PERBEDAAN EFEK PEMBERIAN LENDIR BEKICOT (Achatina fulica) DAN GEL BIOPLACENTON™ TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA BERSIH PADA TIKUS PUTIH

(1)

commit to user

PERBEDAAN EFEK PEMBERIAN LENDIR BEKICOT

(Achatina fulica) DAN GEL BIOPLACENTON™ TERHADAP

PENYEMBUHAN LUKA BERSIH PADA TIKUS PUTIH

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Sinta Prastiana Dewi G0007157

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2010


(2)

commit to user PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi dengan Judul : Perbedaan Efek Pemberian Lendir Bekicot

(Achatina fulica) dan Gel Bioplacenton™ terhadap

Penyembuhan Luka Bersih pada Tikus Putih

Sinta Prastiana Dewi, NIM : G0007157, Tahun: 2010

Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada Hari Senin , Tanggal 8 November 2010

Pembimbing Utama

Nama : Nur Hafidha Hikmayani, dr., M. Clin.Epid

NIP : 0976.12.25.2005.01.2.001 ( ______________________ )

Pembimbing Pendamping

Nama : Endang Ediningsih, dr., MKK

NIP : 1953.08.05.1987.02.0.001 ( ______________________ )

Penguji Utama

Nama : Muchsin Doewes, DR., dr., MARS

NIP : 1948.05.31.1976.03.1.001 ( ______________________ )

Penguji Pendamping

Nama : Budiyanti Wiboworini, dr., Sp.GK,. M.Kes

NIP : 1965.07.15.1997.02.2.001 ( ______________________ )

Surakarta,

Ketua Tim Skripsi Dekan FK UNS

Muthmainah, dr., M.Kes Prof.DR.A.A.Subijanto, dr., MS. NIP: 196607021998022001 NIP: 194811071973101003


(3)

commit to user ABSTRAK

Sinta Prastiana Dewi, G0007157, 2010. Perbedaan Efek Pemberian Lendir

Bekicot (Acha tina fulica) dan Gel Bioplacenton terhadap Penyembuhan Luka Bersih pada Tikus Putih, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Tujuan Penelitian : Untuk mengetahui adakah perbedaan efek pemberian lendir

bekicot (Acha tina fulica) dan gel bioplacenton terhadap penyembuhan luka bersih pada tikus putih.

Metode Penelitian : Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorikdengan the

post test only control group design. Hewan uji menggunakan 27 ekor tikus putih

strain Wistar jantan dibagi dalam 3 kelompok yaitu kelompok K (-), P, dan K (+).

Pada semua kelompok dibuat luka bersih pada bagian punggung. Luka pada kelompok K (-) tidak diberikan apa-apa, luka pada kelompok P diberikan lendir bekicot, dan luka pada kelompok K (+) diberikan gel bioplacenton. Pemberian lendir bekicot dan gel bioplacenton dilakukan dua kali sehari selama empat hari. Pada hari kelima tikus putih dikorbankan dan diambil jaringan lukanya untuk pembuatan preparat. Penyembuhan luka diamati dengan menghitung jumlah sel fibroblas. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan One Wa y ANOVA

menggunakan program SPSS for Windows Relea se 17.

Hasil Penelitian : Pada penelitian ini diperoleh jumlah rata-rata sel fibroblas pada

kelompok K(-) sebesar 312,33, kelompok P 488,88, dan kelompok K (+) sebesar 466. Hasil uji statistik One Wa y Anova menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara ketiga kelompok penelitian dengan p = 0,006 (p<0,050). Hasil uji statistik LSD juga menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kelompok K (-) dengan K (+) dan kelompok K (-) dengan P.

Simpulan Penelitian : Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa

pemberian lendir bekicot maupun gel bioplacenton menimbulkan efek yang sama pada penyembuhan luka.


(4)

commit to user ABSTRACT

Sinta Prastiana Dewi, G0007157, 2010. The Different Effect between Using

Land Snails’ (Acha tina fulica) Mucus and Bioplacenton Gel on Wound Healing in Mice, Faculty of Medicine, Sebelas Maret University, Surakarta.

Objective : This experiment was aimed to study the different effect between

using land snails’ (Acha tina fulica) mucus and bioplacenton gel on wound healing in mice.

Method : The study is an experimental research with the post test only control

group design. The subjects were 27 Swiss Wista r strain male mice that were divided into 3 groups; group of K(-), P, and K(+). The wounds were made in the back of all mice. The group of K(-) was not given any substance. The group of P was given land snails’ mucus. The group of K(-) was given bioplacenton gel. Bioplacenton gel and mucus of land snail were given twice per day during 1st – 4th day. On the 5th day, the mice were killed for histological study. The wound healing was observed by counting the number of fibroblast. Statistical analysis of the data was performed with SPSS for Windows Relea se 17.

Result : The data showed that average number of fibroblast in group K(-) 312,33,

group P 488,88, and group K(+) 466. The results of One Wa y ANOVA statistical test showed a significant difference among the three study groups p = 0,006 (p <0,050). The results of LSD test also showed a significant differences between group of K(-) with K(+) and group of K(-) and P.

Conclusion : From this experiment, it is concluded that the mucus of land snail

(Acha tina fulica) and bioplacenton gel can accelerate wound healing process on

mice with the same accelerating effect.


(5)

commit to user DAFTAR ISI

PRAKATA ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 3

C. Tujuan Penelitian ... ... 3

D. Manfaat Penelitian ... ... 3

BAB II. LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka ... ... 5

1. Bekicot ... 5

a. Taksonomi ... 5

b. Nama lokal ... 6

c. Morfologi ... 6

d. Asal-usul ... 7

e. Habitat dan daerah distribusi ... 7


(6)

commit to user

2. Luka (Vulnus) ... 9

a. Trauma fisik ... 9

b. Trauma kimiawi ... 9

c. Trauma termis ... 9

d. Trauma elektris ... 10

4. Proses penyembuhan luka ... 13

a. Hemostasis ... 14

b. Inflamasi ... 15

c. Proliferasi dan granulasi ... 16

d. Remodelling dan maturasi ... 20

5. Bioplacenton ... 20

B. Kerangka Pemikiran ...22

C. Hipotesis ... ... 23

BAB III. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ...24

B. Lokasi dan Waktu Penelitian ...24

C. Subjek Penelitian ... 24

D. Teknik Sampling ...25

E. Rancangan Penelitian ... 25

F. Identifikasi Variabel Penelitian ... 27


(7)

commit to user

H. Instrumentasi dan Bahan Penelitian ...31

I. Cara Kerja... ... 32

J. Teknik Analisis Data ... 34

BAB IV. HASIL PENELITIAN ... 35

A. Hasil Penelitian ... 36

B. Analisis Data ... 38

BAB V. PEMBAHASAN ... ... 41

BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 46

B. Saran ... ... 46

DAFTAR PUSTAKA...47


(8)

commit to user DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Rata-Rata Jumlah Sel Fibroblas…… ... 36

Tabel 4.2 Hasil Uji One Wa y Anova antara Ketiga Kelompok... 39


(9)

commit to user DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Morfologi bekicot (Acha tina fulica) ... 6

Gambar 4.1 Histogram Perbedaan Rata-Rata Jumlah Fibroblas... 37

Gambar 4.2 Pengamatan Mikroskopis Sel Fibroblas Menggunakan Mikroskop


(10)

commit to user DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Jadwal Penelitian

Lampiran 2. Tabel Hasil Hitung Inti Sel Fibroblas

Lampiran 3. Hasil Uji Statistik dengan Program SPSS For Windows Relea se 17


(11)

commit to user

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Segala aktivitas dalam kehidupan sehari-hari dapat menimbulkan risiko timbulnya luka pada tubuh. Luka atau vulnus adalah putusnya kontinuitas kulit dan jaringan di bawah kulit oleh karena trauma (Sutawijaya, 2009). Proses yang kemudian terjadi pada jaringan yang rusak tersebut ialah penyembuhan luka yang dapat dibagi dalam empat fase yaitu hemostasis, inflamasi, proliferasi atau granulasi, dan fase remodeling (Sjamsuhidajat dan de Jong, 1997).

Menurut Taqwim et a l. (2009), Penyembuhan luka merupakan proses alamiah dari tubuh, namun seringkali dilakukan pemberian obat-obatan untuk mempercepat proses penyembuhan luka. Obat-obatan untuk memulihkan dan mempertahankan kesehatan, khususnya yang berhubungan dengan penyembuhan luka, saat ini dirasakan relatif mahal. Selain itu, dengan adanya resistensi antibiotika pada bakteri dan efek samping yang berat pada beberapa obat-obatan sintesis menjadi alasan tersendiri untuk mengalihkan perhatian pada terapi alternatif.

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terbesar di dunia, dengan julukan mega diversity. Keanekaragaman hayati ini dapat dilihat dalam berbagai macam tumbuhan yang secara tradisional dapat digunakan untuk menyembuhkan berbagai


(12)

commit to user

macam penyakit (Kotijah, 2009), salah satunya adalah penggunaan topikal lendir bekicot (Achatina fulica) pada luka eksternal. Lendir bekicot (Acha tina

fulica) memiliki kandungan glikosaminoglikan yang berperan dalam proses

penyembuhan luka (Kim et a l., 1996).

Pemanfaatan dan pengembangan obat tradisional di berbagai daerah di Indonesia merupakan warisan yang turun-temurun berdasarkan pengalaman. Menurut Sari (2006), saat ini banyak orang yang mencari alternatif lain yang lebih murah dengan beralih ke obat tradisional yang berasal dari alam sekitar dengan alasan harga dan bahan yang lebih mudah terjangkau. Masyarakat di perkotaan bisa mendapatkan berbagai jenis obat modern dengan mudah karena fasilitas yang cukup lengkap, sedangkan masyarakat desa terpencil tidak dapat tergantung sepenuhnya pada obat modern karena faktor geografis yang tidak memungkinkan ketersediaan obat-obatan tersebut. Penggunaan obat-obatan modern dalam bentuk obat topikal untuk penyembuhan luka eksternal banyak terjadi di pasaran di antaranya adalah bioplacenton. Bioplacenton adalah merek dagang sebuah obat yang mengandung neomisin sulfat 0,5% dan ekstrak plasenta 10% (Santoso, 2009).

Berdasarkan penelitian sebelumnya, dikatakan bahwa hasil penelitian yang dilakukan oleh Priosoeyanto (2005) yang dikutip dalam Graha Cendekia, membuktikan lendir Bekicot atau Acha tina fulica mampu menyembuhkan luka bersih dua kali lebih cepat dari pada luka yang diberi larutan normal saline (Graha Cendikia, 2009).


(13)

commit to user

Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk meneliti perbedaan efek dari pemberian lendir bekicot (Acha tina fulica) dan pemberian gel bioplacenton terhadap penyembuhan luka. Hasil dari penelitian ini akan diamati secara histologis.

B.Perumusan Masalah

Adakah perbedaan efek pemberian topikal lendir bekicot (Acha tina fulica) dan gel bioplacenton terhadap penyembuhan luka bersih pada tikus putih?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui perbedaan efek pemberian topikal lendir bekicot

(Acha tina fulica) dan gel bioplacenton terhadap penyembuhan luka bersih

pada tikus putih.

D. Manfaat Penelitian

1. Aspek teoritis

Penelitian ini dapat menambah pengetahuan tentang perbedaan efek lendir bekicot (Acha tina fulica) dan gel bioplacenton dalam penyembuhan luka bersih pada tikus putih

2. Aspek aplikatif

Diharapkan hasil penelitian memberikan tambahan pengetahuan mengenai perbedaan efek pemberian topikal lendir bekicot (Acha tina


(14)

commit to user

putih, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai acuan penelitian selanjutnya dengan metode yang lebih baik atau pada tingkat hewan coba yang lebih tinggi.


(15)

commit to user BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Bekicot (Achatina fulica)

Bekicot termasuk golongan hewan lunak (mollusca) yang termasuk dalam kelas ga stropoda. Badannya lunak dan dilindungi oleh cangkang yang keras. Jenis hewan ini tersebar di laut, air tawar, dan daratan yang lembab (Intergrated Taxonomic Information System, 2004).

a. Taksonomi

Menurut Integrated Taxonomic Information System (2004), taksonomi bekicot adalah sebagai berikut:

Filum : Mollusca

Kelas : Ga stropoda

Ordo : Stylomma tophora

Famili : Acha tinida e

Sub famili : Acha tinina e

Genus : Acha tina

Subgenus : Lissa chatina


(16)

commit to user

b. Nama Lokal

Indonesia : bekicot Inggris : la nd snail

(Berbudi, 2010) c. Morfologi

Bekicot (Acha tina fulica) memiliki sebuah cangkang sempit berbentuk kerucut yang panjangnya dua kali lebar tubuhnya dan terdiri dari tujuh sampai sembilan ruas lingkaran ketika umurnya telah dewasa. Cangkang bekicot umumnya memiliki warna cokelat kemerahan dengan corak vertikal berwarna kuning tetapi pewarnaan dari spesies tersebut tergantung pada keadaan lingkungan dan jenis makanan yang dikonsumsi. Bekicot dewasa panjangnya dapat melampaui 20 cm tetapi rata-rata panjangnya sekitar 5-10 cm. Sedangkan berat rata-rata bekicot kurang lebih adalah 32 gram (Cooling, 2005). Skema morfologi bekicot dapat dilihat di Gambar 1.

Bekicot lebih memilih memakan tumbuh-tumbuhan yang busuk, hewan, lumut, jamur, dan alga. Bekicot juga dapat menyebabkan kerusakan yang serius pada tanaman pangan dan tanaman hias (Neehall, 2004).


(17)

commit to user

d. Asal-Usul

Bekicot berasal dari pesisir timur Afrika (Raunt dan Baker, 2002). Di beberapa wilayah di Eropa, Asia, dan Afrika, bekicot dijadikan sebagai makanan, yang dikenal sebagai esca rgot di Perancis dan

ca ra cois di Portugal. Spesies bekicot yang banyak terdapat di Eropa

adalah Helix pomatia yang disebut Burgundy snail dan Helix a spersa

yang disebut Europa n brown garden snail. Spesies yang banyak tersebar di Asia dan Afrika, khususnya Indonesia adalah Acha tina

fulica (Cooper, 1992).

e. Habitat dan daerah distribusi

Negara-negara dimana terdapat bekicot (Acha tina fulica) memiliki iklim tropis yang hangat, suhu ringan sepanjang tahun, dan tingkat kelembaban yang tinggi (Venette dan Larson, 2004). Spesies ini dapat hidup di daerah pertanian, wilayah pesisir dan lahan basah, hutan alami, semak belukar, dan daerah perkotaan. Bekicot dapat hidup secara liar di hutan maupun di perkebunan atau tempat budidaya (Raut dan Barker, 2002). Untuk bertahan hidup, bekicot perlu temperatur di atas titik beku sepanjang tahun dan kelembaban yang tinggi di sepanjang tahun. Pada musim kemarau, bekicot menjadi tidak aktif atau dorman untuk menghindari sinar matahari (Venette dan Larson 2004). Bekicot

(Acha tina fulica) tetap aktif pada suhu 9°C hingga 29°C, bertahan pada

suhu 2°C dengan cara hibernasi, dan pada suhu 30°C dengan keadaan dorman (Smith dan Fowler, 2003).


(18)

commit to user

f. Sifat dan khasiat bekicot

Bekicot dikatakan mempunyai banyak manfaatnya dari daging hingga ke lendirnya. Bekicot merupakan sumber protein hewani yang bermutu tinggi karena mengandung asam-asam amino esensial yang lengkap di samping mempunyai kandungan zat besi yang tinggi (Udofia, 2009).

Lendir bekicot mengandung glikokonjugat kompleks, yaitu glikosaminoglikan dan proteoglikan. Molekul-molekul tersebut terutama disusun dari gula sulfat atau karbohidrat, protein globuler terlarut, asam urat, dan oligoelemen (tembaga, seng, kalsium, dan besi). Glikosaminoglikan yang terisolasi dari bekicot (Achatina fulica) ini terkait dengan golongan heparin dan heparin sulfat. Glikosaminoglikan dan proteoglikan merupakan pengontrol aktif fungsi sel, berperan pada interaksi matriks sel, proliferasi fibroblas, spesialisasi, dan migrasi, serta secara efektif mengontrol fenotip seluler. Glikokonjugat utama pada lendir bekicot yaitu glikosaminoglikan disekresi oleh granula-granula yang terdapat di dalam tubuh bekicot dan terletak di permukaan luar. Lendir bekicot juga mengikat kation divales seperti tembaga (II) yang dapat mempercepat proses angiogenesis yang secara tidak langsung mempengaruhi kecepatan penyembuhan luka (Kim et a l., 1996; Sen et a l., 2002).


(19)

commit to user 2. Luka (Vulnus)

Luka atau vulnus adalah putusnya keseimbangan kulit dan jaringan di bawah kulit oleh karena trauma (Sutawijaya, 2009).Penyebab luka adalah trauma yang dapat berupa:

a. Trauma fisik

Trauma fisik ini dapat disebabkan oleh banyak hal, di antaranya: 1) Benda tajam

2) Benturan benda tumpul 3) Kecelakaan

4) Tembakan 5) Gigitan binatang

Trauma fisik ini menyebabkan timbulnya bermacam-macam luka.

b. Trauma kimiawi

Trauma kimiawi ini biasanya terjadi karena tersiram oleh zat-zat kimia.

c. Trauma termis

Trauma termis ini bisa jadi disebabkan beberapa hal di antaranya: 1) Air panas

2) Uap air

3) Kena api atau terbakar 4) Listrik


(20)

commit to user

d. Trauma elektris

Trauma elektris ini bisa jadi disebabkan beberapa hal, diantaranya: 1) Listrik

2) Petir

Trauma kimiawi, termis, dan elektris ini menimbulkan luka bakar (combustio) (Sutawijaya, 2009).

Menurut Sutawijaya (2009), luka dibagi 2 jenis, yakni: a. Luka tertutup

Luka ini adalah luka di mana kulit korban tetap utuh dan tidak ada hubungan antara jaringan di bawah kulit dengan dunia luar, jadi kerusakannya diakibatkan trauma benda tumpul. Luka tertutup yang dikenal umumnya adalah luka memar yang dapat digolongkan dalam 2 jenis yakni:

1) Kontusio, di mana kerusakan jaringan di bawah kulit yang mana dari luar hanya tampak sebagai benjolan.

2) Hematoma, di mana kerusakan jaringan di bawah kulit disertai perdarahan sehingga dari luar tampak kebiruan (Sutawijaya, 2009). b. Luka terbuka

Luka terbuka adalah luka di mana kulit atau jaringan di bawah kulit mengalami kerusakan. Penyebab luka ini adalah karena terkena benda tajam, tembakan, atau benturan keras dari benda tumpul pada kecelakaan lalu lintas. Macam-macam luka terbuka, di antaranya adalah:


(21)

commit to user

1) Luka lecet (ekskoriasi)

Yang dimaksud luka lecet ini adalah apabila permukaan kulit terkelupas akibat pergeseran dengan benda yang keras dan kasar (Sutawijaya, 2009).

2) Luka gigitan (vulnus ma rsum)

Luka ini biasanya ditimbulkan akibat gigitan binatang seperti anjing, kucing, harimau, beruang, dan lain-lain (Sutawijaya, 2009).

3) Luka iris / sayat (vulnus scisum)

Luka ini biasanya ditimbulkan oleh irisan benda yang bertepi tajam: seperti pisau, silet, parang, dan sejenisnya. Luka yang timbul biasanya akan berbentuk memanjang, tepi luka berbentuk lurus, akan tetapi jaringan kulit di sekitar luka tidak mengalami kerusakan (Sutawijaya, 2009).

4) Luka bacok (vulnus ca esum)

Luka bacok pada umumnya diakibatkan kecelakaan lalu lintas atau kecelakaan lain. Tepi luka berupa garis yang tidak teratur dan jaringan kulit di sekitar luka ikut mengalami kerusakan (Sutawijaya, 2009).

5) Luka robek (vulnus traumaticus)

Luka robek ini biasanya merupakan luka yang disebabkan oleh benda berujung runcing, mulut luka lebih sempit dibandingkan ukuran dalamnya. Tepi luka biasanya ikut


(22)

commit to user

terdorong masuk ke dalam luka, misalnya tusukan pisau, menginjak paku, dan lain sebagainya (Sutawijaya, 2009). 6) Luka tembak (vulnus sclopetinus)

Luka ini ditimbulkan oleh tembakan peluru (timah panas). Kulit yang kena luka tembak biasanya akan terasa terbakar. Menurut Sutawijaya (2009), jenis luka tembak ini ada dua macam, yakni:

a) Mengeram (vulnus penetrans) b) Menembus (vulnus perfora ntes) 7) Luka hancur (vulnus la cerum)

Luka ini biasanya disebabkan oleh kecelakaan yang berat. Bentuk luka ini tidak teratur dan mengenai permukaan yang luas (Sutawijaya, 2009).

8) Luka bakar

Luka bakar dapat ditimbulkan oleh panas (api, air panas, matahari, arus listrik, dan sebagainya) atau oleh zat-zat kimia (asam atau basa keras). Setiap luka bakar yang luas dapat diikuti dengan syok. Syok terjadi karena cairan tubuh sebagian besar mengalir ke daerah yang terbakar, sehingga volume darah yang mengalir ke otak dan jantung berkurang (Sutawijaya, 2009)

.

Vulnus harus dibedakan dari ulkus. Ulkus adalah luka terbuka pada permukaan kulit atau mukosa yang terjadi akibat kematian jaringan yang luas dan disertai invasif kuman saprofit. Adanya kuman saprofit tersebut


(23)

commit to user

menyebabkan ulkus berbau. Ulkus bisa mengakibatkan hilangnya lapisan dari epidermis, bagian dari dermis, dna bahkan lemak subkutan. Suatu ulkus yang muncul pada kulit sering terlihat sebagai jaringan yang meradang luas dan warnanya memerah (Darmansjah, 2009).

3. Proses penyembuhan luka

Pada saat sel dan jaringan sedang mengalami cedera, terjadi peristiwa perusakan sekaligus penyiapan sel yang bertahan hidup untuk melakukan replikasi. Berbagai rangsang yang menginduksi kematian beberapa sel dapat memicu pengaktifan jalur replikasi pada sel lainnya; sel radang yang direkrut tidak hanya membersihkan debris nekrotik, tetapi juga menghasilkan mediator yang merangsang sintesis matriks ekstraselular yang baru. Oleh karena itu, menurut Cotran dan Mitchell (2007a), pada proses peradangan, pemulihan dimulai sangat dini dan melibatkan dua proses yang sangat berbeda:

a. Regenerasi jaringan yang mengalami jejas oleh sel parenkim dari jenis yang sama.

b. Penggantian oleh jaringan ikat (fibrosis), yang menimbulkan suatu jaringan parut.

Pemulihan jaringan (penyembuhan) umumnya melibatkan kombinasi kedua proses. Regenerasi dan pembentukan jaringan parut juga melibatkan mekanisme yang serupa, yaitu migrasi, proliferasi, dan diferensiasi sel, serta sintesis matriks (Cotran dan Mitchell, 2007a). Oleh karena itu, walaupun keempat fase utama dalam mekanisme penyembuhan luka, yaitu


(24)

commit to user

fase hemostasis, inflamasi, proliferasi atau granulasi, dan fase remodeling

atau maturasi, dijelaskan secara terpisah pada pembahasan selanjutnya, kenyataannya keempat fase tersebut saling berkesinambungan dan tumpang-tindih antara satu fase ke fase lainnya.

1) Hemostasis

Segera setelah terjadinya luka, pembuluh darah yang putus mengalami konstriksi dan retraksi (spasme vaskuler) disertai reaksi hemostasis. Fase hemostasis terjadi karena trombosit yang keluar dari pembuluh darah saling melengket (membentuk sumbat trombosit), dan bersama dengan jala fibrin yang terbentuk membekukan darah yang keluar dari pembuluh darah (Guyton dan Hall, 1997; Sherwood, 2001).

Pembentukan bekuan (koagulasi darah) memperkuat sumbat trombosit dan mengubah darah di sekitar tempat cedera menjadi suatu gel yang tidak mengalir. Sebagian besar faktor yang diperlukan untuk pembekuan darah selalu terdapat di dalam plasma dalam bentuk prekursor inaktif. Sewaktu pembuluh mengalami cedera, kolagen yang terpapar kemudian mengawali reaksi berjenjang yang melibatkan suksesif faktor-faktor pembekuan tersebut, yang akhirnya mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Fibrin, suatu molekul berbentuk benang yang tidak larut, ditebarkan membentuk jaringan bekuan; jaring ini kemudian menangkap sel-sel darah dan menyempurnakan pembentukan bekuan. Darah yang telah keluar ke dalam jaringan juga mengalami koagulasi setelah bertemu dengan tromboplastin jaringan,


(25)

commit to user

yang juga memungkinkan terjadinya proses pembekuan. Jika tidak lagi diperlukan, bekuan darah dilarutkan oleh plasmin, suatu faktor fibrinolitik yang juga diaktifkan apabila berkontak dengan kolagen (Sherwood, 2001).

Komponen hemostasis akan melepaskan dan mengaktifkan sitokin yang meliputi faktor pertumbuhan epidermis (epiderma l growth fa ctor,

EGF), faktor pertumbuhan mirip insulin (insulin-like growth fa ctor, IGF), faktor pertumbuhan yang berasal dari trombosit (pla telet-derived

growth fa ctor, PDGF), dan faktor pertumbuhan β yang bertransformasi

(beta transforming growth fa ctor, TGF-β). yang berperan untuk

terjadinya kemotaksis neutrofil, makrofag, mast sel, sel endotelial dan fibroblas. Fibroblas ini nantinya akan membentuk jaringan parut dalam proses penyembuhan luka. Bersamaan dengan ini terjadi pula fase inflamasi. Fase ini berlangsung sejak terjadinya luka hingga 4-5 hari (Guyton dan Hall, 1997; Sherwood, 2001).

2) Inflamasi

Fase inflamasi berlangsung sejak terjadinya luka sampai kira-kira hari kelima. Pembuluh darah yang terputus pada luka akan menyebabkan perdarahan dan tubuh akan berusaha menghentikannya dengan vasokonstriksi, pengerutan ujung pembuluh yang putus (retraksi), dan reaksi hemostasis. Hemostasis terjadi karena trombosit yang keluar dari pembuluh darah saling melengket, dan bersama jala fibrin yang terbentuk membekukan darah yang keluar dari pembuluh


(26)

commit to user

darah. Sementara itu terjadi reaksi inflamasi (Sjamsuhidajat dan de Jong, 1997).

Sel mast dalam jaringan ikat menghasilkan serotonin dan histamin yang meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga terjadi eksudasi cairan, penyebukan sel radang, disertai vasodilatasi setempat yang menyebabkan udem dan pembengkakan. Tanda dan gejala klinik reaksi radang menjadi jelas berupa warna kemerahan karena kapiler melebar (rubor), suhu hangat (kalor), rasa nyeri (dolor), dan pembengkakan (tumor) (Sjamsuhidajat dan de Jong, 1997).

Aktivitas seluler yang terjadi adalah pergerakkan leukosit menembus dinding pembuluh darah (diapedesis) menuju luka karena daya kemotaksis. Leukosit mengeluarkan enzim hidrolitik yang membantu mencerna bakteri dan kotoran luka. Limfosit dan monosit yang kemudian muncul ikut menghancurkan dan memakan kotoran luka dan bakteri ini (fagositosis). Fase ini disebut juga fase lamban karena reaksi pembentukan kolagen baru sedikit dan luka hanya dipertautkan oleh fibrin yang amat lemah (Sjamsuhidajat dan de Jong, 1997).

3) Proliferasi atau granulasi

Proliferasi sel secara umumnya dapat dirangsang oleh faktor pertumbuhan intrinsik, jejas, kematian sel, atau bahkan oleh deformasi mekanis jaringan. Sel yang sedang berproliferasi berkembang melalui serangkaian tempat dan fase yang sudah ditentukan yang disebut siklus


(27)

commit to user

sel. Siklus sel tersebut terdiri atas (secara berurutan) fase pertumbuhan prasintesis 1, atau G1; fase sintesis DNA, atau S; fase pertumbuhan pramitosis 2, atau G2; dan fase mitosis, atau M. Sel istirahat berada dalam keadaan fisiologis yang disebut G0 (Cotran dan Mitchell, 2007a).

Pemulihan jaringan yang cedera dilakukan dengan pemusnahan dan pembuangan jaringan yang rusak (melalui proses peradangan yang telah disebutkan di atas), regenerasi sel atau pembentukan jaringan granulasi. Siklus sel terdiri dari fase G1 (prasintesis), S (sintesis DNA), G2 (pramitosis), dan M (mitosis). Sel-sel inaktif yang berada dalam keadaan fisiologik disebut G0. Meskipun sebagian besar jaringan tersusun terutama dari sel-sel dalam G0 (yang secara berkala memasuki siklus sel), terdapat juga kombinasi sel yang selali membelah, sel-sel yang mengadakan diferensiasi akhir, dan sel-sel-sel-sel induk. Menurut Cotran dan Mitchell (2008), jaringan tubuh dibagi menjadi tiga kelompok menurut kemampuan proliferasinya:

1) Sel yang terus-menerus membelah (labil): sel-sel ini merupakan sel-sel yang beregenerasi dengan cepat dengan cara berproliferasi sepanjang hidupnya dan menggantikan sel-sel yang rusak (misalnya, sel-sel epitel permukaan dan sel-sel hematopoisis sumsum tulang). Sel ini mempunyai fase G0 (fase istirahat) yang singkat. Biasanya, sel-sel matur berasal dari sel-sel induk dengan kemampuan yang tidak terbatas untuk beregenerasi dan dengan


(28)

commit to user

kemampuan yang beragam untuk berdiferensiasi (Cotran dan Mitchell, 2008).

2) Sel inaktif (stabil): Sel-sel tersebut berada pada fase G0 pada waktu yang lama tetapi mempunyai kemampuan untuk masuk siklus mitosis sel di mana dibutuhkan. Sel-sel ini normalnya terlibat dalam proses replikasi tingkat rendah karena mempunyai kapasitas regenerasi terbatas, tetapi mampu melakukan pembelahan cepat ketika merespons rangsangan (misalnya, sel-sel hati, ginjal, fibroblast, otot polos, dan sel-sel endotel) (Cotran dan Mitchell, 2008).

3) Sel yang tidak membelah (permanen): sel-sel ini tidak dapat melakukan pembelahan dalam kehidupan pasca kelahiran (misalnya: sel-sel neuron, otot skeletal, dan otot jantung). Tidak terjadi regenerasi sehingga kerusakan sel permanen merupakan kelainan ireversibel dan bilamana luas akan mengakibatkan gangguan fungsional permanen (Cotran dan Mitchell, 2008).

Jejas jaringan berat atau menetap yang disertai kerusakan pada sel parenkim dan kerangka stroma menimbulkan suatu keadaan yang pemulihannya tidak dapat dilaksanakan melalui regenerasi parenkim saja. Dalam kondisi seperti ini, pemulihan terjadi melalui penggantian sel parenkim nonregeneratif oleh jaringan ikat. Terdapat tiga komponen umum proses ini (Cotran dan Mitchell, 2007b):


(29)

commit to user

b) Migrasi dan proliferasi fibroblas. c) Deposisi matriks ekstraselular.

Pemulihan dimulai dalam waktu 24 jam setelah jejas melalui emigrasi fibroblas dan induksi proliferasi fibroblas dan sel endotel. Rekrutmen dan stimulasi fibroblas dikendalikan oleh banyak faktor pertumbuhan, meliputi PDGF, faktor pertumbuhan fibroblas dasar

(ba sa l fibrobla st growth fa ctor, bFGF), dan TGF-β. Sumber dari

berbagai faktor ini antara lain: endotel teraktivasi dan sel radang terutama sel makrofag (Cotran dan Mitchell, 2007b).

Dalam tiga sampai lima hari, muncul jenis jaringan khusus yang mencirikan terjadinya penyembuhan, yang disebut jaringan granulasi. Gambaran makroskopisnya adalah berwarna merah muda, lembut, dan bergranula, seperti yang terlihat di bawah keropeng pada luka kulit. Gambaran histologisnya ditandai dengan proliferasi fibroblas dan kapiler baru yang halus dan berdinding tipis di dalam matriks ekstraselular yang longgar (Cotran dan Mitchell, 2007b). Pada awal penyembuhan, fibroblas mempunyai kemampuan kontraktil dan disebut miofibroblas, yang mengakibatkan tepi luka akan tertarik dan kemudian mendekat, sehingga kedua tepi luka akan melekat. Dengan berlangsungnya penyembuhan, maka fibroblas bertambah. Sel ini menghasilkan kolagen, sehingga jaringan granulasi yang kemudian akan mengumpulkan matriks jaringan ikat secara progresif, akhirnya akan menghasilkan fibrosis padat


(30)

commit to user

(pembentukan jaringan parut kolagen), yang dapat melakukan

remodeling lebih lanjut sesuai perjalanan waktu (Cotran dan

Mitchell, 2007b)

4) Remodeling atau maturasi

Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri dari penyerapan kembali jaringan yang berlebih, pengerutan sesuai dengan gaya gravitasi, dan akhirnya perupaan kembali jaringan yang baru terbentuk. Fase ini dapat berlangsung berbulan-bulan dan dinyatakan berakhir apabila semua tanda radang sudah lenyap. Tubuh berusaha menormalkan kembali semua yang menjadi abnormal karena proses penyembuhan. Edema dan sel radang diserap, sel muda menjadi matang, kapiler baru menutup dan diserap kembali, kolagen yang berlebih diserap dan sisanya mengerut sesuai dengan regangan yang ada. Selama proses ini dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis, dan lemas serta mudah digerakkan dari dasar. Pengerutan maksimal terlihat pada luka. Pada akhir fase ini, perupaan luka kulit mampu menahan regangan kira-kira 80 % kemampuan kulit normal. Hal ini tercapai kira-kira tiga sampai enam bulan setelah penyembuhan (Sjamsuhidajat dan de Jong, 1997).

4. Bioplacenton

Bioplacenton merupakan sebuah obat topikal berbentuk gel yang dikemas dalam tube. Bioplacenton memiliki kandungan neomisin sulfat 0,5% dan ekstrak plasenta 10%. Ekstrak plasenta yang terdapat


(31)

commit to user

pada bahan ini dapat menstimulasi terjadinya regenerasi sel, sedangkan neomisin sulfat dapat berperan sebagai bakteriosid. Indikasi digunakannya bioplacenton adalah luka bakar, ulkus kronis, luka yang lama sembuh dan terdapat granulasi, ulkus dekubistus, eksim pioderma, impetigo, furunkolosis dan infeksi kulit lainnya (Kalbe Farma, 2010).


(32)

commit to user B. Kerangka Pemikiran


(33)

commit to user

Keterangan :

1 : Mencegah infeksi

2 : Membantu pembentukan ikatan silang kolagen 3 : Merangsang rekrutman sel radang

4 : Pembentukan pembuluh darah baru 5 : Aktivasi fibroblas

6 : Memudahkan komponen peradangan sampai ke tempat jejas dan stimulasi peradangan lokal

7 : Mempercepat angiogenesis

C. Hipotesis

Pemberian topikal lendir bekicot (Acha tina fulica) menyebabkan efek yang berbeda pada penyembuhan luka bersih pada tikus putih jika dibandingkan dengan pemberian gel bioplacenton.


(34)

commit to user BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan the post test

only control group design.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biokimia dan Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta pada bulan Mei 2010.

C. Subjek Penelitian

Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih (Ra ttus

norvegicus) galur Wistar kelamin jantan umur 3 bulan dengan berat 200-300

gram. Besar sampel yang digunakan sebesar dua puluh tujuh (27) ekor tikus putih. Sampel sebesar 27 ekor tikus, dihitung berdasarkan rumus Federer yaitu ( t-1 ) ( n-1 ) ≥ 15 dimana t = banyaknya kelompok mencit dan n = jumlah tikus untuk tiap kelompok (Purawisastra, 2001).

(t-1) (n-1) ≥ 15

↔ (3-1) (n-1) ≥ 15

↔ 2 (n-1) ≥ 15

↔ 2n – 2 ≥ 15

↔ 2n ≥ 17


(35)

commit to user

Jadi didapatkan jumlah sampel adalah > 8.5 tiap kelompok. Pada penelitian ini digunakan 9 ekor tikus putih untuk setiap kelompok sehingga memenuhi syarat dalam banyaknya sampel yang digunakan. Sampel pada penelitian ini ditentukan dengan kriteria-kriteria tertentu seperti memilih tikus yang mempunyai umur dan berat badan yang sama, sehat, tidak cacat, dan berjenis kelamin jantan. Sampel dipilih sesuai kriteria subjek penelitian dan dikelompokkan ke dalam tiga kelompok secara acak.

Peneliti membagi sampel menjadi 3 kelompok di mana tiap kelompok terdapat 9 tikus putih sehingga dalam penelitian ini membutuhkan 27 tikus putih dari populasi yang ada. Pembagian tersebut dilakukan secara random dengan cara pengundian. Peneliti menambahkan 10% dari jumlah populasi yaitu satu ekor pada tiap-tiap kelompok sebagai objek cadangan. Kelompok K (-) adalah kelompok kontrol, di mana tikus yang dilukai tidak diberi lendir bekicot maupun gel bioplacenton. Kelompok P adalah kelompok tikus yang dilukai dan diberi lendir bekicot. Sedangkan kelompok K (+) adalah kelompok tikus yang dilukai dan diberi perlakuan kontrol berupa gel bioplacenton.

D. Teknik Sampling

Teknik sampling yang digunakan adalah ra ndom purposive sa mpling, yaitu pemilihan subjek berdasarkan ciri-ciri yang sudah diketahui sebelumnya (Galloway, 1997).


(36)

commit to user E. Rancangan penelitian

Rancangan penelitian ini adalah the post test only control group design.

Gambar 3.1 Skema Rancangan Penelitian

Keterangan:

K (-) = Kontrol negatif , tikus yang dicukur punggungnya, lalu di di olesi alkohol 70%, lalu dilukai berbentuk lingkaran dengan diameter 1 cmdan dibiarkan.

P = Kontrol negatif , tikus yang dicukur punggungnya, lalu diolesi alkohol 70%, lalu dilukai berbentuk lingkaran dengan diameter 1 cm, lalu diolesi lendir bekicot pada luka dan ditutup dengan plester. K (+) = Kontrol negatif , tikus yang dicukur punggungnya, lalu diolesi alkohol 70%, lalu dilukai berbentuk lingkaran dengan diameter 1 cm lalu diolesi bioplacenton pada luka dan ditutup dengan plester. HK (-) = Pengamatan hasil penyembuhan luka pada kelompok K(-) HP = Pengamatan hasil penyembuhan luka pada kelompok P HK (+) =Pengamatan hasil penyembuhan luka pada kelompok K(+)

Sampel Tikus 27

ekor

K(-) HK (-)

K (+) HK (+)

Bandingkan dengan uji

statistik


(37)

commit to user F. Identifikasi variabel penelitian

1. Variabel bebas :

a. Pemberian lendir bekicot (Acha tina fulica) b. Pemberian gel bioplacenton

2. Variabel terikat : Proses penyembuhan luka 3. Variabel perancu

a. Variabel perancu terkendali 1) Genetik

2) Jenis kelamin 3) Umur

4) Berat badan

5) Makanan dan minuman yang dikonsumsi objek penelitian 6) Kemungkinan terjadinya infeksi

b. Variabel perancu tak terkendali

1) Makanan dan minuman yang dikonsumsi bekicot (Acha tina

fulica).

2) Kondisi psikologis tikus.

3) Sistem imunitas masing-masing tikus 4) Koagulopati


(38)

commit to user G. Definisi Operasional Variabel

1. Variabel bebas:

a. Pemberian lendir bekicot (Acha tina fulica)

Lendir bekicot adalah lendir yang didapatkan dari bekicot hidup yang dipecahkan cangkangnya lalu ditampung di tempat yang steril. Lendir bekicot dioleskan secukupnya dengan cotton bud ke seluruh luka kemudian dilihat kecepatan perkembangan penyembuhan luka dengan cara diamati secara histologis. Lendir bekicot dioleskan setiap plester diganti, yaitu dua kali sehari. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala nominal.

b. Pemberian gel bioplacenton

Bioplacenton merupakan salah satu sediaan salep. Komposisinya terdiri dari neomisin sulfat 0,5% dan ekstrak plasenta 10% (Santoso, 2009). Pada penelitian ini bioplacenton dioleskan secukupnya dan secara merata pada luka sebanyak dua kali sehari dengan jumlah secukupnya. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala nominal.

2. Variabel terikat

Proses penyembuhan luka adalah tahapan atau waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan luka tubuh menjadi pulih seperti semula. Proses penyembuhan luka dilihat sampai fase proliferasi atau granulasi yaitu terjadi sekitar hari ke lima setelah terbentuknya luka tanpa diberikan perlakuan. Fase proliferasi atau granulasi ditandai dengan munculnya


(39)

commit to user

jaringan baru berwarna merah muda secara makroskopis yang tersusun oleh proliferasi sel-sel fibroblast dan angiogenesis (Keast dan Orsted, 2009; Cotran dan Mitchell, 2007b; Sjamsuhidajat dan de Jong, 1997). Skala pengukuran yang digunakan adalah skala numerik untuk perhitungan sel-sel fibroblas.

3. Variabel luar terkendali a. Genetik

Subjek penelitian yang digunakan adalah tikus putih (Ra ttus

norvegicus) galur Wistar. Walaupun tidak dapat dikendalikan secara

mutlak tetapi dapat diatasi dengan pemilihan galur yang sama, serta dilakukan randomisasi sehingga faktor genetik dapat dikatakan homogen.

b. Jenis kelamin

Tikus putih yang digunakan sebagai objek penelitian adalah tikus putih dengan kelamin jantan dengan harapan sampelnya homogeny dan keadaan biologisnya lebih stabil. Pemilihan ini dilakukan untuk menghindari adanya pengaruh hormon esterogen yang mungkin terjadi, yakni keadaan seperti siklus menstruasi dan kehamilan.

c. Umur

Untuk membuat sampel homogeny, tikus putih yang digunakan adalah tikus putih dengan umur kurang lebih tiga bulan.

d. Berat badan


(40)

commit to user

e. Makanan dan minuman subjek penelitian

Tikus putih diberikan makanan berupa pellet dan minuman air PAM secara a d libitum. Tiap kandang diberikan makanan sebanyak 25 gram per hari dan minuman sebanyak ± 220 ml per hari.

f. Infeksi

Disterilkan dengan alkohol 70 % serta dilakukan penutupan terhadap luka dengan menggunakan plester steril. Masing-masing tikus ditempatkan di kandang yang berbeda untuk menjaga sanitasi serta mencegah terjadinya infeksi.

4. Variabel luar tak terkendali

a. Makanan dan minuman yang dikonsumsi bekicot (Acha tina fulica) Makanan dan minuman yang dikonsumsi bekicot tidak dapat dikendalikan karena bekicot hidup liar di alam bebas.

b. Kondisi psikologis tikus

Kondisi psikologis tikus akibat perlakuan dapat mempengaruhi kelancaran penelitian. Untuk mengatasinya, tikus tersebut diadaptasi selama beberapa hari lalu kondisi kandang dibuat nyaman, cukup makan, cukup minum, dan pencahayaan yang cukup.

c. Sistem imunitas dari masing-masing tikus.

Sistem imun tubuh, akan menghambat dan mengubah reaksi tubuh terhadap luka, kematian jaringan, dan adanya infeksi. Oleh karena itu pada penelitian ini dipilih sampel yang sehat.


(41)

commit to user

d. Koagulopati

Koagulopati, merupakan gangguan pembekuan darah yang bisa menghambat penyembuhan luka. Kelainan bawaan tikus yang tidak dapat dikendalikan dan sulit dideteksi secara dini membutuhkan pemeriksaan terlebih dahulu.

H. Instrumentasi dan Bahan Penelitian

1. Alat-alat yang digunakan a. Klem

b. Gunting

c. Syringe (3 mL) steril sekali pakai

d. Jarum (0.5 x 25 mm) sekali pakai e. Sarung tangan steril

f. Pisau cukur

g. Plester luka (3 x 6 cm) h. Penggaris dan pena i. Wadah steril 2. Bahan yang digunakan

a. Anastesi (lidokain 2%) b. Alkohol 70 %

c. Tikus (Ra ttus norvegicus) Strain Wistar kelamin jantan dengan umur 3 bulan dengan berat 200-300 gram


(42)

commit to user

e. Makanan hewan percobaan (pelet) f. Air PAM

I. Cara Kerja

1. Penyediaan Lendir Bekicot:

Bekicot hidup dibersihkan dengan air mengalir kemudian dikeringkan. Setelah itu cangkang bekicot disterilkan dengan alkohol 70%. Ujung cangkang dipecahkan kemudian lendir yang mengalir ditampung ke dalam wadah steril.

2. Percobaan:

Dilakukan adaptasi terhadap tikus di Laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta selama 5 hari dan dilakukan pengelompokkan dengan teknik randomisasi menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok tikus kontrol negatif [K (-)], kelompok tikus percobaan (P), dan kelompok tikus kontrol positif [K(+)] di mana masing-masing kelompok terdiri dari sembilan tikus. Selama percobaan, ketiga kelompok tikus diberi makan pelet dan minuman dari air PAM secara a d

libitum.

Sebelum memulai percobaan, siapkan syringe dengan 2 mL lidokain 2 % untuk anestesi. Cukur bersih bagian belakang tikus dengan menggunakan pisau cukur dan diberi tanda berbentuk lingkaran dengan ukuran diameter 1 cm. Sterilisasi dilakukan dengan mengoleskan alkohol 70% pada bagian tersebut. Ambil syringe yang telah disiapkan, kemudian


(43)

commit to user

injeksikan pada tikus putih secara intra kutan. Tikus diletakkan kembali ke kandang supaya tidak gelisah. Tunggu kira-kira 5-10 menit agar efek anastesi bekerja dan dilakukan pengecekkan terhadap efek anestesi tikus dengan cara memberikan rangsang sakit pada daerah yang dianestesi. Apabila efek anestesi telah bekerja, kulit bagian belakang tikus dicubit dengan klem dan digunting berbentuk lingkaran dengan ukuran diameter 1 cm. Pada tikus kelompok K(-), luka ditutup dengan plester luka. Sementara pada kelompok tikus P, oleskan lendir bekicot dengan cotton bud pada luka sebelum luka ditutup dengan plester luka. Lalu kelompok tikus K(+) diolesi dengan gel bioplacenton dan ditutup dengan plester luka. Kemudian ketiga kelompok tikus dimasukkan kembali ke kandang masing-masing.

Setiap hari plester luka diganti dan amati luka pada tikus. Pada tikus kelompok P, oleskan lagi lendir bekicot setiap kali mengganti plester luka. Begitu juga dengan kelompok K(+) yang diolesi gel bioplacenton setiap kali mengganti plester luka. Plester luka, lendir bekicot, dan gel bioplacenton tidak lagi diberikan setelah terbentuk jaringan granulasi. Jaringan granulasi akan terbentuk pada hari ketiga sampai kelima, maka pada hari kelima dilakukan pembuatan preparat histologis dari jaringan tubuh yang mengalami perlukaan.

3. Pengamatan dan penilaian:

Pengamatan dan penilaian terhadap penyembuhan luka dilakukan pada hari kelima (fase granulasi atau fase proliferasi) setelah terbentuknya luka


(44)

commit to user

dengan cara dibuat menjadi sediaan histologis. Pada hari kelima setelah perlakuan diberikan, semua hewan percobaan dikorbankan dengan cara

cervica l dislocation. Kemudian organ hepar diambil untuk selanjutnya

dibuat preparat histologi dengan metode blok paraffin dengan pengecatan HE. Dari 27 hewan coba yang ada dibuat 3-4 preparat untuk masing-masing hewan coba. Pengamatan preparat dengan pembesaran 1000 kali untuk mengamati jumlah fibroblas yang tampak, kemudian fibroblas dihitung dalam empat lapang pandang yang berbeda. Hasil yang diperoleh dari empat lapang pandang tersebut kemudian dijumlah dan selanjutnya dibandingkan kelompok lainnya dengan uji Onewa y ANOVA. Jika terdapat perbedaan yang bermakna maka dilanjutkan dengan uji Post Hoc. Fase proliferasi atau granulasi ditandai dengan munculnya jaringan baru berwarna pink secara makroskopis yang tersusun oleh proliferasi sel-sel fibroblast dan angiogenesis (Keast dan Orsted, 2009; Mitchell dan Cotran, 2007b; Sjamsuhidajat dan de Jong, 1997).

J. Teknik analisis data

Data yang diperoleh diuji normalitasnya menggunakan uji Shapiro-Wilk

karena besar sampel ≤ 50 dan p-va lue > 0,05. Kemudian, dilakukan uji varians menggunakan Levene’s test. Uji hipotesis menggunakan uji One wa y

ANOVA (Ana lysis of Va riance) untuk mengetahui adanya perbedaan jumlah

sel fibroblas antara kelompok K (-), kelompok P, dan kelompok K (+). Dengan syarat skala variabel dependen berupa skala numerik, distribusi data normal, dan varians data harus sama (p> 0,05). Jika terdapat perbedaan


(45)

commit to user

bermakna maka dilanjutkan dengan uji LSD (Lea st Significant Difference)

dengan derajat kemaknaan α = 0,05 untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan mean di antara tiga kelompok. Data diolah dengan program komputer Statistica l Product and Service Solutions (SPSS) 17.0 for Windows.


(46)

commit to user BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Hasil Penelitian

Data hasil penelitian berupa jumlah sel fibroblas pada preparat histologis yang berasal dari luka yang dibuat pada tikus putih yang selama empat hari berturut-turut telah menerima perlakuan. Jumlah sel fibroblas dihitung pada empat lapang pandang berbeda dengan menggunakan mikroskop dengan perbesaran 1000 kali. Preparat tersebut dibuat pada hari kelima setelah pembuatan luka dilakukan. Jumlah sel fibroblas dihitung dengan karakteristik berbentuk stelata untuk fibroblas yang masih muda, maupun berbentuk bulat untuk fibroblas yang sudah aktif menghasilkan serabut-serabut fibrin.

Hasil pengamatan jumlah sel fibroblas untuk masing-masing kelompok akan disajikan dalam tabel berikut ini:

Tabel 4.1 Rata-Rata Jumlah Sel Fibroblas yang Diperoleh dari 4 Lapang

Pandang untuk Masing-Masing Kelompok Percobaan

Kelompok Mean Standar Deviasi

K (-) (tanpa pemberian obat) 312.33 107.16576

P (lendir bekicot) 488.88 100.03000


(47)

commit to user

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa jumlah fibroblas pada kelompok kontrol negatif K (-) mempunyai rata-rata sebesar 312,33. Pada kelompok perlakuan (P) yang diberikan lendir bekicot (Acha tina fulica) secara topikal selama 4 hari berturut-turut memiliki jumlah rata-rata sel fibroblas yang lebih besar yaitu 488,88. Sedangkan pada kelompok kontrol positif K (+) yang diberikan gel bioplacenton selama 4 hari berturut-turut memiliki rata-rata jumlah sel fibroblas yang lebih besar dari kelompok K (-) namun lebih kecil dari kelompok P yaitu 466. Untuk melihat lebih jelas perbedaan dari rata-rata inti sel tersebut dapat dilihat pada grafik di bawah ini:

Gambar 4.1 Histogram Perbedaan Rata-Rata Jumlah Fibroblas

Rata-rata jumlah sel fibroblas yang terbesar adalah pada kelompok perlakuan P dan yang terkecil adalah pada kelompok kontrol negatif K (-).

0 100 200 300 400 500 600

K (-) P K (+)

Jumlah rata-rata sel fibroblas


(48)

commit to user

Gambar 4.2 Pengamatan Mikroskopis Sel fibroblas menggunakan

Mikroskop dengan Perbesaran 1000x

B. Analisis Data

Data tersebut kemudian diuji normalitas data dengan menggunakan

uji Shapiro Wilk. Uji ini bertujuan menguji apakah sebaran data yang ada

dalam distribusi normal atau tidak. Pada uji one sampel Shapiro Wilk

didapatkan nilai signifikansi pada data jumlah sel fibroblas K (-) sebesar 0,138, K (+) I 0,733, dan P 0,138. Nilai-nilai ini kemudian dibandingkan

dengan α = 0,05, sehingga signifikasi (p>0,05) dengan demikian Ho diterima,

yang artinya data berdistribusi normal. Kemudian, dilakukan uji homogenitas menggunakan Levene’s test dan didapatkan nilai p = 0,633 (p>0,05) untuk data jumlah sel fibroblas, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan varians antara kelompok yang dibandingkan (varians data homogen). Oleh karena data telah berdistribusi normal dan varians data homogen, analisis data diputuskan menggunakan uji One Wa y Anova.

Uji One Wa y Anova dengan tingkat signifikansi 5% (α = 0,05)

dilakukan untuk membandingkan jumlah sel fibroblas antara ketiga kelompok penelitian ini. Pada uji One Wa y Anova didapatkan nilai signifikansi jumlah


(49)

commit to user

sel fibroblas 0,006 dimana signifikasi p<0,05, sehingga Ho ditolak, yang artinya data diantara ketiga kelompok dalam penelitian ini terdapat perbedaan yang signifikan, dimana Ho adalah data diantara ketiga kelompok tidak terdapat perbedaan yang signifikan.

Tabel 4.2 Hasil Uji One Wa y Anova antara Ketiga Kelompok

Variabel (dependen) p Pengambilan keputusan

Jumlah sel Fibroblas 0,006 (p<0,05) Ho ditolak à signifikan

Untuk mengetahui letak hubungan efektivitas dari ketiga kelompok tersebut selanjutnya dilakukan Post Hoc Test dengan uji LSD. Rekap pengujian selengkapnya disajikan dalam tabel-tabel berikut ini:

Tabel 4.3 Hasil Uji Post Hoc Test LSD Jumlah Sel Fibroblas

No. Pasangan kelompok Signifikansi Simpulan

1. K(-) – K(+) 0,003 Berbeda signifikan

2. K(-) – P 0,009 Berbeda signifikan

3. K(+) – P 0,676 Tidak signifikan

Pada tabel tersebut terlihat perbedaan jumlah rata-rata jumlah sel fibroblas yang signifikan antara kelompok kontrol negatif K (-) jika dibandingkan dengan kelompok lainnya, yaitu pada kelompok perlakukan P dengan nilai signifikansi 0,009, kelompok kontrol positif K (+) 0,003.


(50)

commit to user

Sedangkan antara kelompok kontrol positif K (+) dan kelompok P tidak ditemukan nilai signifikansi yang signifikan yaitu 0,676.


(51)

commit to user BAB V

PEMBAHASAN

Pengamatan pada penelitian ini adalah perbandingan antara efek pemberian topikal lendir bekicot (Acha tina fulica) dengan gel bioplacenton terhadap kecepatan penyembuhan luka bersih pada tikus putih. Hal ini dilihat dari banyaknya jumlah sel fibroblas pada preparat histologis yang diambil dari perlukaan pada tikus putih. Pada tabel 4.1 dapat dilihat kelompok K (-) memiliki jumlah sel fibroblas yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan kelompok P dan K (+). Pemberian lendir bekicot (Acha tina fulica) dan gel bioplacenton menyebabkan perbedaan efek penyembuhan luka yang ditandai oleh adanya penambahan jumlah sel fibroblas. Hal ini terjadi karena lendir bekicot (Acha tina

fulica) mengandung zat heparan sulfat yang dapat mengaktivasi proliferasi

fibroblas (Kim et a l., 1996; Sen et a l., 2002). Sedangkan dikutip dari Kalbe Farma (2010), gel bioplacenton mengandung ekstrak plasenta sehingga mempercepat proliferasi sel-sel pada proses penyembuhan luka, termasuk fibroblas. Jumlah sel fibroblas diamati dengan menghitung sel fibroblas pada empat lapang pandang berbeda, baik fibroblas aktif yang berbentuk bulat dan diameter besar, maupun fibroblas muda yang berbentuk stelat. Dari pengamatan tersebut, lapang pandang dengan sel-sel fibroblas yang aktif (berbentuk bulat) memiliki lapisan benang-benang fibrin yang lebih tebal dibandingkan dengan lapang pandang dengan sel-sel fibroblas muda yang berbentuk stelat.


(52)

commit to user

Pengamatan pada penelitian ini dilakukan pada hari kelima di mana diperkirakan sudah terjadi proliferasi fibroblas. Kelemahan pada penelitian ini adalah pengamatan hanya dilakukan pada sebuah titik waktu, yaitu pada hari kelima sehingga jumlah fibroblas yang didapatkan belum tentu terdapat pada angka maksimal. Pada penelitian yang dilakukan oleh Nuryana, Suryadi, dan Harijadi (2007), kelompok peneliti mengamati percepatan penyembuhan luka pada mencit yang diberikan ekstrak umbi teki (Cyperus rotundus) dan pemberian ekstrak plasenta serta neomisin sulfat sebagai kontrol negatif. Kelompok peneliti melakukan pengamatan pada hari ke tiga, tujuh, dan duabelas. Hal-hal yang diamati pada penelitian tersebut adalah jumlah fibroblas, jumlah sel leukosit PMN, jumlah pembuluh darah baru, ketebalan lapisan epitel, dan kepadatan serabut kolagen. Banyakya titik waktu dan hal yang diamati pada penelitian tersebut membuat penelitian tersebut semakin baik.

Pada penelitian yang dilakukan oleh peneliti, dilakukan pengamatan pada jumlah fibroblas karena jumlah fibroblas dapat dianggap sebagai parameter penyembuhan luka.

Data hasil perhitungan dianalisis dengan menggunakan uji One Wa y Anova

dan apabila terdapat perbedaan yang signifikan dilanjutkan dengan uji LSD. Hasil

uji One Wa y Anova menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara ketiga

kelompok perlakuan (p<0,05). Hasil uji LSD menunjukkan perbedaan yang bermakna antara kelompok K (-) – K (+) dan K (-) - P. Sedangkan tidak terdapat perbedaan signifikan antara kelompok K (+) – P. Hasil uji LSD antara kelompok K (-) (tidak diberikan apa-apa) dengan kelompok K (+) (diberikan gel


(53)

commit to user

bioplacenton selama 4 hari berturut-turut) menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna. Perbedaan ini disebabkan karena terdapat rata-rata jumlah sel fibroblas yang lebih besar pada kelompok K (+). Dari gambar 4.1 dapat dilihat rata-rata jumlah sel fibroblas pada kelompok kontrol sebesar 312,33 dan pada kelompok K (+) sebesar 466. Menurut de Jong (1997), proses penyembuhan yang terjadi pada jaringan yang rusak dapat dibagi menjadi fase hemostasis, inflamasi, proliferasi, dan granulasi. Penggunaan gel bioplacenton sebagai obat luka pada tikus putih dapat membantu proses proliferasi yang merupakan proses penting pada penyembuhan luka sehingga pada pengamatan didapatkan hasil yang bermakna. Hasil uji LSD antara kelompok K (-) (tidak diberikan apa-apa) dengan kelompok P (diberikan lendir bekicot selama 4 hari berturut-turut) menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna. Perbedaan ini disebabkan karena terdapat rata-rata jumlah sel fibroblas yang lebih besar pada kelompok P. Dari gambar 4.1 dapat dilihat rata-rata jumlah sel fibroblas pada kelompok kontrol sebesar 312,33 dan pada kelompok P sebesar 488.88. Menurut Kim et a l. (1996), lendir bekicot

(Acha tina fulica) memiliki kandungan glikokonjugat kompleks, yaitu

glikosaminoglikan dan proteoglikan. Glikosaminoglikan dan proteoglikan merupakan pengontrol aktif fungsi sel dan berperan dalam proliferasi fibroblas. Hasil uji LSD antara kelompok P dengan kelompok K (+) menunjukkan adanya perbedaan yang tidak bermakna. Pada tabel 4.1 tertera bahwa rata-rata jumlah sel fibroblas pada kelompok P adalah 488,88 sedangkan rata-rata jumlah sel fibroblas pada kelompok K (+) adalah 466. Rata-rata jumlah sel fibroblas pada kelompok P lebih besar dari rata-rata jumlah sel fibroblas pada kelompok K (+),


(54)

commit to user

namun menurut uji LSD perbedaan antar kedua kelompok tersebut tidak signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok K (+) dan kelompok P dalam mempercepat penyembuhan luka. Perlakuan yang diberikan pada kelompok P dan kelompok K (+), yaitu pemberian lendir bekicot (Acha tina fulica) dan pemberian gel bioplacenton, sama-sama mengandung zat yang dapat mempercepat penyembuhan luka meskipun tingkat efektivitas lendir bekicot sedikit lebih tinggi dibandingkan tingkat efektivitas gel bioplacenton. Hal ini berdasarkan atas lebih banyaknya jumlah fibroblas pada pengamatan kelompok P dibandingkan pengamatan pada kelompok K (+) meskipun jumlahnya tidak berbeda signifikan.

Penelitian ini dikatakan berhasil karena melalui pengamatan mikroskopis, telah terjadi proliferasi fibroblas pada hari kelima. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Priosoeyanto (2005), yang dikutip melalui Graha Cendekia pada tahun 2009. Penelitian Priosoeyanto (2005) membuktikan bahwa lendir bekicot (Acha tina fulica) mampu menyembuhkan luka dua kali lebih cepat dari pada luka yang diberi larutan normal saline.

Dari hasil dan analisis data yang dilakukan pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian lendir bekicot atau gel bioplacenton secara topikal dapat memberikan efek pada penyembuhan luka pada tikus putih yang ditandai oleh penambahan jumlah fibroblas yang lebih banyak. Pemberian lendir bekicot memiliki efek yang sama jika dibandingkan dengan pemberian gel bioplacenton pada penyembuhan luka.


(55)

commit to user

Penelitian selanjutnya diharapkan dapat menggunakan metode-metode yang lebih baik sehingga didapatkan hasil penyembuhan luka yang paling sempurna. Selain itu pengamatan pada penelitian selanjutnya diharapkan dapat dilakukan dibeberapa titik waktu dan pada parameter kecepatan penyembuhan luka yang lainnya.


(56)

commit to user

46

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Pemberian lendir bekicot (Achatina fulica) dan gel bioplacenton memiliki

efek yang sama dalam penyembuhan luka ditinjau dari jumlah sel fibroblas yang dihasilkan.

B. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada tingkatan hewan coba yang lebih tinggi sehingga semakin mendekati aplikasi pada pengobatan manusia.

2. Pada penelitian lebih lanjut disarankan untuk membagi kelompok hewan coba menjadi beberapa sub-kelompok hewan coba sehingga pengamatan dapat dilakukan di beberapa titik waktu.

3. Pada penelitian selanjutnya sebaiknya terdapat penambahan indikator penyembuhan luka lainnya selain jumlah fibroblas, misalnya jumlah sel leukosit PMN, jumlah pembuluh darah baru, ketebalan lapisan epitel dan menilai kepadatan serabut kolagen.


(1)

commit to user

BAB V PEMBAHASAN

Pengamatan pada penelitian ini adalah perbandingan antara efek pemberian topikal lendir bekicot (Acha tina fulica) dengan gel bioplacenton terhadap kecepatan penyembuhan luka bersih pada tikus putih. Hal ini dilihat dari banyaknya jumlah sel fibroblas pada preparat histologis yang diambil dari perlukaan pada tikus putih. Pada tabel 4.1 dapat dilihat kelompok K (-) memiliki jumlah sel fibroblas yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan kelompok P dan K (+). Pemberian lendir bekicot (Acha tina fulica) dan gel bioplacenton menyebabkan perbedaan efek penyembuhan luka yang ditandai oleh adanya penambahan jumlah sel fibroblas. Hal ini terjadi karena lendir bekicot (Acha tina

fulica) mengandung zat heparan sulfat yang dapat mengaktivasi proliferasi

fibroblas (Kim et a l., 1996; Sen et a l., 2002). Sedangkan dikutip dari Kalbe Farma (2010), gel bioplacenton mengandung ekstrak plasenta sehingga mempercepat proliferasi sel-sel pada proses penyembuhan luka, termasuk fibroblas. Jumlah sel fibroblas diamati dengan menghitung sel fibroblas pada empat lapang pandang berbeda, baik fibroblas aktif yang berbentuk bulat dan diameter besar, maupun fibroblas muda yang berbentuk stelat. Dari pengamatan tersebut, lapang pandang dengan sel-sel fibroblas yang aktif (berbentuk bulat) memiliki lapisan benang-benang fibrin yang lebih tebal dibandingkan dengan lapang pandang dengan sel-sel fibroblas muda yang berbentuk stelat.


(2)

commit to user

Pengamatan pada penelitian ini dilakukan pada hari kelima di mana diperkirakan sudah terjadi proliferasi fibroblas. Kelemahan pada penelitian ini adalah pengamatan hanya dilakukan pada sebuah titik waktu, yaitu pada hari kelima sehingga jumlah fibroblas yang didapatkan belum tentu terdapat pada angka maksimal. Pada penelitian yang dilakukan oleh Nuryana, Suryadi, dan Harijadi (2007), kelompok peneliti mengamati percepatan penyembuhan luka pada mencit yang diberikan ekstrak umbi teki (Cyperus rotundus) dan pemberian ekstrak plasenta serta neomisin sulfat sebagai kontrol negatif. Kelompok peneliti melakukan pengamatan pada hari ke tiga, tujuh, dan duabelas. Hal-hal yang diamati pada penelitian tersebut adalah jumlah fibroblas, jumlah sel leukosit PMN, jumlah pembuluh darah baru, ketebalan lapisan epitel, dan kepadatan serabut kolagen. Banyakya titik waktu dan hal yang diamati pada penelitian tersebut membuat penelitian tersebut semakin baik.

Pada penelitian yang dilakukan oleh peneliti, dilakukan pengamatan pada jumlah fibroblas karena jumlah fibroblas dapat dianggap sebagai parameter penyembuhan luka.

Data hasil perhitungan dianalisis dengan menggunakan uji One Wa y Anova

dan apabila terdapat perbedaan yang signifikan dilanjutkan dengan uji LSD. Hasil

uji One Wa y Anova menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara ketiga

kelompok perlakuan (p<0,05). Hasil uji LSD menunjukkan perbedaan yang bermakna antara kelompok K (-) – K (+) dan K (-) - P. Sedangkan tidak terdapat perbedaan signifikan antara kelompok K (+) – P. Hasil uji LSD antara kelompok K (-) (tidak diberikan apa-apa) dengan kelompok K (+) (diberikan gel


(3)

commit to user

bioplacenton selama 4 hari berturut-turut) menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna. Perbedaan ini disebabkan karena terdapat rata-rata jumlah sel fibroblas yang lebih besar pada kelompok K (+). Dari gambar 4.1 dapat dilihat rata-rata jumlah sel fibroblas pada kelompok kontrol sebesar 312,33 dan pada kelompok K (+) sebesar 466. Menurut de Jong (1997), proses penyembuhan yang terjadi pada jaringan yang rusak dapat dibagi menjadi fase hemostasis, inflamasi, proliferasi, dan granulasi. Penggunaan gel bioplacenton sebagai obat luka pada tikus putih dapat membantu proses proliferasi yang merupakan proses penting pada penyembuhan luka sehingga pada pengamatan didapatkan hasil yang bermakna. Hasil uji LSD antara kelompok K (-) (tidak diberikan apa-apa) dengan kelompok P (diberikan lendir bekicot selama 4 hari berturut-turut) menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna. Perbedaan ini disebabkan karena terdapat rata-rata jumlah sel fibroblas yang lebih besar pada kelompok P. Dari gambar 4.1 dapat dilihat rata-rata jumlah sel fibroblas pada kelompok kontrol sebesar 312,33 dan pada kelompok P sebesar 488.88. Menurut Kim et a l. (1996), lendir bekicot

(Acha tina fulica) memiliki kandungan glikokonjugat kompleks, yaitu

glikosaminoglikan dan proteoglikan. Glikosaminoglikan dan proteoglikan merupakan pengontrol aktif fungsi sel dan berperan dalam proliferasi fibroblas. Hasil uji LSD antara kelompok P dengan kelompok K (+) menunjukkan adanya perbedaan yang tidak bermakna. Pada tabel 4.1 tertera bahwa rata-rata jumlah sel fibroblas pada kelompok P adalah 488,88 sedangkan rata-rata jumlah sel fibroblas pada kelompok K (+) adalah 466. Rata-rata jumlah sel fibroblas pada kelompok P lebih besar dari rata-rata jumlah sel fibroblas pada kelompok K (+),


(4)

commit to user

namun menurut uji LSD perbedaan antar kedua kelompok tersebut tidak signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok K (+) dan kelompok P dalam mempercepat penyembuhan luka. Perlakuan yang diberikan pada kelompok P dan kelompok K (+), yaitu pemberian lendir bekicot (Acha tina fulica) dan pemberian gel bioplacenton, sama-sama mengandung zat yang dapat mempercepat penyembuhan luka meskipun tingkat efektivitas lendir bekicot sedikit lebih tinggi dibandingkan tingkat efektivitas gel bioplacenton. Hal ini berdasarkan atas lebih banyaknya jumlah fibroblas pada pengamatan kelompok P dibandingkan pengamatan pada kelompok K (+) meskipun jumlahnya tidak berbeda signifikan.

Penelitian ini dikatakan berhasil karena melalui pengamatan mikroskopis, telah terjadi proliferasi fibroblas pada hari kelima. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Priosoeyanto (2005), yang dikutip melalui Graha Cendekia pada tahun 2009. Penelitian Priosoeyanto (2005) membuktikan bahwa lendir bekicot (Acha tina fulica) mampu menyembuhkan luka dua kali lebih cepat dari pada luka yang diberi larutan normal saline.

Dari hasil dan analisis data yang dilakukan pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian lendir bekicot atau gel bioplacenton secara topikal dapat memberikan efek pada penyembuhan luka pada tikus putih yang ditandai oleh penambahan jumlah fibroblas yang lebih banyak. Pemberian lendir bekicot memiliki efek yang sama jika dibandingkan dengan pemberian gel bioplacenton pada penyembuhan luka.


(5)

commit to user

Penelitian selanjutnya diharapkan dapat menggunakan metode-metode yang lebih baik sehingga didapatkan hasil penyembuhan luka yang paling sempurna. Selain itu pengamatan pada penelitian selanjutnya diharapkan dapat dilakukan dibeberapa titik waktu dan pada parameter kecepatan penyembuhan luka yang lainnya.


(6)

commit to user

46

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Pemberian lendir bekicot (Achatina fulica) dan gel bioplacenton memiliki

efek yang sama dalam penyembuhan luka ditinjau dari jumlah sel fibroblas yang dihasilkan.

B. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada tingkatan hewan coba yang lebih tinggi sehingga semakin mendekati aplikasi pada pengobatan manusia.

2. Pada penelitian lebih lanjut disarankan untuk membagi kelompok hewan coba menjadi beberapa sub-kelompok hewan coba sehingga pengamatan dapat dilakukan di beberapa titik waktu.

3. Pada penelitian selanjutnya sebaiknya terdapat penambahan indikator penyembuhan luka lainnya selain jumlah fibroblas, misalnya jumlah sel leukosit PMN, jumlah pembuluh darah baru, ketebalan lapisan epitel dan menilai kepadatan serabut kolagen.


Dokumen yang terkait

PENGARUH LENDIR BEKICOT (Achatina fulica) TOPIKAL TERHADAP KECEPATAN PENYEMBUHAN LUKA BAKAR DERAJAT IIA PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) STRAIN WISTAR

1 6 29

EFEKTIFITAS PEMBERIAN GEL LENDIR BEKICOT (Achatina fulica) SECARA TOPIKAL TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA BAKAR DERAJAT II PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) MELALUI PENGAMATAN MAKROSKOPIS

0 4 56

EFEK PENYEMBUHAN LUKA BAKAR GEL LENDIR BEKICOT (Achatina Fulica) DENGAN HIDROKSIPROPIL EFEK PENYEMBUHAN LUKA BAKAR GEL LENDIR BEKICOT (Achatina Fulica) DENGAN HIDROKSIPROPIL METHYLCELLULOSE (HPMC) SEBAGAI GELLING AGENT PADA KULIT PUNGGUNG KELINCI JANTAN

0 0 15

EFEK PENYEMBUHAN LUKA BAKAR OLEH LENDIR BEKICOT (Achatina fulica) PADA KULIT PUNGGUNG KELINCI JANTAN EFEK PENYEMBUHAN LUKA BAKAR OLEH LENDIR BEKICOT (Achatina fulica) PADA KULIT PUNGGUNG KELINCI JANTAN.

0 0 16

PENDAHULUAN EFEK PENYEMBUHAN LUKA BAKAR OLEH LENDIR BEKICOT (Achatina fulica) PADA KULIT PUNGGUNG KELINCI JANTAN.

0 0 15

FORMULASI SEDIAAN GEL LENDIR BEKICOT (Achatina fulica) DENGAN FORMULASI SEDIAAN GEL LENDIR BEKICOT (Achatina fulica) DENGAN NATRIUM CARBOXYMETHYL CELLULOSE SEBAGAI GELLING AGENT UNTUK PENYEMBUHAN LUKA BAKAR PADA KELINCI JANTAN.

0 1 17

FORMULASI SEDIAAN GEL LENDIR BEKICOT (Achatina fulica) DENGAN CHITOSAN SEBAGAI GELLING AGENT UNTUK FORMULASI SEDIAAN GEL LENDIR BEKICOT (Achatina fulica) DENGAN CHITOSAN SEBAGAI GELLING AGENT UNTUK PENYEMBUHAN LUKA BAKAR PADA KELINCI JANTAN.

0 2 15

Pengaruh Pemberian Lendir Bekicot (Achatina fulica) dalam Mempercepat Waktu Penyembuhan Luka Insisi pada Mencit Swiss Webster Jantan.

4 13 16

Pengaruh Lendir Bekicot (Achatina fulica) terhadap Jumlah Sel Fibroblas pada Penyembuhan Luka Sayat

0 0 9

PERBANDINGAN EFEKTIVITAS LENDIR BEKICOT(Achatina fulica) DENGAN KITOSAN TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA

0 0 7