Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sepanjang kehidupan manusia, setiap individu akan melalui suatu tahap perkembangan dan dihadapkan pada tugas perkembangan yang berbeda. Pada masa dewasa awal, selain kondisi fisik yang berada pada masa puncaknya, individu dewasa muda juga dianggap telah memiliki kematangan psikologis Mappiare, 1983. Dengan kematangan psikologis ini, individu dianggap siap untuk menjalani tugas perkembangan berikutnya, yaitu menjalin hubungan intim-akrab dengan orang lain, serta siap mengembangkan daya-daya yang dibutuhkan untuk memenuhi komitmen-komitmen. Nilai cinta muncul selama tahap perkembangan keintiman Hall Lindzey, 1993. Pemenuhan tugas perkembangan ini diwujudkan oleh sebagian besar individu melalui pernikahan dan pengalaman menjadi orang tua. Sebelum melakukan pernikahan, individu akan melalui hubungan pacaran. Hubungan ini juga dapat dikatakan sebagai masa persiapan individu sebelum memilih dan menetapkan calon pasangan hidupnya. Knight 2004 mendefinisikan pacaran merupakan suatu hubungan yang dijalani antara seorang pria dengan seorang wanita. Pada dasarnya, berpacaran merupakan pengaturan atau perencanan khusus antara dua orang yang berlawanan jenis, yang saling tertarik satu sama lain dalam berbagai tingkat tertentu. Masa berpacaran umumnya hanyalah masapendahuluan sebelum pemilihan akhir teman hidup.Pada masa ini, individu memperoleh pengalaman dalam berbagai aspek kehidupan. Mereka akan saling mengerti, saling memperlihatkan watak masing- masing, menunjukkan tipe kepribadian, dan mulai mengerti tipe-tipe tabiat dasar. Menurut Wisnuwardani dan Mashoedi 2012 individu menilai bahwa masa pacaran merupakan sarana dimana terdapat hubungan persahabatan, mendapatkan dukungan emosional, kasih sayang, kesenangan, dan eksplorasi seksual. Pada masa berpacaran sering muncul berbagai masalah. Dua individu dengan dua kebiasaan dan gaya hidup yang berbeda, akan menimbulkan berbagai permasalahan dalam hubungan mereka. Setiap individu memiliki cara yang berbeda dan unik dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah yang terjadi dalam masa pacaran. Ada individu yang memilih cara kekerasan untuk menyelesaikan masalahnya. Pada masa pacaran, hal ini dinamakan kekerasan dalam pacaran Kekerasan dalam Pacaran KDP atau Dating Violance . Kekerasan dalam Berpacaran bukan merupakan sesuatu yang baru dalam dunia berpacaran. Data PKBI Yogyakarta mulai bulan Januari hingga Juni 2001, terdapat 47 kasus kekerasan dalam pacaran, 57 di antaranya adalah kekerasan emosional, 20 mengaku mengalami kekerasan seksual, 15 mengalami kekerasan fisik, dan 8 lainnya merupakan kasus kekerasan ekonomi. Berdasarkan catatan tahunan Komnas Perempuan pada 2010 seperti yang diberitakan pada harian Jogja Kamis, 18 Agustus 2011, setidaknya ada 105.103 kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani oleh 384 lembaga pengada layanan. Dari tiga ranah kasus, jumlah terbanyak ada di ranah personal, yaitu 96 persen kasus atau 101.128 kasus, publik 3.530 kasus dan ranah negara 445 kasus. Secara detil, di ranah personal, persoalan terbanyak ialah kekerasan dalam rumah tangga atau sekitar 98.577 kasus, selebihnya 1.299 kasus adalah kekerasan dalam berpacaran dan 600 kasus kekerasan terhadap anak perempuan. Hal ini serupa dengan penelitian dari Rifka Annisa Women Crisis Center yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 1.1 Data Kasus Rifka Annisa 2009 – 2012 Kategori Tahun Jumlah 2009 2010 2011 2012 KTI Wife Abuse 203 226 219 226 874 KDP Dating Violence 28 43 40 28 139 PERKOSAAN Rape 28 31 43 29 131 PEL-SEKS Sexual Harassment 17 10 35 9 71 KDK Family Violence 6 10 9 11 36 Trafficking 1 1 1 3 LAIN- LAIN 2 - - - 2 TOTAL KASUS 285 321 347 303 1.256 Sumber : Data base Divisi Perdampingan Rifka Annisa Berdasarkan tabel dapat dilihat bahwa kekerasan dalam berpacaran menempati urutan kedua setelah kekerasan dalam rumah tangga.Hal ini menunjukkan bahwa kekerasan dalam berpacaran merupakan hal yang cenderung banyak terjadi di dalam relasi berpacaran. Beberapa kejadian kekerasan dalam berpacaran yang diungkap Lembaga Pratista Indonesia Bogor dalam Alvita, 2007 yang bergerak di bidang perlindungan terhadap anak dan perempuan dari tindak kekerasan menemukan beberapa kasus tindak kekerasan dalam berpacaran yang terjadi di kota Bogor yang masuk melalui hot line service yaitu pada usia 17 sampai 25 tahun, kasus-kasus kekerasan yang terjadi adalah seks pra nikah sampai hamil, pacar meninggalkannya, kekerasan seksual dengan bujukan janji akan menikahi, kekerasan fisik pemukulan, kekerasan psikis dimarah-marahi, dilecehkan, dibanding-bandingkan dengan pelacur, pembatasan ruang gerak bergaul, dimarah-marahi, diancam, tidak boleh putus, dan kekerasan ekonomi dimintai uang untuk kebutuhan pelaku. Berdasarkan data-data yang telah disebutkan, hal ini menunjukkan bahwa kekerasan dalam berpacaran merupakan hal yang cukup mengkhawatirkan dan merugikan bagi para perempuan. Menurut Ferlita 2008, kekerasan dalam berpacaran adalah perilaku atau tindakan seseorang dalam percintaan pacaran bila salah satu pihak merasa terpaksa, tersinggung, dan disakiti dengan apa yang telah dilakukan pasangannya. Asumsi tersebut didukung oleh Offenhauer dan Buchalter 2011 yang menggambarkan kekerasan dalam berpacaran sebagai pola perilaku yang kasar dan kejam oleh pasangan yang digunakan untuk mengontrol orang lain. Kekerasan dalam berpacaran meliputi kekerasan fisik, kekerasan psikologisemosional atau kekerasan verbal, dan kekerasan seksual. Contoh kekerasan fisik dalam berpacaran adalah mencakar, menampar, mendorong, membanting atau menahan seseorang di dinding, menggigit, mencekik, membakar, memukul seseorang, dan penganiayaan dengan kekerasan. Kekerasan psikologis emosional verbal, mencakup menghina, mengkritik, memalukan di depan teman-teman, atau memaki-maki pasangan, mengancam bunuh diri, mengabaikan pasangan, atau mengancam putus. Bentuk umum lainnya adalah perilaku yang merusak harga diri dan kemandirian pasangan, misalnya mencoba untuk mengisolasi pasangan dari keluarga, teman, atau dukungan sosial, menguntit dan memantau pasangan secara berlebihan. Ketiga adalah pelecehan seksual. Pelecehan seksual antara pasangan dapat melibatkan pemerkosaan, percobaan pemerkosaan, dan bentuk-bentuk pemaksaan seksual termasuk menggagalkan kehamilan. Tekanan untuk melakukan hubungan seksual juga merupakan bentuk pelecehan seksual.Offenhauer dan Buchalter, 2011. Menurut Rennision dan Welchans 2000dalam U.S. Department of Justice , kekerasan dalam berpacaran banyak dialami perempuan pada rentang usia 16-24 tahun. Seperti diberitakan pada Harian Joglosemar Rabu 20 September 2006, Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan HAM LRC KJHAM Semarang menerima empat laporan kasus kekerasan dalam berpacaran selama Januari-September 2006 dengan korban berjenis kelamin perempuan yang melapor berusia 16-27 tahun dengan tingkat pendidikan SMA hingga sarjana. Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa dan pelajar menduduki peringkat tertinggi sebagai pelaku danatau korban kekerasan dalam berpacaran. Korban pada kasus di atas termasuk masa dewasa awal. Valliant dalam Papalia, Old Feldman, 2008 mengatakan bahwa masa dewasa awal ini merupakan masa adaptasi dengan kehidupan, sekitar usia 20 sampai 30 tahun. Erikson dalam Papalia, Old Feldman, 2008 menyebut tahap ini sebagai tahap Intimacy vs Isolation . Pada tahap ini, individu menjalin hubungan yang intim dengan orang lain. Hal ini serupa dengan yang dijelaskan oleh Santrock 1995 dimana tugas perkembangan dewasa awal menurut Erikson adalah membentuk relasi yang intim dengan orang lain. Aspek yang penting dari hubungan ini adalah komitmen individu satu sama lain. Penelitian ini memilih kategori usia dewasa awal karena pada tahap ini individu dihadapkan pada tugas perkembangan yaitu membangun relasi intim. Individu dewasa awal mendambakan hubungan- hubungan yang intim-akrab serta siap mengembangkan daya-daya yang dibutuhkan untuk memenuhi komitmen-komitmen meskipun memerlukan suatu pengorbanan Hall Lindzey, 1993. Kekerasan dalam berpacaran dapat dicegah dengan dimulai dari kesadaran bahwa bentuk ekspresi cinta tidak dengan cara menyakiti. Hal ini harus dipahami oleh perempuan yang sedang dimabuk cinta ketika masih pacaran. Saling menyepakati untuk membina hubungan yang sehat sejak awal pacaran dan mengutarakan harapan akan masa depan masing- masing. Saling terbuka membicarakan risiko yang ditanggung masing- masing pihak, apabila batasan-batasan tersebut dilanggar. Selanjutnya, memahami bahwa mereka berhak atas badan mereka, tidak ada yang boleh menyakiti tak terkecuali pasangan. Berani berkata tidak jika pasangan memaksakan berbagai bentuk tindak kekerasan dengan disertai argumen yang dapat diterima oleh pasangan. Tidak memaksakan diri sendiri untuk menyenangkan pasangan apabila hal tersebut tidak kita kehendaki Annisa, 2012. Faktor-faktor ini berkaitan erat dengan kemampuan individu dalam mengungkapkan perasaan, pikiran, kebutuhan yang dimiliki secara jujur tanpa merugikan orang lain dan diri sendiri asertif. Hal ini didukung oleh pernyataan Nelson-Jones dalam Uyun, 2004 yang menyatakan bahwa asertivitas dapat membuat pasangan menjadi saling terbuka, sehingga dapat mengungkapkan apa yang dipikirkan dan dirasakannya tanpa rasa bersalah. Keterbukaan dapat meningkatkan kemampuan individu untuk mengatasi masalah, serta terhindar dari prasangka yang sering menyebabkan konflik. Menurut Stein dan Book 2004, sikap asertif berarti kemampuan untuk berkomunikasi dengan jelas, spesifik, dan tidak berbelit-belit, sekaligus tetap dapat memberikan respon sesuai kebutuhan orang lain dan sesuai dengan situasi yang ada. Sikap asertif meliputi tiga komponen dasar yaitu kemampuan untuk dapat mengungkapkan perasaan secara tepat, kemampuan untuk mengungkapkan keyakinan dan pemikiran secara terbuka, dan kemampuan untuk dapat mempertahankan hak-hak pribadi.Dengan demikian, orang yang asertif bukan pemalu melainkan mereka dapat mengungkapkan perasaannya biasanya secara langsung tanpa bertindak agresif ataupun melecehkan. Menurut Kanfer dan Goldstain Santosa, 1999 orang yang asertif akan menguasai atau dapat mengendalikan diri sesuai dengan situasi yang ada, dapat memberikan respon dengan wajar pada hal-hal yang disukai, dan dapat menyatakan kasih sayang dan cintanya. Dengan demikian perempuan yang asertif akan dapat mengungkapkan kebutuhan dan perasaannya jika ia merasa tertekan secara wajar sesuai situasi dengan tetap mempertahankan dan mengakomodasikan kepentingan pasangannya. Sebaliknya, perempuan yang tidak asertif tidak memiliki keterampilan komunikasi yang membuatnya mampu menegosiasikan kepentingannya, maka tanpa disadari ia telah menjadi korban kekerasan karena kegagalannya menyatakan pikiran dan kebutuhannya secara terus terang dan telah memberi peluang pada orang lain untuk tidak menghargainya. Hal tersebut sama halnya dengan membiarkan diri mereka disakiti secara fisik, emosi, maupun sosial. Penelitian yang dilakukan oleh Ekawati 2008 dengan Diskusi Kelompok Terarah kepada enam orang siswi, hasilnya ditemukan bahwa seringkali terdapat kebingungan pada siswi dalam menghadapi kondisi hubungan dengan lawan jenisnya.Para siswi ini seringkali merasa kesulitan jika pasangannya meminta maupun mengajak mereka pacaran di tempat yang sepi sehingga hanya ada mereka berdua, memegang tangan maupun memeluk ketika sedang berdua. Di satu sisi, mereka merasa hal tersebut wajar dilakukan orang yang sedang pacaran namun di sisi lain sebenarnya mereka juga takut dan terkadang merasa tidak nyaman, tetapi mereka tidak berani menolak karena takut hubungan mereka akan bermasalah, putus, dan takut kehilangan orang yang dicintai. Salah satu siswi mengungkapkan bahwa ia bahkan tidak pernah berani menolak apapun yang diinginkan pasangannya karena memang sudah lama ia menyukai pasangannya tersebut dan ia bersedia melakukan apa saja asal pasangannya selalu mencintainya dan tidak berpaling pada orang lain. Contoh kasus lain yaitu berdasarkan wawancara terhadap salah satu mahasiswi korban KDP yang berusia 21 tahun yang dilakukan Jessica 2007, menemukan bahwa subjek memiliki harga diri yang rendah. Subjek merasa tidak berharga, minder ketika melihat teman-temannya bahagia bersama pacar mereka, dan merasa dirinya dianggap seperti barang atau seperti sampah oleh pacarnya. Subjek merasa tidak dapat membuat orang lain bahagia. Selain itu, subjek juga merasa tertekan karena mendapat banyak larangan dari pacarnya.Salah satu larangan dari pacarnya adalah subjek dilarang pergi bersama teman-teman subjek. Padahal teman-teman subjek semuanya wanita dan sama-sama tahu bahwa mereka mempunyai pacar, dan mereka tidak pergi ke tempat-tempat yang jauh, hanya sebatas dalam kota. Pada kategori usia yang berbeda, contoh kasus lain yaitu berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh Samsi 2012 kepada siswa SMK N 1 Depok yaitu Aya nama samaran, merasa sungkan untuk mengungkapkan penolakan ajakan pacar ketika Aya sedang sibuk mengerjakan tugas dari sekolah. Sehingga Aya lebih memilih untuk menuruti keinginan pacar dan tugas sekolah sering terabaikan. Begitu juga dengan Ani nama samaran, mengungkapkan bahwa ia merasa kesulitan untuk mengungkapkan hak-haknya untuk dapat bersosialisasi dengan lawan jenisnya, karena larangan pacarnya. Ani merasa terkekang dengan sikap pacarnya yang posesif.Ani ingin mengungkapkan pikiran-pikirannya tersebut tanpa harus kehilangan pacar. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Arsitasari, dkk 2006 yang mengatakan bahwa superioritas kaum laki-laki menjadikan kaum perempuan selalu dalam posisi yang lemah dan tidak berdaya.Ketidakberdayaan dalam diri kaum perempuan ini dapat memicu berbagai perasaan negatif, seperti inferior , tergantung, pasrah, tidak kreatif, kurang inisiatif, dan mengalami ketakutan.Sedikitnya jumlah laporan ke pihak yang berwenang polisi bahwa telah terjadi tindakan kriminal yang telah dilakukan suami atau pacar karena melakukan kekerasan, merupakan salah satu bukti kuat bahwa kaum perempuan masih terbelenggu oleh perasaan inferior . Terdapat bukti lain yaitu kaum perempuan yang kurang mampu untuk berkata dan bertindak secara asertif, yakni menolak diperlakukan keras dan kasar karena terdapat perasaan takut akan ditinggal atau diceraikan oleh pasangannya. Kekerasan dalam berpacaran masih belum begitu mendapat perhatian jika dibandingkan dengan kekerasan dalam rumah tangga sehingga terkadang masih diabaikan oleh korban dan pelakunya Annisa, 2012. Selain itu, seperti pada kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga, korban kekerasan dalam berpacaran masih beranggapan jika melapor pada orang lain seperti keluarga atau polisi maka akan membuat aib dan mereka beranggapan bahwa ini adalah urusan intern dalam hubungan mereka sehingga mereka cenderung untuk menutup-nutupi Prastyowati, 2003. Penelitian lain yang pernah menghubungkan kekerasan dalam berpacaran dan asertivitas sebagian besarhanya melihat hubungan antara asertvitas dengan kekerasan dalam berpacaran secara umum seperti yang dilakukan oleh Prihatantrista 2010 tetapi tidak melihat bagaimana hubungan asertivitas terhadap bentuk-bentuk kekerasan dalam berpacaran secara spesifik. Penelitian ini bermaksud untuk melihat hubungan tersebut. Berdasarkan bukti dan penjelasan di atas, peneliti tertarik untuk meneliti lebih dalam tentang “Hubungan Asertivitas dengan Kekerasan dalam Berpacaran pada Perempuan Dewas a Awal”. Penelitian ini merupakan suatu tahapan proses yang dilakukan untuk menyelidiki suatu fenomena hubungan antara asertivitas dengan kekerasan dalam berpacaran yang dialami oleh perempuan dewasa awal.

B. Rumusan Masalah