Dampak Kekerasan dalam Berpacaran Faktor yang Mempengaruhi Kekerasan dalam Berpacaran

berpacaran meliputi kekerasan fisik, psikologis, seksual, sosial, dan kekerasan ekonomi.Di dalam penelitian ini lebih memfokuskan pada bentuk-bentuk kekerasan yang diungkapkan oleh Andari karena bentuk kekerasan tersebut lebih spesifik pada konteks kekerasan dalam berpacaran.

3. Dampak Kekerasan dalam Berpacaran

Andari 2005 mengemukakan dampak kekerasan yang diterima perempuan dalam masa pacaran, yaitu: a. Dampak fisik : cedera, memar, patah tangan, telinga berdenging, bengkak, dan sering pusing. b. Dampak psikis : cemas dan gelisah, depresi, insomia, malutertekan, merasa terancam, minder, putus asa, ingin bunuh diri, stress, dan takut. Offenhauer dan Buchalter 2011 mengatakan korban kekerasan dalam berpacaran dapat mengalami penurunan kesehatan mental post- traumatic stress, harga diri yang rendah, prestasi belajar menurun, dan menaikkan gangguan makan, dan penggunaan obat-obatan.Selain itu dapat menyebabkan depresi dan perilaku beresiko yang lebih luas. Dapat disimpulkan bahwa dampak berdampak secara fisik maupun psikologis yang dapat mengganggu tugas kehidupan dan fungsi sosialnya apabila tidak mendapat penanganan yang baik.

4. Faktor yang Mempengaruhi Kekerasan dalam Berpacaran

Offenhauer dan Buchalter 2011 berpendapat terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya kekerasan dalam berpacaran, diantaranya : a. Faktor sosioekonomi dan demografi Beberapa penelitian menemukan keadaan sosioekonomi yang merugikan seperti apakah keluarga, sekolah, atau lingkungan yang dapat menjadi faktor yang dapat meningkatkan kekerasan dalam masa pacaran. Lingkungan yang banyak pengangguran, permukiman yang miskin, keluarga yang single-parent , dan sebagainya. Selain itu, anak yang berasal dari desa dapat meningkatkan resiko dalam kekerasan berpacaran dibandingkan dengan daerah perkotaan. b. Faktor kekerasan keluarga dan faktor lain dari keluarga Faktor dari keluarga yang dapat menyebabkan terjadinya kekerasan dalam berpacaran adalah adanya perlakuan orang tua dengan hukuman fisik, bentuk disiplin dengan cara keras, atau perlawanan dengan kekerasan terhadap anak dengan interaksi yang membahayakan, dan anak menyaksikan kekerasan dalam keluarga diantara orang tua. Hal ini didukung oleh pernyataan Lemme 1995 yang menyatakan bahwa dengan memiliki pengalaman atau menyaksikan kekerasan di dalam keluarga dapat mempengaruhi perilaku agresif.Selain itu, hal ini serupa dikatakan oleh Dinastuti 2008 dimana penyebab individu mengalami kekerasan dalam berpacaran karena memiliki riwayat yang pernah mengalami kekerasan semasa kecil. Mereka kurang memiliki keterampilan untuk memulai dan mempertahankan hubungan yang sehat dengan orang lain, termasuk dengan pasangan. c. Faktor teman sebaya dan lingkungan Pengaruh teman sebaya yang dapat menyebabkan terjadinya kekerasan dalam berpacaran seperti perkelahian teman sebaya atau keterlibatan teman sebaya dalam kekerasan berpacaran. Penelitian menunjukkan bahwa memiliki teman dalam hubungan kekerasan dapat menaikkan kemungkinan keterlibatan dalam agresi berpacaran baik sebagai pelaku dan korban. d. Faktor kepercayaan dan norma Banyak bukti yang mengindikasikan bahwa memegang kepercayaan tradisional mengenai peran jender dalam hubungan pria dan perempuan merupakan faktor resiko dalam kekerasan dalam berpacaran. Lebih khusus dalam budaya patriarkhi. Menurut Arsitasari, dkk 2006 sistem budaya patriakhi yang sering memperlakukan wanita dengan cara-cara kasar dan keras. Perlakuan kurang manusiawi ini dimungkinkan dan dapat dipahami karena kedudukan dan peran kaum wanita yang relatif lemah dibandingkan dengan kedudukan dan peran laki-laki. Kaum wanita diposisikan sebagai pelengkap atau subordinasi kaum laki- laki.Oleh karena itu, wajib hukumnya bagi kaum wanita untuk tunduk dan patuh terhadap kaum laki-laki Patriarki secara harafiah berarti kekuasaan bapak atau „patriakh patriach ‟. Istilah patriarki ini digunakan secara lebih umum untuk menyebut kekuasaan laki-laki, hubungan kuasa dengan apa laki-laki menguasai perempuan, dan untuk menyebut sistem yang membuat perempuan tetap dikuasai melalui bermacam-macam cara Bhasin dalam Hermawati, 1996. Budaya pada masyarakat secara umum tidak memberikan ruang pada laki- laki yang menjadi korban. Hal ini menjadikan perempuan mengabaikan dampak dari tindakan kekerasan untuk mengecilkan kebutuhan mereka sendiri. Adanya pengaruh konsep-konsep tradisional yang membuat pria menghindari cap sebagai “pria lemah” membuat pria menunjukkan bahwa dirinya maskulin. Untuk itu mungkin sekali mereka selalu berusaha membuktikan diri sebagai yang berkuasa atau kuat Mappiare, 1983 e. Faktor individu Faktor penyebab individu menjadi pelaku kekerasan dalam berpacaran merupakan individu yang memiliki masalah kesehatan mental seperti rendahnya harga diri, kecemasan, dan kemarahan atau depresi.Individu yang maladaptif atau perilaku antisosial seperti menggunakan obat-obatan, sex yang beresiko, rendahnya prestasi akademik, kemampuan komunikasi yang buruk dan menangani konflik dengan sikap agresif, serta kecenderungan untuk membantu diri yang rendah. Hal ini didukung oleh Tolman Bennet dalam Lemme, 1995 yang menyatakan karakteristik pelaku kekerasan adalah memiliki harga diri yang rendah, pernah mengalami atau menyaksikan kekerasan pada saat masih anak- anak, memiliki kebutuhan yang tinggi untuk dominasi dan kontrol, memiliki keterampilan untuk menipu, memiliki masalah dengan alkohol, terisolasi secara sosial, berkepribadian ekstarvert, bergantung pada korban untuk melakukan dominasi dan lainnya, dan memiliki sejarah luka di kepala. Sedangkan dari sisi perempuan sebagai korban, faktor penyebabnya adalah sikap perempuan yang cenderung menerima perilaku kekerasan. Ada kecenderungan kaum wanita masih menilai negatif atau rendah kemampuan diri sehingga kepercayaan dan kebanggaan diripun menjadi rendah. Ini berakibat kaum wanita cenderung suka menggantungkan pemenuhan kebutuhan hidup pada kaum laki-laki. Ketergantungan yang berlebihan dan menilai rendah kemampuan diri pada gilirannya akan mengakibatkan kaum wanita mudah diperlakukan sebagai objek oleh kaum laki-laki Arsitasari, dkk 2006. Selain itu, menurut Tolman Bennet dalam Lemme, 1995, karakteristik korban kekerasan adalah rendahnya harga diri, pasif dan selalu mengalah, pernah mengalami atau menyaksikan kekerasan pada saat masih anak-anak, menggunakan pemikiran yang keliru untuk meminimalkan kekerasan, berkepribadian introvert, dan terisolasi secara sosial. Selain itu, hasil penelitian Greene dan Navaro dalam Uyun, 2003 menemukan bahwa keterampilan asertif dapat membantu perempuan untuk terhindar dari korban kekerasan. Semakin asertif seorang perempuan maka akan semakin terhindar dari kekerasan. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa asertivitas pada perempuan dapat menjadi faktor yang mempengaruhi kekerasan yang dialami perempuan. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kekerasan terhadap perempuan adalah faktor sosioekonomi dan demografi, faktor kekerasan keluarga dan faktor lain dari keluarga, faktor teman sebaya dan lingkungan, faktor kepercayaan dan norma dalam hal ini adalah kepercayaan akan budaya patriarkhi, faktor individu baik dari pelaku maupun korban.

B. Asertivitas