4. Aspek Religiositas Knowledge
Aspek religiositas knowledge, merupakan dimensi intelektual, yaitu seberapa jauh pengetahuan seseorang terhadap ajaran agama yang dianutnya, terutama yang
terdapat dalam Kitab Suci ataupun karya tulis lain yang berpedoman pada Kitab Suci. Misalnya: orang mengetahui maksud dari hari raya agamanya, hukum atau dogma
ajarannya, memahami isi Kitab Suci dan lain sebagainya Paloutzian, 1996: 19.
5. Aspek Religiositas Effect
Aspek religiositas effect, mengacu pada perilaku, tetapi tidak perilaku yang merupakan bagian resmi dari praktik keagamaan itu sendiri. Sebaliknya, referensi di
sini adalah untuk efek agama seseorang memiliki di sisi lain non religiositas segi kehidupan seseorang. Yakni mengungkapkan sejauh mana perilaku seseorang
dimotivasi oleh ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya: Mau mengampuni kesalahan sesama yang telah menyakitinya dengan sengaja atau tidak
sengaja, mendoakan dan mencintai musuhnya, dan lain-lain Paloutzian, 1996: 19.
C. Perkembangan Religiositas Remaja
Remaja adalah masa transisi dari periode anak ke dewasa. Masa remaja dipandang sebagai periode yang sangat penting, di mana pada masa remaja mulai
ditandai dengan pemekaran yang tidak hanya terlihat dari fisik, tetap juga pola perubahan minat religiositas, yaitu semakin menyadari akan pentingnya religiositas
bagi dirinya atau keraguan akan religiositas. Masa remaja juga mampu untuk melihat diri sendiri secara objectif yang ditandai dengan kemampuan untuk mempunyai
wawasan tentang diri sendiri dan kemampuan menangkap humor. Memiliki falsafah hidup tertentu, remaja mulai mengetahui kedudukannya di masyarakat dan
mengetahui bagaimana harus bersikap di dalam masyarakat. Beberapa kelompok keagamaan menganggap masa remaja sebagai saat yang tepat untuk mengembangkan
religiositas baik itu di sekolah maupun ketika berada di tengah masyarakat.
1. Perkembangan Remaja
Menurut Hurlock 1980: 222 perkembangan remaja ditandai oleh beberapa sikap. Perkembangan itu adalah sebagai berikut:
a. Pertumbuhan Pikiran dan Mental
Periode remaja memang disebut sebagai periode keraguan religiositas. Wagner menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan keraguan religiositas tersebut
adalah tanya-jawab religiositas. Menurut Wagner para remaja ingin mempelajari agama berdasar pengertian intelektual dan tidak ingin menerima begitu saja. Mereka
meragukan agama bukan karena ingin “agnostic” atau “ateis”, melainkan karena
mereka ingin menerima agama sebagai sesuatu yang bermakna. Mereka ingin mandiri dan bebas menentukan keputusan-keputusan mereka sendiri Hurlock, 1980: 222.
b. Perkembangan Perasaan
Berbagai perasaan telah berkembang pada masa remaja untuk menghayati peri kehidupan dalam lingkungannya. Kehidupan religiositas akan cenderung mendorong
dirinya lebih dekat ke arah hidup yang religiositas pula. Perubahan minat religiositas selama masa remaja lebih radikal dari pada perubahan dalam minat akan pekerjaan.
Adanya perubahan minat akan agama pada remaja tidak mencerminkan kurangnya keyakinan, melainkan suatu kekecewaan terhadap organisasi keagamaan dan
penggunaan keyakinan serta kotbah dalam penyelesaian masalah sosial, politik dan ekonomi Hurlock, 1980: 222.
c. Sikap dan Minat
Sikap dan minat remaja terhadap perkembangan religiositas dapat dikatakan sangat kecil dan hal ini tergantung dari kebiasaan masa kecil serta lingkungan agama
yang mempengaruhi mereka.
2. 5 Aspek dalam Perkembangan Religiositas Remaja
Remaja dilihat
sebagai periode
yang sangat
penting dalam
memperkembangkan sikap religiositasnya, di mana ditandai dengan pemekaran diri yang tidak hanya bersifat secara fisik tetapi juga dalam religiositasnya. Beberapa
kelompok keagamaan memandang masa remaja sebagai saat “penyadaran”, maksudnya bahwa masa remaja adalah saat di mana keimanan yang tadinya bersifat
pinjaman, kini menjadi miliknya sendiri Hamalik, 1995: 108. Dalam pernyataan tersebut terdapat anggapan bahwa masa remaja merupakan suatu masa dimana remaja
telah siap untuk melakukan pertobatan atau siap untuk menceburkan dirinya serta terlibat langsung dalam memperkembangkan sikap religiositasnya mereka dalam
kehidupan. Dalam membahas perkembangan religiositas remaja, kiranya perlu mengetahui aspek akan sikap religiositas remaja.
a. Perkembangan Religiositas Remaja dalam Aspek Belief.
Sebagian besar para remaja menganut keyakinan agama dan kepercayaan akan keperluan beragama dalam situasi kehidupan sehari-hari remaja. Dalam
perkembangan religiositas, remaja memerlukan yang sesuai dengan kehidupan sehari- PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
hari dan dapat menolongnya untuk dapat mengatasi konflik atau permasalahan yang sedang mereka hadapi, serta dapat mengatasi keragu-raguan yang dialami oleh
remaja. Dalam kesadaran mengenai masalah yang dialami oleh remaja, ada yang masih kurang bersikap toleran terhadap dogma-dogma yang mereka anggap kuno.
Dalam hal seperti ini remaja memerlukan agama yang dapat menolongnya untuk mengolah masa transisi yang dialami oleh para remaja Supriyati, 1988:359.
b. Perkembangan Religiositas Remaja dalam Aspek Practice.
Kesadaran remaja akan mengerjakan kewajiban-kewajiban ritual agamanya ini erat kaitannya dengan situasi kehidupan remaja yang penuh tekanan, rasa kurang
aman dan rasa ingin tahu serta rasa ketidak pastian. Remaja membutuhkan agama yang lebih spesifik yang dapat membimbing sikap serta tingkah laku mereka, karena
kesadaran beragama bagi remaja berarti penambahan minat dalam hal hidup beragama yang mengarah pada suatu rekonstruksi sikap-sikap dan keyakinan
beragama. Sering orang menganggap remaja beragama dari hal practice saja, tetapi bukan dari keyakinan yang timbul dari dalam diri remaja. Minat beragama di
kalangan remaja timbul karena remaja merasakan bahwa nilai-nilai keagamaan yang dibawanya sejak kecil sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan-kebutuhannya pada
masa remaja; tidak sesuai lagi dengan perkembangan aspirasi dan gagasan- gagasannya Supriyati, 1988: 360. Pada masa-masa seperti inilah kadang-kadang
remaja malas berdoa ke Gereja atau malas berdoa secara teratur. Keadaan ini bukan karena remaja tidak percaya atau tidak taat lagi terhadap agamanya, tetapi remaja
sering merasa bosan dengan perayaan-perayaan rutin dalam upacara-upacara Gerejani. Remaja akan senang apabila dapat melibatkan diri dalam gerakan Gerejani
bersama-sama remaja yang lain, tentu gerakan ini harus timbul melalui bagian terdalam dari diri setiap remaja yang disebut sebagai religiositas remaja.
c. Perkembangan Religiositas Remaja dalam Aspek Feeling.
Dalam perkembangan remaja terdapat kecenderungan mengalami perubahan di dalam cara berpikir dan cara mereka merasakan kehadiran Allah “religiositas
feeling ”. Perkembangan itu dipengaruhi oleh pengalamaan keagamaan yang
menunjuk pada pengalaman subjektif individu dalam berhubungan dengan yang Ilahi. Meskipun bersifat pribadi, tetapi tetap mempunyai elemen sosial, karena
mempengaruhi pribadi dalam menginterpretasikan pengalaman personal tersebut. Pengalaman keagamaan yang personal itu berbeda-beda intensitasnya. Pengalaman-
pengalaman religiositas bisa berbentuk rasa damai, atau kagum yang bersifat sesaat saja atau juga pengalaman mistik yang luar biasa. Isi dari pengalaman religiositas itu
berbeda-beda. Di dalamnya bisa terdapat pengalaman yang menggembirakan seperti damai, harmonis, sukacita, merasa dicintai oleh Allah dan rasa aman. Namun dipihak
lain ada juga pengalaman yang tidak menggembirakan yang mengasilkan teror, ketakutan, dan kecemasan. Sementara itu, isi dari pengalaman-pengalaman itu
bergantung pada religiositas tentang apa yang dihadapi, sehingga remaja dapat memberikan gambaran tentang perasaan-perasaan yang dialami individu, bahwa
remaja mempunyai perasaan dicintai oleh Allah tergantung dari pengalaman religiositas yang dialami oleh remaja sebagai individu Raho, 2013: 16.
d. Perkembangan Religiositas Remaja dalam Aspek Knowledge
Besarnya minat remaja terhadap ilmu pengetahuan sangat dipengaruhi oleh apa yang kedepannya dapat berguna bagi mereka. Kalau remaja menginginkan
pekerjaan yang menuntut pendidikan tinggi, maka pendidikan akan dianggap seperti batu loncatan saja, contoh konkritnya beberapa tahun terakhir kriteria kelulusan siswa
menitik beratkan pada ujian nasional, mereka cenderung untuk lebih serius mendalami materi pelajaran yang diajukan di ujian nasional saja dan kurang
memperhatikan materi pelajaran yang lain Hurlock, 1980: 220. Kurang minatnya remaja terhadap ilmu pengetahuan tertentu biasanya menunjukkan cara-cara berikut,
remaja bekerja di bawah kemampuannya atau dalam mengerjakan tidak pernah serius, peristiwa ini sering terjadi pada usaha dan upaya untuk mengembangkan
religiositas remaja dalam aspek knowledge, sehingga ketika ditanya siapa itu Kristus?, Apa maksud kedatangan Yesus Kristus di dunia?, mereka akan menjawab
dasarnya saja atau kulitnya dan tidak terpikirkan untuk mendefinisikan jawaban dari pertanyaan tersebut, sebab mereka bekerja berfikir di bawah kemampuannya,
padahal sebenarnya para siswa memiliki potensi yang sangat besar untuk mampu menjawab dengan lebih baik, dan bahkan mampu mengambil makna dari apa yang
mereka pelajari serta mengaplikasikannya di dalam kehidupan sehari-hari mereka. e.
Perkembangan Religiositas Remaja dalam Aspek Effect Orang tua atau guru tidak dapat lagi mengawasi remaja dari dekat seperti
yang dilakukan pada sat mereka masih anak-anak. Oleh karena itu remaja harus mempunyai rasa tanggung jawab dalam pengendalian perilakunya sendiri. Bila dulu
pada saat masih anak-anak rasa takut yang ditimbulkan dari hukuman merupakan pencegahan yang terbaik untuk anak supaya tidak melakukan kesalahan atau dapat
menekan perbuatan salah yang dilakukan, ketika mereka sekarang mencapai usia remaja itu dimengerti sebagai sumber motivasi berdasarkan pengendalian dari luar
yang hanya efektif bila ada perilaku yang nyata-nyata salah dan hukuman bagi pelakunya. Bahkan sejumlah telaah mengenai kenakalan remaja menunjukkan bahwa
hukuman tidak hanya mencegah perbuatan yang salah tetapi malah menjadi pendorong untuk berperilaku salah, maka ada istilah bagi para remaja, bahwa
“peraturan dibuat untuk dilanggar”, dan ketika remaja berbuat salah, mereka akan mencari berbagai alasan untuk dapat menghindari kesalahan agar terbebas dari
berbagai bentuk hukuman dengan melakukan berbagai cara, yaitu dengan berbohong, menyalahkan orang lain dll.
Peran suara hati dalam pengendalian perilaku remaja sangatlah penting untuk menimbulkan sikap perilaku yang baik ketika berada di tengah-tengah masyarakat,
remaja yang memiliki suara hati yang matang tentu selalu merasa bersalah dan malu ketika berperilaku yang tidak baik, rasa bersalah ini penting timbul dari dalam diri
setiap remaja, sehingga remaja selalu berusaha untuk tidak mengulangi kesalahan atau berbuat salah lagi, karena motivasi ini timbul dari dalam diri remaja itu sendiri.
Telaah-telaah mengenai perkembangan moral telah menekankan bahwa cara yang efektif bagi semua orang untuk mengawasi perilakunya sendiri adalah melalui
pengembangan suara hati, yaitu kekuatan ke-dalam batiniah yang tidak memerlukan pengendalian lahiriah Hulrock, 1980: 226.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Religiositas Remaja
a. Faktor Keluarga
Faktor keluarga dalam perkembangan religiositas remaja mempunyai tempat yang khas, sebagai pendidik pertama dan utama keluarga mempunyai peran yang
penting bagi perkembangan religiositas remaja khususnya menyangkut aspek belief dan aspek feeling. Aspek belief mengacu pada apa yang diyakini dari suatu agama,
seberapa kuat keyakinan diadakan dalam keluarga, dan bagaimana menonjol bahwa kepercayaan kepada Tuhan yang tumbuh dalam keluarga dapat mempengaruhi
tingkat kepercayaan remaja. Aspek feeling berkaitan dalam jiwa dan dunia emosional individu. Pengalaman religiositas mempunyai tempat tersendiri dalam aspek feeling,
karena menyangkut dimensi perasa yang meliputi hal seperti untuk percaya pada suatu agama, rasa takut tidak religiositas, rasa kesejahteraan yang berasal dari Allah,
memberikan gambaran tentang perasaan-perasaan keagamaan yang dialami remaja, maka keluarga sebagai pendidik pertama dan utama mempunyai tempat yang khas
untuk ikut ambil bagian dalam mendampingi pengembangan religiositas remaja, agar supaya mereka semakin dapat merasakan cinta kasih Allah. Karena orang tua juga
mempunyai tanggung jawab yang sangat besar dan berkewajiban untuk memberikan pengalaman religiositas kepada anaknya, supaya dapat selalu melatih suara hati
remaja, sehingga nantinya anak mereka mampu memiliki tingkat perkembangan religiositas dalam bertingkah laku di tengah masyarakat. Berkat Sakramen Baptis,
suami-istri dan anak menerima dan memiliki tiga martabat Kristus, yaitu martabat kenabian, imamat, dan rajawi. Dengan martabat kenabian orangtua mempunyai tugas
memperkenalkan Injil kepada anak mereka; dengan martabat imamat, orang tua mempunyai tugas untuk mengajarkan kepada anaknya cara menguduskan hidup,
terutama dalam menghayati Sakramen-Sakramen dan hidup doa; dan dengan martabat rajawi, mereka mempunyai tugas untuk mengenalkan kepada anaknya tugas
untuk melayani sesama KWI, 2011: 15. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
b. Faktor Sekolah
Sekolah mempunyai peran yang sangat kuat dalam perkembangan religiositas remaja secara khas menyangkut aspek religiositas knowledge dan religiositas feeling.
Aspek religiositas knowledge merupakan dimensi intelektual yang menyangkut seberapa jauh pengetahuan remaja terhadap ajaran agama yang dianutnya. Remaja
banyak menghabiskan waktunya di sekolah, selama remaja berada di sekolah banyak sekali pengalaman-pengalaman remaja yang didapatkan ketika berdinamika bersama
teman, guru dan seluruh warga sekolah, oleh karena itu dengan banyaknya interaksi yang terjadi, perlu menciptakan adanya perasaan yang baik. Sebagai sekolah Katolik
aspek religiositas feeling perlu dikembangkan agar remaja juga berkembang tidak hanya dalam hal intelektual, tetapi juga aspek religiositas feeling, sehingga remaja
terbiasa untuk melatih perasaan yang dapat menggerakkan suara hati mereka melakukan hal-hal yang baik. Oleh karena itu sekolah juga mempunyai makna yang
istimewa untuk terus-menerus mengembangkan daya kemampuan akal budi, memperkenalkan harta warisan Gereja seperti dogma-dogma dan praktek-praktek
agamanya, meningkatkan kesadaran siswa akan tata-nilai yang baik, membantu untuk mengelola religiositas siswa, sehingga siswa mampu bersikap jujur, rukun dan
terbuka terhadap sesama yang beraneka watak dan latar belakang yang berbeda-beda, sikap saling peduli terhadap keadaan sekitar dan penderitaan orang lain. Semua
motivasi untuk melakukan perbuatan itu akan lebih baik jika muncul dari dalam diri siswa itu sendiri. Maka sungguh sekolah mempunyai peran yang strategis untuk
perkembangan remaja, sehingga pekerjaan sebagai pendidik juga dapat disebut sebagai sebuah panggilan, panggilan itu memerlukan bakat-bakat khas budi maupun
hati, persiapan yang amat seksama, kesediaan tiada hentinya untuk membaharui dan menyesuakan diri dengan kondisi dan keadaan siswa yang nantinya akan berdampak
pada perkembangan siswa secara utuh GE, art. 5. c.
Faktor Masyarakat Remaja juga merupakan manusia yang mempunyai tempat dan peran yang
khas dalam kehidupan di tengah masyarakat, sehingga sebagai keseluruhan masyarakat dituntut untuk memperlihatkan sekaligus memberikan contoh-contoh
sikap religiositas yang baik bagi para remaja, secara khas dalam aspek religiositas effect yang mengacu pada perilaku. Masyarakat majemuk yang tidak mengikatkan
diri pada sikap religiositas dalam hidup sehari-hari akan kehilangan arah hidup dalam kesejahteraan bersama, menjadikan nilai-nilai sosial yang dihayati sering tidak jelas
KWI, 1996: 452. Masyarakat harus memberikan contoh atau pengalaman yang baik kepada remaja, bahwa masyarakat mempunyai prinsip-prinsip mau menolong orang
dalam mengatasi masalah sosial, bersikap terbuka dan peduli terhadap sesama. Prinsip saling berbagi, tolong-menolong seperti ini perlu diwujudkan secara nyata di
tengah masyarakat untuk memberikan teladan bagi para remaja, sehingga masayarakat dalam hal ini sesuai dengan pengembangan aspek religiositas effect yang
mengacu pada perilaku yang tidak terbatas pada praktik keagamaan, tetapi lebih terhadap segi perilaku kehidupan dalam hidup sehari-hari di tengah masyarakat.
d. Faktor Gereja
Gereja mempunyai peran dalam perkembangan religiositas remaja, terutama dalam aspek religiositas practice, yang mengacu pada serangkaian perilaku yang
diharapkan dari seseorang yang menyatakan keyakinan agama tertentu, atau juga PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dapat dikatakan sejauh mana seseorang mengerjakan kewajiban-kewajiban ritual keagamaannya. Karena Konsili Vatikan II menyebut Gere
ja “Persekutuan iman, harapan dan cinta” LG, art. 8, persekutuan persaudaraan yang menerima Yesus
dengan iman dan cinta kasih GS, art. 32. Tetapi Konsili juga mengajarkan bahwa Gereja dibentuk kerena perpaduan unsur manusia dan Ilahi LG, art. 8. Kesatuan
Gereja terjadi tidak hanya karena karya Roh Kudus, tetapi juga hasil komunikasi antar manusia, khususnya perwujudan komunikasi iman di antara anggota Gereja.
Komunikasi iman terjadi terutama dalam perayaan iman KWI, 1996: 392. Remaja sebagai anggota Gereja juga mempunyai tempat dan peran tersendiri di dalam
komunikasi iman yang terjadi dalam perayaan iman, tentu remaja dalam keikutsertaan penuh dan aktif dalam perayaan Liturgi SC, art. 41, Gereja
mempunyai peran untuk mewujudkan keterlibatan remaja tersebut.
D. Dimensi Religiositas di Sekolah Katolik