Hak Perempuan dalam Keluarga

perceraian. persyaratan itu dapat berbentuk mulai dari ketentuan tentang hak cerai bagi istri, penentuan sejak awal jumlah uang tebusan perceraian, hingga perjanjian tentang pengasuhan anak, Tentu saja, adalah persoalan lain jika banyak perempuan yang memilih tidak menggunakan kontrak perkawinan dengan cara seperti ini, atau banyak laki-laki yang memilih untuk tidak menghormati kontrak itu, sekalipun al- Qur’an memperingatkan kita ‘’ untuk menepati janji-janji apabila berjanji’’ Q.S 2: 177; dalam Ali Imran :69-70 atau banyak Negara yang memilih untuk tidak memberlakukan kontrak-kontrak pernikahan atau tidak menghukum pelanggaran terhadapnya terutama bila dilakukan oleh laki-laki. Tentu saja kaum muslim harus menangani persoalan-persoalan tersebut agar perkawian menjadi Islami. 2 Namun, meskipun kita perlu mengkaji hak-hak yang secara kontraktual bisa dituntut oleh seorang perempuan dalam pernikahan, ia bukanlah satu-satunya sudut yang bisa kita gunakan untuk menilai ajaran al-Qur’an tentang relasi suami-istri. Karena, kesetaraan suami-istri menurut al-Qur’an bukanlah buah dari ontologi manusia gagasan tentang kesamaaankeserupaan jender. Dan, karena al-Qur’an mengajarkaan prinsip-prinsip kesetaraaan jender sebagai suatu kenyataan ontologis, ia secara logis tidak mungkin mengajaarkan prinsip-prinsip ketidaksetaraan antara suami dan istri. Jadi, menurut asma kita perlu memahami betul perbedaan hak yang dinikmati oleh tiap-tiap pihak dalam keseluruhan konteks ajaran al-Qur’an tentang kesetaraan jender.

B. Hak Perempuan dalam Keluarga

Diantara yang menjadi pokok pembahasan dalam buku Asma Barlas adalah wacana tentang keluarga dan perkawinan. Menurut Barlas sistem keluarga dalam 2 Asma Barlas, Cara Al-Qur’an Membebaskan Wanita, Terj. R. Cecep Lukman Yasin, Jakarta : Serambi 2005 Cet. 1, h.317 Islam sama sekali tidak menunjukan nilai-nilai patriarkalism. Selama ini memang ada anggapan bahwa lembaga keluarga dan juga mungkin perkawinan menjadi bukti nyata akan kentalnya patriarkalisme di dalam Islam. Pandangan seperti ini muncul karena kesalahan dalam melihat teks dan konteks Al-qur’an. Karenanya, Barlas dalam hal ini menekankan perlunya pemahaaman tidak hanya terhadap teks, tetapi tak kalah pentingnya, juga terhadap konteks ketika ayat- ayat Al-quran diturunkan. Dalam melihat isu mengenai keluarga dalam Islam, Barlas menggunakan pendekatan seperti diatas, sebuah pendekatan yang sebenarnya sudah menjadi kebiasaaan dikalangan para penafsir Al-qur’an. Di dalam kehidupan keluarga, Al-qur’an mendukung penuh kesetaraaan antar laki-laki dan perempuan. Al-qur’an menurut barlas dalam kaitanya dengan orangtua dan anak lebih banyak menekankan soal kewajiban diantaraa mereka dari pada soal hak 3 . Pembicaraaan tentang hak biasanya diderivasi dari pembicaraan tentang kewajiban. 4 Selain itu, di dalam Al-qur’an posisi laki-laki atau bapak tidak begitu menonjol. Antra bapak dan ibu memiliki hak yang setara terhadap anak-anak mereka. Meskipun demikian, ada beberapa ayat di dalam Al-qur’an yang selama ini dijadikan sebagai dalil atas supermasi laki-lakiaitu ayat tentang kepemimpinan perempuan dan tentang pemukulan istri. Tentang kepemimpinan perempuan dengan merujuk kepada terjemah- terjemah Al-qur’an yang kompeten, Barla berusaha menjelaskan makna yang sebenarnya yang dikehendaki dengan istilah qowwamuuna. Dari telaahnya terhadap referensi yang ia baca, Barlas tampaknya setuju untuk idak menafsirkan kata 3 Asm a Barlas, Cara Al-Qur’an M embebaskan Wanit a, Terj. R. Cecep Lukm an Yasin, Jakart a : Seram bi 2005 Cet . 1, h.301 4 Asm a Barlas, Cara Al-Qur’an M embebaskan Wanit a, Terj. R. Cecep Lukm an Yasin, Jakart a : Seram bi 2005 Cet . 1, h.17 qowwamuuna sebagai pemimpin. Barlas lebih condong menafsirkan qowwamuuna sebagai laki-laki pencari nafkah. Dalam hal ini barlas menekankan bahwa Pemberian nafkah kepada istri juga merupakan hak perempuan dalam rumah tangga. Setelah pernikahan, suami wajib memberi nafkah kepada istrinya. Dalam kehidupan sekarang, nafkah wanita meliputi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar seperti rumah, pakaian, pelayanan kesehatan, dan segala kebutuhan dasar untuk kehidupan bersama. Suami wajib memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini sesuai dengan kedudukan dan posisi sang istri. 5 Saat ini gerakan feminisme dan sejumlah faham lainnya di Barat menilai ketergantungan istri kepada suami terkait masalah ekonomi, termasuk juga mahar dan nafkah, sama dengan diskriminasi dan ketidaksetaraan. Padahal, mahar dan nafkah ditentukan atas dasar karakteristik dan ketidaksamaan peran antara pria dan wanita. Tanggung jawab berat mengandung anak dan melahirkan secara alamiah berada di pundak wanita. Kondisi ini membuat wanita rentan terhadap gangguan fisik dan mental. Jika pria dan wanita memiliki tanggung jawab dan peran yang sama untuk memenuhi kesejahteraan keluarga dan tidak ada hukum yang membela perempuan, maka perempuan akan menghadapi beban yang berat. Barlas menilai wanita berhak menerima nafkah karena mengemban tugas berat seperti mengandung, melahirkan, dan menyusui. Pria dan wanita tidak memiliki kondisi fisik yang sama untuk melakukan aktivitas dan kegiatan berat dalam mencari nafkah. Pria memiliki kemampuan lebih untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan berat. Allah Swt telah 5 Asm a Barlas, Cara Al-Qur’an M embebaskan Wanit a, Terj. R. Cecep Lukm an Yasin, Jakart a : Seram bi 2005 Cet . 1 membagi urusan kehidupan, dan menentukan pemenuhan kebutuhan ekonomi wanita ada di pundak pria. Allah jugalah yang membuat pria memerlukan perempuan dari segi kejiwaan dan mental. Selain itu, wanita membutuhkan ketenangan dan ketentraman untuk memainkan peran sebagai seorang istri dan ibu. Jika istri dipaksa untuk melakukan pekerjaan berat, maka ia akan cepat tua dan tidak mampu memenuhi kebutuhan mental suami dan anak-anaknya. Barlas meyakini bahwa Agar wanita bisa selalu tampil ceria, ia memerlukan ketenangan lebih dari pria. Aturan penciptaan telah mewujudkan kesesuaian dan keselarasan maksimal antara pria dan wanita dengan ada sejumlah perbedaan di antara mereka, sehingga pria dan wanita akan saling melengkapi. Oleh karena itu menurut pandangan Islam, istri tidak dipaksa bekerja demi memenuhi kebutuhan hidupnya dan purta-putrinya dengan memikulkan kewajiban itu pada pundak suami. Islam tidak menganggap pekerjaan dan karir sebagai tujuan utama bagi wanita untuk menjaga kelembutan mental dan fisik mereka. Meski demikian, Islam menerima keputusan wanita untuk berkarir demi mengembangkan potensi dan memenuhi kebutuhan masyarakat.

C. Hak Perempuan Sebagai Istri