4.2 Mortalitas Rayap Tanah Pekerja
Selain nilai kehilangan berat, parameter lain yang digunakan dalam pengujian tingkat keawetan kayu adalah nilai mortalitas rayap. Penghitungan nilai
mortalitas rayap perlu dilakukan untuk menduga pengaruh jenis kayu dan lama waktu pengujian terhadap kematian rayap. Jenis contoh uji kayu dapat
menyebabkan perbedaan mortalitas rayap karena kandungan zat ekstraktif yang bersifat racun terhadap rayap berbeda untuk setiap jenis kayu. Waktu pengujian
yang terlalu lama juga dapat menyebabkan nilai mortalitas rayap semakin tinggi karena jumlah bahan makanan rayap dalam botol uji sangat terbatas. Saat bahan
makanan rayap yang ada pada contoh uji telah habis maka rayap akan kelaparan dan mati.
Nilai rata-rata mortalitas rayap pada pengujian glulam rasamala tipe A sebesar 94 dan untuk mortalitas glulam tipe B sebesar 96,9. Sedangkan untuk
mortalitas rayap yang diumpankan pada glulam mahoni tipe A yaitu 92 dan 93,6 untuk mortalitas pada rayap yang diujikan pada glulam mahoni tipe B.
Nilai mortalitas yang didapat pada hasil pengujian glulam mindi tipe A yaitu 85,3 dan untuk mortalitas yang didapat pada hasil pengujian glulam mindi tipe
B sebesar 93,3. Mortalitas rayap untuk kontrol kayu solid sengon sangat rendah yaitu
56,7, hal tersebut terjadi karena diduga pada kayu sengon tidak terdapat perekat isosianat yang menempel, juga karena kayu sengon diduga tidak memiliki zat
ekstraktif yang bersifat racun terhadap rayap sehingga kematian rayap tidak terlalu besar. Nilai rata-rata mortalitas pada kontrol kayu solid ketiga jenis glulam
yaitu rasamala sebesar 92,4, mahoni 88,9 dan untuk kayu solid mindi 93,3 . Tingginya nilai mortalitas rayap pada pengujian ini diduga terjadi karena
ketidaksesuaian jenis media uji dengan kondisi lingkungan hidup alami rayap. Menurut Nandika 2003 rayap tanah merupakan rayap yang masuk ke dalam
kayu melalui tanah atau lorong-lorong pelindung yang dibangunnya. Untuk hidupnya diperlukan kelembapan tertentu secara tetap, oleh karena itu untuk
mendapatkan persediaan air, rayap ini selalu berhubungan dengan tanah dan sarangnya juga ada di dalam tanah. Sementara itu pada pengujian ini rayap di
masukan kedalam pipa paralon yang dialasi dengan dental cement yang dilapisi kapas basah di bawah permukannya, yang mengakibatkan rayap tidak bisa
melakukan aktivitas mencari makan atau membangun terowongan seperti pada habitat aslinya. Selain itu mortalitas yang tinggi pada rayap diduga selain karena
ketidaksesuaian kelambapan, jenis media uji, juga karena tidak ada lagi makanan yang bisa dikonsumsi pada minggu ketiga sehingga mortalitas rayap meningkat.
Menurut Supriana 1983, perilaku makan rayap di alam berbeda dengan di laboratorium. Di alam rayap bebas untuk memilih sendiri lingkungan yang paling
sesuai bagi hidupnya. Sedangkan di laboratorium, rayap di paksa makan forced feeding test. Dalam keadaan terpaksa, rayap akan memakan bahan umpan yang
diberikan. Pada awalnya rayap tanah akan melakukan penyesuaian terhadap lingkungan yang baru didalam botol uji. Kemudian rayap mulai mencoba
makanan yang diujikan. Rayap yang tidak dapat berdaptasi dengan lingkungan yang baru umumnya mati beberapa saat kemudian. Bagi rayap yang lebih tahan,
akan memilih untuk tidak makan, kemudian lambat laun rayap tersebut akan bertambah lemah dan mati.
Rayap lain yang lebih kuat cenderung akan menyerang dan memakan sesamanya yang telah mati dan lemah sesuai dengan sifat khas rayap bila terjadi
kekurangan makanan yaitu memiliki sifat kanibalisme dan nekrofagi. Menurut Tarumingkeng 2001, pada kondisi yang sulit yaitu saat kekurangan makanan dan
air, sifat kanibal rayap akan cenderung menonjol. Rayap akan memakan individu- individu yang lemah agar keseimbangan kehidupan koloninya terjaga pengaturan
homoestetika. Hal ini diduga menjadi salah satu penyebab tingginya nilai mortalitas rayap.
Mortalitas Rayap juga dipengaruhi oleh adanya kandungan perekat isosianat yang terdapat pada glulam. Diduga rayap mati karena pengaruh senyawa kimia
yang terdapat pada perekat isosianat. Senyawa kimia yang termakan oleh rayap diduga mengakibatkan rayap teracuni dan racun tersebut disebarkan sesama rayap,
karena rayap mempunyai sifat trophalaxis yaitu sifat rayap yang saling berkumpul dan menjilat satu sama lain untuk mengadakan pertukaran bahan
makanan melalui mulut maupun melalui anus, ketika rayap mengalami moulting,
mereka juga kehilangan isi perut mereka termasuk protozoa pencerna kayu. Agar persediaan protozoa tetap memadai, mereka harus mendapatkannya dari anggota
koloni lain, salah satunya dari anus rayap lain. Hal tersebut mengakibatkan senyawa kimia yang terdapat pada perekat isosianat lebih mudah tersebar,
sehingga mortalitas rayap pun semakin meninggi.
Keterangan: K= Kontrol, A= Tipe Garis Rekat A, B= Tipe GarisRekat B
0.00 10.00
20.00 30.00
40.00 50.00
60.00 70.00
80.00 90.00
100.00
Sengon Rasamala Mahoni
Mindi
K K
K A
A A
B B
B
Mortalitas
Jenis Kayu
Gambar 8 Histogram Mortalitas Rayap Tipe A dan Tipe B. Hasil analisis ragam terhadap nilai mortalitas rayap dengan faktor jenis
glulam dan tipe garis rekat menunjukkan bahwa hubungan atara variabel tersebut nyata. Hal ini berarti jeins kayu yang digunakan sebagai bahan baku glulam,
mempengaruhi terhadap tingginya nilai mortalitas rayap. Selain pengaruh jenis kayu, pengaruh tipe garis rekat juga berpengaruh nyata terhadap mortalitas rayap,
hal tersebut diakibatkan karena pada tipe garis rekat B lebih banyak jumlah garis rekatnya dibanding tipe garis rekat A, hal tersebut mengakibatkan luas area makan
rayap yang mengandung perekat isosianat semakin banyak pula, sehingga ketika rayap mengkonsumsi selulosa didalam glulam tersebut, dengan cepat dan mudah
racun dari perekat isosianat tersebut disebarkan dan mengakibatkan mortalitas
rayap yang tinggi.
4.3 Bentuk Serangan Rayap Tanah