dari data curah hujan rata-rata tahunan, dan 2 peta yang diturunkan dari data curah hujan rata-rata per tiga bulan kering Juli – September.
3.3.3 Interpretasi Citra Landsat
Interpretasi citra Landsat diawali dengan pengisian gap yang terdapat pada citra tahun 2009 dengan menggunakan citra tahun 2003. Setelah proses pengisian
gap dilanjutkan dengan tahapan layer stack dan mosaicing. Layer stack dilakukan untuk menggabungkan layer-layer band yang terpisah menjadi satu layer citra.
Mosaicing adalah tahapan yang dilakukan untuk menggabungkan dua citra yang bertampalan, tahapan ini dilakukan karena Indramayu diliput dalam dua scene
yang berbeda. Tahapan layer stack dan mosaicing dilakukan dengan menggunakan software Erdas Imagine 9.1.
Interpretassi citra Landsat dilakukan secara visual dengan menggunakan paduan dari “Petunjuk Teknis Penafsiran Citra Resolusi Sedang” yang
dikeluarkan oleh Direktorat IPSDH Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan. Hasil Interpretasi citra Landsat menghasilkan Peta penutupan lahan
daerah Indramayu.
3.3.4 Analisis dan Pembuatan Peta Parameter Rawan Kekeringan
Tahap analisis dan pembuatan peta-peta parameter dari rawan kekeringan diturunkan dari data spasial dan atribut biofisik wilayah melalui pengelolaan dan
pengolahan data atribut serta analisis SIG lainnya. Peta parameter rawan kekeringan meliputi peta lereng, drainase, bentuk lahan, penggunaan lahan, buffer
sungai, dan peta curah hujan. Masing-masing peta tematik tersebut dilakukan pengharkatan, kemudian dilakukan tumpang tindih dan selanjutnya adalah
pembobotan untuk masing-masing parameter. Parameter dan skor yang digunakan dalam penelitian ditunjukkan pada Tabel 3. Diagram tahapan metode penelitian
dapat dilihat pada Gambar 1.
Tabel 3. Skor Parameter Pemicu Rawan Kekeringan Parameter
Kelas Nilai Harkat
skor Curah Hujan
Tahunan mmtahun
a. 2001 - 2500 2
b. 1500 - 2000 3
c. 1500 4
Curah Hjan Musim Kering
mmbln a. 40
1 b. 31 – 40
2 c. 21 – 30
3 d. 20
4 Bentuk Lahan
a. Dataran Aluvial, Pantai, Dataran, Rawa Pasang surut
1 b. Lembah Aluvial
2 c. Bukit
3
Penggunaan Lahan a. Tubuh Air
b. Hutan, Kebun Campuran, Perkebunan, Tambak
1 c. Permukiman, Semak
2 d. Pertanian Lahan Kering, Tegalan,
Sawah 3
e. Tanah Terbuka, Lahan Terbangun 4
Kemiringan Lereng a. Datar 0 - 3
1 b. Berombak 3 - 8
2 c. Bergelombang 8 - 15
3 d. Berbukit Kecil 15 - 30
4 Drainase
a. Sangat Buruk 1
b. Buruk 2
c. Sedang 3
d. Baik 4
Buffer Sungai a. 0 nol - 100 m
1 b. 100m - 00 m
2 c. 300 m - 500m
3 d. 500m
4
Gambar 1. Diagram Tahapan Metode Penelitian a. Pengharkatan
Pengharkatan dimaksudkan sebagai pemberian skor terhadap masing- masing kelas dalam setiap parameter. Pemberian skor ini didasarkan pada
seberapa besar pengaruh kelas tersebut terhadap kekeringan. Semakin tinggi pengaruhnya terhadap kekeringan maka skor yang diberikan akan semakin tinggi.
Analisis Tingkat Rawan Kekeringan
Pengharkatan
Overlay
Pembobotan Interpretasi
citra
Peta Penutup Lahan
Koreksi geometrik
Pengisian gap oleh citra tahun
2003yang telah dikoreksi
Citra Landsat 7 ETM+
tahun 2009 Peta
RBI
Peta Jaringan
Sungai
Buffer Sungai
DEM Peta
Kontur
Peta Lereng
Data Curah Hujan
Interpolasi titik berbasis
Kriging Peta Curah
Hujan Klasifikasi
data atribut Peta Satuan
Lahan
Peta Drainase
Klasifikasi data atribut
Peta Landsystem
Peta Bentuk Lahan
Pemberian skor terhadap parameter-parameter ini dilakukan secara linier terhadap kelas-kelas dalam suatu parameter kekeringan dengan skor 1 - 4. Skor
satu diberikan untuk kelas yang tidak terlalu berpengaruh atau mempunyai pengaruh yang kecil terhadap kekeringan, sedangkan skor empat diberikan untuk
kelas yang mempunyai pengaruh yang besar terhadap kekeringan. Pengharkatan nilai curah hujan didasarkan dari jumlah curah hujannya.
Daerah dengan jumlah curah hujan paling kecil dapat dikatakan bahwa daerah itu akan lebih berpengaruh terhadap kejadian kekeringan. Oleh karena itu, untuk
daerah yang mempunyai nilai curah hujan rendah akan diberi nilai skor yang lebih tinggi daripada daerah dengan curah hujan tinggi. Pada penelitian ini digunakan
dua jenis curah hujan yaitu, curah hujan rata-rata tahunan dan curah hujan rata- rata musim kering. Curah hujan musim kering Juli – September diturunkan dari
tiga bulan curah hujan yang paling kecil jumlahnya. Pada Tabel 3 hanya terdapat tiga kelas untuk curah hujan rata-rata
tahunan, ini dikarenakan nilai curah hujan yang terdapat pada daerah penelitian berada pada selang antara 1000 - 2100 mmtahun. Sementara pada curah hujan
musim kering berkisar antara 15 – 40 mmbln. Penggunaan dua jenis curah hujan ini dilakukan untuk melihat jenis curah hujan mana yang lebih mendekati kejadian
nyata di lapang. Pengharkatan untuk kelas bentuk lahan adalah untuk daerah yang
mempunyai bentuk lahan datar dan landai akan lebih kecil peluang terjadinya kekeringan, karena bentuk lahan datar kemungkinan air akan hilang mengalir
lebih kecil dibandingkan dibanding dengan daerah dengan bentuk berlereng, sehingga daerah dengan bentuk lahan datar diberi nilai skor paling rendah.
Penentuan skor untuk penggunaan lahan didasarkan pada kemampuan lahan dalam menampung air ataupun melimpaskannya. Penggunaan lahan akan
berperan pada besarnya air limpasan dari hujan yang telah melebihi laju infiltrasi. Daerah yang ditumbuhi banyak pepohonan akan membantu dalam penyerapan air
sehingga air akan mudah ditampung dan limpasan air akan kecil sekali terjadi. Hal ini disebabkan besarnya kapasitas serapan air oleh pepohonan dan lambatnya air
limpasan mengalir akibat tertahan oleh akar dan batang pohon. Nilai skor rendah diberikan pada daerah dengan tutupan lahan didominasi oleh pepohonan,
sedangkan nilai skor tinggi untuk daerah dengan penutupan lahan minim pepohonan atau tanpa pepohonan. Pemberian nilai nol pada tubuh air dikarenakan
tubuh air dianggap tidak pernah mengalami kekeringan. Pemberian skor terhadap kelas kemiringan lereng didasarkan pada lahan
yang mempunyai tingkat kemiringan lereng yang tinggi akan memudahkan aliran air yang turun dari tempat tinggi ke tempat yang rendah. Jika suatu lahan semakin
miring, maka air yang diteruskan semakin cepat dibanding lahan yang mempunyai kemiringan rendah, sehingga air sangat sedikit mengisi pori-pori tanah pada lahan
dengan kemiringan tinggi. Penentuan tingkat kekeringan untuk buffer sungai berdasarkan jarak lokasi
terhadap sumber air dengan asumsi semakin jauh suatu wilayah dari sumber air maka semakin sulit mendapatkan air. Daerah yang berada dekat dengan sungai
maka daerah tersebut mempunyai air yang berkecukupan dibanding dengan daerah yang berada jauh dari sungai, sehingga daerah yang jauh dengan sungai
dapat dikatakan rentan terjadi kekeringan. b. Pembobotan
Pembobotan adalah penentuan bobot pada setiap peta digital dari parameter yang berpengaruh terhadap kekeringan. Penentuan bobot didasarkan
pada pertimbangan seberapa besar masing-masing parameter kekeringan berpengaruh terhadap kekeringan. Terdapat dua metode pembobotan, yaitu
pembobotan parameter dengan nilai bobot sama, dan pembobotan parameter dengan nilai bobot berbeda. Hal ini dilakukan untuk melihat perbedaan dan
pengaruhnya terhadap kejadian nyata. Bobot masing-masing parameter disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Bobot Parameter Penyebab Rawan Kekeringan Parameter
Bobot Beda Bobot Sama
Curah Hujan 0.3
0.167 Bentuk Lahan
0.2 0.167
Drainase Tanah 0.2
0.167 Tutupan Lahan
0.1 0.167
Kemiringan 0.1
0.167 Buffer Sungai
0.1 0.167
c. Analisis Keruangan Analisis keruangan yang dilakukan adalah:
1. Tumpang tindih, merupakan interaksi atau gabungan dari beberapa peta biofisik pemicu rawan kekeringan. Tumpang tindih beberapa peta
menghasilkan suatu informasi baru dalam bentuk luasan atau poligon yang terbentuk dari irisan beberapa poligon dari peta-peta tersebut. Peta yang
ditumpang tindih merupakan peta-peta yang sebelumnya telah diberi skor pada setiap kelas dari masing-masing parameter biofisik sehingga
menghasilkan peta zonasi kekeringan. 2. Analisis Tingkat Kerawanan Kekeringan, dilakukan dengan menjumlahkan
perkalian setiap parameter biofisik dengan bobotnya seperti ditunjukkan pada persamaan dibawah ini,
X = ∑
Dimana: X = Nilai kerawanan
Wi = Bobot untuk parameter ke- i Xi = Skor kelas pada parameter ke-i
Nilai tingkat kerawanan dari hasil penjumlahan perkalian ini dapat dikelompokkan kedalam kelas kerawanan berdasarkan Tabel 5 dibawah ini.
Tabel 5. Tingkat Rawan Kekeringan Kelas Rawan Kekeringan
Skor Tidak Rawan
0 – 1,5 Cukup Rawan
1,5 – 2,5 Rawan
2,5 – 3,5 Sangat Rawan
3,5
IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN