bagi para pembaca dan bagi penyusun sendiri.

Dalam menyusun dan menyelesaikan tesis ini, penyusun banyak nTendapatkan bantuan berupa petunjulq bimbingan serta saran dari berbagai pihalq baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena

itu

dengan segala kerendahan hati izinkan penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1.

Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S, selaku Dekan Fakultas Hukurn Universitas Lampung.

2.

Bapak Dr. Khaidir Anwar, S.H., M.Hum, selaku Ketua Progl'am Magister Hukum, Fakultas Hukum.


(7)

4.

t.

6.

7.

9. r0.

menyelesaikan tesis ini.

Bapak Dr. Muhammad Akib, S.H., M^Hum, selaku Dosen Pembimbing II, yang telah memberikan bimbingan, saran dan masukan dalam menyelesaikan tesis ini. Bapak Dr. Khaidir Anwar, S.H., M.Hum, selatcr Dosen Pembahas I, yang telah banyak memberikan masukan, saran dan

kritik

yang memacu penyusun memperbaiki hingga selesainya tesis

ini-Bapak

Dr.

Eddy Rifai, S.H., M.H, selaku Dosen Pembahas

II,

yang telah memberikan saran dan arahannya hingga selesainya tesis

inl

Bapak Dr. HS. Tisnanta, S.H., M.I{, selaku Dosen Pembahas III, yang telah banyak memberikan masukan, kritik dan saran kepada penyusun dalam penulisan tesis ini.

Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan ilmunya yang bermanf'aat bagi penyusun.

Karyawan dan Staf Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung. Rekan-rekan Mahasiswa hogram Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas

Lampung angkatan}0l3.

11. Keluargaku tercinta yang telah memberikan do'a, semangat dan motivasi kepada penlBsun.

12. Semua pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil dalam penyusunan tesis ini, yang tak dapat disebutkan satu persatu.


(8)

semu4 aamiin.


(9)

l.

Tim Penguji

Ketua Tim Penguji : Dr. Muhammad Fakih, S'H., M.S.

SekretarislPenguji : Dr. Muhammad Akib, S.E.o M.Hum

Penguji

: Dr. Khaidir Anwar, S.H., M.Hum.

Penguji

:

Ilr. Eddy Rifai,

S.H.' M.H.

Penguji

: Dr. HS. Tisnanta, S.H., M.H.

Itas Hukum

Heryandi, S.H., M.S. 1109 198703

I

003

ffi

\-- ffiF-'',

't,

. *7,.*^31

tur Program PascasarJana

djarwo, M.S. 8 198103

I

002


(10)

Nama Mahasiswa Nomor Pokok Mahasiswa Program Kekhususan Program Studi

Fakultas

Indrasari Aulia 1322}1rc77 Hukum Kesehatan

Program Pascasarj ana Magi-ster Hukum Hukum

MEI\IYETUJUI

Dosen Pembimbing

Pembimbing Pendamping,

Ilr.

Muhammad Akib, S.H.' M.Hum. NIP 19_630915 198703 I 005

M.S.

Ketua Program sarJana

Program i Magister kum Fakultas Hukum hversl Lampung

nrvar, S.E., M.Hum. t98603

I 001

r, Muhammad Fakih, NIP 19641218 198803 1002


(11)

MOTO

“Amalkan Ilmu Untuk Menguatan Iman,

Ajarkan Ilmu Untuk Menguatkan Ingatan.” (Mutiara Hikmah)

“Sesungguhnya Kami Telah Menjadikan Apa Yang Ada Di Bumi Sebagai Perhiasan Baginya, Untuk Kami Menguji Mereka,

Siapakah Di Antaranya Yang Terbaik Perbuatannya” (Al-Kahfi : 7)


(12)

I

i I

I

i I

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenamya bahwa :

l.

Tesis dengan judul Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit Terhadap Kelalaian Medis Yang Dilakukan Tenaga Kesehatan adalah karya saya sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan atas karya penulis lain dengan cara yang tidak sesuai

dengan etika ilmiah yang berlaku dalam rnasyarakat akademik atau yang disebut plagiarisme.

2.

Hak intelektual atas karya ini sepenuhnya diserahkan kepada Universitas Lampung. Atas pemyataan ini apabila dikemudian hari ternyata ditemukan adanya ketidakbenaran, saya bersedia menanggung akibat dan sanksi yang diberikan sesuai dengan hukum yang berlaku.

Bandar Lampung, Januari 2015 Pembuat Pernyataan

,.ndrasari Aulia NPM 1322 011 077


(13)

Bismillahirrahmanirrohim

Tesisinikupersembahkankepada :

Suamidananakkutercinta yang telahmemberikancinta, kasihsayang, dukungandando’a

yang tulusikhlasdalamsetiaplangkahdanperjuanganku.

Ibundatercinta, terimakasihselalumemberikandukungan, semangatsertado’a yang tiadahentiuntukkesuksesandankeberhasilanku,


(14)

A. Identitas Pribadi

1. Nama : Indrasari Aulia

2. Tempat/Tanggal Lahir : Kotabumi, 20 Juni 1960

3. Agama : Islam

4. Alamat : Jl. Sriwijaya No. 1, Enggal, Bandar Lampung

B. Pendidikan Formal

1. SD Negeri 5 Kotabumi 2. SMP Negeri 1 Kotabumi

3. SMA Negeri 1 Kotabumi, lulus tahun 1979

4. Strata I Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Jakarta, lulus tahun 1988 5. Program Pasca Sarjana Magister Hukum Universitas Lampung, lulus tahun


(15)

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah

Rumah sakit adalah salah satu jenis sarana pelayanan kesehatan yang tugas utamanya adalah melayani kesehatan perorangan di samping tugas pelayanan lainnya. Oleh karena itu, dalam pelayanan kesehatan terdapat dua kelompok yang perlu mendapat perhatian, yaitu penerima pelayanan kesehatan (health care receivers)yang dalam hal ini adalah pasien dan pemberi pelayanan kesehatan

(health care providers) yaitu rumah sakit yang di dalamnya terdiri atas berbagai tenaga kesehatan.

Pada awalnya rumah sakit didirikan guna melaksanakan tugas keagamaan atau melaksanakan kegiatan ibadah. Oleh karena itu rumah sakit didirikan semata-mata untuk tujuan sosial kemanusiaan sesuai dengan perintah agama. Dalam konteks ini rumah sakit bertujuan untuk membantu masyarakat, khususnya masyarakat yang kurang mampu, sehingga pada masa itu dikenal doctrine of charitable immunity bahwa rumah sakit merupakan lembaga karitas. Artinya rumah sakit harus memiliki dan menerapkan nilai-nilai sosial, kemanusiaan yang dilandasi Ke-Tuhanan dan tidak mencari keuntungan.

Melalui perkembangan doctrine of charitable immunity, rumah sakit pada waktu itu tidak dapat digugat jika melakukan kesalahan yang menimbulkan kerugian pada diri pasien beserta keluarganya. Dikarenakan rumah sakit melaksanakan tugas sosial kemanusiaan, maka tidak mungkin dibebani tanggung jawab hukum jika terjadi sesuatu pada diri pasien yang disebabkan oleh tindakan


(16)

pelayanan medis yang salah di rumah sakit. Dengan kata lain, dikarenakan tugas rumah sakit lebih menekankan pada pelayanan fungsi sosial, maka tidak dimungkinkan untuk menggugat rumah sakit.1

Pada saat ini penyelenggaraan pelayanan kesehatan di rumah sakit tidak sesederhana seperti pada zaman dahulu. Kebutuhan untuk mengelola rumah sakit dengan berbagai permodalan tidak dapat lagi dielakkan. Rumah sakit membutuhkan permodalan yang cukup terutama dengan makin banyaknya teknologi baru yang harus disediakan. Tenaga yang cukup banyak juga menjadi kebutuhan pokok, sehingga membutuhkan pengorganisasian yang lebih professional dan tersedianya tenaga-tenaga teknis yang mahir untuk menangani alat-alat yang makin canggih. Oleh karena itu, dalam hal ini mau tidak mau akan mempengaruhi fungsi rumah sakit dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan.

Pada era sekarang rumah sakit mempunyai karakteristik dan organisasi yang kompleks serta paradigma yang sudah berubah. Rumah sakit tidak lagi dianggap kebal terhadap segala bentuk gugatan hukum, yang sebelumnya rumah sakit dianggap sebagai lembaga sosial kebal hukum berdasarkan doctrine of charitable immunity. Perubahan paradigma tersebut terjadi sejak kasus Darling vs Charleston Community Memorial Hospital (1965),2 yakni kasus yang bermula mempersamakan institusi rumah sakit sebagai person (subjek hukum) sehingga oleh karenanya dapat dijadikan target gugatan atas kinerjanya yang merugikan pasien. Pertimbangannya antara lain karena banyak rumah sakit mulai melupakan fungsi sosialnya serta dikelola sebagaimana layaknya sebuah industri dengan

1

Azrul Azwar. 2004. Pengantar Administrasi Kesehatan. Binarupa Aksara, Jakarta. Hlm. 66

2

Sofwan Dahlan. 2014. Malpraktik dan Tanggung Jawab Korporasi. Makalah disampaikan dalam Rangka Kongres Internasional Hukum Kedokteran di Nusa Dua Bali tanggal 21-24 Agustus 2014. Hlm.1


(17)

manajemen modern, lengkap dengan manajemen risiko. Selain itu pada saat ini rumah sakit terlihat adanya berbagai jenis tenaga kesehatan dengan perangkat keilmuannya masing-masing berinteraksi satu sama lain. Dengan kata lain dalam suatu rumah sakit disebut sebagai padat Sumber Daya Manusia (SDM) dan padat ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan, di saat ini berkembang sangat pesat yang harus diikuti oleh tenaga kesehatan dalam rangka pemberian pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu guna menuju pada keselamatan pasien (patient safety).

Perkembangan yang sangat berpengaruh terhadap fungsi dan peran rumah sakit saat ini,menurut Endang Wahyati Yustina,3adalah bahwa rumah sakit berfungsi untuk mempertemukan dua tugas yang prinsipil yang membedakan dengan institusi lain yang melakukan kegiatan pelayanan jasa. Pertama, rumah sakit merupakan institusi yang mempertemukan tugas yang didasari oleh dalil-dalil etik medik, karena merupakan tempat bekerjanya para professional di bidang medik. Kedua, rumah sakit bertindak sebagai institusi yang bergerak dalam hubungan-hubungan hukum (rechtsverhouding)4 dengan masyarakat yang tunduk pada norma-norma dan etika masyarakat.

Sejalan dengan amanat pasal 28 H ayat (1) UUD RI Tahun 1945 telah ditegaskan bahwa setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan, kemudian dalam Pasal 34 ayat (3) dinyatakan bahwa Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang

3

Endang Wahyati Yustina. 2012. Mengenal Hukum Rumah Sakit. Keni Media, Bandung. Hlm. 7-8

4Menurut teori lama perjanjian adalah “perbuatan hukum”

(rechtsbetreking) berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum, sedangkan menurut teori baru yang dikemukakan oleh

Van Dunne, perjanjian diartikan sebagai suatu “hubungan hukum” (rechtsverhoding) antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Lihat selanjutnya Salim HS dalam Bukunya: Perkembangan Hukum Kontrak Innominat di Indonesia. 2003. Hlm. 15-16


(18)

layak. Selanjutnya yang dimaksud dengan fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat (Pasal 1 butir 7 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan). Secara eksplisit salah satu fasilitas pelayanan kesehatan adalah rumah sakit. Hal ini sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, bahwa rumah sakit adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.

Dengan demikian menurut UU No 44 Tahun 2009 tugas utama rumah sakit adalah memberi pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna. Yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan perorangan adalah setiap kegiatan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan.

Pelayanan kesehatan khususnya di rumah sakit pada umumnya, diawali dengan sebuah transaksi terapeutik atau perjanjian penyembuhan antara dokter dengan pasien. Oleh karena itu, pada awalnya hubungan hukum yang terjadi di rumah sakit adalah antara pasien dengan dokter. Perjanjian penyembuhan yang oleh beberapa pakar hukum kesehatan sering disebut transaksi terapeutik, berasal dari kata transactie5yang artinya perjanjian dan therapeuticus yang artinya

5

Transaksi atau perikaran olehHermien Hadiati Koeswadji dalam bukunya . Hukum Kedokteran (Studi Tentang Hubungan Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak),disebutkan


(19)

penyembuhan. Jadi transaksi terapeutik artinya perjanjian penyembuhan. Perjanjian penyembuhan atau transaksi teraupetik pada dasarnya belum ada penafsiran otentik dari pembuat undang-undang. Hermien Hadiati Koeswadji menyebutkan yang dimaksud dengan transaksi terapeutik adalah transaksi untuk mencari atau menemukan terapi yang paling tepat oleh dokter untuk kesembuhan pasien6.

Dalam transaksi terapeutik tersebut akan melahirkan suatu perikatan yang menurut literatur hukum kesehatan disebut sebagai perikatan usaha secara maksimal atau ikhtiar (inspanningsverbintenis)7. Di sini dokter harus menggunakan segala ilmunya, kepandaian, keterampilan, dan pengalaman yang dimiliki serta harus bertindak secara hati-hati dan teliti. Dalam perikatan “ikhtiar” dokter sama sekali tidak memberi jaminan akan kesembuhan pasiennya. Hal ini memang tidak mungkin mengingat banyaknya variasi yang terdapat dalam diri pasien, misalnya: sifat dan macam penyakit, usia, komplikasi, taraf tingkat penyakit yang berbeda, dan hal-hal yang meliputi daya tahan tubuh8.Selain

inspanningsverbintenis, dalam hukum kesehatan juga dimungkinkan akan melahirkan perikatan berdasarkan hasil kerja (resultaatsverbintenis). Berbeda dengan inspanningsverbintenis, maka dalamresultaatsverbintenis hasilnya sudah

bahwa transaksi atau perikatan yang menurut hukum diatur dalam Pasal 1233 KUHPerdata yang nenentukan bahwa tiap-tiap perikatan yang dilahirkan baik karena perjanjian (overeenkomst) maupun karena undang-undang.

6

Hermien Hadiati Koeswadji. 1998. Hukum Kedokteran (Studi Tentang Hubungan Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak). Citra Aditya, Bandung. Hlm. 26

7

Inspanningsverbintenis berasal dari kata spannen, yang dalam Kamus Belanda-Indonesia yang disusun oleh W. Van Hoeve diartikan: menegangkan, meregangkan, mengencangkan, merentangkan, sedangkan kata spanning mengandung arti: ketegangan, tekanan. Inspannend:

melelahkan, Inspanning: kegiatan ketekunan, mengerahkan segenap tenaga. Verbintenis: ikatan pada suatu kewajiban terhadap pihak lain yang berhak menuntut pelaksanaan kewajiban itu (hukum).

8


(20)

pasti atau dapat dipastikan. Misalnya pasien memesan gigi palsu pada seorang dokter gigi di rumah sakit.

Perjanjian penyembuhan yang dilakukan antara dokter dan pasien di rumah sakit, selalu melibatkan pihak lain yaitu tenaga keperawatan, ahli radiologi, apoteker, laboratorium dan rumah sakit. Rumah sakit pada umumnya merupakan tempat atau fasilitas dimana dokter melakukan tindakan medik atau terjadinya suatu transaksi terapeutik. Oleh karena itu secara hukum rumah sakit juga disebut sebagai peserta perjanjian atau contractan dalam transaksi terapeutik. Selain itu, rumah sakit sebagai lembaga pelayanan kesehatan menurut ketentuan Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) mempunyai tanggung jawab atas kerugian yang dilakukan oleh pegawai atau bawahannya. Jika tenaga kesehatan baik medis maupun nonmedis bekerja untuk rumah sakit, maka mereka berada di bawah mekanisme pengawasan rumah sakit. Ini berarti rumah sakit bertanggung jawab secara hukum atas tindakan dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang menyebabkan kerugian kepada pasien. Oleh karena itu secara

condition sino quanon tidak salah jika tuntutan ganti kerugian ditujukan kepada rumah sakit. Selain itu dalam Pasal 17 ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes) No. 290/Menkes/Per/III/2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran ditegaskan bahwa sarana pelayanan kesehatan atau rumah sakit bertanggung jawab atas pelaksanaan persetujuan tindakan kedokteran atau tindakan medis.

Berdasarkan dua ketentuan di atas, menunjukkan bahwa berdasarkan ketentuan hukum perdata rumah sakit sebagai suatu institusi yang


(21)

memberipelayanan pengobatan dan perawatan (cure and care)9 bertanggung jawab atas segala peristiwa yang terjadi di rumah sakit.Dengan kata lain kesalahan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di dalam rumah sakit dianggap sebagai kesalahan institusi (corporate negligence) yang harus ditanggung oleh rumah sakit tersebut, karena dianggap kurang dapat mengawasi dan mengontrol apa yang dilakukan oleh tenaga kesehatannya, termasuk yang dilakukan oleh tenaga medis dan non medis. Dalam konteks ini pimpinan rumah sakit harus bertanggung jawab untuk mengadakan seleksi terhadap tenaga medis dalam rangka pelayanan kesehatan kepada pasien.

Dalam doktrin kesehatan hukum tanggung jawab rumah sakit tersebut di atas dikenal dengan ajaran vicarious liability atau respondeat superior, yang artinya tanggung jawab dalam pelayanan medik tidak hanya di fokuskan pada tenaga medis atau nonmedisnya saja melainkan telah diperluas pada tanggung jawab rumah sakit. Teori ini yang selanjutnya dikenalcorporate liability for all malpractice committed within hospital walls10. Purwahid Patrik menyebutkan bahwa tanggung jawab tersebut identik dengan tanggung gugat secara kualitatif.

9

Istilah care (merawat) dan cure sebagai dua konsep yang terpisah. Istilah cure digunakan hanya untuk mengacu pada diagnose, peresepan obat dan tugas-tugas kuratif otonom lainnya, sedangkan

care menunjukkan serangkaian praktik yang memberikan asuhan keperawatan (nurturing) untuk memuaskan kebutuhan fisiologis dan psikologis pasien (bed side care) maupun kegiatan-kegiatan preventif dan promotif yang ditujukan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat (community health care). Cure jika didefinisikan sebagai terapi yang bertujuan untuk menyembuhkan dapat juga termasuk kegiatan care. Sementara itu care dalam arti luas termasuk praktik-praktik dalam kegiatan penyembuhan (kuratif)

10

J.Guwandi. 2007. A Concise Glossary of Medical Law Terms (Landmark Decisions), Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Hlm. 20, selanjutnya periksa Benyamin Lumenta. 1989 dalam Bukunya yang berjudul Hospital, Citra, Peran dan Fungsi (Tinjauan Fenomena Sosial) bahwa Federasi Hospital Sedunia telah menyusun program yang dikenal sebagai Hospital Without Wall, yang dalam hal ini dimaksudkan bahwa fungsi sosial hendaknya diperluas secara aktif dengan menyelenggarakan kegiatan di tengah masyarakat di luar hospital. Kondisi ini telah membuka paradigma baru bahwa sebuah hospital hendaknya tidak pasif menunggu masyarakat dating ke hospital untuk memperoleh pelayanan kesehatan, namun harus lebih aktif terlibat di tengah masyarakat dan secara aktif mencari dan menyelesaikan berbagai masalah kesehatan dan masalah medis.


(22)

Artinya rumah sakit bertanggung jawab tanpa ada kesalahan atau dapat dikatakan tanggung gugat risiko (risico aansprakelijkheid)sebagai lawan dari tanggung gugat berdasarkan kesalahan 11.

Selanjutnya dalam UU No. 44 Tahun 2009 mengenai tanggung jawab rumah sakit secara eksplisit telah ditegaskan dalam ketentuan Pasal 46 bahwa : “Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap segala kerugian yang ditimbulkan

atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dirumah sakit”. Ketentuan

Pasal 46 tersebut, menunjukkan bahwa tanggung jawab hukum yang dimaksud hanya dari segi atau aspek hukum perdata. Padahal di sisi lain menurut doktrin hukum kesehatan, pada hakikatnya rumah sakit adalah penerapan hukum perdata, hukum pidana dan hukum administrasi negara, maka seharusnya ruang lingkup tanggung jawab rumah sakit juga meliputi tanggung jawab pidana dan tanggung jawab administrasi Negara.12

Dengan mengacu pada ketentuan Pasal 46UU No. 44 Tahun 2009 tersebut, maka apabila terdapat kerugian berdasarkan kelalaian oleh tenaga kesehatan di rumah sakit, maka rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap kerugian tersebut. Ketentuan Pasal 46 UU No.44 Tahun 2009 di atas, pada prinsipnya sesuai dengan doktrin corporate liability dan vicarious liability.Berdasarkan ketentuan Pasal 46 UU No.44 Tahun 2009 di atas dapat disimpulkan bahwa antara tenaga kesehatan di rumah sakit mempunyai hubungan

11

Purwahid Patrik . 1990. Perkembangan Tanggung Gugat Resiko Dalam Perbuatan Melawan Hukum. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Pada Fakultas Hukum Undip Semarang 5 Mei 1990. Hlm. 13

12

Leenen menyebutkan bahwa hukum kesehatan (gezondheidsrecth, health law) merupakan peraturan hukum yang berhubungan langsung pada pemberian pelayanan kesehatan dan penerapannya pada hukum perdata, hukum administrasi Negara dan hukum pidana.(Bandingkan dengan bukunya yang berjudulGezondheidszorg en Recht, 1981, Samson Uitgevery, Alphen ann den Rijn, hlm. 15. Prof. Leenen adalah seorang Guru Besar dalam , Gezondheidsrecht pada Fakultas Hukum maupun Fakultas Kedoteran Universitas van Amsterdam).


(23)

hukum yang bersifat keperdataan. Realisasi hubungan hukum tersebut salah satunya adalah mengenai tanggung jawab rumah sakit terhadap segala tindakan tenaga kesehatan yang dapat merugikan pasien. Dengan demikian, tenaga kesehatan secara yuridis tidak dapat dipisahkan kedudukannya dengan sebuah rumah sakit di mana tenaga kesehatan tersebut bekerja.

Berdasarkan uraian di atas, ruang lingkup penulisan dan penelitian ini dibatasi pada pertanggungjawaban rumah sakit sebagai akibat kelalaian medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dari aspek keperdataannya. Aspek keperdataan dalam konteks ini berkaitan dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 58 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 yaitu: bahwa setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau

“penyelenggara kesehatan” yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.

B. Perumusan Masalah Dan Ruang Lingkup Masalah

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

a. Aspek apa saja pertanggungjawaban hukum Rumah Sakit terhadap kelalaian medis yang dilakukan oleh tenagakesehatan ?

b. Bagaimana bentuk tanggung jawab perdata Rumah Sakit terhadap kelalaian medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan ?


(24)

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini meliputi kajian hukum di Rumah Sakit terutama tanggung jawab perdata Rumah Sakit terhadap kelalaian medik yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan dari penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui dan memahami aspek pertanggung jawaban hukum rumah sakit terhadap tenaga kesehatan.

b. Untuk mengetahui dan memahami tentang bentuk tanggung jawab rumah sakitterhadap kelalaian medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan.

2. Kegunaan Penelitian

a. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi mengenai tanggung jawab rumah sakit terhadap kelalaian medik yang dilakukan oleh tenaga kesehatan, terutama dari aspek hukum perdata.

b. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi rumah sakit, tenaga kesehatan dan masyarakat umum yang menggunakan pelayanan kesehatan di rumah sakit.

c. Diharapkan dapat bermanfaat dalam pelaksanaan penyelenggaraan rumah sakit dan memberikan pemahaman bagi para pengguna jasa medis sebagai pihak yang berhubungan langsung dengan rumah


(25)

sakit tentang tuntutan ganti kerugian apabila pihak rumah sakit telah melakukan perbuatan melawan hukum.

D. Kerangka Teoretis dan Konseptual 1. Kerangka Teoretis

Pada dasarnya dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit ada dua pihak yang berhubungan satu sama lain yaitu pihak yang menerima pelayanan kesehatan

(health care receivers) atau pasien dan pihak yang memberi pelayanan kesehatan(healthcare providers)yaitu tenaga kesehatan baik medis maupun para medis (bukan tenaga medis). Antara kedua pihak inilah kemudian terjadilah apa yang dinamakan transaksi(transactie) terapeutik(therapeuticus) atau perjanjian penyembuhan, yaitu suatu perjanjian yang obyeknya adalah pelayanan medis atau upaya penyembuhan.13 Jadi salah satu aspek yang terpenting dalam penerapan hukum kesehatan di rumah sakit adalah transaksi terapeutik. Secara teoritik, disamping tenaga kesehatan baik medis maupun nonmedis sebagai pihak yang terlibat secara langsung dalam transaksi terapeutik, dalam praktik masih diperlukan bantuan dari pihak lain agar tujuan dari transaksi tersebut tercapai sesuai dengan yang diharapkan.14Pihak lain tersebut adalah pihak yang menyediakan sarana kesehatan yakni rumah sakit.

Meskipun rumah sakit tidak secara langsung masuk dalam perjanjian terapeutik, namun hubungan hukum yang ditimbulkannya sangat berpengaruh terhadap transaksi terapeutik tersebut, terutama pada pertanggungjawaban dari

13

Veronica Komalawati. 1989. Hukum dan Etika Dalam Praktik Dokter. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Hlm.84

14

M. Fakih. 2012. Aspek Keperdataan dalam Pelaksanaan Tugas Tenaga Keperawatan di Bidang Pelayanan Kesehatan di Provinsi Lampung. Tesis Program Doktor (S3) UGM, Yogyakarta. Hlm. 366


(26)

rumah sakit sebagai badan hukum.15 Oleh karena itu transaksi terapeutik antara dokter dan pasien di rumah sakit juga akan menimbulkan hubungan hukum

(rechtsverhouding) dengan rumah sakit. Yang dimaksud dengan hubungan hukum dalam kaitan dengan pelayanan kesehatan adalah hubungan hukum antara dua subyek hukum orang dengan subyek hukum orang (hubungan hukum dokter-pasien) serta hubungan hukum antara subyek hukum dengan subyek hukum badan (pasien-rumah sakit-dokter).16Hubungan hukum tersebut pada prinsipnya akan menimbulkan akibat hukum yaitu hak dan kewajiban.17

Secara keperdataan, transaksi terapeutik merupakan perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu yang diatur dalam Pasal 1601 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Suatu perjanjian untuk melakukan jasa khusus adalah suatu perjanjian yang bersifat konsensual, dengan demikian maka transaksi terapeutik juga merupakan perjanjian konsensual. Dalam transaksi terapeutik kesepakatan terwujud dalam bentuk Persetujuan Tindakan Kedokteran atau

informed concent.18 Istilah informed consent berasal dari bahasa Latin consentio

yang selanjutnya dialih bahasakan ke dalam bahasa Inggris menjadi consent. Di Belanda istilah informed consent dikenal dengan sebutan gerichte toesteming. Dalam hukum kesehatan sepakat atau konsensus bagi suatu traksaksi terapeutik

15

Siti Ismijati Jenie. 1994. Berbagai Aspek Yuridis Di Dalam dan di Sekitar Perjanjian Penyembuhan (Transaksi Terapeutik) Suatu Tinjauan Keperdataan. Makalah disampaikan Pada Penataran Dosen Hukum Perdata Fakutas Hukum UGM tanggal 1-13 Agustur 1994, Yogyakarta. Hlm.2

16

Adami Chazawi. 2007. Malpraktik Kedokteran (Tinjauan Norma dan Doktrin Hukum). Bayumedia Publishing, Malang. Hlm. 15-16

17

Salim HS. 2003. Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat. Sinar Grafika, Jakarta. Hlm.4

18Istilah “

Persetujuan Tindakan Medik” yang semula diatur dalam Permenkes No.585/Menkes/Per/IX/1989 telah diubah melalui Permenkes No.290/Menkes/Per/III/2008 dengan


(27)

merupakan syarat untuk adanya (bestaansvoorwaarden) dan sekaligus merupakan salah satu syarat untuk sahnya (geldigheids vereisten).19

Lebih lanjut ketentuan mengenai Persetujuan Tindakan Kedokteran atau

informed consent tertuang dalam Permenkes RI No.290/Menkes/Per/III/2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Dalam Pasal 1 Permenkes tersebut disebutkan bahwa persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien. Hermien Hadiati Koeswadji menyebutkan bahwa

informed consent merupakan persetujuan sepihak dari pasien yang tidak mungkin diberikan jika tidak berdasarkan informasi (tentang penyakit dan upaya penyembuhan) yang lengkap, jelas, serta tindakan-tindakan apa saja yang dapat dilakukan serta kemungkinan apa saja yang dapat terjadi.20 Eksistensi informed consent juga sesuai dengan ketentuan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Informed consentinilah yang menjadi dasar bagi pasien untuk akhirnya ia memutuskan secara mandiri setuju atau tidak atas tindakan terapeutik yang akan dilakukan oleh dokter.

Sebagai suatu perjanjian, transaksi terapeutik tunduk pada ketentuan umum mengenai hukum perjanjian. Oleh kerena itu untuk menilai keabsahan suatu transaksi terapeutik harus digunakan tolok ukur sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu, pertama adanya kesepakatan (yang

19

Perlu dibedakan terhadap syarat “adanya/lahirnya/terjadinya” dan “syarat sahnya” suatu transaksi terapeutik. Syarat adanya atau lahirnya cukup adanya kesepakatan dari pasien atas informasi yang telah diberikan dokter, sedangkan untuk syarat sahnya harus memenuhi criteria yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu, adanya kata sepakat, adanya kecakapan para pihak, hal tertentu dan kausa yang halal.

20

Hermin Hediati Koeswadji. 1992. Beberapa Permasalahan Hukum dan Medik. Citra Aditya Bakti, Bandung. Hlm. 165


(28)

diberikan tanpa adanya kesesatan(dwaling), paksaan(dwang), penipuan (bedrog)

ataupun penyalahgunaan keadaan(misbruik van omstadigheden). Kedua kecakapan membuat perjanjian (bekwaamheid).Ketiga, suatu hal tertentu(bepaald orderwerp) dan keempat suatu sebab yang halal (geoorloofde oorzaak).

Setelah terjadinya transaksi teraupetik antara dokter dan pasien di rumah sakit timbullah perikatan antara keduabelah pihak. Perikatan yang timbul dari transaksi terapeutik tersebut, jika dilihat dari prestasinya ada dua macam, yaitu pertama inspaningsverbintenis, perikatan yang harus dilakukan dengan hati-hati dan berusaha keras. Wujud prestasi dalam perikatan ini berupa suatu usaha/upaya maksimal tetapi hasilnya belum pasti. Kedua, resultaatsverbintenis yaitu suatu perikatan yang prestasinya berwujud menghasilkan sesuatu yang sifatnya sudah pasti. Dengan adanya transaksi terapeutik tersebut, menimbulkan suatu perikatan di antara para pihak, maka akan menimbulkan hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban tersebut harus dilaksanakan agar tujuan dari suatu transaksi terapeutik tersebut tercapai sesuai yang diharapkan.

Berdasarkan uraian di atas, hubungan hukum antara dokter dan pasien di rumah sakit terjadi dikarenakan ada hubungan kontraktual berupa transaksi terapeutik. Oleh karena itu, dalam konteks ini dokter sebagai pihak yang terlibat secara langsung dalam perjanjian apabila terjadi wanprestasi maka secara yuridis dapat dimintai pertanggungjawaban (contractual liability) yaitu perbuatan tidak memenuhi prestasi atau kewajiban. Di sini berlaku contract theory, menurut King jika seorang dokter atau tenaga kesehatan setuju untuk merawat seorang pasien dengan imbalan honor tertentu, maka dapat diciptakan suatu perjanjian yang


(29)

disertai hak dan tanggung gugatnya.21Dengan kata lain, contractual liability, tanggung gugat jenis ini muncul karena adanya ingkar janji, yaitu tidak dilaksanakannya sesuatu kewajiban (prestasi) atau tidak dipenuhinya sesuatu hak

pihak lain sebagai akibat adanya hubungan kontraktual.

Dalam kaitannya dengan transaksi terapeutik, kewajiban atau prestasi yang harus dilaksanakan oleh health care provider adalah berupa upaya (effort), bukan hasil (result). Karena itu dokter hanya bertanggunggugat atas upaya medik yang tidak memenuhi standar, atau dengan kata lain, upaya medik yang dapat dikatagorikan sebagai civil malpractice

Selain itu, dokter sebagai pihak pada prinsipnya juga dapat dimintai pertanggungjawaban sebagai akibat adanya perbuatan melawan hukum

(onrechtmatige daad) yaitu perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban profesi (yang dilakukan oleh tenaga profesi yang bekerja untuk dan atas nama rumah sakit). Namun demikian, rumah sakit dimana tempat dokter bekerja juga turut bertanggung jawab atas perbuatan dokter atau tenaga kesehatan yang bertentangan dengan profesinya. Dalam hal ini berlaku doktrin hubungan majikan-karyawan (Vicarious Liability), yang dalam perkembangannya di dunia perumahsakitan mulai diterapkan secara universal doktrin corporate liability atau

enterprise liability, sehingga timbul istilah hospital liability.22vicarious liability

timbul akibat kesalahan yang dibuat oleh bawahannya (subordinate). Dalam kaitannya dengan pelayanan medik maka rumah sakit (sebagai employer) dapat bertanggunggugat atas kesalahan yang dibuat oleh dokter atau tenaga kesehatan

21

J.H. King. 1986. The Law of Medical Malpractice in a Nutshell, West Publishing Co. St. Paul Minn. Hlm. 10-18

22

Guwandi. 2011. Hukum Rumah Sakit dan Corporate Liability. Fakultas Kedikteran Universitas Indonesia, Jakarta. Hlm. 14


(30)

yang bekerja dalam kedudukan sebagai sub-ordinate (employee). Lain halnya jika tenaga kesehatan, misalnya dokter, bekerja sebagai mitra (attending physician) sehingga kedudukannya setingkat dengan rumah sakit. Menurut doctrine of vicarious liability, rumah sakit (meskipun sebagai artificial entity tidak melakukan kesalahan apa-apa) juga dapat bertanggunggugat atas kesalahan dokter

organik yang bekerja di institusi tersebut

Doktrin vicarious liability ini sejalan dengan ketentuan Pasal 1367 KUHPerdata, yang bunyinya: “Seseorang tidak hanya bertanggungjawab atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan barang-barang yang berada di bawah pengawasannya”. Selanjutnya untuk dapat diberlakukan doctrine of vicarious liability diperlukan dua syaratdi bawah ini yaitu:

a. Harus ada hubungan (economicrelationship), artinya

antara dokter dan pihakrumah sakit harus terjalin dalam suatu hubungan yang bersifat ekonomi; misalnya hubungan master-servant atau employer-employee.Sebagai bukti adanya direct (economicrelationship) antara lain: adanya gaji tetap, kewenangan rumah sakit mengontrol, memberi sanksi serta adanya kewenangan mengangkat dan memberhentikan dokter dan tenaga kesehatan.

b. Tindakan dokter dan tenaga kesehatan harus berada dalam lingkup tugas dan tanggungjawabnya.Artinya, tindakan (yang merugikan pasien) yang dilakukan oleh dokter harus berada di dalam lingkup tugas dan tanggungjawab yang diberikan oleh rumah pemberi kerja berdasarkan


(31)

hubungan yang telah diperjanjikan. Jika dokter melakukan tindakan di luar lingkup tugas & tanggungjawabnya (misalnya di luar clinical privilege

yang diberikan oleh Direktur atas rekomendasi Panitia Kredensial dari Komite Medik) maka kerugian akibat kesalahannya harus ditanggung sendiri.

Selanjutnya, doktrin corporate liability atau enterprise liability, dan

Hospital Liability pada prinsipnya menentukan bahwa rumah sakit menurut hukum dapat dimintai pertanggungjawaban atas segala peristiwa yang terjadi di belakang dinding rumah sakit (within hospital walls).23 Di Indonesia secara yuridis formal dengan berlakunya UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, secara tegas ditentukan dalam Pasal 46, bahwa rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit. Dengan demikian secara yuridis rumusan pasal 46 tersebutberarti sama dengan corporate liability atau enterprise liability, dan hospital liability.

2. Kerangka Konseptual

Untuk menhindari perbedaan pengertian istilah-istilah yang dipergunakan dalam penulisan tesis ini, berikut ini adalah definisi kerangka konsep dari istilah-istilah sesuai dengan judul yang diajukan:

1. Pengertian tanggung jawab diartikan sangat luas dan abstrak, seperti tanggung jawab dokter, tanggung jawab rumah sakit, tanggung jawab tenaga kesehatan

23


(32)

dan lain-lain. Dalam bahasa belanda istilah tanggung jawab disebut

verantwoordelijkheid yang dalam bahasa Inggris disebut responsibility. Istilah tanggung gugat adalah istilah diterjemahkan dalam bahasa Belanda

aansprakelijkheid dan bahasa Inggris liability, sedangkan istilah dipertanggungjawabkan berasal dari bahasa Belanda toerekenbaarheid yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah accounttability.24 Selanjutnya yang dimaksud dengan kewajiban untuk bertanggung jawab dalam tesis ini adalah tanggung jawab yuridis berupa tanggung gugat, menanggung gugatan untuk membayar sejumlah ganti kerugian akibat adanya suatu perbuatan.

2. Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat (Pasal 1 angka 1 UU No. 44 Tahun 2009). Selanjutnya rumah sakit yang dimaksud dalam tesis ini adalah rumah sakit umum yang memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit (Pasal 19 ayat (2) UU No. 44 Tahun 2009) dan yang termasuk dalam klasifikasi Rumah Sakit Umum Kelas C yang dikelola oleh Pemerintah Daerah. Rumah Sakit Umum Kelas C adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar dan 4 (empat) spesialis penunjang medik (penjelasan Pasal 24 ayat (2)UU No. 44 Tahun 2009).

3. Kelalaian atau kealpaan dalam bahasa belanda dikenal dengan istilah culpoos

atau nalatigheid yang dalam bahasa Inggris disebut negligence. Seseorang dikatakan lalai apabila sikap tindaknya (prilakunya) bersifat acuh, masa bodoh,

24

A . Teeuw. 1991. Kamus Indonesia-Belanda (Indonesisch-Nederlands Woordenboek). PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hlm.685


(33)

sembarangan, tidak memperhatikan atau memperdulikan orang lain.25 Pada saat ini istilah kelalaian mulai bayak digunakan dalam kaitannya dengan bidang medis. Pada kelalaian tidak ada motif ataupun tujuan untuk menimbulkan akibat yang terjadi. Akibat yang timbul tersebut disebabkan karena kelalaian yang sebenarnya terjadi di luar kehendaknya. Kelalaian atau kealpaan menurut Rosa Agustina pada prinsipnya terletak pada suatu hubungan kerohanian (psychisch verband) antara alam pikiran dan perasaan pelaku.26 Menurut doktrin hukum kesehatan telah memberikan tolok ukur dari sebuah kelalaian yang dikenal dengan 4-D yaitu terdiri dari:

a. Duty (kewajiban) merupakan kewajiban dari profesi medis untuk mempergunakan segala ilmu dan kepandaiannya untuk penyembuhan atau meringankan beban penderitaan pasien (to cure and to care) berdasarkan standar profesi medis.

b. Dereliction of that duty/brech of the standard of care, di sini merupakan penyimpangan dari kewajiban jika seseorang dokter menyimpang dari apa yang seharusnya dilakukan atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standar profesi medis, maka dokter dapat dipersalahkan.

c. Direct causation (penyebab langsung), untuk dapat dipersalahkan harus ada hubungan kausal (secara langsung) antara penyebab (causa) dengan kerugian (damage) yang diderita seorang pasien. Dengan kata lain dalam kontek ini harus dibuktikan dengan jelas, tidak dapat hanya karena hasil

25

Guwandi. 2007. Hukum Medik (Medical Law). Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Hlm.7

26

Rosa Agustina. 2003. Perbuatan Melawan Hukum (Onrechtmatige Daad). Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta. Hlm. 61


(34)

(outcome) yang negatif, kemudian langsung dokternya dianggap bersalah atau lalai.

d. Damage (kerugian), dengan adanya penyebab langsung dari suatu perbuatan maka akan mengakibatkan kerugian. Kerugian yang diderita pasien dapat berupa kerugian materiil maupun immaterial. Menurut Munir Fuadi akibat kelalaian medis, pasien dapat menderita rasa sakit, luka, cacat, kematian, kerusakan pada tubuh dan jiwa atau kerugian lain yang diderita pasien selama proses perawatan.27

Selanjutnya pertanggungjawaban hukum dalam perbuatan melawan hukum sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1365 KUHPerdata, tidak dibedakan antara sebab kesengajaan (dolus) atau sebab kelalaian (culpoos), berbeda dengan beban pertanggungjawaban pidana yang membedakan secara tegas atara pertanggungjawabankesengajaan (dolus) dan sebab kelalaian (culpoos).28 4. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang

kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang menurut jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan (Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah No.32 Tahun 1996 tentang Tenaga kesehatan). Tenaga kesehatan yang dimaksud dalam tesis ini adalah tenaga medis yaitu dokter dan dokter gigi dan tenaga keperawatan yaitu perawat dan bidan (Pasal 2 ayat (1) dan (2) PPNo.32 Tahun 1996).29 Tenaga medis dan tenaga keperawatan yang

27

Munir Fuadi. 2005. Sumpah Hippocrates (Aspek Hukum Malpraktik Dokter). PT Citra Aditya Bakti, Bandung. Hlm. 2

28

Adami Chazami, Op Cit. Hlm.68

29

Menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) PP No.32 Tahun 1996, tenaga kesehatan terdiri dari: tenaga medis, tenaga keperawatan, tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga gizi, tenaga keterapian fisik dan tenaga keteknisan medis. Selanjutnya, menurut ketentuan Pasal 12 UU No.44


(35)

dimaksud adalah mereka yang terlibat langsung dalam transaksi terapeutik di rumah sakit yaitu dokter dan mereka yang tidak terlibat secara langsung, akan tetapi dikelompokkan sebagai peserta dalam transaksi teraupetik yaitu tenaga keperawatan.

Tahun 2009 bahwa rumah sakit harus memiliki “tenaga tetap” (tenaga yang bekerja secara purna waktu) meliputi: tenaga medis dan penunjang medis, tenaga keperawatan,tenaga kefarmasian, tenaga manajeman rumah sakit, dan tenaga non kesehatan (tenaga administratif, tenaga kebersihan dan tenaga keamanan)


(36)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Rumah Sakit

Rumah sakit atau hospital berasal dari kata hospitium (hospes-hospites) yang artinya rumah tamu yang pada dinamika awalnya tempat para biara dan biarawati merawat pasien-pasiennya.Sesuai dengan dinama masyarakat, maka hospitium berdiri secara mandiri dan berkembang ke arah yang modern dan berfungsi sebagai rumah sakit.25Rumah sakit pada mulanya merupakan sebuah institusi atau lembaga yang didirikan dengan latar belakang pelaksanaan tugas keagamaan atau melaksanakan ibadah.26Oleh karena itu tidak mengherankan kalau rumah sakit tugas utamanya adalah melakukan fungsi sosial, terutama pada masyarakat yang kurang mampu dan memerlukan pelayanan kesehatan.Bahkan fungsi rumah sakit pada waktu itu hanya menyembuhkan orang sakit (nasocomium hospital), tempat beristirahat para tamu

(xenodochium) tempat mengasuh anak yatim (phanotrophium) serta tempat tinggal orang jompo (gerontoconium) serta didirikan oleh badan-badan keagamaan (claritabel hospital).27

Rumah sakit dalam konteks ini bertujuan hanya untuk membantu dalam rangka pengobatan masyarakat yang kurang mampu. Doktrin yang terkenal pada waktu itu

25

Rosalia Sciortino. 2008. Perawat Puskesmas, di antara Pengobatan dan Perawatan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Hlm. 28-31

26

Endang Wahyati Yustina, Op Cit. Hlm. 6

27


(37)

adalah doctrine of charitable immunity bahwa rumah sakit merupakan lembaga karitas. Artinya rumah sakit harus memiliki dan menerapkan nilai-nilai sosial, kemanusiaan yang dilandasi Ke-Tuhanan dan tidak mencari keuntungan.Berdasarkan doctrine of charitable immunity, rumah sakit pada waktu itu tidak dapat digugat jika melakukan kesalahan atau kelalaian yang menimbulkan kerugian pasien.

Sesuai dengan perkembangan zaman, maka pada saat ini rumah sakit telah mengalami berbagai perkembangan, yang paling dapat dilihat bahwa rumah sakit telah berkembang menjadi pusat kesehatan (health center) dan pusat pendidikan serta penelitian.Oleh karena itu rumah sakit pada saat ini lebih mengarah pada institusi kesehatan (health institution), bahkan secara tegas hanya membatasi pada aspek kesehatan saja.Pada akhirnya rumah sakit yang dahulu didirikan oleh pemerintah

(public hospital), saat ini rumah sakit banyak didirikan oleh badan-badan swasta

(private hospital).Dengan adanya rumah sakit yang didirikan oleh badan-badan swasta, maka fungsi rumah sakit berubah menjadi salah satu kegiatan ekonomi, bahkan rumah sakit telah dijadikan sebagai salah satu badan usaha yang mencari keuntungan (profit making).28Pelayanan kesehatan di rumah sakit telah bergeser dari public goods menjadi

private goods, sehingga penyembuhan kepuasan pasien semakin lama semakin kompleks dan semua rumah sakit bersaing untuk menarik pasien.29

Sebagaimana telah dikemukakan dalam latar belakang di atas, secara yuridis formal batasan tentang rumah sakit di Indonesia telah dituangkan dalam Pasal 1 butir 1 UU No. 44 Tahun 2009 bahwa rumah sakit adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan

28

Ibid. Hlm. 83

29

Sudarmono.2000. Reformasi Perumahsakitan Indonesia.Bagian Penyusunan Program dan Laporan (Ditjen Yanmed Depkes RI-WHO), Jakarta. Hlm. 7


(38)

pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Dengan demikian menurut UU No 44 Tahun 2009 tugas utama rumah sakit adalah memberi pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna.Yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan perorangan adalah setiap kegiatan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan.Dalam kaitan tersebut, bagaimana dengan fungsi rumah sakit menurut UU No. 44 Tahun 2009?Sebelum mengemukakan fungsi rumah sakit, perlu diketahui tentang kata fungsi.Kata fungsi, berasal dari kata functio artinya jabatan, tugas, kegunaan.Kata fungsi menurut bahasa Belanda berasal dari kata functie artinya jabatan. Dalam bahasa Inggris fungsi berasal dari kata function yang mengandung arti kegunaan, tugas, pekerjaan. Black’s Law Dictionary, kata function mengandung dua pengertian yaitu: activity that is appropriate to a particular business or profession dan

office; duty; the occupation of an office30. Dengan demikian, yang dimaksudkan dengan fungsi dalam konteks ini adalah tugas atau aktivitas yang bersifat khusus mengenai suatu pekerjaan. Fungsi suatu pekerjaan yang harus dilaksanakan sesuai dengan perannya, fungsi dapat berubah-ubah dari suatu keadaan ke keadaan yang lain.

Selanjutnya Pasal 5 UU No. 44 Tahun 2009 menegaskan bahwa fungsi rumah sakit adalah sebagai berikut:

1. menyelenggarakan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit;

30


(39)

2. pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan tingkat ketiga sesuai dengan kebutuhan medis;

3. penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan; dan 4. penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi

bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 5 UU No. 44 Tahun 2009, menunjukkan bahwa luasnya pelayanan rumah sakitmulai dari pengobatan, pemulihan kesehatan, pemeliharaan dan peningkatan kesehatan, penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan. Selanjutnya selain fungsi tersebut di atas, rumah sakit harus mempunyai fungsi sosial sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 29 ayat (1) huruf f UU No. 44 Tahun 2009, bahwa rumah sakit mempunyai kewajiban melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasientidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan. Yang dimaksud dengan fungsi sosial rumah sakit adalah bagian dari tanggung jawab yang melekat pada setiap rumah sakit, yang merupakan ikatan moral dan etik dari rumah sakit dalam membantu pasien khususnya yang kurang/tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan akan pelayanan kesehatan (Penjelasan Pasal 2 UU No. 44 Tahun 2009).


(40)

Menurut ketentuan Pasal 19 UU No. 44 Tahun 2009: rumah sakit menurut jenis pelayananan dapat dibagi menjadi dua yaitu rumah sakit umum dan rumah sakit khusus. Rumah Sakit Umum (RSU) memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit, sedangkan rumah sakit khusus, memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya. Selanjutnya, menurut Pasal 20 UU No. 44 Tahun 2009 rumah sakit dapat digolongkan menjadi rumah sakit privat dan rumah sakit publik. Rumah sakit privat dikelola oleh badan hukum dengan tujuan profit yang berbentuk Perseroan Terbatas atau Persero.

Rumah sakit publik dapat dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah dan badan hukum yang bersifat nirlaba.Badan hukum nirlaba dimaksudkan di sini adalah bahwa badan hukum yang sisa hasil usahanya tidak dibagikan pada pemilik, tetapi digunakan untuk kepentingan pelayanan antara lain yayasan, perkumpulan dan Perusahan Umum.Selain itu, rumah sakit publik yang dikelola oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah diselenggarakan berdasarkan pengelolaan Badan Layanan Umum atau Badan Layanan Umum Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.Rumah sakit publik yang dikelola oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah tidak dapat dialihkan menjadi rumah sakit privat. Lebih lanjut Pasal 51 UU No. 44 Tahun 2009 menegaskan,

bahwa: “Pendapatan rumah sakit publik yang dikelola oleh Pemerintah dan Pemerintah

Daerah digunakan secara langsung untuk biaya operasional rumah sakit dan tidak dapat


(41)

B. Asas-Asas Hukum Dalam Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit

Berkaitan dengan masalah asas atau prinsip (beginsel, principle), secara leksikal berarti sesuatu yang menjadi dasar tumpuan berfikir atau bertindak atas kebenaran yang menjadi pokok dasar berfikir, bertindak dan sebagainya.31Van de Velden mengemukakan bahwa asas hukum adalah tipe putusan tertentu yang dapat digunakan sebagai tolok ukur untuk menilai situasi atau digunakan sebagai pedoman berprilaku.Asas hukum didasarkan atas suatu nilai atau lebih yang menentukan sesuatu yang bernilai yang harus direalisasi32.Paul Scholten berpendapat bahwa asas hukum adalah kecenderungan-kecenderungan yang disyaratkan oleh pandangan kesusilaan kita pada hukum, merupakan sifat-sifat umum dengan segala keterbatasannya sebagai pembawaan yang umum itu, tetapi yang tidak boleh harus ada33.Selanjutnya, Asser menyatakan bahwa asas hukum berisi penilaian susila, pemisahan yang baik dan yang buruk yang menjadi landasan hukum.Jadi di dalam asas hukum terdapat sifat etis34.

Berdasarkan pandangan-pandangan tentang asas hukum tersebut di atas, Sudikno Mertokusumo35 menyimpulkan sebagai berikut:

“Bahwa asas hukum bukan merupakan hukum konkrit melainkan merupakan pikiran

dasar yang umum dan abstrak atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat di dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif

31

Agus Yudha Hernoko. 2010. Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial. Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Hlm. 21

32

Sari Murti Widiastuti, 2007, Penjelasan Pers Atas Konsistensi Asas Pertanggungjawaban Perdata dalam Hukum Khusus Terhadap Asas Pertanggungjawaban Perdata dalam Hukum Umum, Ringkasan Disertasi Untuk Ujian Promosi Doktor dari Dewan Penguji Sekolah Pasca Sarjana UGM. Hlm. 17

33

Sudikno Mertokusumo. 2004. Mengenal Hukum. Liberty, Yogyakarta. Hlm. 3

34

Siti Sumarti Hartono, 1992, Penuntun dalam Mempelajari Hukum Perdata Belanda, Bagian Umum,

Liberty, Yogyakarta. Hlm. 89

35


(42)

dan dapat ditemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam

peraturan konkrit tersebut”.

Dalam melakukan pelayanan kesehatan, rumah sakit perlu memperhatikan asas-asas hukum kesehatan baik yang tersirat dalam UU No. 36 Tahun 2009 maupun yang dikenal dalam doktrin36 hukum kesehatan. Asas-asas tersebut adalah sebagai berikut:

1. Asas legalitas

Asas legalitas tersirat dalam rumusan Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UU No.36 Tahun 2009 yang menentukan bahwa kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan dilakukan sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki, serta dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan di rumah sakit tenaga kesehatan wajib memiliki izin dari pemerintah. Hal ini berarti pelayanan kesehatan hanya dapat terselenggara jika tenaga kesehatan bersangkutan telah memenuhi persyaratan dan perizinan yang diatur dalam perundang-undangan.

2. Asas keseimbangan

Hukum selain memberi kepastian dan perlindungan terhadap kepentingan manusia, juga memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat yang terganggu ke keadaan semula (restitutio integrum), maka asas keseimbangan sangat diperlukan dalam pelayanan kesehatan. Asas keseimbangan terkandung dalam rumusan Pasal

2 UU No.36 Tahun 2009 yang berbunyi: “bahwa pembangunan kesehatan

diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, perlindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan gender dan

36

Asas-asas pelayanan kesehatan secara konkrit dikemukakan oleh Patricia Staunton dan Mary Chiarella dalam bukunyaNursing and The Law, . Hlm. 33


(43)

non diskriminatif dan norma-norma agama”. Asas keseimbangan, mengandung arti bahwa pembangunan kesehatan harus dilaksanakan antara kepentingan individu dan masyarakat, antara fisik dan mental serta antara material dan spiritual.

3. Asas tepat waktu

Asas tepat waktu sangat diperlukan karena akibat kelalaian memberikan pertolongan dapat menimbulkan kerugian pada pasien.Salah satu bentuk kerugian akibat pelayanan kesehatan adalah pembocoran rahasia kesehatan atau kedokteran.Asas tepat waktu tersirat dalam Pasal 58 ayat (1) UU No.36 Tahun 2009, bahwa setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.Asas ini menentukan bahwa dalam rangka pelayanan kesehatan kepada pasien di rumah sakit tenaga kesehatan tidak dapat menunda-nunda demi kepentingan pribadi.Penundaan dalam menolong pasien terutama di sarana pelayanan kesehatan atau rumah sakit, dapat digolongkan penelantaran (abandonment)

pasien.

4. Asas Itikad baik

Asas itikad baik dapat diterapkan dalam pelaksanaan kewajiban tenaga kesehatan di rumah sakit untuk memenuhi standar profesi maupun dalam menjalankan tugasnya selaku professional, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 24 ayat (1)UU No.36 Tahun 2009, bahwa tenaga kesehatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 23 harus memenuhi kode etik, standar profesi, hak


(44)

pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan dan standar prosedur operasional.

5. Asas kehati-hatian

Asas kehati-hatian tersirat dalam ketentuan Pasal 5 ayat (2) UU No.36 Tahun 2009, bahwa setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa tenaga kesehatan di rumah sakit dalam melakukan profesinya harus memberikan rasa aman kepada setiap pasien.Keamanan di sini, tenaga kesehatan harus bekerja secara hati-hati dan seteliti mungkin.Asas ini juga terkait dalam ketentuan Pasal 58 ayat (1) UU No.36 Tahun 2009, bahwa setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.Tenaga kesehatan dan rumah sakit dalam menjalankan profesinya harus senantiasa berpedoman pada asas aegroti salus lex suprema yang berarti keselamatan pasien adalah hukum yang tertinggi.Dengan demikian, tenaga kesehatan sebagai seorang professional di rumah sakit bukan hanya dituntut memiliki keahlian dan keterampilan, melainkan juga ketelitian atau kecermatan dalam bertindak.

6. Asas keterbukaan

Asas keterbukaan terkandung dalam Pasal 7 dan Pasal 8 UU No.36 Tahun 2009, bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab. Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan


(45)

pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan. Selain itu, asas keterbukaan juga tertuang dalam UU No.44 Tahun 2009 yaitu:

a. Pasal 29 ayat (1) huruf a dan huruf l, bahwa setiap rumah sakit mempunyai kewajiban memberikan informasi yang benar tentang pelayanan rumah sakit kepada masyarakat serta memberi informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai hak kewajiban pasien.

b. Pasal 32 huruf a, b, dan j, bahwa setiap pasien mempunyai hak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di rumah sakit serta memperolah informasi tentang hak dan kewajiban pasien. Selain itu, pasien mempunyai hak mendapatkan informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medik, tujuan tindakan medik, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan.

7. Asas Otonomi

Dalam asas otonomi dinyatakan bahwa setiap individu mempunyai kebebasan untuk menentukan tindakan atau keputusan berdasarkan rencana yang mereka pilih. Dengan kata lain menghargai otonomi pasien berarti komitmen terhadap

sikap pasien dalam mengambil putusan terhadap “seluruh aspek pelayanan kesehatan”. Misalnya persetujuan yang dibaca dan ditandatangani sebelum

operasi, menunjukkan penghargaan terhadap otonomi. Permasalahan yang muncul dalam penerapan asas otonomi adalah adanya variasi kemampuan otonomi pasien yang dipengaruhi oleh banyak hal, seperti: tingkat kesadaran, usia, penyakit, lingkungan rumah sakit, ekonomi, informasi dan lain sebagainya.

8. Asas non-maleficence,

Asas non-maleficence,merujuk pada tindakan yang melukai atau membahayakan,oleh karena itunon-maleficence berarti tidak menciderai orang lain. Tenaga kesehatan dan rumah sakit dalam melakukan pelayanan tidak hanya


(46)

berkeinginan untuk melakukan kebaikan, tetapi juga berjanji untuk tidak mencederai.Asas ini pada prinsipnya tercamtum dalam lafal sumpah Hippocrates yang secara tradisional mendukung profesi medik, yaitu:”I will never use

treatment to injure or wrong the sick”.37 9. Asas beneficence

Asasbeneficence (kemurahan hati) adalah tanggung jawab untuk melakukan kebaikan yang menguntungkan pasien dan menghindari perbuatan yang merugikan atau membahayakan pasien. Dengan kata lain, kebaikan adalah tindakan positif untuk membantu orang lain. Setuju untuk melakukan niat baik juga membutuhkan ketertarikan terhadap pasien melebihi ketertarikan terhadap diri sendiri.

10. Asas keadilan (justice)

Asas keadilan menuntut perlakuan terhadap pasien di rumah sakit secara adil dan memberikan apa yang menjadi kebutuhan mereka. Pada kasus-kasus tertentu, tenaga kesehatan tidak boleh membeda-bedakan antara pasien satu dan lainnya, serta harus memberikan pelayanan yang sesuai dengan kondisi pasien.

11. Asas confidentiality(kerahasiaan)

Asas ini merupakan asas yang menjamin kemandirian pasien.Tenaga kesehatan dan rumah sakit dalam hal ini menghindari pembicaraan mengenai kondisi pasien dengan siapapun yang tidak secara langsung terlibat dalam perawatan pasien.Tenaga kesehatan selalu menjaga kerahasiaan tentang segala

37


(47)

informasi tentang kesehatan pasien. Secara konkrit tenaga kesehatan tidak dapat memberi informasi kepada pihak lain tentang kesehatan, hasil test laboraturium, diagnosis, dan prognosis tanpa seizin pasien, kecuali informasi tersebut diperlukan untuk upaya penyelenggaraan perawatan dan kepentingan hukum.

12. Asas kejujuran (vecarity)

Asas kejujuran merupakan asas vital dalam pelayanan kesehatan.Kejujuran harus dimiliki oleh tenaga kesehatan di rumah sakit saat berhubungan dengan pasien.Kejujuran merupakan dasar terbinanya hubungan saling percaya antara perawat dan pasien. Kadang kala dokter atau perawat tidak menginformasikan keadaan kesehatan pasien yang sebenarnya, hal ini dimungkinkan pasien akan mengalami depresi bila informasi tersebut disampaikan. Cara yang terbaik adalah dengan menginformasikannya kepada keluarga terdekat atau pendamping pasien.Asas kejujuran dalam pelayanan kesehatan di berbagai negara sudah banyak mengalami kemerosotan.Hal ini dibuktikan dengan adanya perkembangan

defensive medicine terutama yang dilakukan oleh tenaga medik38.Defensive medicine merupakan suatu bentuk penyimpangan asuhan medik, yang berkembang karena dipicu oleh ancaman tuntutan malpraktik. Prinsipnya,

defensive medicine merupakan mekanisme pertahanan diri tenaga medik agar terhindar dari risiko tuntutan.

38

Bandingkan menurut Myrtle Flight, (dalam bukunya Flight menjelaskan bahwa: “Doctors, afraid that

they might be accused of unscrupulous practice ordered every known test in such of a definitive

diagnosis when presented with specific symptoms…..The practice of defensive medicine led to increased


(48)

13. Asas ketaatan (fidelity)

Asas ketaatan diartikan sebagai tanggung jawab untuk tetap setia pada suatu kesepakatan.Tanggung jawab dalam konteks hubungan dokter-pasien dirumah sakit meliputi tanggung jawab menepati janji, mempertahankan kepercayaan dan memberikan perhatian. Hubungan tenaga kesehatan dengan pasien, dalam Deklarasi Geneva 1968 sebagaimana telah diubah tahun 1983 dan 2006

menyebutkan: “Saya akan menghormati rahasia yang dipercayakan pada saya,

bahkan setelah pasien meninggal”(I will respect the secrets which are confided in me, even after the patient has died)39. Salah satu cara untuk menerapkan prinsip kepercayaan adalah dengan memasukkan ketaatan dalam tanggung jawab.

Dengan demikian, pelayanan kesehatan yang dilakukan di rumah sakit oleh tenaga kesehatan terutama dokter dan, perawat harus memperhatikan asas-asas atau prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya. Asas-asas hukum kesehatan berfungsi sebagai pondasi yang memberikan arah, tujuan serta penilaian fundamental, mengandung nilai-nilai, dan tuntutan-tuntutan etis,oleh karena itu secara keseluruhan baik asas, norma dan tujuan hukum kesehatan harus dijadikan pedoman dan ukuran atau kriteria bagi para tenaga kesehatan di rumah sakit dalam menjalankan profesinya.

C.Bentuk Perikatan dalam Pelayanan Kesehatan Di Rumah Sakit

Perikatan dan perjanjian menunjuk pada dua hal yang berbeda.Perikatan adalah suatu istilah atau pernyataan yang bersifat abstrak, yang menunjukkan pada hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih, yang melahirkan

39

Margaret Brazier dan Emma Cave. 2007.Medicine Patients and The Law. Fully Revised Fourth Edition, Publishe by Penguin Group, London.Hlm. 69


(49)

hak dan kewajiban bagi para pihak.Pada umumnya perikatan yang lahir dari perjanjian merupakan yang paling banyak terjadi dalam kehidupan sehari-hari termasuk perikatan antara dokter-pasien di rumah sakit.40Eksistensi perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 1233 KUHPerdata yaitu: “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena perjanjian maupun karena undang-undang. Oleh karena itu, secara yuridis timbulnya hubungan hukum antara dokter dan pasien di rumah sakit dapat didasarkan melalui dua hal yaitu perjanjian (ius contractus) dan undang-undang

(ius delicto).41

Timbulnya hubungan hukum antara dokter-pasien di rumah sakit berdasarkan perjanjian mulai terjadi saat pasien datang ke rumah sakit dan dimulainya suatu anamnesa42 dan pemeriksaan oleh dokter.Datangnya pasien ke rumah sakit secara yuridis dapat dikonstuksikan bahwa pasien telah mengadakan penawaran (offer, aanbod) untuk mengadakan sebuah perjanjian penyembuhan atau transaksi terapeutik.Apa bila dokter telah mengadakan anamnesa dan memeriksa lebih lanjut kemudian dilakukan diagnosa.43Berdasarkan hasil diagnosa tersebut dokter akan

40

Bandingkan dengan pendapat Kartini Mulyadi. 2003. Dalam bukunya yang berjudul Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian (Seri Hukum Perikatan). RajaGrafindo Persada, Jakarta. Hlm. 1

41

Guwandi. 2003. Dokter, Pasien, dan Hukum. Fakultas kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Hlm. 11

42

Menurut Ilmu Kedokteran “anamnesis” adalah suatu tehnik pemeriksaan yang dilakukan lewat suatu percakapan antara seorang dokter dengan pasiennya secara langsung atau dengan orang lain yang mengetahui tentang kondisi pasien, untuk mendapatkan data pasien beserta permasalahan medisnya.Tujuan pertama “anamnesis” adalah memperoleh data atau informasi tentang permasalahan yang sedang dialami atau dirasakan oleh pasien. Apabila “anamnesis” dilakukan dengan cermat maka informasi yang didapatkan akan sangat berharga bagi penegakan diagnosis, bahkan tidak jarang hanya dari anamnesis saja seorang dokter sudah dapat menegakkan diagnosis. Secara umum sekitar 60-70% kemungkinan diagnosis yang benar sudah dapat ditegakkan hanya dengan anamnesis yang benar.Tujuan berikutnya dari anamnesis adalah untuk membangun hubungan yang baik antara seorang dokter dan pasiennya.

43

Diagnosa atau diagnosis menurut Daldiono. 2006. Dalam bukunya yang berjudul Bagaimana Dokter Berfikir dan Bekerja. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hlm. Disebutkan bahwa diagnosis adalah istilah yang menunjuk pada nama penyakit yang ada pada pasien yang perlu dirumuskan (ditentukan) oleh dokter.


(50)

menentukan terapi apa yang terbaik buat pasien, dan kondisi demikian juga ditawarkan kembali kepada pasien. Apabila pasien menerima dan menyetujui apa yang dikemukakan melalui penjelasan dokter, maka dalam hal ini pasein secara yuridis sudah melakukan penerimaan (acceptance, aanvarding).

Adanya penawaran dan penerimaan tersebut yang pada akhirnya melahirkan persetujuan(consensual, agreement), maka pasien-dokter dan rumah sakit harus saling percaya (fiduciary) satu sama lain untuk melaksanakan sebuah perjanjian atau transaksi terapeutik. Dikarenakan transaksi terapeutik merupakan sebuah perjanjian atau kontrak maka secara yuridis harus memenuhi syarat sahnya perjanjian yang tertuang dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak (toesteming), kecakapan membuat perjanjian (bekwaamheid), suatu hal tertantu (bepaald onderwerp)

dan suatu kausa yang halal (geoorloofde oozaak).Pasal 1321 KUHPerdata menegaskan bahwa yang dimaksud dengan kesepakatan adalah tidak adanya kekhilafan atau kesesatan (dwaling), paksaan atau tekanan (dwang) dan penipuan (bedrog) dan penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden).44

Adanya persetujuan tersebut melahirkan sebuah perikatan yang dalam literatur hukum kesehatan perikatannya adalah jenis perikatan usaha atau upaya untuk menemukan alternatif terapi yang tepat dan dilakukan secara cermat dan hati-hati (met zorg en inspaning), sehingga lahirlah hubungan perjanjian inspanningsverbintenis. Di

44

Penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) dalam perkembangan hukum perjanjian telah dimasukkan dalam salah satu alasan pembatalan perjanjian, yang dalam hukum Anglosaxon dikenal dengan doktrin undue influence.Penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden dibedakan dalam dua hal, yaitu: penyalahgunaan keunggulan ekonomi (misalnya bank dengan nasabah) dan penyalahgunaan keunggulan kejiwaan (misalnya hubungan dokter-pasien). Bandingkan H.P.Panggabean. 2010 dalam bukunya:“Penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) Sebagai Alasan Baru Untuk Pembatalan Perjanjian”. Prodeo et Patria, Jakarta. Hlm. 39-52


(1)

khusus sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365, 1366, 1367 KUHPerdata. Seperti kerugian secara ekonomis, misalnya biaya pengobatan di rumah sakit, luka atau cacat terhadap tubuh korban, adanya rasa sakit secara fisik, sakit secara mental, seperti stress, cemas dan berbagai gangguan mental lainnya. Dalam konteks ini juga dikenal bentuk ganti rugi aktual dan ganti rugi yang berhubungan dengan tekanan mental (immateriil). Pemberian ganti rugi pada prinsipnya dapat diselesaikan melalui pengadilan dan dapat dimusyawarahkan melalui mediasi sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 29 UU No.36 Tahun 2009.

B.Saran

1. Hendaknya dalam pelayanan medik di rumah sakit, dokter, tenaga kesehatan dan rumah sakit harus memahami kedudukannya secara hukum dalam memberikan pelayanan kepada pasien. Secara hukum pasien harus diposisikan sebagai subyek hukum yang mandiri yang harus diberikan informasi secara memadai sesuai dengan prinsip-prinsip yang terdapat dalam informed consent.

2. Kewajiban rumah sakit membuat aturan secara limitatif dalam sebuah hospital by law, tentang hak dan kewajiban dokter serta tenaga kesehatan lainnya terutama ketika melakukan tindakan medik.

3. Rumah sakit hendaknya lebih mengefektifkan penyelesaian sengketa medik melalui mediasi, sehingga untuk memperhitungkan ganti kerugian akibat kelalaian oleh tenaga kesehatan dapat diselesaikan secara win-win solution.


(2)

97

4. Hendaknya Persatuan Rumah Sakit Daerah (Persada) Propinsi Lampung dan Ikatan Dokter Indonesia Propinsi Lampung selalu mengadakan sosialisasi kepada para anggotanya tentang pertanggungjawaban tenaga medik yang berada di rumah sakit.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A.Teeuw. 1991. Kamus Indonesia-Belanda (Indonesisch-Nederlands Woordenboek). PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Adami Chazawi. 2007. Malpraktik Kedokteran (Tinjauan Norma dan Doktrin Hukum). Bayumedia Publishing, Malang.

Agus Yudha Hernoko. 2010. Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial. Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Andi Hamzah. 1996. Kamus Hukum. Ghalia, Jakarta.

Azrul Azwar. 2004. Pengantar Administrasi Kesehatan. Binarupa Aksara, Jakarta.

Benyamin Lumenta. 1989. Hospital, Citra, Peran dan Fungsi (Tinjauan Fenomena Sosial). Kanisius, Yogyakarta.

Budi Sampurno. 2011. Kompendium Hukum Kesehatan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementrin Hukum dan HAM RI, Jakarta.

Charles Sharpe, 1999, Nursing Malpractice Liability and Risk Management, An Imprint of Greenwood Publishing Group Inc, USA.

Christdiono M. Achadiat, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam Tantangan Zaman, 2004, Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.

Daldiono. 2006. Bagaimana Dokter Berfikir dan Bekerja. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Eddy Hiariej. 2009. Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana. Erlangga, Jakarta.

Endang Wahyati Yustina. 2012. Mengenal Hukum Rumah Sakit. Keni Media, Bandung.

Guwandi. 2003. Dokter, Pasien, dan Hukum. Fakultas kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Guwandi. 2007. A Concise Glossary of Medical Law Terms (Landmark Decisions), Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.


(4)

99

Guwandi. 2007. Hukum Medik (Medical Law). Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Guwandi. 2010. Sekitar Gugatan Malpraktik Medik. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Guwandi. 2011. Hukum Rumah Sakit dan Corporate Liability. Fakultas Kedikteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Henry Campbell Black. 2004. Black’s Law Dictionary. By West Piblishing Co, USA.

Hermien Hadiati Koeswadji. 1998. Hukum Kedokteran (Studi Tentang Hubungan Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Hermin Hediati Koeswadji. 1992. Beberapa Permasalahan Hukum dan Medik. Citra Aditya Bakti, Bandung.

J.H. King. 1986. The Law of Medical Malpractice in a Nutshell, West Publishing Co. St. Paul Minn.

Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat. 2010. Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik. Nuasa, Bandung.

Kartini Mulyadi. 2003. Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian (Seri Hukum Perikatan). RajaGrafindo Persada, Jakarta.

M. Fakih. 2012. Aspek Keperdataan dalam Pelaksanaan Tugas Tenaga Keperawatan di Bidang Pelayanan Kesehatan di Provinsi Lampung. Tesis Program Doktor (S3) UGM, Yogyakarta.

Peter Mahmud Marzuki. 2006. Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Margaret Brazier dan Emma Cave. 2007. Medicine Patients and The Law. Fully Revised Fourth Edition, Publishe by Penguin Group, London.

Mariam darus Badrulzaman. 1996. KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan. Alumni, Bandung.

Moegni Djojodirdjo. 1982. Perbuatan Melawan Hukum. Pradnya Paramita, Jakarta.

Munir Fuadi. 2005. Sumpah Hippocrates (Aspek Hukum Malpraktik Dokter). PT Citra Aditya Bakti, Bandung.


(5)

Munir Fuady. 2010. Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer). Citra Aditya Bakti, Bandung.

Oemar Seno Adji. 1991. Profesi Dokter. Erlangga Jakarta.

Panggabean. 2010. Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van Omstandigheden) Sebagai Alasan Baru Untuk Pembatalan Perjanjian”. Prodeo et Patria, Jakarta.

Purwahid Patrik . 1990. Perkembangan Tanggung Gugat Resiko Dalam Perbuatan Melawan Hukum. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Pada Fakultas Hukum Undip Semarang 5 Mei 1990.

Rosa Agustina. 2003. Perbuatan Melawan Hukum (Onrechtmatige Daad). Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.

Rosalia Sciortino. 2008. Perawat Puskesmas, di antara Pengobatan dan Perawatan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Salim HS. 2003. Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat. Sinar Grafika, Jakarta.

Sari Murti Widiastuti, 2007, Penjelasan Pers Atas Konsistensi Asas Pertanggungjawaban Perdata dalam Hukum Khusus Terhadap Asas Pertanggungjawaban Perdata dalam Hukum Umum, Ringkasan Disertasi Untuk Ujian Promosi Doktor dari Dewan Penguji Sekolah Pasca Sarjana UGM.

Siti Ismijati Jenie. 1994. Berbagai Aspek Yuridis Di Dalam dan di Sekitar Perjanjian Penyembuhan (Transaksi Terapeutik) Suatu Tinjauan Keperdataan. Makalah disampaikan Pada Penataran Dosen Hukum Perdata Fakutas Hukum UGM tanggal 1-13 Agustur 1994, Yogyakarta.

Siti Sumarti Hartono, 1992, Penuntun dalam Mempelajari Hukum Perdata Belanda, Bagian Umum, Liberty, Yogyakarta.

Soetrisno. 2010. Malpraktik Medik dan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa. Telaga Ilmu Indonesia, Tangerang Banten.

Sofwan Dahlan. 2014. Malpraktik dan Tanggung Jawab Korporasi. Makalah disampaikan dalam Rangka Kongres Internasional Hukum Kedokteran di Nusa Dua Bali tanggal 21-24 Agustus 2014.

Sudarmono. 2000. Reformasi Perumahsakitan Indonesia. Bagian Penyusunan Program dan Laporan (Ditjen Yanmed Depkes RI-WHO), Jakarta.


(6)

101

Syahrul Machmud. 2008. Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter yang Diduga Melakukan Medikal Malpraktik. Mandar Maju, Bandung.

Veronica Komalawati. 1989. Hukum dan Etika dalam Praktik Dokter. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.