terhadap daya perusak butir-butir hujan yang jatuh, melindungi tanah dari daya perusak aliran permukaan.
2.2 Kompos
Kompos adalah salah satu pupuk organik yang berasal dari sisa-sisa organik dari hijauan atau hasil pertanian dan kotoran hewan yang ditumpuk dan
mengalami proses dekomposisi sehingga dapat digunakan sebagai pupuk. Kompos sebagai salah satu sumber bahan organik, kandungan haranya tergantung
pada bahan tanaman yang dijadikan kompos tersebut Rowell, 1995. Menurut Indranada 1986 pengomposan adalah dekomposisi bahan
organik segar menjadi bahan yang menyerupai humus rasio CN mendekati 10. Proses perombakan bahan organik ini terjadi secara biofisika-kimia, melibatkan
aktivitas biologi mikroba dan mesofauna Suriadikarta dan Simanungkalit, 2006. Prinsip pengomposan adalah menurunkan CN ratio bahan organik hingga
sama dengan CN tanah 20. Dengan semakin tingginya CN bahan maka proses pengomposan akan semakin lama karena CN harus diturunkan. Dalam
proses pengomposan terjadi perubahan seperti : 1 karbohidrat, selulosa, hemiselulosa, lemak dan lignin menjadi CO
2
dan air, 2 zat putih telur menjadi amonia, CO
2
dan air, 3 Penguraian senyawa organik menjadi senyawa yang dapat diserap tanaman.
Dengan perubahan tersebut, kadar karbohidrat akan hilang atau turun dan senyawa N yang terlarut amonia meningkat Indriani, 2004. Dengan demikian,
CN semakin rendah dan relatif stabil mendekati CN tanah.
2.2.1 Faktor yang Mempengaruhi Pengomposan
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengomposan : 1.
Nilai CN bahan Semakin rendah CN bahan, waktu yang diperlukan untuk pengomposan
semakin singkat. 2.
Ukuran bahan Bahan yang berukuran lebih kecil akan lebih cepat proses pengomposannya
karena semakin luas bahan yang tersentuh oleh mikroba perombak. Oleh karena itu, bahan perlu dicacah sehingga berukuran kecil. Pencacahan bahan
yang tidak keras sebaiknya tidak terlalu kecil karena bahan yang telah hancur banyak air kurang baik kelembabannya menjadi tinggi.
3. Jumlah mikroorganisme
Biasanya mikroorganisme sering ditambahkan ke dalam bahan yang akan dikomposkan. Semakin banyak jumlah mikroorganisme, diharapkan proses
pengomposan akan lebih cepat. 4.
Kelembaban dan aerasi Umumnya mikroorganisme tersebut dapat bekerja dengan kelembaban sekitar
40 - 60 . Kondisi tersebut perlu dijaga agar mikroorganisme dapat bekerja secara optimal. Kelembaban yang lebih rendah atau lebih tinggi dapat
menyebabkan mikroorganisme tidak berkembang atau mati. Adapun kebutuhan aerasi tergantung dari proses berlangsungnya pengomposan
tersebut aerobik atau anaerobik. 5.
Suhu Suhu optimal sekitar 30
– 50 C. Bila suhu terlalu tinggi, mikroorganisme akan
mati. Bila suhu relatif rendah, mikroorganisme belum dapat bekerja atau dalam keadaan dorman. Aktivitas mikrorganisme dalam proses pengomposan
tersebut juga menghasilkan panas sehingga untuk menjaga suhu tetap optimal sering dilakukan pembalikan kompos.
Hasil pengomposan berupa kompos, yaitu jenis pupuk yang terjadi karena proses penghancuran oleh alam Sarief, 1985 dan mikroorganisme pengurai
terhadap bahan organik daun-daunan, jerami, alang-alang, rumput-rumputan, dedak padi, batang jagung serta kotoran hewan. Adapun karakteristik umum
yang dimiliki kompos antara lain; 1 mengandung unsur hara dalam jenis dan jumlah bervariasi tergantung bahan asal, 2 menyediakan unsur hara secara
lambat slow release dan dalam jumlah terbatas, dan 3 mempuyai fungsi utama memperbaiki kesuburan dan kesehatan tanah Suriadikarta dan Simanungkalit,
2006. Sifat dari kompos yang matang antara lain kadar kelembaban 35, suhu
stabil, berwarna cokelat tua, berbau tanah earthy, pH alkalis, COD stabil, BOD stabil, CN rasio 20, KTK 60 me 100 g
-1
dan laju respirasi 10 mg g
-1
Yang, 1996.
BAB III. BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2011 sampai Juni 2012 di Bagian Pengembangan Sumberdaya Fisik Lahan, Departemen Ilmu Tanah
dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
3.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dua jenis tanah dan beberapa jenis kompos yaitu kompos jerami, kompos kotoran sapi, kompos
kotoran ayam. Contoh tanah yang digunakan yaitu Latosol Dramaga dengan kedalaman 0-13 cm dan 13-36 cm untuk tutupan lahan tegalan, Latosol Dramaga
dengan kedalaman 0-6 cm dan 6-27 cm untuk tutupan lahan kebun campuran, Andosol Sukamantri dengan kedalaman 0-25 cm dan 25-50 cm untuk tutupan
lahan tegalan dan Andosol Sukamantri dengan kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm untuk tutupan lahan kebun campuran.
3.3 Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap kegiatan yaitu persiapan contoh tanah, pembuatan kompos, pencampuran tanah dengan kompos dan
inkubasi serta analisis tanah di laboratorium. 1. Persiapan Contoh Tanah
Contoh tanah diambil dari dua lapisan teratas secara morfologi pada setiap jenis tanah dengan masing-masing tutupan lahan. Contoh tanah dikeringudarakan,
ditumbuk, diayak dan disiapkan untuk keperluan analisis sifat tanah dan perlakuan inkubasi. Untuk perlakuan inkubasi digunakan contoh tanah kering udara yang
lolos saringan 2 mm. sedangkan untuk keperluan analisis C-organik digunakan contoh tanah kering udara yang lolos saringan 0.05 mm 50 mikron.
2. Pembuatan Kompos Jerami dihancurkan hingga berukuran 0.5 cm, kemudian diletakkan pada